Tanggapan dan Harapan Penggarap Tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta

4. Tanggapan dan Harapan Penggarap Tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground di Daerah Istimewa Yogyakarta

Walaupun sudah menggarap puluhan tahun hampir seluruh penggarap (100%) mengakui keberadaan tanah-tanah kasultanan dan pakulaman, tetapi mereka berharap untuk menjadikan status tanah tersebut menjadi tanah milik, dan tidak menghilangkan eksistensi dari Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Puro Pakualam (80%) dengan alasan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai keistimewaan, karena:

a. Merupakan Provinsi (bekas) kerajaan sehingga bersifat istimewa, karena dahulunya wilayah Yogyakarta merupakan kepunyaan kasultanan

b. Sultan Ground memang merupakan milik kasultanan dan Pakualaman Ground merupakan milik Puro Pakualaman

c. Para penggarap merupakan orang asli Yogyakarta, sehingga diharapkan tidak akan dialihkan karena suatu penghargaan bila diberikan tanah oleh Sultan atau Pakualam.

tanah-tanah Sultan Ground/ Pakulaman

Sedangkan

apabila

dalam penguasaan Kasultanan/Pakulaman para penggrap tidak mempermasalahkan (100%), dikarenakan:

Ground

tetap

a. Mengikuti keinginan sultan, karena tanah tersebut milik kasultanan dan pakualaman

b. Diperlukan pengaturan dalam penggarapan tanah-tanah SG dan PAG b. Diperlukan pengaturan dalam penggarapan tanah-tanah SG dan PAG

Hasil dan manfaat dari penggarapan tanah Sultan Ground/Pakulaman Ground sebenar nya hasilnya tidak terlalu signifikan, karena penggarapannya hanya untuk mengisi kegiatan dan garapannyapun tidak terlalu luas (40%), tetapi adapula yang dapat membantu dengan mengambil manfaatnya utnuk kayu bakar, dapat dialihkan dibawah tangan, dan digarap sendiri (60%). Jika status tanah tersebut dapat ditingkatkan menjadi tanah milik dapat meningkatkan pendapatan keluarga, karena dapat dikembangkan dan dijadikan rumah dan tempat usaha seperti pemancingan, rumah makan, dan lain sebagainya (100%).

Ground/Pakulaman Ground diperlukan Keraton Kalutanan dan Puro Pakulaman untuk kepentingan lembaga Keraton Kasultanan/Puro Pakualaman, penggarap patuh untuk mengembalikan karena mengakui kepemilikan tanah tersebut serta ikhlas menyerahkan kembali (100%).

Jikapun tanah

Sultan

Strategis Pengelolaan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta

5. Permasalahan dan

Isu-isu

a. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

Berdasarkan data dan hasil wawancara dengan para Kepala Bidang di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, didapat issu dan permasalahan pengelolaan pertanahan, yaitu: 1). Masalah tanah sayidan seluas 33.259 m² Kampung

Sayidan, Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondokusuman Kota Yogyakarta

2). Langkah Penyelesaian yang telah diambil adalah sebagai berikut:

a) telah diadakan rapat dengan pihak pemda kota Yogyakarta untuk membahas penyelesaiannya.

b) Kanwil BPN Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah melaporkan hal ini kepada Menteri Negara Urusan Agraria/ Kepala BPN pada Tahun 1999 dengan pertimbangan

mendapatkan petunjuk penyelesaian.

untuk

c) Mengirim surat kembali ke Badan Pertanahan Nasional

Indonesia (Pusat) untuk menanyakan surat yang terdahulu

Republik

d) Diadakan penelitian ulang mengenai proses penerbitan sertipikat Hak Milik Nomor 106/ Gondokusuman untuk mengetahui ada tidaknya kesalahan hukum administrasi dalam penerbitanya.

b. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kota Yogyakarta

Untuk Kota Yogyakarta berdasarkan informasi dari Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta, issu dan permasalahan yang ada saat ini adalah:

1). Status Hak Atas Tanah dan Bangunannya Bekas Sekolah Asing (China) 2). Tanah bekas hak barat terhadap Tanah China Temple/ Klenteng, tempat peribadatan penganut keyakinan Kong Hu Chu seluas 6.000 m.

GAMBAR 5. IDENTIFIKASI PENETAPAN STATUS TANAH CHINA TEMPLE (KLENTENG) DI KOTA YOGYAKARTA

3). Berdasarkan hasil identifikasi dokumen yang maka disimpulkan bahwa status tanah yang dipergunakan untuk China Temple (Klenteng) adalah tanah kasultanan, dengan pertimbangan:

a) Tanah negara dalam SKPT Nomor 120 Tahun 1995 tanggal 1 Maret 1995 yang dimaksud adalah tanah negara dalam pengertian sempit karena tanah SG (Sultan Ground) tidak termasuk pengertian hak atas tanah menurut Pasal 116 UUPA namun eksistensinya di akui oleh masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

b) Tanah negara bukan asset negara/milik negara, melainkan tanah yang belum dilekati sesuatu hak atas tanah, lampiran daftar Surat Menteri Keuangan bukan daftar asset tanah negara, melainkan daftar asset tanah/bangunan bekas Sekolah Asing (China).

c) Batas kepemilikan yang bersebelahan (deklaratur delimitation) berdasarkan surat ukur Surat Ukur Nomor 24 Tahun 1974 dan Surat Ukur Nomor 181 Tahun 1923 tercantum Tanah Kasultanan (Sultan Ground).

c. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Sleman 1). Perlu kesamaan pemahaman terhadap Diktum IV UUPA,

yaitu tentang ...tanah swapraja dan tanah eks swapraja yang masih ada pada waktu berlakunya UU ini hapus dan menjadi TANAH NEGARA, yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah... , menurut Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah atas nama Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman, bahwa: berdasarkan

Diktum IV UUPA itu, maka secara yuridis formal istilah tanah Keraton/Pakualaman/Pemerintah Daerah tidak ada, yang ada adalah tanah negara. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012, diperlukan penetapan oleh Pemerintah atas tanah-tanah Kraton Kasultanan, Puro Pakualaman dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

2). Untuk status Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman, yang sebelumnya tidak ada kejelasan terhadap lembaga tersebut, saat ini sudah ada kejelasan sebagai Badan Hukum berkaitan dengan subyek hak atas tanah dapat diberikan Hak Milik Atas Tanah, (Pasal 23 UU No.13 Tahun 2012)

d. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Gunung Kidul.

1). Sampai dengan saat ini tidak ada aturan pasti/tertulis mengenai sistem pengaturan, pemilikan dan pemanfaatan tanah-tanah keraton/pakualam (SG/PAG). Terhadap tanah- tanah non pertanian/pekarangan biasanya dengan sistem Magersari atau Ngindung, sedangkan terhadap tanah pertanian masyarakat hanya menggarap begitu saja.

2). Berkaitan dengan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah swapraja atau bekas swapraja kiranya perlu diatur hal-hal seperti tentang kejelasan mengenai status tanah tersebut, apakah merupakan tanah negara sesuai konsep UUPA atau bukan, karena Kraton Kasultanan dan Puro Pakualaman tidak dapat dijadikan subjek hak atas tanah. Tetapi saat ini dengan pasal 23 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 Kraton Kasultanan dan Puro Pakualaman merupakan badan hukum yang dapat diberikan Hak Milik Atas Tanah.

e. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Kulonprogo

Seperti diketahui bahwa tanah-tanah Pakualaman Ground di daerah pantai selatan merupakan tanah pasir dan tandus, produktivitasnya sangat rendah dan budidaya komoditas tanaman yang dilakukanpun masih seadanya. Namun setelah disosialisasikan dan digalakkan penggunaan pupuk organik, sekarang telah berubah luar biasa menjadi tahan yang sangat produktif dan menghasilkan berbagai komoditas diantaranya budidaya bawang merah, cabai, semangka, dan melon. Karena besarnya nilai manfaat ekonomis dari tanah-tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground tidak jarang menimbulkan konfflik horisontal maupun konflik vertikal, seperti yang terjadi di Kabupaten Kulonprogo.

Menurut hasil wawancara dengan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kulonprogo Luthfi Zakaria (2010), adalah sebagai berikut: 1). Pada tahun 1996 masyarakat mulai mencoba

membudidayakan dengan jenis tanaman asparagus, tetapi tidak mendapatkan hasil yang optimal. Kemudian masyarakat beralih pada jenis tanaman buah semangka, melon, dan cabe dengan menambah media pupuk kandang (kompos), dan hasilnya cukup baik serta bernilai ekoni tinggi.

2). Pada tahun 2005, pada lokasi pantai selatan (tanah-tanah Pakualaman Ground) yang digarap masyarakat dilakukan 2). Pada tahun 2005, pada lokasi pantai selatan (tanah-tanah Pakualaman Ground) yang digarap masyarakat dilakukan

3). Secara makro ekonomiakan dapat mengurangi pengeluaran devisa negara untuk pembayaran impor pasir besi, dan juga akan meningkatkan pendapatan derah serta negara. Dana pemasukan dari hasil eksploitasi dapat dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur dan usaha pengentasan kemiskinan di Kabupaten Kulonprogo yang notabene Pendapatan Asli Daerahnya sangat kecil, memberi kesempatan

penduduk di sekitar penambangan,

pergerakan ekonomi

masyarakat di sekitar penambangan, dan sebagainya. 4). Dalam sosialisasi penambangan pasir besi di lokasi

Pakualaman Ground, pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Kulonprogo dan Provinsi DIY, dan Pura Pakualaman memberikan informasi sebagai berikut:

a) Akan memberikan kompensasi kepada masyarakat penggarap

penghasilan dalam usaha memanfaatkan tanah PAG, selama tanah-tanah tersbut di tambang

sebesar

b) Proses pengembalian (reklamasi) dilakukan setelah ditambang dengan menambah media tanah dan pasir b) Proses pengembalian (reklamasi) dilakukan setelah ditambang dengan menambah media tanah dan pasir

d) Masyarakat penggarap tanah PAG dapat dipekerjakan pada usaha penambangan

Tetapi masyarakat menolak dengan alasan, dengan penambangan terbuka akan merusak lingkungan dan di khawatirkan pihak investor tidak menepati janji dalam pemberian kompensasi serta reklamasi. Akibatnya tanah tidak dapat lagi dibudidayakan kembali dengan tanaman saat ini yang bernilai ekonomis.

f. Isu Strategis Pengelolaan Pertanahan di Kabupaten Bantul 1). Isu strategis yang sangat menonjol saat ini adalah rencana

penertiban daerah wisata Pantai Parangtritis, dimana saat ini banyak terdapat tempat atau bangunan permanen yang dibangun oleh masyarakat, dan diindikasikan telah terjadi peralihan dengan sistem jual beli ataupun sewa penguasaan bangunan-bangunan dan tanah tersebut baik oleh penduduk sekitar kawasan pantai maupun penduduk dari luar kawasan pantai bahkan dari luar Kabupaten

Bantul dan Provinsi Yogyakarta 38 . Hal ini menyebab kan

38 Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Dukuh Kwaru Desa Poncosari Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Pendistribuasian tanah-tanah Sultan Ground di

Desa Poncosari umumnya dan Dukuh Kwaru khususnya berdasarkan kesepakatan masyarakat sendiri, baik dalam hal penetapan luas per-Kepala Keluarga maupun pemanfaatannya. Pihak Pemerintahan Desa tidak mempunyai kewenangan dalam menata dan mengatur dalam pendistribusian dan pemanfaatan tanah-tanah Sultan Ground.

kurang tertatanya kawasan dengan baik, bahkan tidak sedikit yang dijadikan tempat prostitusi ilegal. Pemda Bantu rencananya akan melakukan penataan terhadap kawasan tersebut. Tetapi hal itu tidak mudah untuk dilakukan karena pemilik bangunan atau masyarakat penggarap sehingga menimbulkan penolakan dengan melakukan demonstrasi ke Kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta di Kepatihan.

2). Isu strategis tentang kewenangan pengelolaan dan pemanfaatan Pantai Kwaru yang terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis, dimana sebelumnya daerah tersebut merupakan daerah yang termarjinal atau mempunyai nilai ekonomis yang rendah, namun sejak dilakukan penghijauan dengan penanaman cemara pantai sehingga saat ini menjadi daerah tujuan wisata pantai. Hal ini memberikan nilai tambah secara ekonomi, permasalah annya sekarang daerah tersebut telah ada pungutan-pungutan liar (illegal) baik untuk masuk ke kawasan wisata, parker kendaraan bermotor, dan kebersihan. Sampai saat ini belum ada kebijakan dan kewenangan dalam pengelolaan kawasan wisata Pantai Kwaru, sehingga terjadi tarik menarik kepentingan pengelolaan antara Paguyuban Warga dan pemerintahan Desa Poncosari.

3). Isu strategis lainnya, tentang keberadaan Sultan Ground di Desa Selopamioro Kecamatan Imogiri, dimana terdapat lebih kurang 500 hektar. Pemanfaatan Sultan Ground selain 3). Isu strategis lainnya, tentang keberadaan Sultan Ground di Desa Selopamioro Kecamatan Imogiri, dimana terdapat lebih kurang 500 hektar. Pemanfaatan Sultan Ground selain

Penutup

Dari kajian histori yuridis, dalam perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, Sri Sultan Hamengku Buwono I sebagai penguasa Kasultanan Mataram sebelah barat yang kemudian disebut Yogyakarta dengan memperoleh tanah seluas 53.100 karya atau sekitar sekitar 309,8645 hektar, maka pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah:

Berdasarkan Pranatan Patuh (1863) Sultan mengatur penggunaan

kepatuhan/kebekelan yang menggunakan sistem apanage (pemilikan dan penggunaan tanah berdasarkan strata keluarga, jabatan, dan hubungan kekerabatan). Adapun pembagiaannya dalah sebagai berikut:

tanah

berdasarkan

Tanah Keprabon (Crown Domain), Keparabon Dalem atau Tanah mahkota adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan pembangunan istana, alun-alaun, masjid, taman sari, pesanggrahan atau bangunan pendukung lainnya;

Tanah Dede Keprabon (Rijks Domein), adalah tanah yang penggunaannya diperuntukkan antara lain:

1. Mendirikan rumah-rumah bagi putera Sentono Dalem, seperti Pangeran Adipati Anom, Pengeran Hangabehi, dsb;

2. Mendirikan rumah-rumah bagi para abdi dalem seperti Pepatih Dalem di Kepatihan, Dalapan Nayoko di Kanayakan, dsb;

3. Sebagai pembayaran gaji para putera, Sentono Dalem dan Abdi Dalem;

4. Bagi Kawula Dalem dengan Ngindung, Magersari, dsb;

5. Dipinjamkan kepada penduduk non pribumi (asing) dengan Hak Pakai dan Hak Opstal.

Dalam perubahan politik agraria/pertanahan yang dimulai Tahun 1914, pada tahun 1918 dikeluarkan Rijksblad Kasultanan 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18, yang merupakan Keputusan Sultan dan Pakualaman atas Reorganisasi Agraria. Yaitu perubahan dalam pola pengusaaan tanah wilayah Kota Praja dengan membentuk kalurahan, dimana pola penguasaanya adalah sebagai berikut:

1. Kepada warga/penduduk yang secara nyata memanfaatkan tanah dan tercatat di register kalurahan diberikan Hak Anganggo turun temurun (Erfelijk Individueel Gebruiksrecht).

2. Tanah yang diberikan kepada desa dengan Hak Andarbe (Erfelijk Individueel Bezit Recht) adalah penguasaan dan pemilikan tanah pemilikan kalurahan yang diberikan kepada pamong desa, dengan rincian Tanah Bengkok/Lungguh hak menggarap atas tanah pertanian bukan untuk dimiliki sebagai pengganti biaya upah sebagai pamong kalurahan/desa. Tanah Pengarem-arem adalah tanah yang diberikan kepada mantan Lurah/Bekel Senior kalurahan/desa untuk dan tanah tanah tersebut jatuh kembali karena mantan Lurah/Bekel Senior meninggal dunia dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai Tanah Kas Desa (Iman Sudiyat, 1973:11).

3. Tanah yang diberikan kepada pihak asing dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal. Tanah pertanian dan kepentingan umum yang 3. Tanah yang diberikan kepada pihak asing dengan Hak Eigendom dan Hak Opstal. Tanah pertanian dan kepentingan umum yang

4. Tanah liar/kosong/hutan belukar/tandus yang belum dilepaskan/diserahkan kepada pihak lain yang merupakan tanah domein bebas, tetap menjadi Tanah Sultan (Sultan Ground) dan Tanah Pakualaman (Pakualaman Ground)

perubahan mengenai pemanfaatan tanah dengan dikeluarkannya Rijksblad Kasultanan Tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Pakualaman Tahun 1925 Nomor 25. Dalam aturan yang baru ditetapkan bahwa rakyat diberi Hak Andarbe (hak milik dalam hukum adat) di atas tanah-tanah yang dimanfaatkan oleh penduduk, dan tanah yang diberikan oleh kalurahan/desa itu hanyalah tanah yang jelas digunakan oleh rakyat sebagai tempat tinggal atau diusahakan untuk mengusahakan tanaman pangan. Untuk Desa atau Kalurahan memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengatur penggunaan tanah yang menjadi wewenang dan kekuasaannya seperti menyewakan atau adol sewa, memindahkan untuk digunakan secara turun-temurun (erfelijk gebruiksrecht), memindahkan sementara hak atas tanah (tijdelijke vervreemding). Berdasasarkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954, administrasi pertanahan desa-desa di Daerah Isimewa Yogyakarta terdata dan tercatat dalam suatu pencatatan (registrasi).

Pada Tahun

terjadi

Kebijakan pengelolaan pertanahan yang berhubungan dengan keberadaan lembaga Kewedanaan Hageng Punokawan

Wahono Sarto Kriyo , yaitu sebuah Kepala Lembaga Tata Pemerintahan Keraton berdasarkan Surat Keputusan Kawedanan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo Nomor 29 dan Nomor K/81, yang menetapkan kebijakan atas tanah-tanah Keraton Yogyakarta (Sultan Ground dan Crown Domain. Guna penyesuaian dengan ketentuan hukum nasional (UUPA). Tugas dan kewenangan lembaga tersebut adalah mengikat perjanjian dengan subyek hak atas tanah kasultanan dengan perjanjian (kekancingan) dan permohonan hak atas tanah adat untuk:

1. Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah Kasultanan dengan jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang.

2. Hak Pakai (HP) adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah Kasultanan yang member wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian antara Kasultanan dengan yang berkepentingan dengan jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.

3. Hak Ngindung adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan atau yang menempati/menggunakan tanah tanah Kasultanan dengan membuat suatu perjanjian antara Kasultanan dengan yang berkepentingan dengan jangka waktu yang disetujui bersama.

4. Hak Magersari adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan sebagai penghuni tanah Kasultanan dan yang antara penghuni tanah tersebut ada ikatan/terdapat ikatan 4. Hak Magersari adalah hak yang diberikan kepada yang berkepentingan sebagai penghuni tanah Kasultanan dan yang antara penghuni tanah tersebut ada ikatan/terdapat ikatan

Saat ini berdasarkan hasil inventarisasi data luas tanah kasultanan (CD dan SG) dan tanah pakualaman (PAG) oleh Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 19.441,55 hektar (6,36%) dan yang sudah diserah kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota seluas 13.010,68 hektar (4,26%), sehingga saat ini masih tersisa 6.430,87 hektar (2,10%) dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan memberikan konstribusi penggunaan dan pemanfaatan (garapan) tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground terhadap tingkat penghasilan masyarakat penggarap di Daerah Istimewa Yogyakarta secara ekonomi sebesar 20,85% dari penghasilan masing-masing penggarap dalam setahun.

Pada saat diberlakukannya UUPA tanggal 1 April 1984 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 dalam Penjelasan Pasal 11 huruf

c PP tersebut disebutkan bahwa yang dimaksudkan "tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara sebagai dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA" adalah selain domein swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya UUPA menjadi hapus dan beralih kepada Negara, juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja, yaitu baik yang diusahakan c PP tersebut disebutkan bahwa yang dimaksudkan "tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada Negara sebagai dimaksud dalam Diktum Keempat huruf A UUPA" adalah selain domein swapraja dan bekas swapraja yang dengan berlakunya UUPA menjadi hapus dan beralih kepada Negara, juga tanah-tanah yang benar-benar dimiliki oleh swapraja, yaitu baik yang diusahakan

PP sebagai peraturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud belum pernah diterbitkan oleh Pemerintah, akibatnya adalah terjadi kekosongan hukum sehingga menimbulkan masalah kepentingan antara masyarakat penggarap SG dan PAG, Pemda Prov/Kab/Kota dengan pihak Keraton Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dalam mengelola dan memanfaatkan tanah- tanah CD, SG dan PAG yang sampai saat ini belum mempunyai status hukum yang jelas dalam hukum tanah nasional.

Bentuk dan konstruksi hukum mengenai agraria atau pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta telah lebih dahulu ada sebelum UUPA diterbitkan, bahkan jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, yaitu dengan sistem Pranata Patuh (1863), perubahan Politik Agraria Tahun 1918 dengan Riksblad Rijksblad Kasultanan 1918 Nomor 16 dan Rijksblad Pakualaman Nomor 18, perubahan pola penguasaan tanah tahaun 1925 dengan dikeluarkan Rijksblad Kasultanan Tahun 1925 Nomor 23 dan Rijksblad Pakualaman Tahun 1925 Nomor 25, dan yang terakhir diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 1954 tentang sistem administrasi pertanahan di Kalurahan/Desa. Dengan pengalaman sejarah dan hukum mengenai pertanahan tersebut, telah terjadi ketertiban penguasaan, pemilkan penggunaan,

administrasi dalam bidang pertanahan sampai ke tingkat kalurahan/desa sejak lama, sehingga sampai saat ini masih dapat diidentifikasi riwayat penguasaan,

pemanfaatan,

dan dan

Tanah-tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground yang dahulu merupakan tanah-tanah marginal (tandus, gersang, berpasir dan hutan belukar) yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Dengan pertambahan penduduk, keterbatasan

tanah, perkembangan teknologi dan sebagai daerah tujuan wisata, maka nilai ekonomis tanah SG dan PAG semakin tinggi sehingga diperlukan kepastian hukum untuk penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Hal ini berkaitan dengan ketidakjelasan penguasaan tanah SG dan PAG oleh para penggarap, dilain pihak Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman sebagai subyek hak atas tanah yang secara umum diakui oleh masyarakat sebagai pemilik tanah Tanah Kasultanan (Sultan Ground), Tanah Pakulaman (Pakualaman Ground) dan Tanah Mahkota (Crown Domain).

Bentuk sinkronisasi pengaturan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah bekas swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam sistem hukum agraria nasional dan Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, diperlukan pendekatan hukum tanah nasional melalui konversi hak-hak adat atas tanah yang ada Daerah Istimewa Yogyakarta dengan hak-hak atas tanah yang ada di UUPA, dengan cara memilah-milah sebagai berikut:

1. Konversi Hak Anggaduh menjadi Hak Milik

2. Konversi Hak Andarbe Desa/Kalurahan menjadi Hak Pakai

3. Konversi Hak Magersari/Ngindung dengan Hak Sewa, dsb

4. Dalam hal penetapan subyek hak untuk Tanah Kasultanan (SG)

dan Pakualaman (PAG), sebaiknya Keraton Kasultanan dan Pura Pakualaman dapat ditetapkan sebagai subyek Hak Pengelolaan, yaitu hak yang mengatur peruntukkan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Dengan pemberlakuan hukum tersebut (daerah bekas swapraja) dan dapat diantisipasi dengan ketentuan:

a. Mempunyai obyek hak (Sultan Ground, Pakulaman Ground dan Crown Domain) yang jelas statusnya melalui pengakuan (de facto) dari masyarakat yang berbatasan.

b. Masih diakuinya (eksis) lembaga Keraton Kasultanan/Puro Pakualaman (bekas swapraja) yang ditandai pula dengan pengakuan secara nyata dari masyarakat dan Pemerintah Daerah.