Intisari dari pokok pemikiran ter Haar ini dapat kita lihat dari rumusan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai berikut: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Rumusan tersebut mengakui nilai-nilai hukum adat sebagai nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Melalui kewajiban atau bisa juga diartikan sebagai kewenangan hakim dan hakim konstitusi tersebut,
eksistensi hukum adat dapat dijaga melalui putusan pengadilan. Pencantumannya secara tertulis dalam undang-undang tidak terlepas dari sistem hukum negara
Indonesia yang lebih condong ke arah sistem hukum civil law. Namun demikian, eksistensi hukum adat hanya dapat dijaga melalui
praktek-praktek law in action. Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut hanyalah sebagai tool atau alat, tetapi penerapannya
tergantung dari hakim sebagai pihak yang berwenang untuk menerapkannya. Secara umum, belum banyak hakim yang menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kebanyakan hakim masih menganut paradigma positivistik, sehingga putusan-putusannya tidak
mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa dan keadilan masyarakat, melainkan mencerminkan kemauan undang-undang kehendak penguasa.
C. Pemikiran Snouck
Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan
dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan- peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki
kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
7
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Alasan Snouch Hurgronje, Van Volenhoven dan Ter Haar, menentang keras bahwa hukum adat berasal dari agama. Ada yang mengatakan bahwa hukum adat
itu berasal dari hukum agama. Secara teori hal tersebut dapat dibenarkan karena adat istiadat merupakan suatu golongan hukum yang dahulu berasal
dari hukum agama. Hukum agama itu berasal dari Tuhan dan ditaati oleh masyarakat.
Tetapi teori itu ditentang oleh Snouchk Hurgranje, Van Vollenhoven dan Ter Haar. Alasan Snouchk Hurgronje menentang teori tersebut karena
menurutnya tidak semua hukum agama bisa diterima dan bersatu dengan hukum adat karena ada perbedaan diantara keduanya misalnya dalam islam tidak dikenal
adanya sedekah laut, tetapi dalam adat justru melakukan itu. Alasan Ter Haar pun tidak jauh berbeda dengan Snouchk Hurgranje yaitu hukum waris merupakan
hukum adat asli, tidak dipengaruhi oleh hukum agama karena merupakan himpunan norma-norma yang cocok dengan susunan dan struktur masyarakat.
Van Vollenhoven mempunyai persepsi yang berbeda, walaupun sama-sama menentang, tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya,
tetapi Van Vollenhoven memberikan ketegasan dalam bukunya “Adat recht II”. Van Vollenhoven mengatakan bahwa dalam menentukan apakah benar
bahwa hukum adat tidak berasal dari agama, maka harus diadakan tujuan kembali sampai pada waktu islam berkembang di negara-negara Arab hingga
masuk ke Indonesia.
D. Hukum Adat dan Adat Recht