JURIDICAL REVIEW CRIMINAL SYSTEM FOR NARCOTICS USERS BASED ON LAW NUMBER 35 YEAR 2009 TINJAUAN YURIDIS SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

(1)

ABSTRACT

JURIDICAL REVIEW CRIMINAL SYSTEM FOR NARCOTICS USERS BASED ON LAW NUMBER 35 YEAR 2009

by :

Pratiwi Sarastika Azwar

Users of narcotics and psychotropic substances is one of the victims of the crime of drug that should be protected as victims' rights. To that end, the criminal sanctions imposed against drug users should be in accordance also with the purpose of punishment. The problem in this study is how the law system for narcotics users in accordance with Law Number 35 year 2009 what criteria a user narcotics classified as narcotics addicts.

The approach used is the problem of normative juridical approach and supported empirically juridical approach. The data used are primary and secondary data. The data is then presented in the form of stylized descriptions, and then pulled through application to a conclusion.

Criminal system for drug users based on the concept of a double track system. Double track system is a criminal law policy governing the sanctions given to the abuse of drugs, in the form of criminal sanctions and the sanctions measures. Criteria classified as a narcotic users narcotics addict if the time period of 12 months using narcotics continuously. Individuals who abuse narcotics will not necessarily be reliance when a person is certainly abusing narcotic dependence. The judge in rendering a verdict based on appropriate considerations of conscience and uphold human rights, so that the punishment imposed on drug abuse achieve legal. And judges who handle narcotics cases to be more accurate in classifying offenders with drug abuse dealers, because the position of drug users as victims have rights that must be protected.


(2)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP PENGGUNA NARKOTIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 Oleh:

Pratiwi Sarastika Azwar

Pengguna narkotika dan psikotropika merupakan salah satu korban dari tindak pidana narkotika yang seharusnya mendapatkan perlindungan hak-hak sebagai korban. Untuk itu, sanksi pidana yang dikenakan terhadap pengguna narkotika harus sesuai juga dengan tujuan dari pemidanaan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dan bagaimanakah kriteria seorang pengguna narkotika digolongkan sebagai pecandu narkotika.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dan didukung denga pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data yang sudah diolah kemudian disajikan dalam bentuk uraian, kemudian untuk selanjutkan ditarik suatu kesimpulan.

Sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika didasari konsep dari double track system. Double track system merupakan kebijakan hukum pidana yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika, yakni berupa sanksi pidana dan sanksi. Kriteria seorang pengguna narkotika digolongkan sebagai pecandu narkotika jika dalam periode waktu 12 bulan menggunakan narkotika secara terus-menerus. Individu yang menyalahgunakan narkotika belum tentu akan ketergantungan sedangkan seseorang yang ketergantungan sudah pasti menyalahgunakan narkotika.

Hakim didalam memberikan putusan didasarkan pertimbangan yang sesuai hati nurani dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, agar pemidanaan yang dikenakan terhadap penyalahgunaan narkotika mencapai tujuan hukumnya. Serta hakim yang menangani perkara narkotika agar lebih teliti dalam menggolongkan pelaku penyalahgunaan narkotika dengan pengerdar, karena kedudukan pengguna narkotika sebagai korban yang mempunyai hak-hak yang harus dilindungi.


(3)

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

(Tesis)

Oleh

PRATIWI SARASTIKA AZWAR

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

Oleh :

PRATIWI SARASTIKA AZWAR

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar MAGISTER HUKUM

Pada

Program Pascasarjana Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

Nama:Mahasiswa No. Pokok Mahasiswa Program Kekhususan

Programstudi'

'

:

' , t ,. ":

Fakuitas

"

., .

:

Pf,,{ftWI

SARASTIKA

AZWAR

1222011030

Hukum Pidana ..t :

Program Pascasaqjana Magister Hukum

Hukum

MENYETUJUI

KornisiPembirnbing

Fembim.bing Pendamping,

Pembimbrpg Utama,

Rifai,,S.H., M.H.

t9,51Q912198603 r 003


(6)

1. Tim Penguji Pembimb,ing'i

Pembimbing 2

Pengu.lr

Penguji

...:. .. :. 1 :

Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H.

Dr. Maroni. S.H., M.II.,

,

,

, Dr. Erna Dewi, S.H., M.H; :,

,,,i,

Rudy, S;H.,:LLM, LL.D. ,l

6.*,Dr.'Sutlj arwo, M.S.

8,,1.9530528 198103

I

002


(7)

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa:

1.

Tesis dengan judul "Tinjauan Yuridis Sistem Pemidanaan Terhadap

Pengunaan Narkotika Berdasarkan undang

-

undang Nomor 35 Tahun

2009' adatah karyasaya sendiri dan sayatidak melakukan penjiplakan

atau pengutipan atas karya penulis lain dengan cara yang tidak sesuai

dengantata etika ilmiah yang berlaku dalam masyarakat akademik atau yang disebut Plagiarisme.

2.

Hak intektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada Universitas Lampung.

Atas pernyataan ini, apabila dikemudian hari temyata ditemukan adanyaketidak benaran, saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan kepada

saya, saya bersedia dan sanggup dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.

Bandar Lampung, Mei 2014

1!.,i

' Pratiwi Saratika Azwar


(8)

RIWAYAT HIDUP

Pratiwi Sarastika Azwar dilahirkan di Bandar Lampung

3 November 1990, yang merupakan anak pertama dari lima bersaudara pasangan Bapak Drs. Hi. Azwar Yacub dan Ibu

Sapriana, S.Sos.

Penulis melaksanakan studi di Sekolah Dasar Negeri 4 Talang pada tahun 2002, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Bandar Lampung pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bandar Lampung pada tahun 2008. Pada tahun 2012 penulis mendapat gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung dan melanjutkan studi Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung pada tahun 2012.


(9)

MOTO

“ Pada Khamar dan Judi itu terdapat Dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, aku persembahkan sebuah karya sederhana ini sebagai tanda bakti dan kasih sayangku

kepada :

Papa Drs. Hi. Azwar Yacub dan Ibu Sapriana S.Sos., yang senantiasa berdo’a hanya

untuk keberhasilanku

Adikku Shelly Malinda Azwar, Hector Macho Yusuf Habibie, Ahmad Sjachroedin

Yacub dan Aburizal Yacub yang juga mendo’akanku dan senantiasa menemaniku dengan

keceriaan serta kasih sayang

Ahi, seseorang yang InsyaAllah menjadi pendampingku dalam suka dan duka

Dosen-Dosenku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku teristimewa yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTTO ... vii

PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pidana dan Pemidanaan ... 21

B. Sistem Pemidanaan ... 32

C. Pengertian Narkotika ... 39

D. Tindak Pidana Narkotika ... 49

E. Double Track System dalam Undang-Undang Narkotika ... 56

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendeketan Masalah ... 62

B. Sumber dan Jenis Data ... 62

C. Penentuan Narasumber ... 63

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 64


(12)

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotik ... 67 B. Kriteria Seorang Pengguna Narkotika Digolongkan Sebagai

Pecandu Narkotika... 88

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ... 99 B. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan karena posisi Indonesia saat ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun pemasaran narkotika, melainkan sudah menjadi daerah produsen narkotika. Hal ini dibuktikan dengan terungkapnya pabrik-pabrik pembuatan narkotika dalam bentuk besar dari luar negeri ke Indonesia. Karena saat ini letak Indonesia yang sangat strategis dan tidak jauh dari segi tiga emas (Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afganistan, dan Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia, menjadikan Indonesia sebagai lalu lintas gelap narkotika.

Penyalahgunaan narkotika di kalangan masyarakat luas mengisyaratkan kepada kita untuk peduli dan memperhatikan secara lebih khusus untuk menanggulangi, karena bahaya yang ditimbulkan dapat mengancam keberadaan generasi muda yang kita harapkan kelak akan menjadi pewaris dan penerus perjuangan bangsa di masa yang akan datang. Untuk mengatur permasalahan tersebut, keberadaan hukum pidana sangatlah diperlukan. Hukum pidana sebagai salah satu bagian dari hukum pada umumnya memang tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan


(14)

hukum-hukum lainnya, bahwa semua hukum tersebut memuat sejumlah ketentuan-ketentuan untuk menjamin agar norma-norma yang ada di dalam hukum ditaati oleh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya semua hukum bertujuan untuk menciptakan suatu keserasian, ketertiban, kepastian hukum dan lain sebagainya dalam pergaulan hidup bermasyarakat.1

Akan tetapi dalam satu hal hukum pidana menunjukkan adanya suatu perbedaan dari hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa di dalamnya orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan suatu akibat hukum berupa suatu bijzondere leed atau suatu penderitaaan yang bersifat khusus dalam bentuk suatu hukuman kepada mereka yang telah melakukan suatu pelanggaran atau larangan-larangan yang telah ditentukan di dalamnya.2

Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika harus disertai dengan penegakan hukum bagi pelaku melalui sistem pemidanaan yang dianut di Indonesia, salah satunya sistem pemidanaan adalah menerapkan dan menjatuhkan sanksi hukuman bagi pelaku melalui Putusan Hakim yang berdasarkan restrorative justice dengan tujuan treatment (perawatan) bukan pembalasan seperti paham yang lazim dianut oleh sistem pemidanaan di Indonesia berupa penjatuhan sanksi pidana penjara.

Tratment sebagai alternatif pemidanaan bagi pelaku pemakai dan pecandu penyalahgunaan Narkoba sebagai korban peredaran gelap Narkoba sangatlah tepat untuk digunakan daripada pendekatan retributif dan relatif pada sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa penerapan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana Narkoba berdasarkan tujuan tratment

1

Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2004, hlm 5. 2Ibid.


(15)

lebih diarahkan kepada pelaku sebagai korban bukan kepada perbuatannya sehingga alternatif pemidanaan ini ditujukan untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) daripada penghukuman.

Alternatif pemberian sanksi pidana berupa tindakan perawatan dan perbaikan sebagai pengganti dari hukuman didasarkan pada korban adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan rehabilitasi. Sedangkan pendekatan retributif melegitimasi pemidanaan sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang imoral dan asusila di dalam masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan penjatuhan pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan mempunyai satu tujuan yaitu pembalasan.3

Tujuan dari restrorative justice berdasarkan treatment pada penerapan sistem pemidanaan penyalahgunaan narkoba juga bagian dari politik kriminal sebagai pertimbangan pelaku yang merupakan korban peredaran gelap narkoba, langkah-langkah menanggulangi dampak negatif penyalahgunaan narkoba yakni candu dan ketergantungan. Penanggulangan dampak negatif bagi pelaku meliputi tindakan mengobatan berupa rehabilitasi dengan memisahkan pelaku penyalahgunaan Narkoba dengan pelaku kejahatan-kejahatan lainnya pada sistem pemasyarakatan.4

Arti pentingnya penerapan rehabilitasi bagi pelaku penyalahgunaan Narkoba adalah pengobatan, perawatan pecandu dan ketergantungan Narkoba. Hal ini

3

Supardi, http/www.bnn.go.id/konten. Pro dan Kontra Pidana mati terhadap Tindak pidana Narkoba, diakses 7 April 2014 23.01 WIB

4

Syamsul Hidayat, Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Upaya Penanggulangan Tindak pidana Narkoba, Semarang,2008. hlm. 3.


(16)

disebabkan pelaku pemakai dan pecandu Narkoba merupakan korban dari peredaran gelap Narkoba. Di samping itu untuk menanggulangi kelebihan kapasitas infrastruktur lembaga pemasyarakatan, misalnya di Wilayah hukum Polda Lampung dalam kurun waktu 2012 s/d 2013 (November-Juni) di wilayah hukum Polda Lampung terdapat 2.958 jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 4.160 tersangka pada tahun 2012, sedangkan pada tahun 2013 terdapat 1.055 kasus penyalahgunaan Narkoba dengan jumlah tersangka sebanyak 1.587 tersangka, sehingga dalam kurun waktu 2012 s/d 2013 (November-Juni) jumlah kasus penyalahgunaan Narkoba sebanyak 4.013 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 5.747 tersangka. Jumlah kasus dan tersangka penyalahgunaan Narkoba yang terbesar di wilayah hukum Polda Lampung adalah jenis ganja dengan jumlah kasus sebanyak 2.778 dan tersangka sebanyak 3.969 sedangka jumlah kasus dan tersangka penyalahgunaan Narkoba yang terkecil di wilayah hukum Polda Sumatera Utara adalah jenis Obat/Zat Berbahaya dengan jumlah kasus sebanyak 28 kasus dan tersangka sebanyak 30 orang.5

Berdasarkan gambaran di atas penyalahgunaan dan tindak pidana narkoba telah berada pada tingkat yang membahayakan, karena di samping merusak fisik dan mental juga mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Maraknya penyalahgunaan psikotropika dalam masyarakat salah satunya disebabkan oleh perolehan keuntungan yang sangat luar biasa dalam perdagangan gelap psikotropika tersebut, sehingga banyak orang tergiur untuk masuk dalam jaringan bisnis psikotropika, walaupun pihak yang berwajib, dalam hal ini kepolisian, juga

5


(17)

telah berupaya terus menerus untuk memberantas peredaran dan penyalahgunaan psikotropika.

Penanggulangan secara preventif adalah berupaya menghilangkan atau mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika baik secara sektoral maupun lintas sektoral. Sedangkan penanggulangan secara represif pada dasarnya adalah penindakan pada pelaku yang melakukan tindak pidana mengedarkan dan mengunakan psikotropika untuk diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam pemberian sanksi terhadap penyalahguna psikotropika tentunya pihak yang terkait dalam hal ini Hakim mempunyai teori pemidanaan tersendiri dalam memutuskan perkara tersebut, terlepas teori manakah yang menjadi acuan para Hakim dalam memutuskan perkara psikotropika. Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika) maka undang-undang ini telah mempunyai daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika.

Undang-Undang Narkotika digunakan oleh hakim dalam memutus perkara pecandu dan pemakai Narkoba yakni Pasal 103 ayat (1) yang menyebutkan bahwa hakim yang memeriksa perkara pencandu narkotika dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan, apabila terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Sedangkan Pasal 54 menyatakan bahwa pengguna narkotika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang narkotika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutuskan perkara tersebut untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Penerapan sanksi berupa rehabilitasi bagi pecandu dan pemakai


(18)

Narkoba ini selain bertujuan memulihkan kecanduan pelaku terhadap narkoba juga akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan.

Meskipun telah diatur dalam perundang-undangan yang baru, namun sampai saat ini belum ada wujud yang kongkrit di dalam peraturan tersebut untuk menempatkan pengguna narkotika tidak hanya sebagai pelaku kriminal tetapi juga menitikberatkan bahwa pengguna adalah korban yang juga harus dipulihkan. Praktik dehumanisasi semakin menggeser posisi pengguna narkoba sebagai pelaku kejahatan dan melupakan bahwa mereka juga adalah korban yang melekat dengan segala hak-hak yang mesti disandangnya. Disaat Negara ini melanggengkan kriminalisasi terhadap pengguna narkoba, namun di belahan dunia yang lain terjadi perkembangan yang cukup signifikan terhadap penggiuna narkoba dengan melakuakn tindaka-tindakan dekriminalisasi terhadap pengguna narkoba dan mengembalikan kedudukan pengguna sebagai korban. Di Indonesia, dekriminalisasi pengguna narkoba baru sebatas wacana dan sedikit tindakan diskresi Kapolri terhadap pecandu anak-anak. Sementara kriminalisasi makin besar ternyata pada tingkat yang sama Negara sedang melakukan viktimisasi korban narkoba.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang hal tersebut sehingga penulis memilih judul dalam tesis ini

“Tinjauan Yuridis Sistem Pemidanaan Terhadap Pengguna Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009”


(19)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian seperti yang tersebut di atas, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan yaitu :

a. Bagaimanakah sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika?

b. Apakah yang menjadi kriteria seorang pengguna narkotika digolongkan sebagai pecandu narkotika?

2. Ruang Lingkup

Guna untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menghindari terjadinya kesalah pahaman tentang pokok permasalahan yang dibahas maka penulis memandang perlu adanya pembatasan permasalahan. Adapun yang menjadi ruang lingkup dalam penulisan tesis ini adalah pembahasan mengenai sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan kriteria seorang pengguna narkotika digolongkan sebagai pecandu narkotika.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya tujuan penelitian adalah untuk mencari pemahaman tentang masalah-masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui dan menganalisis sistem pemidanaan bagi pengguna


(20)

b. Untuk mengetahui dan menganalisis kriteria seorang penyalahguna Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum pidana, khususnya permasalahan tentang sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam menangani tindak pidana narkotika.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan penegakan hukum, sehingga dapat dijadikan masukan dalam cara berpikir dan cara bertindak para penegak hukum dalam mengambil keputusan guna mewujudkan tujuan hukum. Guna memperluas dan memperkaya wacana pengetahuan penulis, dan masyarakat umum mengenai kebijakan penegakan hukum pidana dalam menangani tindak pidana narkotika.

D. Kerangka Teoritis Dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Hukum merupakan suatu hal yang harus ada dalam masyarakat, tujuan dari penciptaan hukum itu sendiri adalah agar tercipta keadaan yang sesuai dengan tujuan dari penciptaan hukum itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch, ada tiga


(21)

tujuan hukum yaitu kemanfaatan, kepastian dan keadilan. Tiga nilai dasar hukum tersebut antara lain: 6

a. Kepastian.

Hukum harus memiliki kepastian yang mengikat terhadap seluruh rakyat, hal ini bertujuan agar seluruh rakyat mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, sehingga tidak terjadi diskriminasi dalam penegakan hukum.

b. Keadilan

Hukum harus memberikan rasa adil pada setiap orang, untuk memberikan rasa percaya dan konsekuensi bersama, hukum yang dibuat harus diterapkan secara adil untuk seluruh masyarakat, hukum harus ditegakkan seadil-adil nya agar masyarakat merasa terlindungi dalam naungan hukum.

c. Kemanfaatan

Hukum harus memberikan manfaat bagi semua orang, hukum dibuat agar masyarakat merasa terbantu dengan adanya hukum, sehingga mempermudah hidup masyarakat, bukan justru mempersulit hidup masyarakat.

Ketiga tujuan hukum ini dengan menggunakan “asas prioritas”. Akan tetapi

keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama dari pada kepastian dan kemanfaatan. Dari ketiga tujuan hukum tersebut tidak lah dapat dilaksanakan secara bersama karena sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.

6

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hlm 12


(22)

Moeljatno menyatakan bahwa dalam pembicaraan tentang perbuatan atau tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana. Perbuatan/tindak pidana hanya menunjuk pada dilarang atau diancamnya perrbuuatan dengan pidana. Apakah orag yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dijatuhi pidana, ini tergantung dari soal apakah dalam melakuakan perbuatan piidana ini dia mempunyai kesalahan. Sebab asas dalam pertanggungjawaban pidana adalah : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.7

Kapan orang tersebut dikatakan mempunyai kesalahan. Lebih lanjut Moeljatno menyatakan bahwa orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika ia pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi masarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal ia mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut. Kemampuan untuk mengetahui makna tersebutlah yang mendasari pemikiran bahwa terhadap anak kecil termasuk si gila tidak dapat diipersalahkan karena melakukan perbuatan yang tidak dipahaminya bahwa perbuatan itu dilarang.8

Adanya unsur kesalahan tersebut, Moeljatno menyatakan bahwa harus dipikirkan dua hal disamping melakukan perbuatan pidana, yaitu : 9

1) Pertama, adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu;

2) Kedua, adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi.

7

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 165.

8Ibid. 9Ibid.


(23)

Sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi disini berarti usaha untuk mengendalikan kejahatan agar berada dalam toleransi masyarakat. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut :10

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan

bekerjasama membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu “integrated criminal justice administration”. Dari sudut sistem peradilan pidana terpadu, pelaksanaan pidana merupakan salah satu sistem yang tidak terlepas dari sub-sistem lainnya, sedangkan dalam kerangka sub-sistem pemidanaan, pelaksanaan merupakan salah satu mata rantai untuk mencapai tujuan pemidanaan, pidana bersyarat merupakan salah suatu alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Menurut Lawrence Meir Friedman berhasil atau tidaknya Penegakan hukum bergantung pada:

1) Substansi Hukum

Substansi hukum disebut sebagai sistem Substansial yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan. Salah satu pengaruhnya adalah adanya

10

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 84


(24)

asas Legalitas dalam KUHP. Dalam Pasal 1 KUHP ditentukan “tidak ada suatu perbuatan pidana yang dapat di hukum jika tidak ada aturan yang mengaturnya”. Sehingga bisa atau tidaknya suatu perbuatan dikenakan sanksi hukum apabila perbuatan tersebut telah mendapatkan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan.

2) Struktur Hukum/Pranata Hukum

Hal ini disebut sebagai sistem Struktural yang menentukan bisa atau tidaknya hukum itu dilaksanakan dengan baik. Seberapa bagusnya suatu peraturan perundang-undangan bila tidak didukung dengan aparat penegak hukum yang baik maka keadilan hanya angan-angan. Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakkan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.

3) Budaya Hukum

Kultur hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. 11

Baik substansi hukum, struktur hukum maupun budaya hukum saling keterkaitan antara satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Dalam pelaksanaannya diantara ketiganya harus tercipta hubungan yang saling mendukung agar tercipta pola hidup aman, tertib, tentram dan damai. Seperti yang dikatakan oleh Carl von

11

Imam Syaukani, dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 72.


(25)

Savigny, dapat dilihat melalui pembuatan hukum dan fungsi utama hukum, yaitu:12

1) Pembuatan Hukum

Hukum bukan merupakan konsep dalam masyarakat karena hukum tumbuh secara alamiah dalam pergaulan masyarakat yang mana hukum selalu berubah seiring perubahan sosial.

2) Fungsi Utama Hukum

Konsep jiwa masyarakat tentang hukum ini tidak dapat menunjukkan secara jelas bagaimana isi dan ruang lingkupnya. Sehingga amat sulit melihat fungsi dan perkembangannya sebagai sumber utama hukum menurut teori Ini.

Pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan Narkoba tidak dapat dipisahkan dari sistem pemidanaan yang dianut oleh sistem hukum di Indonesia. Tujuan sistem pemidanaan pada hakekatnya merupakan operasionalisasi penegakan hukum yang dijalankan oleh sistem peradilan berdasarkan perangkat-perangkat hukum yang mengatur berupa kriminalisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba yakni Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Teori penjatuhan hukuman (pemidanaan) dapat digolongkan dalam tiga golongan pokok yaitu : 1. Teori Pembalasan (Teori Absolut atau Mutlak)

Menurut teori ini, setiap tindak kejahatan harus diikuti dengan penjatuhan pidana, tidak boleh tidak, seseorang mendapat pidana karena ia telah melakukan tindak kejahatan, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasaan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri. Menurut

12

Muhammad Arifin. Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum


(26)

Johannes Andenaes tujuan utama dari pidana menurut teori absolute ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.13 Andi Hamzah mengemukakan, dalam teori absolut atau teori pembalasan, pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat, kejahatan itu sendiri yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukannya suatu kejahatan dan tidak perlu memikirkan manfaat dari penjatuhan pidana itu, setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.14

2. Teori Tujuan (Teori Relatif, Nisbi atau Teori Perbaikan)

Berdasarkan teori ini, suatu kejahatan tidak harus diikuti dengan pemidanaan, karena suatu pemidanaan harus dilihat manfaat bagi masyarakat dan bagi penjahat itu sendiri, tidak hanya dilihat dari masa lampau tapi juga harus dilihat pada masa depan. Tujuan utama yang ingin dicapai pada teori ini bukan terletak pada pemberian pembalasan kepada terpidana atas tindak pidana yang dilakukan, tetapi untuk melindungi kepentingan masyarakat banyak. Berdasarkan tujuan tersebut Johannes Andenaes menyimpulkan teori ini sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).15 Teori tujuan atau teori relatif berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat, tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk

13

Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm 13

14

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, hlm. 26

15

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1 : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm.161-162.


(27)

mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupakan yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan.16

Menurut teori relative, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolute dari tuntutan, memidana harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanya menjatuhkan pidana saja atau pidana bukanlah sekedar untuk pembalasan atau pengambilan saja, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pencegah terjadi suatu kejahatan dengan mengadakan ancaman pidana yang cukup berat untuk menakut-nakuti calon penjahat. Seorang calon penjahat apabila mengetahui adanya ancaman pidana yang cukup berat diharapkan tidak akan menggunakan niatnya untuk melakukan kejahatan. Cara ini dilakukan secara umum, artinya kepada siapa saja agar takut untuk melakukan kejahatan. Selain itu juga adanya perbaikan atau pendidikan bagi penjahat, yaitu dengan memberikan sanksi pidana pada penjahat agar ia dapat kembali ke lingkungan masyarakat dengan keadaan mental yang lebih baik dan berguna. Cara perbaikan terhadap penjahat ada tiga macam yaitu, perbaikan intelektual, perbaikan moril, dan perbaikan yuridis.

3. Teori Gabungan (Verenings-Theorien)

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada azas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

16

A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010, hlm 45


(28)

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.17

Van Bemmelen yang menganut teori gabungan mengatakan pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduannya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat.18

Teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat. Dasar-dasar tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dengan teori tujuan maka disebut teori gabungan. Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat yang diterapkan secara terpadu.

Berdasarkan teori relatif yang telah dijelaskan di atas, memidana adalah bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak

17

Kanter, E.Y, dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia, Jakarta, 2002, hlm. 61

18


(29)

mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Pidana bukanlah untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Teori relatif melihat tujuan pidana adalah untuk pencegahan (prevention). Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat. Teori relatif atau teori utilitarian ini juga melihat bahwa pidana bersifat prospektif (berpandangan ke depan).

Pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak dapat membantu pencegahan tindak pidana untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. Pidana harus dapat membebaskan pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Makna pembebasan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat, yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu. Tidak dapat disangkal bahwa dalam pengetian pidana tersimpul unsur penderitaan. Akan tetapi, penderitaan yang dimaksud adalah penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-mata untuk penderitaan agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam, melainkan derita itu harus dilihat sebagai obat atau sebagai kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.


(30)

Berdasarkan teori di atas, maka terlihat bahwa tujuan pemidanaan yang semula adalah semata untuk pembalasan namun kemudian bergeser untuk memenuhi rasa keadilan. Terkait dengan pembebasan dari pemidanaan pemakai narkotika, ini berarti bahwa pemidanaan menurut para pembuat aturan ini sudah tdk terlalu efektif lagi. Sehingga yang diperlukan adalah rehabilitasi dan memanusiakan pemakai.

2. Kerangka Konseptual

Konsep adalah definisi operasional dari berbagai istilah yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun definisi operasional dari berbagai istilah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

a. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 1 Ayat (15) : Penyalahguna Narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

b. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, Pasal 1 Ayat (13) : Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

c. Sistem Pemidanaan adalah menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya atau pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim.19

d. Tindak pidana adalah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman Pidana oleh undang-undang. Tindak pidana di bidang narkotika antara lain berupa perbuatan-perbuatan seperti memproduksi, atau mengedarkan secara

19

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan kebijakan pidana, Alumni, Bandung, 2005, hlm 1


(31)

gelap, maupun penyalahgunaan narkotika, merupakan perbuatan yang merugikan masyarakat dan negara.20

E. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan dalam membaca dan memahami isi tesis ini, maka penulis menyusun kedalam 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan dari materi dengan perincian sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan kerangka konseptual sebagai acuan dalam membahas tesis, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan tentang pemahaman tindak pidana dan pengertian-pengertian secara umum tentang tinjauan umum narkotika, pengertian narkotika, penyalahgunaan narkotika, dan pecandu narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan mengenai metode yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini, yang memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penetuan populasi dan sampel, metode pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

20

Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyarkta, 1988 , hlm. 58.


(32)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan dari permasalahan yang yang diteliti yaitu sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan kriteria seorang penyalahguna Narkotika dapat dikatakan sebagai pecandu narkotika.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran yang mengarah kepada penyempurnaan penulisan tentang sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana dan Pemidanaan

Moeljatno membedakan istilah “pidana” dan “hukuman”. Beliau tidak setuju terhadap istilah-istilah konvensional yang menentukan bahwa istilah “hukuman”

berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” berasal dari perkataan “wordt gestraft”. Beliau menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana”untuk

kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk kata “word gestraft”. Hal ini

disebabkan apabila kata “straf” diartikan “hukuman”, maka kata “straf recht” berarti “hukum-hukuman”. Menurut Moeljatno, “dihukum” berarti diterapi

hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. “Hukuman” adalah hasil atau

akibat dari penerapan hukum tadi yang mempunyai arti lebih luas, sebab dalam hal ini tercakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.21

Hal di atas juga selaras dengan yang dikemukakan oleh Sudarto, bahwa

“penghukuman” berasal dari kata “hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya” (berechten). “Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Selanjutnya juga

21


(34)

dikemukakan oleh beliau, bahwa istilah penghukuman dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan

“pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Menurut beliau “penghukuman” dalam arti yang demikian mempunyai makna sama dengan “sentence” atau “veroordeling”.22

Akhirnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bahwa istilah “hukuman” kadang -kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straf”, namun menurut beliau,

istilah “pidana” lebih baik daripada hukuman. Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata “hukuman” sebagai istilah tidak dapat menggantikan kata “pidana”, sebab ada istilah “hukum pidana” disamping “hukum perdata” seperti ganti kerugian berupa pembayaran sejumlah uang atau penyitaan barang.23 Dalam kesempatan yang lain, Sudarto berpendapat bahwa istilah dan makna pidana tidak dapat dipisahlepaskan dengan hukum pidana, karena pidana adalah bagian/komponen penting dari hukum pidana.24

Sistem hukum di Indonesia, pidana dan perbuatan-perbuatan yang diancam pidana harus lebih dahulu tercantum dalam undang undang pidana. Hal ini sesuai dengan asas yang disebut dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Dalam hal ini terdapat perbedaan istilah hukuman dan pidana. Suatu pidana harus berdasarkan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya, karena dalam pengertian

22

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 72. 23

Wirdjono Prodjodikoro, AsasAsas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 2003, hlm. 1.

24


(35)

hukuman, di dalamnya termasuk keseluruhan norma, baik norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan.

Walaupun demikian, kedua istilah tersebut tetap mempunyai persamaan, yaitu sama-sama berlatar belakang pada tata nilai (value), baik dan tidak baik, sopan dan tidak sopan, diperbolehkan dan dilarang, dan seterusnya. Dengan demikian, seseorang yang dijatuhi pidana atau terpidana adalah orang yang bersalah atau melanggar suatu peraturan hukum pidana. Akan tetapi, seseorang juga mungkin dihukum karena melanggar suatu ketentuan yang bukan hukum pidana.

Berkaitan dengan siapakah yang berhak menjatuhkan pidana, pada umumnya para sarjana hukum telah sependapat bahwa negara atau pemerintahlah yang berhak untuk memidana atau memegang jus puniendiitu. Tetapi yang dipermasalahkan dalam hal ini adalah apa yang menjadi alasan sehingga negara atau pemerintah yang berhak untuk memidana. Menurut Beysens, negara atau pemerintah berhak memidana karena :25

a. Sudah menjadi kodrat alam, negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara. Di sinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar berfungsi atau benar-benar memerintah. Berdasarkan atas hakekat bahwa manusia secara alamiah, maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sanksi yang bersifat pembalasan itu.

b. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan itu tidak boleh

25Ibid,


(36)

bersifat balas dendam, tetapi bersifat obyektif dengan cara memberikan kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Hakekat serta apa yang menjadi tujuan pemidanaan itu, perlu dikemukakan lagi bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi yang istimewa, atau menurut Sudarto merupakan sistem sanksi yang negatif. Hukum pidana itu diterapkan jika sarana (upaya) lain sudah tidak memadai, sehingga hukum pidana dikatakan juga mempunyai fungsi atau sifat yang subsidiair.26

Menurut Leo Polak, apakah hakekat, makna, tujuan serta ukuran dari penderitaan pidana yang patut diterima, merupakan poblema yang tidak terpecahkan. Terhadap pendapat Leo Polak itu, Sudarto menegaskan bahwa sejarah dari hukum pidana pada hakekatnya merupakan sejarah pidana dan pemidanaan. Pidana termasuk juga tindakan (maatregel, masznahme), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan, sesuatu yangdirasakan tidak enak untuk dikenai. Oleh karena itu, orang tidak tidak pernah ada henti-hentinya untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk memberikan pembenarandari pidana itu sendiri.27

Mengenai hakekat pidana, pada umumnya para penulis menyebutnya sebagai suatu penderitaan atau nestapa. Bonger mengatakan bahwa pidana adalah mengenakan suatu penderitaan, karena orang itu telah melakukan suatu perbuatan yang merugikan masyarakat. Pendapat ini sama dengan pendapat Roeslan Saleh

26

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung , 1981, hlm. 30. 27Ibid


(37)

yang mengatakan bahwa pidana adalah “reaksi atas delik, dan berwujud suatu

nestapa yang sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu”.28

Hal senada juga dikemukakan oleh Andi Hamzah bahwa pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan karena melakukan suatu delik. Akan tetapi hal ini bukan merupakan tujuan akhir, melainkan hanya tujuan terdekat. Hal tersebut yang membedakan antara pidana dan tindakan karena tindakan juga dapat berupa nestapa tetapi bukan merupakan suatu tujuan.29 Dalam hal tujuan pidana,

Plato dan Aristoteles mengemukakan bahwa “pidana itu dijatuhkan bukan karena

telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat preventif atau pencegahan agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran. Demikian pula Herbert L. Packer yang berpendapat bahwa tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman

bukanlah ciri yang membedakan “punishment” dan “treatment”.30

Perbedaan antara “punishment” (pidana) dan “treatment” (tindakan perlakuan) harus dilihat dari tujuannya, seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan perlakuan. Menurut H.L. Packer, tujuan utama dari treatmentadalah untuk memberikan keuntungan atau untuk memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya bukan pada perbuatannya yang telah lalu atau akan yang datang, akan tetapi pada tujuan untuk memberikan

pertolongan kepadanya. Jadi, dasar pembenaran dari “treatment’ adalah pada pandangan bahwa orang yang bersangkutan akan atau mungkin menjadi lebih baik. Dengan demikiantujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

28

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 5. 29

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 27. 30


(38)

orang yang bersangkutan. Sedangkan “punishment” menurut H.L. Packer, pembenarannya didasarkan pada satu atau dua tujuan sebagai berikut :

a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undersired conduct orofending conduct);

b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the deserved inliction of suffering on evildoers/retribution for perceived wrong doing).31

Pada masalah pidana, titik beratnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh si pelaku. Dengan perkataan lain, perbuatan itu mempunyaiperanan yang besar dan merupakan syarat yang harus ada untuk

terjadinya “punishment”. Selanjutnya ditegaskan oleh H.L. Packer, bahwa :

“Dalam hal “punishment”, kita memperlakukan seseorang karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah dengan tujuan, baik untuk mencegah terulangnya perbuatan itu maupun untuk mengenakan penderitaan atau untuk kedua-duanya. Sedangkan “treatment” tidak diperlukan adanya hubungan dengan perbuatan. Kita memperlakukan orang itu karena kita berpendapat atau beranggapan bahwa ia akan menjadi lebih baik. Kita juga boleh mengharap atau berpikiran, bahwa orang yang dikenakan pidana akan menjadi lebih baik, tetapi bukan karena hal itu kita berbuat demikian, karena tujuan utamanya adalah melakukan pencegahan terhadap perbuatan

salah dan bukan perbaikan terhadap diri si pelanggar.”32

31Ibid, hlm. 6. 32 Ibid


(39)

H.L. Packer juga menegaskan bahwa sepanjang perhatian kita tujukan pada : a. Aktivitas seseorang di masa yang akan datang untuk sesuatu yang telah

dilakukannya pada masa lalu (a person’s future activity to something he has done in the past);

b. Perlindungan terhadap orang lain daripada perbaikan terhadap diri si pelaku (the protection of other rather than the betterment of the person being dealt with).33

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, dengan melihat dasar orientasi dari dua tujuan di atas, maka Packer memasukkan adanya dua tujuan itu ke dalam

definisinya sebagai “punishment”. Dalam hal perbedaan secara tradisional antara pidana dan tindakan, Sudarto mengemukakan Pidana adalah pembalasan (pengimbalan) terhadap kesalahan si pembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk pembinaan atau perawatan si pembuat. Jadi secara dogmatis, menurut Sudarto, pidana itu ditujukan untuk orang yang normal jiwanya, untuk orang yang mampu bertanggung jawab, sebab orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak mungkin dipidana dan terhadap orang ini dapat dijatuhkan tindakan.34

Akan tetapi tidak semua sarjana berpendapat bahwa pidana pada hakekatnya merupakan suatu penderitaan atau nestapa. Menurut Hulsman, hakekat pidana

adalah “menyerukan untuk tertib” (tot de orde roepen).35 Hal ini selaras dengan pendapat yang disampaikan oleh G.P. Hoefnagels. Dalam Buku Muladi dan Barda

33Ibid, hlm. 7. 34Ibid,

hlm. 8. 35


(40)

Nawawi Ariefdikatakan bahwa Hoefnagels tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan suatu pencelaan (censure) atau suatu penjeraan (discouragement) atau merupakan suatu penderitaan (suffering). Pendapatnya ini bertolak pada pengertian yang luas, bahwa sanksi pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, sejak penahanan dan pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris, bahwa proses pidana yang dimulai dari penahanan, pemeriksaan sampai dengan vonis dijatuhkan merupakan suatu pidana.

L.H.C. Hullsman pernah mengemukakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi dan pemidanaan (the statutory rules relating to penal sanction and punishment). Menurut Barda Nawawi Arief, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana). Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai Hukum Pidana Substantif, Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.36

Selanjutnya dikemukakan Barda Nawawi Arief, bertolak dari pengertian di atas, maka apabila aturan aturan perundang-undangan (the statutory rules) dibatasi

36


(41)

pada hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP, dapatlah dikatakan bahwa keseluruhan ketentuan dalam KUHP, baik berupa aturan umum maupun aturan khusus tentang perumusan tindak pidana, pada hakekatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) di bidang hukum pidana substantif tersebut terdiri dari aturan umum (general rules) dan aturan khusus (special rules). Aturan umum terdapat di dalam KUHP (Buku I), dan aturan khusus terdapat dalam KUHP Buku II dan Buku III, maupun dalam Undang-Undang Khusus di luar KUHP. Aturan khusus tersebut pada umumnya memuat perumusan tindak pidana tertentu, namun dapat pula memuat aturan khusus yang menyimpang dari aturan umum.37

Sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

a. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari :38 1) Pidana pokok berupa :

a) Pidana mati ; b) Pidana penjara ; c) Pidana kurungan ; d) Pidana denda ; e) Pidana tutupan. 2) Pidana tambahan berupa :

37

Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 136.

38

Slamet Siswanta, Pidana Pengawasan Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hlm. 39.


(42)

a) Pencabutan beberapahak tertentu ; b) Perampasan barang-barang tertentu ; c) Pengumuman putusan hakim.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 10 KUHP, Indonesia hanya mengenal pidana pokok dan pidana tambahan.

b. Lamanya Ancaman Pidana (strafmaat)

Ada beberapa pidana pokok yang seringkali secara alternatif diancamkan pada perbuatan pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim hanya dapat menjatuhkan satu diantara pidana yang diancamkan itu. Hal ini mempunyai arti, bahwa hakim bebas dalam memilih ancaman pidana. Sedangkan mengenai lamanya atau jumlah ancaman, yang ditentukan hanya maksimum dan minimum ancaman. Dalam batas-batas maksimum dan minimum inilah hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang tepat untuk suatu perkara. Akan tetapi kebebasan hakim ini tidaklah dimaksudkan untuk membiarkan hakim bertindak sewenang-wenang dalam menentukan pidana dengan sifat yang subyektif.

Hal tersebut senada dengan pendapat Leo Polak yang mengemukakan bahwa salah satu syarat dalam pemberian pidana adalah beratnya pidana harus seimbang dengan beratnya delik. Beratnya pidana tidak boleh melebihi beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dipidana secara tidak adil. Kemudian berkaitan dengan tujuan diadakannya batas maksimum dan minimum adalah untuk memberikankemungkinan pada hakim dalam memperhitungkan bagaimana latar belakang dari kejadian, yaitu dengan berat ringannya delik dan cara delik itu


(43)

dilakukan, pribadi si pelaku delik, umur, dan keadaan-keadaan serta suasana waktu delik itu dilakukan, disamping tingkat intelektual atau kecerdasannya.39

KUHP di Indonesia hanya mengenal maksimum umum dan maksimum khusus serta minimum umum. Ketentuan maksimum bagi penjara adalah 15 (lima belas) tahun berturut-turut, bagi pidana kurungan 1 (satu) tahun, dan maksimum khusus dicantumkan dalam tiap-tiap rumusan delik, sedangkan pidana denda tidak ada ketentuan maksimum umumnya. Adapun pidana penjara dan pidana kurungan, ketentuan minimumnya adalah satu hari. Dalam undang-undang juga diatur mengenai keadaan-keadaan yang dapat menambah dan mengurangi pidana. Keadan yang dapat mengurangi pidana adalah percobaan dan pembantuan, dan terhadap dua hal ini, pidana yang diancamkan adalah maksimum pidana atas perbuatan pidana pokoknya dikurangi seperiga, seperti ketentuan dalam Pasal 53 ayat (2) dan Pasal 57 KUHP.

Pasal 53 ayat (2) KUHP menyatakan “Maksimum pidana pokok terhadap

kejahatan dalam hal percobaan dikurangi sepertiga”. Sedangkan Pasal 57 ayat (1)

KUHP berbunyi “Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga”. Disamping ketentuan yang meringankan juga

diatur tentang keadaan-keadaan yang dapat menambah atau memperberat pidana, yaitu perbarengan, recidive serta pegawai negeri. Dalam hal pidana penjara dapat ditambah menjadi maksimum 20 tahun, pidana kurungan menjadi maksimum 1 tahun 4 bulan dan pidana kurungan pengganti menjadi 8 bulan.

39

Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 20.


(44)

c. Pelaksanaan Pidana (strafmodus)

KUHP yang berlaku di Indonesia pada saat ini belum mengenal hal yang dinamakan pedoman pemidanaan. Oleh karena itu, hakim dalam memutus suatu perkara diberi kebebasan memilih jeni s pidana (strafsoort) yang dikehendaki, sehubungan dengan sistem alternatif dalam pengancaman di dalam undang-undang. Selanjutnya hakim juga dapat memilih berat ringannya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan, sebab yang ditentukan oleh undang-undang hanya maksimum dan minimum pidana.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka yang sering menimbulkan masalah dalam praktek adalah mengenai kebebasan hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang diberikan. Hal ini disebabkan undang-undang hanya menentukan batas maksimum dan minimum pidananya saja. Sebagai konsekuensi darimasalah tersebut, akan terjadi hal yang disebut dengan disparitas pidana.

B. Sistem Pemidanaan

Perkembangan teori-teori tentang tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan munculnya berbagai aliran-aliran di dalam hukum pidana yang mendasari perkembangan teori-teori tersebut. Perihal ide dari ditetapkannya tujuan pidana dan pemidanaan dapat dilihat dari berbagai teori-teori pemidanaan yang dalam perkembangannya sebagai berikut:

1. Teori Absolut/Teori pembalasan (Vergeldings Theorien).

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan kejahatan atau tindak pidana. Teori ini diperkenalkan oleh Kent dan Hegel. Teori


(45)

Absolut didasarkan pada pemikiran bahwa pidana tidak bertujuan untuk praktis, seperti memperbaiki penjahat tetapi pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan, dengan kata lain hakikat pidana adalah pembalasan (revegen). Sebagaimana yang dinyatakan Muladi bahwa: Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.40

Menurut Vos, bahwa: Teori pembalasan absolut ini terbagi atas pembalsan subyektif dan pembalasan obyektif. Pembalasan subyektif adalah pembalasan terhadap kesalahan pelaku, sementara pembalasan obyektif adalah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibatkan dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan

40


(46)

mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.41

Nigel Walker menjelaskan bahwa ada dua golongan penganut teori retributive yaitu: Teori retributif murni yang memandang bahwa pidana harus sepadan dengan kesalahan. Teori retributif Tidak Murni, Teori ini juga masih terpecah menjadi dua yaitu:42

1) Teori Retributif terbatas (The Limiting Retribution). Yang berpandangan bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan. Yang lebih penting adalah keadaan yang tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh sanksi dalam hukum pidana itu harus tidak melebihi batas-batas yang tepat untuk penetapan kesalahan pelanggaran.

2) Teori retributive distribusi (retribution in distribution). Penganut teori ini tidak hanya melepaskan gagasan bahwa sanksi dalam hukum pidana harus dirancang dengan pandangan pada pembalasan, namun juga gagasan bahwa harus ada batas yang tepat dalam retribusi pada beratnya sanksi.

2. Teori Relatif atau Tujuan (Doel Theorien)

Teori relatif atau teori tujuan, berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Teori ini berbeda dengan teori absolut, dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu, misalnya memperbaiki sikap mental atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.

41

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2005. hlm 31 42


(47)

Menurut Muladi tentang teori ini bahwa: Pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. Dari teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus (speciale preventie) yang ditujukan kepada pelaku maupun pencegahan umum (general preventie) yang ditujukan ke masyarakat.43

Teori relatif ini berasas pada tiga tujuan utama pemidanaan yaitu preventif,detterence, dan reformatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti (detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan tujuan perubahan (reformation) untuk mengubah sifat jahat si pelaku dengan dilakukannya pembinaan dan pengawasan, sehingga nantinya dapat kembali melanjutkan kebiasaan hidupnya sehari-hari sebagai manusia yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Menurut teori ini suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, tetapi harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, tetapi juga pada masa depan.Dengan

43


(48)

demikian, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga dinamakan teori tujuan. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepda upaya agar dikemudian hari kejahatan yang dilakukan itu tidak terulang lagi (prevensi).

Teori relatif ini melihat bahwa penjatuhan pidana bertujuan untuk memperbaiki si penjahat agar menjadi orang yang baik dan tidak akan melakukan kejahatan lagi.

Menurut Zevenbergen ”terdapat tiga macam memperbaiki si penjahat, yaitu perbaikan yuridis, perbaikan intelektual, dan perbaikan moral.” Perbaikan yuridis mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati undang-undang. Perbaikan intelektual mengenai cara berfikir si penjahat agar ia insyaf akan jeleknya kejahatan. Sedangkan perbaikan moral mengenai rasa kesusilaan si penjahat agar ia menjadi orang yang bermoral tinggi.44

3. Teori Gabungan/modern (Vereningings Theorien)

Teori gabungan atau teori modern memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip relatif (tujuan) dan absolut (pembalasan) sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter pembalasan sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter tujuannya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

44

Wirjono Projdodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika. Aditama, Bandung 2003. hlm 26


(49)

Teori ini diperkenalkan oleh Prins, Van Hammel, Van List dengan pandangan sebagai berikut :45

1. Tujuan terpenting pidana adalah membrantas kejahatan sebagai suatu gejala masyarakat.

2. Ilmu hukum pidana dan perundang-undangan pidana harus memperhatikan hasil studi antropologi dan sosiologis.

3. Pidana ialah suatu dari yang paling efektif yang dapat digunakan pemerintah untuk memberantas kejahatan. Pidana bukanlah satu-satunya sarana, oleh karena itu pidana tidak boleh digunakan tersendiri akan tetapi harus digunakan dalam bentuk kombinasi denga upaya sosialnya.

Pandangan di atas menunjukkan bahwa teori ini mensyaratkan agar pemidanaan itu selain memberikan penderitaan jasmani juga psikologi dan terpenting adalah memberikan pemidanaan dan pendidikan.

Munculnya teori gabungan ini, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli (hukum pidana), ada yang menitik beratkan pembalasan, ada pula yang ingin unsur pembalasan dan prevensi seimbang. Yang pertama, yaitu menitik beratkan unsur pembalasan dianut oleh Pompe. Pompe menyatakan: Orang tidak menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak dapat dikecilkan artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu. Dan karena hanya akan diterapkan jika menguntungkan pemenuhan kaidah-kaidah dan berguna bagi kepentingan umum.46

45

Djoko Prakoso, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. 1988, hlm 47 46


(50)

Van Bemmelan pun menganut teori gabungan, ia menyatakan: Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan. Jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat.47

Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitik beratkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarkat. Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang berat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana dapat diukur, ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori yang dikemukakan oleh Grotius tersebut dilanjutkan oleh Rossi dan kemudian Zenvenbergen, yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana ialah pembalasan tetapi maksud tiap-tiap pidana melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintahan.48

Teori gabungan yang kedua yaitu menitik beratkan pertahanan tata tertib masyarakat. Teori ini tidak boleh lebih berat daripada yang ditimbulkannya dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap delik-delik, yaitu perbuatan yang dilakukan secara sukarela, pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana ialah melindungi kesejahtraan masyarakat.

47

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm 18. 48 Ibid,


(51)

Menurut Vos ”pidana berfungsi sebagai prevensi umum, bukan yang khusus kepada terpidana, karena kalau ia sudah pernah masuk penjara ia tidak terlalu

takut lagi, karena sudah berpengalaman.” Teori gabungan yang ketiga, yaitu yang memandang pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut E. Utrecht teori ini kurang dibahas oleh para sarjana.49

C. Pengertian Narkotika

Secara umum, yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukan ke dalam tubuh. Istilah

narkotika yang dipergunakan di sini bukanlah “narcotics“ pada farmacologie (farmasi), melainkan sama artinya dengan “drug“, yaitu sejenis zat yang apabila

dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu :

a. mempengaruhi kesadaran;

b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia c. pengaruh-pengaruh tersebut berupa :

1) penenang;

2) peransang (bukan rangsangan sex);

3) menimbulkan halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat)50

49

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op.Cit., hlm 24. 50

D. Soedjono, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara, Bandung, 2000, hlm. 14


(52)

Zat narkotika ditemukan orang yang penggunaannya ditujukan untuk kepentingan umat manusia, khususnya di bidang pengobatan. Dengan berkembang pesat industri obat-obatan dewasa ini, maka kategori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti seperti halnya yang tertera dalam lampiran. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obat semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannya. Namun belakangan diketahui pula bahwa zat-zat narkotika tersebut memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan si pemakai bergantung hidupnya terus-menerus pada obat-obat narkotika tersebut. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang mungkin agak panjang si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan dan pengendalian guna bisa disembuhkan.

Sehubungan dengan pengertian narkotika, menurut Sudarto, Perkataan narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke“, yang berarti terbius, sehingga tidak merasa apa-apa“. Sedangkan Smith Kline dan Frech Clinical Staff mengemukakan definisi tentang narkotika. Narkotika adalah zat-zat atau obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).51

Sedangkan menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblad 1972 No. 278 jo. Nomor 536 yang telah diubah dan ditambah, yang dikenal sebagai

undang-undang obat bius narkotika adalah “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek

kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadran. Disamping menurunkan

51

Djoko Prakoso, dkk., Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 2009, hlm. 480


(53)

kesadran jugamenimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan tersebut“.52

Jenis-jenis narkotika di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa narkotika digolongkan menjadi : a. Golongan I

b. Golongan II, dan; c. Golongan III

Pada lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, yang dimaksud dengan golongan I, antara lain sebagai berikut :53

1. Papaver, adalah tanaman papaver somniferum L, dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman papaver somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekadar untukj pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari :

a. Candu, yakni hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan, khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

52

Moh. Taufik Makarao, dkk., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 19

53

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 2.


(54)

b. Jicing, yakni sisa-sisa dari candu setelah diisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. Jicingko, yakni hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Morfina, adalah alkaloida utama dari opium dengan rumus kimia C17 H19 NO3.

5. Koka, yaitu tanaman dari semua genus Erytrhoxylon dari keluarga Erytrhoxylon termasuk buah dan bijinya.

6. Daun koka, yaitu daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erytrhoxylon dari keluarga Erytrhoxylon yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 7. Kokain mentah, adalah semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang

dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokina.

8. Kokaina, adalah metil ester-I-bensoil ekgonia dengan rumus kimia C17 H21 NO4

9. Ekgonina, adalah lekgonina dengan rumus C9 H15 NO3 H2O dan ester serta turunan-turunannya yang dapat diubah menjadi ekgonina dan kokain

10.Ganja, adalah semua tanaman genus cannabisdan semua bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hashis.

11.Damar ganja, adalah damar yang diambil dari tanaman ganja, termasuk hasil pengolahannya yang menggunakan damar sebagai bahan dasar.

Jenis-jenis narkotika yang perlu diketahui dalam kehidupan sehari-hari karena mempunyai dampak sebagaimana tersebut di atas, terutama terhadap kaum remaja


(55)

yang dapat menjadi sampah masyarakat bila terjerumus ke jurangnya, adalah sebagai berikut:54

1. Candu atau disebut juga dengan opium

Berasal dari sejenis tumbuh-tumbuhan yang dinamakan Papaver Somniferum,

nama lain dari cabdu selain opium adalah madat, dijepang disebut “ikkanshu“, di

Cina dinamakan “Japien“. Banyak ditemukan di negara-negara, seperti Turki, Irak, Iran, India, Mesir, Cina, Thailand, dan beberapa tempat lain. Bagian yang dapat dipergunakan dari tanaman ini adalah getahnya yang diambil dari buahnya, narkotika jenis candu tau opium termasuk jenis depressants yang mempunyai pengaruh hypnotics dan tranglizers. Depressants, yaitu merangsang sistem syaraf parasimpatis, dalam dunia kedokteran dipakai sebagai pembunuh rasa sakit yang kuat. Ciri-ciri dari tumbuh-tumbuhan papaver somniferum ini antara lain adalah : 1) Termasuk golongan tumbuhan semak (perdu);

2) Warna daun hijau tua (keperak-perakan); 3) Lebar daun 5-0 cm dan panjang 10-25 cm;

4) Permukaan daun tidak rata melainkan berlekuk-lekuk; 5) Buahnya berbentuk seperti tabuh gong;

6) Pada tiap tangkai hanya terdapat 1 (satu) buah saja yang berbentuk buah polong bulat sebesar buah jeruk, pada ujungnya mendatar dan terdapat gerigi-gerigi.

Candu ini terbagi dalam dua jenis, yaitu candu mentah dan candu matang. Untuk candu mentah dapat ditemukan dalam kulit buah, daun dan bagian-bagian lainnya yang terbawa sewaktu pengumpulan getah yang mengering pada kulit buah,

54

Buku Advokasi Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi Petugas Lapas Dan Rutan,


(56)

bentuk candu mentah berupa adonan yang membeku seperti aspal lunak, berwarna coklat kehitam-hitaman dan sedikit lengket. Aroma candu mentah sedikit langau dan jika dicicpi akan menimbulkan rasa mati pada lidah.

Sedangkan candu masak merupakan hasil olahan dari candu mentah. Ada dua macam masakan candu, yaitu :

1) candu masakan dingin (cingko); 2) candu masakan hangat (jicingko).

Apabila jicingko dan cingko dicampur maka dapat menjadi candu masak yang memiliki kadar morphine tinggi, warna candu masak coklat tua atau coklat kehitam-hitaman.Candu atau opium ini turunannya menjadi morphine dan heroin (putau).

2. Morphine

Adalah zat utama yang berkhasiat narkotika yang terdapat pada candu mentah, diperoleh dengan jalan mengolah secara kimia. Morphine termasuk jenis narkotika yang membahayakan dan memiliki daya eskalasi yang relatif cepat, dimana seseorang pecandu untuk memperoleh rangsangan yang diinginkan selalu memerlukan penambahan dosis yang lambat laun membahayakan jiwa. Menurut John C. Kranz dan Jeleff Carr, bahwa sebagai obat Morphine berguna untuk hal berikut :

1) Menawarkan (menghilangkan) penderitaan sakit nyeri, hanya cukup dengan 10 gram.

2) Menolak penyakit mejan (diare).


(57)

4) Dipakaisebelum diadakan pembedahan.

5) Dipakai dalam pembedahan di mana banyak mengeluarkan darah. Karena tekanan darah berkurang.

6) Sebagai obat tidur bila rasa sakit menghalang-halangi kemampuan untuk tidur, bila obat bius yang lebih lembut tidak mampu membuat rasa kantuk (tidur).55

Tetapi bila pemakaian Morphine disalahgunakan maka akan selalu menimbulkan ketagihan phisis bagi si pemakai. Dari penemuan para ahli farmasi hasil bersama antara Morphine dan opium/candu menghasilkan codeine, efek codeine lebih lemah dibandingkan heroin.

3. Heroin

Berasal dari tumbuhan Papaver somniferu, seperti yang telah disinggung di atas bahwa tanaman ini juga menghasilkan codeine, morphine dan opium. Heroin disebut juga dengan putau, zat ini sangat berbahaya bila dikonsumsi kelebihan dosis, bias mati seketika.

4. Cocaine

Berasal dari tumbuh-tumbuhan yang disebut erythroxylon coca. Untuk memperoleh cocaine yaitu dengan memtik daun coca, lalu dikeringkan dan diolah dipabrik dengan menggunakan bahan-bahan kimia. Serbuk cocaine berwarna putih, rasanya pahit dan lama-lama serbuk tadi menjadi basah. Ciri-ciri cocaine antara lain adalah :

1) Termasuk golongan tanaman perdu atau belukar;

2) Di Indonesia tumbuh di daerah Malang atau Besuki Jawa Timur;

55

Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, Menanggulangi Bahaya Narkotika, (Amanah R.I/B.P. Alda), hlm. 33


(1)

BAB V PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka kesimpulan dan saran yang dapat diberikan adalah:

1. Sistem pemidanaan bagi pengguna narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan konsep dasar dari double track system. Double track system merupakan kebijakan hukum pidana dalam perumusan ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika, yakni berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika memiliki posisi yang sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya. Sistem pemidanaan bagi pecandu narkotika dapat dilakukan dengan hukuman pidana maupun hukuman tindakan berupa rehabilitasi. Hakim akan menerapkan ketentuan Pasal 127 untuk sanksi pidana atau menerapkan ketentuan Pasal 103 untuk sanksi tindakan. Keyakinan hakim apakah pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut tepat untuk dikatakan sebagai pengguna yang harus direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang harus dipidana penjara adalah dengan


(2)

100

berdasarkan hasil keterangan laboratorium yang menyatakan bahwa pelaku tersebut mengalami ketergantungan terhadap narkotika sehingga memerlukan proses perawatan dan/atau pengobatan yang dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.

2. Kriteria seorang pengguna narkotika digolongkan sebagai pecandu narkotika jika dalam periode waktu 12 bulan menggunakan narkotika secara terus-menerus. Individu yang menyalahgunakan narkotika belum tentu akan ketergantungan sedangkan seseorang yang ketergantungan sudah pasti menyalahgunakan narkotika. Penguna narkotika adalah penggunaan narkoba yang berulang serta maladaptif dan menimbulkan konsekuensi dampak yang negative. Sedangkan pecandu narkotika adalah dimana penggunaan narkoba secara teratur selama lebih dari 12 bulan, dengan kondisi fisiologikal dari proses neuroadaptasi yang diakibatkan dari penggunaan berulang dari suatu narkoba, keharusan melanjutkan penggunaan untuk menghindari timbulnya gejala putus zat.

B. Saran

Atas dasar kesimpulan tersebut diatas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Hakim didalam memberikan putusan didasarkan pertimbangan yang sesuai hati nurani dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, agar pemidanaan yang dikenakan terhadap penyalahgunaan narkotika mencapai tujuan hukumnya, terutama tujuan kemanfaatan dan keadilan bagi pelaku. Untuk itu diperlunya


(3)

101

pemahaman konsep Double track system pada Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2. Disarankan kepada hakim yang menangani perkara narkotika agar lebih teliti dalam menggolongkan pelaku penyalahgunaan narkotika dengan pengedar, karena kedudukan pengguna narkotika sebagai korban yang mempunyai hak-hak yang harus dilindungi, maka hendaknya hak-hakim perlu menjadikan rehabilitation theory dan perspektif eksistensialisme sebagai paradigma berpikir, agar lebih mempermudah hakim untuk menerapkan pemidanaan bagi pengguna narkotiks.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin A.Z., dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Arifin. Muhammad, 1990, Teori & Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teori-Teori Hukum Cet. II. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Chazawi, Adami, 2001, Pelajaran Hukum Pidana 1 : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II Cetakan IX, Balai Pustaka, Jakarta.

Dirjosisworo. Soedjono, 1990. Hukum Narkotika Di Indonesia. Citra Aditya bakti. Bandung,

Farid, Zainal Abidin, 2005, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,

Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta.

____________, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta.

Hidayat, Syamsul, 2008. Kebijakan Formulasi Pidana Mati Dalam Upaya Penanggulangan Tindak pidana Narkoba, Undip, Semarang.

Kanter, E.Y, dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Storia, Jakarta.

Koeswadji, Hermien Hadiati, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka. Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung. Lamintang, P.A.F, 1994, Hukum Penetensir Indonesia, Amico, Bandung,

Makarao, Moh. Taufik., dkk., 2003, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta. ________, 1985, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.


(5)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan kebijakan pidana, Alumni, Bandung.

Mertoskusumo, Sudikno, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyarkta.

Moeljatno, 1985, Membangun Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Prakoso, Djoko, 1988, Hukum Penitensier di Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Prakoso, Djoko, dkk., 2009, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan

Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta.

Prakoso, Djoko, dan Nurwachid, 1983, Studi tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Barakatullah, 2005, Politik Hukum Pidana,

Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Prodjodikoro, Wirdjono, 2003, AsasAsas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta,

Redaksi Badan Penerbit Alda Jakarta, Menanggulangi Bahaya Narkotika, Amanah R.I/B.P. Alda, Jakarta.

Reksodiputro, Mardjono, 2007, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta.

Saleh, Roeslan, 1978, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta.

Siswanta, Slamet, 2007, Pidana Pengawasan Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang.

Soedjono, D. 2000, Segi Hukum Tentang Narkotika di Indonesia. Karya Nusantara, Bandung,

Sudarto, 1988, Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Undip, Semarang. ______, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ______, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.


(6)

Supramono, Gatot. 2004. Hukum Narkotika Indonesia. Djambatan, Jakarta. Syaukani, Imam, dan A. Ahsin Thohari, 2008, Dasar-dasar Politik Hukum,

Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Sholehuddin, 2003. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,. Jakarta.

Tim Penyusun, 2013, Pemahaman Tentang Bahaya Penyalahgunaan Narkoba, BNN, Jakarta.

Wirjono Projdodikoro, 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika. Aditama, Bandung.

Widjaja, A.W, 1985, Masalah Kenakalan Remaja Dan Penyalahgunaan Narkotika, Bandung, Armico.