BAB I PENGAJARAN SENI TEMBANG
Fungsi Tembang
Seni   tembang   dalam   budaya   Jawa   mengandung   unsur   estetis,   etis   dan historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan prinsip-
prinsip   dasar   kesenian   pada   umumnya,   yaitu  dulce   et   utile  yang   berarti menyenangkan  dan berguna. Fungsi rekreatif tembang mampu menghibur hati
yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang. Fungsi utilitaris tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek ritual
dalam masyarakat Jawa. Adanya   acara   rutin  macapatan,   panembrama,   ura-ura,  gegendhingan,
sesendhonan  dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap  diuri-uri murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis
atau kesusilaan.  Istilah kesusilaan ini sering disebut dengan tata krama, unggah- unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan, wedharan, sopan santun, pernatan
dan  duga  prayoga.   Begitu pentingnya unsur etis atau susila ini banyak sekali kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan tegas.   Misalnya  Serat
Wulangreh,   Serat   Whedhatama,   Serat   Tripama,   Serat   Sanasunu,   Serat Panitisastra,   Serat   Kalatidha  dan  Serat   Sabdajati.     Karya   para   Pujangga   ini
disebut sastra piwulang yang ditulis dalam bentuk tembang. Unsur historis tembang terdapat dalam  sastra babad. Penulisan sejarah
dalam   bentuk  sastra   babad  ini   menunjukkan   bahwa   masyarakat   Jawa   sangat
4
apresiatif terhadap kehidupan masa lampau.  Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh pemikiran   bahwa   masa   lampau,   masa   kini   dan   masa   depan   merupakan   satu
kesinambungan   yang   tak   terpisahkan.  Sastra   babad  yang   diungkapkan   dalam bentuk tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai  kaca
benggala atau cermin kehidupan. Pengajaran gendhing itu tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan
dan  kepandaian hal gendhing, namun perlu juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan, karena selalu menuntun ke arah rasa kewiramaan perasaan ritmis, seperti: rasa
runtut, patut, titi, pratitis, tetep, tatag, antep, mantep, harmonis, patut, teliti, tepat, tetap   tak   gentar,   bersungguh-sungguh,   setia   dan   sebagainya,   begitu   pula
menghidup-hidupkan   rasa   keindahan   perasaan   estetis,   seperti   rasa  edi,   peni, resik, endah, alus, luhur, bening, sangat baik, berharga, bersih, indah, halus, luhur,
jernih   dan   sebagainya;   selain   itu   juga   menguatkan   serta   memurnikan   rasa kesusilaan,   seperti:   perasaan  alus,   suci,   lebet,   santosa,   jejer,   gadah   prabawa,
mandiri, budi pekerti, raos gesang bebrajan Marwoto, 1981. Halus, suci, dalam, sentosa, teguh, berwibawa, dapat berdiri sendiri, budi pekerti, hidup bersama dan
sebagainya. Di Jawa para pendeta dan wali sama memperhatikan kesenian gendhing,
bahkan banyak yang turut memperbaharui bentuk gendhing serta kidung seperti Sunan Kali Jaga, Sunan Giri, Sri Sultan Agung, dan sebagainya. Demikian pula di
dunia   Barat   para   pemimpin   agama   serta   para   paus   dan   pendeta   semuanya mempergunakan   daya   pengaruh   gendhing   untuk   pembuka   rasa   kebatinan   dan
keagamaan,   pun   juga   sebagai   pengasah   budi   atau   pembentukan   watak   yang berdasarkan tajamnya cipta, halusnya rasa serta kuatnya karsa Dewantara, 1968.
5
Pada jaman sekarang para ahli kebudayaan perlu sekali memperhatikan pengajaran gendhing bagi pemuda, tidak saja karena hal tersebut di muka, tetapi
juga   karena   sifatnya   gendhing   Jawa   itu   sungguh   indah   serta   luhur,   patut   jadi kekayaan bangsa yang tiada taranya. Kecuali demikian, rasa memiliki kebudayaan
indah–luhur itu dapat menimbulkan kebanggaan serta kemurnian rasa kebangsaan. Oleh karena itu piranti-piranti seni perlu juga diketahui.
Wirama Gendhing
Wirama   gendhing   terjadi   karena   suara   tuntunan   kendang,   dalam   tarian menurut   tuntunan   keprak   seperti   tersebut   di   bawah:   Lambat   cepatnya   laku
disebabkan oleh lambat atau mendesaknya pukulan kendang; Dalam dangkalnya suara disebabkan oleh suara  dang  atau  dung.  Tertib serta teraturnya getar dan
gerak selalu mengikuti suara kendang yang berbunyi tek. Jadi bunyi kendang itu, selain dapat lambat atau cepat, ada 5 macam:
dang, dung, pak, tong serta tek; yang lain-lain hanya merupakan prenlian belaka delang, delung, sut, gembleb, dan sebagainya. Tertib serta teraturnya laku dijaga
pula oleh pukulan saron, ketuk, kempul, kenong serta gong, yang masing-masing dapat diumpamakan titik lampah, titik pedotan, titik pada lingsa, titik pada dirga
serta   titik   pada,   seperti   halnya   dalam   menulis  sekar  lagu.   Selain   itu   bunyi kempul   menimbulkan   rasa   naik,   ringan,   dangkal,   sehingga   membawa
kegembiraan; adapun bunyi kenong menimbulkan rasa menurun, dalam, berisi, hingga   mendatangkan   rasa  tenteram  atau  tidak   tergesa-gesa  bunyi   gong   jelas
menimbulkan rasa puas, lega, sempurna Sri Widodo, 2000. Laku atau jalannya
6
gendhing itu dijelaskan oleh pukulan saron, serta terbagi dalam 2 bagian pokok: lampah lamba = pukulan yang memperdengarkan bunyi gendhing yang pokok;
lampah dados ngracik = melipatgandakan lampah lamba, yang menyebabkan bunyi lagu terdengar jelas.
Dalam  lampah   lamba  tiap   satu   kenong   mengandung   8   pukulan   saron untuk gendhing alit gendhing kecil dan gendhing madya gendhing tengahan;
adapun   gendhing   ageng   gendhing   besar   berisi   16   pukulan   dalam   gendhing ketuk 4 atau 32 pukulan dalam gendhing ketuk 8. Adapun dalam lampah dados
jumlah pukulan saron tadi lalu lipat dua. Dalam satu gongan biasa disebut satu  wilet, gendhing itu dapat berisi 2
kenongan, dapat pula berisi 4 kenongan. Tiap satu kenongan dalam gendhing alit berisi kempul, jatuh pada bilangan pukulan saron yang ke-4, gendhing madya dan
besar tidak memakai kempul. Pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2 dan 6 pada gendhing alit atau madya yang berwirama lama 8 pukulan; dalam wirama dados
16 pukulan ketuk jatuh pada bilangan 4 dan 12. Parikan   punika   :   lagon   kalih   gatra,   molung   wanda.   Saben   sagatra
kapedhot: 4 – 4. Gatra ingkang kapisan boten wonten tegesipun. Gatra ingkang kaping kalih wonten tegesipun. Panatanipun: Wanda pungkasaning pedhotanipun
gatra   ingkang   kapisan,   kecapipun   kedah   sami   kaliyan   wanda   ingkang pungkasanipunpedhotanipun gatra ingkang kaping kalih, kados ta :
1. Manuk glathik dibubuti, slendhang bathik, manas ati.
2. Emping mlinjo gepeng-gepeng, stagen ijo mentheng-mentheng.
3. Jurung jugrug, pinggir kali, wani nglurug, wedi mati.
7
4. Ijo-ijo godhong jati, Arep tinjo, dioncati.
5. Cao wutah, mowat-mawut, botoh kalah, anjalebut.
Terkadhang gatra kalih wau dipun rangkepi malih sagatra wolung wanda kadosta :
Awan nglinting, bengi nglinting, sing dilinting rokok dika, Awan gonjing, bengi gonjing, gonjing mikir upajiwa.
Parikan punika ingkang kathah namung prenesan kangge njemoni. Mila   suraosipun   kathah   ingkang   saru-saru   utawi   lekoh-lekoh.   Ingkang   kerep
ngangge parikan punika limrahipun tiyang-tiyang ingkang sami njambut damel bau-suku   awrat,   kasar,   kadosta:   tiyang   nggrobag,   tiyang   nggered   slender,
keseran lan sapiturutipun Sudibyo Aris, 1982. Prelunipun kangge slamuran. Yen kangge   wonten   ing   gendhing,   dipunangge   tembangipun   tledek,   saur-sauran
kaliyan badut, upami : ijo-ijo, grompol lan sapiturutipun.
Senggakan
Adapun pada gendhing ageng yang berisi ketuk 4, pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2-6-10 dan 14 bila wiramanya lamba 16 pukulan; dalam wirama
dados 32 pukulan, jatuh pada bilangan 4-12-20-28. Pada gendhing ageng ketuk 8, ketuk tadi jatuh pada bilangan 2-6-10-14-18-22-26-30 dalam wirama  lamba,
dan bila wiramanya dados jatuh pada bilangan 4-12-20-28-36-44-52 dan 60. Berdasarkan wiramanya, seperti tersebut pada di atas, gendhing itu dibagi
dalam   3   jenis,   yaitu:   Gendhing   alit,   8   pukulan   lamba   atau   16   kalau  ngracik berlipat   dalam  tiap   satu  kenong,  dengan   kempul;  gendhing   alit  terbagi   atas:
8
ketawang,   ladrang,   gangsaran,   sabrangan,   tropongan,   bibaran   dan   sebagainya. Ketawang berisi 2 kenongan, sedang lainnya 4 kenongan; kempul yang pertama
dalam   wirama   lamba   yang  seseg  atau   cepat   tidak   dipukul   wela,   kecuali “ketawang” karena ketawang itu wiramanya lambat.
Ada lagi gendhing-gendhing yang termasuk gendhing alit, seperti: sampak playon,   srepegan,   yang   mempunyai   aturan   tidak   tetap   mengenai   jatuhnya
ketuk, kempul, kenong dan gong, deikian pula halnya dengan dolanan, prenesan dan sebagainya. Gendhing madya tengahan dalam tiap satu kenongnya berisi 16
pukulan seperti gendhing alit yang ngracik, hanya saja antara 2 ketuk tidak ada kempulnya; apalagi wiramanya lebih antal lambat daripada gendhing alit dan
biasanya disebut gendhing ketuk kalih gendhing ketuk dua. Adapun gendhing madya  seperti   halnya   dengan  gendhing   ageng  mempunyai   bagian   muka,  yang
disebut  gendhingnya   di   Surakarta   disebut  merong,   sedang   bagian   belakang dipukul   sebagai   pengganti   gendhing,   disebut  ndawuh  di   Surakarta  minggah.
Adapun  dawahing gendhing  lalu rangkap wiramanya; gendhing ketuk kalih lalu menjadi ketuk sekawan ketuk empat atau kadang-kadang dapat juga menjadi
gendhing ladrangan dengan kempul. Gendhing   ketuk   kalih   tengahan,   madya   ialah   misalnya:   candra,
gandrung-gandrung, sarayuda, lahela dan sebagainya. Gendhing ageng: tiap satu kenong, berisi ketuk 4 atau ketuk 8 yaitu 16 atau 32 pukulan lamba serta 32 atau
64 pukulan dados; bila sudah ndawah lalu menjadi gendhing ketuk 8 atau ketuk 16  pukulan  64 atau  128. Gendhing  ageng,  ialah  misalnya:   gendhing  mawar,
jangga,   semang   dan  sebagainya.     Mengenai  ndawah  tidak   selamanya  ndawah
9
tetep  akan   tetapi   dapat   pula   ndawah   menjadi   gendhing   alit   lainnya   menurut kehendak   penuntunnya;   yang   demikian   itulah   termasuk  tanduk   prenes.   Untuk
menentukan wirama gendhing cukuplah dengan menyebutkan jumlah ketuk atau kendangnnya; misalnya:  gendhing ketuk kalih kendangan candra, demikian lalu
jelaslah wiramanya Waridi, 2004. Senggakan memper parikan. Wilanganipun boten temtu, namung pados
mathukipun   kaliyan   gendhing   ingkang   dipun   gerongi.   Kanggenipun   namung kangge nyenggaki gendhing, inggih punika selanan ingkang atawisipun gerongan
utawi pada bakuning gendhing. Prelunipun namung kangge samben sadangunipun ngentosi gerongan candhakipun. Wilanganipun wonten ingkang 12, kapedhot : 4 –
8, kadosta : 1. Klenthing miring, krambil bolong sisa bajing,
milang-miling, golek tandhing lencir kuning. 2. Kanthong sutra, kumlewer neng sabuk wala,
Sun dudute, manawa condhong karepe. 3. Putra-putri putrane Petruk patrolan,
Gareng mati, matine tiban bedudan. Ingkang wilanganipun sanes malih, kadosta :
1. Ri, ri, ri, Purwosari keh sepure, 2. Emoh konjak emoh anggur, takpilih  sing gede duwur.
3. Empek-empek andhong-andhong, mbukak dengkek kleru plompong. 4. Babal bunder manglung kali.
5. Duwa lo lo lowe
Pandhapukanipun   namung   kaotak-atik   murih   sagedipun   ceples   kaliyan gendhingipun. Ingkang prelu dipun engeti namung kecapipun ingkang sami.
10
Pedhotan
Salah   satu   piranti   dalam   tembang   macapat   adalah   pedhotan.   Menurut Wiryah Sastrowiryono 1988, pedhotan dijelaskan sebagai berikut: Pangetokipun
gatra   dados   kalih   perangan,   tigang   perangan   utawi   langkung,   inggih   punika ingkang   nedahaken   andheging   napas.   Dhawahing   pedhotan   kedah   trep
tembungipun,   dados   sampun   ngantos   wonten   tembung   kapedhot   dados   kalih, sepalih tumut ngajeng, sepalihipun tumut wingking. Makaten ugi ukara inggih
boten piyoga kapedhot, yen : sapalih tumut sekar inginggil, sepalihipun tumut sekar ing andhap. Dene waton pamedhotipun wau makaten : yen cacahing wanda
ing dalem sagatra wonten : 5, pamedhotipun : 3 – 2, utawi : 2 – 3 .
6, pamedhotipun : 4 – 2, utawi : 2 – 4 utawi : 3 – 3 7, pamedhotipun : 4 – 3, utawi : 3 – 4 utawi : 2 – 3 – 2 .
8, pamedhotipun : 4 – 4, utawi : 3 – 2 – 2 utawi : 3 – 2 – 3 . 9, pamedhotipun : 4, salangkungipun mirid ingkang 5 wanda.
Langkungipun   saking   9   wanda   :   4,   salajengipun   mirid   tirahanipun. Tumrapipun sandi asma, pamedhotipun ajeg :
6 wanda, kapedhot : 2 – 4. 7 wanda, kapedhot : 3 – 4.
8 wanda, kapedhot : 4 – 4.
Langkungipun saking 8 wanda, kapedhot 4, salajengipun mirid tirahanipun. Tiyang   nyekaraken,   bilih   saged   anglenggahi   dateng   patokan   kalih   prakawis,
gurulagu   tuwin   guruwicalan,   nama   sampun   saged   tumindak.  Nanging   manawi ukaranipun dereng manut ing pedotan, sekaranipun nama taksih kirang sakeca,
awit   pedotan   punika   ingkang   nedahaken   andeging   napas.   Dados   saupami kendeling   napas   ngantos   medot   tembung,   sanadyan   boten   lepat   ukaranipun,
11
nanging kital ing pamaos, mila raosing sekaran lajeng kirang sakeca Nanang Windradi, 2002.
Sayektosipun   manawi   dipun   petani,   sanadyan   sekaranipun   para linangkung inggih wonten ingkang boten netepi patokaning pedotan. Bok manawi
ingkang makaten wau namung caking boten anggalih dateng patokan kemawon, nanging sampun kulina tuwin keraos dateng gregeting sekaran, mila sekaranipun
inggih sae kemawon. Namung menggah tiyang nyekaraken, salugunipun manawi ngantos katah, asring wonten ingkang cewet.
Ananging menggah ing tiyang ingkang sampun kulina, sadawah-dawahing sekaranipun tamtu katali ingkang nglenggahi pedotan, awit pandameling ukara ing
sekar   sampun   atul,   ewa   samanten   menggah   ing   pedotanipun,   punika   manawi namung dipun waos kangge maos serat, cakipun sakeca kemawon, kajawi manawi
kangge anggerong, punika tamtu keraos kital, awit sakecaning gerongan punika manawi   pedotanipun   manut   kados   caraning   pedotan   ing   sandiasma.  Dene
peranganing pedotan wau kados ingandap punika: Padalingsa ingkang cacahing wanda 5, kenging kapedot 3.2 utawi 2.3
Padalingsa   ingkang   cacahing   wanda   6,   kenging   kapedot   4.2   utawi   3.3 utawi 2.4. Padalingsa ingkang cacahing wanda 7, kenging kapedot 4.3 utawi 3.4
utawi 2.3.2. Padalingsa ingkang cacahing wanda 8, kenging kapedot 4.4 utawi 3.3.2   utawi   3.2.3.   Padalingsa   ingkang   cacahing   wanda   9,   kenging   kapedot   4,
salajengipun kenging mirit kados ing pedotan wanda 5. Langkungipun saking 9, sasampunipun dipun pedot 4 rumiyin, salajengipun inggih dipun pedot miturut
tirahanipun. Sarehning patokaning pamedot wau boten namung sawarni, dados
12
tumrap tiyang ingkang bade nyekaraken saged milih ing sasakecanipun, tuwin menggah cacahing wanda inggih boten angangelaken ukara.
Namung tumrap sekar ingkang mawi sandiasma, pamedotipun ragi geseh, kedah   ajeg,   manawi:   Padalingsa   ingkang   cacahing   wanda   6,   pedotanipun   2.4.
Ingkang   cacahing   wanda   7,   pedotanipun   3.4.   Ingkang   cacahing   wanda   8, pedotanipun 4.4. Langkungipun saking  8, pamedotipun 4 rumijn, salajengipun
kados inginggil. Mirit kawontenanipun serat-serat kina, anggitanipun para pujangga utawi
para  saged,  kiranging  sregipun  pedotan  namung  sakedik  sanget,  dados  sadaya sampun   meh   anglenggahi   patokan.   Mila   tumrap   ingkang   sami   bade   sinau
nyekaraken, sanadyan dereng nama saged, tamtu inggih lajeng mangertos utawi saged neniteni tuwin salajengipun saged angewahi kados pundi menggah leresing
pedoten,   pepiritanipun   mendet   saking   patokan   ingkang   kasebut   inginggil Purwadi, 1995.
Sarehning patokan nyekaraken ing bab pedotan punika saweg pinanggih wonten ing jaman sapunika, dados sampun sami anggalih bilih serat-serat kina
ingkang sinawung ing sekar punika awon, awit awon saening sekaran ingkang netepi pedotan punika pancen dereng kamanah, dados panitikipun namung wonten
ing   awon   saening   ukara.  Awon   saening   ukara   wan   caged   nitik   saking   enem sepuhing serat. Dene pepiritanipun kados ingandap punika: Bebukanipun serat
Panji   Angreni   ingkang   sampun   umur   150   taun   langkung.   Kinanti.   Dan purwakaning angapus, mwang anreh gita tan saking, pratameng Kawi grendaka,
ya maka pangaksamaning, para sujana jumena, patapning jamaka gendhing.
13
Sekaran   inginggil   punika   ukaranipun   kaken,   Kawinipun   boten   kulina kesrambah, pedotanipan boten netepii patokan, dados ingkang kecakup namung
gurulagu tuwin guruwicalanipun. Tumrapipun ing jaman sapunika sampun boten wonten   pepilihanipun.   Nanging   titiking   serat   kina   katingal   sanget.   Punika
nandakaken   hilih   kawontenanipun   kala   jaman   samanten   inggih   beda   sanget kaliyan jaman sapunika, mila wileting ukara, peprenesan tuwin sanes-sanesipun
tumraping jaman sapunika inggih boten amranani. Bebukanipun serat Wulangreh, anggitandalem   Ingkang   Sinuhun   Paku   Buwana   kaping   IV.   Dhandhanggula.
Pamedare   wasitaning   ati,   cumantaka   aniru   pujangga,   dahat   muda   ing   batine, nanging peksa ginunggung, datan weruh akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa
kang   kelantur,   tutur   kang   ketula-tula,   tinalaten   rinuruh   kalawan   ririh,   mrih padanging sasmita.
Sekaran   punika   prasadja   sanget,   meh   boten   wonten   Kawinipun, pedotanipun   sampun   leres   sadaya.   Mirit   sekaran   punika,   dados   menggah   ing
tiyang nyekaraken, sanadyan namung ngangge ukara limrah ugi sakeca, angger netepi   ing   pedotanipun.    Bebukanipun   serat   Lokapala,   karanganipun   Raden
Ngabei Sindusastra. Dhandhanggula
Rebo Epon panitraning manis, Jumadilawal jimmawal warsa,
enjang ping wolulikure, kaneming Julungpudjut,
Sri tumurun anuju Dadi, Paningron Sang Hyang Yama,
Ijrah Nabi Sewu, rongatus wandasa gangsal,
sinangkalan: Wiku misik swara tunggil, neng barisan Pijenan.
14
Sekaran inginggil punika sampim ngangge iketan ukara Jawi ing jaman sapunika,   pedotanipun   namung   lepat   satunggal,   ing   padalingsa   kaping   kalih.
Ukaranipun sarwa prasaja, tuwin salajengipun ingkang kawrat ing serat Lokapala wau sae, greget-sautipun anenangi manah. Dene lepatipun pedotan wan namung
jalaran kepeksa ngangge tembung ingkang gangsal wanda.  Bebukanipun  serat Rama, karanganipun R.Ng. Yasadipura.
Dhandhanggula Tabuh sapta nudjwa Buda Manis,
wulan Sura leaping tigangdasa, ing mangsa kapat wukune :
Kurantil Jekang taun, Sirneng tata pandita siwi,
sangkala duk manurat, agnya Maha nurun,
mangun langening carita., caritane Betara Rama ing Kawi,
jinarwakken ing krama.
Sekaran   inginggil   punika   larasipun   sami   kaliyan   serat   Lokapala. Bebukanipun serat Cemporet, karanganipun Raden Ngabei Ranggawarsita.
Dhandhanggula Song-song gora candraning artati,
lir winedyan saraseng parasdya, ringa-ringa pangriptane,
tan darbe labdeng kawruh, angruruhi wenganing budi,
kang mirong ruhareng tyas, jaga angkara nung,
minta luwaring duhkita, ajwa kongsi kewran lukiteng kinteki,
kang kata ginupita.
Sekaran inginggil punika sampun boten wonten kuciwanipun, luwesing ukara tuwin sakecaning panganggenipun Kawi pantes dados tetuladan.
15
Keadaan   pengetahuan   gendhing   Jawa   dewasa   ini   belum   sesuai   dengan keadaan jaman serta alam kesarjanaan: cara-cara pengajaran berdasarkan patokan
yang ilmiah. Pendapat-pendapat serta cara-cara pengajaran tadi kadang-kadang saling   bertentangan,   sebab   masing-masing   memakai   dasar   sendiri-sendiri   yang
hanya   bersandarkan   rasa   serta   perkiraan   belaka,   lagi   sering   berpegang   pada ketakhayulan Soerasa, 1983. Hal demikian itu membingungkan mereka yang
hendak   belajar,   hingga   akhirnya   menyebabkan   mundurnya   kesenian   gendhing Jawa.
Pengetahuan   gendhing   yang   berdasarkan   kesarjanaan,   tidak   saja   akan menggampangkan pengajaran, namun juga akan dapat mengokohkan kedudukan
gendhing Jawa serta menghidupkannya, sebab akan dapat melenyapkan sebarang ikatan yang serta membelit dan merintangi langkah kebiasaan yang berulang-
ulang seperti mesin, kebekuan; kemerdekaan gendhing Jawa akhirnya akan dapat memperbaiki, memajukan serta menambah keluhuran kebudayaan bangsa.
Segala cara serta jalannya pengajaran sistem dan metode harus bersifat benar dan gampang praktis. Untuk melengkapkan susunan pengetahuan serta
pengajaran   gendhing   Jawa,   terlebih   dahulu   harus   diketahui   adanya   tiga   hal: Betapa   dalam   serta   luasnya   kesenian   gening   Jawa;   Isi   dan   bagian-bagiannya
gendhing Jawa, serta bagaimana hubungannya segala bagian tadi; Bagaimana cara menyusun   pelajaran,   agar   dapat   mempersatukan   bagian-bagian   tadi   sehingga
merupakan benda yang utuh kembali Dewantara, 1968. Traping   ukara   wonten   ing   sekar   kaangkaha   :   Kados   pandhapukipun
pandamelipun ukara gancaran. Sapada sekar kadamela saukara. Sekar sepada
16
kabage dados sawatawis andheg, kangge unjal ambegan. Saben andheg wonten ingkang langkung saking sagatra, utawi saukara. Pedhotan =   dados   peranganing
ukara ing sagatra-gatranipun. Andheg = dados ukara utawi dados peranganing ukara ing sapada-padanipun  = dados peranganing pedhotan ageng.
17
BAB II TATA WIRAMA TEMBANG