PENGAJARAN SENI TEMBANG diktat seni tembang 2

BAB I PENGAJARAN SENI TEMBANG

Fungsi Tembang Seni tembang dalam budaya Jawa mengandung unsur estetis, etis dan historis. Untuk unsur estetis atau keindahan seni tembang sesuai dengan prinsip- prinsip dasar kesenian pada umumnya, yaitu dulce et utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Fungsi rekreatif tembang mampu menghibur hati yang sedang sedih, pikiran yang kalut dan suasana yang tegang. Fungsi utilitaris tembang yang berkaitan dengan aspek kegunaan dapat dilihat dari praktek ritual dalam masyarakat Jawa. Adanya acara rutin macapatan, panembrama, ura-ura, gegendhingan, sesendhonan dan kehidupan menunjukkan bahwa seni tembang tetap diuri-uri murih lestari. Masyarakat Jawa dalam pergaulan sangat memperhatikan unsur etis atau kesusilaan. Istilah kesusilaan ini sering disebut dengan tata krama, unggah- unggah, budi pekerti, wulangan, wejangan, wedharan, sopan santun, pernatan dan duga prayoga. Begitu pentingnya unsur etis atau susila ini banyak sekali kitab-kitab Jawa yang mengulas secara jelas, tuntas dan tegas. Misalnya Serat Wulangreh, Serat Whedhatama, Serat Tripama, Serat Sanasunu, Serat Panitisastra, Serat Kalatidha dan Serat Sabdajati. Karya para Pujangga ini disebut sastra piwulang yang ditulis dalam bentuk tembang. Unsur historis tembang terdapat dalam sastra babad. Penulisan sejarah dalam bentuk sastra babad ini menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat 4 apresiatif terhadap kehidupan masa lampau. Kesadaran sejarah ini dilandasi oleh pemikiran bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan merupakan satu kesinambungan yang tak terpisahkan. Sastra babad yang diungkapkan dalam bentuk tembang itu bisa dijadikan referensi bagi generasi penerus sebagai kaca benggala atau cermin kehidupan. Pengajaran gendhing itu tidak saja perlu untuk memperoleh pengetahuan dan kepandaian hal gendhing, namun perlu juga bagi tumbuhnya rasa kebatinan, karena selalu menuntun ke arah rasa kewiramaan perasaan ritmis, seperti: rasa runtut, patut, titi, pratitis, tetep, tatag, antep, mantep, harmonis, patut, teliti, tepat, tetap tak gentar, bersungguh-sungguh, setia dan sebagainya, begitu pula menghidup-hidupkan rasa keindahan perasaan estetis, seperti rasa edi, peni, resik, endah, alus, luhur, bening, sangat baik, berharga, bersih, indah, halus, luhur, jernih dan sebagainya; selain itu juga menguatkan serta memurnikan rasa kesusilaan, seperti: perasaan alus, suci, lebet, santosa, jejer, gadah prabawa, mandiri, budi pekerti, raos gesang bebrajan Marwoto, 1981. Halus, suci, dalam, sentosa, teguh, berwibawa, dapat berdiri sendiri, budi pekerti, hidup bersama dan sebagainya. Di Jawa para pendeta dan wali sama memperhatikan kesenian gendhing, bahkan banyak yang turut memperbaharui bentuk gendhing serta kidung seperti Sunan Kali Jaga, Sunan Giri, Sri Sultan Agung, dan sebagainya. Demikian pula di dunia Barat para pemimpin agama serta para paus dan pendeta semuanya mempergunakan daya pengaruh gendhing untuk pembuka rasa kebatinan dan keagamaan, pun juga sebagai pengasah budi atau pembentukan watak yang berdasarkan tajamnya cipta, halusnya rasa serta kuatnya karsa Dewantara, 1968. 5 Pada jaman sekarang para ahli kebudayaan perlu sekali memperhatikan pengajaran gendhing bagi pemuda, tidak saja karena hal tersebut di muka, tetapi juga karena sifatnya gendhing Jawa itu sungguh indah serta luhur, patut jadi kekayaan bangsa yang tiada taranya. Kecuali demikian, rasa memiliki kebudayaan indah–luhur itu dapat menimbulkan kebanggaan serta kemurnian rasa kebangsaan. Oleh karena itu piranti-piranti seni perlu juga diketahui. Wirama Gendhing Wirama gendhing terjadi karena suara tuntunan kendang, dalam tarian menurut tuntunan keprak seperti tersebut di bawah: Lambat cepatnya laku disebabkan oleh lambat atau mendesaknya pukulan kendang; Dalam dangkalnya suara disebabkan oleh suara dang atau dung. Tertib serta teraturnya getar dan gerak selalu mengikuti suara kendang yang berbunyi tek. Jadi bunyi kendang itu, selain dapat lambat atau cepat, ada 5 macam: dang, dung, pak, tong serta tek; yang lain-lain hanya merupakan prenlian belaka delang, delung, sut, gembleb, dan sebagainya. Tertib serta teraturnya laku dijaga pula oleh pukulan saron, ketuk, kempul, kenong serta gong, yang masing-masing dapat diumpamakan titik lampah, titik pedotan, titik pada lingsa, titik pada dirga serta titik pada, seperti halnya dalam menulis sekar lagu. Selain itu bunyi kempul menimbulkan rasa naik, ringan, dangkal, sehingga membawa kegembiraan; adapun bunyi kenong menimbulkan rasa menurun, dalam, berisi, hingga mendatangkan rasa tenteram atau tidak tergesa-gesa bunyi gong jelas menimbulkan rasa puas, lega, sempurna Sri Widodo, 2000. Laku atau jalannya 6 gendhing itu dijelaskan oleh pukulan saron, serta terbagi dalam 2 bagian pokok: lampah lamba = pukulan yang memperdengarkan bunyi gendhing yang pokok; lampah dados ngracik = melipatgandakan lampah lamba, yang menyebabkan bunyi lagu terdengar jelas. Dalam lampah lamba tiap satu kenong mengandung 8 pukulan saron untuk gendhing alit gendhing kecil dan gendhing madya gendhing tengahan; adapun gendhing ageng gendhing besar berisi 16 pukulan dalam gendhing ketuk 4 atau 32 pukulan dalam gendhing ketuk 8. Adapun dalam lampah dados jumlah pukulan saron tadi lalu lipat dua. Dalam satu gongan biasa disebut satu wilet, gendhing itu dapat berisi 2 kenongan, dapat pula berisi 4 kenongan. Tiap satu kenongan dalam gendhing alit berisi kempul, jatuh pada bilangan pukulan saron yang ke-4, gendhing madya dan besar tidak memakai kempul. Pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2 dan 6 pada gendhing alit atau madya yang berwirama lama 8 pukulan; dalam wirama dados 16 pukulan ketuk jatuh pada bilangan 4 dan 12. Parikan punika : lagon kalih gatra, molung wanda. Saben sagatra kapedhot: 4 – 4. Gatra ingkang kapisan boten wonten tegesipun. Gatra ingkang kaping kalih wonten tegesipun. Panatanipun: Wanda pungkasaning pedhotanipun gatra ingkang kapisan, kecapipun kedah sami kaliyan wanda ingkang pungkasanipunpedhotanipun gatra ingkang kaping kalih, kados ta : 1. Manuk glathik dibubuti, slendhang bathik, manas ati. 2. Emping mlinjo gepeng-gepeng, stagen ijo mentheng-mentheng. 3. Jurung jugrug, pinggir kali, wani nglurug, wedi mati. 7 4. Ijo-ijo godhong jati, Arep tinjo, dioncati. 5. Cao wutah, mowat-mawut, botoh kalah, anjalebut. Terkadhang gatra kalih wau dipun rangkepi malih sagatra wolung wanda kadosta : Awan nglinting, bengi nglinting, sing dilinting rokok dika, Awan gonjing, bengi gonjing, gonjing mikir upajiwa. Parikan punika ingkang kathah namung prenesan kangge njemoni. Mila suraosipun kathah ingkang saru-saru utawi lekoh-lekoh. Ingkang kerep ngangge parikan punika limrahipun tiyang-tiyang ingkang sami njambut damel bau-suku awrat, kasar, kadosta: tiyang nggrobag, tiyang nggered slender, keseran lan sapiturutipun Sudibyo Aris, 1982. Prelunipun kangge slamuran. Yen kangge wonten ing gendhing, dipunangge tembangipun tledek, saur-sauran kaliyan badut, upami : ijo-ijo, grompol lan sapiturutipun. Senggakan Adapun pada gendhing ageng yang berisi ketuk 4, pukulan ketuk jatuh pada bilangan 2-6-10 dan 14 bila wiramanya lamba 16 pukulan; dalam wirama dados 32 pukulan, jatuh pada bilangan 4-12-20-28. Pada gendhing ageng ketuk 8, ketuk tadi jatuh pada bilangan 2-6-10-14-18-22-26-30 dalam wirama lamba, dan bila wiramanya dados jatuh pada bilangan 4-12-20-28-36-44-52 dan 60. Berdasarkan wiramanya, seperti tersebut pada di atas, gendhing itu dibagi dalam 3 jenis, yaitu: Gendhing alit, 8 pukulan lamba atau 16 kalau ngracik berlipat dalam tiap satu kenong, dengan kempul; gendhing alit terbagi atas: 8 ketawang, ladrang, gangsaran, sabrangan, tropongan, bibaran dan sebagainya. Ketawang berisi 2 kenongan, sedang lainnya 4 kenongan; kempul yang pertama dalam wirama lamba yang seseg atau cepat tidak dipukul wela, kecuali “ketawang” karena ketawang itu wiramanya lambat. Ada lagi gendhing-gendhing yang termasuk gendhing alit, seperti: sampak playon, srepegan, yang mempunyai aturan tidak tetap mengenai jatuhnya ketuk, kempul, kenong dan gong, deikian pula halnya dengan dolanan, prenesan dan sebagainya. Gendhing madya tengahan dalam tiap satu kenongnya berisi 16 pukulan seperti gendhing alit yang ngracik, hanya saja antara 2 ketuk tidak ada kempulnya; apalagi wiramanya lebih antal lambat daripada gendhing alit dan biasanya disebut gendhing ketuk kalih gendhing ketuk dua. Adapun gendhing madya seperti halnya dengan gendhing ageng mempunyai bagian muka, yang disebut gendhingnya di Surakarta disebut merong, sedang bagian belakang dipukul sebagai pengganti gendhing, disebut ndawuh di Surakarta minggah. Adapun dawahing gendhing lalu rangkap wiramanya; gendhing ketuk kalih lalu menjadi ketuk sekawan ketuk empat atau kadang-kadang dapat juga menjadi gendhing ladrangan dengan kempul. Gendhing ketuk kalih tengahan, madya ialah misalnya: candra, gandrung-gandrung, sarayuda, lahela dan sebagainya. Gendhing ageng: tiap satu kenong, berisi ketuk 4 atau ketuk 8 yaitu 16 atau 32 pukulan lamba serta 32 atau 64 pukulan dados; bila sudah ndawah lalu menjadi gendhing ketuk 8 atau ketuk 16 pukulan 64 atau 128. Gendhing ageng, ialah misalnya: gendhing mawar, jangga, semang dan sebagainya. Mengenai ndawah tidak selamanya ndawah 9 tetep akan tetapi dapat pula ndawah menjadi gendhing alit lainnya menurut kehendak penuntunnya; yang demikian itulah termasuk tanduk prenes. Untuk menentukan wirama gendhing cukuplah dengan menyebutkan jumlah ketuk atau kendangnnya; misalnya: gendhing ketuk kalih kendangan candra, demikian lalu jelaslah wiramanya Waridi, 2004. Senggakan memper parikan. Wilanganipun boten temtu, namung pados mathukipun kaliyan gendhing ingkang dipun gerongi. Kanggenipun namung kangge nyenggaki gendhing, inggih punika selanan ingkang atawisipun gerongan utawi pada bakuning gendhing. Prelunipun namung kangge samben sadangunipun ngentosi gerongan candhakipun. Wilanganipun wonten ingkang 12, kapedhot : 4 – 8, kadosta : 1. Klenthing miring, krambil bolong sisa bajing, milang-miling, golek tandhing lencir kuning. 2. Kanthong sutra, kumlewer neng sabuk wala, Sun dudute, manawa condhong karepe. 3. Putra-putri putrane Petruk patrolan, Gareng mati, matine tiban bedudan. Ingkang wilanganipun sanes malih, kadosta : 1. Ri, ri, ri, Purwosari keh sepure, 2. Emoh konjak emoh anggur, takpilih sing gede duwur. 3. Empek-empek andhong-andhong, mbukak dengkek kleru plompong. 4. Babal bunder manglung kali. 5. Duwa lo lo lowe Pandhapukanipun namung kaotak-atik murih sagedipun ceples kaliyan gendhingipun. Ingkang prelu dipun engeti namung kecapipun ingkang sami. 10 Pedhotan Salah satu piranti dalam tembang macapat adalah pedhotan. Menurut Wiryah Sastrowiryono 1988, pedhotan dijelaskan sebagai berikut: Pangetokipun gatra dados kalih perangan, tigang perangan utawi langkung, inggih punika ingkang nedahaken andheging napas. Dhawahing pedhotan kedah trep tembungipun, dados sampun ngantos wonten tembung kapedhot dados kalih, sepalih tumut ngajeng, sepalihipun tumut wingking. Makaten ugi ukara inggih boten piyoga kapedhot, yen : sapalih tumut sekar inginggil, sepalihipun tumut sekar ing andhap. Dene waton pamedhotipun wau makaten : yen cacahing wanda ing dalem sagatra wonten : 5, pamedhotipun : 3 – 2, utawi : 2 – 3 . 6, pamedhotipun : 4 – 2, utawi : 2 – 4 utawi : 3 – 3 7, pamedhotipun : 4 – 3, utawi : 3 – 4 utawi : 2 – 3 – 2 . 8, pamedhotipun : 4 – 4, utawi : 3 – 2 – 2 utawi : 3 – 2 – 3 . 9, pamedhotipun : 4, salangkungipun mirid ingkang 5 wanda. Langkungipun saking 9 wanda : 4, salajengipun mirid tirahanipun. Tumrapipun sandi asma, pamedhotipun ajeg : 6 wanda, kapedhot : 2 – 4. 7 wanda, kapedhot : 3 – 4. 8 wanda, kapedhot : 4 – 4. Langkungipun saking 8 wanda, kapedhot 4, salajengipun mirid tirahanipun. Tiyang nyekaraken, bilih saged anglenggahi dateng patokan kalih prakawis, gurulagu tuwin guruwicalan, nama sampun saged tumindak. Nanging manawi ukaranipun dereng manut ing pedotan, sekaranipun nama taksih kirang sakeca, awit pedotan punika ingkang nedahaken andeging napas. Dados saupami kendeling napas ngantos medot tembung, sanadyan boten lepat ukaranipun, 11 nanging kital ing pamaos, mila raosing sekaran lajeng kirang sakeca Nanang Windradi, 2002. Sayektosipun manawi dipun petani, sanadyan sekaranipun para linangkung inggih wonten ingkang boten netepi patokaning pedotan. Bok manawi ingkang makaten wau namung caking boten anggalih dateng patokan kemawon, nanging sampun kulina tuwin keraos dateng gregeting sekaran, mila sekaranipun inggih sae kemawon. Namung menggah tiyang nyekaraken, salugunipun manawi ngantos katah, asring wonten ingkang cewet. Ananging menggah ing tiyang ingkang sampun kulina, sadawah-dawahing sekaranipun tamtu katali ingkang nglenggahi pedotan, awit pandameling ukara ing sekar sampun atul, ewa samanten menggah ing pedotanipun, punika manawi namung dipun waos kangge maos serat, cakipun sakeca kemawon, kajawi manawi kangge anggerong, punika tamtu keraos kital, awit sakecaning gerongan punika manawi pedotanipun manut kados caraning pedotan ing sandiasma. Dene peranganing pedotan wau kados ingandap punika: Padalingsa ingkang cacahing wanda 5, kenging kapedot 3.2 utawi 2.3 Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, kenging kapedot 4.2 utawi 3.3 utawi 2.4. Padalingsa ingkang cacahing wanda 7, kenging kapedot 4.3 utawi 3.4 utawi 2.3.2. Padalingsa ingkang cacahing wanda 8, kenging kapedot 4.4 utawi 3.3.2 utawi 3.2.3. Padalingsa ingkang cacahing wanda 9, kenging kapedot 4, salajengipun kenging mirit kados ing pedotan wanda 5. Langkungipun saking 9, sasampunipun dipun pedot 4 rumiyin, salajengipun inggih dipun pedot miturut tirahanipun. Sarehning patokaning pamedot wau boten namung sawarni, dados 12 tumrap tiyang ingkang bade nyekaraken saged milih ing sasakecanipun, tuwin menggah cacahing wanda inggih boten angangelaken ukara. Namung tumrap sekar ingkang mawi sandiasma, pamedotipun ragi geseh, kedah ajeg, manawi: Padalingsa ingkang cacahing wanda 6, pedotanipun 2.4. Ingkang cacahing wanda 7, pedotanipun 3.4. Ingkang cacahing wanda 8, pedotanipun 4.4. Langkungipun saking 8, pamedotipun 4 rumijn, salajengipun kados inginggil. Mirit kawontenanipun serat-serat kina, anggitanipun para pujangga utawi para saged, kiranging sregipun pedotan namung sakedik sanget, dados sadaya sampun meh anglenggahi patokan. Mila tumrap ingkang sami bade sinau nyekaraken, sanadyan dereng nama saged, tamtu inggih lajeng mangertos utawi saged neniteni tuwin salajengipun saged angewahi kados pundi menggah leresing pedoten, pepiritanipun mendet saking patokan ingkang kasebut inginggil Purwadi, 1995. Sarehning patokan nyekaraken ing bab pedotan punika saweg pinanggih wonten ing jaman sapunika, dados sampun sami anggalih bilih serat-serat kina ingkang sinawung ing sekar punika awon, awit awon saening sekaran ingkang netepi pedotan punika pancen dereng kamanah, dados panitikipun namung wonten ing awon saening ukara. Awon saening ukara wan caged nitik saking enem sepuhing serat. Dene pepiritanipun kados ingandap punika: Bebukanipun serat Panji Angreni ingkang sampun umur 150 taun langkung. Kinanti. Dan purwakaning angapus, mwang anreh gita tan saking, pratameng Kawi grendaka, ya maka pangaksamaning, para sujana jumena, patapning jamaka gendhing. 13 Sekaran inginggil punika ukaranipun kaken, Kawinipun boten kulina kesrambah, pedotanipan boten netepii patokan, dados ingkang kecakup namung gurulagu tuwin guruwicalanipun. Tumrapipun ing jaman sapunika sampun boten wonten pepilihanipun. Nanging titiking serat kina katingal sanget. Punika nandakaken hilih kawontenanipun kala jaman samanten inggih beda sanget kaliyan jaman sapunika, mila wileting ukara, peprenesan tuwin sanes-sanesipun tumraping jaman sapunika inggih boten amranani. Bebukanipun serat Wulangreh, anggitandalem Ingkang Sinuhun Paku Buwana kaping IV. Dhandhanggula. Pamedare wasitaning ati, cumantaka aniru pujangga, dahat muda ing batine, nanging peksa ginunggung, datan weruh akeh ngesemi, ameksa angrumpaka, basa kang kelantur, tutur kang ketula-tula, tinalaten rinuruh kalawan ririh, mrih padanging sasmita. Sekaran punika prasadja sanget, meh boten wonten Kawinipun, pedotanipun sampun leres sadaya. Mirit sekaran punika, dados menggah ing tiyang nyekaraken, sanadyan namung ngangge ukara limrah ugi sakeca, angger netepi ing pedotanipun. Bebukanipun serat Lokapala, karanganipun Raden Ngabei Sindusastra. Dhandhanggula Rebo Epon panitraning manis, Jumadilawal jimmawal warsa, enjang ping wolulikure, kaneming Julungpudjut, Sri tumurun anuju Dadi, Paningron Sang Hyang Yama, Ijrah Nabi Sewu, rongatus wandasa gangsal, sinangkalan: Wiku misik swara tunggil, neng barisan Pijenan. 14 Sekaran inginggil punika sampim ngangge iketan ukara Jawi ing jaman sapunika, pedotanipun namung lepat satunggal, ing padalingsa kaping kalih. Ukaranipun sarwa prasaja, tuwin salajengipun ingkang kawrat ing serat Lokapala wau sae, greget-sautipun anenangi manah. Dene lepatipun pedotan wan namung jalaran kepeksa ngangge tembung ingkang gangsal wanda. Bebukanipun serat Rama, karanganipun R.Ng. Yasadipura. Dhandhanggula Tabuh sapta nudjwa Buda Manis, wulan Sura leaping tigangdasa, ing mangsa kapat wukune : Kurantil Jekang taun, Sirneng tata pandita siwi, sangkala duk manurat, agnya Maha nurun, mangun langening carita., caritane Betara Rama ing Kawi, jinarwakken ing krama. Sekaran inginggil punika larasipun sami kaliyan serat Lokapala. Bebukanipun serat Cemporet, karanganipun Raden Ngabei Ranggawarsita. Dhandhanggula Song-song gora candraning artati, lir winedyan saraseng parasdya, ringa-ringa pangriptane, tan darbe labdeng kawruh, angruruhi wenganing budi, kang mirong ruhareng tyas, jaga angkara nung, minta luwaring duhkita, ajwa kongsi kewran lukiteng kinteki, kang kata ginupita. Sekaran inginggil punika sampun boten wonten kuciwanipun, luwesing ukara tuwin sakecaning panganggenipun Kawi pantes dados tetuladan. 15 Keadaan pengetahuan gendhing Jawa dewasa ini belum sesuai dengan keadaan jaman serta alam kesarjanaan: cara-cara pengajaran berdasarkan patokan yang ilmiah. Pendapat-pendapat serta cara-cara pengajaran tadi kadang-kadang saling bertentangan, sebab masing-masing memakai dasar sendiri-sendiri yang hanya bersandarkan rasa serta perkiraan belaka, lagi sering berpegang pada ketakhayulan Soerasa, 1983. Hal demikian itu membingungkan mereka yang hendak belajar, hingga akhirnya menyebabkan mundurnya kesenian gendhing Jawa. Pengetahuan gendhing yang berdasarkan kesarjanaan, tidak saja akan menggampangkan pengajaran, namun juga akan dapat mengokohkan kedudukan gendhing Jawa serta menghidupkannya, sebab akan dapat melenyapkan sebarang ikatan yang serta membelit dan merintangi langkah kebiasaan yang berulang- ulang seperti mesin, kebekuan; kemerdekaan gendhing Jawa akhirnya akan dapat memperbaiki, memajukan serta menambah keluhuran kebudayaan bangsa. Segala cara serta jalannya pengajaran sistem dan metode harus bersifat benar dan gampang praktis. Untuk melengkapkan susunan pengetahuan serta pengajaran gendhing Jawa, terlebih dahulu harus diketahui adanya tiga hal: Betapa dalam serta luasnya kesenian gening Jawa; Isi dan bagian-bagiannya gendhing Jawa, serta bagaimana hubungannya segala bagian tadi; Bagaimana cara menyusun pelajaran, agar dapat mempersatukan bagian-bagian tadi sehingga merupakan benda yang utuh kembali Dewantara, 1968. Traping ukara wonten ing sekar kaangkaha : Kados pandhapukipun pandamelipun ukara gancaran. Sapada sekar kadamela saukara. Sekar sepada 16 kabage dados sawatawis andheg, kangge unjal ambegan. Saben andheg wonten ingkang langkung saking sagatra, utawi saukara. Pedhotan = dados peranganing ukara ing sagatra-gatranipun. Andheg = dados ukara utawi dados peranganing ukara ing sapada-padanipun = dados peranganing pedhotan ageng. 17

BAB II TATA WIRAMA TEMBANG