Dina Geblag menurut Kepercayaan Masyarakat Jawa

Dalam bukunya Ridin Sofwan, G.P.H. Hadiwidjaya, yang dituliskan dalam brosur yang berjudul Kalijaga, sebuah tulisan yang disampaikan dalam ceramahnya di Radya Pustaka, Solo, tanggal 7 Mei 1956. Menyebutkan pendapatnya dalam sebuah kidung yang pernah didengarnya pada zaman sebelum perang di daerah Pasundan , yang berbunyi : Sing sapa reke bisa nglakoni, Amutih lawan anawaha, Patang puluh dino wae, Lan tangi wektu subuh, Lan den sabar sakuring ati, Ing sa-Allah tinekan, Sa kersanireku, Tumrap sanak rajatinira, Saking sawahe ngelmu pangiket kami, Duk aneng Kalijaga Artinya : Barang siapa menjalani melakukan mutih dan minum air tawar, empat puluh hari saja dan bangun pada waktu subuh, dan bersabar hati sukur, Kepada Tuhan terlaksanakanlah sekehendakmu, pada saudara keluargamu, dari sawah ngelmu yang kami ikat, waktu berada di kalijaga. Hal ini menunjukkan adanya pemahaman Islam dan pemahaman kepercayaan kejawen menjadi satu dalam sebuah agama yaitu Islam Kejawen. Dalam ilmu kejawen menjelaskan banyak hal tentang kematian atau falsafah Sangkan Paraning Dumadi yang juga berasal dari ajaran Sunan Bonang yang dturunkan Kepada Sunan Kalijaga yang mana mengulas banyak hal tentang kematian dan kemana setelah kita mati termasuk didalamnya dimulai dari Petungan Jawa dan juga Dino Geblag. Sunan Kalijaga telah disebutkan bahwa Beliau adalah salah satu wali yang mempunyai toleransi kepada kepercayaan asli masyarakat.

C. Dina Geblag menurut Kepercayaan Masyarakat Jawa

Dina Geblag yaiku dino kang ora bisa diterak tumrape wong urip, amarga yen diterak iku bakal nemu sengsara lan mahanani. Artinya : Dino Geblag hari kematian seseorang yaitu hari yang bisa dilanggar orang yang masih hidup, karena apabila dilanggar akan menemukan sengsara dan petaka. Dino Geblag hari meninggalnya orang tua yang dihitung berdasar hari nasional dan hari pasaran, jikalau melebihi jam 6 sore maka masuk hari berikutnya. Maka Petungan Jawa sangat digunakan dalam perhitungan Dino Geblag ini. Dino Geblag akan terulang setiap Selapan Pisan atau 30 hari sekali dalam setiap bulannya. Dalam satu keluarga yang sangat berpengaruh adalah Dina Geblag atau hari kematian orang tua Bapak atau Ibu. Maka pada hari itu menjadi hari yang tidak boleh dilanggar atau menjadi pantangan. Dalam tahun Islam ini ada dua hari menurut orang Jawa yang tidak boleh dilanggar dan sangat menjadi pantangan yaitu jika ada hari yang disebut Sangartahun atau Pati Besar jatuh pada hari Kamis Pon dan Dina Taliwangke yang pada tahun ini Jatuh pada hari Minggu Legi tanggal 3 suro tetapi setiap tahunnya akan bergeser dan berpindah karena jumlah hari nasional dan hari menurut penanggalan Islam berbeda, jika hari Nasional berjumlah 30 hari, 31 hari dan ada juga yang 29 hari tapi jika hari islam ada 30 hari saja. Menurut masyarakat Jawa pantangan berarti sesuatu yang tidak boleh diterak atau dilanggar, jika dilanggar akan mendapatkan kesialan atau nemoni mahanani namun jika memang ada sesuatu yang harus dilakukan dan tidak terdapat toleransi didalamnya maka ada penawar atau doa yang dipakai oleh masyarakat ketika harus melakukan kegiatan di hari Na’as tersebut. Doanya dalam bahasa Jawa ; Sebelum keluar dari pintu rumah jari telunjuk memegang lubang hidung sebelah kiri dan kanan secara bergantian. Dalam istilah orang Kejawen yaitu Nakoki Irung, maksudnya adalah jika merasakan nafas lubang sebelah kiri dan kanan mana nafas yang paling lancar maka kita wajib melangkahkan kaki sesuai dengan nafas hidung yang paling lancar sebelah kiri ataukah sebelah kanan. Dengan melangkah dalam hati berdoa dengan bahasa Jawa : Ora ono opo-opo, Sing ono mung Allah karo Slamet lan nugraha. Artinya : tidak ada apa-apa, yang ada hanya Allah dan keselamatan juga berkah. Juga doa untuk meminta ijin kepada orang yang meninggal jika perginya pada Dino Geblag itu, doanya : Menyebut nama AlmarhumAlmarhumah, sira paring bagas waras slamet saking kersane Allah. Artinya : Menyebut nama AlmarhumAlmarhumah..saya diberi keselamatan karena hanya Allah semata. Maksudnya meminta ijin kepada Almarhum dan berharap AlmarhumAlmarhumah memberi keselamatan atas ijin Allah. Dan apabila telah sampai ke tempat yang dituju maka wajib lagi membacakan doa, dalam bahasa Jawa yakni : Tunggak mengo sengkala lungo, Lungo-lungo saking kersane Gusti Allah. Artinya : Jebakan akan pergi dan permasalahan akan menjauh, pergi-pergi atas kehendak Allah. Maksudnya berharap dengan doa itu akan menjadi penawar dan berfungsi sebagai penolak semua gangguan. Pantangan yang tidak boleh dilanggar ketika Dina Geblag yaitu Jual Beli, mencari obat, memusyawarahkan sesuatu, menanam apapun untuk pertanian, berpergian jauh, memanjat pohon, tidak boleh bekerja. Masyarakat Dusun Toyogiri benar-benar tidak melakukan kegiatan apapun ketika ada Dina Geblag leluhurnya. Seperti yang dikatakan oleh Bapak Soemardi, Dina Geblag iku dino sing kudu di sikrik’i maksudnya hari na’as itu hari yang harus dijauhi. Orang tua dengan anak dan keturunannya pastilah mempunyai ikatan yang sangat kuat entah itu batin atau juga bisa yang lain. Seperti misalnya, jika seorang ibu sedang mendapati perasaan yang tidak enak dan memikirkan anaknya yang sedang jauh dari sang ibu, sang ibu mempunyai firasat buruk terhadap anaknya dan ternyata memang benar sesuatu hal telah terjadi. Ini adalah naluri, begitu juga dengan Dina Geblag ini dianggap masih ada kaitannya dengan orang yang masih hidup. Kematian yang disebabkan oleh banyak perkara misalnya kecelakaan atau kematian secara tidak wajar itu lebih-lebih dianggap sebagai hari yang sangat murka. Ketika hari na’as itu terulang dalam setiap bulannya maka masyarakat Jawa akan Nas atau istirahat supaya kejadian yang sama akan terulang kepada kerabat yang masih hidup. Bisa juga kejadian lain yang besar maupun yang kecil akan terjadi, tetapi pastilah itu berdampak hal yang tidak baik bagi kerabat yang masih hidup. Apabila bekerja ditempat jauh, dan lupa dengan hari na’as orang tua maka perlu berhati-hati dan waspada pada hari itu. Dengaan menggunakan doa menurut kepercayaannya sendiri, maka dipercaya bisa dijadikan sebagai penangkal dan penawarnya. Berdasarkan pengalaman hidup yang telah terjadi banyak hal yang dianggap Keno Geblag’e Almarhum misalnya ; 1. Hari na’as pada Keluarga Bapak Wagiyo yaitu ketika membeli barang berupa Jam tangan bertepatan pada Dino Geblag orang tua Bapak Wagiyo yaitu Senin Legi hari meninggalnya Ibu dari Bapak Wagiyo sesampainya dirumah jam tangan yang dibeli oleh istrinya itu tiba-tiba mati dan kaca arlojinya pecah. 2. Pengalaman yang kedua adalah salah satu menantu bapak Wagiyo bernama Bapak Juwari mengalami kecelakaan hingga meninggal ketika hendak pulang kerja pada Dina Geblag mbah putri yaitu Jum’at Pon. 3. Selanjutnya cucu Bapak Wagiyo bernama Rizky dipecat dari kerjaannya pada Dina Geblag yang sama yaitu Jum’at Pon yang mana itu adalah hari meninggalnya Mbah putri. Dina Geblag itu juga menjadi pantangan dan benar-benar tidak boleh dilanggar yaitu kalau digunakan sebagai hari untuk mengijabkan dalam adat perkawinan, itu sangat besar pantangannya. Menurut kepercayaan orang Jawa jika itu dilanggar atau diterak maka akan terjadi hal sebagai berikut : a. Akan mendapatkan musibah dalam kehidupan keluarga b. Akan kerep nemoni lelara atau sering mengalami wabah penyakit c. Dadi gunemaning uwong, maksudnya sering menjadi bahan pembicaraan orang lain. d. Hingga akan mengalami perceraian Pandangan masyarakat memang sangat berdasar dengan adanya hal-hal yang pernah terjadi sebelumnya, tetapi bukan berarti tidak mempunyai dasar dalam hal Dina Geblag ini. Bersifat secara turun menurun paham tentang Dina Geblag ini berhasil diteruskan hingga sampai generasi yang berikutnya. Generasi berikutnya pun juga melaksanakan sesuai dengan apa yang leluhur lakukan, tidak melanggar pantangan, tidak lupa menjalankan segala aktivitas yang biasa dilakukan oleh leluhur sebelumnya. Ini artinya masih terjaga tradisi sebagai bentuk menjaga kelestarian tradisi nenek moyang dan itu adalah sebagai bentuk penghormatan yang sangat ternilai dibandingkan hanya merawat pusara nenek moyang saja. Soemardi, 6 Desember 2012. Tidak semua orang menganggap bahwa Dina Geblag itu sangat penting, jika seseorang lalai dan terjadi kecelakaan dalam bentuk apapun maka yang bisa mengingat-ingat justru orang lain bukan diri sendiri yang mengingat. Banyak kejadian yang menimpa seseorang, yang mana orang mengalami kecelakaan tetapi tidak ingat bahwa itu adalah hari na’asnya yang tidak boleh dilanggar dan menjadi pantangan. Orang yang lain yang menyadari ternyata terjadinya kecelakaan itu adalah tepat saat hari na’as leluhurnya biasanya hanya berbicara dibelakang karena itu sudah bukan hak lagi untuk mengingatkan. Hanya saja dijadikan sebagai pelajaran bahwa ke-murkaa-an Dina Geblag itu benar adanya. Menurut kepercayaan Jawa yang bersifat turun temurun doa-doa Jawa lah yang paling tepat digunakan, tetapi dengan adanya penyebutan Allah maka itu adalah menunjuk salah satu agama yang bercampur dengan kepercayaan asli. Di dusun Toyogiri ini, penganut Islam Kejawen hampir semuanya masih menggunakan paham adanya Dina Geblag ini. Menurut pemaparan Bapak Wagiyo dan Bapak Soemardi pada wawancara tanggal 7 Desember 2012 menjelaskan kepercayaan yang menunjuk pemahaman tentang Dina Geblag adalah satu-satunya paham yang masih bisa dirasakan hingga saat ini. Namun realitanya, anak-anak muda jaman sekarang ini bersikap sakkarep- karepe dewe atau semaunya sendiri. Yang diikuti adalah kemajuan jaman yang sebenarnya merusak moral dan perilaku pribadi masing-masing individu. Generasi sekarang ini tidak mempunyai landasan yang kuat dalam dirinya, itu disebabkan karena tidak dikenalkannya hal yang paling utama yaitu Omongane wong tuwo kata- kata orang tua semenjak pertumbuhan dari anak-anak hingga remaja. Dan sebagai orang tua pun harus selalu bijak memberikan pengertian dan hal-hal yang penting dalam menjalani kehidupan yang hanya sebentar di dunia ini. Sebagai generasi baru, seharusnya mengingat Soko ngendi tekamu lan asalmu darimana datang dan asalmu mempunyai maksud jika tidak ada pendahulu maka generasi sekarangpun tidak akan ada. Dan wajiblah kita mengikuti saran dari orang tua, karena sebenar-benarnya itu hanya darin orang tua Soemardi, 7 Desember 2012

D. Makna Simbolis Sesaji pada Dina Geblag

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Potret Perkembangan Usaha Kerajinan Tangan Eceng Gondok di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 522006011 BAB IV

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Dina Geblag” Dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 152009002 BAB I

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Dina Geblag” Dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 152009002 BAB II

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Dina Geblag” Dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 152009002 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Dina Geblag” Dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

0 5 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tradisi “Dina Geblag” Dalam Kepercayaan Masyarakat Jawa Dusun Toyogiri Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pegawai di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 162010006 BAB I

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pegawai di Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 162010006 BAB IV

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Otomatisasi Kantor Penunjang Efisiensi Kerja di UPTD Pendidikan Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang T1 162010021 BAB IV

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemampulabaan Petani Sayur Dusun Jubelan Desa Jubelan Kecamatan Sumowono Kabupaten Semarang T1 162007044 BAB IV

0 0 8