Kosep Kehidupan bagi Syekh Siti Jenar
Dalam alam sesudah kematian duniawi, manusia akan menerima balasan baik siksa ataupun pahala.
Pandangan Syekh Siti Jenar seperti ini juga tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup orang Jawa dan umumnya pemeluk Islam di seluruh dunia. Bedanya ialah bentuk
kehidupan manusia sesudah kematian duniawi nanti. Demikian pula dalam pandangan Syekh Siti Jenar yang menyatakan bahwa surga dan neraka bisa terjadi dalam kehidupan duniawi
sekarang ini. Walaupun untuk pandangan ini juga banyak ditemukan di dunia Islam. “...roning pati suarga nraka,
bagya cilaka pinanggih, yeko gumlaring donya”.
Ia selanjutnya menyatakan: Swarga nraka sami,
nora langgeng bisa lebur, dene dunungira,
among aneng tyas pribadi, seneng pareng iku ingkang aran swarga dene neraka tegese,
yeku sak serik ing ati
18
Artinya: Dalam kematian terdapat surga dan neraka, manusia menemui kebahagiaan dan malapetaka, yakni di dunia ini. Surga dapat ditafsirkan sebagai kesenangan dan neraka
ditafsirkan sebagai kesulitan serta rasa marah di hati, yang semuanya itu hanya terdapat dalam hati saja, tidak bersifat langgeng.
Ajaran Syekh Siti Jenar demikian demikian itu banyak yang ditafsirkan secara salah. Hal ini membawa murid-murid Syekh Siti Jenar berusaha menjalani “jalan menuju kepada
18
Zoetmulder, PJ, Pantheisme en Monisme in de Javaansche Soeloek Literatuur, 1935, hlm. 350-351.
kehidupan” “ngudi dalan gesang”. Jalan itu ialah hidup dengan cara saling membunuh, membuat keonaran dan keributan yang pada intinya agar mendapatkan jalan kelepasan dan
kematian. Berbagai peristiwa terjadi di mana-mana akibat jalan menuju kehidupan” yang
ditempuh para murid Syekh Siti Jenar. Kejadian-kejadian itu terjadi di pasar-pasar dan tempat-tempat keramaian yang banyak mengundang perhatian umum. Sampailah berita itu ke
istana Sultan Bintara, Raja kerajaan Islam Demak. Peristiwa yang demikian ini dianggap mengganggu dan membahayakan stabilitas kerajaan yang baru saja berdiri dan masih mencari
dan membutuhkan dukungan dari rakyat. Para penguasa pun tidak bisa tinggal diam dan kemudian segera memberantas ajaran Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya. Sang guru pun
dijatuhi hukuman mati, setelah musyawarah antara para wali. Bisa diduga jika hukuman mati atas Syekh Siti Jenar dan pemberantasan ajarannya itu lebih bermuatan politik daripada
masalah kebenaran ajarannya dan alasan keagamaan itu sendiri. Kesimpulan semacam itu bisa dikaji dari berbagai informasi mengenai cerita atau
legenda di sekitar kehidupan Syekh Siti Jenar. Seperti tentang kasus cerita Syekh Siti Jenar yang dikiaskan dengan cerita al Hallaj atau Husain al Manshur. Demikian pula kisah
hubungan antara Syekh Siti Jenar dengan Ki Ageng Pengging. Tak kalah pentingnya ialah analisis mengenai situasi sosial-politik pada zaman Demak awal.
Dalam kaitannya dengan ajaran tentang kehidupan, Syekh Siti Jenar menyatakan bahwa setelah roh manusia terlepas atau keluar dari badan wadagnya atau raganya, ia akan
hidup dengan langgeng. Kehidupan abadi tidak dimulai dari lahirnya seseorang dari perkawinan orang tua mereka. Seluruhnya ia anggap sebagai hal baru yang karenanya tidak
abadi. Ia hidup sendiri di mana segala sesuatu berasal dari kehendak pribadinya sendiri. Syekh Siti Jenar menyatakan: “idup mulya jumeneng pribadi,
nora lelantaran babu bapa,
saba- rangkarsane dewe, tari asal angin banyu,
bumi geni kabeh kawadis, ngalami kerusakan”