BAB I adat

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Hukum adat merupakan suatu istilah yang diterjemahkan dari Bahasa Belanda. Pada mulanya hukum adat itu dinamakan “adat rect” oleh Snouchk Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”. Buku ini artinya adalah orang-orang Aceh. Mengapa Snouchk Hurgronje memberi judul “Orang-orang Aceh ?” karena pada masa Penjajah Belanda orang Aceh sangat berpegang teguh pada hukum Islam yang saat itu dimasukkan ke dalam hukum adat.

Istilah Adatrecht digunakan juga oleh Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat-Recht Van Nederlandsch Indie” yang artinya hukum ada Hindia Belanda. Mengapa Van Vollenhoven memberi judul hukum adat Hindia Belanda dalam Bukunya ? Karena Van Vollenhoven menganggap bahwa rakyat Indonesia banyak yang menganut hukum adat pada masa Hindia Belanda. Melalui buku “Het Adat-Recht Van Nederlandsch” Van Vollenhoven dianggap sebagai Bapak Hukum Adat karena masyarakat Indonesia menganggap bahwa sebutan hukum adat bagi hukum yang digunakan oleh Bumiputera merupakan buah pemikiran Van Vollenhoven. Jika diamati sebenarnya asal mula hukum adat itu dari Bahasa Arab yaitu “adati” yang berarti kebiasaan masyarakat. Pada abad 19 pada saat peraturan-peraturan agama mengalami kejayaan timbullah teori “Receptio in complexu” dari Van den Berg dan Salmon Keyzer yang menyatakan bahwa “hukum adat itu merupakan penerimaan dari hukum agama yang dianut oleh masyarakat”. Tetapi hal ini ditentang keras oleh Smouchk Hurgronje, Van Vollenhoven dan Ten Haar Bzn. Walaupun hukum agama itu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan hukum adat, tetapi tidak begitu besar pengaruhnya karena pengaruh hukum agama hanya terbatas pada beberapa daerah saja.


(2)

Seperti yang kita ketahui, pandangan mengenai hukum adat dari para Sarjana itu banyak sekali. Para sarjana seperti Van Vollenhoven, Ten Haar dan snouck mengemukakan pendapat mereka dalam pernyataan yang berbeda, sehingga membutuhkan analisis dalam pernyataan yang berbeda, sehingga membutuhkan analisis untuk menentukan sebenarnya apa itu hukum adat. C. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pandangan Van Vollenhoven, Ten Heaar dan Snouck tentang hukum adat ?

2. Apa arti penting hukum adat bagi rakyat Indonesia dari zaman Hindia Belanda sampai sekarang ?

3. Mengapa Snouchk Hurgunte, Van Vallenhoven dan Ten Haar menentang keras bahwa hukum adat berasal dari hukum agama ?

BAB II PEMBAHASAN A. Pemikiran Van Vollenhopen

Cornelis van Vollenhoven: mengangkat nilai-nilai hukum adat sebagai kodifikasi rakyat pribumi.

“Elk volk heeft zijn waarde en beteekenis, en alle menschelijke gaven en talenten, in al hun verscheidenheid hebben aanspraak op volle ontplooiing.”


(3)

(Tiap-tiap bangsa mempunyai harga dan arti sendiri, dan semua karunia dan pepandaian yang diberikannya mempunyai hak untuk berkembang sepenuhnya.)

Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum. Pendapat tersebut dikemukakan dalam kaitannya untuk membedakan antara Adat dengan Hukum Adat.

Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya. Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini hukum Islam). Kecuali daripada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem tersendiri. Selanjutnya, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19 lingkungan hukum adat atau adatrechtskringen. Pembagian tersebut sangat mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari hukum adat di Indonesia.

Dengan membentangkan secara luas dan mendalam tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian lebih lanjut terhadap hukum adat.

Pada masa politik etis, dimana pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, van Vollenhoven berperan dalam kegagalan merealisasi unifikasi hukum dan kodifikasi hukum perdata untuk golongan rakyat di Hindia Belanda. Pada tahun 1905, van Vollenhoven menentang


(4)

kebijakan tersebut dan mengatakan bahwa hukum yang dicita-citakan Idenburg adalah hukum yang asing bagi orang-orang pribumi, tepat sama seperti hukum Romawi pada zaman dahulu dipaksakan ke tengah kehidupan orang-orang Belanda.

Meskipun demikian, pada akhirnya rancangan undang-undang Idenburg tersebut diterima oleh parlemen, namun pendapat-pendapat van Vollenhoven kemudian disinyalir menjadi pemicu lahirnya amandemen Idsinga yang menegaskan kebijakan yang telah dikompromikan, ialah bahwa hukum rakyat yang tidak tertulis (hukum adat) hanya boleh digantikan hukum Eropa manakala dalam kehidupan sehari-hari rakyat pribumi itu memang benar-benar memerlukan hukum itu.

Pada tahun 1919, van Vollenhoven juga dengan keras menentang upaya pemerintah kolonial yang mencoba membawa golongan rakyat pribumi ke bawah yurisdiksi hukum kolonial yang diunifikasikan, akan tetapi yang secara sepihak cuma hendak merujuk ke hukum Eropa (yang dipandang superior) dengan mengabaikan nomenklatur-nomenklatur hukum adat (yang dianggap inferior).

Perlawanan-perlawanan itu diberikan dengan dalih Savignian, bahwa kebutuhan hukum penduduk pribumi sungguh berbeda dengan kebutuhan hukum orang-orang Eropa dan karena itu penerapan hukum Eropa secara sepihak akan mengancam ambruknya tatanan pribumi.

Sesungguhnya van Vollenhoven tidaklah boleh dituduh begitu saja sebagai penolak ide unifikasi dan kodifikasi, ia hanya keberatan manakala hukum rakyat pribumi yang berkedudukan mayoritas harus diabaikan untuk membukakan jalan bagi diberlakukannya hukum Eropa. Ia mencoba memberikan contoh kecil bagaimana seyogyanya hukum kodifikasi dikembangkan secara khusus untuk orang-orang pribumi dengan memperhatikan sungguh-sungguh adat, hukum adat, dan kebutuhan hukum rakyat pribumi. Hingga saat pecahnya perang Pasifik dan runtuhnya kekuasaan de facto pemerintahan kolonial di Hindia-Belanda, sekalipun ide unifikasi dan kodifikasi tetap dikukuhi bersama tetapi realisasinya dalam praktek tidak juga kunjung terwujud.


(5)

Perkembangan yang terjadi sepanjang 4 dasawarsa pertama abad 20 adalah terbukanya pintu pendidikan ke arah ilmu dan budaya Eropa untuk anak-anak kaum elit pribumi, dan dengan demikian juga membukakan kesempatan untuk mereka guna memasuki posisi-posisi yang relatif tinggi dalam organ-organ pemerintahan dan peradilan di Hindia-Belanda. Selanjutnya, munculnya kaum terpelajar dari kalangan pribumi, juga khususnya yang berkeahlian hukum dan ilmu hukum, membuka kesempatan untuk diakuinya hukum adat bahkan setelah kemerdekaan.

B. Pemikiran Ter Harr

Barend ter Haar Bzn: mengembangkan dan merawat hukum adat melalui cara-cara common law, hakim sebagai legitimator hukum adat.

Ter Haar merupakan salah satu murid van Vollenhoven yang meneruskan penelitiannya tentang hukum adat. Ia melanjutkan penelitian hukum adat dengan menyoroti lembaga hukum beserta interrelasinya dan faktor-faktor sosial (di luar hukum) yang mempengaruhi perkembangan hukum.

Ter Haar mengungkapkan bahwa Hukum Adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma di dalam keputusan-keputusan pada penjabat hukum, yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga dapat diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah.Namun demikian, Ter Haar juga menyatakan bahwa Hukum Adat dapat timbul dari keputusan para warga masyarakat.

Ter Haar telah berusaha menempatkan hukum adat sejajar dengan ilmu-ilmu hukum positif lainnya. Dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, ter Haar menguraikan secara sistematis masalah-masalah yang menyangkut masyarakat hukum adat, tanah, perjanjian, hukum keluarga, hukum perkawinan, hukum waris, dan lain sebagainya.

Sepanjang dasawarsa 1930-an, sampai pecahnya perang Pasifik tahun 1942, ter Haar berhasil mempertahankan hukum adat sebagai hukum yang hidup


(6)

dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim – banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi – yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.

Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya – dan dengan demikian juga pengubahannya – menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.


(7)

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law.

Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).

C. Pemikiran Snouck

Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya


(8)

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Alasan Snouch Hurgronje, Van Volenhoven dan Ter Haar, menentang keras bahwa hukum adat berasal dari agama. Ada yang mengatakan bahwa hukum adat itu berasal dari hukum agama. Secara teori hal tersebut dapat dibenarkan karena adat istiadat merupakan suatu golongan hukum yang dahulu berasal dari hukum agama. Hukum agama itu berasal dari Tuhan dan ditaati oleh masyarakat.

Tetapi teori itu ditentang oleh Snouchk Hurgranje, Van Vollenhoven dan Ter Haar. Alasan Snouchk Hurgronje menentang teori tersebut karena menurutnya tidak semua hukum agama bisa diterima dan bersatu dengan hukum adat karena ada perbedaan diantara keduanya misalnya dalam islam tidak dikenal adanya sedekah laut, tetapi dalam adat justru melakukan itu. Alasan Ter Haar pun tidak jauh berbeda dengan Snouchk Hurgranje yaitu hukum waris merupakan hukum adat asli, tidak dipengaruhi oleh hukum agama karena merupakan himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan struktur masyarakat. Van Vollenhoven mempunyai persepsi yang berbeda, walaupun sama-sama menentang, tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya, tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya “Adat recht II”. Van Vollenhoven mengatakan bahwa dalam menentukan apakah benar bahwa hukum adat tidak berasal dari agama, maka harus diadakan tujuan kembali sampai pada waktu islam berkembang di negara-negara Arab hingga masuk ke Indonesia.

D. Hukum Adat dan Adat Recht

Hukum Adat dan Adat recht sesungguhnya merupakan istilah hukum (recht) yang masih dapat dilakukan pembedaan. Istilah Adat Recht yang lebih dikenal dalam tata hukum Hindia Belanda tidak serta merta begitu saja dapat kita samakan dengan hukum yang tidak tertulis.

Adat Recht sendiri merupakan istilah dalam bahasa belanda yang berarti hukum (recht). Istilah recht juga dapat dipanjangkan menjadi rechtstaat yang


(9)

berarti negara hukum. Dalam ilmu hukum istilah recht merupakan istilah yang sangat akrab dan sering digunakan dalam berbagai ruang diskusi.

Istilah ini (sebagaimana yang dimaksud oleh Mr. Snouck Hurgronje, van Vollenhoven dan Ter Haar) adalah hukum yang terdiri dari Hukum Asli (masyarakat) dari zaman Melayu Polinesia serta Hukum Masyarakat dari Timur Asing yang didalamnya termasuk unsur-unsur agama yang banyak mempengaruhi Hukum Asli di daerah-daerah.

Pengertian Hukum Adat jika merujuk hasil Seminar mengenai Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta (1975) merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di dalamnya mengandung unsur agama.

Terdapat kesamaan antara Adat Recht dengan Hukum Adat, karena pada pokoknya Adat Recht merupakan unsur yang tidak tertulis sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum (recht) yang tidak tertulis.

Namun perlu diketahui bahwa Hukum Adat juga meliputi hukum yang tertulis (tercatat atau terdokumentasi) apabila sungguh-sungguh merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Sebaiknya dalam perkembangan hukum di masa yang akan datang, Hukum Adat dapat dibaca sebagai semua hukum yang tidak tertulis di dalam bentuk peraturan perundang-undangan, baik itu yang berlaku dalam penyelenggaraan ketatanegaraan atau pemerintahan maupun yang modern, baik yang merupakan hukum kebiasaan maupun hukum keagamaan.

Masih banyak hal yang perlu dikaji terkait dengan perkembangan hukum (Hukum Adat) dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena kebiasaan tersebut dapat menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat. Meskipun demikian, terkadang aturan atau kebiasaan yang masih berlaku dalam masyarakat yang tidak dimuat sebagai hukum tertulis menimbulkan keresahan bagi masyarakat pendatang disuatu daerah. Oleh karena masyarakat lokal akan memberlakukan kebiasaan mereka kepada masyarakat pendatang sekalipun sehingga dapat memicu konflik antara masyarakat lokal dengan pendatang di suatu daerah. Terlepas dari itu, aturan kebiasaan yang memiliki nilai-nilai kearifan


(10)

(Hukum Adat) yang masih perlu dijaga oleh karena masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di daerah.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

hukum adat menurut pandangan para tokoh walaupun berbeda, tetapi maksud para tokoh seperti Van Vollenhoven, Ter Haar dan snouck itu sama. Mereka memandang hukum adat itu sebagai tingkah laku manusia yang


(11)

mempunyai sanksi dalam keputusan-keputusan yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan dalam tingkah laku manusia yang harus ditemukan dan diberlakukan dalam hukum adat Indonesia dan hukum adat pun mempunyai kaitan dengan hukum agama walaupun hukum agama tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum adat karena terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum agama, sehingga untuk membuktikannya kita harus melakukan analisis terhadap hukum agama mulai dari agama islam berkembang di arab sampai berkembang di Indonesia.

B. Saran

Walaupun hukum agama tidak berpengaruh terhadap hukum adat, tetapi kita harus seimbang dalam menjalankan keduanya begitupun dengan hukum barat karena hukum Indonesia saat ini memakai ketiga hukum itu sesuai dengan pasal 11 aturan peralihan UUD 1945. Maka ketiga hukum itu harus kita jaga dan pelihara agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pelakanaannya oleh hakim. Selain itu, jika hakim tidak dapat memecahkan masalah karena tidak ada UU yang mengaturnya, maka hakim wajib menggali dan menemukannya dalam hukum adat.


(1)

dan terpakai di badan-badan pengadilan negara (yang diselenggarakan khusus untuk memeriksa perkara-perkara orang-orang pribumi ialah landraad). Ter Haar berhasil mengukuhkan hukum adat atas dasar dan/atau atas kekuatan preseden-preseden yang dikembangkan dalam yurisprudensi landraad.

Pada tahun 1930-an, banyak landraad sudah mulai diketuai oleh hakim-hakim – banyak diantaranya berasal dari kalangan pribumi – yang tahu benar bagaimana menghargai hukum adat, dan paham benar begaimana menemukan asas-asas hukum adat yang hidup di masyarakat untuk seterusnya diterapkan sebagai keputusan-keputusan yang mengikat. Lewat cara ini, hukum adat memperoleh bentuknya yang formal (sebagai hukum pengadilan negara), dan seterusnya tersistematisasi lewat yurisprudensi. Disadari atau tidak, ter Haar telah mengembangkan dan merawat hukum adat lewat cara yang dikenal dalam sistem common law.

Untuk mendapatkan pengakuan formil dalam undang-undang, ter Haar telah memperjuangkan pengakuan hak ulayat melalui “Volksraad”, komisi agraria 1928, maupun dalam advis komisi tahun 1938.

Hukum adat, sebagaimana hukum rakyat pada umumnya, sebenarnya memiliki kekuatannya dalam wujud realitanya sebagai pola perilaku (pattern of actual behavior). Pengkodifikasiannya – dan dengan demikian juga pengubahannya – menjadi pola untuk mengatur perilaku (pattern of behavior) akan menghilangkan kekuatan dinamiknya. Sebenarnya ter Haar telah berhasil memodernisasi hukum adat, dan menyiapkannya untuk keperluan menata kehidupan rakyat di dalam lingkungan masyarakat negara. Ter Haar memodernisasi hukum adat hanya dalam ihwal forum dan fungsinya, namun tetap menyerahkan modernisasi (dalam arti pemutakhiran nilai) substansinya pada pengalaman masyarakat sendiri. Namuan para yuris saat ini tidak bisa memahami kenyataan bahwa hukum adat (dalam konteks nasional sekalipun) sebenarnya hanya akan menemukan kelestariannya kalau diperlakukan sebagai common law menurut konsep legal realism, dan tidak sebagai hukum kodifikasi yang dirawat berdasarkan konsep analytical jurisprudence.


(2)

Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban (atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan) hakim dan hakim konstitusi tersebut, eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law.

Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui praktek-praktek (law in action). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang (kehendak penguasa).

C. Pemikiran Snouck

Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya


(3)

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

Alasan Snouch Hurgronje, Van Volenhoven dan Ter Haar, menentang keras bahwa hukum adat berasal dari agama. Ada yang mengatakan bahwa hukum adat itu berasal dari hukum agama. Secara teori hal tersebut dapat dibenarkan karena adat istiadat merupakan suatu golongan hukum yang dahulu berasal dari hukum agama. Hukum agama itu berasal dari Tuhan dan ditaati oleh masyarakat.

Tetapi teori itu ditentang oleh Snouchk Hurgranje, Van Vollenhoven dan Ter Haar. Alasan Snouchk Hurgronje menentang teori tersebut karena menurutnya tidak semua hukum agama bisa diterima dan bersatu dengan hukum adat karena ada perbedaan diantara keduanya misalnya dalam islam tidak dikenal adanya sedekah laut, tetapi dalam adat justru melakukan itu. Alasan Ter Haar pun tidak jauh berbeda dengan Snouchk Hurgranje yaitu hukum waris merupakan hukum adat asli, tidak dipengaruhi oleh hukum agama karena merupakan himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan struktur masyarakat. Van Vollenhoven mempunyai persepsi yang berbeda, walaupun sama-sama menentang, tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya, tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya “Adat recht II”. Van Vollenhoven mengatakan bahwa dalam menentukan apakah benar bahwa hukum adat tidak berasal dari agama, maka harus diadakan tujuan kembali sampai pada waktu islam berkembang di negara-negara Arab hingga masuk ke Indonesia.

D. Hukum Adat dan Adat Recht

Hukum Adat dan Adat recht sesungguhnya merupakan istilah hukum (recht) yang masih dapat dilakukan pembedaan. Istilah Adat Recht yang lebih dikenal dalam tata hukum Hindia Belanda tidak serta merta begitu saja dapat kita samakan dengan hukum yang tidak tertulis.

Adat Recht sendiri merupakan istilah dalam bahasa belanda yang berarti hukum (recht). Istilah recht juga dapat dipanjangkan menjadi rechtstaat yang


(4)

berarti negara hukum. Dalam ilmu hukum istilah recht merupakan istilah yang sangat akrab dan sering digunakan dalam berbagai ruang diskusi.

Istilah ini (sebagaimana yang dimaksud oleh Mr. Snouck Hurgronje, van Vollenhoven dan Ter Haar) adalah hukum yang terdiri dari Hukum Asli (masyarakat) dari zaman Melayu Polinesia serta Hukum Masyarakat dari Timur Asing yang didalamnya termasuk unsur-unsur agama yang banyak mempengaruhi Hukum Asli di daerah-daerah.

Pengertian Hukum Adat jika merujuk hasil Seminar mengenai Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional di Yogyakarta (1975) merupakan hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang di dalamnya mengandung unsur agama.

Terdapat kesamaan antara Adat Recht dengan Hukum Adat, karena pada pokoknya Adat Recht merupakan unsur yang tidak tertulis sedangkan yang dimaksud dengan Hukum Adat adalah hukum (recht) yang tidak tertulis.

Namun perlu diketahui bahwa Hukum Adat juga meliputi hukum yang tertulis (tercatat atau terdokumentasi) apabila sungguh-sungguh merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.

Sebaiknya dalam perkembangan hukum di masa yang akan datang, Hukum Adat dapat dibaca sebagai semua hukum yang tidak tertulis di dalam bentuk peraturan perundang-undangan, baik itu yang berlaku dalam penyelenggaraan ketatanegaraan atau pemerintahan maupun yang modern, baik yang merupakan hukum kebiasaan maupun hukum keagamaan.

Masih banyak hal yang perlu dikaji terkait dengan perkembangan hukum (Hukum Adat) dan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat kita. Oleh karena kebiasaan tersebut dapat menjadi identitas tersendiri bagi masyarakat. Meskipun demikian, terkadang aturan atau kebiasaan yang masih berlaku dalam masyarakat yang tidak dimuat sebagai hukum tertulis menimbulkan keresahan bagi masyarakat pendatang disuatu daerah. Oleh karena masyarakat lokal akan memberlakukan kebiasaan mereka kepada masyarakat pendatang sekalipun sehingga dapat memicu konflik antara masyarakat lokal dengan pendatang di suatu daerah. Terlepas dari itu, aturan kebiasaan yang memiliki nilai-nilai kearifan


(5)

(Hukum Adat) yang masih perlu dijaga oleh karena masih dijunjung tinggi oleh masyarakat di daerah.

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

hukum adat menurut pandangan para tokoh walaupun berbeda, tetapi maksud para tokoh seperti Van Vollenhoven, Ter Haar dan snouck itu sama. Mereka memandang hukum adat itu sebagai tingkah laku manusia yang


(6)

mempunyai sanksi dalam keputusan-keputusan yang bertujuan untuk mendapatkan keadilan dalam tingkah laku manusia yang harus ditemukan dan diberlakukan dalam hukum adat Indonesia dan hukum adat pun mempunyai kaitan dengan hukum agama walaupun hukum agama tidak mempunyai pengaruh yang besar terhadap hukum adat karena terdapat perbedaan antara hukum adat dan hukum agama, sehingga untuk membuktikannya kita harus melakukan analisis terhadap hukum agama mulai dari agama islam berkembang di arab sampai berkembang di Indonesia.

B. Saran

Walaupun hukum agama tidak berpengaruh terhadap hukum adat, tetapi kita harus seimbang dalam menjalankan keduanya begitupun dengan hukum barat karena hukum Indonesia saat ini memakai ketiga hukum itu sesuai dengan pasal 11 aturan peralihan UUD 1945. Maka ketiga hukum itu harus kita jaga dan pelihara agar tidak terjadi ketidakadilan dalam pelakanaannya oleh hakim. Selain itu, jika hakim tidak dapat memecahkan masalah karena tidak ada UU yang mengaturnya, maka hakim wajib menggali dan menemukannya dalam hukum adat.