Kultur Daun Pucuk Tanaman Kemenyan (Styrax benzoin Dryander) Pada Media Ms Dengan Pemberian Atonik Dan BAP

(1)

KULTUR DAUN PUCUK TANAMAN KEMENYAN (Styrax benzoin

Dryander) PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN ATONIK

DAN BAP

SKRIPSI

RICO PRANATA TARIGAN

050805005

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KULTUR DAUN PUCUK TANAMAN KEMENYAN (Styrax benzoin

Dryander) PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN ATONIK

DAN BAP

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains

RICO PRANATA TARIGAN

050805005

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(3)

PERSETUJUAN

Judul : KULTUR DAUN PUCUK TANAMAN KEMENYAN

(Styrax benzoin Dryander) PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN ATONIK DAN BAP

Kategori : SKRIPSI

Nama : RICO PRANATA TARIGAN

Nomor Induk Mahasiswa : 050805005

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Diluluskan di

Medan, September 2010 Komisi Pembimbing :

Pembimbing 2 Pembimbing 1

Riyanto Sinaga S.Si, M.Si

NIP. 197108 311997 022001 NIP. 196005 231985 022001

Dra. Isnaini Nurwahyuni M.Sc.

Diketahui/Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

NIP. 196404 091994 031003 Prof. Dr. Dwi Suryanto. M.Sc


(4)

PERNYATAAN

KULTUR DAUN PUCUK TANAMAN KEMENYAN (Styrax benzoin Dryander) PADA MEDIA MS DENGAN PEMBERIAN ATONIK DAN BAP

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.

Medan, September 2010

RICO PRANATA TARIGAN 050805005


(5)

PENGHARGAAN

Dengan segala kerendahan hati, puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang dengan kasih dan anugerahNya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Hasil penelitian ini berjudul: ” Kultur Daun Pucuk Tanaman

Kemenyan (Styrax benzoin Dryander) pada Media MS dengan Pemberian Atonik dan BAP”.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dra. Isnaini Nurwahyuni M.Sc. selaku pembimbing I dan Bapak Riyanto Sinaga S.Si, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukannya kepada penulis dalam penyusunan hasil penelitian ini. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ketua Departemen Biologi FMIPA USU, Dekan, Pembantu Dekan, dan seluruh pegawai FMIPA USU, Ibu Dra. Elimasni M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak membimbing penulis selama pendidikan. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada Bapak dan Ibu dosen di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama masa perkuliahan, serta Ibu Roslina Ginting, Abang Raswin, Ibu Nurhasni Muluk dan Bapak Sukirmanto selaku pegawai di Departemen Biologi, FMIPA USU.

Rekan-rekan asisten Lab. Genetika: Siti, Simlah, Riris, Delni, Julita, Kakak Maria dan Ruth. Kepada Abang Franhot atas dukungannya dan Abang David Napitupulu selaku kakak asuh. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan angkatan 2005: Susanti Siagian, Elfrida, Diana, Wulan, Toberni, Ummi, Ochid, Nikma, Masrayanti, Dwi, Sri Zulyani, Seneng, Sarah, Valentyna, Susi, Andini S., Putri, Rebecca, Erna, Erni, Dini, Patimah, Maysarah, Irfan, Misran, Taripar, Efendi, Andi, Dahin, Rahmad, Verta, Kabul, Juned. Saudari dalam dosen penasehat akademik yang sama: Kurniayanti, Widya, Mustika, Susanty SarMut, Fifi, Fitria, Gustin, dan Winda. Adik-adik di Biologi: Raymond (adik asuh), Hilda, Jane, Desmina dan Tetty. Kepada rekan-rekan seluruh saudara-saudari di PKBKB FMIPA USU maju dan tetaplah penuh semangat. Terima kasih untuk tiap tawa dan tangis yang kita lalui bersama, kiranya Tuhan Yesus memberkati.

Tak ada gading yang tak retak. Demikian pula halnya dengan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, demikianlah yang dapat disampaikan. Semoga penelitian ini bermanfaat.

Medan, September 2010 Penulis


(6)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Kultur Daun Pucuk Tanaman Kemenyan (Styrax Benzoin

Dryander) Pada Media MS Dengan Pemberian Atonik Dan BAP” telah dilakukan

di Laboratorium Kultur jaringa n Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dari bulan Januari 2010 sampai Mei 2010. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi atonik dan BAP terhadap pertumbuhan kultur daun pucuk kemenyan (Styrax benzoin Dryander) ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 5 taraf atonik yaitu: 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 ml/L dan 4 taraf BAP yaitu: 0,0; 0,05; 0,5; 5,0 mg/L. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kedua zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kultur yang membentuk kalus dan berat basah kultur. Perlakuan yang terbaik berdasarkan kalus yang terbentuk dan berat basah terbaik adalah A2B3 (1 ml/L Atonik + 5 mg/l BAP). Kata Kunci: Kemenyan; atonik; BAP


(7)

THE LEAF TISSUE CULTURE OF BENZOIN (Styrax Benzoin Dryander) IN MEDIA MS WITH ATONIK AND BAP

ABSTRACT

The research about “The Leaf Tissue Culture Of Benzoin (Styrax Benzoin

Dryander) In MS Media With Atonik And BAP” has been done in Plant Tissue

Culture Laboratory of Biology Department at Faculty of Mathematics and Natural Science, University of Sumatera Utara from Januari 2010 until May 2010. The aim of the research was to obtain the effect of combination Atonik and BAP to the growth of the leaf tissue culture of benzoin (Styrax benzoin Dryander) using Complete Randomized Design and two factors which are 5 level of Atonik concentrations: 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 ml/L and 4 concentrations of BAP: 0,0; 0,05; 0,5; 5,0 mg/L. The result of statistic analysis indicated that the interaction of Atonic and BAP gives nonsignificant effect to the percentage of callus growth and callus fresh wight. The best treatment of callus growth and callus fresh weight found in media A2B3 (1ml/L

Atonik + 5 mg/l BAP).


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PERSETUJUAN i

PERNYATAAN ii

PENGHARGAAN iii

ABSTRAK iv

ABSTRACT v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

DAFTAR GAMBAR viii

BAB 1. Pendahuluan

1.1Latar Belakang 1

1.2Permasalahan 3

1.3Tujuan 3

1.4Hipotesis 3

1.5Manfaat 3

BAB 2. Tinjauan Pustaka

2.1 Botani Kemenyan (Styrax benzoin Dryander) 4

2.2 Teknik Kultur Jaringan 5

2.3 Kultur Daun Pucuk 6

2.4 Eksplan (Bahan Tanaman ) 7 2.5 Media Kultur Jaringan 8

2.6 Zat Pengatur Tumbuh 8

2.6.1 Zat Pengatur Tumbuh BAP (Benzil Amino Purin) 9

2.6.2 Zat Pengatur Tumbuh Atonik 10

2.7 Glutamin 10

2.8 Kultur Jaringan Kemenyan 11

BAB 3. Bahan dan Metoda

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Persiapan Bahan Tanaman 12

3.3 Metoda Penelitian 13

3.4 Cara Kerja 14

3.4.1 Sterilisasi Alat 14

3.4.2 Pembuatan Media 14

3.4.3. Sterilisasi Eksplan 15

3.4.4. Penanaman Eksplan 16

3.4.5. Pemeliharaan Eksplan 16

3.4.6. Parameter Pengamatan 16

3.5. Analisis Data 17

BAB 4. Hasil dan Pembahasan

4.1 Saat Terbentuknya Kalus 18

4.2 Persentase kulur yang membentuk kalus (%) 20


(9)

4.4. Warna Kalus 24 4.5 Persentase Terkontaminasi 26 BAB 5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan 28

5.2 Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 29


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.1 Jumlah Kultur yang membentuk kalus per minggu. 19

Tabel 4.2.1 Persentase Kultur yang membentuk kalus (%) 20


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tanaman Kemenyan (Styrax benzoin Dryander) 13

Gambar 2 Eksplan Daun Kemenyan 15

Gambar 3 Kalus Kemenyan 18

Gambar 4 Kalus dengan berat basah tertinggi pada perlakuan A2B3 22

Gambar 5 Hubungan rata-rata berat basah kalus dengan kombinasi ZPT 23

Gambar 6 Warna Kalus 25


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Data pengamatan persentase kultur yang hidup 33

Lampiran B Data pengamatan berat basah kultur 34

Lampiran C Data pengamatan persentase kultur terkontaminasi 36


(13)

ABSTRAK

Penelitian tentang “Kultur Daun Pucuk Tanaman Kemenyan (Styrax Benzoin

Dryander) Pada Media MS Dengan Pemberian Atonik Dan BAP” telah dilakukan

di Laboratorium Kultur jaringa n Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dari bulan Januari 2010 sampai Mei 2010. Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi atonik dan BAP terhadap pertumbuhan kultur daun pucuk kemenyan (Styrax benzoin Dryander) ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 5 taraf atonik yaitu: 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 ml/L dan 4 taraf BAP yaitu: 0,0; 0,05; 0,5; 5,0 mg/L. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kedua zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap kultur yang membentuk kalus dan berat basah kultur. Perlakuan yang terbaik berdasarkan kalus yang terbentuk dan berat basah terbaik adalah A2B3 (1 ml/L Atonik + 5 mg/l BAP). Kata Kunci: Kemenyan; atonik; BAP


(14)

THE LEAF TISSUE CULTURE OF BENZOIN (Styrax Benzoin Dryander) IN MEDIA MS WITH ATONIK AND BAP

ABSTRACT

The research about “The Leaf Tissue Culture Of Benzoin (Styrax Benzoin

Dryander) In MS Media With Atonik And BAP” has been done in Plant Tissue

Culture Laboratory of Biology Department at Faculty of Mathematics and Natural Science, University of Sumatera Utara from Januari 2010 until May 2010. The aim of the research was to obtain the effect of combination Atonik and BAP to the growth of the leaf tissue culture of benzoin (Styrax benzoin Dryander) using Complete Randomized Design and two factors which are 5 level of Atonik concentrations: 0,0; 0,5; 1,0; 1,5; 2,0 ml/L and 4 concentrations of BAP: 0,0; 0,05; 0,5; 5,0 mg/L. The result of statistic analysis indicated that the interaction of Atonic and BAP gives nonsignificant effect to the percentage of callus growth and callus fresh wight. The best treatment of callus growth and callus fresh weight found in media A2B3 (1ml/L

Atonik + 5 mg/l BAP).


(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman kemenyan merupakan tanaman penghasil getah yang merupakan produk hasil hutan non kayu memiliki nilai ekonomis tinggi. Getah kemenyan sangat potensial sebagai produk unggulan karena diperlukan sebagai bahan baku obat, industri parfum, kosmetik, bahan tambahan pembuatan rokok. Getah kemenyan bukan hanya dibutuhkan secara lokal, akan tetapi sudah merupakan komoditas ekspor (BPS, 2003). Salah satu jenis tanaman kemenyan yang paling baik kualitasnya adalah kemenyan Toba yang terdapat di daerah Tapanuli Utara. Kemenyan Toba memiliki beberapa keunggulan kualitas getah yang jauh lebih baik dibandingkan dengan getah yang berasal dari daerah lain yaitu warna getah yang putih mengkilap dan aroma yang khas sehingga memiliki harga jual yang cukup tinggi sehingga membuat kemenyan Tapanuli Utara terkenal di seluruh dunia (Siregar, 2001).

Banyak penduduk di sekitar hutan Tapanuli Utara yang menggantungkan hidup dari getah kemenyaan, yang pada umumnya masih dijual dalam bentuk bahan baku mentah. Walaupun kemenyan sudah termasuk komoditas unggulan akan tetapi budidayanya belum dilakukan dengan baik (Nurwahyuni, 2005). Dalam proses ekstensifikasi pembudidayaan kemenyan salah satu masalah yang dihadapi petani adalah kurangnya ketersediaan bibit yang bermutu baik. Penyedian bibit kemenyan yang masih dilakukan hingga kini adalah dengan menggunakan biji. Penanaman dengan biji melalui proses perkecambahan biji yang relatif lama sehingga dapat mempengaruhi waktu produksi kemenyan (Siregar, 2001). Selain itu perbanyakan dengan perkecambahan biji mungkin mendapatkan tanaman yang tidak seragam dan rentan terhadap penyakit. Kelemahan tersebut dapat diatasi dengan perbanyakan secara kultur jaringan. Kultur jaringan dikembangkan untuk membantu memperbanyak tanaman khususnya untuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan


(16)

secara generatif. Perbanyakan secara kultur jaringan dapat menghasilkan bibit dengan jumlah yang besar dalam waktu yang singkat, bibit yang steril, kecepatan tumbuh yang lebih cepat dan memiliki sifat yang identik dengan induknya (Widaryanto & Hugeng, 2004).

Kultur jaringan memiliki manfaat yang sangat penting dalam pelestarian plasma nutfah, karena kultur jaringan membantu untuk penyediaan bibit dalam jumlah besar, seragam dan dengan kualitas baik (Triatminingsih, 2008). Teknik kultur jaringan juga termasuk cara yang sangat baik untuk perbaikan kualitas tanaman, khususnya tanaman yang potensil seperti tanaman-tanaman hortikultura dan tanaman hutan (Chaturvedi, et

al., 1982). Apabila penanaman kemenyan tidak digalakkan maka diperkirakan suatu

saat potensi ekonomi tanaman kemenyan akan menurun dan bahkan akan dilupakan.

Penelitian awal menunjukkan kemampuan jaringan tanaman untuk membentuk kalus sangat dipengaruhi oleh konsentrasi zat pengatur tumbuh kinetin dan α -napthaleneacetic acid (NAA) dalam media MS (Nurwahyuni, 2002). Penelitian lain yang dilakukan oleh Harahap (2004), menunjukan perlakuan media MS dengan BAP 1 mg/l memberikan hasil terbaik terhadap persentase bertunas. Dalam kultur daun pucuk biasanya digunakan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin, karena kombinasi tersebut dapat memberikan respon ataupun pengaruh terhadap kultur pucuk. Secara umum konsentrasi auksin yang biasa digunakan berkisar antara 0,1-10mg/l dan untuk sitokinin berkisar antara 0,01-0,1-10mg/l (Vasil,1995; Pierik, 1987).

Kelebihan kultur tunas adalah mampu menghasilkan bibit tanaman yang identik dengan induknya dan bebas virus. Rice et al. (1992) mengatakan bahwa kultur tunas daun mampu meningkatkan laju induksi dan penggandaan sel/tunas, mampu memperbaiki mutu bibit yang dihasilkan, mampu mempertahankan sifat-sifat morfologi yang positif. Menurut Suyadi (2003), selain itu penggunaan tunas aksiler juga banyak menghasilkan tunas-tunas baru yang masih aktif membelah.

Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pertumbuhan kultur pucuk daun kemenyan menggunakan media MS dan dengan zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP.


(17)

1.2 Permasalahan

Potensi ekonomi yang besar dari getah kemenyan Sumatera Utara yang selama ini di budidayakan secara tradisional perlu ditingkatkan dengan lebih baik lagi melalui kultur jaringan, namun hal tersebut masih terkendala dengan belum diketahuinya formula zat pengatur tumbuh yang sesuai untuk kultur jaringan kemenyan.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP terhadap pertumbuhan kultur daun pucuk kemenyan pada media MS.

1.4 Hipotesis

Penambahan zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP dalam media MS berpengaruh terhadap pertumbuhan daun pucuk aksiler kemenyan.

1.5 Manfaat

Penelitian ini bermanfaat sebagai bahan informasi bagi yang memerlukan, khususnya untuk perbanyakan tanaman kemenyan dengan teknik kultur jaringan.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Botani Kemenyan ( Styrax benzoin Dryander)

Kemenyan termasuk dalam genus Styrax adalah jenis pohon yang tumbuh di lereng-lereng bukit dan pada tanah berpasir pada ketinggian 1000-5000 m di atas permukaan laut. Pohon ini banyak di temui di Kabupaten Tapanuli Utara yang di kenal dengan nama Haminjon atau Kemenyan Toba (Brahmana, 1981). Menurut Tjitrosoepomo (2000) kedudukan tanaman kemenyan dalam sistematika adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta SubDivisio : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ebenales Famili : Styracaceae Genus : Styrax

Spesies : Styrax benzoin Dryander

Kemenyan merupakan jenis pohon yang berukuran besar, tingginya dapat mencapai 40 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Batang berbentuk lurus dengan percabangan relatif sedikit dan kulit berwarna merah anggur (Oetomo, 1974

dalam Harahap, 2004). Batangnya mengandung resin yang bila dibakar berbau wangi.

Daunnya tersusun spiral dan pada permukaan bagian bawah berambut putih. Bunganya berbentuk tandan dan berbau wangi, buah berbentuk bulat keras dan kulit tebal berbiji 1-2 atau kadang-kadang lebih (Bakosurtanal, 2001).


(19)

Tanaman kemenyan dikelola dan diusahakan oleh penduduk Toba dinamakan tobbak. Penanaman dilakukan dengan cara memindahkan anakan pada lahan yang telah ditumbuhi oleh kemenyan yang sudah tua dan tidak menghasilkan getah lagi. Untuk sementara tanaman induk dibiarkan hidup untuk dapat melindungi bibit yang baru ditanam. Tetapi setelah bibit berumur satu tahun atau lebih pohon kemenyan yang telah tua harus dialal. Dialal merupakan suatu pekerjaan untuk memisahkan atau membuang kulit dari batang kemenyan supaya makanan yang diserap akar tidak dibawa keseluruh batang dan ranting kemenyan. Sehingga lambat laun daun-daun pohon yang dialal berjatuhan disekitar bibit yang ditanam dan akan menjadi penyubur bagi bibit kemenyan (Siregar, 2001)

2.2 Teknik Kultur Jaringan

Teknik kultur jaringan adalah suatu cara yang dilakukukan untuk memperbanyak tanaman dengan mengisolasi bagian-bagian tanaman seperti sel, jaringan atau organ serta menumbuhkannya dalam media buatan aseptik dan kaya akan nutrisi serta dengan zat pengatur tumbuh, yang semua pengerjaannya dilakukan secara aseptis. Menurut Hendaryono & Wijayani (1994), mengatakan bahwa kultur jaringan berarti membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.

Kultur jaringan menggunakan dasar sel seperti yang dikemukakan oleh Schleiden dan Schwann, bahwa sel mempunyai kemampuan otonom (mampu tumbuh mandiri), bahkan mempunyai kemampuan totipotensi (Nugroho & Sugito, 2000). Totipotensi sel yaitu setiap sel tanaman yang hidup di lengkapi dengan informasi genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk tumbuh dan berkembang menjadi tanaman utuh, jika kodisinya sesuai (Yusnita, 2003). Sel atau jaringan tanaman tersebut dapat berorganogenesis menjadi tunas dan akar atau dapat tumbuh menjadi kumpulan sel yang merismatik dalam jumlah yang tak terhingga yang disebut kalus. Kalus tersebut dapat diarahkan untuk tumbuh menjadi tunas dan akar tanaman atau menjadi embrio somatik tergantung dari komposisi media dan lingkungan tumbuhnya (Evivi, 2004).


(20)

Kultur jaringan memberikan informasi pengetahuan yang sengat bermanfaat di bidang fisiologi tanaman dan juga usaha penyedian bibit dengan jumlah yang besar dan keseragaman sifat yang tinggi. Sampai saat ini sudah banyak sekali dikenal perbanyakan tanaman secara in vitro baik tanaman hias, tanaman buah, bahkan tanaman perkebunan (Hendaryono & Wijayani, 1994). Di samping itu, perbanyakan tanaman secara kultur jaringan sangat bermanfaat untuk memperbanyak tanaman introduksi, tanaman klon unggul baru, dan tanaman bebas patogen yang perlu diperbanyak dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat (Widiastuty, 2001). Perkembangan bioteknologi tanaman juga mensyaratkan dikuasainya regenerasi tanaman secara in vitro, yang merupakan salah satu penyebab banyaknya penelitian dan dana yang dicurahkan untuk mendapatkan prosedur regenerasi in vitro untuk berbagai tanaman bernilai ekonomi tinggi (Yusnita, 2003).

2.3 Kultur Daun Pucuk

Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai eksplan adalah daun pucuk. Kultur tunas aksiler hampir sama dengan kultur meristem hanya perbedaannya terletak pada ukuran eksplan yang digunakan. Eksplan yang digunakan pada kultur tunas aksiler lebih besar dibanding dengan ukuran eksplan dalam kultur meristem. Eksplan yang digunakan untuk kultur pucuk aksiler dapat berasal dari pucuk apikal atau pun aksilar (Katuuk, 1989).

Perbanyakan tanaman yang dihasilkan secara kultur jaringan dengan menggunakan pucuk aksiler memiliki keuntungan tersendiri yaitu dimungkinkannya untuk mengontrol eksplan bebas virus, tanaman secara genetik seragam dan pada tanaman laju perbanyakan lebih tinggi (Rosmayati, 1993). Menurut Irawati (2005), di dalam suatu tumbuhan, kemampuan regenarasi dari jaringan tergantung dari umur fisiologis, karakter dan kualitas selnya. Jaringan yang muda umumnya mempunyai kemampuan berdiferensiasi dan tumbuh lebih baik dalam suatu medium hara (Wetter & Constabel, 1991).


(21)

Menurut Katuuk (1989), perbanyakan dengan menggunakan pucuk aksiler dapat dilaksanakan pada tiap jenis tanaman yang mempunyai pucuk aksiler. Pucuk ini akan berkembang dengan baik bila dalam media diberikan sitokinin seperti BAP, 2-iP, dan Zeatin. Hal ini terjadi pada tanaman berkayu terutaman buah-buahan dan tanaman kehutanan. Menurut Irawati (2005), dalam kultur pucuk biasanya media mengandung auksin dan sitokinin dengan konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin karena sitokinin dapat mengatasi kemunduran daya tumbuh apabila pertumbuhan terganggu.

2.4 Eksplan (Bahan Tanaman)

Sebelum melakukan kultur jaringan untuk suatu tanaman, kegiatan yang pertama harus dilakukan adalah memilih tanaman induk yang hendak diperbanyak. Tanaman tersebut harus jelas jenis, spesies, dan varietasnya, serta harus sehat dan bebas dari hama penyakit. Umumnya bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif (Yusnita, 2003). Eksplan adalah bagian tanaman yang digunakan dalam kulturisasi. Eksplan ini menjadi bahan dasar bagi pembentukan kalus (bentuk awal calon tunas yang kemudian mengalami proses perlengkapan bagian tanaman seperti daun, batang, dan akar) (Nugroho & Sugito, 2000). Agar pertumbuhan bibit secara kultur jaringan berlangsung mudah, sebaiknya di ambil sel yang berasal dari bagian meristem tanaman yang masih muda. Misalnya daun muda, ujung akar, ujung batang, dan keping biji. Bagian meristem dipilih, karena bagian tersebut memiliki sifat pertumbuhan yang agresif (Yusnita, 2003).

Menurut Murashige (1974 dalam Bayu, 2002), ada lima faktor yang harus diperhatikan dalam regenerasi in vitro dari eksplan yaitu : organ yang digunakan, umur fisiologis, umur saat diambil dari tanaman asal, ukuran eksplan dan kualitas tanaman asal. Dalam hal ini ukuran eksplan yang paling baik digunakan adalah antara 0,5-1 cm, namun hal ini dapat juga terjadi (tumbuh) tergantung pada tanaman yang dipakai dan juga jenis tanamannya (Katuuk, 1989). Selain itu ekspalan yang digunakan harus bebas kontaminan (dengan menggunakan sterilan) sebelum ditransfer ke dalam kultur, serta media tempat kultur ditanam harus steril dan aseptik (George & Sherrington, 1984).


(22)

2.5 Media Kultur Jaringan

Media tanamam dalam kultur jaringa adalah tempat tumbuh untuk eksplan. Media tanam tersebut dapat berupa larutan (cair) atau padat. Media tanam harus berisi semua zat yang diperlukan untuk menjamin pertumbuhan eksplan. Bahan-bahan yang diramu berisi campuran garam mineral sumber unsur makro dan mikro, gula, protein, vitamin, dan hormon tumbuh. Dengan demikian keberhasilan kultur jaringan jelas ditentukan oleh media tanam dan macam-macam tanaman (Hendaryono & Wijayani, 1994).

Menurut Yusnita (2003), komponen media kultur yang lengkap adalah air destilata (akuades), hara-hara makro dan mikro, gula (umumnya sukrosa) sebagai sumber energi, vitamin, asam amino, bahan organik lain, zat pengatur tumbuh, suplemen berupa bahan-bahan alami, agar-agar atau gelrite sebagai pemadat media.

Menurut Hartmann & Ketser (1983), media yang paling sering digunakan dalam kultur jaringan adalah media MS (Murashige dan Skoog). Media dengan formulasi MS adalah media yang paling cocok untuk perkembangan kultur dan organogenesis (Vasil, 1985). Selain itu media ini memiliki keistimewaan, karena mengandung nitrat, kalium, dan amonianya tinggi (Wetter & Constabel, 1991).

2.6 Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh merupakan salah satu komponen media yang nentukan keberhasilan kultur jaringan (Yusnita, 2003). Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, meghambat dan merubah proses fisiologis tumbuhan. Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu Auksin, Giberelin, Sitokinin, Etilen dan In hibitor dengan ciri khas serta pengaruh berlainan terhadap proses fisiologis (Hendaryono & Wijayani, 1994).


(23)

Zat pengatur tumbuh sangat diperlukan bagi komponen medium bagi pertumbuhan dan diferensiasi. Tanpa pembelahan zat pengatur tumbuh dalam medium, pertumbuhan sangat terhambat bahkan mungkin tidak tumbuh sama sekali (Hendaryono & Wijayani, 1994). Faktor lain yang perlu mandapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang digunakan, konsentrasi, urutan penggunaan, dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan, 1995).

2.6.1 Zat Pengatur Tumbuh BAP (Benzil Amino Purin)

Sitokinin merupkan hormon tumbuhan turunan adenin dan berfungsi untuk merangsang pembelahan sel dan diferensiasi mitosis, disintesis pada ujung akar dan ditranslokasi melalui pembuluh xilem. Golongan sitokinin yang sering ditambahkan dalam medium antara lain adalah : Kinetin, Zeatin, BAP (Benzil Amino Purin) (Hendaryono & Wijayani, 1994). BAP sering digunakan karena BAP mempunyai efektifitas untuk perbanyakan tunas, mudah didapat dan harganya relatif murah (Imelda, 2007). Menurut Mariani (2003) zat pengatur tumbuh sitokinin berperanan dalam pembelahan sel dan morfogenesis, sedang auksin berperanan dalam mengatur pertumbuhan dan pemanjangan sel. Pemanjangan sel, pembelahan sel, morfogenesis dan pengaturan pertumbuhan merupakan proses yang sangat penting dalam pembetukan kalus dan selanjutnya diikuti pembentukan tunas. Menurut Suyadi (2003) apabila kondisi auksin dan sitokinin endogen berada pada kondisi sub optimal, maka diperlukan penambahan auksin dan sitokinin secara eksogen, sehingga diperoleh perimbangan auksin dan sitokinin optimal.

BAP mempunyai struktur yang sama dengan kinetin, akan tetapi lebih efektif bila dibandingkan dengan kinetin karena memiliki gugus benzil (Winarsih, 2002). Umumnya tanaman memiliki respon yang lebih baik terhadap BAP dibandingkan kinetin sehingga BAP lebih efektif untuk produksi tunas in vitro pada banyak tanaman. Contohnya pada tanaman kehutanan Acacia sp., Eucalyptus ficifolia,


(24)

2.6.2 Zat Pengatur Tumbuh Atonik

Atonik adalah suatu zat pengatur tumbuh sintetik berbentuk larutan dalam air, berwarna cokelat dan berbau khas (Wuryaningsih, 1993). Atonik adalah gabungan garam-garam natrium dari S-nitroquiocol dan garam natrium dari paranitrophenol (Kusumo, 1990). Atonik mengandung zat aktif natrium orto nitrofenol, natrium para nitrofenol, natrium 2,4 di nitrofenol, dan natrium 5 nitroguaiakol (Saptarini, et al, 2001).

Atonik bukan merupakan hormon tanaman (fitohormon) atau pestisida tetapi suatu zat kimia yang dapat merangsang proses biokimia dan fisiologis tanaman, sehingga atonik termasuk zat pengatur tumbuh (Kusumo, 1990). Atonik biasanya digunakan untuk merangsang pertumbuhan akar tanaman terhadap unsur hara, meningkatkan daya serap daun, keluarnya bunga, pembentukan buah, dan meningkatkan jumlah dan bobot buah (Saptarini, et al, 2001)

2.7 Glutamin

Asam amino sebagai sumber nitrogen organil relatif jarang diperlukan, karena sumber nitrogen utama dalam media biasanya NO3- dan NH4+. Namun, jika diperlukan sebagai

sumber nitrogen organik, asam amino yang sering digunakan adalah glutamin (Yusnita, 2003). Karena glutamin merupakan penyimpan nitrogen yang utama pada tumbuhan dan juga mudah di sintesis oleh tumbuhan (Salisbury & Ross, 1991).

Glutamin berperan dalam metabolisme asam amino karena dapat menjadi pembawa amonia untuk sintesis asam-asam amino baru dalam jaringan (Hendaryono & Wijayani, 1994). Keberadaan asam amino dalam bentuk D-asam glutamat mempunyai berbagai pengaruh terhadap pertumbuhan dan metabolisme tumbuhan. (Robinson, 1991). Glutamin juga sangat penting untuk inisiasi dan perkembangan embrio somatik. Penambahan asam amino dapat merangsang terjadi-nya komunikasi di antara sel dan jaringan pada organ multiselular (Salisbury & Ross, 1991). Untuk


(25)

inisiasi dan pendewasaan embrio somatik diperlukan keseimbangan yang tepat antara NH4+ dan NO3- (Robinson, 1991).

2.8 Kultur Jaringan Tanaman Kemenyan

Penelitian awal dalam perbanyakan Kemenyan melalui kultur pucuk telah dilakukan oleh peneliti (Nurwahyuni, 2002). Hasil penelitian menunjukkan tahapan yang menggembirakan. Beberapa hasil penelitian ini yaitu diperoleh pengaruh pemberian zat tumbuh terhadap pertumbuhan eksplan kultur daun pucuk di dalam media kultur. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan semakin tinggi kinetin dalam media, kualitas eksplan akan semakin baik. Penelitian yang dilakukan oleh Harahap (2004), menggunakan BAP dengan kosentrasi 0-4 mg/l dengan variasi media yaitu media MS dan WMP. Perlakuan media MS dengan BAP 1 mg/l memberikan hasil terbaik terhadap persentasi bertunas.


(26)

BAB 3

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2010 di laboratorium Kultur Jaringa n Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Univeritas Sumatera Utara. Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan penelitian ini adalah tunas aksiler tanaman kemenyan. Kemenyan ini diambil dari Desa Aji Nembah Kecamatan Merek, Kabupaten Karo.

3.2 Persiapan Bahan Tanaman

Bibit kemenyan dipindahkan ke dalam polibag plastik dengan media pasir : tanah (1:1). Kemudian tanaman/bibit dipangkas pada setiap ujung batangnya untuk menumbuhkan tunas aksiler. Setiap seminggu sekali dilakukan penyemprotan dengan fungisida untuk mencegah penyakit dan mengurangi terjadinya kontaminasi. Setelah tunas aksiler yang dipergunakan mencukupi untuk dipanen selanjutnya akan ditanam secara in vitro di laboratorium kultur jaringan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Univeritas Sumatera Utara.


(27)

Gambar 1. Tanaman Kemenyan (Styrax benzoin Dryander)

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 2 faktor, yaitu:

I. Faktor tingkat konsentrasi atonik (A) A0= 0 (tanpa atonik)

A1= 0,5 ml/L atonik

A2= 1 ml/L atonik

A3= 1,5 ml/L atonik

A4= 2 ml/L atonik

II. Faktor konsentrasi BAP (B) Terdiri dari 4 taraf yaitu: B0= 0 (tanpa BAP)

B1= 0,05 mg/L BAP

B2= 0,5 mg/L BAP


(28)

Dengan demikian diperoleh 20 kombinasi perlakuan, yaitu:

A0B0 A1B0 A2B0 A3B0 A4B0

A0B1 A1B1 A2B1 A3B1 A4B1

A0B2 A1B2 A2B2 A3B2 A4B2

A0B3 A1B3 A2B3 A3B3 A4B3

Jumlah ulangan pada setiap perlakuan adalah 5 maka jumlah total percobaan seluruhnya adalah 100 satuan percobaan.

3.4 Cara Kerja

3.4.1 Sterilisasi Alat

Semua alat gelas dan alat diseksi yang akan digunakan dicuci dengan bersih dan dikeringkan. Lalu cawan petri yang telah bersih diisi dengan kertas saring. Kemudian alat-alat tersebut dibungkus dengan kertas, sterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121oC dengan tekanan 15 psi selama 60 menit. Bersamaan dengan itu akuades dalam erlenmeyer yang telah ditutup dengan aluminium foil yang juga ikut disterilisasi.

3.4.2 Pembuatan Media

Media yang digunakan adalah media dasar MS (Murashige dan Skoog, 1962) dengan penambahan atonik dan BAP dengan konsentrasi yang disesuaikan dengan perlakuan. Tahap awal pembuatan media adalah pembuatan stok, yang terdiri dari stok hara mikro, iron, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Sementara unsur hara makro, myo-inositol, sukrosa dan agar dapat ditimbang langsung sesuai dengan kebutuhan tanpa harus dijadikan stok.

Larutan MS dibuat dengan cara memasukkan hara makro, myo-inositol dan sukrosa ke dalam gelas ukur 1000 ml yang terlebih dahulu telah berisi akuades. Selanjutnya dimasukan hara mikro, iron, vitamin masing-masing 1 ml dari larutan stok dan penuhkan dengan akuades hingga 1 liter. Kemudian larutan dibagi sesuai


(29)

perlakuan. Setiap bagian diberi zat pengatur tumbuh atonik dan BAP sesuai dengan perlakuan kemudian pH larutan diukur dengan menggunakan pH meter sebesar 5,8. Untuk mendapatkan pH yang optimal ditambahkan NaOH 0,1 N atau HCl 0,1 N. Kedalam larutan ditambahkan agar dan dipanaskan hingga mendidih. Larutan media dituang ke dalam botol kultur steril dan dibagi sesuai dengan banyaknya ulangan, ditutup dengan aluminium foil, diikat dengan karet gelang dan disterilisasi dalam autoklaf bertekanan 15 psi pada suhu 121oC selama 20 menit. Selanjutnya media disimpan di dalam ruang kultur sebelum digunakan.

3.4.3 Sterilisasi Eksplan

Eksplan tanaman berupa pucuk daun kemenyan dicuci di bawah air yang mengalir kemudian direndam dengan detergen sebanyak 3 g/l selama 60 menit. Selanjutnya pucuk dibilas dengan akuades steril. Pucuk kemenyan kemudian dishaker dalam larutan benlate sebanyak 2 g/l dan di tetesi tween 80 sebanyak dua tetes selama 3 jam. Kemudian pucuk dibilas dengan akuades steril. Tahap selanjutnya direndam dalam larutan alkohol 70% selama 1 menit, lalu berturut-turut disterilkan dalam larutan bayclin 10% selama 20 menit, larutan bayclin 20% selama 10 menit. Kemudian dicuci bersih dengan akuades steril. Tahap akhir dilakukan perendaman dalam larutan Betadine 10% selama 5 menit dan dikeringkan di atas cawan petri steril yang berisi kertas saring (Nurwahyuni, 2005).


(30)

3.4.4 Penanaman Eksplan

Sebelum melakukan penanaman diupayakan agar ruangan dalam keadaan bersih. Penanaman dilakukan di dalam enkas. Alat-alat diseksi, lampu bunsen dan alkohol 70% dipersiapkan terlebih dahulu. Eksplan yang akan ditanam dipotong pada bagian basal sehingga ukuran eksplan ±1cm kemudian ditanam delam media kultur. Setiap botol kultur berisi satu eksplan. Penanaman dilakukan dengan aseptik sehingga setiap kali menggunakan pisau dan pinset terlebih dahulu dicelupkan ke dalam alkohol 96% kemudian dibakar diatas lampu bunsen. Botol berisi eksplan kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dikencangkan dengan karet gelang.

3.4.5 Pemeliharaan Eksplan

Botol-botol berisi eksplan kemudian disusun dengan rapi di atas rak kultur sesuai dengan layout penelitian. Ruang pemeliharaan kultur harus senantiasa dalam keadaan bersih dan aseptik dengan cara disemprot dengan alkohol 70% setiap hari. Suhu dijaga berkisar 25±2 oC dengan pengaturan AC. Pada rak kultur intensitas cahaya dengan penyinaran lampu neon 500 lux. Lama inkubasi 2 bulan dan dilakukan pengamatan setiap 2 hari sekali.

3.4.6 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah : a. Saat terbentuk kalus

Saat terbentuknya kalus diamati pada hari awal hingga akhir terbentuknya kalus.

b. Persentase kultur yang membentuk kalus (%)

Persentase kultur yang berkalus = Jumlah eksplan yang berkalus Jumlah eksplan seluruh perlakuan

x 100 % c. Berat basah kultur (g)

Berat basah kultur dihitung pada akhir penelitian. d. Pengamatan visual warna kalus


(31)

e. Persentase kultur yang terkontaminasi (%)

Persentase kultur yang terkontaminasi dihitung setiap hari sejak awal hingga akhir penelitian dengan rumus:

Persentase terkontaminasi = Jumlah ekspalan yang terkontaminasi Jumlah eksplan seluruh perlakuan

x 100 %

3.5 Analisis Data

Data yang didapatkan dari masing-masing parameter dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan jika terdapat perbedaan yang nyata dilanjutkan dengan Duncan New Multiple Range Test (DNMRT) (Sastrosupadi, 1995).


(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Saat Terbentuknya Kalus

Kalus merupakan suatu kumpulan sel yang tidak terorganisir dan tidak berbentuk, kalus terjadi karena pembelahan yang sangat aktif. Pada tanaman utuh kalus dapat terbentuk karena pelukaan, serangan serangga atau mikroorganisme. Secara in vitro kalus diinisiasi dengan meletakkan bagian kecil tanaman (eksplan) pada medium pertumbuhan pada kondisi aseptik. Dengan adanya rangsangan dan zat pengatur tumbuh endogen atau eksogen menyebabkan metabolisme sel menjadi aktif sehingga akan terbentuk kalus (George & Sherington, 1984). Dari pengamatan langsung hasil kultur pucuk kemenyan ini diperoleh bahwa pertumbuhan kalus dimulai dari minggu ke-3 (hari ke 21) sampai minggu ke-6 setelah penanaman. Pertumbuhan kalus pada tanaman kemenyan relatif lama dibanding dengan tanaman lain yang pada umumnya kalus muncul pada hari ke 12 setelah inokulasi. Santoso dan Nursadi (2004) menyatakan bahwa pada umumnya eksplan pucuk dan daun mempunyai kemampuan tumbuh lebih cepat dibanding dengan eksplan batang utama, cabang batang, atau tangkai bunga. Pada media MS, eksplan daun muncul kalus umumnya berkisaar pada hari ke-12 setelah inokulasi, sedangkan eksplan batang pada 26 hari setelah inokulasi.

kalus daun media


(33)

Dari Tabel 4.1.1 dapat dilihat bahwa pertumbuhan kalus paling banyak terjadi pada minggu ke-4 pengamatan dibanding minggu yang lain. Pada minggu ke-4 kultur yang hidup sebanyak 51 botol kultur, sedangkan pada minggu ke-3 ada 4 botol kultur, minggu ke-5 sebanyak 11 botol, dan minggu ke-6 sebanyak 1 botol. Hal ini menunjukkan bahwa minggu ke-4 yakni berkisar antara 30-35 hari merupakan waktu dimana kalus kemenyan mulai tumbuh dengan seragam, sedangkan minggu ke ke-6 kemampuan eksplan beregenerasi semakin menurun dan tidak menghasilkan kalus.

Tabel 4.1.1 Jumlah Kultur yang membentuk kalus per minggu.

Ket: A0= 0 (tanpa ZPT) A1= 0,5 ml/L atonik A2= 1 ml/L atonik A3= 1,5 ml/L atonik A4= 2 ml/L atonik B0= 0 (tanpa ZPT) B1= 0,05 mg/L BAP B2= 0,5 mg/L BAP B3= 5 mg/L BAP

Dari hasil penelitian ini dapat dilihat bahwa regenerasi tanaman belum diperoleh secara maksimal. Perbanyakan tanaman baik secara embriogenesis maupun organogenesis belum tercapai. Hasil yang dicapai masih dalam tahap inisasi kalus. Menurut Hartman et al. (2002), regenerasi tanaman pada kultur in vitro dapat terjadi melalui dua cara yatu organogenesis dan embriogenesis somatik. Menurut Kaatuk (1989), organogenesis tergantung pada hal berikut: media dan lingkungan, namun

Perlakuan

Minggu

TOTAL

III IV V VI

A0B0 - 3 - - 3

A0B1 - 4 - - 4

A0B2 - 3 - - 3

A0B3 1 2 1 - 4

A1B0 - 1 2 - 3

A1B1 - 3 - - 3

A1B2 1 2 - - 3

A1B3 2 1 - - 3

A2B0 - 2 1 - 3

A2B1 - 2 1 1 4

A2B2 - 3 - - 3

A2B3 - 4 1 - 5

A3B0 - 3 - - 3

A3B1 - 2 1 - 3

A3B2 - 3 - - 3

A3B3 - 2 2 - 4

A4B0 - 3 1 - 4

A4B1 - 3 - - 3

A4B2 - 2 1 - 3

A4B3 - 3 - - 3


(34)

perbandingan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin juga mempengaruhi derajat organogenesis.

Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Erika (2007) dengan menggunakan 2,4-D dan BAP, diketahui bahwa kalus mulai terbentuk pada hari ke-16 setelah inokulasi tetapi ada yang pertumbuhannya lambat sampai hari ke-30. Sedangkan pada penelitian ini diketahui bahwa bahwa pertumbuhan kalus dimulai dari minggu ke-3 (hari ke 21) sampai minggu ke-6 setelah penanaman. Faktor yang mempengaruhi lebih lamanya pertumbuhan kalus pada penelitian kemenyan ini dimungkinkan oleh perbandingan antara zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin yang tidak tepat dan strilisasi yang terlalu keras (Kaatuk,1989).

4.2 Persentase kulur yang membentuk kalus (%)

Persentase kultur yang membentuk kalus adalah banyaknya kalus yang terbentuk dari seluruh eksplan yang ditanam. Data pengamatan persentase kultur dapat dilihat pada tabel 4.2.1. Dari data tersebut didapat bahwa jumlah kultur yang hidup sebesar 67% yaitu sebanyak 67 botol dari 100 botol perlakuan.

4.2.1 Persentase Kultur yang membentuk kalus (%)

Atonik BAP (B)

Total

(A) B0 B1 B2 B3

A0 3 (60%) 4 (80%) 3 (60%) 4

(80%) 14 (70%)

A1 3 (60%) 3 (60%) 3 (60%) 3

(60%) 12 (60%)

A2 3 (60%) 4 (80%) 3 (60%) 5

(100%) 15 (75%)

A3 3 (60%) 3 (60%) 3 (60%) 4

(80%) 13 (65%)

A4 4 (80%) 3 (60%) 3 (60%) 3

(60%) 13 (65)%)

Total 16

(64%) 17 (68%) 15 (60%) 19

(76%) 67 (67%)

Ket: A0= 0 (tanpa ZPT) A1= 0,5 ml/L atonik A2= 1 ml/L atonik A3= 1,5 ml/L atonik A4= 2 ml/L atonik B0= 0 (tanpa ZPT) B1= 0,05 mg/L BAP B2= 0,5 mg/L BAP B3= 5 mg/L BAP


(35)

Secara umum pemberian kombinasi Atonik dan BAP memberikan pengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan kalus. Pada Tabel 4.2.1 dapat dilihat bahwa hampir pada semua perlakuan terdapat kultur yang hidup. Pada A0B0 yang tidak diberikan zat

pengatur tumbuh juga menghasilkan jumlah kalus yang tidak jauh berbeda dengan perlakuan yang di berikan zat pengatur tumbuh. Pada perlakuan A2B3 memiliki kultur

hidup yang paling tinggi yaitu sebesar 100%. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan atonik 1 ml/L dan BAP 5 mg/L juga dapat memacu kultur hidup kalus. Menurut Sri Hutami (2003), selain hara makro dan mikro dalam kultur in vitro zat pengatur tumbuh sitokinin dan auksin berperan dalam pertumbuhan dan morfogenesis. Keseimbangan kedua zat pengatur tumbuh tersebut sangat berperan dalam pembentukan kalus. Menurut Pierik (1987), apabila digunakan pada konsentrasi tinggi yaitu berkisar 1-10 mg/l dapat menginduksi pembentukan kalus tetapi pada umumnya dapat menghambat pembentukan akar. Dan menurut George dan Sherington (1984), auksin digunakan secara luas dan sangat baik dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan kalus.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hubungan kombinasi pemberian zat pengatur tumbuh dengan pertumbuhan kalus bersifat fluktuatif. Walau ada kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi atonik yang di berikan pada media dcenderung menurunkan jumlah kalus yang terbentuk. Sedangkan pemberian BAP, memberikan kecenderungan semakin tinggi konsentrasi BAP maka kalus yang terbentuk semakin banyak. Rata-rata jumlah kalus yang terbentuk karena penambahan BAP lebih besar dibandingkan dengan penambahan atonik bahkan pada perlakuan B0

kalus yang terbentuk lebih besar bila dibandingkan dengan semua tingkat konsentrasi atonik.

Penggunaan BAP untuk perbanyakan pisang telah banyak dilaporkan, antara lain oleh Yusnita et. al. (1996) yang menyatakan bahwa penggunaan BAP 2 mg/l menghasilkan hasil yang terbaik untuk perbanyakan pisang ambon kuning secara in

vitro yang menghasilkan tunas. Pada penelitian yang dilakukan Sudarmaji (2003)

penggunaan BAP pada kultur kapas, menghasilkan berat kalus yang terbesar pada konsentrasi 2 mg/l. Sedangkan pada penelitian ini penggunaan BAP yang terbaik adalah 5 mg/l yang menghasilkan berat kalus terbesar. Dan penggunaan atonik juga


(36)

telah digunkan dalam perbanyakan tanaman, diantaranya pada perbanyakan buah naga dimana atonik berperan di dalam pembentukan tunas buah naga, pada penggunaan 4 ml/l (Dini et. al., 2007). Pada penelitian tanaman Kopi yang dilakukan Johanes (2004), atonik berpengaruh dalam pembelahan sel dan perkembangan tunas ada pada konsentrasi 6 ml/l.

Kombinasi dari kombinasi atonik dan BAP belum pernah dilakukan pada tanaman-tanaman lain. Sehingga pengaruh kombinasi kedua zat pengatur tumbuh ini masih diketahui hanya sampai proses pembentukan kalus. Sehingga masih dibutuhkan penelitian-penelitian lain untuk memastikan pengaruh kombinasi dari zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP terhadap tanaman atau pun eksplan.


(37)

4.3. Berat basah kalus (g)

Hasil analisis sidik ragam pada basah kalus (Lampiran 2) ternyata kombinasi pemberian ZPT (atonik dan BAP) tidak berpengaruh nyata terhadap berat basah kultur. Hubungan antara kombinasi pemberian ZPT (atonik dan BAP) dengan berat basah kultur dapat dilihat pada grafik:

0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60

A0 A1 A2 A3 A4

Perlakuan B e r a t B a sa h ( g ) B0 B1 B2 B3

Gambar 5. Hubungan rata-rata berat basah kalus dengan kombinasi ZPT Ket: A0= 0 (tanpa ZPT) A1= 0,5 ml/L atonik A2= 1 ml/L atonik A3= 1,5 ml/L atonik A4= 2 ml/L atonik B0= 0 (tanpa ZPT) B1= 0,05 mg/L BAP B2= 0,5 mg/L BAP B3= 5 mg/L BAP

Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara perlakuan kombinasi pemberian ZPT (atonik dan BAP) dengan berat basah kultur bersifat fluktuatif. Perlakuan A4B0 (0,44 g) memberikan hasil tertinggi terhadap berat basah kultur,

sedangkan perlakuan A1B0 (0,28 g) menunjukkan berat kultur yang terendah. Hal

tersebut menunjukkan bahwasanya peningkatan berat basah kalus lebih dipengaruhi oleh pemberian atonik dan bukan BAP. Menurut Sallisbury dan Ross (1995), zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam jumlah yang tepat dapat memberikan pengaruh terhadap berat kultur. Auksin berperan pada perbesaran sel, sedangkan sitokinin merangsang pembelahan sel. Interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut akan meningkatkan jumlah dan ukuran sel dalam jaringan sehingga dapat meningkatkan bobot basah (Marlin, 2005).


(38)

Menurut George dan Sherrington (1984), auksin dapat meningkatkan pertumbuhan kalus terutama jika dikombinasikan dengan sitokinin. Jika sitokinin dan auksin dikombinasikan secara bersama-sama maka akan terbentuk kalus yaitu massa sel yg belum berdiferensiasi (Hartmann et al., 1983). Namun pada penelitian ini dapat dilihat kecenderungan BAP memberikan dampak berbeda terhadap berat basah kalus yaitu menurunkan berat basah kalus, pada perlakuan B0 semakin tinggi konsentrasi

atonik maka semakin besar berat basah kalus, sedangkan pada perlakuan B3 ada

kecenderungan semakin tinggi konsentrasi atonik semakin kecil berat basah kalus seiring dengan peningkatan atonik.

4.4. Warna Kalus

Pengamatan warna kalus dilakukan pada umur 5 minggu sesudah inokulasi karena pada minggu ke-5 hampir semua kalus sudah tumbuh dan tidak ada lagi terjadi perubahan warna. Data pengamatan warna kalus dapat dilihat pada Tabel 4.4.1

4.4.1 Tabel Warna Kalus

Perlakuan KH KP HC Total

A0

B0 2 1 - 3

B1 3 - 1 4

B2 1 2 - 3

B3 3 1 - 4

A1

B0 1 - 2 3

B1 2 - 1 3

B2 3 - - 3

B3 1 2 - 3

A2

B0 2 1 - 3

B1 3 - 1 4

B2 3 - - 3

B3 3 2 - 5

A3

B0 2 - 1 3

B1 2 1 - 3

B2 3 - - 3

B3 3 1 - 4

A4

B0 4 - - 4

B1 1 2 - 3

B2 1 1 1 3

B3 2 1 - 3

Total 45 15 7 67


(39)

Dari Tabel di atas menunjukkan bahwa warna kalus yang tumbuh tidak seragam, diperoleh warna kalus berwarna kuning kehijauan sebanyak 45 botol atau sebanyak 67,2 % dari kultur yang hidup, kuning pucat sebanyak 15 botol atau sebanyak 22,4 % dari kultur yang hidup, dan hijau kecokelatan sebanyak 7 botol atau sebanyak 10,4 % dari kultur yang hidup. Dengan hasil tersebut diketahui bahwa pemberian atonik dan BAP memberi dampak yang baik untuk warna kalus. Menurut George dan Sherrington (1984), tanaman yang berasal dari varietas yang sama dapat membentuk kalus yang berbeda baik tekstur dan warna. Menurut Keese et al. (1991), warna kalus yang terbaik adalah kuning kehijauan dengan struktur friabel ataupun kompak. Hal ini sesuai dengan pendapat Bayu (2005), jaringan embriogenik yang berkualitas tinggi adalah berwarna hijau, homogen dan friabel atau pun kompak. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kalus kuning pucat dan kecokelatan, lembek dan kadang-kadang berair kurang bagus. Hal ini terjadi karena eksplan sudah mengalami penuaan sehingga eksplan mengeluarkan cairan cokelat ke medium dan membutuhkan subkultur ke media yang baru.

Menurut Kardhinata (1999), perubahan warna dan kesegaran kalus erat kaitannya dengan ketahanan hidup dari kalus. Kalus yang berwarna cokelat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan kalus menjadi terhambat. Apabila kalus telah berubah menjadi cokelat maka kalus tidak dapat melakukan aktifitas sehingga menyebabkan kematian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh nutrisi telah habis, terhambatnya difusi nutrien, dan penguapan air yang mengakibatkan penimbunan metabolit yang bersifat racun bagi kalus.

Kalus berwarna kuning kehijauan

Kalus berwarna kuning pucat

Kalus berwarna hijau kecokelatan Gambar 6. Warna Kalus


(40)

4.5 Persentase Terkontaminasi

Kultur yang bebas dari kontaminasi adalah salah satu yang penting dalam menentukan keberhasilan kultur in vitro. Data pengamatan kultur terkontaminasi dapat dilihat pada lampiran C. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa persentase kultur terkontaminasi sebesar 15%, yaitu sebanyak 15 botol dari 100 botol. Dan dapat diketahui juga bahwa kultur yang tidak tumbuh sebesar 18%, hal ini bisa di sebabkan eksplan yang kurang baik dan tidak mampu menyerap unsur-unsur hara pada media. Rata-rata kultur terkontaminasi terjadi setelah 2-3 minggu setelah penanaman yakni berkisar antara 14-21 hari setelah penanaman.

Dari hasil pengamatan menunjukkan penyebab kontaminasi lebih banyak disebabkan oleh jamur. Jamur ini dapat berkembang dengan cepat dan menghambat aktivitas pertumbuhan eksplan. Menurut Kaatuk (1989), kontaminasi yang sering terjadi disebabkan oleh spora jamur yang ada dimana-mana, karena massa yang ringan dan ukuran yang sangat kecil memungkinkan spora untuk berpindah hanya dengan gerakan udara yang lambat. Selanjutnya Pnadey dan Chadha (1996), mengatakan bahwa media tanam kebanyakan terdiri atas garam-garam anorganik (makro elemen dan mikro elemen), juga vitamin dan sukrosa. Media kultur yang kaya akan nutrisi ini dapan mendukung pertumbuhan dari mikroorganisme yang akhirnya mencegah pertumbuhan jaringan tanaman.

Kontaminasi dapat berasal dari eksplan, organisme kecil yang masuk ke dalam media, botol-botol kultur serta alat-alat yang kurang steril, lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor, serta kecerobohan dalam pelaksanaan kultur jaringan (Katuuk, 1989). Kontaminasi yang terjadi kemungkinan juga disebabkan karena adanya beberapa botol kultur lain yang telah terkontaminasi dan masih berada di dalam ruang kultur. Apabila kultur sudah terkontaminasi, maka botol yang berisi eksplan tersebut harus segera dikeluarkan dari ruang inkubasi agar kultur yang terkontaminasi tidak menular ke kultur lain yang steril (Nugroho dan Sugito, 2000).


(41)

Gambar 7. Eksplan yang terkena kontaminasi

Pemilihan tanaman sebagai sumber eksplan juga merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam mendukung keberhasilan kultur jaringan. Eksplan yang berasal dari lapangan terbuka lebih besar membawa kontaminasi karena bahan tanaman banyak mengandung debu, kotoran dan berbagai kontaminan lainnya. Menurut Pierik (1987), eksplan yang digunakan untuk kultur jaringan apabila berasal dari tanaman yang ada di lapangan akan memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terinfeksi bila dibandingkan dengan eksplan yang diambil dari tanaman yang tumbuh di rumah kaca. Hartmann et al. (2002), menyatakan bahwa walaupun ukuran eksplan sangat kecil, namun ukuran ini sudah memberikan kesempatan kehadiran virus serta patogen sistemik lain. Beberapa eksplan mengandung patogen internal yang tidak muncul sampai kultur berumur beberapa lama. Organisme mikro akan menyerang eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan waktu sterilisasi sehingga menyebabkan kematian jaringan eksplan (Gunawan, 1995). Selanjutnya Yusnita (2003), menambahkan bahwa kontaminasi kebanyakan juga berasal dari komponen media dan faktor manusia.

kontaminan

eksplan


(42)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Pemberian zat pengatur tumbuh Atonik dan BAP memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap pertumbuhan kultur daun pucuk kemenyan.

2. Kombinasi zat pengatur tumbuh pada perlakuan A0B4 memberikan pengaruh

terhadap berat basah kalus tertinggi.

3. Jumlah kalus yang berwarna kuning kehijauan sebagai indikasi kualitas kalus yang baik sebanyak 67,2 % dari kultur yang hidup.

5.2. Saran

Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan pemilihan eksplan yang lebih baik dan seragam, seperti tunas yang masih aktif membelah dan bebas dari kontaminan dengan melakukan sterilisasi yang benar sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya kontaminasi dan kultur yang tidak tumbuh.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Koordinasi dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). 2001. Atlas Flora dan

Fauna Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. hal. 23

Bayu, E. S. 2002. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Jenis Auksin dan Varietas Terhadap Inisiasi Kalus Pada Kultur Embrio Kedelai (Glycine max L. Merr)

Tessis. Medan: Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. hal. 11

BPS. 2003. Statistik Hasil Hutan Indonesia Tahun 1991-1993, Komoditi Kemenyan, Biro Pusat Statistik, Indonesia. hal. 3

Brahmana, H.R., Bangun, N. dan Ginting M. 1981. Penentuan Kadar Asam Sinamat dari Kemenyan Tapanuli (Styrax sumatrana). Laporan Penelitian. Medan: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. hal. 3

Chaturvedi, H.C.; Sharma, A.K.; Sharma, M. dan Prasad, R.N., (1982),

Morphogenesis, micropropagation and germplasm preservation of some economic plants by tissue cultures. In: Plant Tissue Culture, (A.Fugiwara,

eds), Maruzen, Tokyo, Page: 687-688

Elimasni dan Nurwahyuni, I. 2005. Perbanyakan Bibit Kemenyan Sumaterana (Styrax

benzoin Dryander). Laporan Penelitian. Medan: Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. hal. 5-6

Evivi. S., & Ikrarwati 2004.Mikropropagasi Pisang Abaca (Musa Textillis Nee) melalui Teknik Kultur Jaringan. Ilmu Pertanian. 11( 2): hal. 27-34

George, E.T & Sherrington, P.D. 1984. Plant Propagation by Tissue Culture. Handbook and Directory of commercial laboratories. Exegetics limited. Eastern Press. England. Page: 184

Gunawan, L.W. 1995. Teknik kultur In vitro Dalam Holtikultura. Jakarta: Penebar Swadaya. hal. 43

Harahap, T. 2004. Kultur Pucuk Tanaman Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) Pada perlakuan BAP dan Media Secara in vitro. Skripsi. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. hal. 3, 24

Hartmann, H.T. dan Kester, D. E. 1983. Plant Propagation Principle and Practices. Fourth Edition. New Jersey: Prentince-Mall, Inc. Englewood Cliffs. Page: 536 Hendaryono, D. P. S. dan Wijayani, A. 1994. Teknik Kultur Jaringan Pengenalan dan

Petunjuk Perbanyakan Tanaman Secara Vegetaif Modern. Yogyakarta:


(44)

Hutami, S. & Lestari, E. G. 2005. Produksi Bibit Kencur (Kaempferia galanga L.) Melalui Kultur Jaringan. Berita Biologi. 7 (6): hal. 319-328

Hutami, S & Ragapadmi, P. 2003. Perbanyakan Klonal Temu Mangga (Curcuma

mangga) melalui Kultur In Vitro. Buletin Plasma Nutfah. 9(1): hal. 39-44

Imelda, M, & Aida W. 2007. Regenerasi Tunas dari Kultur Tangka i Daun Iles-iles (Amorphophallus muelleri Blume) BIODIVERSITAS 9(3): hal. 173-176

Irawati. 2005. Pembentukan Kalus dan Embriogenesis Kultur Pelepah Daun Calladium hibrida. Berita Biologi 7(5): hal. 258

Kardhinata, E. H. 1999. Induksi Kalus Embrio Kedelai Pada Media MS Dengan

Penambahaan NAA dan Air Kelapa. Laporan Penelitian. Medan: Universitas

Sumatera Utara

Katuuk, J.R.P. 1989. Teknik Kultur Jaringan Dalam Mikropogasi Tanaman. Jakarta: Departemen Pandidikan dan Kebudayaan. hal. 65-68, 78, 80

Keese, J. R., Rupert, E. A. dan Carter, G. E. Physiologia Plantarum. An International Journal for Plant Biology. 81(4): hal. 513-520

Kusumo, S. 1990. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Cet-2. Jakarta: Yasaguna. hal. 71 Mariani, Y., 2005. Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur Jaringan. Ilmu

Pertanian 12(1): hal. 51 - 55

Marlin. 2005. Regenerasi in vitro Planlet Bebas Penyakit Layu Bakteri Pada Beberapa Taraf Konsentrasi BAP dan NAA. Junrnal Ilmu Pertanian Indonesia. 7(1): hal. 9-16

Mastalin Mandiri, 1994. Brosur Zat Pengatur Tumbuh Atonik. Jakarta

Murashige T and Skoog F., 1962. A Revised Medium For Rapid Growth And Bioassays With Tobacco Tissue Cultures. Physiol Plant 15(3): hal. 473-497. Nasir, M. 2002. Bioteknologi: Potensi dan Keberhasilannya dalam Bidang Pertanian.

Cetakan petama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hal. 33

Nugroho, A & H. Sugito. 2004. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Cetakan kelima. Jakarta: Penebar Swadaya. hal. 41

Nurwahyuni, I., 2002. Upaya Perbanyakan Tanaman Kemenyan Sumatrana (Styrax

Benzoin Dryander) Melalui Kultur Pucuk, Laporan Hasil Penelitian, PPD

HEDS - FMIPA USU Medan

Nurwahyuni, I., 2005. Propagation of Benzoin Sumatra (Styrax benzoin Dryander) from young stem tissue. Jurnal Sains Indonesia. 29(3): hal. 110-114


(45)

Pandey, S. N. Dan Chandha, A. 1996. Plant Anatomy and Embryology. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD. hal. 78

Pierik, R.L.M. 1987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher. Netherland. hlm: 70, 197

Rosmayati. 1993. Penggunaan BA dan NAA Pada Kultur Mata Tunas Gladiolus hybridus Secara Kultur Jaringan. Laporan Penelitian. Medan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. hal. 8

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi ke-6. Bandung: Institut Teknologi Bandung. hal. 225

Salisbury, F. B. Dan Ross. C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-3. Edisi ke-4 Bandung: Institut Teknologi Bandung. hal. 1, 6

Santoso, U. & F. Nursadi 1995. Kultur Jaringan Tanaman. Malang: UMM Press. Sibuea, P. 2002. Potensi Andaliman Sebagai Antioksidan Alami. http://www.compas.com. Diakses tangga l 13 April 2007

Saptarini, N., Diah P., Endang P. 2001. Membuat Tanaman Cepat Berbuah. Jakarta: Penebar Swadaya. hal. 16

Sastrosupadi, A. 2002. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Edisi Revisi. Yogyakarta: Kansius. hal.102

Siregar, M. 2001. Analisis Kesejahtraan Petani Kemenyan Sebagai Komuditi Unggulan Kabupaten Tapanuli Utara. Tesis. Medan. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. hal. 41-42, 46

Sudarmadji, 2003. Penggunaan Benzil Amino Purine Pada Pertumbuhan Kalus Kapas Secara in vitro. Buletin Teknik Pertanian 8(1): hal 8-10

Suryowinoto, M. 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In vitro. Cetakan pertama. Yogyakarta: Kanisius. hal. 43

Suyadi, A., Purwantoro, A. dan Trisnowati, S. 2003. Penggadaan Tunas Abaca Melalui Kultur Meristem. Ilmu Pertanian 10 (2): hal. 11 – 16

Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Cetakan kedua. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. hal. 328

Triatminingsih. R , 2008. Perbanyakan bibit jeruk Citromelo dan JC (Japanese

Citroen) secara in vitro. Indonesian Agricultural Research Abstracts 25(2):

hal. 103-105

Vasil, I. K. 1985. Cell Culture and Somatic Cell Genetics of Plants. London: Academic Press, Inc. Page: 32


(46)

Wetter, L.R. & F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi ke-2. Bandung: Institut Teknik Bandung. hal. 1-3

Widaryanto, MM., Hugeng, S. 2004. Kajian Kelayakan Pemanfaatan Bibit jati Hasil Kultur Jaringan di Kawasan Transmigrasi. http://www.nakertrans.go.id. Diakses tanggal 5 agustus 2005

Widiastuty., D. 2001. Perbaikan Genetik dan Perbanyakan Bibit Secara in vitro Dalam mendukung Perkembangan Anggrek di Indonesia. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian 20(4): hal. 141-152

Winarsih, S. dan Priyono. 2002. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pembentukan dan Pengakaran Tunas Mikro pada Asparagus Secara in vitro.

Badan Penelitian dan Pengembengan Pertanian. 10(1): hal 12-19

Wuryaningsih, S. dan T. Sutater.1993. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Pupuk N terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Krisan Standard Warna Putih.

Jurnal Holtikultura. 1(1): hal 47 -56

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Cetakan pertama. Jakarta: agromedia Pustaka. hal. 2, 9-10, 59-60

Yusnita, K. Mantja, dan D. Hapsoro. 1996. Pengaruh benziladenin, adenine, dan asam indolasetat terhadap perbanyakan tunas pisang ambon kuning secara in


(47)

LAMPIRAN A: DATA PENGAMATAN PERSENTASE KULTUR YANG HIDUP

Perlakuan Ulangan Jumlah

1 2 3 4 5

A0

B0 1 0 1 1 0 3

B1 0 1 1 1 1 4

B2 1 1 0 1 0 3

B3 1 1 1 0 1 4

Subtotal 14

A1

B0 1 0 0 1 1 3

B1 0 1 1 0 1 3

B2 1 1 0 1 0 3

B3 1 1 1 0 0 3

Subtotal 12

A2

B0 0 1 0 1 1 3

B1 1 1 1 1 0 4

B2 1 0 1 0 1 3

B3 1 1 1 1 1 5

Subtotal 15

A3

B0 0 1 0 1 1 3

B1 1 0 1 0 1 3

B2 0 1 1 1 0 3

B3 1 1 1 1 0 4

Subtotal 13

A4

B0 1 0 1 1 1 4

B1 1 0 1 0 1 3

B2 0 1 0 1 1 3

B3 1 1 0 1 0 3

Subtotal 13

Total 67

Jumlah kultur yang hidup = Jumlah eksplan yang hidup Jumlah eksplan seluruh perlakuan

= 67

100

= 67%

X 100%


(48)

LAMPIRAN B : DATA PENGAMATAN BERAT BASAH KULTUR Data pengamatan berat basah kultur sebelum di transformasi

Perlakuan ULANGAN Total Rataan

I II III IV V

A0B0 0,3 0 0,21 0,51 0 1,02 0,34

A0B1 0 0,26 0,47 0,36 0,29 1,38 0,35

A0B2 0,45 0,29 0 0,25 0 0,99 0,33

A0B3 0,3 0,38 0,52 0 0,38 1,58 0,40

A1B0 0,22 0 0 0,37 0,26 0,85 0,28

A1B1 0 0,42 0,51 0 0,24 1,17 0,39

A1B2 0,39 0,29 0 0,29 0 0,97 0,32

A1B3 0,34 0,5 0,43 0 0 1,27 0,42

A2B0 0 0,35 0 0,41 0,28 1,04 0,35

A2B1 0,23 0,49 0,25 0,47 0 1,44 0,36

A2B2 0,42 0 0,43 0 0,36 1,21 0,40

A2B3 0,53 0,31 0,29 0,38 0,5 2,01 0,40

A3B0 0 0,29 0 0,52 0,41 1,22 0,41

A3B1 0,24 0 0,5 0 0,36 1,1 0,37

A3B2 0 0,22 0,37 0,39 0 0,98 0,33

A3B3 0,5 0,41 0,44 0,28 0 1,63 0,41

A4B0 0,39 0 0,51 0,32 0,52 1,74 0,44

A4B1 0,4 0 0,23 0 0,51 1,14 0,38

A4B2 0 0,51 0 0,28 0,47 1,26 0,42

A4B3 0,22 0,41 0 0,53 0 1,16 0,39

Data pengamatan berat basah kultur setelah di transformasi (y+0,5)0,5

Perlakuan ULANGAN Total Rataan

I II III IV V

A0B0 0,89 0,71 0,84 1,00 0,71 4,16 0,83

A0B1 0,71 0,87 0,98 0,93 0,89 4,38 0,88

A0B2 0,97 0,89 0,71 0,87 0,71 4,14 0,83

A0B3 0,89 0,94 1,01 0,71 0,94 4,49 0,90

A1B0 0,85 0,71 0,71 0,93 0,87 4,07 0,81

A1B1 0,71 0,96 1,00 0,71 0,86 4,24 0,85

A1B2 0,94 0,89 0,71 0,89 0,71 4,14 0,83

A1B3 0,92 1,00 0,96 0,71 0,71 4,30 0,86

A2B0 0,71 0,92 0,71 0,95 0,88 4,17 0,83

A2B1 0,85 0,99 0,87 0,98 0,71 4,41 0,88

A2B2 0,96 0,71 0,96 0,71 0,93 4,27 0,85

A2B3 1,01 0,90 0,89 0,94 1,00 4,74 0,95

A3B0 0,71 0,89 0,71 1,01 0,95 4,27 0,85

A3B1 0,86 0,71 1,00 0,71 0,93 4,20 0,84

A3B2 0,71 0,85 0,93 0,94 0,71 4,14 0,83

A3B3 1,00 0,95 0,97 0,88 0,71 4,51 0,90

A4B0 0,94 0,71 1,00 0,91 1,01 4,57 0,91

A4B1 0,95 0,71 0,85 0,71 1,00 4,22 0,84

A4B2 0,71 1,00 0,71 0,88 0,98 4,29 0,86


(49)

Tabel Dua Arah

Perlakuan B0 B1 B2 B3

A0 0,34 0,35 0,33 0,40

A1 0,28 0,39 0,32 0,42

A2 0,35 0,36 0,40 0,40

A3 0,41 0,37 0,33 0,41

A4 0,44 0,38 0,42 0,39

Daftar sidik ragam berat basah kultur

SK DB JK KT F 5% 1%

Perlakuan 19 0,11 0,01 0,3891tn 3,45 4,50

A 4 0,02 0,00 0,3156tn 3,08 4,03

B 3 0,04 0,01 0,8283tn 2,98 3,92

Interaksi 12 0,06 0,00 0,3038tn 3,37 4,39

Galat 80 1,22 0,02

Total 99 1,33


(50)

LAMPIRAN C: DATA PENGAMATAN PERSENTASE KULTUR TERKONTAMINASI

Perlakuan Ulangan Jumlah

1 2 3 4 5

A0

B0 0 1 0 0 0 1

B1 0 0 0 0 0 0

B2 0 0 1 0 0 1

B3 0 0 0 1 0 1

Subtotal 3

A1

B0 0 1 1 0 0 2

B1 0 0 0 1 0 1

B2 0 0 0 0 0 0

B3 0 0 0 0 0 0

Subtotal 3

A2

B0 0 0 1 0 0 1

B1 0 0 0 0 1 1

B2 0 0 0 0 0 0

B3 0 0 0 0 0 0

Subtotal 2

A3

B0 1 0 0 0 0 1

B1 0 1 0 0 0 1

B2 0 0 0 0 1 1

B3 0 0 0 0 1 1

Subtotal 4

A4

B0 0 0 0 0 0 0

B1 0 1 0 0 0 1

B2 0 0 1 0 0 1

B3 0 0 1 0 0 1

Subtotal 3

Total 15

Persentase Kontaminasi = Jumlah kontaminasi Jumlas eksplan

= 15

100

= 15%

X 100%


(51)

LAMPIRAN D. KOMPOSISI MEDIA MS

Bahan Kimia Konsentrasi dalam Media (mg/l)

Makro Nutrien

NH4NO3 1650.000

KNO3 1900.000

CaCl2.H2O 440.000

MgSO4.7H2O 370.000

KH2PO4 170.000

Iron

Na2EDTA 37.000

FeSO4.7H2O 27.800

Mikro Nutrien

MnSO4.4H2O 22.300

ZnSO4.7H2O 8.600

H3BO3 6.200

KI 0.830

NaMoO4.2H2O 0.250

CuSO4.5H2O 0.025

CoCl.6H2O 0.025

Vitamin

Glycine 2.000

Nicotine Acid 0.500

Pyrodoxin HCl 0.500

Thyamine HCl 0.100

Myo-inositol 100.000

Sukrosa 30000.000

Agar 7000.000


(1)

Wetter, L.R. & F. Constabel. 1991. Metode Kultur Jaringan Tanaman. Edisi ke-2. Bandung: Institut Teknik Bandung. hal. 1-3

Widaryanto, MM., Hugeng, S. 2004. Kajian Kelayakan Pemanfaatan Bibit jati Hasil Kultur Jaringan di Kawasan Transmigrasi. http://www.nakertrans.go.id. Diakses tanggal 5 agustus 2005

Widiastuty., D. 2001. Perbaikan Genetik dan Perbanyakan Bibit Secara in vitro Dalam mendukung Perkembangan Anggrek di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(4): hal. 141-152

Winarsih, S. dan Priyono. 2002. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pembentukan dan Pengakaran Tunas Mikro pada Asparagus Secara in vitro. Badan Penelitian dan Pengembengan Pertanian. 10(1): hal 12-19

Wuryaningsih, S. dan T. Sutater.1993. Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh dan Pupuk N terhadap Pertumbuhan dan Produksi Bunga Krisan Standard Warna Putih. Jurnal Holtikultura. 1(1): hal 47 -56

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Cetakan pertama. Jakarta: agromedia Pustaka. hal. 2, 9-10, 59-60

Yusnita, K. Mantja, dan D. Hapsoro. 1996. Pengaruh benziladenin, adenine, dan asam indolasetat terhadap perbanyakan tunas pisang ambon kuning secara in vitro. Jurnal Agroeknologit. 1(1): hal. 29-32.


(2)

LAMPIRAN A: DATA PENGAMATAN PERSENTASE KULTUR YANG HIDUP

Perlakuan Ulangan Jumlah

1 2 3 4 5

A0

B0 1 0 1 1 0 3

B1 0 1 1 1 1 4

B2 1 1 0 1 0 3

B3 1 1 1 0 1 4

Subtotal 14

A1

B0 1 0 0 1 1 3

B1 0 1 1 0 1 3

B2 1 1 0 1 0 3

B3 1 1 1 0 0 3

Subtotal 12

A2

B0 0 1 0 1 1 3

B1 1 1 1 1 0 4

B2 1 0 1 0 1 3

B3 1 1 1 1 1 5

Subtotal 15

A3

B0 0 1 0 1 1 3

B1 1 0 1 0 1 3

B2 0 1 1 1 0 3

B3 1 1 1 1 0 4

Subtotal 13

A4

B0 1 0 1 1 1 4

B1 1 0 1 0 1 3

B2 0 1 0 1 1 3

B3 1 1 0 1 0 3

Subtotal 13

Total 67

Jumlah kultur yang hidup = Jumlah eksplan yang hidup

Jumlah eksplan seluruh perlakuan

= 67

100

= 67%

X 100%


(3)

LAMPIRAN B : DATA PENGAMATAN BERAT BASAH KULTUR

Data pengamatan berat basah kultur sebelum di transformasi

Perlakuan ULANGAN Total Rataan

I II III IV V

A0B0 0,3 0 0,21 0,51 0 1,02 0,34

A0B1 0 0,26 0,47 0,36 0,29 1,38 0,35

A0B2 0,45 0,29 0 0,25 0 0,99 0,33

A0B3 0,3 0,38 0,52 0 0,38 1,58 0,40

A1B0 0,22 0 0 0,37 0,26 0,85 0,28

A1B1 0 0,42 0,51 0 0,24 1,17 0,39

A1B2 0,39 0,29 0 0,29 0 0,97 0,32

A1B3 0,34 0,5 0,43 0 0 1,27 0,42

A2B0 0 0,35 0 0,41 0,28 1,04 0,35

A2B1 0,23 0,49 0,25 0,47 0 1,44 0,36

A2B2 0,42 0 0,43 0 0,36 1,21 0,40

A2B3 0,53 0,31 0,29 0,38 0,5 2,01 0,40

A3B0 0 0,29 0 0,52 0,41 1,22 0,41

A3B1 0,24 0 0,5 0 0,36 1,1 0,37

A3B2 0 0,22 0,37 0,39 0 0,98 0,33

A3B3 0,5 0,41 0,44 0,28 0 1,63 0,41

A4B0 0,39 0 0,51 0,32 0,52 1,74 0,44

A4B1 0,4 0 0,23 0 0,51 1,14 0,38

A4B2 0 0,51 0 0,28 0,47 1,26 0,42

A4B3 0,22 0,41 0 0,53 0 1,16 0,39

Data pengamatan berat basah kultur setelah di transformasi (y+0,5)0,5

Perlakuan ULANGAN Total Rataan

I II III IV V

A0B0 0,89 0,71 0,84 1,00 0,71 4,16 0,83 A0B1 0,71 0,87 0,98 0,93 0,89 4,38 0,88 A0B2 0,97 0,89 0,71 0,87 0,71 4,14 0,83 A0B3 0,89 0,94 1,01 0,71 0,94 4,49 0,90 A1B0 0,85 0,71 0,71 0,93 0,87 4,07 0,81 A1B1 0,71 0,96 1,00 0,71 0,86 4,24 0,85 A1B2 0,94 0,89 0,71 0,89 0,71 4,14 0,83 A1B3 0,92 1,00 0,96 0,71 0,71 4,30 0,86 A2B0 0,71 0,92 0,71 0,95 0,88 4,17 0,83 A2B1 0,85 0,99 0,87 0,98 0,71 4,41 0,88 A2B2 0,96 0,71 0,96 0,71 0,93 4,27 0,85 A2B3 1,01 0,90 0,89 0,94 1,00 4,74 0,95 A3B0 0,71 0,89 0,71 1,01 0,95 4,27 0,85 A3B1 0,86 0,71 1,00 0,71 0,93 4,20 0,84 A3B2 0,71 0,85 0,93 0,94 0,71 4,14 0,83 A3B3 1,00 0,95 0,97 0,88 0,71 4,51 0,90 A4B0 0,94 0,71 1,00 0,91 1,01 4,57 0,91


(4)

Tabel Dua Arah

Perlakuan B0 B1 B2 B3

A0 0,34 0,35 0,33 0,40

A1 0,28 0,39 0,32 0,42

A2 0,35 0,36 0,40 0,40

A3 0,41 0,37 0,33 0,41

A4 0,44 0,38 0,42 0,39

Daftar sidik ragam berat basah kultur

SK DB JK KT F 5% 1%

Perlakuan 19 0,11 0,01 0,3891tn 3,45 4,50 A 4 0,02 0,00 0,3156tn 3,08 4,03 B 3 0,04 0,01 0,8283tn 2,98 3,92 Interaksi 12 0,06 0,00 0,3038tn 3,37 4,39

Galat 80 1,22 0,02

Total 99 1,33


(5)

LAMPIRAN C: DATA PENGAMATAN PERSENTASE KULTUR TERKONTAMINASI

Perlakuan Ulangan Jumlah

1 2 3 4 5

A0

B0 0 1 0 0 0 1

B1 0 0 0 0 0 0

B2 0 0 1 0 0 1

B3 0 0 0 1 0 1

Subtotal 3

A1

B0 0 1 1 0 0 2

B1 0 0 0 1 0 1

B2 0 0 0 0 0 0

B3 0 0 0 0 0 0

Subtotal 3

A2

B0 0 0 1 0 0 1

B1 0 0 0 0 1 1

B2 0 0 0 0 0 0

B3 0 0 0 0 0 0

Subtotal 2

A3

B0 1 0 0 0 0 1

B1 0 1 0 0 0 1

B2 0 0 0 0 1 1

B3 0 0 0 0 1 1

Subtotal 4

A4

B0 0 0 0 0 0 0

B1 0 1 0 0 0 1

B2 0 0 1 0 0 1

B3 0 0 1 0 0 1

Subtotal 3

Total 15

Persentase Kontaminasi = Jumlah kontaminasi

Jumlas eksplan

= 15

100

= 15%

X 100%


(6)

LAMPIRAN D. KOMPOSISI MEDIA MS

Bahan Kimia Konsentrasi dalam Media (mg/l)

Makro Nutrien

NH4NO3 1650.000

KNO3 1900.000

CaCl2.H2O 440.000

MgSO4.7H2O 370.000

KH2PO4 170.000

Iron

Na2EDTA 37.000

FeSO4.7H2O 27.800

Mikro Nutrien

MnSO4.4H2O 22.300

ZnSO4.7H2O 8.600

H3BO3 6.200

KI 0.830

NaMoO4.2H2O 0.250

CuSO4.5H2O 0.025

CoCl.6H2O 0.025

Vitamin

Glycine 2.000

Nicotine Acid 0.500

Pyrodoxin HCl 0.500

Thyamine HCl 0.100

Myo-inositol 100.000

Sukrosa 30000.000

Agar 7000.000