65 jenis endemik agar kawasan dapat memenuhi fungsinya sebagai kawasan taman
nasional. Berbeda dengan pengertian ‘rehabilitasi’ yang umum digunakan untuk tujuan pengembalian fungsi sesuatu objek, maka restorasi menuntut syarat
penggunaan fitur-fitur asli untuk tujuan pengembalian fungsi sesuatu objek dimaksud. Dengan demikian istilah ‘restorasi’ lebih tepat digunakan untuk
pengembalian fungsi kawasan taman nasional atau kawasan konservasi dibandingkan dengan penggunaan istilah ‘rehabilitasi’.
6.2. Aspek Sosial Ekonomi Petani Penggarap Lahan Hutan 6.2.1. Karakteristik Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGGP
Standar luas penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan dapat dihitung berdasarkan faktor kesetaraan luas lahan garapan di dalam kawasan
hutan dengan luas penguasaan lahan usaha tani di luar kawasan. Faktor kesetaraan tersebut dapat dihitung berdasarkan luas efektif lahan tergarap untuk tanaman
budidaya pertanian yang menjadi pilihan masyarakat dalam keikutsertaannya pada program restorasi kawasan konservasi. Luas efektif lahan tergarap makin
menyempit dengan semakin jauhnya jarak olah dari tanaman pokok seiring dengan umur dan perkembangan tanaman pokok. Hasil perhitungan faktor
kesetaraan sebesar 1,5 dituangkan dalam Tabel 14. Selanjutnya faktor kesetaraan tersebut digunakan untuk menentukan standar kecukupan luas penguasaan lahan
garapan di dalam kawasan hutan dan juga untuk merumuskan pembagian kelas kisaran luas untuk menentukan kategori luas penguasaan lahan di dalam kawasan
hutan sebagaimana tertuang dalam Tabel 6. Tabel 14 Hasil perhitungan faktor kesetaraan luas lahan garapan petani penggarap
pada program restorasi dan rehabilitasi lahan hutan.
Jarak tanaman
pokok pohon
m Luas
lahan garapan
m
2
Jarak olah tanah dari
tanaman pokok
m Luas lahan
bebas olah ∏r
2
m
2
Luas lahan terolah
=25- ∏ r
2
m
2
Persentase lahan
terolah Faktor
kesetaraan luas lahan garapan
5 X 5 25
0,7 1,5386
23,4614 93,8456
1,065580059 5 X 5
25 1,5
7,065 17,935
71,74 1,393922498
5 X 5 25
2 12,56
12,44 49,76
2,009646302 Jumlah
Rata-rata 4,469148859
1,489716286
66 Hingga saat ini lebih dari 2.700 KK bergantung kepada kawasan Taman
Nasional dalam bentuk penggunaan lahan, kurang lebih 300 KK bergantung kepada pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK seperti getah pinus, getah
damar, bambu, dan kopi liar BBTNGGP, 2011. Berdasarkan data inventarisasi penggarapan lahan hutan di TNGGP tahun 2009, jumlah petani penggarap dan
luas lahan garapan berdasarkan bidang wilayah PTN dituangkan dalam Tabel 15. Jumlah penggarap meningkat 2-3 kali lipat dibandingkan data yang terekam tahun
2009. Penambahan jumlah penggarap ini tidak tercatat secara resmi oleh petugas TNGGP. Peningkatan jumlah petani penggarap lahan di dalam kawasan hutan
justru terjadi pasca penetapan kawasan perluasan TNGGP khususnya dalam 2 dua tahun terakhir yaitu tahun 2010-2011. Hal ini menunjukkan indikasi kuatnya
dorongan masyarakat untuk mengusahakan lahan garapan di dalam kawasan. Jika dihubungkan dengan luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan maka
kuatnya dorongan untuk menggarap lahan di dalam kawasan hutan didorong oleh tingginya kebutuhan terhadap lahan karena status penguasaan lahan di luar
kawasan didominasi oleh kategori sangat sempit bahkan tidak mempunyai penguasaan lahan tunakisma.
Tabel 15 Jumlah petani penggarap lahan kawasan TNGGP
Bidang Wilayah PTN Jumlah Petani
Penggarap KK Luas
ha
Sukabumi 1.090
313,211 Bogor
1.280 463,9
Cianjur 393
127,3293 Jumlah
2.763 904,4403
Keterangan: pola penggunaan lahan 84 berbasiskan pertanian. Sumber BBTNGGP, 2009 Diolah
Jumlah petani yang tergantung dengan zona tradisional berkisar 327 Kepala Keluarga KK berupa petani penyadap, petani kopi dan pengrajin bambu
yang tersebar di Cianjur, Sukabumi dan Bogor. Total luasan zona tradisional adalah ± 312,136 ha dengan perincian untuk wilayah Cianjur 12,018 ha, wilayah
Sukabumi 229,9 ha dan wilayah Bogor seluas 70,218 ha.Jumlah desa penyangga yang ada disekitar kawasan TNGGP adalah 72 desa yang tersebar dalam tiga
wilayah bidang PTN. Secara administratif desa-desa penyangga tersebut masuk
67
dalam 16 wilayah kecamatan dari 4 empat wilayah kabupatenkota. Luas lahan
garapan dan jumlah petani penggarap berbeda di tiap wilayah Bidang PTN. Luas lahan garapan di wilayah Bidang PTN II Sukabumi adalah paling luas 463,900
ha dengan jumlah petani penggarap terbanyak 1280 KK, diikuti Bidang PTN I Cianjur 313,211 ha; 1090 KK, dan Bogor 127,3293 ha; 393 KK. Total luas
lahan garapan di kawasan TNGGP seluas 904,44 ha dengan jumlah petani penggarap sebanyak 2763 KK BBTNGGP, 2009.
Bentuk-2 konflik pemanfaatan potensi SDH yang ada di kawasan perluasan TNGGP meliputi penggarapan lahan, pencurian hasil hutan khususnya
kayu bangunan dan kayu bakar, perburuan satwa dilindungi, intimidasi dan ancaman keamanan dari petugas kepada masyarakat dan sebaliknya sampai
kepada bentuk tindak kriminal kolektif berupa perusakan pos petugas atau kantor Resort TNGGP, dan gangguan terhadap tanaman pokok tanaman restorasi
berupa cara penanaman dan pemanenan tanaman budidaya. Hasil observasi lapangan ditemukan adanya usaha terselubung dari petani
penggarap dalam mempertahankan akses lahan garapan berupa gangguan diam- diam terhadap kelangsungan hidup tanaman restorasi yang ada di lahan garapan
mereka antara lain berbentuk kegiatan menanam tanaman pertanian pada jarak ke tanaman pokok yang lebih pendek dari jarak yang ditetapkan oleh pengelola,
kegiatan panen hasil pertanian singkong pada malam hari sehingga berpeluang untuk terjadinya kerusakan pada tanaman pokok, kegiatan pemangkasan cabang-
cabang pohon terhadap tanaman kehutanan yang ada di dalam dan di sekitar lokasi garapan sehingga tajuk pohon berbentuk ‘hampir silindris jarang, tidak
beraturan’ dan secara keseluruhan tidak dapat terbentuk kesatuan tajuk tegakan. Terkait dengan tingkat kesiapan petani untuk meninggalkan garapan
menunjukkan bahwa sepertiga dari jumlah masyarakat petani penggarap lahan menyatakan belum siap untuk meninggalkan lahan garapan dan seperempat dari
mereka menyatakan menolak untuk keluar dari lahan garapan dan ingin tetap menggarap lahan garapan selamanya. Dari mereka yang menyatakan bersedia
keluar dalam waktu dekat dan bahkan yang sudah menyatakan diri keluar dari lahan garapan ternyata sebagian besar masih mengerjakan lahan garapan dengan
mengubah pola pertanian mereka melalui perubahan jenis tanaman yang
68 diusahakan yaitu berupa tanaman MPTs Multi Purpose Tree species dan
tanaman obat. Sebaran persentase tingkat kesiapan petani penggarap untuk meninggalkan lahan garapan di dalam kawasan hutan tertuang dalam Tabel 16.
Tabel 16 Tingkat kesiapan petani untuk keluar dari lahan garapan hutan No
Tingkat Kesiapan Petani Persentase Responden
1 2
3 4
Sudah keluar Siap keluar dalam waktu dekat
Belum siap Menolak keluar
18 25
32 25
Jumlah 100
Keterangan: ingin menggarap lahan selamanya
6.2.2. Akses Terkait Penguasaan Lahan
Akses terkait penguasaan lahan merupakan penjelasan aspek relasional pemanfaatan SDA meliputi: 1 luas penguasaan lahan garapan berupa sawah,
tegal, dan kebun oleh petani penggarap; 2 akses sebelum dan sesudah penetapan perluasan kawasan TNGGP; 3 bentuk penggunaan SDL Hutan dan Tujuan Akses
Masyarakat, dan 4 tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan. Akses terkait penguasaan lahan mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya-upaya yang
dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan atau menjamin keamanan aksesnya, di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan bagi
pihak BBTNGGP. BBTNGGP menyelenggarakan program-program pemberdayaan masyarakat melalui adopsi pohon dan alokasi zona pemanfaatan
tradisional dan merintis program model kampung konservasi MKK sebagai upaya penyelesaian konflik, dan melakukan penegakan hukum secara bertahap
mulai dari preventif, persuasip sampai dengan langkah penindakan secara represif. Luas Penguasaan Lahan
Penguasaan lahan usaha tani oleh masyarakat petani penggarap meliputi kepemilikan lahan pertanian ataupun penguasaan lahan melalui sewa lahan dan
sejenisnya di luar kawasan hutan dan penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan. Kondisi luas penguasaan lahan usaha tani oleh masyarakat petani
69 penggarap bervariasi mulai dari tunakisma sampai dengan yang mempunyai
lahan milik atau menguasai lahan lebih dari cukup. Akses lahan berupa luas lahan garapan di dalam kawasan hutan juga bervariasi, dari petani penggarap yang
mempunyai lahan garapan sangat luas sampai sangat sempit bahkan ada dari masyarakat petani penggarap yang pada dasarnya tidak mempunyai lahan garapan
namun punya akses ke lahan garapan atas dasar sewa atau gadai lahan dari petani penggarap lain. Komponen penguasaan lahan ini dipengaruhi oleh faktor jenis
lahan dan faktor luas penguasaan lahan. Luas penguasaan lahan petani penggarap lahan di luar kawasan hutan dapat diperiksa dalam Lampiran 8. Luas penguasaan
lahan responden di luar dan di dalam kawasan hutan dapat diperiksa dalam Lampiran 9.
Hasil analisis menunjukkan bahwa luas penguasaan lahan usaha tani di luar kawasan hutan berupa sawah dan tegal didominasi oleh petani penggarap
dengan luas penguasaan lahan sempit dan sangat sempit bahkan tunakisma lebih dari 90 responden dengan rincian setengah dari jumlah responden masuk
kategori tunakisma, hampir seperempat jumlah responden masuk kategori sangat sempit, dan seperlima jumlah responden masuk kategori sempit. Kategori cukup
luas kurang dari 10. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat petani penggarap lahan sangat tergantung pada lahan garapan di dalam kawasan
hutan. Sebaran persentase kategori luas penguasaan lahan di luar kawasan hutan tertuang dalam Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran persentase responden menurut kategori luas penguasaan lahan di luar kawasan per desa sampel
Desa Persentase Responden
Total Skor luas penguasaan lahan usaha tani
1 2
3 4
5 Sukatani
1,67 8,33
6,67 16,67
Ciputri 5,00
11,67 16,67
Ginanjar 5,00
3,33 1,67
6,67 16,67
Cihanjawar 1,67
13,33 1,67
16,67 Nanggerang
16,67 16,67
Bojongmurni 1,67
6,67 8,33
16,67 Jumlah
6,67 20,00
23,33 50,00
100,00
Keterangan : 1 = Luas; 2= Cukup Luas; 3= Sempit; 4= Sangat Sempit; 5= tunakisma
70 Luas penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan berperanan
penting dalam menambah kecukupan luas lahan usaha pertanian masyarakat guna mendapatkan tambahan pendapatan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Jika luas lahan garapan di dalam kawasan hutan diperhitungkan secara total sebagai luas lahan usaha tani yang dikuasai masyarakat, maka ditemukan bahwa
sekitar duapertiga petani penggarap mempunyai luas penguasaan lahan usaha tani dengan luas penguasaan sempit dan sangat sempit, dan kategori tunakisma kurang
dari 2 saja karena penguasaan lahan garapan melalui sewa lahan garapan pada petani penggarap lainnya. Perhitungan dengan memasukkan luas garapan hutan
sebagai bagian luas penguasaan lahan usaha tani yang dimiliki petani penggarap ternyata menaikkan sebaran persentase petani penggarap dengan kategori
penguasaan lahan ‘cukup luas sampai luas’ sebesar sepertiga jumlah responden. Dengan demikian luas penguasaan lahan usaha tani di luar maupun di dalam
kawasan hutan masih didominasi oleh para petani penggarap dengan kategori dan penguasaan lahan ‘sempit, sangat sempit, dan bahkan tunakisma. Fakta
penguasaan lahan ini menunjukkan tingginya ketergantungan petani penggarap terhadap lahan didalam kawasan hutan. Sebaran persentase responden menurut
kategori total luas penguasaan lahan yang dimiliki petani penggarap di luar dan di dalam kawasan hutan tertuang dalam Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran persentase responden berdasarkan kategori luas penguasaan lahan usaha tani di luar dan di dalam kawasan hutan per desa sampel
Desa Persentase Responden
Total Skor luas penguasaan lahan usaha tani
1 2
3 4
5 Sukatani
1,67 5,00
10,00 16,67
Ciputri 8,33
8,33 16,67
Ginanjar 1,67
8,33 5,00
1,67 16,67
Cihanjawar 5,00
11,67 16,67
Nanggerang 16,67
16,67 Bojongmurni
3,33 3,33
8,33 1,67
16,67 Jumlah
6,67 25,00
21,67 45,00
1,67 100,00
Keterangan : 1 = Luas; 2= Cukup Luas; 3= Sempit; 4= Sangat Sempit; 5= tunakisma penguasaan lahan melalui sewa lahan garapan.
Sifat hubungan penguasaan lahan oleh petani penggarap dengan ketergantungan terhadap lahan garapan hutan adalah berbanding terbalik. Semakin
71 sempit atau tidak punya penguasaan lahan di luar kawasan tunakisma maka
semakin tergantung dengan lahan hutan dan sebaliknya. Demikian pula sifat penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan, semakin sempit lahan garapan
dan atau penggarap tidak punya lahan garapan tetap sebagai buruh tani, penyewa atau penggadai sementara tidak juga memiliki lahan di luar kawasan maka
tingkat ketergantungan terhadap lahan garapan di dalam kawasan hutan adalah semakin tinggi. Selain itu tingkat ketergantungan terhadap lahan garapan di dalam
kawasan hutan juga dipengaruhi oleh jenis lahan yaitu sawah atau tegal. Dengan demikian lahan didalam kawasan hutan sangat penting dan sangat berarti bagi
pemenuhan kebutuhan hidup petani penggarap. Konsekuensinya adalah mereka akan berusaha untuk tetap mempertahankan aksesnya atas lahan hutan. Hal ini
diperkuat oleh penolakan dan rendahnya tingkat kesiapan mereka untuk meninggalkan lokasi garapan; dan di lain pihak menggambarkan tingkat beban
atau tingkat gangguan terhadap pihak BBTNGGP.
Akses sebelum dan sesudah penetapan perluasan kawasan TNGGP
Akses masyarakat terhadap sumberdaya lahan di kawasan perluasan TNGGP terjadi sejak jaman orde lama jauh sebelum Perum Perhutani mengelola
kawasan hutan daerah perluasan secara definitif dimana kebijakan pada waktu itu mendorong masyarakat untuk memanfaatkan lahan kosong dan lahan tidur yang
ada didekatnya dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat khususnya pangan. Masyarakat bebas membuka lahan usaha pertanian di lahan milik negara
tanpa diikuti pengaturan hak penguasaan lahan land property rights yang jelas. Tujuan pengelolaan SDA sebagaimana amanah UUD pasal 33 dan juga
tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sebagaimana tertuang dalam UU no 5 tahun 1990 pasal 3 adalah untuk mendukung usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini disadari oleh Perum Perhutani selaku pengelola kawasan sebelumnya dan merangkul
masyarakat untuk ikut terlibat sebagai pemain dalam pengelolaan SDA kedalam bentuk program ‘PHBM-Perum Perhutani’ guna mencapai tujuan pengelolaan
kawasan. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola.
Penggarapan lahan di dalam kawasan perluasan TNGGP oleh masyarakat
72 merupakan bentuk akses masyarakat kedalam SDA yang secara normatif
penguasaan SDA tesebut dimiliki oleh negara state property. Perum Perhutani selaku pengelola kawasan sebelumnya telah merangkul masyarakat untuk ikut
terlibat sebagai pemain dalam pengelolaan SDA kedalam bentuk program ‘PHBM-Perum Perhutani’ guna mencapai tujuan pengelolaan kawasan. Masuknya
petani penggarap lahan kedalam program PHBM-Perum Perhutani ini merupakan bentuk akses legal masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan di kawasan
perluasan TNGGP. Peningkatan jumlah petani penggarap lahan di dalam kawasan hutan
sangat signifikan, yaitu sebanyak 2-3 kali lipat dibandingkan data yang terekam BBTNGGP tahun 2009. Dengan demikian dapat diartikan bahwa peningkatan
akses justru terjadi pasca penetapan kawasan perluasan TNGGP. Perilaku petani dengan tetap mengerjakan lahan garapan meskipun sudah menyatakan diri keluar
dari lahan garapan hutan dengan mengubah pola pertanian melalui perubahan jenis tanaman yang diusahakan berupa tanaman MPTs Multi Purpose Tree
species dan tanaman obat menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar petani penggarap lahan masih berusaha mempertahankan akses lahan garapan karena
desakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesediaan mereka keluar dengan berat hati karena takut dengan aturan perundangan.
Hasil temuan lapangan berupa gangguan diam-diam terhadap kelangsungan hidup tanaman restorasi yang ada di lahan garapan petani
penggarap mencerminkan usaha terselubung dari petani penggarap dalam mempertahankan akses lahan garapan. Gangguan tersebut sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya antara lain berbentuk kegiatan menanam tanaman pertanian pada jarak yang lebih pendek ke tanaman pokok dari jarak yang ditetapkan oleh
pengelola, kegiatan panen hasil pertanian terutama singkong pada malam hari sehingga berpeluang untuk terjadinya kerusakan pada tanaman pokok, dan
kegiatan pruning terhadap tanaman kehutanan sehingga tajuk pohon berbentuk ‘hampir silindris jarang, tidak beraturan’ yang secara keseluruhan tidak dapat
terbentuk kesatuan tajuk tegakan.
73
Bentuk Penggunaan SDL Hutan dan Tujuan Akses Masyarakat
Variasi bentuk penggunan SDL dapat dilihat dari keberagaman jenis komoditas tanaman yang dapat dikelompokkan kedalam 5 lima jenis tanaman,
yaitu: pangan pokok padi,jagung,singkong, hortikultur sayuran,pisang, kopi,palawija, pohon kayu untuk bangunan jeunjing,afrika,mindi,tarikangin,
mahoni,bambu, tanaman MPTs nangka,alpukat,pete,jengkol, pala,cengkeh, durian dan tanaman obat kapol,jahe,honje,kumis-kucing,serai-wangi. Dapat
dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan jangka waktu produksi komoditas tanaman, yaitu: tanaman semusim sayuran,palawija,tanaman pangan pokok,
tanaman tahunan pisang, kopi,tanaman obat, dan tanaman perenial tanaman kayu-kayuan, tanaman MPTs, bambu.
Berbeda dengan Prabowo 2010 yang membagi akses masyarakat kedalam 3 tiga tipe untuk kasus di TN Gunung Halimun Salak, yaitu tipe
penggarapan lahan, tipe pemukiman, dan tipe gabungan penggarapan dan pemukiman; maka tujuan akses masyarakat di kawasan perluasan TNGGP hanya
ada 2 dua tipe saja yaitu tipe akses yang berupa penggarapan lahan kawasan hutan dan tipe akses pemanfaatan hasil hutan getah damar, getah pinus, bambu,
dan kopi liar. Tipe akses penggarapan lahan ini masih dapat dikelompokkan lagi kedalam bentuk penggunaan lahan garapan atau pola usaha tani ataupun base
sistem agronomi yang juga dapat mencerminkan variasi tingkat ketergantungannya terhadap lahan kawasan hutan. Perbedaan pola usaha tani
memberikan perbedaan nilai ekonomi usaha pertanian dan panjang pendeknya jangka waktu harapan untuk memetik hasil panen tanaman yang berdampak pada
tingkat kesejahteraan masyarakat sehingga pola usaha tani ini mempengaruhi besar kecilnya derajat dorongan untuk melakukan akses atas penggarapan lahan
hutan, yang selanjutnya mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan atau menjamin keamanan
aksesnya; dan di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan terhadap pihak BBTNGGP. Bentuk penggunaan lahan garapan ini terkait erat
dengan preferensi jenis tanaman masyarakat petani penggarap lahan hutan. Berdasarkan base sistem agronomi maka pola penggunaan lahan hutan
oleh petani penggarap dapat dikelompokkan kedalam 4 empat macam, yaitu:
74 base sistem sayuran, base sistem padi dan kebun, base sistem singkong dan
pisang, dan base sistem agroforestry. Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa base sistem pertanian patani penggarap di kawasan hutan wilayah Bidang
PTN Cianjur didominasi oleh komoditas sayuran, dan base sistem pertanian penggarap di kawasan hutan wilayah Bidang PTN Selabintana menunjukkan base
sistem agronomi campuran yaitu base sistem agronomi yang didominasi oleh komoditas padi dan kebun dengan singkong dan pisang, sedangkan base sistem
pertanian penggarap di kawasan hutan wilayah Bidang PTN Bogor menunjukkan base sistem agronomi campuran yaitu base sistem agronomi yang didominasi oleh
komoditas padi dan kebun, singkong dan pisang, dan base sistem agroforestry tanaman kayu-kayuan dan MPTs, dan tanaman obat.
Pola usaha tani masyarakat yang tercermin dari pilihan jenis tanaman yang dikembangkan juga dipengaruhi oleh latar belakang tingkat perekonomian dan
pandangan yang dimiliki. Petani penggarap yang berlatar belakang ekonomi cukup dan atau pandangan yang lebih jauh kedepan kebanyakan memilih jenis
tanaman kayu-kayuan dan tanaman MPTs untuk dikembangkan. Sedangkan petani miskin kebanyakan memilih jenis tanaman semusim dan atau tanaman
pokok untuk dikembangkan. Hal ini terkait dengan pemenuhan kebutuhan jangka pendek untuk menjamin ketersediaan pangan mereka pertanian subsisten. Selain
itu juga menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan hutan dan berusaha mempertahankan aksesnya terhadap lahan garapan di
dalam kawasan hutan.
Kebijakan perluasan TNGGP SK Menhut no 1742003 pada tahun 2003
menyebabkan masyarakat khususnya petani penggarap ex program PHBM-Perum Perhutani kehilangan akses atas penggunaan SDL yang selama ini menjadi
tempat bergantung untuk mendukung kebutuhan hidupnya. Kebijakan perluasan tersebut berimplikasi pada perubahan fungsi kawasan hutan dan penggunaan
lahan yang lebih ketat, serta pilihan tindakan manajemen yang tidak seluas pada manajemen SDH yang dikelola Perum Perhutani dimana menurut aturan
perundangan yang berlaku menyatakan larangan keberadaan kegiatan yang dapat mengancam keutuhan kawasan dan larangan atas kegiatan yang tidak sesuai
75 dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, termasuk
kegiatan pertanian. Selain peningkatan jumlah petani penggarap lahan, temuan lapangan
menunjukkan bahwa petani penggarap lahan yang menyatakan diri ‘bersedia keluar’ dalam waktu dekat dan yang sudah menyatakan diri ‘keluar’ dari lahan
garapan ternyata sebagian besar masih mengerjakan lahan garapan mereka. Petani penggarap lahan tersebut mengubah pola pertanian mereka melalui perubahan
jenis tanaman yang diusahakan yaitu berupa tanaman MPTs Multi Purpose Tree species dan tanaman obat. Hal ini menunjukkan indikasi tingginya tingkat
ketergantungan masyarakat terhadap lahan hutan dan masyarakat sebenarnya berusaha mempertahankan akses lahan garapan karena desakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Petani bersedia keluar dari lahan garapan dengan berat hati karena takut dengan aturan perundangan. Selain itu menunjukkan indikasi bahwa
petani penggarap belum benar-benar paham untuk membedakan konsep restorasi dan konsep rehabilitasi.
Penggunaan lahan hutan oleh masyarakat tidak didukung dengan landasan hak kepemilikan lahan land rights yang kuat. Hak penguasaan lahan masih
dikuasai negara sehingga landasan masyarakat dalam penggunaan lahan di dalam kawasan hutan lebih bertumpu pada kapasitas akses. Dengan demikian ragam
kebebasan petani penggarap dalam penggnaan SDL dibatasi oleh pemegang hak property rights yaitu Perum Perhutani atas nama negara selaku pemegang hak.
Pola Akses Masyarakat dalam Penggunaan Sumberdaya Lahan
Masyarakat berpandangan merasa mempunyai hak atas lahan garapan karena sudah puluhan tahun menggarap lahan dengan memenuhi peraturan
perundangan yang ada dan karena kepentingannya untuk mendapatkan sumber pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu masyarakat merasa
mempunyai hak atas hasil tanaman mereka yang ada di kawasan perluasan TNGGP berupa kayu maupun non kayu. Hal ini mendorong masyarakat untuk
tetap mengupayakan dan mempertahankan akses atas lahan garapan yang ada di dalam kawasan hutan. Selain itu sempitnya luasan penguasaan lahan yang dimiliki
oleh petani penggarap bahkan sebagian besar dari mereka tergolong kedalam
76 kategori petani tunakisma petani yang tidak memiliki lahan merupakan
penyebab utama yang melatar belakangi akses masyarakat atas lahan hutan. Dengan munculnya konflik kepentingan atas lahan garapan dan
ketidakpastian jaminan hukum untuk ketetapan menggarap lahan maka sebagian dari petani pengarap sudah mulai beralih kedalam perubahan pilihan jenis
tanaman yang dikembangkan dalam usaha mempertahankan akses lahan garapan yaitu pengembangan jenis tanaman MPTs dan tanaman obat. Dalam situasi
konflik, masyarakat melakukan upaya-upaya untuk tetap memperoleh akses atas SDH di kawasan perluasan TNGGP, dan disisi lain petugas BBTNGGP masih
memberikan toleransi pada petani penggarap lahan hutan. Pendekatan penegakan hukum tidak dapat dilakukan disemua kawasan perluassan sehingga pendekatan
persuasip petugas pada masyarakat dilakukan dengan alasan keberadaan petani penggarap di dalam kawasan hutan pada awalnya memang legal ex PHBM dan
petani penggarap masih menggantungkan sumber penghidupannya dari lahan garapan hutan.
Pola akses masyarakat ditunjukkan oleh mekanisme atau cara bagaimana masyarakat memperoleh akses terhadap SDL kawasan hutan. Masyarakat
memperoleh aksesnya melalui hubungan-hubungan sosial dengan petugas pengelola kawasan dalam bentuk pembagian lahan atau alokasi lahan garapan saat
kawasan masih dikelola oleh Perum Perhutani dan dalam realisasi model pelaksanaan kegiatan restorasi aspek yuridis formal saat dikelola BBTNGGP
dan dalam bentuk penggunaan lahan kosong melalui inisiatif petani penggarap lahan pada waktu belum ada program formal dari pengelola kawasan saat kawasan
masih dikelola oleh Perum Perhutani. Membengkaknya jumlah petani penggarap lahan dan munculnya petani penggarap baru menggantikan penggarap lama dilatar
belakangi oleh adanya kelembagaan lokal yang berkembang di dalam masyarakat khususnya petani penggarap lahan. Kelembagaan lokal tersebut membuka
kesempatan akses bagi penggarap baru untuk menggantikan penggarap lama berupa tata cara dalam hal memperoleh akses lahan garapan aspek bundle of
power dalam tinjauan teori akses. Masyarakat mendapatkan akses lahan garapan di dalam kawasan hutan
melalui mekanisme pembagian pewarisan hak penggarapan lahan kepada anak
77 atau melalui mekanisme ‘pengalihan hak garapan
3
’ dan mekanisme ‘atas nama’ dimana 3 atau 4 orang penggarap baru mengaku sebagai buruh tani yang sekedar
bekerja untuk seorang penggarap lama meskipun sebenarnya mereka menyewa atau membayar gadai lahan garapan. Tidak ada istilah membeli lahan garapan
bagi masyarakat penggarap, yang ada adalah istilah ‘memulangkan garapan’ yaitu bahwa seseorang dapat mengerjakan lahan garapan petani lain dengan
memberikan sejumlah uang kompensasi sesuai kesepakatan sebagai pengganti beaya pembukaan dan pengolahan lahan dari hutan menjadi lahan pertanian.
Kesepakatan jumlah nilai uang pengganti atau ‘uang pulangkan garapan’ tergantung kepada letak lokasi lahan garapan dan kondisi lahan kesuburan, jenis
tutupan lahan, tingkat kemudahan usaha tani dan pengolahan lahan, keamanan tanaman frekuensi dan kualitas gangguan binatang liar, hama, manusia, dan
peluang bencana alam. Mekanisme bagaimana petani penggarap mendapatkan lahan garapan menunjukkan pola akses masyarakat atas lahan di dalam kawasan
hutan. Pola akses ini mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan atau menjamin keamanan
aksesnya, di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan terhadap pihak Balai TNGGP
.
6.2.3. Tingkat Beban Tanggungan Keluarga Petani Penggarap Lahan
Kondisi beban tanggungan keluarga petani penggarap dipengaruhi oleh status responden, dari yang berstatus bujang sampai dengan yang sudah
berkeluarga dengan sejumlah anak. Kondisi tingkat beban tanggungan keluarga bervariasi, dari kategori ‘Sangat Kecil’ sampai dengan ‘Sangat Besar’. Skor
tingkat beban ketergantungan keluarga dapat diperiksa dalam Lampiran 10. Sebaran persentase responden menurut skor tingkat beban ketergantungan
keluarga tertuang dalam Tabel 19. Selanjutnya diklasifikasikan kedalam 3 tiga kategori yaitu kategori ‘Tinggi’ jika nilai skor 3, kategori ‘Sedang’ jika nilai
skor = 3 dan kategori ‘Rendah’ jika nilai skor 3. Hasil analisis menunjukkan bahwa lebih dari 70 tingkat ketergantungan keluarga mengelompok dalam
kategori ‘Tinggi’, lebih dari 20 termasuk kategori ‘Sedang’, dan kurang dari 10 termasuk kategori ‘Rendah’.
___________________________________________ 3
Istilah masyarakat adalah ‘memulangkan garapan’
78 Tabel 19 Sebaran persentase responden menurut skor tingkat beban
ketergantungan keluarga per lokasi blok desa sampel
Desa Persentase Responden menurut Skor Beban
Ketergantungan Keluarga Total
1 2
3 4
5 Sukatani
6,67 10,00
16,67 Ciputri
1,67 3,33
6,67 5,00
16,67 Ginanjar
5,00 11,67
16,67 Cihanjawar
8,33 8,33
16,67 Nanggerang
5,00 5,00
6,67 16,67
Bojongmurni 1,67
3,33 11,67
16,667 Jumlah
1,67 5,00
21,67 23,33
48,33 100
Keterangan: 1=Sangat Kecil; 2=Kecil; 3=Cukup; 4=Besar; 5=Sangat Besar
Sifat hubungan tingkat beban ketergantungan keluarga petani penggarap berbanding lurus dengan tingkat ketergantungan pada sumberdaya lahan sebagai
sumber penghidupan keluarga. Semakin besar beban tanggungan keluarga petani penggarap semakin tinggi pula tingkat ketergantungan keluarga pada petani
penggarap selaku kepala keluarga. Semakin tinggi tingkat ketergantungan keluarga pada petani penggarap akan semakin tinggi pula tingkat ketergantungan
petani penggarap terhadap lahan garapan yang berada di dalam kawasan hutan. Hal ini mengingat bahwa lahan garapan dalam kawasan hutan adalah sumber
utama petani dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
6.2.4. Sumber Nafkah Petani Penggarap
Sumber nafkah atau jenis pekerjaan petani penggarap mencakup pekerjaan pokok dan pekerjaan sampingan. Pekerjaan pokok sebagai petani sawah atau
peladang, dan pekerjaan sampingan bervariasi sesuai kapasitas petani penggarap. Sebagai petani yang pekerjaan pokoknya adalah ‘petani’ yang sudah pasti
tergantung pada lahan usaha taninya. Berdasarkan data hasil wawancara terbatas didapatkan bahwa rata-rata pendapatan responden dari hasil komoditas tanaman
sayuran sebesar Rp 1.042.638 per bulan dan untuk usaha tanaman pangan pokok padi, singkong, jagung sebesar Rp. 289.236,-bulan dengan kisaran yang sangat
besar sesuai dengan luas penguasaan lahan garapan. Jenis pekerjaan sampingan merupakan variabel penguat atau pelemah tingkat ketergantungan masyarakat
petani penggarap terhadap lahan. Hal ini terkait dengan nilai tambah penghasilan
79 yang diperoleh dari pekerjaan sampingan tersebut. Semakin besar tambahan
penghasilan yang diperoleh dari jenis pekerjaan sampingan, maka akan semakin mengurangi tingkat ketergantungan petani terhadap lahan garapan di dalam
kawasan hutan. Digunakan asumsi bahwa jika jenis pekerjaan sampingan mempunyai tingkat nilai skor lebih tingggi daripada skor pekerjaan pokok, maka
nilai skor sumber nafkah sampingan adalah rata-rata skor kedua jenis pekerjaan dimaksud. Namun jika pekerjaan sampingan mempunyai nilai skor lebih rendah
daripada pekerjaan pokok atau sebagai buruh maka nilai skor sumber nafkah adalah mengikuti nilai skor buruh, karena sesungguhnya pekerjaan pokok petani
penggarap tersebut adalah sebagai buruh tani. Jenis pekerjaan responden dan nilai skornya dapat diperiksa dalam Lampiran 11.
Sebaran persentase responden menurut skor sumber nafkah keluarga tertuang dalam Tabel 20. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada komponen
sumber nafkah lebih dari setengah jumlah responden petani penggarap masuk dalam kategori sangat tergantung lahan, hampir sepertiganya masuk kategori
tergantung lahan dan kurang dari seperlimanya masuk kategori cukup tergantung lahan. Selanjutnya direklasifikasi kedalam 2 dua kategori saja yaitu: kategori
‘Sangat Tergantung lahan’ lebih dari 80 persen, dan kategori ‘Cukup Tergantung lahan’ kurang dari 20 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa 100
jenis pekerjaan yang merupakan sumber nafkah tambahan bagi petani penggarap lahan masih bergantung pada lahan di dalam kawasan hutan. Meskipun ditemukan
adanya jenis pekerjaan sampingan yang tidak tergantung pada lahan, namun pekerjaan sampingan tersebut hanya sebagai variabel pelemah ketergantungan
petani penggarap terhadap lahan, sedangkan pekerjaan pokok masyarakat adalah sebagai petanipeladang yang tergantung pada lahan garapan di dalam kawasan
hutan. Pekerjaan sampingan merupakan sumber tambahan penghasilan petani
penggarap untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Variasi jenis sumber nafkah sampingan menunjukkan besar kecilnya nilai tambahan pendapatan. Oleh
karena itu variasi jenis sumber nafkah sampingan akan mempengaruhi sifat ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan. Semakin besar nilai tambahan
penghasilan yang diperoleh masyarakat dari suatu jenis pekerjaan sampingan
80 Tabel 20 Sebaran persentase responden menurut skor sumber nafkah keluarga per
lokasi blok desa sampel
Desa Persentase Responden menurut Skor Sumber Nafkah
Total 1
2 3
4 5
Sukatani 8,33
3,33 5,00
16,67 Ciputri
1,67 15,00
16,67 Ginanjar
8,33 8,33
16,67 Cihanjawar
16,67 16,67
Nanggerang 16,67
16,67 Bojongmurni
6,67 10,00
16,67 Jumlah
16,67 28,34
55,00 100,01
Keterangan: 1= Tidak Tergantung Lahan; 2= Agak Tergantung Lahan; 3= Cukup Tergantung
lahan; 4= Tergantung lahan; 5= Sangat tergantung lahan
tersebut maka akan berpengaruh pada semakin mengecilnya tingkat ketergantungan masyarakat atas lahan garapan di dalam kawasan hutan yang
menjadi sumber penghidupannya. Tingginya tingkat ketergantungan jenis pekerjaan ini berimplikasi pada semakin kuatnya dorongan untuk melakukan
akses atas lahan kawasan hutan baik secara legal maupun illegal dan mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat
untuk mempertahankan atau menjamin keamanan aksesnya; dan di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan terhadap pihak BBTNGGP.
Berbagai jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan petani penggarap dapat mencerminkan keterkaitan hubungan ketergantungan pada lahan garapan.
Semakin dekat keterkaitan jenis-jenis pekerjaan sampingan dengan bidang pertanian yang mampu dilakukan oleh petani penggarap akan berdampak pada
semakin tingginya tingkat ketergantungan jenis pekerjaan tersebut pada lahan garapan di dalam kawasan hutan. Keterkaitan hubungan antara sumber nafkah
yang merupakan gabungan pekerjaan pokok dan sampingan dengan ketergantungannya terhadap lahan hutan dapat dilihat dari besarnya persentase
untuk masing-masing kategori. Pekerjaan buruh serabutan dan pekerjaan sampingan lainnya seperti
sebagai tenaga kerja di proyek pembangunan atau sebagai tukang ojek dan lain- lain memberikan nilai tambah penghasilan yang kecil, dan didominasi oleh petani
penggarap yang pada dasarnya adalah buruh tani. Sedangkan jenis pekerjaan sampingan seperti pedagang sembako dan pedagang sayur memberikan nilai
81 tambah penghasilan yang lebih besar. Jenis sumber nafkah sampingan merupakan
variabel ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan karena mencerminkan keeratan keterkaitannya dengan kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan hutan
dan atau mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan garapan di dalam kawasan hutan. Tingkat
ketergantungan sumber nafkah terhadap lahan garapan di dalam kawasan hutan diklasifikasikan kedalam 3 tiga kategori yaitu kategori ‘Sangat Tergantung pada
lahan’, kategori ‘Tergantung pada lahan’ dan kategori ‘Cukup Tergantung pada lahan’ adalah ditujukan untuk memberikan apresiasi terhadap petani penggarap
dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk memberikan koreksi terhadap tingkat kuat lemahnya variabel sumber nafkah terhadap
ketergantungannya pada lahan garapan di dalam hutan. Dengan demikian rata-rata skor pekerjaan pokok dan sampingan dapat dijadikan sebagai landasan analisis.
6.2.5. Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Lahan Garapan
Tingkat ketergantungan masyarakat petani penggarap terhadap lahan di dalam kawasan hutan dipengaruhi oleh banyak komponen. Dalam penelitian ini
kajian dibatasi pada komponen tingkat kecukupan penguasaan lahan gabungan komponen luasan penguasaan lahan di luar kawasan hutan dan luas penguasaan
lahan garapan di dalam kawasan hutan, komponen tingkat beban ketergantungan keluarga, dan komponen macam sumber nafkah petani penggarap. Skor
ketergantungan masyarakat terhadap lahan dapat diperiksa dalam Lampiran 12. Hasil perhitungan rata-rata komponen tingkat ketergantungan petani penggarap
pada lahan garapan hutan disajikan dalam Tabel 21. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan garapan di dalam
kawasan hutan sangat tinggi karena lebih dari 90 tergantung pada lahan garapan di dalam hutan dan hanya sebagian kecil saja yaitu kurang dari 10 masuk
kategori kurang tergantung pada lahan garapan di dalam kawasan hutan. Ketergantungan masyarakat terhadap SDA yang berasal dari kawasan
TNGGP hingga saat ini masih tergolong tinggi. Dengan kecilnya lahan garapan sedangkan rata-rata bermata pencarian sebagai petani maka kebutuhan akan lahan
juga tinggi dengan intensitas pengelolaan yang sangat intensif. Hingga saat ini
82 tidak kurang dari 2.763 KK bergantung kepada kawasan Taman Nasional dalam
bentuk penggunaan lahan, kurang lebih 200 KK bergantung kepada pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK seperti getah pinus, getah damar, bambu, dan
kopi liar. BBTNGGP, 2011. Tingginya tingkat ketergantungan tersebut didukung oleh fakta bahwa sebagian besar petani penggarap termasuk dalam
kelompok tunakisma dan atau yang mempunyai penguasaan lahan usaha tani sangat sempit. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya pengelolaan taman nasional
yang baik dan partisipatif sehingga tekanan tersebut dapat diminimalisir dan terkelola dengan baik. Alih profesi dan penyerapan tenaga kerja dalam bidang jasa
lingkungan dengan memanfaatkan potensi taman nasional dalam konteks ekowisata merupakan salah satu upaya yang dapat dipertimbangkan. Dalam
rangka alih profesi ini perlu dipikirkan alternatif penyelesaian trade-off antara usaha pertanian dengan jenis profesi baru. Jika nilai pendapatan petani dengan
profesi lebih rendah daripada pendapatan sebelumnya yang didapatkan dari lahan garapan maka hal ini akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan petani sehingga
perlu dipikirkan alternatif kompensasinya. Tabel 21 Persentase tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan
hutan
Blok Desa
per lokasi blok desa sampel
Persentase Responden Menurut Kategori Ketergantungan Terhadap Lahan
Total Kurang Tergantung
Tergantung Sukatani
3,33 13,33
16,67 Ciputri
0,00 16,67
16,67 Ginanjar
1,67 15,00
16,67 Cihanjawar
3,33 13,33
16,67 Nanggerang
0,00 16,67
16,67 Bojongmurni
0,00 16,67
16,67 Jumlah
8,33 91,67
100,00
Keterangan: Berdasarkan rata-rata nilai skor ketergantungan terhadap lahan menurut 3 tiga komponen penyusunnya.
Jika dikaitkan dengan paradigma pembangunan maka tingginya tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan dapat dicarikan rujukannya.
Paradigma pembangunan selama ini lebih memusatkan pada pertumbuhan ekonomi dan efisiensi penggunaan faktor produksi dan kapital, yang dipengaruhi
oleh dua teori penting yang diusung Rostow dan Harold-Domar, berimplikasi
83 pada konsumsi yang tak terbatas yang diikuti oleh deplesi SDA sebagai sumber
input dan pendukung kehidupan Mubyarto, 2005; Todaro, 1989; Amien 2005; Siahaan, 2007. Hasil pembangunan Todaro,1989 antara lain dicirikan oleh
meningkatnya ketergantungan terhadap SDA. Paradigma pembangunan yang demikian bersifat top down karena kurang melihat interdepensi antara elemen-
elemen pembangunan yang begitu kompleks dan masyarakat diletakkan pada subordinat pembangunan Amin, 2005.
6.2.6. Sikap Masyarakat Terhadap Usaha pelestarian Alam dan Isu Konservasi
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat sikap masyarakat terhadap usaha pelestarian alam atau isu konservasi mengelompok kedalam 2 dua
kategori yaitu kurang dari seperlima jumlah responden menunjukkan tingkat sikap kurang mendukung dan lebih dari 80 menunjukkan tingkat sikap mendukung isu
konservasi sebagaimana tertuang dalam Tabel 22. Tabel 22 Persentase responden menurut sikap masyarakat terhadap isu konservasi
per lokasi blok desa sampel
Blok Desa Persentase Responden Menurut Kategori
Sikap Masyarakat Terhadap Isu Konservasi
Total Kurang Mendukung
Mendukung Sukatani
16,67 16,67
Ciputri 5,00
11,67 16,67
Ginanjar 13,33
3,33 16,67
Cihanjawar 16,67
16,67 Nanggerang
16,67 16,67
Bojongmurni 16,67
16,67 Jumlah
18,33 81,67
100,00
Tingginya tingkat sikap dukungan masyarakat terhadap usaha pelestarian alam dan isu konservasi membuka peluang yang semakin besar untuk pelibatan dalam
kegiatan restorasi. Sementara tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan garapan menjadi penghambat pelibatan masyarakat dalam kegiatan
restorasi. Tipologi yang paling sesuai untuk pelibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi adalah Tipe IV dimana masyarakat mempunyai karakter tingkat sikap
dan atau kesadaran yang tinggi terhadap usaha pelestarian alam atau isu
84 konservasi dan kurang tergantung kepada lahan garapan di dalam kawasan
konservasi. 6.2.7. Tipologi Masyarakat Petani Penggarap Lahan Hutan
Tipologi masyarakat dirumuskan berdasarkan sikap dan kesadaran petani penggarap terhadap usaha pelestarian alam atau isu konservasi dan tingkat
ketergantungan terhadap lahan di dalam kawasan hutan. Asumsi dan standar skor serta penentuan kelas kategori yang digunakan dalam perumusan tipologi
bervariasi menurut variabel, komponen, dan faktor-faktor rasional penyusun tipologi masyarakat. Variabel, komponen, dan faktor-faktor rasional penyusun
tipologi masyarakat terkait dengan fenomena penggarapan lahan hutan yang dicerminkan oleh aspek ketergantungan petani penggarap terhadap lahan garapan
di dalam kawasan perluasan TNGGP dan aspek sikap masyarakat terhadap usaha pelestarian di kawasan perluasan TNGGP. Tingkat ketergantungan terhadap lahan
garapan dipengaruhi oleh faktor penguasaan lahan, jenis pekerjaan sampingan, dan tingkat beban ketergantungan keluarga. Sikap masyarakat dapat dicerminkan
dari sikap dan kesadaran masyarakat terhadap usaha-usaha pelestarian alam dan atau isu konservasi. Masyarakat petani penggarap lahan di dalam kawasan
perluasan TNGGP dikategorikan kedalam 3 tipe masyarakat petani penggarap sebagaimana disajikan pada Tabel 23 dan Gambar 3.
Tabel 23 Tipologi masyarakat petani penggarap lahan hutan di kawasan perluasan TNGGP
Tingkat Sikap Masyarakat Terhadap Usaha Pelestarian
Alam atau Isu Konservasi Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan di
dalam Kawasan Hutan Tergantung
Kurang Tergantung Tinggi
Tipe I 75,00 Tipe IV 6,67
Rendah Tipe II 16,67
Tipe III 1,67 Tipe III dapat diabaikan
85
Ketiga tipe tersebut akan berpengaruh pada pilihan pola penggunaan kawasan restorasi dan pilihan strategi pelaksanaan kegiatan restorasi sehingga dijadikan
dasar untuk penentuan varian desain fisik TPN. Tipologi masyarakat yang paling sesuai untuk pelibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi adalah Tipe IV
dimana masyarakat mempunyai karakter tingkat sikap dan atau kesadaran yang tinggi terhadap usaha pelestarian alam atau isu konservasi dan kurang tergantung
kepada lahan garapan di dalam kawasan konservasi sehingga dalam dinamikanya karakteristik masyarakat harus didorong pada tipe IV tersebut. Tipe IV ini
selanjutnya dapat disebut tipe Pro Konservasi, sedangkan tipe I dapat disebut tipe Pro Ekonomi dan Konservasi, dan tipe II dapat disebut tipe Pro Ekonomi.
6.2.8. Kelembagaan Masyarakat sekitar Kawasan Perluasan
Bentuk kelembagaan masyarakat sekitar kawasan hutan dapat dipilah kedalam 2 dua bagian yaitu: 1 bentuk-bentuk kelembagaan yang biasa terdapat
di pedesaan yang terkait dengan kepentingan pemerintahan desa dan kepentingan masyarakat di wilayah desa antara lain BPD, PKK, RW, RT, lembaga keamanan
desa HANSIP dan LINMAS, pengelola air minum desa PAMDES, Karang Taruna, kelompok petani desa, kelompok wanita tani, dan unit-unit organisasi
terkecil dari partai politik; dan 2 bentuk-bentuk kelembagaan yang terkait dengan
: Dinamika kesesuaian karakteristik masyarakat untuk pelibatan dalam kegiatan restorasi
Keterangan:
Gambar 3 Tipologi masyarakat petani penggarap menurut posisi kuadran Tipe Pro Ekonomi
dan Konservasi 75,00
Tipe Pro Konservasi
6,67 Tipe Pro
Ekonomi 16,67
Tipe III 1,67
PersepsiKesadaran Konservasi
Tingkat Ketergantungan Terhadap Lahan Hutan
86 kepentingan dan pengelolaan kawasan konservasi dan kegiatan restorasi, meliputi
kelompok organisasi volunteer antara lain Evergreen, GPO, dan kader konservasi. Kelompok petani desa beranggotakan masyarakat petani desa dan
tidak mencakup para petani penggarap lahan hutan di dalam organisasinya. Tidak semua desa sampel mempunyai lembaga kelompok tani desa.
Di kalangan masyarakat petani penggarap lahan kawasan hutan belum ada kelembagaan lokal yang mantap. Organisasi kelompok petani hutan belum
terbentuk. Kelembagaan petani penggarap lahan hutan dalam keikut sertaannya pada kegiatan restorasi kawasan hanya berupa kelompok kerja RHL atau adopsi
pohon yang beranggotakan petani penggarap lahan eks PHBM-Perhutani dan para petani pengggarap baru yang ikut serta dalam program RHL dan adopsi pohon.
Struktur organisasi kelompok kerja hanya terdiri Ketua, Wakil Ketua dan Anggota kelompok. Dalam pelaksanaan kegiatan restorasi ini sebagian lokasi sudah
mempunyai LSM pendamping antara lain Green Radio dan CII. Beberapa kelembagaan lokal yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan kawasan dan
kegiatan restorasi kawasan TNGGP dapat diperiksa dalam Lampiran 13. Bentuk kelembagaan lain berupa kearifan lokal atau sistem nilai yang menjadi prinsip
para petani penggarap lahan kawasan hutan di kawasan Bidang Wilayah PTN
Cianjur adalah bahwa ‘Leuweung hejo masyarakatna bisa ngejo’ yang dapat
diartikan sebagai ‘Lahan kawasan hutan kembali hijau berhutan dan petani penggarap bisa hidup sejahtera’. Kelembagaan lokal ini bisa dieksplorasi dan
dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan.
6.3. Konflik Pemanfaatan SDA Kawasan Perluasan TNGGP
Salah satu faktor utama penyebab gangguan di TNGGP adalah faktor aktivitas penduduk sekitar kawasan perluasan TNGGP. Jenis gangguan yang
disebabkan oleh aktivitas penduduk sekitar adalah berupa penggarapan lahan kawasan hutan dan pencurian hasil hutan Balai TNGP, 1999 dalam Basuni 2003.
Pemanfaatan SDA dimaksudkan sebagai penggunaan SDL dan pemanfaatan hasil hutan sebagai potensi SDH yang terdapat di dalam kawasan perluasan TNGGP
oleh masyarakat. Konflik kepentingan atas SDH dan SDL sering diawali oleh sikap, yang kemudian diikuti oleh penggunaan, pemanfaatan, dan tekanan atas
87 SDA dan SDH tersebut. Sikap masyarakat akan potensi SDA termasuk SDH dan
SDL yang terdapat di dalam dan disekitar kawasan TNGGP saat ini masih berorientasi pada nilai ekonomis untuk mendapatkan sumber pendapatan. Bentuk-
bentuk konflik pemanfaatan SDH yang ada di kawasan perluasan TNGGP meliputi penggarapan lahan, pencurian hasil hutan khususnya kayu bangunan dan
kayu bakar, perburuan satwa dilindungi, intimidasi dan ancaman keamanan dari petugas kepada masyarakat dan sebaliknya sampai kepada bentuk tindak kriminal
kolektif berupa perusakan pos petugas atau kantor Resort TNGGP, dan gangguan terhadap tanaman pokok tanaman restorasi berupa cara penanaman dan
pemanenan tanaman pangan. Banyaknya jumlah desa yang ada di dalam dan di sekitar kawasan TNGGP
dan panjangnya batas kawasan TNGGP menunjukkan tingginya tingkat kerawanan keamanan kawasan TNGGP dan potensi konflik. Tingginya tingkat
kerawanan ini juga terlihat dari panjangnya batas kawasan TNGGP. Semakin panjang batas kawasan maka tingkat gangguan dan kerawanasn keamanan akan
semakin tinggi. Basuni 2003 menjelaskan bahwa tingkat gangguan kawasan konnservasi yang berdampak negatif terhadap pengelolaan kawasan konservasi
tidak hanya berupa arus materi dan energi yang keluar dari kawasan konservasi, tetapi juga meliputi arus materi dan energi yang masuk kedalam kawasan
konservasi. Potensi desa-desa di sekitar kawasan taman nasional memberikan peluang
pekerjaan terbesar di sektor pertanian sehingga budaya masyarakat desa didominasi oleh budaya pertanian. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki
petani penggarap lahan hutan, memaksa petani penggarap lahan tidak punya pilihan lain kecuali tetap sebagai petani. Kebutuhan lahan menjadi alasan
masyarakat menggarap lahan kawasan perluasan TNGGP disamping aspek historis bahwa mereka sudah lama menggarap lahan hutan dengan memenuhi
aturan penggarapan ketika kawasan dikelola oleh Perum Perhutani.
Kebijakan perluasan TNGGP SK Menhut no 1742003 pada tahun 2003
menyebabkan petani penggarap ex program PHBM-Perum Perhutani kehilangan akses atas penggunaan SDL yang selama ini menjadi tempat bergantung untuk
mendukung kebutuhan hidupnya. Kebijakan tersebut berimplikasi pada perubahan
88 fungsi kawasan hutan dan penggunaan lahan yang lebih ketat, serta pilihan
tindakan manajemen yang tidak seluas pada manajemen SDH yang dikelola Perum Perhutani dimana menurut aturan perundangan yang berlaku menyatakan
larangan keberadaan kegiatan yang dapat mengancam keutuhan kawasan dan larangan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan
zona lain dari taman nasional, termasuk kegiatan pertanian di dalamnya. Tujuan pengelolaan SDA sebagaimana amanah UUD pasal 33 dan juga
tujuan konservasi SDA hayati dan ekosistemnya sebagaimana tertuang dalam UU no 5 tahun 1990 pasal 3 adalah untuk mendukung usaha peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Hal ini disadari oleh Perum Perhutani selaku pengelola kawasan sebelumnya dan merangkul
masyarakat untuk ikut terlibat sebagai pemain dalam pengelolaan SDA kedalam bentuk program ‘PHBM-Perum Perhutani’ guna mencapai tujuan pengelolaan
kawasan. Melalui program ini masyarakat mendapatkan lahan garapan di dalam kawasan hutan dengan kewajiban mentaati aturan yang ditetapkan oleh pengelola.
Penggarapan lahan di dalam kawasan perluasan TNGGP oleh masyarakat merupakan bentuk akses masyarakat kedalam SDA yang secara normatif
penguasaan SDA tersebut dimiliki oleh negara state property. Masuknya petani penggarap lahan kedalam program PHBM-Perum Perhutani ini merupakan bentuk
akses legal masyarakat terhadap sumberdaya hutan dan lahan di kawasan perluasan TNGGP.
Kegiatan pertanian di dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang sebelumnya diperbolehkan oleh Perum Perhutani menjadi sesuatu yang
dilarang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku UU Nomor 5 Tahun 1990. Hal ini memunculkan konflik kepentingan antara masyarakat dan
pihak pemerintah selaku pengelola TNGGP. Pemerintah memandang hutan berdasarkan penguasaan property right sehingga berdasarkan peraturan
perundang-undangan, SDA kawasan TNGGP dimiliki oleh negara state property. Berdasarkan hak dan kewenangannya, dan berpegang pada peraturan
perundang-undangan, pemerintah melarang masyarakat untuk memanfaatkan SDH di dalam kawasan TNGGP. Perbedaan pandangan ini menunjukkan
perbedaan kepentingan terhadap keberadaan kawasan perluasan TNGGGP yang