Menjamin Kepastian Hukum Atas Tanah Kasu

PAKUALAMAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TIM PENYUSUN

Cetakan I, Januari 2013

Penulis : Munsyarief Editor

: Ronni M. Guritno (KRT Purwowinoto) Desain Sampul : Tri Rahayu

Copyright@ All right reserved

Diterbitkan oleh Penerbit Ombak CV Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B -15 Yogyakarta, Indonesia 55292, Sleman, Yogyakarta.

Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT) Munsyarief

MENUJU KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH: KASULTANAN DAN PAKUALAMAN DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Cetakan I-Yogyakarta: Penerbit Ombak CV, 2013 ix+95 hlm; 14,8 x 21 cm

)SBN …………………… )SBN ……………………

Penulisan buku

ini

bertujuan

Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta terutama pada pasal 7 ayat (2) huruf d dan khususnya pasal 32 dan pasl 33 yaitu tentang kewenangan istimewa dalam pertanahan, diharapkan tindak lanjut kebijakan Peraturan Daerah Istimewa yang akan diterbitkan tentang tanah Kraton Kasultanan dan Kadipaten Pakulaman dapat disinkronkan dengan Hukum Tanah Nasional, sehingga mampu menjawab kekosongan hukum dalam menetapkan subyek dan obyek hak atas tanah bekas Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.

Penulis

ii

iii

UUPA diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta pada Tahun 1984, tetapi dalam pangaturan penguasaan tanah hanya diatur beberapa konversi perorangan bekas hak adat menjadi hak milik saja sedangkan untuk Tanah Lembaga Keraton Kasultanan (SG dan CD) dan tanah Lembaga Kadipaten Pakualaman (PAG) belum diterapkan konversinya dalam sistem hukum tanah nasional, dikarenakan ketentuan UUPA khususnya Diktum Keempat huruf A tidak dapat diberlakukan untuk tanah dimaksud dan peraturan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada Diktum Keempat huruf B sampai saat ini belum diterbitkan.

Dari kajian histori yuridis dan administrasi pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tanah-tanah adat terdata dan tercatat dalam suatu pencatatan (registrasi) di desa atau kelurahan dengan Model A, B, C, D, dan E. sedangkan untuk Keraton kasultanan dikelola lembaga Kewedanaan Hageng Punokawan Wahono Sarto Kriyo , yaitu sebuah Lembaga Tata Pemerintahan Keraton yang menangani pertanahan dan Panitia 7 Puro Pakualaman untuk tanah-tanah Puro Pakualaman.

Berdasarkan hasil inventarisasi data luas tanah Kasultanan (Sultan Ground dan Crown Domain) dan tanah Pakualaman (Pakualaman Ground) adalah 6.430,87 hektar 2,1% dari luas Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, oleh karena itu diperlukan sinkronisasi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan UUPA, , dengan cara memilah- milah subyek dan obyek hak atas tanah.

Kata Kunci: Crown Domain, Sultan Ground, Pakualaman Ground

iv

DAFTAR TABEL

TABEL 1 PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH-TANAH BEKAS SWAPRAJA HASIL IDENTIFIKASI DAN PENGUKURAN DI DERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 44

TABEL 2 NILAI EKONOMIS PEMANFAATAN TANAH-TANAH KASULTANAN

GROUND) DAN PAKUALAMAN (PAKUALAMAN GROUND) OLEH

(SULTAN

MASYARAKAT PENGGARAP .................................................... 69

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 . BAGAN MENUJU KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH KASULTANAN DAN PAKULAMAN ................ 8

GAMBAR 2. PETIKAN SOKO REGISTER, BAB WEWENANG HANDARBE BUMI NGIRAS LAYANG UKURAN ....... 49

GAMBAR 3 PETIKAN SOKO WEWENANG HANDARBE BUMI NGIRAS LAYANG UKURAN ................................................. 49

GAMBAR 4

BAGAN KECAMATAN JETIS KOTA YOGYAKARTA 50

GAMBAR 5 IDENTIFIKASI PENETAPAN STATUS TANAH CHINA

TEMPLE

(KLENTENG) DI KOTA

YOGYAKARTA ........................................................................... 73

vi

Pendahuluan

Secara konseptual, kebijakan pengaturan penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah yang ditetapkan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), merupakan pengembangan dari kehendak politik sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 133 ayat (3) UUD 1945 yang kemudian dikembangkan ke dalam Pasal 11 UUPA (dengan menambahkan "ruang angkasa") dan menjadi landasan kebijakan agraria/pertanahan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasal 11 UUPA, menyatakan bahwa: "bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 9 Tahun 1955 dan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012, masih mendapatkan kewenangan dalam bidang agraria/pertanahan. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Kraton Kasultanan Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman terhadap wilayah dan pemerintahan yang telah ada sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kedudukan dan keberadaaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Daerah Istimewa tetap diakui dan dihormati secara hukum berdasarkan Pasal 118 B ayat (1) UUD 1945.

Dalam pengaturan penguasaan atas tanah-tanah di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1984 juncto Peraturan Mendagri Nomor 66 Tahun 1984, UUPA diberlakukan secara penuh di Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi dalam pangaturan penguasaan tanah hanya diatur beberapa konversi perorangan bekas hak adat menjadi hak milik saja sedangkan untuk Tanah Lembaga Keraton Kasultanan (Sultan Ground) atau SG dan tanah Lembaga Kadipaten Pakualaman

(Paku Alam Ground) atau PAG 1 belum diterapkan konversinya

dalam sistem hukum tanah nasional.

Pengelolaan pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta, telah terjadi pandangan/persepsi yang berbeda terhadap Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, tetapi saat ini dengan diterbitkannya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan

1 Masyarakat pada awalnya meyakini bahwa tanah adalah milik Sultan walaupun secara fisik penguasaannya oleh masyarakat (masyarakat diluar Kotapraja

Yogyakarta hanya di beri Hak Anganggo atau Hak Pakai Turun-temurun atau Erfelijk Individueel Gebriksrecht), dalam perkembangannya masyarakat dapat diberikan Hak Milik Atas Tanah (setelah Reorganisasi Tanah oleh Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman Tahun 1912), dan bagi yang tidak dapat membuktikan kepemilikannya oleh seseorang maka menjadi milik Sultan (Sultan Ground) atau Pakualaman (Pakualaman Ground). Biasanya tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan pemilikannya merupakan tanah-tanah yang berpasir, berbatu, lereng-lereng terjal, pangonan, oro-oro, tanah timbul (wedi kengser), dan lainnya yang tidak mempunyai nilai ekonomis bila dimanfaatkan. I Made Sandy, kaitannya dengan pemanfaa tan tanah ini menjelaskan, Bahwa rakyat sudah mulai memanfaatkan tanah yang atau tadinya merupakan tanah

kosong atau tanah pangonan . Gerakan Kearah Tanah Marginal Telah Dimulai, Publikasi Tata Guna Tanah Nomor 27 Tahun 1970, Jakarta. Hal. 11. Karena jumlah

tanah yang baik habis terpakai, sedangkan jumlah manusia bertambah, akhirnya sebagian daripada manusia itu akan terpaksa mengolah tanah yang kualitasnya lebih rendah, yang dalam keadaan tanah cukup, tidak akan dijamah. Rakyat terpaksa mempergunakan tanah- tanah marginal dengan segala akibat-akibat yang bisa timbul kemudian. Tanah Kritis Sehubungan Dengan Tanah Pertanian. Publikasi Tata Guna Tanah Nomor 2 Tahun 1975. h.2.

Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan asumsi bahwa: substansi Pasal 14 Undang Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana status tanah Sultan Ground dan Pakualaman Ground dan hak-hak adat yang ada masih diberlakukan ketentuan khusus terlebih dalam Pasal 7 (1) Kewenangan DIY sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan Pemerintahan Daerah DIY sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah dan urusan Keistimewaan yang ditetapkan dalam huruf d. yaitu mencakup bidang pertanahan.

Permasalahan utama selama ini tanah-tanah Swapraja atau Bekas-Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta, pada waktu mulai berlakunya UUPA yang seharusnya beralih kepada Negara tidak dapat diberlakukan, karena aturan pelaksana sebagaimana dimaksud pada Diktum Keempat huruf B UUPA sampai saat ini belum

diterbitkan 2 . Dengan demikian, tanah-tanah SG dan PAG yang dahulu merupakan bagian dari Bekas Swapraja di Daerah Istimewa Yogyakarta masih berlaku ketentuan Rijkblad Kasultanan Tahun 1821 Nomor 16 dan Rijkblad Puro Pakualaman Tahun 1821 Nomor 18, sehingga status tanahnya tidak beralih kepada Negara, dikarenakan ketentuan UUPA khususnya Diktum Keempat huruf A tidak dapat diberlakukan untuk tanah dimaksud.

2 Hak Atas Tanah Keraton Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Makalah Rapat Koordinasi Persiapan Inventarisasi dan Sertipikasi Tanah Eks

Swapraja, Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 11 April 2000. Hal. 4.

Aspek penguasaan tanah di Indonesia adalah bagian utama politik agraria dari satu masa ke masa pemerintahan, dimana tanah selalu dijadikan alat politik bagi pihak penguasa. Dari tinjauan historis terlihat bahwa mulai dari zaman kerajaan sampai dengan Orde Baru, penguasaan sumber daya tanah oleh pemerintah telah menjadikan

posisi subordinat dan ketergantungan. Hal ini disebabkan karena pemerintahlah yang memegang hak penguasaan tanah, sedangkan petani menjadi penggarap. Petani belum diberi hak penguasaan yang secukupnya agar dapat menjadi pengelola penuh dalam usahataninya. Struktur sosial masyarakat pedesaan juga berubah mengikuti perubahan pola penguasaan tanah tersebut, karena bagi komunitas agraris tanah adalah sumber daya utama kehidupannya. Bagi petani, tanah merupakan

sumber produksi dalam menyumbang tingkat kesejahteraan mereka, walaupun saat ini tanah-tanah Kasultanan dan Pakualaman yang sebelumnya merupakan tanah-tanah marginal, saat ini telah digarap oleh masyarakat, yang secara ekonomis dapat memberikan manfaat, tetapi walaupun masih dipenuhi oleh persoalan terkait dengan berbagai aspek sosial dan ekonomi yang berkaitan erat dengan kemiskinan, ketimpangan pendapatan, alokasi sumberdaya tanah (the value of land) yang semestinya berkontribusi untuk kesejahteraan manusia (human welfare), tetapi tidak dapat optimal pemanfaatannya.

Dengan latar belakang permasalahan tersebut diperlukan suatu sinkronisasi dalam menyusunan kebijakan yang berkaitan dengan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah-tanah Sultan Ground (SG) dan Pakualaman

Ground (PAG) dengan pola pendekatan historis, yuridis, sosiologis, ekonomi dan politik, sehingga tidak menimbulkan permasalahan dimasa yang akan datang.

Identifikasi permasalahan utama tentang bagaimana pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dahulu dan saat ini di Daerah Istimewa Yogyakarta serta mensinkronkan pengaturan penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sehingga dengan harapan dapat mengetahui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dahulu dan saat ini dan mensinkronkan pengaturan penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

1. Pengelolaan Pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta

Pengelolaan Pertanahan adalah suatu kegiatan penegakan hukum pertanahan yang adil dan transparan untuk meningkatkan kepastian hukum hak atas tanah kepada masyarakat melalui sinkronisasi perundangan pertanahan, penyelesaian konflik dan pengembangan budaya hukum serta penataan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berkeadilan, berkelanjutan, dan menjunjung supremasi hukum.

Hukum Agraria/Tanah Nasional dalam arti luas merupakan suatu kelompok berbagai hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam yang meliputi:

a. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi; a. Hukum pertanahan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi;

c. Hukum pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang dimaksudkan oleh undang-undang pokok pertambangan;

d. Hukum perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air;

e. Hukum kehutanan, yang mengatur hak-hak atas penguasaan atas hutan dan hasil hutan;

f. Hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa (bukan space law), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

g. Sedangkan pengertian hukum agraria dalam arti sempit, hanya mencakup Hukum Pertanahan, yaitu bidang hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah.

Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyelerasian, proses pengaturan jalannya beberapa proses pada saat yang bersamaan. Dalam hal ini sinkronisasi yang dimaksud adalah penyelarasan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan disusun dalam rangka mengatur suatu bidang tertentu sehingga pengaturan Tanah dalam proses menentukan penguasaan, pemilikan dan penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai sumber daya alam secara berkelanjutan.

Tanah Bekas Swaparaja adalah tanah yang dimilki oleh atau ada karena persekutuan hukum teritorial Indonesia asli dengan yang dimiliki Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang selanjutnya disebut Kasultanan dan Pakualaman Pakulaman yang merupakan warisan budaya bangsa yang ditetapkan sebagai Badan Hukum (Pasal 32 ayat (1)). Kasultanan yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dan Kadipatenan yang dipimpin oleh Adipati Paku Alam merupakan subyek hak milik atas tanah (Pasal 32 ayat (2)) Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012) yang pengelolaan dan pemanfaatannya ditujukan untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.

Keraton Kasultanan adalah seluruh struktur kekuasaan politik, budaya, dan sosial, dan otoritas kewilayahannya di Yogyakarta, yang keberadaannya telah ada sebelum negara Republik Indonesia lahir, dan yang hingga saat ini masih eksis dengan segenap otoritas kekuasaannya tersebut, baik langsung maupun tidak langsung sedangkan Kadipaten Pakualaman adalah daerah Perdikan di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dibangun pada tanggal

22 Juni 1812. Raja pertamanya yaitu Pangeran Natakusuma (Putera Hamengku Buwono) dan bergelar K.G.P.A.A Paku Alam I. Wilayah yang termasuk Kadipaten Pakualaman terpecah-pecah antara lain di Pajang, Bagelan, sebagian di pusat Kota Yogyakarta (Istana Pakualaman) juga ada di wilayah Kulon Progo (yaitu antara Sungai Progo dan Sungai Bogowonto). Wilayah yang berada di wilayah Kulon Progo dulu pernah menjadi kabupaten tersendiri yaitu Kabupaten Adikarta, namun sekarang sudah digabung dengan wilayah

Kabupaten Kulon Progo yang menjadi bagian dari pemerintahan Yogyakarta.

2. Model Sinkronisasi Pengelolaan Tanah Kasultanan dan Pakualaman di Daerah Istimewa Yogyakarta

Gambar 1. Bagan Menuju Kepastian Hukum Atas Tanah

Kasultanan dan Pakulaman

Undang-Undang No. 13 Tahun 2012

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Lain-lain P P E N G E L O L A A N P E

D IY

PENGATURAN PENGUASAAN PEMILIKAN TANAH DI DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

ASPEK YURIDIS, HISTORIS DAN POLITIK

Tanah Sudah Terdaftar

Tanah Kas

Desa

Sutan Ground

Pakualaman

Ground

KEPASTIAN HUKUM ATAS TANAH KASULTANAN DAN KADIPATEN DAERAH

ISTIMEWA YOGYAKARTA

Tanah Adat/ Negara Belum Terdaftar

Lembaga Badan Pertanahan Nasional Prov/Kabupaten/Kota

Lembaga Kasultanan dan Pakulaman

Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten/Kota

Tinjauan Hukum Tanah Nasional Dalam Rangka Sinkronisasi dengan Keistimewaan Yogyakarta dalam Bidang Pertanahan

Hukum agraria yang berlaku sekarang ini adalah azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokoknya terdapat dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria, yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku mulai tanggal 24 September 1960. Yang dimaksud dengan hukum tanah adalah bidang hukum yang mengatur hak-hakpenguasan atas tanah, yang dalam bahas Inggris disebut Land Tenure. Adapun yang dimaksud dengan tanah (dalam artian yuridis) adalah permukaan bumi, yang terdiri atas satuan- satuan (persil, parcel, atau bidang) berdimensi dua dengan ukuran meter persegi (panjang, lebar, luas), karena tanah yang dihaki adalah untuk digunakan yang tidak mungkin penggunaan itu hanya meliputi permukaan saja, tetapi juga memerlukan sebagian ruang yang ada di tubuh bumi.

Berbicara hukum pertanahan/agraria tidak akan lepas dari pendaftaran tanah, dimana sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah atau lebih dikenal dengan Kadaster Recht istilah ini telah dipakai oleh Gouw

Giok Siong dan Nyonya Soekahar Badwi 3 , Boedi Harsono 4 , dan

3 Gouw Giok Siong/Soekahar Badwi SH., Tafsir Undang-Undang Pokok Agraria, 1963, cet.2,h.38-39 4 Mr. Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria, 1961, h.158.

Soedargo 5 dalam arti pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria. Kadaster menurut Schermerhorn dan Van Steeinis 6 dalam bukunya Hermanses yang tidak dipublikasikan (Pendaftaran tanah di Indonesia, Diktat Kulian Akademi Agraria Yogyakarta, 1990) adalah sebagai

untuk meregister dan mengaministrasi keadaan hukum dari semua benda tetap dalam daerah tertentu termasuk semua perubahan-perubahan yang terjadi dalam keadaan hukum itu. (het kadaster is een ever heiddsinstelling ter registrastie on administrasi van de rechtsteestand van alle weizigeingen, die heirin in deleep der tijeen voorkomen).

suatu badan

pemerintah

Politik hukum pertanahan pada zaman penjajahan kolonial Belanda dengan azas Domein dan Agrarisch Wetnya, dimana siapa yang tidak dapat membuktikan tanah dengan tanda haknya dianggap tanah milik negara. Sehingga jelas bahwa hanya tanah-

tanah yang sudah didaftarkan akan diberikan tanda bukti hak 7 . Hak-hak penguasaan atas tanah dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960, memberikan kewenangan kepada Negara untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki, yaitu:

a. hak menguasai dari negara misalnya memberi kewenangan untuk berbuat hal-hal yang disebut dalam pasal 2 UUPA;

5 Mr. Soedargo, Perundag-Undangan Agraria Indonesia, 1962 judul Bab XX. 6 W Schermerhorn dan HJ Van Steeinis, Leer Boek der Landmet Kunde, cet.2, 1946.h.436 7 Tanda bukti hak atas tanah, untuk yang tunduk pada hukum golongan eropa/barat dengan hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal dan untk yang

tunduk pada hukum adat dengan diberikan seperti hak yasan, hak andarbeni dan hak tanah-tanah dengan hak-hak adat lainnya di Indonesia.

b. hak-hak atas tanah semuanya memberi kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki, seperti yang disebut dalam pasal 4 UUPA;

c. hak jaminan atas tanah memberi kewenangan kepada kreditur untuk menjual lelang tanah yang dijadikan jaminan untuk pelunasan piutang yang dijamin, jika debitur cidera janji, dengan mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain.

Hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah Nasional adalah: Hak Bangsa (pasal1), hak menguasai dari negara (pasal 2), hak ulayat masyarakat hukum adat (pasal 3), hak- hak atas tanah (pasal 4, 16 dan lain-lainnya) dan hak jaminan atas tanah (pasal 51). Hak-hak penguasaan atas tanah tersebut pengaturannya dalam hukum pertanahan dapat berupa wujud penampilan hak-hak atas tanah, yaitu: lembaga hukum, kalau belum dihubungkan dengan subyek dan obyek tertentu, dan hubungan hukum, kalau sudah dihubungkan dengan subyek tertentu sebagai pemegang haknya dan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya.

Dengan berpangkal pada adanya wujud-wujud penampilan hak-hak penguasaan atas tanah itu maka peraturan-peraturan hukum pertanahan/agraria tersusun sebagai suatu sistem dengan sistematika yang khas, yang membedakannya dengan sistem bidang hukum yang lain, sehingga dalam hukum pertanahan/agraria kita jumpai:

1. Kelompok peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, yaitu yang menetapkan dan yang mengatur macam-macam hak penguasaan 1. Kelompok peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, yaitu yang menetapkan dan yang mengatur macam-macam hak penguasaan

2. Kelompok peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum, yaitu yang mengatur hal-hal terjadinya suatu hak, hal-hal mengenai pembebanannya dengan hak-hak lain, hal-hal mengenai

beralihnya hak kepada subyek lain 8 , hal-hal mengenai hapusnya hak; dan hal-hal mengenai pembuktiannya. 9

Dalam hukum negara yang menggunakan azas accessie atau perlekatan dimana bangunan, tanaman yang berada diatas tanah serta kandungan mineral yang berada di dalam tanah merupakan bagian dari tanah, Sehingga perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah dengan sendirinya meliputi juga bangunan, tanaman yang berada di atas tanah serta kandungan mineral yang berada di dalam tanah ataukah apa yang disebut azas pemisahan horizontal dimana hukum tanahnya terpisah dengan benda-benda yang berada di atas

8 Menentukan hukum yang berlaku dalam kegiatan memperoleh tanah karena jual beli, kalau pihak baru sampai pada kesepakatan bahwa pemilik tanah bersedia menjual tanah miliknya dan pihak yang memerlukan tanah bersedia membelinya

dengan harga yang disetujui, maka perbuatan hukum tersebut walaupun mengenai

hukum yang diatur hukum pertanahan/agraria tetapi termasuk dalam hukum perjanjian (yang hingga kini masih dualistik). Tetapi jika sudah sampai pada perbuatan hukum pemindahan haknya, pengaturannya termasuk bidang hukum pertanahan/agraria. 9 Peralihan hak karena pewarisan tanpa wasiat atau memperoleh hak karena perkawinan peraturan hukumnya termasuk hukum waris dan hukum perkawinan, karena tidak berbeda hukumnya jika mengenai terjadinya peralihan dan perolehan hak atas tanah yang bersangkutan peraturan hukumnya termasuk hukum pertanahan.

tanah bukanlah

perbuatan perbuatan

tas tanah dan kandungan mineral yang berada di dalam tanah 10 .

Guna menghadapi tantangan di masa yang akan datang yang keadaan dan suasanya yang jauh berbeda, sehubungan dengan makin kuatnya pengaruh dan tekanan semangat ekonomi yang indivindualistik dan kapitalistik, yang mulai nampak melanda dunia dewasa ini. sehubungan dengan itu diperlukan perangkat hukum pertanahan/agraria yang pada satu pihak mampu memberikan dukungan dan bagi keberhasilan penyelenggaran pembangunan nasional dan mampu memberikan perlindungan bagi kepentingan dalam arus globalisasi yang tidak akan mungkin dihindari.

Pendekatan sejarah (history approuch) hukum pertanahan/ agraria secara nasional baik sebelum kemerdekaan (penjajahan) sampai tanggal 17 Agustus 1945 yaitu mulai merdekanya Bangsa Indonesia, antara tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan tanggal

24 September 1960 yaitu mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, dan antara tanggal 24 September 1960 sampai dengan saat ini.

Sejarah perkembangan hukum pertanahan/agraria di Indonesia sebelum kemerdekaan, Van Huls 11 membagi tiga periode,

10 Hukum pertanahan yang bersumber pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (pasal 500) dan hukum pertanahan di Singapura (pasal 4 Land Tittle Act 1970) misalnya menggunakan azas accessie. Hukum pertanahan adat menggunakan

azas pemisahan horizontal. Dengan demikian juga hukum pertanahan/agraria (UUPA) yang berlaku hingga sekarang yang didasarkan pada hukum adat.

11 Mr. C.G van Huls, Uitbreining van de Taak van de Diesnt van het Kadaster, 1952.h.60.

Pertama, Periode Pra Kadaster (1602-1837), periode Kadaster Lama (1837-1875) dan periode Kadaster Baru (setelah tahun 1875). Pada perioede pra kadaster, dasar dari pendaftaran hak atas tanah di Indonesia, dasar hukum dari pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah adalah Nedherlandsch Indisch Plaakatboek (Buku Maklumat (india Belanda yang dikeluarkan pada jaman Vecenigde Oost-Indisch Compagnie (VOC) Persekutuan Dagang Kompeni Hindia Timur) yang didirikan pada tahun 1602, VOC selain menerima hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari pemerintah di Negeri Belanda (Staten Generaal) juga menerima pula hak menjalankan kekuasaan kedaulatan di daerah yang dikuasainya dengan kekuatan senjata. Kedua, Periode Kadaster Lama (1837-1875), periode ini dikeluarkannya keputusan Gubernur

(Gouverneur General Nedherlands-Indie) Staatblats 1837 Nomor 3 (S.1837. Nomor 3) tanggal 18 Januari 1837 yang menetapkan suatu instruksi bagi ahli ukur (Gouvernements Landmeters) di Jakarta, Semarang dan Surabaya sebagai awal pelaksanaan kadaster yang lebih terperinci sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan kadaster dalam arti modern dan Ketiga, Periode Kadaster Baru (1875-1960), periode ini dikeluarkannya peraturan untuk penyusunan kadaster baru diantaranya: Staatblats 1875 Nomor 183 juncto Staatblats 1879 Nomor 164) tentang Alagemene Voorschriffen de Kadasterale Metingen in Ned-Indie (ketentuan-ketentuan umum mengenai pengukuran-pengukuran kadaster di Indonesai).

Hukum pertanahan/agraria yang berlaku sebelum tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai kebhinekaan struktur perangkat hukum Hukum pertanahan/agraria yang berlaku sebelum tanggal 17 Agustus 1945 mempunyai kebhinekaan struktur perangkat hukum

1. Kewenangan Mengatur Atas Tanah

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Amanat ini merupakan politik negara untuk memakmurkan Rakyat Indonesia yang bersumber dari sumber daya agraria yang harus menjadi komitmen seluruh komponen bangsa baik Pemerintah maupun legislatif dan yudikatif (Pemerintahan). Untuk mencapai dan mewujudkan amanat tersebut, maka disusunlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang Undang Pokok Agraria) dan peraturan lainnya yang berhubungan dengan pertanahan. UUPA merupakan alat yang penting untuk mewujudkan amanat tersebut dalam rangka membangun masyarakat yang adil dan makmur. UUPA, merupakan politik negara untuk melaksanakan amanat pasal 33 ayat (3) dalam bentuk penetapan kebijakan dan pengaturan

negara dan

dipergunakan dipergunakan

Konsiderans UUPA menyatakan bahwa negara wajib untuk: (1) mengatur pemilikan tanah dan (2) memimpin penggunaannya, sehingga semua tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kewajiban tersebut telah dijabarkan dalam pasal-pasal UUPA. Isi dari.pasal-pasal UUPA tersebut adalah filosofi politik pertanahan/keagrariaan pada pasal 1 sampai dengan 15 dan operasionalnya pada pasal 16 sampai dengan 49.

Hak menguasai dari Negara atas tanah dinyatakan dalam pasal 2 ayat 1 UUPA, yaitu memberi wewenang kepada Negara untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang-angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Upaya untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya telah ditetapkan dalam berbagai kebijakan pertanahan, namun sampai saat ini amanat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat belum dapat dicapai sebagaimana yang diharapkan.

2. Pengaturan Hubungan Hukum Atas Tanah Sebelum UUPA

Sejarah pengaturan macam-macam hak penguasaan atas tanah di Indonesia yang ada dalam hukum pertanahan/agraria yang 3 (perangkat) hukum tanah. Ketiga perangkat hukum tersebut mempunyai kebhinekaan sruktur perangkat hukum yang berlaku bersamaan, masing-masing mengenai kelompok tanah-tanah yang memperoleh status yang berbeda. Kelompok peraturan-peraturan

hukum

yang

mengatur hak-hak

penguasaan atas tanah sebagai lembaga hukum, yaitu yang menetapkan dan yang mengatur macam-macam hak penguasaan atas tanah yang ada dalam hukum pertanahan/agraria yang bersumber dari;

Pertama, yang bersumber pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), lebih dikenal dengan macam- macam hak hak eropa atau hak barat seperti hak eigendom, hak erfpacht, dan hak opstal yang semuanya didaftar dengan tanda bukti hak.

Kedua, hukum dari Bekas Swapraja, lebih dikenal dengan hak-hak bekas kerajaan dan untuk tiap-tiap daerah mempunyai nama yang berbeda-beda seperti: Bekas Swapraja di Banyumas, Madiun dan Kediri dengan nama desa-desa perdikan , di Yogyakarta (Risjksblad Kasultanan Tahun 1926 Nomor 13) dan Solo (Rijksblad Kesunanan Tahun 1938 Nomor 14) dengan hak- hak konversi , di Medan Peraturan Gemeente/Kotapraja Medan) dengan hak grant sultan bagi tanah-tanah bekas Sultan Delli, Kutai Penguasaan atas tanah diatur dalam peraturan Kedua, hukum dari Bekas Swapraja, lebih dikenal dengan hak-hak bekas kerajaan dan untuk tiap-tiap daerah mempunyai nama yang berbeda-beda seperti: Bekas Swapraja di Banyumas, Madiun dan Kediri dengan nama desa-desa perdikan , di Yogyakarta (Risjksblad Kasultanan Tahun 1926 Nomor 13) dan Solo (Rijksblad Kesunanan Tahun 1938 Nomor 14) dengan hak- hak konversi , di Medan Peraturan Gemeente/Kotapraja Medan) dengan hak grant sultan bagi tanah-tanah bekas Sultan Delli, Kutai Penguasaan atas tanah diatur dalam peraturan

dengan pemberian hak Pengoempoean , Limpah Kemoerahan , dan lain-lain, dan

Ketiga, hukum pertanahan/agraria adat, dimana

konsepsinya didasarkan atas kuatnya hubungan bathin dengan sumber daya tanah dan alamnya sebagai hak milik (Boedi Harsono, 1999) yang meletakan hukum adat sebagai sumber utamanya, mengandung rumusan dan mempuyai ciri-ciri landasan komunalistik religus , memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung kebersamaan;

Hubungan manusia dalam kelompok masyarakat adat dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya berupa hubungan hukum yang dikuasai dengan hak milik, karena di dalamnya terkandung semua sistem nilai yang meliputi berbagai aspek politik, ekonomi, sosisal

budaya, kesehatan dan religi 12 . Menurut hukum adat, hak milik

atas tanah terdiri dari dua jenis: (1) hak milik perseorangan dan (2) hak milik bersama atau hak milik persekutuan hukum dimana para anggotanya yang dapat bebas exploit any virgin land, yaitu boleh mengerjakan tanah yang belum dijamah oleh

12 Gunawan Wiradi, Noer Fauzi, Kharisna Ghimire, Epilog 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria 12 Gunawan Wiradi, Noer Fauzi, Kharisna Ghimire, Epilog 2001. Prinsip-prinsip Reforma Agraria

Persekutuan hukum adat tetap mempunyai hak pengawasan

lands; persekutuan bertanggung jawab dalam hal unaccountable delict within the area (misalnya yang bersalah tidak diketahui atau tidak dapat ditangkap); hak ulayat can not be permanently alienated atau tidak dapat dilepaskan untuk selama-lamanya.

terhadap

cultivated

Pengaturan hal-hal mengenai penetapan pemegang hak atas tanah sebelum UUPA adalah hukum perdata, untuk subyek hak dari hak-hak eropa atau hak-hak barat dan golongan tertentu dengan sistem pendaftaran hak yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata dengan sistem negatif 13 ,

sedangkan dalam hal peralihan hak atas tanah mengenal dua macam azas yaitu azas memo plusjuris dan azas itikad baik, dimana azas memo plusjuris adalah azas dalam pengalihan hak yang berasal dari Hukum Romawi, menurut azas ini orang tidak dapat mengalihkan hak yang melebihi hak yang ada padanya

13 Mr. H.E.A. Volmar, Inleiding tot de studie van het Nedherlands Bergerlijk Recht, cet.2, 1950, h.175

(memo plujuris um transfer potest qua ipse habed). Tujuan dari azas memo plusjuris adalah melindungi pemegang hak yang sebenarnya terhadap tindakan orang lain yang mengalihkan haknya tanpa sepengetahuannya. Berhubung dengan itu, dinegara-negara dimana berlaku azas tersebut hanya dapat diselenggarakan sistem pendaftaran hak yang negatif.

3. Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional

Sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) berlaku di Indonesia berlaku 3 (perangkat) hukum tanah. Mengingat bahwa UUPA atau Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 disusun dan diundangkan dalam rangka mengadakan unifikasi hukum tanah, maka pasal-pasal yang mengandung penerapan asas Accersie harus dianggap sebagai tidak berlaku lagi.

Bahkan Hasni 14 menyatakan secara tegas, dalam kesimpulannya

yang menyatakan bahwa yang dipergunakan dalam hukum tanah kita yang berlaku sekarang ini adalah asas hukum adat, yaitu: 1) bahwa pada asasnya, ada pemisahan antara tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya (asas pemisahan horizontal), yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap tanah tidak sendirinya berlaku juga terhadap bangunan yang berdiri di atasnya. Tanah tunduk pada hukum tanah , sedangkan

pengaturan soal bangunan termasuk hukum perutangan. 2) bahwa kepemilikan atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi

14 Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam konstek UUPA- UUPR-UUPLH, Jakarta, Rajawali Pers, 2008, hlm. 329.

juga pemilikan bangunan yang ada di atasnya. Barang siapa yang membangun, dialah pemilik bangunan yang dibangun .

Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Subekti, 15 yang menyatakan bahwa B.W dalam tanah menganut

apa yang dinamakan asas vertical , sedangkan Hukum Adat menganut asas horizontal . Menurut asas vertikal, maka hak

milik atas sebidang tanah meliputi benda-benda yang berada di atasnya (bangunan). Karena itu maka azas vertikal itu juga dinamakan asas absorpsi (artinya: menyedot segala apa yang berada di atasnya). Sedangkan menurut asas horizontal hak milik atas sebidang tanah tidak meliputi bangunan yang ada di atasnya. Sedangkan dalam Hukum Tanah Nasional yang akan datang, sudah disepakati oleh para Sarjana Hukum kita, untuk menganut asas horizontal, tetapi dengan memungkinkan pengecualian-pengecualian. Pendapat Subekti tersebut, menurut penulis sejalan dengan apa yang tertuang dalam Ketentuan Pasal

5 UUPA, yang menjadikan Hukum Adat sebagai dasar dari hukum agraria. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang- undangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur- unsur yang bersandar pada hukum agama.

15 Subekti, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 1992, hlm. 29-30.

Dalam Penjelasan Umum Angka Romawi III, angka 1 disebutkan mengenai pertimbangan mengapa UUPA menjadikan dasar Hukum Adat dari Hukum Agraria, yaitu salah satunya bahwa rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketenyuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam Negara.

4. Historis Yuridis Pengelolaan Pertanahan di Pulau Jawa

adalah pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan peman fa atan tanah berdasarkan aturan normative ataupun secara alami atas tanah. Adapun pengelolaan pertanahan khususnya di Pulau Jawa berdasarkan historis yuridis, dibagai dalam beberapa tahapan, yaitu:

Pola pengelolaan

pertanahan

a. Pengelolaan Pertanahan Tradisional (Adat) di Jawa Bagian Tengah

untuk memahami pola penguasaan tanah pertanian di Jawa pada masa lampau adalah bahwa penguasaan tanah tidak lepas dari otoritas raja sebagai penguasa. Raja adalah penguasa mutlak atas tanah. Kemudian dalam pengelolaannya raja memiliki bawahan untuk mengatur tanah-tanah tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ong Hok Ham (1984:5) yakni menurut tradisi mutlak raja adalah satu-satunya pemilik tanah dalam arti secara teoretis ialah yang berkuasa atasnya. Dalam

Landasan

pikir awal pikir awal

narawita dan tanah lungguh/bengkok/apanage (Wasino, 2005:1-2). Tanah narawita merupakan tanah yang dikuasai secara langsung oleh raja, sedangkan tanah lungguh adalah tanah yang merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh bangsawan atau pejabat. Keberadaan tanah narawita dan lungguh terletak di daerah yang disebut dengan Negara Agung. Daerah Negara Agung merupakan daerah luar benteng yang berada di antara Kuthagara dan Mancanegara. Daerah Negara Agung terdiri atas beberapa daerah yakni daerah Sewu di Kawasan Bagelen, Bumi (di daerah Kedu Barat), Bumija (di daerah Kedu Timur), Numbak Anyar (di daerah Bagelen timur), Penumping (daerah sebelah barat Surakarta), serta Panekar di daerah Sukawati dan Pajang (Wasino, 2005:18).

Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag (Wasino, 2005:29; Suhartono, 1991:29). Bumi pamajegan merupakan tanah- tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat Tanah narawita terbagi atas beberapa jenis, yakni bumi pamajegan, pangrembe, dan gladag (Wasino, 2005:29; Suhartono, 1991:29). Bumi pamajegan merupakan tanah- tanah raja yang menghasilkan pajak uang. Sementara itu daerah pangrembe merupakan tanah yang ditanami padi atau tanaman lain untuk istana. Sedangkan gladag merupakan tanah yang penduduknya mendapat tugas transportasi. Tanah lungguh atau apanage adalah tanah raja yang hak gunanya diberikan kepada para pejabat. Pejabat-pejabat birokrasi tidak mendapat imbalan jasa berupa gaji, tetapi sebagai pengganti jerih payah dari raja mereka mendapat

mendapat tanah seluas 5000 karya, dan sebagainya 16 . Berkaitan dengan adanya tanah lungguh ada beberapa istilah yang terkait dengan pengelolaan tanah lungguh tersebut. Seorang yang diberi hak tanah lungguh disebut patuh. Patuh dalam pelaksanaannya tidak turun langsung ke daerah Negaragung karena mereka tinggal di Kuthagara untuk memudahkan kontrol raja terhadap para patuh. Patuh dibantu oleh bêkêl sebagai pengelola tanah lungguh. Bêkêl bertugas sebagai penebas pajak yang dibayar secara teratur ataupun okasional.

b. Pengelolaan Pertanahan Masa Kolonial di Pulau Jawa

Pola peguasaan tanah pertanian mulai bergeser dan berubah setelah masuknya bangsa barat ke Jawa. Dimulai dari bekembangnya VOC, Pemerintahan Rafless, tanam paksa, sampai keluarnya Agrarische Wet pada 1870

16 Ukuran luas yang digunakan pada masa itu adalah karya atau cacah, yakni jumlah petani penggarap sawahnya. Berkaitan hal tersebut, ukuran apanage

adalah jung kira-kira 28.386 m 2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya (Suhartono, 1991:30) adalah jung kira-kira 28.386 m 2 yang dikerjakan oleh empat cacah/karya (Suhartono, 1991:30)

pengurangan wilayah akibat kontrak-kontrak dengan VOC 17 . Wilayah Pesisir meliputi Pesisir Barat (Pekalongan, Nrebes, Wiradesa, Bantar, Lebaksiu, Tegal, Pemalang, Batang, Kendal, dan Demak) dan Pesisir Timur (Jepara, Kudus, Cengkal Sewu, Pati, Juana, Pejangkungan, Rembang, Tuban, Sidayu, Lamongan, Gresik, Surabaya, Pasuruan, Bangil, Besuki, Blambangan, Banyuwangi, dan Madura). Akan tetapi secara umum tidak ada perubahan pola penguasaan tanah di masyarakat.

Setelah VOC bangkrut, dimulailah fase baru dalam kehidupan politik di Nusantara, yakni dengan berdirinya pemerintah kolonial Hindia Belanda pada tahun 1800. Pada awal abad XIX inilah di dalam daerah kerajaan para penguasa jatuh di bawah penguasaan Belanda. Sikap politik agraria pemerintahan Belanda mulai berubah semenjak Gubernur Jenderal Deandles berkuasa. Ia memprakarsai perubahan- perubahan administrasi pertanahan untuk tercapainya kekuasaaan politik yang sistematis. Bahkan, beberapa

17 Ketika terjadi Perjanjian Giyanti pada 1755, wilayah pesisir sudah menjadi milik VOC. Wilayah Surakarta dan Yogyakarta tinggal Kuthagara, Negara Agung, dan

Mancanegara saja (Wasino, 2005: 19).

wilayah di Batavia, Semarang, dan Surabaya dijual kepada swasta untuk memecahkan kesulitan keuangan pemerintah. Kemudian ketika Inggris berkuasa atas Indonesia (1811- 1816) di bawah Gubernur Jenderal Raffles, terjadi perubahan dalam sistem agraria. Raffles melakukan reformasi agraria dengan nama Land Rent Sistem (Sistem Sewa Tanah) dengan

dengan 3 (tiga) azas pengelolaan tanah 18 . Ide perubahan ini banyak dipengaruhi oleh keberhasilannya dalam penerapan sistem serupa di India. Raffles menentang stelsel hubungan tanah feodal sebagaimana dilakukan oleh pemerintahan tradisional dan VOC (Wasino, 2005: 5). Namun demikian, pelaksanaan sistem sewa tanah ini menalami kegagalan karena terbentur pada sistem sosial budaya rakyat Jawa karena mengganggu tradisi, belum adanya kepastian hukum atas tanah, rakyat belum terbiasa menggunakan uang sebagai alat pembayaran pajak, serta pemerintahan Raffles yang singkat (Wasino, 2005:6).

Perubahan-perubahan besar dalam bidang penguasa an tanah terjadi setelah perang Diponegoro usai pada tahun 1830. Setelah akhir perang Diponegoro daerah luaran atau mancanegara oleh raja Jawa diserahkan pada Belanda sebagai ganti jerih payah mereka menindas pemberontakan

18 3 (tiga) azas sistem sewa tanah Raffles, yakni (1) segala bentuk dan jenis penyerahan wajib dan kerja rodi dihapuskan, dan petani berhak menentukan

jenis tanaman, (2) peran bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan mereka menjadi bagian pemerintahan kolonial, (3) pemerintah kolonial adalah pemilik tanah dan para petani dianggap sebagai penyewa, petani wajib membayar sewa tanah (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984:90

(Ong Hok Ham, 1984:3). Hal ini merupakan upaya Hindia Belanda untuk segera mengisi kas yang kosong akibat perang. Untuk itu dilakukanlah kontrak-kontrak antara Hindia Belanda dan Sunan Paku Buwono VII untuk memperkuat landasan hukum penguasaan tanah atas daerah mancanegara (Suhartono, 1991:75). Pada tahun 1830 mulai diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) oleh pemerintah Hindia Belanda pada daerah-daerah yang telah berhasil

ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya tanah, tenaga kerja, dan kedudukan hukum dari keduanya. Pada masa ini negara mendominasi dua faktor produksi, yakni tanah dan tenaga kerja. Kuntowijoyo menyatakan bahwa ekspoitasi negara atas tanah dan tenaga kerja itu disahkan berdasarkan anggapan bahwa tanah adalan milik negara (Wasino, 2005:6).

dikuasainya.

Sistem

Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang- undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada Sistem tanam mulai dihentikan pada tahun 1870 dan pada tahun 1885 dikeluarkan Staatsblad (Lembaran Negara) Nomor 102 Tahun 1885 tentang berakhirnya secara resmi tanam paksa. Setelah tahun ini sistem liberal mulai bekembang di Hindia Belanda. Dalam bidang agraria, liberalisme ini nampak dengan dilkeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. Undang- undang inilah yang menjadi dasar kebijakan agraria pemerintah Hindia Belanda pada masa-masa berikutnya. Undang-undang mempunyai azas yang sangat berbeda dengn pola penguasaan dan pemilikan tanah masyarakat Jawa pada

tanah-tanah untuk perkebunan. 2). Dimungkinkannya untuk memiliki hak mutlak atas tanah

(hak eigendom) termasuk hak untuk menyewakannya ke pihak lain. Akan tetapi kepemilikan mutlak oleh petani sulit tercapai karena penguasa lebih tergiur untuk memberikan konsesi kepada para penguasa swasta asing.

3). Sistem penguasaan tanah di Jawa yang tadinya milik bersama desa, dikembalikan kepada individu-individu. 4). Gubernur Jenderal van Heutz secara bertahap menghapuskan sistem apanage pada kurun waktu 1912- 1917, kemudian antara tahun 1917-1926 digunakan untuk mengkonversi tanah-tanah perkebunan.

5). Penguasaan tanah oleh patuh dengan hak anggaduh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Akan tetapi, pada kenyataannya tanah- tanah tersebut jatuh ke tangan para elite desa dan perusahaan perkebunan melalui persewaan tanah tradisional maupun kontrak-kontrak modern

6). Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk 6). Dikeluarkan Regeringsomlagvel Nomor 30318 tanggal 17 Oktober 1930 tentang pengakuan hak-hak pribumi sesuai dengan hukum adat setempat. Penduduk diakui untuk

c. Pengelolaan Pertanahan Setelah Kemerdekaan di Yogyakarta Terbentuknya negara Republik Indonesia pada tanggal

17 Agustus 1945 membawa perubahan eksistensi Kasultanan Yogyakarta yang semula merupakan bagian dari wilayah pemerintah Hindia Belanda, kemudian Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubowono IX maupun Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam

VIII 19 , menyatakan

bahwa

Kasultanan Yogyakarta merupakan bagian dari Republik Indonesia 20 . Untuk

19 Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman sesungguhnya sejak saat itu sudah bergabung menjadi satu daerah, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Sri

Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur dan Pangeran Paku Alam VIII sebagai Wakil Gubernur. Pengesahan penggabungan kedua daerah kekuasaan tersebut disahkan

oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat

diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Daerah Istimewa Yogyakarta.

20 Amanat Sri Paduka

Ingkang

Sinumuwun

Kanjeng Sultan: Kami,

Hamengkubuwono IX, Sultan Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat menyatakan: 1) Bahwa Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah

Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2) Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan

keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam negeri Ngajogjokarto Hadiningrat mulai saat ini berada ditangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya.