UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOLIK BIJI LABU KUNING (Cucurbita moschata Duch Poir)

(1)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

IKA DEWI RAHMAWATI

20120350024

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

i

KARYA TULIS ILMIAH

UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOLIK BIJI LABU KUNING

(Cucurbita moschata Duch Poir)

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Derajat Sarjana Farmasi Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh

IKA DEWI RAHMAWATI

20120350024

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

(Cucurbita moschata Duch Poir)

Disusun Oleh:

IKA DEWI RAHMAWATI 20120350024

Telah disetujui pada 22 Agustus 2016 Dosen Pembimbing

Sri Tasminatun, M.Si., Apt NIK : 1971 1106 199904 173036

Dosen Penguji 2 Dosen Penguji 1

Andy Eko Wibowo, M.Sc., Apt Rifki Febriansah, M.Sc., Apt NIK : 1988 0602 201504 173237 NIK : 1987 0227 201210 173188

Mengetahui,

Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Sabtanti Harimurti, Ph.D., Apt. NIK : 1973 0223 201310 173127


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Ika Dewi Rahmawati NIM : 20120350024

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016 Yang membuat pernyataan

Ika Dewi Rahmawati NIM : 20120350024


(5)

iv

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (Q.S. Al Insyirah : 5)

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolong (Q.S. Al Baqarah : 153)

Science without religion is lame, Religion without science is blind (Albert Einstein)

If you can’t measure it, you can’t manage it

(Peter F. Drucker)

Pejuang sejati adalah seorang yang dengan segala keterbatasan yang ada pada dirinya, dia mampu menggapai impiannya.

Jangan pernah berhenti bermimpi,

Sang penguasa takdir akan memeluk mimpimu.”


(6)

v

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrahim,,

Alhamdulillahirabbil’alamin… Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, atas segala kemudahan, limpahan rahmat dan karunia yang telah Engkau berikan selama ini. Teriring doa, rasa syukur dan segala kerendahan hati. Dengan segala cinta dan kasih sayang kupersembahkan karya sederhana ini teruntuk:

Ayahanda Purwanto dan Ibunda Ekowati Kadiyanti, terimakasih atas segala doa, yang selalu mengiringi langkah ini hingga putri kecil kalian ini tumbuh dewasa. Tiada kata seindah lantunan doa dan tiada doa yang paling khusuk selain doa yang terucap dari orang tua. Terimakasih atas nasehat yang menuntun jalanku, terimakasih atas segala cinta, kasih sayang, dan pengorbanan yang tiada terganti.

Adek kecilku tercinta, Desi Dwi Kurniawati yang senantiasa menghadirkan canda tawa dan rindu.. yang telah memberikan dukungan dan motivasi..

Tanpa kalian, Karya Tulis Ilmiah ini tidak akan terselesaikan dengan mudah. Terimakasih bapak, ibu, dan adekku tercinta... Semoga dengan selesainya Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan kebanggaan.


(7)

vi

limpahan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

yang berjudul “Uji Aktivitas Antioksidan dan Antibakteri Ekstrak Etanolik Biji Labu Kuning (Cucurbita moschata Duch Poir)”.

Karya tulis ini disusun sebagai salah satu persyaratan kelulusan mahasiswa Program Sarjana S1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Sebaik apapun karya tulis ini, penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini dibuat atas bantuan dari berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini penulis ingin berterimakasih sebanyak-banyaknya kepada : 1. dr. Ardi Pramono Sp.An.,M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu

Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Sabtanti Harimurti, Ph.D.,Apt selaku Kepala Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 3. Sri Tasminatun, M. Si, Apt selaku dosen pembimbing dalam penyusunan

Karya Tulis Ilmiah ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, kesabaran dan ilmu yang diberikan selama penelitian hingga selesainya penyusunan KTI ini. 4. Rifki Febriansah, M. Sc., Apt dan Andi Eko Wibowo, M. Sc., Apt selaku

dosen penguji yang telah bersedia memberikan saran dan bimbingan.

5. Dirjen Dikti yang memberikan dana penelitian melalui program hibah penelitian bersaing.

6. Bapak/Ibu dosen pengajar yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan.

7. Satriaji Amurwa Wijaya, Amd dan Zelmi Dwi Novita, Amd yang selalu setia menemani penelitian dari awal hingga terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Desy Putri Setiani dan Rustina teman seperjuangan dalam penelitian ini, terima kasih atas kerja sama, dukungan dan bantuannya hingga Karya tulis Ilmiah ini bisa selesai.


(8)

vii

9. Seluruh teman Farmasi angkatan 2012 dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan pahala yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian KTI ini. Aamiin yaa Rabbal „alamin…

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Masih banyak kekurangan baik dalam segi isi maupun teknik penulisannya, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Yogyakarta, 22 Agustus 2016 Penulis,


(9)

viii

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii

KEASLIAN TULISAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Keaslian Penelitian ... 5

D. Tujuan Penelitian ... 6

E. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Dasar Teori ... 8

1. Labu Kuning (Cucurbita moschata Duch Poir) ... 8

2. Kandungan Senyawa ... 10

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ... 12

4. Antioksidan ... 14

5. Staphylococcus aureus ... 16

6. Antibakteri ... 17

B. Kerangka Konsep ... 19

C. Hipotesis ... 19

BAB III. METODE PENELITIAN... 20

A. Desain Penelitian ... 20

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

C. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 20

D. Instrumen Kerja ... 21

E. Cara Kerja ... 22

F. Skema Langkah Kerja ... 27

G. Analisis Data ... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Preparasi Sampel ... 29

1. Pengumpulan Bahan... 29

2. Proses Ekstraksi ... 30


(10)

ix

C. Uji Aktifitas Antioksidan ... 34

D. Uji Aktifitas Antibakteri ... 38

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45


(11)

x

Gambar 2. Struktur dasar flavonoid ………... 10

Gambar 3. Struktur dasar alkaloid kuinolin ………... 12

Gambar 4. Staphylococcus aureus……….……….... 16

Gambar 5. Skema kerangka konsep penelitian ………….………... 19

Gambar 6. Skema langkah kerja .………... 27

Gambar 7. Hasil uji identifikasi flavonoid sebelum disemprot pereaksi amoniak…...……….. 31

Gambar 8. Hasil uji identifikasi flavonoid setelah disemprot pereaksi amoniak .………... 31

Gambar 9. Hasil uji identifikasi alkaloid sebelum disemprot pereaksi dragendroff ………... 32

Gambar 10. Hasil uji identifikasi alkaloid setelah disemprot pereaksi dragendroff ………... 32

Gambar 11. Kurva hubungan konsentrasi terhadap persen inhibisi …………. 36

Gambar 12. Hasil pengamatan DZI uji antimikroba (pembanding tetrasiklin)... 39

Gambar 13. Hasil pengamatan DZI uji antimikroba (pembanding ciprofloksasin) ……… 40


(12)

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Standar nilai aktivitas antioksidan ... 28

Tabel 2. Standar nilai aktivitas antibakteri ... 28

Tabel 3. Hasil identifikasi senyawa pada plat KLT ... 33

Tabel 4. Hasil uji antioksidan ... 35


(13)

xii

Lampiran 2. Sertifikat Bakteri Staphylococcus aureus……….. 52

Lampiran 3. Proses Ekstraksi ………. 53

Lampiran 4. Uji Aktivitas Antioksidan ……….. 55


(14)

(15)

xiii

INTISARI

Labu kuning (Cucurbita moschata Duch Poir) adalah salah satu tanaman yang mudah dijumpai di Indonesia, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Biji C. moschata diketahui mengandung berbagai senyawa aktif, antara lain flavonoid dan alkaloid. Flavonoid dan alkaloid dapat memberikan efek anti radikal dan antibakteri. Radikal bebas merupakan salah satu ancaman terhadap terjadinya penyakit degeneratif. Infeksi karena bakteri juga dapat memperparah komplikasi penyakit degeneratif. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui efek senyawa flavonoid dan alkaloid ekstrak etanolik biji C. moschata sebagai antioksidan dan antibakteri.

Biji C. moschata diekstraksi dengan metode maserasi menggunakan etanol 70%. Ekstrak biji C. moschata diidentifikasi senyawa flavonoid dan alkaloid menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Kemudian dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dan antibakteri menggunakan metode difusi cakram. Data % inhibisi yang diperoleh pada uji aktivitas antioksidan dituangkan dalam kurva hubungan antara % inhibisi dan konsentrasi untuk mendapatkan persamaan regresi linier. Persamaan regresi linier tersebut digunakan untuk menentukan Inhibitory Concentration (IC50). Pada uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode pengukuran diameter zona inhibisi terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang kemudian dibandingkan dengan standar nilai aktivitas antibakteri.

Hasil identifikasi menunjukkan ekstrak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid dengan Rf 0,87 dan 0,56. Dibandingkan dengan senyawa standar kuersetin dan kuinin yang menunjukkan Rf 0,78 dan 0,56. Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas antioksidan lemah dengan nilai IC50 420,08 µg/ml serta memiliki efek antibakteri pada konsentrasi 25% (1,31 mm) dan 50% (2,24 mm) terhadap bakteri S. aureus.


(16)

xiv

ABSTRACT

Pumpkin (Cucurbita moschata Duch Poir) is one of the plants that are easily found in Indonesia, but has not been used optimally. C. moschata seeds are known to contain many different active compounds such as flavonoid and alkaloid. Flavonoid and alkaloid known to give the effect of antibacterial and anti radical. Free radicals is one of the main causes of the occurrence of degenerative diseases. The infection caused by bacteria may also aggravate a degenerative disease complications. This research aims to identify and investigate the effect of flavonoid and alkaloid compounds of ethanolic extract seeds of C. moschata as antioxidant and antibacteria.

The seeds of C. moschata were extracted using maceration method with ethanol 70%. The extract of C. moschata seeds was identified flavonoid and alkaloid compounds using thin layer chromatography methods. Then tested its antioxidant activity using DPPH method and the antibacteria was tested by disc diffusion method. The data % inhibition got on the antioxidant activity testing poured into a curve between the % inhibition and the concentration to get the equivalence of linear regression. The equivalence of linear regression was used to decide Inhibitory Concentration (IC50). On antibacteria activity testing, it was done with diameter zone of inhibition measurement method toward Staphylococcus aureus bacteria, and then compared with the standard value of antibacterial activity.

The results of the identification showed the extract ethanolic of C. moschata seeds contain of flavonoid and alkaloid compounds with Rf 0.87 and

0.56. Compared to standard quercetin and kuinin compounds that showed Rf 0.78 and 0.56. This study showed that extracts ethanolic of C. moschata seeds had weak antioxidant activity with IC50 values of 420.08 µg/ml and has antibacterial effects on concentration of 25% (1.31 mm) and 50% (2.24 mm) toward the S. aureus bacteria.

Key words: antibacteria, antioxidant, Cucurbita moschata, Staphylococcus aureus.


(17)

1 A. Latar Belakang

Selama beberapa dekade terakhir ini, penggunaan tanaman obat sebagai sumber obat telah berkembang. Hampir seluruh penduduk dunia mulai menggunakan pengobatan tradisional sebagai alternatif lain pengobatan. Hal ini terus dilakukan tidak hanya untuk perawatan kesehatan bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara dimana obat konvensional digunakan dalam perawatan kesehatan nasional (Kamarian, et al., 2013). Menurut World Health Organization (WHO) obat-obatan herbal melayani kebutuhan kesehatan sekitar 80% dari populasi dunia, terutama bagi jutaan orang di daerah pedesaan di negara-negara berkembang.

Penelitian ini dilakukan sebagai bentuk upaya menjalankan firman Allah SWT dalam Al Quran surat Al A’raf ayat 10.

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.”


(18)

2

Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT mengingatkan hamba-hamba-Nya perihal karunia yang telah Allah berikan kepada kita. Allah SWT menjadikan bumi sebagai tempat tinggal kita dan kita sebagai hamba-Nya diperbolehkan untuk memanfaatkan apa yang telah Allah berikan di bumi. Namun banyak diantara kita yang tidak mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kita. Untuk itu dalam upaya mensyukuri nikmat Allah SWT, kita sebagai hamba Allah yang diberi akal untuk mencari ilmu, mengembangkan sesuatu yang telah Allah berikan agar menjadi manfaat baik bagi diri sendiri dan kebaikan untuk orang lain.

Semakin berkembangnya jaman diikuti dengan semakin meningkat pula sumber - sumber radikal bebas. Radikal bebas terlibat dalam penyakit degeneratif seperti patogenesis diabetes, kerusakan hati, inflamasi, kanker, gangguan jantung, gangguan syaraf dan proses penuaan (Onkar, et al., 2012). Oleh sebab itu dibutuhkan antioksidan yang membantu melindungi tubuh dari serangan radikal bebas dan meredam dampak negatifnya (Winarsi, 2011). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat radikal bebas sehingga dapat mencegah penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas tersebut (Gutteridge dan Halliwell, 2000). Karakter utama senyawa antioksidan adalah kemampuannya untuk menangkap dan menstabilkan radikal bebas (Prakash, 2001). Antioksidan bekerja dengan melindungi lipid dari proses peroksidasi oleh radikal bebas. Ketika radikal bebas mendapat elektron dari antioksidan, maka radikal bebas tersebut tidak lagi perlu menyerang sel dan reaksi rantai oksidasi akan terputus (Clarkson dan Thompson, 2000).


(19)

Sebagian besar antioksidan diproduksi secara sintetik. Antioksidan sintetik seperti BHA (Butyl Hydroksi Anisol), BHT (Butyl Hydroksi Toluen), PG (Propyl Galat), dan TBHQ (Tert-Butyl Hidroquinon) dapat menimbulkan efek samping seperti alergi, asma, radang hidung, sakit kepala, kemerahan, urtikaria, masalah pada mata dan perut, serta penurunan kesadaran (Race, 2009). Adanya kekhawatiran akan kemungkinan efek samping antioksidan sintetik menyebabkan antioksidan alami menjadi alternatif yang sangat dibutuhkan. Terdapat penelitian bahwa tumbuhan yang mengandung senyawa metabolit sekunder berupa flavonoid dan fenol berguna sebagai penangkap radikal bebas, yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan (Nishantini, et al., 2012).

Selain ancaman radikal bebas, di negara berkembang ancaman terjadinya infeksi karena bakteri juga meningkat. Infeksi ini dapat memperparah komplikasi bagi penderita diabetes dan penyakit primer mengerikan lainnya. Infeksi merupakan penyebab utama penyakit di dunia terutama di daerah tropis seperti Indonesia karena keadaan udara yang berdebu, temperatur yang hangat, dan lembab sehingga mikroba dapat tumbuh subur. Keadaan tersebut ditunjang dengan kemudahan transportasi dan keadaan sanitasi yang buruk lebih memudahkan penyakit infeksi semakin berkembang (Wattimena, 1991).

Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh bakteri. Salah satu bakteri yang dapat menyebabkan infeksi adalah Staphylococcus aureus. Menurut Gibson (1996), S. aureus merupakan penyebab infeksi pada manusia yang paling sering. S. aureus dapat menyebabkan sepsis pada luka bedah, abses payudara pada ibu-ibu, mata lengket, dan lesi kulit pada bayi.


(20)

4

Tingginya angka kejadian infeksi menyebabkan penggunaan antibiotik yang

tinggi pula. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat memicu terjadinya resistensi

bakteri yang menyebabkan bakteri tetap dapat tumbuh dan berkembangbiak walaupun

telah diterapi menggunakan antibiotik. Untuk itu diperlukan pengembangan obat dari

bahan tradisional yang dapat menghambat kerja bakteri bakteri tersebut (Nuria, et al.,

2009)

Salah satu tanaman yang dimanfaatkan sebagai terapi pengobatan adalah labu

kuning (Cucurbita moschata). Tanaman ini sangat mudah dijumpai di Indonesia.

Daging buah sering dikonsumsi sebagai sayur atau kolak selain itu daun yang masih muda dan kuncup bunga juga dapat dimakan sebagai sayur (Tjitrosoepomo, 1994). Biji C. moschata yang selama ini dianggap sebagai limbah yang tidak berguna, ternyata memiliki banyak manfaat. Hasil penelitian Primawati (2007), didapatkan aktivitas antioksidan pada biji C. moschata sebesar 47,011%. Biji C. moschata memiliki aktivitas farmakologi seperti antidiabetes, antijamur, antibakteri, antiinflamasi dan efek antioksidan (El-Aziz dan El-Kalek, 2011).

Dari penelitian Hamid, et al. (2014) menyebutkan bahwa biji dari buah C. moschata mengandung steroid, alkaloid, flavonoid dan tanin. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antiradikal dengan cara mendonorkan atom H pada radikal bebas (Kurniati, 2013) dan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Santoso, 2012). Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktivitas sebagai obat. Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C,


(21)

anti-inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani, 2009).

Penelitian tentang efek ekstrak biji C. moschata terhadap radikal bebas dan daya hambat terhadap bakteri Staphylococcus aureus belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efek ekstrak etanol biji C. moschata sebagai antioksidan dan antibakteri.

B. Perumusan Masalah

1. Apakah ekstrak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid yang diuji menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT)?

2. Apakah ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas sebagai antioksidan yang diuji menggunakan metode DPPH?

3. Apakah ekstrak etanolik biji C. moschata dapat menghambat pertumbuhan S. aureus yang diuji menggunakan metode difusi cakram kertas?

C. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian tentang biji C. moschata telah dilakukan, namun sejauh yang peneliti ketahui belum ada penelitian tentang pengaruh ekstrak etanolik biji C. moschata sebagai antioksidan dan aktivitas antibakteri terhadap S. aureus. Penelitian terkait yang telah dilakukan sebelumnya, antara lain:

1. Pabesak, et al. (2013) melakukan penelitian tentang aktivitas antioksidan dan fenolik total pada tempe dengan penambahan serbuk biji C. moschata. Penambahan serbuk biji C. moschata menujukkan adanya aktivitas


(22)

6

antioksidan dengan sebanyak 0 – 10% mengalami peningkatan dari 85,82 ± 5,24% hingga 91,55 ± 1,50% dan terjadi peningkatan kadar fenolik total dari 2,75 ± 1,18 g/5g hingga 3,75 ± 0,69 g/5g.

2. El-Aziz dan El-Kalek (2011) melakukan penelitian tentang aktivitas antimikroba pada protein dan minyak biji C. moschata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol biji C. moschata memiliki aktivitas antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Eschericia coli dan Klebsiella pneumonia pada konsentrasi 1mg/ml, 2mg/ml, 3mg/ml. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada sampel yang digunakan. Pabesak menggunakan tempe yang telah ditaburi serbuk biji C. moschata pada saat pembuatan sebagai sampel untuk diuji aktivitas antioksidan. Sedangkan pada penelitian El-Aziz dan El-Kalek sampel yang digunakan untuk uji aktivitas antibateri adalah ekstrak metanol biji C. moschata. Pada penelitian ini digunakan ekstrak etanolik biji C. moschata sebagai sampel yang akan diuji potensinya terhadap aktivitas antioksidan dan antibakteri.

D. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui adanya senyawa flavonoid dan alkaloid dalam ekstrak etanolik biji C. moschata yang diuji menggunakan metode KLT?

2. Mengetahui aktivitas ekstrak etanolik biji C. moschata sebagai antioksidan yang diuji menggunakan metode DPPH?

3. Mengetahui aktivitas ekstrak etanolik biji C. moschata dalam menghambat pertumbuhan S. aureus yang diuji menggunakan metode difusi cakram kertas?


(23)

E. Manfaat Penelitian

Apabila ekstrak etanolik biji C. moschata terbukti memiliki aktivitas antibakteri dan antioksidan dapat dikembangkan sebagai agen antioksidan dan terapi infeksi.


(24)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

1. Labu Kuning (Cucurbita moschata Duch Poir)

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan salah satu tumbuhan sumber pangan yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan berserat halus sehingga mudah dicerna. Memiliki daya adaptasi yang tinggi, maka dapat tumbuh di mana saja baik di dataran rendah maupun tinggi. Varian tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang kering dengan curah hujan sedang, dan pada ketinggian 1000-3000 meter diatas permukaan laut (Purba, 2008).

Cucurbita moschata diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Cucurbitales Familia : Cucurbitaceae Genus : Cucurbita


(25)

Gambar 1. Biji Cucurbita moschata

Jun, et al. (2006) menemukan pada C. moschata kaya akan pektin, mineral, garam, karoten, vitamin dan substansi lain yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Tanaman ini juga dilaporkan banyak digunakan sebagai obat tradisional sebagai antidiabetes, antihipertensi, antitumor, immunomodulasi, dan antibakteri karena banyak mengandung nutrisi dan senyawa bioaktif seperti

fenolat, flavonoid, vitamin (termasuk vitamin β-karoten, vitamin A, vitamin B2,

α-tokoferol, vitamin C, dan vitamin E), asam amino, karbohidrat dan mineral (terutama kalium), kandungan energi rendah (sekitar 17 g Kcal/100 labu segar) dan serat dalam jumlah yang besar (Valenzuela, et al., 2011).

Dari penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan serbuk biji C. moschata pada pembuatan tempe menujukkan adanya aktivitas antioksidan dengan sebanyak 0 – 10% mengalami peningkatan dari 85,82 ± 5,24% hingga 91,55 ± 1,50% dan terjadi peningkatan kadar fenolik total dari 2,75 ± 1,18 g/5g hingga 3,75 ± 0,69 g/5g (Pabesak, et al., 2013). Penelitian El-Aziz dan El-Kalek (2011), biji C. moschata memiliki aktivitas farmakologi seperti antidiabetes, antijamur, antibakteri, antiinflamasi dan efek antioksidan. Biji C. moschata merupakan sumber asam lemak tak jenuh yang baik, fitosterol dan seng yang dapat mencegah penyakit kronis (Abrie dan Staden, 2001).


(26)

10

2. Kandungan Senyawa

a. Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan (Waji dan Sugrani, 2009). Dalam tumbuhan flavonoid terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid yang mungkin terdapat dalam satu tumbuhan dalam bentuk kombinasi glikosida (Harborne, 2006). Aglikon flavonoid adalah flavonoid yang tidak mengikat gugus gula dan bersifat kurang polar. Contoh flavonoid ini adalah isoflavon, flavonon, flavon, serta flavonol yang termetoksi.

Sifat aglikon yang kurang polar maka cenderung mudah larut dalam pelarut eter dan kloroform. Flavonoid glikosida adalah flavonoid yang mengikat gugus gula. Pada senyawa ini satu gugus hidroksil terikat pada satu gugus gula, flavonoid ini disebut flavonoid O-glikosida. Selain itu juga terdapat flavonoid C-glikosida dimana gula terikat langsung pada inti benzena dengan ikatan karbon - karbon. Pengaruh glikosida menyebabkan flavonoid mudah larut dalam air (Markham, 1988). Flavonoid mempunyai kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk suatu susunan C6-C3-C6 (Gambar 2).


(27)

Menurut Petrussa, et al. (2013) flavonoid yang paling banyak dijumpai antara lain antosianin (pigmen merah sampai ungu), flavonol (kurang berwarna hingga pigmen kuning pucat), flavanol (pigmen yang kurang berwarna menjadi coklat setelah oksidasi), dan proantosianidin. Karakteristik flavonoid dapat didasarkan atas reaksi warna dan kelarutannya. Jika tidak ada pigmen yang mengganggu, flavonoid dapat dideteksi dengan uap amonia dan memberikan warna spesifik untuk masing-masing golongan (Harborne, 2006). Manfaat flavonoid antara lain adalah untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti-inflamasi, mencegah keropos tulang, dan sebagai antibiotik (Waji dan Sugrani, 2009). Flavonoid berguna sebagai penangkap radikal bebas, yang memiliki aktifitas sebagai antioksidan (Nishantini, et al., 2012).

b. Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa organik yang banyak ditemukan di alam. Sebagian besar alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit sebuah atom nitrogen yang biasanya bersifat basa. Sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Harborne, 2006). Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Ada sedikit kecenderungan bahwa tumbuhan tinggi lebih banyak mengandung alkaloid daripada tumbuhan rendah (Robinson, 1995).

Salah satu cara untuk mengklasifikasikan alkaloid adalah berdasarkan jenis cincin heterosiklik dimana nitrogen merupakan bagian dari struktur


(28)

12

molekul (Achmad, 1986). Menurut klasifikasi ini alkaloid dapat dibedakan atas beberapa jenis yaitu alkaloid pirolidin, alkaloid piridin, alkaloid piperidin, alkaloid indol, alkaloid kuinolin, alkaloid isokuinolin, alkaloid tropana. Salah satu contoh struktur alkaloid dari golongan kuinolin dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Struktur dasar alkaloid kuinolin (Harborne, 2006)

Untuk mendeteksi alkaloid secara kromatografi digunakan sejumlah pereaksi. Pereaksi sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismuth, tungsen, atau iood. Pereaksi yang sangat umum adalah pereaksi Dragendorff. . Pereaksi dragendorff mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam nitrit berair yang akan memberikan noda berwarna jingga untuk senyawa alkaloid (Harborne, 2006). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antiradikal dengan cara mendonorkan atom H pada radikal beas (Kurniati, 2013) dan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Santoso, 2012).

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan tahun 1938 oleh Ismailoff dan Schraiber merupakan metode konvensional yang masih digunakan dalam analisis modern. Kromatografi ini bertujuan untuk menentukan jumlah komponen


(29)

campuran, mengidentifikasi komponen, mendapatkan kondisi yang optimum untuk kromatografi kolom (Johnson & Stevenson, 1991).

Pemisahan secara kromatografi lapis tipis didasarkan pada perbedaan pendistribusian campuran dua atau lebih senyawa dalam fasa diam dan fasa gerak. Pada kromatografi lapis tipis, yang terdiri dari bahan padat (silika gel, alumina atau selulosa) dan mengandung indikator flouresensi untuk membantu menampakkan bercak pada lapisan yang telah dikembangkan. Lapisan tipis dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang umumnya terbuat dari kaca atau logam. Silika gel, alumina, atau selulosa melekat pada permukaan penyangga datar dengan bantuan bahan pengikat seperti kalsium sulfat atau amilum (pati). Lapisan ini berfungsi sebagai permukaan padat yang akan mengikat komponen komponen tertentu dalam sampel (Harborne, 2006). Fase gerak adalah cairan pengembang yang bergerak naik pada fase diam dengan membawa komponen komponen sampel, fasa gerak yang digunakan adalah pelarut organik.

Teknik kromatografi lapis tipis memiliki kelebihan dibanding dengan kromatografi yang lain. Kelebihan kromatografi lapis tipis terletak pada pemakaian pelarut yang jumlahnya sedikit sehingga memerlukan biaya relatif murah, selain itu pelarut yang digunakan sederhana dan waktu yang diperlukan untuk mengerjakan metode ini relatif singkat. Komponen - komponen senyawa yang akan dianalisis dibedakan dengan harga Rf (retention factor). Harga Rf didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh garis depan pelarut atau pengembang (diukur dari garis awal) (Gritter, et al., 1991).


(30)

14

4. Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menunda, menghambat atau mencegah oksidasi lipid atau molekul lain dengan menghambat inisiasi atau propagasi dari reaksi rantai oksidatif (Javanmardi, et al., 2013). Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktifasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya, kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2011).

Secara umum, antioksidan dikelompokkan menjadi 2, yaitu antioksidan enzimatis dan non-enzimatis. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismute (SOD), katalase dan glutation peroksidase. Antioksidan non-enzimatis dibagi dalam dua kelompok yaitu antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon, dan bilirubin. Antioksidan non-nezimatis yang kedua adalah antioksidan larut air, seperti asam askorbat, asam urat, protein pengikat logam, dan protein pengikat heme. Antioksidan enzimatis dan non-enzimatis bekerja sama memerangi aktivitas senyawa oksidan dalam tubuh. Terjadinya stress oksidatif dapat dihambat oleh kerja enzim-enzim antioksidan dalam tubuh dan antioksidan non-enzimatik (Winarsi, 2011).


(31)

Menurut Winarsi (2011), berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu:

a. Antioksidan primer (antioksidan endogenus)

Antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD), katalase dan glutation peroksidase (GSH-Px). Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim SOD, katalase, dan GSH-Px menghambat pembentukan radikal bebas, dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang lebih stabil.

b. Antioksidan sekunder (Antioksidan eksogenus)

Antioksidan sekunder atau antioksidan non-enzimatis disebut sistem pertahanan preventif. Dalam sistem pertahanan ini, terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkhelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Antioksidan sekunder dapat berupa komponen non-nutrisi dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan. Senyawa antioksidan non-enzimatis bekerja dengan cara menangkap radikal bebas kemudian mencegah reaktivitas amplifikasinya.

c. Antioksidan tersier

Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA


(32)

16

yang terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double strand, baik gugus non-basa maupun basa.

5. Staphylococcus aureus

Gambar 4.Staphylococcus aureus (www.bacteriainphotos.com) Klasifikasi dari S. aureus adalah sebagai berikut:

Divisio : Protophyta Subdivisio : Schizomycetea Classis : Schizomycetes Ordo : Eubacteriales Familia : Micrococcaceae Genus : Staphylococcus

Species : Staphylococcus aureus (Salle, 1961).

Staphylococcus tumbuh baik dalam perbenihan kaldu pada suhu 37ºC. Batas suhu pertumbuhan Staphylococcus ialah 15ºC dan 40ºC, sedangkan suhu pertumbuhan optimumnya ialah 35ºC. S. aureus merupakan bakteri patogen yang bersifat invasif, menyebabkan hemolisis, dapat membentuk koagulase, mencairkan gelatin, serta mampu membentuk pigmen kuning emas. S. aureus dapat memfermentasi manitol dan dapat menghemolisis sel darah merah (Warsa, 1994). S. aureus dapat menyebabkan penyakit karena kemampuannya melakukan


(33)

pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan. S. aureus dapat menyebabkan infeksi baik pada manusia maupun hewan.

S. aureus ditemukan sebagai bakteri flora normal pada kulit dan selaput lendir manusia, contohnya di selaput hidung, kulit, dan kantung rambut (Jawetz, et al, 1996). Menurut Pelczar (1986) setiap jaringan tubuh yang terinfeksi oleh S. aureus, menyebabkan timbulnya penyakit dengan tanda-tanda khas yaitu peradangan dan pembentukan abses. Penyakit yang disebabkan oleh S. aureus antara lain pneumonia, meningitis, endokarditis, dan infeksi kulit ringan sampai berat. Beberapa antibiotik yang dapat digunakan untuk menghambat S. aureus antara lain ampisilin, penisilin, tetrasiklin, kloksasilin, sefalosporin, vankomisin, dan metisilin (Jawetz, et al., 2005).

6. Antibakteri

Antibakteri adalah suatu senyawa yang dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme (Jawetz, et al., 2005). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibakteri yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri yang dikenal sebagai bakteriostatik, dan ada yang bersifat membunuh bakteri dikenal sebagai bakterisid. Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat atau membunuh bakteri, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya dapat meningkat menjadi bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM (Ganiswara, et al., 1995). Antibakteri hanya dapat digunakan jika mempunyai sifat tosik selektif yang artinya yaitu dapat membunuh bakteri yang menyebabkan penyakit tetapi tidak


(34)

18

beracun bagi penderitanya. (Dwidjoseputro, 2005). Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dibedakan menjadi (Pratiwi, 2008) :

a. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel

Antibiotik ini adalah antibiotik yang merusak lapisan peptidoglikan pada bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif.

b. Antibiotik yang merusak membran plasma

Antibiotik golongan ini umumnya adalah antibiotik golongan peptide yang bekerja dengan mengubah permeabilitas membran plasma sel mikroorganisme.

c. Antibiotik yang menghambat sintesis protein

Antibiotik ini berikatan pada subunit 30S ribosom bakteri (beberapa juga terikat pada subunit 50S ribosom) dan menghambat translokasi peptidil tRNA dan menyebabkan kesalahan pembacaan mRNA dan mengakibatkan bakteri tidak mampu melakukan proses sintesis protein vital untuk pertumbuhannya.

d. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat

Penghambatan terhadap sintesis asam nukleat berupa penghambatan terhadap transkripsi dan replikasi mikoorganisme.

e. Antibiotik yang menghambat sintesis metabolit esensial

Penghambatan terhadap sintesis metabolit esensial antara lain dengan adanya kompetitor berupa antimetabolit, yaitu subtansi yang secara kompetitif menghambat metabolit mikroorganisme karena memiliki struktur yang mirip dengan subtrat normal bagi enzim metabolisme.


(35)

B. Kerangka Konsep

Gambar 5. Skema kerangka konsep penelitian

C. Hipotesis

1. Ekstrak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid yang diuji menggunakan metode KLT.

2. Ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas antioksidan yang diuji menggunakan metode DPPH.

3. Ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki daya antibakteri terhadap S. aureus yang diuji menggunakan metode difusi cakram kertas.

Menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus Biji Cucurbita moschata

Mengandung: - Flavonoid - Alkaloid

Antioksidan

Flavonoid: denaturasi protein sel bakteri

Alkaloid: menggangu komponen penyusun peptidoglikan sel bakteri Donor elektron untuk


(36)

20

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dilakukan pada penelitian ini adalah penelitian Eksperimental laboratoris.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biomedis Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada yang dimulai pada 30 Maret 2015 hingga 19 Juli 2016.

C. Identifikasi variabel penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Uji efektivitas antioksidan

i. Variable bebas : Konsetrasi ekstrak etanolik biji labu kuning ii. Variable tergantung : Persen inhibisi

iii. Variable terkendali : Sistem spektrofotometri UV-VIS. b. Uji efektivitas antibakteri

i. Variable bebas : Konsentrasi ekstrak etanolik biji labu kuning ii. Variable tergantung : Nilai Diameter Zona Inhibisi (DZI)


(37)

2. Definisi Operasional

a. Ekstrak etanolik biji C. moschata adalah hasil ekstraksi biji C. moschata dengan metode maserasi yang diperoleh dari Salatiga, Jawa Tengah menggunakan etanol 70% sebagai pelarut yang kemudian dipekatkan dengan penguapan (evaporasi).

b. Nilai IC50 pada uji antioksidan adalah bilangan yang menunjukkan konsentrasi ekstrak etanolik biji labu kuning (µg/ml) yang mampu menghambat 50% oksidasi yang diperoleh dengan metode DPPH. c. Diameter Zona Inhibisi (DZI) adalah diameter yang menunjukan

hambatan suatu senyawa antibakteri dengan metode difusi cakram terhadap bakteri Staphylococcus aureus yang ditumbuhkan pada media TSA yang diuji dan dinyatakan dalam satuan millimeter (mm).

D. Instrumen Penelitian

1. Alat:

Alat utama yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, bejana, blender (Philips), waterbath, timbangan analitik (metler Toledo), alat gelas (pyrex), tabung reaksi (pyrex), pengaduk, aluminium foil (Brand), kertas saring (Whatman), evaporator (IKA RV10), waterbath, plat silika 60 GF254 (Merck), plat selulosa (Merck), TLC reagent spray, pipa kapiler, cawan petri, spektrofotometri UV-Vis (Shimadzu), Laminar Air Flow (LAF), lampu bunsen, ose, oven.

2. Bahan:

Bahan utama yang digunakan antara lain biji labu kuning (C. moschata), etanol 70% (Merck), aquadest (General Labora), butanol (Bratachem), asam asetat


(38)

22

(Bratachem), kuinin (General Labora), kuersetin (General Labora), dragendorf (General Labora), amoniak (General Labora), metanol (General Labora), bakteri Staphylococcus aureus, tetrasiklin, NaCl 0,9% fisiologis, media Triptic Soy Agar (TSA), Brain Heart Infusion (BHI), serbuk DPPH (Alloric).

E. Cara Kerja

1. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi Fakultas Farmasi Unit II Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

2. Ekstraksi

Langkah pertama yang dilakukan pada tahap ini adalah sortasi basah yaitu memilah biji C. moschata untuk dipisahkan dari biji yang buruk. Biji C. moschata yang telah disortir, dicuci bersih kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC. Setelah biji kering, dilakukan sortasi ulang untuk mendapatkan biji C. moschata yang berkualitas baik. Langkah selanjutnya adalah pembuatan serbuk dengan cara ditumbuk dan diblender. Serbuk biji C. moschata kemudian diayak untuk mendapatkan serbuk halus.

Serbuk Cucurbita moschata yang telah diayak direndam dalam etanol 70% hingga serbuk terendam sepenuhnya dan dilakukan pengadukan secara berkala selama lima hari. Setelah lima hari, dilakukan penyarian dengan menyaring larutan tersebut dengan kain flanel untuk memisahkan senyawa dari maseratnya. Dilakukan maserasi ulang (remaserasi) selama dua hari serta dilakukan pengadukan berkala. Setelah dua hari dilakukan penyarian kembali, dan hasil sarinya disatukan dengan hasil sari maserasi pertama. Langkah terkhir pada tahap


(39)

ini dilakukan penyarian kembali menggunakan kertas saring untuk mendapatkan hasil yang lebih jernih.

Dilakukan penguapan pada hasil ekstraksi dengan menggunakan evaporator untuk memisahkan pelarut dari zat aktif yang terkandung (flavonoid dan alkaloid), kemudian dilakukan penguapan kembali menggunakan waterbath agar mendapatkan ekstrak kental.

3. Identifikasi Senyawa

Identifikasi senyawa dilakukan dengan uji Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Fase gerak yang digunakan pada proses KLT ini adalah larutan BAW (n-butanol : asam asetat : water) dengan perbandingan 4 : 1 : 5, fase atas.

a. Flavonoid : Selulosa sebagai fase diam, kuersetin sebagai baku pembanding, dan larutan amoniak sebagai pereaksi.

b. Alkaloid : silica gel GF 254 sebagai fase diam, kuinin sebagai senyawa baku pembanding, dan dragendorff sebagai larutan pereaksi.

Dimulai dengan menyiapkan fase diam dan kemudian diberi tanda untuk batas bawah dan batas atas pada plat fase diam. Selanjutnya dilakukan penotolan ekstrak etanolik C. moschata dan senyawa baku pembanding pada batas bawah plat KLT secara sejajar. Totolan dibiarkan mengering dan selanjutnya dimasukkan ke dalam bejana yang sebelumnya telah dilakukan penjenuhan dengan fase gerak. Ditunggu hingga pelarut merambat sampai batas atas yang telah ditandai. Setelah itu, angin anginkan plat KLT agar fase gerak menguap dan kemudian amati plat KLT di bawah cahaya ultraviolet. Untuk memperjelas bercak pada plat KLT


(40)

24

dilakukan penyemprotan dengan masing-masing larutan pereaksi (Christinawati, 2007).

4. Uji Aktifitas Antioksidan

a. Pembuatan larutan DPPH

DPPH Kristal ditimbang 15,77 mg dan dilarutkan dengan 100 ml metanol sehingga mendapat kadar 0,4 mM untuk segera digunakan. Larutan dijaga pada suhu ruang dan terlindungi dari cahaya.

b. Penetapan panjang gelombang maksimal

Sebagai kontrol negatif adalah 5 ml metanol dan 1 ml larutan DPPH 0,4 mM yang dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan divortex hingga tercampur. Metanol sebagai larutan blanko dimasukkan sebanyak 3 ml ke dalam kuvet, dan dibaca absorbansinya pada spektrofotometri UV-VIS. Dimasukkan kontrol negatif sebanyak 3 ml. Kemudian ditentukan panjang gelombang maksimum DPPH dan kemudian dibaca absorbansinya.

c. Uji daya antioksidan

Ekstrak etanolik biji C. moschata yang diperoleh dibuat seri kadar 25µg/ml, 50µg/ml, 75 µg/ml, 100 µg/ml, 125 µg/ml, 150 µg/ml sebanyak 5 ml ditambahkan 1 mL DPPH 0,4 mM dalam metanol. Campuran dihomogenkan dan dibiarkan selama 30 menit (operating time).

Selanjutnya seri kadar biji C. moschata diukur dan dilakukan pengamatan absorbansi pada panjang gelombang maksimum yang


(41)

didapatkan. Pengujian dilakukan dengan 3 kali replikasi. Besarnya aktifitas antioksidan dihitung dengan menggunakan rumus:

d. Perhitungan IC50

Setelah didapatkan persentase inhibisi dari masing-masing konsentrasi, dilanjutkan dengan perhitungan secara regresi linier menggunakan persamaan Y = A + BX, dimana X adalah konsentrasi (µg/mL) dan Y adalah persentase inhibisi (%). Aktifitas antioksidan dinyatakan dengan harga IC50 yaitu konsentrasi sampel dapat meredam radikal DPPH sebanyak 50%. Nilai harga IC50 didapatkan dari nilai X setelah mengganti Y dengan 50 (Molyneux, 2004).

5. Uji Aktivitas Antibakteri

a. Pembuatan media pertumbuhan

Media yang digunakan adalah TSA (Tryptic Soy Agar), dibuat dengan cara: 45,7 g serbuk TSA dituangkan ke dalam 1 L aquades mendidih pada labu Erlenmeyer, kemudian diaduk menggunakan stirer di atas hotplate hingga larut homogen.

b. Sterilisasi alat dan bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu. Untuk alat-alat gelas (pyrex) disterilkan dengan cara dimasukkan kedalam oven pada suhu 170oC selama 2 jam, ose dan pinset dipanaskan dengan Bunsen. Untuk bahan-bahan yang akan digunakan seperti medium agar TSA disterilkan didalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit.


(42)

26

Setelah disterilisasi, semua alat dan bahan disimpan dalam Laminar Air Flow (LAF) yang sebelumnya sudah disterilisasi dengan lampu UV selama 30 menit dan dibersihkan dengan alkohol 70%.

c. Pembuatan stok bakteri

Bakteri uji diinokulasi pada media agar miring dengan menggoreskan bakteri Staphylococus aureus menggunakan jarum ose pada permukaan agar, kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. d. Pembuatan suspensi bakteri

Bakteri yang telah diinkubasi diambil menggunakan jarum ose dan disuspensikan ke dalam larutan NaCl 0,9% fisiologis steril sebanyak 1 ml. Kemudian didiamkan selama 2 - 4 jam, selanjutnya ditambahkan dalam 9 ml BHI dan dihomogenkan dengan vortex.

e. Pembuatan kontrol positif

Kontrol positif yang digunakan adalah tetrasiklin 0,02% dan ciprofloksasin 0,0005%.

f. Pembuatan kontrol negatif

Kontrol negatif yang digunakan adalah DMSO. g. Pengujian aktivitas antibakteri

Pengujian aktifitas antibakteri, dilakukan dengan membuat seri kadar ekstrak 5%, 10%, 25% dan 50% yang dilarutkan dalam DMSO. Kertas cakram yang telah disterilkan sebelumnya, dimasukkan ke masing - masing seri kadar ekstrak etanolik biji C. moschata, kontrol positif dan kontrol negatif selama 15 menit. Suspensi bakteri yang telah dibuat


(43)

diusapkan ke permukaan agar TSA dengan menggunakan kapas lidi yang telah disterilkan sebelumnya. Cawan petri yang telah diberi perlakuan diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Setelah proses inkubasi kemudian zona diameter hambat pada media TSA diukur menggunakan mistar. Nilai DZI yang telah didapatkan, kemudian dibandingkan dengan kontrol positif (tetrasiklin dan ciprofloksasin) serta standar nilai uji antibakteri.

F. Skema Langkah kerja

Gambar 6. Skema langkah kerja Biji Cucurbita moschata

Dimaserasi dengan etanol 70% (perbandingan 1:5)

Dievaporasi/penguapan

Dilakukan uji aktivitas Identifikasi Senyawa

Antibakteri Antioksidan

Evaluasi hasil


(44)

28

G. Analisis Data

a. Antioksidan

Data persen inhibisi yang diperoleh dituangkan dalam kurva hubungan antara % inhibisi dan konsentrasi sehingga didapatkan persamaan regresi linear y = ax ± b. Persamaan tersebut digunakan untuk didapatkan nilai IC50.

Tabel 1. Standar nilai aktivitas antioksidan (Molyneux, 2004) Aktivitas

Antioksidan

Nilai IC50 (µg/ml) Sangat kuat < 50

Kuat 50 – 100 Sedang 100 – 150 Lemah > 150

b. Antibakteri

Dengan pengukuran diameter zona hambat terhadap bakteri S. aureus. Nilai DZI yang telah didapatkan dibandingkan dengan kontrol positif dan standar nilai aktivitas antibakteri.

Tabel 2. Standar nilai aktivitas antibakteri (Davis dan Stout, 1971) Aktivitas

Antibakteri

DZI (mm) Lemah < 5 Sedang 5 – 10

Kuat 10 – 20 Sangat kuat > 20


(45)

29

A. Preparasi Sampel

1. Pengumpulan dan Penyiapan Bahan

Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah biji labu kuning (Cucurbita moschata Duch Poir) yang diperoleh dari Salatiga, Jawa Tengah. Determinasi tanaman bertujuan untuk membuktikan kebenaran bahan yang digunakan pada penelitian ini. Determinasi tanaman dilakukan di laboratorium Biologi, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Hasil determinasi tanaman menunjukan bahwa biji yang digunakan adalah biji Cucurbita moschata Duch Poir seperti yang tertera pada lampiran 1.

Biji C. moschata yang akan digunakan pada penelitian ini telah melalui proses pencucian dan sortasi untuk mendapatkan biji dengan kualitas baik, kemudian dilakukan pengeringan. Pengeringan dilakukan untuk menghentikan reaksi enzimatik yang dapat menyebabkan penguraian atau perubahan kandungan kimia yang terdapat pada biji C. moschata. Proses selanjutnya dilakukan proses pembuatan serbuk dan pengayakan. Proses ini bertujuan untuk mendapatkan serbuk simplisia yang homogen dan untuk mempermudah penarikan senyawa aktif yang digunakan sebagai antioksidan dan antibakteri, yaitu flavonoid dan alkaloid.


(46)

30

2. Proses Ekstraksi

Ekstraksi adalah metode penarikan metabolit sekunder dari tumbuhan atau bagian tumbuhan dengan pelarut yang sesuai (Tiwari, et al., 2011). Pemilihan jenis pelarut dan metode ekstraksi merupakan bagian penting dalam ekstraksi. Pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol 70%. Etanol adalah pelarut universal yang mampu melarutkan hampir semua zat, baik yang bersifat polar, semi polar, dan nonpolar. Digunakan etanol 70% karena bahan yang

digunakan berupa serbuk kering, adanya air diperlukan agar sel-sel biji C. moschata dapat mengembang sehingga pelarut mudah masuk ke dalam sel.

Biji C. moschata yang diperoleh diekstraksi menggunakan metode maserasi. Filtrat hasil maserasi diuapkan menggunakan rotary evaporator pada suhu 50°C dan kecepatan putaran 90 rpm. Penguapan ini bertujuan untuk memisahkan pelarut dari senyawanya. Untuk mendapatkan ekstrak kental dilakukan penguapan kembali menggunakan waterbath, hal ini bertujuan untuk menjaga suhu agar tetap berada dibawah titik didih air yaitu 100oC. Dari metode maserasi ini didapatkan rendemen sebesar 3,7561% b/b.

B. Identifikasi senyawa

Senyawa yang diidentifikasi pada penelitian ini adalah senyawa flavonoid dan alkaloid. Untuk mengetahui adanya kandungan senyawa tersebut dilakukan uji identifikasi senyawa menggunakan metode kromatografi lapis tipis. Pada uji flavonoid digunakan fase diam selulosa dan plat silika gel GF254 sebagai fase diam pada uji alkaloid. Fase gerak yang digunakan adalah larutan butanol : asam asetat : air dengan perbandingan 4 : 1 : 5. Uji ini merupakan kromatografi partisi fase


(47)

terbalik, dimana fase gerak lebih polar dibanding fase diam. Bercak pada fase diam dapat diamati pada cahaya tampak dan dibawah sinar UV kemudian dihitung RF-nya. Hasil KLT dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, dan 10.

A B C

Gambar 7. Hasil uji identifikasi flavonoid sebelum disemprot pereaksi amoniak. keterangan: A. sinar tampak, B. UV 254 nm, C. UV 366 nm, (P) senyawa pembanding kuersetin, (S) ekstrak etanolik C. moschata.

A B C

Gambar 8. Hasil uji identifikasi flavonoid setelah disemprot pereaksi amoniak. keterangan: A. sinar tampak, B. UV 254 nm, C. UV 366 nm, (P) senyawa pembanding kuersetin, (S) ekstrak etanolik C. moschata.

P S P S P S

P S


(48)

32

A B C

Gambar 9. Hasil uji identifikasi alkaloid sebelum disemprot pereaksi dragendorff keterangan: A. sinar tampak, B. UV 254 nm, C. UV 366 nm, (P) senyawa pembanding kuinin, (S) ekstrak etanolik C. moschata.

A B C

Gambar 10. Hasil uji identifikasi alkaloid setelah disemprot pereaksi dragendorff keterangan: A. sinar tampak, B. UV 254 nm, C. UV 366 nm, (P) senyawa pembanding kuinin, (S) ekstrak etanolik C. moschata.

Hasil uji identifikasi senyawa seperti yang terlihat pada gambar 7, 8, 9 dan 10 menunjukkan adanya perbedaan penampakan bercak sebelum dan setelah plat disemprot dengan pereaksi. Bercak terlihat lebih jelas pada plat yang telah disemprot dengan pereaksi. Setelah plat silika disemprot pereaksi dragendorff

P S

P S

P S

P S P S


(49)

menunjukkan bercak warna orange, hal ini sesuai dengan Gibbons (2006) yang menyatakan bahwa setelah disempot dragendorff deteksi alkaloid menghasilkan warna oranye pekat hingga merah.

Pada identifikasi senyawa flavonoid setelah disemprot amoniak timbul noda berwarna kuning terang dibawah sinar tampak dan UV 254 nm serta berwarna biru pada UV 366 menegaskan adanya kandungan flavonoid pada ekstrak etanolik biji C. moschata. Hal ini sesuai dengan pendapat Wagner dan Bladt (2001) yang menyebutkan bahwa flavonoid dapat berfluoresensi dan memberikan warna kuning, hijau, maupun biru serta berwarna kuning lebih intens setelah diuapi amoniak. Flavonoid yang berwarna kuning terang atau coklat kuning setelah direaksikan dengan amoniak merupakan jenis flavonol glikosida (Harborne, 2006). Berdasar pengamatan visual KLT didapatkan hasil seperti yang tertera pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil identifikasi senyawa pada plat KLT

Senyawa

Bercak sebelum disemprot pereaksi

Bercak setelah disemprot

pereaksi Jarak

senyawa (cm) Jarak eluen (cm) Rf Sinar tampak UV 254nm UV 366nm Sinar tampak UV 254nm UV 366 nm 1. Flavonoid

Kuersetin Kuning terang Kuning terang Biru meredam Kuning terang Kuning terang Biru

meredam 6.25 8 0,78 Sampel Kuning

samar Kuning samar Biru meredam Kuning gelap Kuning gelap biru

meredam 7 8 0,87 2. Alkaloid

Kuinin Tak tampak

Biru berpendar

Biru

ber-pendar orange

Coklat meredam

Biru

meredam 4,5 8 0,56 Sampel Tak

tampak

Biru berpendar

Biru

ber-pendar orange

Coklat meredam

Biru


(50)

34

Identifikasi senyawa menggunakan KLT juga dilakukan dengan membandingkan nilai Rf ekstrak etanolik biji C. moschata dengan senyawa pembandingnya. Identifikasi senyawa flavonoid ekstrak etanolik biji C. moschata menunjukkan Rf 0,87 sedangkan kuersetin sebagai pembandingnya memiliki Rf 0,78. Hal ini menandakan bahwa senyawa flavonoid yang terkandung pada ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki polaritas yang lebih tinggi dibanding kuersetin. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa flavonoid yang diidentifikasi merupakan glikosida dari kuersetin yang termasuk golongan flavonol.

Pada uji identifikasi senyawa alkaloid didapatkan nilai Rf 0,56 dengan warna orange setelah disemprot pereaksi dragendorff. Nilai Rf tersebut memiliki Rf dan warna yang sama dengan senyawa pembanding kuinin. Kuinin termasuk termasuk dalam alkaloid kuinolin (Harborne, 2006), sehingga memungkinkan bahwa senyawa alkaloid yang terkandung dalam ekstrak etanolik biji C. moschata merupakan alkaloid golongan kuinolin.

C. Uji aktivitas antioksidan

Pengujian aktivitas antioksidan secara kuantitatif dilakukan dengan metode penangkapan radikal bebas DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) secara spektrofotometri sinar tampak. Metode DPPH dipilih karena merupakan metode yang sederhana, mudah, cepat, dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel untuk evaluasi aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam (Molyneux, 2004). Metode ini didasarkan pada perubahan warna radikal DPPH. Aktivitas antioksidan suatu senyawa ditunjukkan dengan adanya pengurangan intensitas warna ungu


(51)

dari larutan DPPH yang telah ditambahkan larutan uji, sehingga dilakukan uji pada berbagai seri kadar ekstrak etanolik biji C. moschata. Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak etanolik biji C. moschata dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil uji antioksidan

No. Konsentrasi (µg/ml)

Absorbansi %inhibisi rata-rata ± SD Rata-rata ± SD 1 25 0,550 ± 0,004 5,70 ± 0,80 2 50 0,528 ± 0,009 9,52 ± 1,64 3 75 0,515 ± 0,004 11,69 ± 0,77 4 100 0,503 ± 0,002 13,86 ± 0,45 5 125 0,486 ± 0,002 16,72 ± 0,39 6 150 0,464 ± 0,007 20,43 ± 1,24

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi yang diberikan, maka absorbansi yang dihasilkan semakin kecil. Penurunan absorbansi disebabkan adanya peredaman radikal bebas DPPH akibat adanya donor atom hidrogen (Hydrogen atom transfer) dari senyawa hidroksil, sehingga DPPH mengalami reduksi menjadi DPPH-H (Marxen, et al., 2007). Hal ini ditunjukkan dengan perubahan warna ungu yang memudar pada DPPH. Semakin tinggi konsentrasi larutan uji maka semakin besar pula peredaman warnanya yang ditandai dengan terbentuknya warna kuning.

Perubahan intensitas warna ungu terjadi karena adanya peredaman radikal bebas yang dihasilkan oleh bereaksinya molekul DPPH dengan atom hidrogen yang dilepaskan oleh molekul senyawa sampel, sehingga terbentuk senyawa Difenil pikril hidrazin dan menyebabkan terjadinya penurunan absorbansi panjang gelombang maksimum DPPH menggunakan spektrofotometri UV-Vis (Molyneux, 2004). Dengan penurunan nilai absorbansi maka persen inhibisi yang dihasilkan semakin besar. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh


(52)

36

Nurjanah, et al (2011) bahwa persen inhibisi terhadap aktivitas radikal bebas meningkat seiring bertambahnya konsentrasi ekstrak.

Hasil pengukuran diinterpretasikan ke dalam kurva hubungan konsentrasi terhadap persen inhibisi. Persamaan garis yang diperoleh digunakan untuk mencari nilai IC50. IC50 merupakan konsentrasi suatu senyawa yang dapat menyebabkan aktivitas DPPH berkurang 50%. IC50 adalah parameter dalam menentukan aktivitas antioksidan. Semakin kecil nilai IC50 menunjukkan aktivitas antioksidan semakin tinggi (Molyneux, 2004). Nilai IC50 diperoleh dari persamaan y = ax + b pada kurva regresi linear hubungan konsentrasi (x) dan persentase peredaman (y). Nilai IC50 dikatakan aktif sebagai antioksidan jika memiliki IC50< 200 μg/ml (Kresnawaty dan Zainuddin, 2009).

Gambar 11. Kurva hubungan konsentrasi terhadap persen inhibisi

Dari kurva pada Gambar 11, didapatkan persamaan regresi linier Y= 0,1113X + 3.2447 dengan R2 0,9904. Nilai R2 yang mendekati 1 menunjukkan

bahwa % Inhibisi memiliki korelasi dengan konsentrasi ekstrak uji (Marliani, et al., 2014). Setelah dilakukan perhitungan didapatkan nilai IC50 ekstrak etanolik

y = 0.1113x + 3.2447 R² = 0.9904

0 5 10 15 20 25

0 50 100 150 200

%

in

h

ib

isi

Konsentrasi (µg/ml)

ekstrak etanolik biji C. moschata

Linear (ekstrak etanolik biji C. moschata)


(53)

biji C. moschata pada konsentrasi 420,08 μg/ml, artinya pada ekstrak etanolik biji C. moschata membutuhkan konsentrasi sebesar 420,08 μg/ml untuk menangkap radikal DPPH sebanyak 50%. Pada perhitungan pembanding kuersetin (Lampiran 4) didapatkan nilai IC50 sebesar 2,55 μg/ml. Hasil ini mendekati nilai IC50 kuersetin yang diperoleh pada penelitian Michielin, et al. (2010) yaitu 2,45 μg/ml. Ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki daya antioksidan yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kuersetin serta menurut klasifikasi aktivitas antioksidan oleh Molyneux (2004) nilai IC50 > 150 μg/ml termasuk kategori lemah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas lemah dalam meredam radikal bebas DPPH.

Berdasarkan uji identifikasi senyawa dengan KLT menunjukkan bahwa ekstak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid. Flavonoid merupakan antioksidan eksogen yang mengandung gugus fenolik dan telah dibuktikan bermanfaat dalam mencegah kerusakan sel akibat stress oksidatif. Mekanisme kerja flavonoid sebagai antoksidan adalah dengan mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat menstabilkan radikal bebas yang reaktif (Arora, et al., 1998). Menurut Kurniati (2013) mekanisme alkaloid sebagai antioksidan juga dengan cara mendonorkan atom H pada radikal bebas.

Ekstrak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid, namun memiliki aktivitas antioksidan lemah. Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etanolik biji C. moschata adalah golongan flavonol glikosida. Menurut Ery (2013) senyawa flavonoid dalam bentuk ekstrak yang tidak murni kemungkinan masih berikatan dengan gugus glikosida karena gugus glikosida


(54)

38

yang berikatan dengan flavonoid dapat menurunkan aktivitas antioksidan. Pada ekstrak etanolik biji C. moschata diduga juga masih terdapat senyawa pengganggu yang menghalangi proses penangkapan radikal bebas. Adanya senyawa protein dan lemak pada ekstrak dapat mengganggu proses penangkapan radikal bebas oleh senyawa fenolik atau flavonoid (Elsha, 2012).

D. Uji aktifitas antibakteri

Ekstrak diuji aktivitas penghambatannya terhadap Staphylococcus aureus strain FNCC 0047. Uji antibakteri ekstrak etanolik biji C. moshata terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan dengan menggunakan metode Kirby-Bauer yang sering disebut dengan difusi cakram (disk diffusion test). Metode Kirby-Bauer digunakan untuk menentukan sensitifitas bakteri pathogen baik yang bersifat aerob maupun anaerob fakultatif terhadap berbagai senyawa antimikroba (Hudzucki, 2013).

Ekstrak etanolik biji C. moschata diujikan pada S. aureus dengan konsentrasi 5%, 10%, 25% dan 50%. Sebagai kontrol positif digunakan tetrasiklin dan ciprofloksasin serta DMSO sebagai kontrol negatif. Konsentrasi yang digunakan pada tetrasiklin adalah 0,02%. Berdasarkan penelitian Sarjono dan Mulyani (2007), jika dibandingkan dengan ampisilin dan amoksisilin, tetrasiklin memperoleh zona bening paling besar. Mekanisme kerja tetrasiklin adalah menghalangi terikatnya RNA pada bagian spesifik dari ribosom, akibatnya sintesis protein mengalami hambatan (Widjajanti, 1988).


(55)

Gambar 12. Hasil pengamatan DZI uji antimikroba (pembanding tetrasiklin) Keterangan: (+) tetrasiklin, (-) DMSO

Pada Gambar 12 terlihat zona bening pada konsentrasi 25% dan 50%, namun pada kontrol negatif, konsentrasi 5% dan 10% tidak terjadi aktivitas hambat terhadap bakteri S. aureus. Tetrasiklin sebagai kontrol positif menurut Kamarudin, et al. (2014) memiliki aktivitas hambat yang kuat terhadap S. aureus ternyata tidak terdapat zona bening disekitar disk antibotik tersebut. Pada penelitian Febriani (2014), tetrasiklin digunakan sebagai kontrol positif dengan diameter zona inhibisi sebesar 16,6 mm yang termasuk kategori kuat untuk menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus.

Kontrol positif digunakan sebagai pembanding apakah uji yang telah kita lakukan valid dengan membandingkan nilai kontrol pembanding dengan literatur. Karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan literatur maka dilakukan uji dengan menggunakan kontrol positif ciprofloksasin. Ciprofloksasin merupakan antibiotik golongan kuinolon dengan mekanisme kerja menghambat DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat dalam bakteri (Mitchell


(56)

40

dsn Cranswick, 2008). Penghambatan terhadap enzim yang terlibat dalam replikasi, rekombinasi dan reparasi DNA tersebut mengakibatkan penghambatan terhadap pertumbuhan sel bakteri (Sarro dan Sarro, 2001). Hasil uji dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hasil pengamatan DZI uji antimikroba (pembanding ciprofloksasin) Keterangan: (+) ciprofloksasin, (-) DMSO

Pada Gambar 13, terdapat zona hambat yang tidak sempurna pada kontrol positif ciprofloksasin, sedangkan menurut Makagansa, et al. (2015) penggunaan ciprofloksasin 5µg/ml terhadap bakteri S. aureus menghasilkan zona bening sebesar 28,2mm yang termasuk dalam kategori sangat kuat. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena adanya mekanisme resistensi oleh bakteri. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Menurut Jawetz, et al. (2005) mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik diantaranya melalui mekanisme mikroorganisme menghasilkan enzim dan merusak obat yang aktif,


(57)

mikroorganisme merubah permeabilitasnya terhadap obat, mikroorganisme mengubah struktur target untuk obat, mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme baru menghindari jalur yang biasa dihambat oleh obat, dan mikroorganisme mengembangkan enzim baru yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit dipengaruhi oleh obat.

Hasil uji aktivitas antibakteri (Gambar 13) menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji sebelumnya (Gambar 12), bahwa pada konsentrasi 25% dan 50% terdapat zona bening di sekitar disk yang artinya terjadi aktivitas inhibisi terhadap pertumbuhan S. aureus. Untuk kontrol negatif menunjukkan bahwa DMSO tidak mempunyai zona hambat, sehingga DMSO sebagai pelarut tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S.aureus. Hasil pengukuran zona hambat ekstrak etanolik biji C. moshata terhadap S. aureus seperti disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil pengukuran diameter zona hambat

Keterangan: (Cm) Cucurbita moschata

S. aureus yang merupakan bakteri Gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tebal, lipid yang rendah, dan tidak memiliki lipoprotein dan lipopolisakarida (Tortora et al. 2007). Peptidoglikan merupakan suatu senyawa polar yang mudah bereaksi dengan senyawa polar (Volk dan Wheeler 1988). No. Bahan

Uji

Diameter Zona Inhibisi (mm) Rata-rata (mm) Rep.1 Rep.2 Rep.3 Rep.4 Rep.5 Rep. 6

1 Cm 5% 0 0 0 0 0 0 0

2 Cm 10% 0 0 0 0 0 0 0

3 Cm 25% 1,37 1,37 1,25 1,62 1,00 1,25 1,31 4 Cm 50% 2,21 2,00 2,25 2,50 2,25 2,25 2,24 5 Tetra 13,75 12,62 12,00

Tidak dilakukan uji Tidak dilakukan uji Tidak dilakukan uji 12,79

6 Cipro

Tidak dilakukan uji Tidak dilakukan uji Tidak dilakukan uji

14,00 14,75 13,62 14,12


(1)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 6

amoniak senyawa ini terlihat berwarna kuning lebih terang dibawah sinar tampak dan UV 254nm serta berwana biru pada UV 366nm yang menunjukkan adanya flavonoid pada ekstrak etanolik biji C. moschata.9 Flavonoid yang berwarna kuning terang atau coklat kuning setelah direaksikan dengan amoniak merupakan jenis flavonol glikosida.10 Pada uji alkaloid setelah disemprot pereaksi dragendorff menunjukkan bercak warna orange, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanolik biji C. moschata positif mengandung alkaloid. Sampel dengan nilai Rf 0,56 memiliki polaritas yang sama dengan senyawa kuinin (Rf 0,56). Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan senyawa alkaloid yang terkandung dalam ekstrak etanolik biji C. moschata termasuk golongan kuinolin.

Uji Aktivitas Antioksidan

Aktivitas antioksidan diuji

menggunakan metode DPPH.

Aktivitas antioksidan suatu senyawa

ditunjukkan dengan adanya

pengurangan intensitas warna ungu dari larutan DPPH yang telah ditambahkan larutan uji, sehingga dilakukan uji pada berbagai seri kadar ekstrak etanolik biji C. moschata.

Hasil pengukuran

diinterpretasikan ke dalam kurva hubungan konsentrasi terhadap persen inhibisi (Gambar 1). Persamaan garis yang diperoleh digunakan untuk mencari nilai IC50. IC50 merupakan konsentrasi suatu senyawa yang dapat menyebabkan aktivitas DPPH berkurang 50%. IC50 adalah parameter dalam menentukan aktivitas antioksidan. Semakin kecil nilai IC50 menunjukkan aktivitas antioksidan semakin tinggi.11

Gambar 1. Kurva hubungan konsentrasi terhadap persen inhibisi

Dari kurva pada Gambar 1,

didapatkan persamaan regresi linier Y= 0,1113X + 3.2447. Setelah

dilakukan perhitungan didapatkan nilai IC50 ekstrak etanolik biji C.

moschata pada konsentrasi 420,08

μg/ml, artinya pada ekstrak etanolik biji C. moschata membutuhkan konsentrasi sebesar 420,08 μg/ml

untuk menangkap radikal DPPH sebanyak 50%. Pada perhitungan pembanding kuersetin didapatkan nilai IC50 sebesar 2,55 μg/ml. Hasil ini mendekati nilai IC50 kuersetin yang diperoleh pada penelitian Michielin, et al. (2010) yaitu 2,45

μg/ml. Ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki daya antioksidan

y = 0,1113x + 3,2447 R² = 0,9904

0 5 10 15 20 25

0 50 100 150 200

%

in

h

ib

isi

Konsentrasi (µg/ml)

ekstrak etanolik biji C. moschata

Linear (ekstrak etanolik biji C. moschata)


(2)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 7

yang jauh lebih rendah apabila dibandingkan dengan kuersetin serta menurut klasifikasi aktivitas antioksidan nilai IC50 > 150 μg/ml termasuk kategori lemah.11 Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas lemah dalam meredam radikal bebas

DPPH. Ekstrak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa

flavonoid dan alkaloid, namun memiliki aktivitas antioksidan lemah. Flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etanolik biji C. moschata adalah golongan flavonol glikosida. Menurut senyawa flavonoid dalam bentuk ekstrak yang tidak murni kemungkinan masih berikatan dengan gugus glikosida karena gugus glikosida yang berikatan dengan flavonoid dapat menurunkan aktivitas antioksidan.12 Pada ekstrak etanolik biji C. moschata diduga juga masih terdapat senyawa pengganggu yang menghalangi proses penangkapan radikal bebas. Adanya senyawa protein dan lemak pada ekstrak dapat mengganggu proses penangkapan radikal bebas oleh senyawa fenolik atau flavonoid.13

Uji Aktivitas Antibakteri

Ekstrak diuji aktivitas

penghambatannya terhadap

Staphylococcus aureus strain FNCC 0047. Uji antibakteri ekstrak etanolik

biji C. moshata terhadap

pertumbuhan bakteri dilakukan dengan menggunakan metode Kirby-Bauer yang sering disebut dengan difusi cakram (disk diffusion test).

Ekstrak etanolik biji C. moschata diujikan pada S. aureus

dengan konsentrasi 5%, 10%, 25% dan 50%. Sebagai kontrol positif

digunakan tetrasiklin dan

ciprofloksasin serta DMSO sebagai

kontrol negatif. Konsentrasi yang digunakan pada tetrasiklin adalah 0,02%. Mekanisme kerja tetrasiklin adalah menghalangi terikatnya RNA pada bagian spesifik dari ribosom, akibatnya sintesis protein mengalami hambatan.14

Gambar 2. Hasil pengamatan DZI uji antimikroba (pembanding tetrasiklin) Keterangan: (+) tetrasiklin, (-) DMSO

Pada Gambar 2 terlihat zona bening pada konsentrasi 25% dan 50%. Tetrasiklin sebagai kontrol positif memiliki aktivitas hambat yang kuat15 terhadap S. aureus ternyata tidak terdapat zona bening disekitar disk antibotik tersebut. Karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan literatur maka dilakukan uji dengan menggunakan kontrol positif ciprofloksasin. Ciprofloksasin merupakan antibiotik

golongan kuinolon dengan

mekanisme kerja menghambat DNA girase (topoisomerase II) dan topoisomerase IV yang terdapat dalam bakteri.16

Pada Gambar 3, terdapat zona hambat yang tidak sempurna pada kontrol positif ciprofloksasin, sedangkan penggunaan ciprofloksasin 5µg/ml terhadap bakteri S. aureus menghasilkan zona bening sebesar


(3)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 8

28,2mm yang termasuk dalam kategori sangat kuat.17

Gambar 3. Hasil pengamatan DZI uji

antimikroba (pembanding

ciprofloksasin)

Keterangan: (+) ciprofloksasin, (-) DMSO

Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena adanya mekanisme resistensi oleh bakteri. Resistensi terjadi ketika bakteri berubah dalam satu atau lain hal yang menyebabkan turun atau hilangnya efektivitas obat, senyawa kimia atau bahan lainnya yang digunakan untuk mencegah atau mengobati infeksi. Mekanisme resistensi bakteri terhadap antibiotik diantaranya melalui mekanisme mikroorganisme menghasilkan enzim

dan merusak obat yang aktif,

mikroorganisme merubah

permeabilitasnya terhadap obat, mikroorganisme mengubah struktur target untuk obat, mikroorganisme mengembangkan jalur metabolisme baru menghindari jalur yang biasa

dihambat oleh obat, dan

mikroorganisme mengembangkan enzim baru yang masih dapat melakukan fungsi metaboliknya tapi sedikit dipengaruhi oleh obat.18

Hasil uji aktivitas antibakteri (Gambar 3) menunjukkan hal yang sama dengan hasil uji sebelumnya (Gambar 2), bahwa pada konsentrasi 25% dan 50% terdapat zona bening di sekitar disk yang artinya terjadi aktivitas inhibisi terhadap pertumbuhan S. aureus. Untuk kontrol negatif menunjukkan bahwa DMSO tidak mempunyai zona hambat, sehingga DMSO sebagai pelarut tidak mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus. Hasil pengukuran zona hambat ekstrak etanolik biji C. moshata terhadap S. aureus seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran diameter zona hambat

No. Bahan

Uji

Diameter Zona Inhibisi (mm) Rata-rata

(mm)

Rep.1 Rep.2 Rep.3 Rep.4 Rep.5 Rep. 6

1 Cm 5% 0 0 0 0 0 0 0

2 Cm 10% 0 0 0 0 0 0 0

3 Cm 25% 1,37 1,37 1,25 1,62 1,00 1,25 1,31

4 Cm 50% 2,21 2,00 2,25 2,50 2,25 2,25 2,24

5 Tetra 13,75 12,62 12,00

Tidak dilakukan

uji

Tidak dilakukan

uji

Tidak dilakukan

uji

12,79

6 Cipro

Tidak dilakukan

uji

Tidak dilakukan

uji

Tidak dilakukan

uji

14,00 14,75 13,62 14,12


(4)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 9

Berdasarkan uji identifikasi senyawa menunjukkan bahwa ekstak etanolik biji C. moschata mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid. Mekanisme kerja senyawa

flavonoid adalah dengan

mendenaturasi protein sel bakteri dan merusak membran sitoplasma.19 Senyawa flavonoid dapat merusak membran sitoplasma yang dapat menyebabkan bocornya metabolit penting dan menginaktifkan sistem enzim bakteri.20 Mekanisme alkaloid sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh, terganggunya sintesis peptidoglikan sehingga pembentukan sel tidak sempurna

karena tidak mengandung

peptidoglikan dan dinding selnya hanya meliputi membran sel.21

Lemahnya aktivitas

antibakteri ada ekstrak etanolik C.

moschata diduga karena masih

terdapat banyak senyawa pengganggu yang tersari. Etanol sebagai pelarut merupakan pelarut universal yang dapat melarutkan berbagai senyawa polar, semipolar, maupun nonpolar. Sehingga pada seri konsentrasi 5%,

10%, 25% dan 50% hanya

mengandung sedikit senyawa aktif yang yang dapat menghambat pertumbuhan S. aureus. Hal ini mengakibatkan ekstrak etanolik biji C. moschata memiliki aktivitas yang kurang efektif jika digunakan sebagai agen terapi antibakteri terhadap S. aureus.

KESIMPULAN

Ekstrak etanolik biji C.

moschata mengandung senyawa

flavonoid dan alkaloid pada uji identifikasi senyawa menggunakan

metode kromatografi lapis tipis. Ekstrak etanolik biji C. moschata yang diuji menggunakan metode DPPH memiliki aktivitas antioksidan lemah dengan nilai IC50 sebesar 420,08 µg/ml dan memiliki aktivitas antibakteri pada konsentrasi 25% (1,31mm) dan 50% (2,24mm) terhadap bakteri S. aureus yang diuji menggunakan metode difusi cakram.

SARAN

Perlu dilakukan fraksinasi agar senyawa yang tersari lebih spesifik sehingga diharapkan memiliki aktivitas antioksidan dan antibakteri lebih besar.

UCAPAN TERIMAKASIH

Dirjen Dikti yang telah memberikan dana penelitian melalui program hibah penelitian bersaing.

REFERENSI

1.

Onkar, P., Bangar, J., dan Karodi, R.

(2012). Evaluasi of

Antioxidant activity of traditional formulation Giloy satva and hydroalcoholic extract of the Curculigo orchioides Gaertn. Journal of

Applied Pharmaceutical

Science 02 (06); 2012: 2009-2013.

2.

Winarsi, H. (2011). Antioksidan Alami Dan Radikal Bebas. Kanisius. Yogyakarta.

3.

Wattimena, J.R. (1991).

Farmakodinamik dan Terapi

antibiotic. Gajah Mada

University Press. Yogyakarta. 4.

El-Aziz, A.B.A. dan El-Kalek, H.H.A. (2011). Antimicrobial proteins and oil seeds from

pumpkin (Cucurbita

moschata). Nature and

Science. Vol. 9 (3): 105-119. 5.

Hamid, S.F.D., Ananda, S.R., Rosita, R., Sari, T.P.,


(5)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 10

Marjulyati., Abidin, Z., Putri, F.T., et al. (2014). Identifikasi Komponen Senyawa pada Biji Labu Kuning (Cucurbitha

moschata Semen). Laporan

praktikum fitokimia. Sekolah tinggi ilmu farmasi makasar. 6.

Kurniati, R.I. (2013). Uji Aktivitas Antioksidan Fraksi Etanol Daun Buas-Buas (Premna

cordifolia Linn.) dengan

Metode DPPH ( 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil). Skripsi. Universitas Tanjungpura. Pontianak.

7.

Santoso, R.M., Praharani, D., Purwanto. (2012). Daya Antibakteri Ekstrak Daun Pare (Momordica charantia)

dalam Menghambat

Pertumbuhan Streptococcus viridans. Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa.

8.

Waji, R.A, dan Sugrani, A. (2009).

Flavonoid (Quercetin).

Makalah Kimia Organik Bahan Alam. Program S2-Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin.

9.

Wagner H. and Bladt S. (2001). Plant Drugs Analysis: a Thin Layer Chromatography Atlas, second edition. Springer Verlag Berlin Heidenberg. New York.

10.

Harborne, J.B. (2006). Metode

Fitokimia Penuntun Cara

Modern Menganalisa

Tumbuhan. Cetakan ke-4.

Bandung: ITB 11.

Molyneux, P. (2004). The Use of Stable Free Radical Diphenyl-picrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Journal Science

Tecnology, Vol.26 (2): 211-219.

12.

Ery A. 2013. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol Buah Lakum (Cayratia trifolia) dengan DPPH (2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil). Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya.

13.

Elsha U. (2012). Aktivitas Antioksidan, Kadar Fenolik,

dan Flavonoid Total

Tumbuhan Suruhan

(Ppeperomia peluucida L. Kunth). Skripsi. Fakultas

Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor.

14.

Widjajanti, N. (1988).

Obat-Obatan. Kanisius.

Yogyakarta. 15.

Kamarudin, E.Z., Ahmed, Q.U.,

Helaluddin, A.B.M.,

Sirajudin, Z.N.M., dan Chowdhury, A.J.K. (2014). Studies on bactericidal

efficacy of pumpkin

Cucurbita moschata

Duchesne) peel. Journal of Coastal Life Medicine. 2(2): 146-153

16.

Mitchell, R. and N. Cranswick. (2008). What Is The Evidence of Safety of Quinolone Use In Children?. International Child Health Review Collaboration.

17.

Makagansa, C., Mamuaja, C.F., Mandey, L.C. (2015). Kajian Aktivitas Anti-Bakteri Ekstrak Biji Pangi (Pangium edule

Reinw) Terhadap

Staphylococcus Aureus,

Bacillus Cereus,

Pseudomonas Aeruginosa dan Escherichia Coli Secara In


(6)

Naskah Publikasi Karya Tulis Ilmiah

͟͠͞͠

Ika Dewi Rahmawati 20120350024 Farmasi UMY Page 11

Vitro. J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 3 (1). 16-25.

18.Jawetz, M., Adelberg’s. (2005).

Mikrobiologi Kedokteran.

edisi 23. Penerbit Buku Kedokteran ECG. Jakarta. 19.

Pelczar, MJ. (1986). Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jilid 1 dan 2, : UI Press, Jakarta, hal : 131-141,189-198, 447-449, 521, 809-811

20.

Volk, W.A., dan Wheeler, M.F. (1988). Mikrobiologi Dasar.

Markham, penerjemah;

Adisoemarto S, editor. Penerbit Erlangga. Jakarta. 21.

Retnowati, Y., Bialangi, N., Posangi, N.W. (2011).

Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus aureus pada Media yang diekspos dengan Infus Daun Sambiloto (Andrographis paniculata). Saintek. Vol 6 (2).