Pandangan dari KPAI dan Para Ahli Agama Terkait Putusan MK No 46PUU-

tersebut di-review, ayah biologis tersebut dipaksa oleh hukum untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, anak diluar kawin masih berhak atas pelindungan anak, hal ini telah ditetapkan pada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak. Undang- Undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus- menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan perdata antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris, dan lain sebagainya. Hal ini tentunya berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan tehnologi seperti halnya tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak luar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut.

B. Pandangan dari KPAI dan Para Ahli Agama Terkait Putusan MK No 46PUU-

VIII2010 Adanya putusan Mahamah Konstiusi tentang anak luar kawin tersebut terdapat pandangan yang berbeda-beda dari pihak KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia, NU, MUI. KPAI menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi yang berimplikasi ayah biologis harus bertanggung jawab atas anak di luar kawin. Wakil Ketua KPAI menegaskan dalam kasus tersebut tidak ada anak haram namun yang haram adalah hubungan orang tua tanpa perkawinan. Penulis setuju dengan pendapat dari KPAI tersebut, karena seorang anak yang dilahirkan itu belum mempunyai dosa dan wajib mendapat perlindungan hukum, apabila hubungan orang tua tanpa perkawinan bukan berakibat bahwa anak itu anak haram melainkan hubungan orang tua tanpa perkawinan tersebut yang seharusnya dinilai kurang baik dan tidak seharusnya dilakukan, karena akan berpengaruh terhadap kehidupan anak nantinya. Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan sangat baik ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi Negara, tetapi niat baik itu malah menjerumuskan pada akhirnya. Sebelum diuji materi, Pasal 43 Ayat 1 menyebutkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya. Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke Pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya. 2 Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu. Anak juga berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya. Kalau si anak hasil hubungan di luar kawin ini menikah dan ayah biologisnya menjadi wali, maka tidak sah pernikahannya. Oleh karena itu, Muslimat NU mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya. Agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan hukum legal formal kenegaraan. Karena menimbulkan banyak kesulitan bagi anak sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat serta menimbulkan kekacauan nasab. Berdasarkan pandangan NU diatas, penulis beranggapan bahwa pendapat dari Ketua Umum Muslimat NU, Khofifah Indar Parawansa, berdasarkan Putusan MK No 46PUU-VIII2010, agar terdapat sinergi antara hukum syariat dan legal formal kenegaraan dperlukan adanya koordinasi dari berbagai pihak supaya dapat dicari jalan 2 Muslimat NU: Putusan MK Soal Anak Luar Nikah Bisa Menjerumuskan, www.republika.co.idberitanasionalumum120226lzzyhr-muslimat-nu-putusan-mk-soal-anak-luar-nikah-bisa- menjerumuskan, diunduh 16 April 2013 keluar dalam penataannya, dan pergaulan bebas yang dapat menjerumuskan pada perbuatan zina wajib dicegah supaya tidak berakibat banyak kesulitan bagi anak. Majelis Ulama Indonesia MUI menyatakan tidak akan mencabut fatwa tentang kedudukan anak hasil perzinaan dan kedudukan mereka dalam hukum Islam. MUI tetap berpendirian anak di luar kawin tidak dapat memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya. Syariat Islam mengatakan bahwa anak hasil zina hanya memiliki hubungan dengan ibunya. Pandangan MUI itu tidak akan berubah kecuali Mahkamah Konstitusi dapat memberikan bukti lain berdasarkan hukum syariat Islam. Anggapan dari Pihak MUI tersebut, bahwa putusan MK tersebut telah menjadikan lembaga perkawinan yang tidak dicatatkan dalam KUA menjadi kurang relevan apalagi sekadar pencatatannya, mengingat penyamaan hak antara anak hasil zina dengan anak hasil perkawinan yang sah tersebut. Hal ini di nilai sangat menurunkan derajat kesucian dan keluhuran lembaga perkawinan. Bahkan, pada tingkat ekstrem dapat muncul pendapat tidak dibutuhkan lagi lembaga perkawinan, karena orang tidak perlu harus menikah secara sah apabila dikaitkan dengan perlindungan hukum anak. MUI sepakat bahwa anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan, tetapi belum dicatatkan pada KUA maupun Kantor Catatan Sipil seperti perkawinan di bawah tangan harus dipersamakan dengan anak dalam ikatan perkawinan yang telah dicatat. Putusan MK No. 46PUU- VIII2010 sepanjang memaknai pengertian “hubungan perdata” antara anak hasil zina dengan laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya dan keluarganya adalah juga hubungan nasab, waris, wali, dan nafqah, maka putusan MK itu bertentangan dengan ajaran Islam. Ma‟ruf mengatakan, untuk melindungi hak-hak anak hasil zina tidak dilakukan dengan memberikan “hubungan perdata” kepada laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya. Melainkan dengan menjatuhkan „ta‟zir‟ kepada laki-laki tersebut berupa kewajiban mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut atau memberikan harta setelah ia meninggal melalui „wasiat wajibah‟. Kemudian, untuk menghilangkan diskriminasi terhadap anak hasil zina adalah tidak mengaitkannya dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya, melainkan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat bahwa anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya. Dengan melihat pandangan dari KPAI, NU, MUI terdapat pro dan kontra setelah adanya Putusan MK No 46PUU-VIII2010 yang telah memberikan perlindungan terhadap anak luar kawin sehingga ada jaminan kelangsungan hidup bagi anak yang bersangkutan, karena ada kewajiban perdata yang dibebankan tidak hanya kepada ibu dan keluarga ibu, akan tetapi juga pada ayah dan keluarga ayah. Dari hasil penelitian diatas dapat dikemukakan bahwa dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No 46PUU-VIII2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat dan isi Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan menjadi : “Anak yang dilahirkan d i luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi danatau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Putusan ini telah menimbulkan pertimbangan yang berbeda-beda dari pihak Pemerintah, DPR, dan Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Selain itu, terdapat juga pro dan kontra dari pihak KPAI, NU, MUI perihal Putusan MK No 46PUU-VIII2010 yang menyatakan bahwa Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan yang isinya telah dirubah menjadi seperti diatas. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tentunya memiliki implikasi positif dan negatif. Dampak positifnya adalah Putusan ini menimbulkan konsekuensi adanya hubungan keluarga anak luar kawin dengan ayah biologisnya, adanya hak dan kewajiban antara anak luar kawin dan ayah biologisnya, baik dalam bentuk nafkah, waris dan lain sebagainya. Hal ini berlaku apabila terlebih dahulu dilakukan pembuktian melalui ilmu pengetahuan dan teknologi seperti : tes DNA dan lain sebagainya yang menyatakan bahwa benar anak diluar kawin tersebut memiliki hubungan darah dengan laki-laki sebagai ayah biologisnya tersebut. Dalam hal ini terbuka kesempatan bagi para anak diluar kawin untuk mendapatkan hak nafkah, waris dan lain sebagainya. Dampak negatifnya putusan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46PUU- VIII2010 dinilai melanggar ajaran Islam dan tatanan Hukum Islam. Hukum Islam menyatakan bahwa, status anak diluar kawin disamakan statusnya dengan anak zina, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: 3 a Tidak ada hubungan keluarga dengan ayahnya. Anak itu hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya. Ayahnya tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. 3 Amir Syarifuddin 2002, Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Press, Jakarta, hal. 195 b Tidak ada saling mewaris dengan ayahnya, karena hubungan keluarga merupakan salah satu penyebab kerwarisan. c Ayah tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar kawin. Apabila anak diluar kawin itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh ayah biologisnya.

C. Analisis