Tanah Dede Keprabon (Rijks Domein)

2. Tanah Dede Keprabon (Rijks Domein)

Adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan antara lain:

a. Mendirikan rumah-rumah bagi putera Sentono Dalem, sperti Pangeran Adipati Anom, Pengeran Hangabehi, dsb;

b. Mendirikan rumah-rumah bagi para abdi dalem seperti Pepatih Dalem di Kepatihan, Dalapan Nayoko di Kanayakan, dsb;

24 Ibid. h.14.

c. Sebagai pembayaran gaji para putera, Sentono Dalem dan Abdi Dalem;

d. Bagi Kawula Dalem dengan Ngindung, Magersari, dsb;

e. Dipinjamkan kepada penduduk non pribumi (asing) dengan Hak Pakai dan Hak Opstal. (Tirtodiningrat, 1983:2)

Dalam sistem apanage ini, tanah-tanah diperuntukkan bagi para Sentono maupun Abdi Dalem yang disebut patuh, kepengurusuannya disebut Bekel, Demang, Lurah, Petinggi, atau Kuwu. Kecuali melakukan menyelenggarakan organisasi produksi dan melakukan pengawasan atas pelaksanakan kegiatan tersebut, pengurus tersebut juga bertugas untuk mengumpulkan pajak. Sebagai upah dalam melaksanakan tugas tersebut, adapun pembagian pengoLahan tanah kepatuhan/ kebekelan dengan menggunakan sistem apanage, Bekel diberi gaji oleh Sultan yaitu seluas 1/5 (seperlima) dari luas tanah yang di bawah pengawasannya, dengan rincian 2/5 (dua perlima) untuk warga masyarakat yang mengolah dan 2/5 (dua perlima) lagi untuk bagi para patuh (sentono/abdi dalam). Pembagian hasil itu hanya berlaku bagi tanaman pokok padi. Untuk tanaman lain seperti palawija semula Sultan tidak memperhitungkan. Baru pada masa kemudian ketentuan bagi hasil untuk palawija ditetapkan 1/3 (sepertiga) bagian untuk Sultan dan yang 2/3 (duapertiga) untuk petani. Sistem ini lazim disebut dengan sistem mertelu.

D alam bukunya De Opkomst tulisan Jhr. Mr. J.K.J. de Jonge, jilid X, halaman 32, diterapkan nya sistem mertelu itu D alam bukunya De Opkomst tulisan Jhr. Mr. J.K.J. de Jonge, jilid X, halaman 32, diterapkan nya sistem mertelu itu

Masalah yang lazim muncul dalam penguasaan tanah adalah hak waris. Bagi tanah lungguh yang boleh diwariskan adalah hanya bagi anak anggota keluarga Sultan. Bagi keluarga pera pegawai tidak dapat diwariskan. Pewarisanpun juga dibatasi sampai keturunan yang ke empat atau canggah, yaitu cucu dari cucu yang disebut Sentana/Sentono artinya mempunyai hubungan darah dengan Sultan. Putra Sultan mempunyai derajat lebih tinggi daripada cucu Sultan. Berhubung dengan hal tersebut maka di Sultan Kejawen terdapat istilah Tanah Warisan, atau kalau bukan Tanah juga tunjangan berupa uang kepada anak keturunannya, maka ada istilah Belanja Warisan.

Hak atas tanah pertanian itu adalah sekedar menggarap bukan memiliki meskipun ia dijinkan untuk mewariskan tanah itu kepada keturunannya. Hak semacam itu disebut hak

anggaduh 25 , sebagai ditetapkan dalam Rijksblad Kasultanan

25 Hak Anggaduh perorangan adalah penguasaan dan pemilikan tanah dengan hak menggarap atas tanah pertanian bukan untuk dimiliki, tetapi pengganti biaya

upah sebagai pamong kalurahan, meskipun diijinkan untuk diwariskan kepada

Ngayogya karta (Rijksblads van Sultanaat Yogyakarta 1918, Nomor 16, Pasal 11).

Semula setiap desa hanya terdapat satu atau beberapa Bekel dan setiap Bekel mempunyai sejumlah petani pengikut sebagai penggarap tanah yang dikuasakan kepadanya. Sejalan dengan pertambahan penduduk maka jumlah Bekel dalam satu desa bertambah tetapi jumlah pengikut cenderung berkurang. Semakin banyaknya jumlah Bekel di pedesaan dianggap oleh pejabat kolonial sebagai tidak efektif dan menjadi sumber berbagai tindak pemerasan di kalangan masyarakat pedesaan serta pelaksanaan berbagai pekerjaan tidak efisien. Oleh karena itu pada 1890 pejabat pemerintah kolonial mendorong dilaksanakannya restrukturisasi dengan cara menunjukan Bekel senior sebagai kepala Desa dan Bekel lainnya sebagai pengawas

pekerjaan yang dilakukan di desa atau disebut Bekel Gundul 26

karena tidak mempunyai kuli. Kebijakan ini merupakan sumber meletusnya berbagai protes dari Bekel Gundul yang terjadi di pedesaan pada pergantian abad ke-20.

keturunannya, sedangkan Hak Anggaduh Kalurahan/lungguh/ pengarem-arem adalah penguasaan dan pemilikan tanah pemilikan kalurahan yang diberikan kepada pamong desa dengan hak menggarap atas tanah pertanian bukan untuk dimiliki, tetapi pengganti biaya upah sebagai pamong kalurahan/desa. Saat ini Hak Anggaduh Kalurahan sudah menjadi asset desa/kalurahan dengan status Tanah Hak Pakai atas nama Desa.

26 Bekel Gundul adalah bekel yang tidak mempunyai pengikut sebagai penggarap tanah yang dikuasakan kepadanya. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah

penduduk dan bertambahnya jumlah Bekel tetapi luasan tanah yang digarap semakin sempit (hal ini karena peralihan garapan karena waris) sehingga terjadi tindak pemerasan terhadap penggrap di kalangan masyarakat pedesaan. Pada tahun 1890 dilaksanakannya restrukturisasi dengan cara menunjukan Bekel senior sebagai kepala Desa dan Bekel lainnya sebagai pengawas pekerjaan yang dilakukan di desa yang disebut Bekel Gundul.

Perubahan Politik Pemerintahan Desa dan Pengelolaan Pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta

Pada Tahun 1914 diadakan perubahan politik pertanahan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan: menghapuskan sistem apanage, pembentukan kalurahan-kalurahan, [pemberian hak atas tanah yanglebih kuat kepada Bangsa Indonesia, dan mengubah dasar-dasar sewa tanah (Sudikno Mertokusumo, 1982:30). Dalam menindaklanjuti perubahan politik agraria tersebut dikeluarkan Rijksblad Kasultanan 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18, yang merupakan Keputusan Sultan dan Pakualaman atas Reorganisasi Agraria yang sangat dianjurkan oleh para pejabat Belanda kepada Sultan. Berdasarkan Rijksblad tersebut, bagi wilayah yang sudah terbentuk kalurahan (reorganisasi politik pemerintahan kalurahan/desa), pola pengusaaan tanah wilayah Kota Praja di kalurahan adalah:

a. Kepada warga/penduduk yang secara nyata memanfaatkan tanah dan tercatat di register kalurahan diberikan Hak Anganggo turun temurun (Erfelijk Individueel Gebruiksrecht).

b. Tanah yang diberikan oleh kalurahan/Desa dengan Hak Andarbe (Erfelijk Individueel Bezit Recht) adalah penguasaan dan pemilikan tanah pemilikan kalurahan yang diberikan kepada pamong desa, dengan rincian Tanah Bengkok/Lungguh hak menggarap atas tanah pertanian bukan untuk dimiliki sebagai pengganti biaya upah sebagai pamong kalurahan/desa. Tanah

Pengarem-arem adalah tanah yang diberikan kepada mantan Lurah/Bekel Senior kalurahan/desa untuk dan tanah tanah tersebut jatuh kembali karena mantan Lurah/Bekel Senior meninggal dunia dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai Tanah Kas Desa (Iman Sudiyat, 1973: 11).

c. Tanah yang diberikan kepada pihak asing dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal. Tanah pertanian dan kepentingan umum yang disewakan kepada pihak asing dengan Hak Konsesi, seperti perkebunan tebu beserta pabrik dan perumahan karyawan, jalan kereta api beserta stasiun dan perumahan karyawannya.

d. Tanah liar/kosong/hutan belukar/tandus yang belum dilepaskan /diserahkan kepada pihak lain yang merupakan tanah domein bebas, tetap menjadi Tanah Sultan (Sultan Ground) dan Tanah Pakualaman (Pakualaman Ground)

Dengan demikian Desa atau Kalurahan memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur penggunaan tanah yang menjadi wewenang dan kekuasaannya seperti menyewakan atau adol sewa, memindahkan untuk digunakan secara turun-temurun (erfelijk gebruiksrecht), memindahkan sementara hak atas tanah (tijdelijke vervreemding.

Di wilayah perkotaan, tanah milik Sultan langsung dikuasai dan mengatur pemanfaatan tanah tersebut. Tanah Keraton yang sangat luas itu dalam pemanfatannya diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai berikut (Lihat Ter Haar, t.th.; Notoyudo, 1975; Tauchid, 1952): Di wilayah perkotaan, tanah milik Sultan langsung dikuasai dan mengatur pemanfaatan tanah tersebut. Tanah Keraton yang sangat luas itu dalam pemanfatannya diatur sesuai dengan kedudukan dan fungsinya sebagai berikut (Lihat Ter Haar, t.th.; Notoyudo, 1975; Tauchid, 1952):

b. Tanah yang diberikan dengan Hak Pakai (Gebruiksrecht) kepada pemerintah Hindia Belanda (Gobernment) guna keperluan memba ngun jalan kereta api (Staats Spoorwegen), Benteng Vredeburg, kantor/kediaman Residen/ Gubernur, Setasiun, dan lain-lain.

c. Tanah dengan Hak Eigendom bagi tempat tinggal orang Belanda dan Hak Opstal yang diberikan kepada orang Tionghoa atau Timur Asing.

d. Tanah dengan Hak Pakai Golongan yang diserahkan kepada untuk digunakan sebagai pegawai sultan yang dikelola secara kelompok yang disebut tanah golongan

e. Tanah dengan Hak Pakai Sentono, yaitu tanah yang diserahkan kepada kerabat Sultan e. Tanah dengan Hak Pakai Sentono, yaitu tanah yang diserahkan kepada kerabat Sultan

g. Tanah pekarangan dan perkebunan yang terletak di luar pusat kota yang diberikan dengan hak pakai kepada Patih Dalem yang disebut tanah Kebonan untuk kepentingan umum. Untuk tanah pekarangan rakyat termasuk tanah yang di bawah kekuasaan sultan

h. Sawah yang dikerjakan dan dipelihara oleh Bekel yang disebut Tanah Maosan.