Perumusan Model Konseptual TPN-GGP

92 Tabel 25 Tingkat toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya Jenis Penutupan Lahan Kondisi Fisiografi Lahan Datar sampai Berombak Bergelombang sampai Berbukit 1 Bergunung 2 Hutan Alam PrimerHutan Alam Sekunder 3 TBS TBR TBR Hutan Tanaman dan Lahan Pertanian TBT TBS TBR Tanah Kosong dan Semak Belukar TBT TBT TBS Keterangan: 1 Kelerengan 0-15 TBR = Toleransi Biofisik Rendah 2 Kelerengan 15-40 TBS = Toleransi Biofisik Sedang 3 Kelerengan 40 TBT = Toleransi Biofisik Tinggi Pengelompokan rumusan pola-pola biofisik kedalam ‘toleransi biofisik’ tersebut mencerminkan keterkaitan hubungan tingkat resiko lingkungan biofisik dengan tingkat kesesuaian dan atau toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya sebagai unsur penting aplikasi model dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi sesuai kondisi ekologis dan karakteristik biofisik kawasan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maka kawasan perluasan tersebut perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan ke kondisi ekosistem alamiahnya, oleh karena itu kawasan ini perlu dilakukan restorasi dengan menanam tanaman jenis asli khususnya jenis endemik agar kawasan dapat memenuhi fungsinya sebagai kawasan taman nasional. Hasil analisis data statistik BBTNGGP 2009 menunjukkan bahwa kawasan perluasan dialokasikan sebagai Zona Pemanfaatan, Zona Tradisional, Zona Rehabilitasi, dan Zona Khusus. Keempat zona yang terdapat dalam kawasan perluasan TNGGP tersebut perlu direstorasi sehingga kawasan perluasan TNGGP dapat dikatakan sebagai kawasan restorasi. Kawasan perluasan didominasi oleh Zona Rehabilitasi, diikuti oleh Zona Pemanfaatan dan zona Tradisional. Restorasi dengan konsep TPN dapat diaplikasikan untuk keempat zona yang ada di dalam kawasan perluasan TNGGP melalui aplikasi varian desain fisik TPN guna mendukung tujuan penetapan zona terkait. Penetapan zona dalam kawasan perluasan TNGGP berdasarkan tujuan spesifik. BBTNGGP 2009 93 menjelaskan antara lain bahwa: 1 Tujuan penetapan Zona Rehabilitasi adalah untuk memulihkan kondisi hutan yang telah mengalami penurunan kualitas dan fungsi, dengan menanam tanaman aslinya dan bila kawasan ini sudah mengalami suksesi sempurna atau sudah menjadi hutan primer kembali maka zona ini dapat diperuntukan bagi fungsi lain; 2 Zona Tradisional diperuntukkan guna keperluan masyarakat dengan pemanfaatan yang dilaksanakan secara tradisional, misalnya dengan menanam jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan makanan, obat-obatan, bahan baku kerajinan atau Hasil Hutan Non Kayu lainnya. Kegiatan masyarakat tersebut telah dilaksanakan sejak sebelum kawasan tersebut dikelola oleh Taman Nasional; 3 Tujuan penetapan Zona Tradisional adalah untuk pemanfaatan sumber daya alam taman nasional diareal ex Perum Perhutani oleh masyarakat dalam batas-batas tertentu dan dengan menggunakan pola pemanfaatan tradisional seperti pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK dengan tidak merubah bentang alam dan merusak tegakan. Fungsi peruntukan Zona Tradisional adalah untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya; 4 Zona Konservasi Owa Jawa, adalah bagian taman nasional yang memiliki potensi, daya dukung, dan aman untuk pelepasliaran Owa Jawa, zona ini sangat dibutuhkan mengingat kawasan TNGGP merupakan salah satu wilayah yang memiliki daya dukung yang baik dalam pelestarian owa jawa. 6.4.2. Preferensi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman Restorasi dan Pola Pemanfaatan Kawasan Perluasan TNGGP Hasil analisis menunjukkan bahwa preferensi masyarakat terhadap jenis tanaman untuk diusahakan dan dikembangkan di lahan hutan masih didominasi oleh jenis-jenis tanaman pertanian dengan orientasi nilai ekonomis. Preferensi jenis tanaman asli dikembangkan karena ketentuan dari pengelola kawasan, bukan karena kesadaran dan keinginan untuk kepentingan melestarikan kawasan taman nasional. Sebaran persentase preferensi jenis tanaman yang menjadi pilihan petani untuk dikembangkan mengelompok kedalam 3 kelompok yaitu preferensi pada tanaman pangan atau pertanian 60, preferensi pada tanaman MPTS 17, 94 preferensi pada tanaman pangan dan MPTS 20. Preferensi terhadap pengembangan tanaman obat dan keragu-raguan petani penggarap dengan tidak bersedia menunjukkan preferensi jenis tanaman yang diinginkannya dapat diabaikan karena menunjukkan nilai persentase yang sangat kecil. Sebaran preferensi petani penggarap terhadap jenis tanaman yang ingin dikembangkan disajikan dalam Tabel 16. Tabel 26 Sebaran persentase responden menurut preferensi pada jenis tanaman per blok desa sampel No Blok Desa Persentase Responden pada Preferensi Jenis Tanaman Jenis Asli Endemik Tanaman Pangan Tanaman MPTS Tanaman Pangan+ MPTS Tanaman Pangan+ Obat Abstain 1 1 Sukatani 15.00 1.67 2 Ciputri 11.67 3.33 1.67 3 Ginanjar 16.67 4 Cihanjawar 15.00 1.67 5 Nanggerang 15.00 1.67 6 Bojongmurni 1.67 15.00 Jumlah 60 16,67 20 1,67 1,67 Keterangan: 1 Responden tidak bersedia menentukan piilihan ragu2 Pola penggunaan kawasan merupakan upaya penggunaan kawasan perluasan TNGGP untuk mencapai keterpaduan tujuan restorasi ekologis dan sosial-ekonomi yang diaplikasikan pada karakteritik kondisi biofisik kawasan. Pola penggunaan kawasan juga merupakan perpaduan konsep kepentingan ekologi dihubungkan dengan kepentingan ekonomi melalui pelibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi dan konsep ekowisata. Prinsip dan muatan tujuan yang terkandung dalam konsep pola penggunaan kawasan ini berpijak pada prinsip pembangunan berkelanjutan sehingga pola penggunaan kawasan dalam kegiatan restorasi kawasan konservasi mengandung muatan tujuan-tujuan ekologis dan sosial-ekonomis. Dari uraian di atas maka perumusan pola penggunaan kawasan harus mencerminkan kepentingan ekologikonservasi dan kepentingan sosial- ekonomi dengan memadukan konsep ekowisata sebagai basis penggunaan kawasan konservasi. Konsep ekowisata dapat dituangkan melalui pilihan jenis tanaman, pola penanaman, dan penataan ruang yang seindah mungkin serta penggalian dan pengembangkan potensi kawasan untuk tujuan ekowisata. 95 Kepentingan ekologi dan konservasi mengarah pada pilihan jenis-jenis asli dan endemik untuk memenuhi tuntutan kebutuhan restorasi kawasan konservasi dan kepentingan sosial-ekonomi mengarah pada preferensi dan pilihan jenis-jenis tanaman untuk memenuhi tuntutan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Dalam pola penggunan ini terbuka peluang untuk negosiasi antara petani penggarap dan BBTNGGP atas penentuan jenis dan komposisi jenis tanaman restorasi dan jenis tanaman budidaya. Ditinjau dari aspek kepentingan stakeholder maka pola penggunaan kawasan dalam tahapan perumusan model konseptual TPN merupakan alternatif bentuk pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Pola penggunaan kawasan menggabungkan kepentingan ekonomi masyarakat dan kepentingan konservasi. Kepentingan masyarakat tercermin dari pengaturan preferensi jenis tanaman dan kepentingan pemegang otorita manajemen kawasan konservasi BBTNGGP tercermin dari jenis-jenis asli TNGGP yang merupakan jenis pokok tanaman dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Penentuan dan pengaturan komposisi jenis tanaman untuk kedua macam kepentingan tersebut dapat berbentuk graduasi komposisi jenis tanaman dalam pelaksanaan restorasi kawasan perluasan. Ke arah dalam semakin mendekati kawasan asli taman nasional maka komposisi jenis tanaman semakin mementingkan jenis-jenis tanaman asli atau endemik, dan sebaliknya ke arah luar mendekati batas terluar kawasan perluasan maka semakin menekankan pertimbangan preferensi jenis tanaman bagi kepentingan ekonomi masyarakat. Graduasi komposisi jenis ini terkait dengan penentuan jenis tanaman yang diusahakan merupakan kombinasi yang dipandang dari sudut ekonomi berada dalam segmen pareto improvement. Berdasarkan uraian tersebut di atas maka pola penggunaan dapat dirumuskan berdasarkan resiko lingkungan melalui hasil rumusan toleransi biofisik dan preferensi atau pilihan jenis tanaman dalam pelaksanaan kegiatan restorasi yang dikelola untuk memenuhi tujuan ekologi, ekonomi, dan sosial. Rumusan pola-pola penggunaan tersebut mencerminkan variasi tingkat toleransi biofisik terhadap pengembangan tanaman budidaya dan variasi pilihan jenis tanaman yang akan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Variasi pilihan jenis tanaman untuk kepentingan-kepentingan tersebut harus sesuai 96 dengan daya dukung potensi SDA dan diutamakan untuk kepentingan konservasi dan aplikasi prinsip-prinsip konservasi diikuti dengan pertimbangan nilai ekonomi khususnya dalam konteks ekowisata. Penentuan pilihan jenis tanaman yang digunakan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi tetap berpedoman pada konsep manajemen kawasan konservasi dan aturan perundangan konservasi. Untuk beberapa bagian kawasan restorasi dapat dikembangkan sebagai tempat yang merupakan kawasan preservasi informasional dari segala komponen biodiversitas dan potensi plasma nutfah yang dikandung di dalam kawasan konservasi sehingga merupakan sebuah miniatur taman nasional ditinjau dari sudut biodiversitas dan ditujukan untuk semaksimal mungkin memenuhi fungsi dan peran taman nasional. Dengan demikian pola penggunaan kawasan dalam tahapan perumusan model konseptual kelembagaan restorasi dengan konsep TPN merupakan alternatif bentuk win-win solution terhadap kepentingan stakeholder masyarakat khususnya petani penggarap lahan hutan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi yang menggabungkan kepentingan ekonomi masyarakat dan kepentingan konservasi dalam konteks ekowisata. Kepentingan masyarakat tercermin dari pengaturan jenis-jenis tanaman budidaya pertanian dalam bentuk preferensi jenis tanaman dan kepentingan pengelola kawasan konservasi tercermin dari jenis-jenis asli dan jenis-jenis endemik dari kawasan konservasi yang merupakan jenis tanaman pokok dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Dari hasil analisis telah diperoleh 8 delapan variasi pola penggunaan kawasan restorasi sebagaimana tertuang dalam matriks Tabel 26. Tabel 27 Perumusan pola penggunaan kawasan perluasan TNGGP Tingkat Toleransi Biofisik Preferensi Jenis Tanaman 1 Jenis Tanaman AsliEndemik Campuran Jenis Asli dan Budidaya Pertanian Jenis Tanaman Budidaya Pertanian Rendah 2 VIII V - 3 Sedang VII IV II Tinggi VI III I Keterangan : 1 Pilihan jenis tanaman sesuai dengan aturan pengelola kawasan BBTNGGP dan kesepakatan. 2 Terkait dengan jangka waktu produksi komoditas tanaman, yaitu: tanaman semusim, tanaman tahunan, dan tanaman perenial. 3 Kawasan dengan tingkat toleransi rendah tidak layak jika dialokasikan untuk penggunaan dominan tanaman budidaya pertanian. 97 Kawasan dengan tingkat toleransi biofisik rendah tidak layak dialokasikan untuk penggunaan dominan jenis tanaman budidaya pertanian. Reklasifikasi pola penggunaan kawasan dapat dilakukan berdasarkan tingkat kompatibilitas toleransi biofisik terhadap pengembangan tanaman budidaya. Pengelompokan kedalam tingkat kompatibilitas toleransi biofisik tersebut mencerminkan tingkat resiko dan toleransi lingkungan ekologis terkait dengan penggunaan lahan mengingat karakteristik fisiogafi, variasi penutupan lahan, dan karakteristik jenis tanaman yang akan digunakan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Diperoleh 3 tiga kelompok kompatibilitas toleransi penggunaan kawasan sebagai berikut: 1 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Dominan Ekonomi terdiri dari pola Penggunaan I dan II; 2 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Seimbang Ekonomi dan Ekologi terdiri dari pola Penggunaan III, IV, dan V; dan 3 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Dominan Ekologi terdiri dari pola Penggunaan VI, VII, dan VIII.

6.4.3. Desain Fisik TPN-GGP

Varian desain fisik TPN dirumuskan berdasarkan tinjauan dari segi kompatibilitas tujuan pengggunaan kawasan dengan karakteristik kondisi masyarakat dalam rangka pelibatannya dalam kegiatan restorasi. Semakin tinggi tingkat sikap masyarakat petani penggarap lahan hutan terhadap dukungan usaha konservasi maka semakin besar peluang masyarakat untuk dilibatkan dalam pola penggunaan kawasan yang mengutamakan kepentingan ekologi. Semakin rendah tingkat sikap masyarakat terhadap usaha konservasi maka pelibatannya semakin diarahkan pada penggunaan lahan yang semakin mengutamakan kepentingan ekonomi. Varian desain fisik juga mencerminkan upaya penggunaan kawasan yang direstorasi untuk mencapai tujuan restorasi ekologis dan ekonomi yang diaplikasikan pada karakteritik kondisi biofisik kawasan dengan mempertimbangkan kesesuaian alokasi zonasi taman nasional dan karakteristik kondisi sosial-ekonomi masyarakat sehingga desain fisik TPN juga mencerminkan toleransi biofisik, preferensi jenis tanaman, kepentingan ekologi, kepentingan ekonomi, dan karakteristik masyarakat petani penggarap lahan hutan. Dengan demikian maka desain fisik TPN dapat dirumuskan berdasarkan kompatibilitas 98 toleransi penggunaan kawasan dengan tipologi masyarakat petani penggarap lahan hutan. Dari hasil analisis diperoleh 6 enam variasi desain fisik TPN sebagaimana tertuang dalam matriks Tabel 27. Tabel 28 Perumusan varian desain fisik TPN Kompatibilitas Toleransi Pemanfaatan Tipologi Masyarakat Petani Penggarap Lahan Hutan Pro Konservasi Pro Ekonomi dan Konservasi Pro Ekonomi Dominan Ekologi A - - Seimbang Ekologi dan Ekonomi B D - Dominan Ekonomi C E F Reklasifikasi varian desain fisik TPN dapat dilakukan berdasarkan tingkat kompatibilitas implementasi TPN atas varian-varian desain fisik TPN dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi dengan pelibatan masyarakat. Pengelompokan kedalam tingkat kompatibilitas implementasi TPN berdasarkan varian desain fisik TPN dan variasi karakteristik masyarakat petani pengarap yang akan dilibatkan dalam implementasi TPN dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi dengan konsep TPN. Diperoleh 3 tiga kelompok kompatibilitas untuk implementasi TPN sebagai berikut: 1 Kompatibilitas Implementasi TPN Tinggi terdiri dari varian desain fisik TPN A; yang selanjutnya dapat disebut sebagai ‘TPN-Hutan’ yaitu varian desain fisik TPN berbentuk hutan; 2 Kompatibilitas Implementasi TPN Sedang terdiri dari varian desain fisik TPN B dan D; yang selanjutnya dapat disebut sebagai ‘TPN Seimbang Kebun-Hutan’ yaitu varian desain fisik TPN berbentuk kebun campuran; dan 3 Kompatibilitas Implementasi TPN Rendah terdiri dari varian desain fisik C, E dan F; yang selanjutnya dapat disebut sebagai varian desain fisik ‘TPN Dominan Kebun’ yaitu varian desain fisik TPN dengan dominasi jenis tanaman budidaya seperti agroforestry.

6.4.4. Model Kelembagaan TPN-GGP

Perumusan model kelembagaan dengan mengingat pendekatan pelaksanaan kegiatan restorasi saat ini dan aturan perundangan yang ada. 99 Sementara kawasan perluasan memerlukan restorasi, disisi lain masyarakat ingin mempertahankan aksesnya sehingga berimplikasi kepada bentuk pendekatan dan strategi pelaksanaan kegiatan restorasi. Dari pembelajaran restorasi tersebut diketahui bahwa salah satu akar masalah penting terkait dengan restorasi kawasan perluasan TNGGP adalah masalah tercabutnya hak akses masyarakat atas SDL dan SDH di dalam kawasan hutan. BBTNGGP telah melakukan beberapa model pendekatan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi antara lain melalui program RHLGerhan, RHL Partisipatif, dan Adopsi Pohon dengan hasil yang belum memuaskan; dan yang terakhir adalah RHL Konservasi yang diimulai tahun 2011 dimana hasilnya belum dapat dilihat. Banyaknya jumlah petani penggarap di lahan kawasan perluasan dan pola penggunaan lahan yang 84 berbasiskan pertanian maka tekanan penduduk terhadap TNGGP adalah sangat tinggi. Oleh karena itu beberapa program restorasi yang bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan petani penggarap lahan hutan dari dalam kawasan terus digalakkan seperti program Adopsi Pohon, Adopsi Pohon Dunia, Gerakan Rehabilitasi Lahan Partisipatif, Gerakan Rehabilitasi Lahan, dan Pengelolaan Batas Luar Kawasan Hutan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Yang paling utama dalam kegiatan tersebut adalah adanya batas waktu keluarnya para petani penggarap lahan hutan dan adanya program pemberdayaan masyarakat community development dengan alih mata pencarian BBTNGGP, 2009. Terkait dengan perubahan fungsi kawasan yang semula kawasan hutan produksi menjadi kawasan konservasi, penghentian kegiatan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu HHBK oleh masyarakat perlu penanganan khusus agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat yang berdampak buruk bagi kawasan. Oleh karena itu kebijakan yang ditempuh oleh pengelola adalah dengan memberikan ijin pemanfaatan HHBK dengan diimbangi oleh proses rehabilitasi, pengamanan hutan dan program penghentian kegiatan dengan alih mata pencarian di luar kawasan hutan BBTNGGP, 2009. Beberapa program restorasi BBTNGGP yang ada, cepat atau lambat bertujuan untuk mengurangi tekanan penduduk dan mengeluarkan petani penggarap lahan hutan dari dalam kawasan hutan dengan alih mata pencarian di luar kawasan hutan. Program penghentian kegiatan dengan 100 alih mata pencarian di luar kawasan hutan merupakan hal yang sangat berat untuk direalisasikan kecuali dengan penegakan hukum. Sementara BBTNGGP tidak dapat melakukan penegakan hukum sebagaimana mestinya dengan pertimbangan dampak dan gejolak yang mungkin terjadi di masyarakat yang justru berdampak buruk bagi kawasan taman nasional. Disisi lain budaya pertanian merupakan basis perekonomian masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa program- program restorasi tersebut belum menyelesaikan masalah dengan tuntas. Gangguan masyarakat yang berupa penggarapan lahan dan pemanfaatan hasil hutan atau akses masyarakat terhadap SDL dan SDH di kawasan perluasan ini perlu dicarikan alternatif solusi yang merupakan ‘win win solution’. Dikaitkan dengan pergeseran paradigma pengelolaan SDH khususnya paradigma pengelolaan kawasan konservasi dan tujuan konservasi sumberdaya alam hayati serta aturan perundangan pengelolaan SDH dan turunannya maka tidak sepantasnya masyarakat dikeluarkan dari aksesnya terhadap SDH dan SDL yang selama ini telah menjadi bagian kehidupan dan penghidupan mereka. Masyarakat harus dilibatkan dalam kegiatan pengelolaan SDH dan SDL yang ada di kawasan konservasi. Masyarakat harus diposisikan sebagai bagian penting dari manajemen kawasan konservasi, dibangun dan dibina untuk menjadi mitra otorita taman nasional dalam pengelolaan kawasan konservasi sehingga nantinya bisa terwujud konservasi oleh masyarakat. Jika konservasi oleh masyarakat ini bisa diwujudkan maka akan banyak mengurangi energi dan beaya yang harus dikeluarkan oleh pemegang otorita manajemen kawasan konservasi dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Dengan demikian diperlukan bentuk pelibatan masyarakat dalam model restorasi yang berbeda dari model-model kegiatan restorasi yang sudah ada, yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk tetap melanjutkan kepentingan ekonominya terhadap SDL dan SDH dengan menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan kegiatan restorasi khususnya dan tujuan konservasi pada umumnya. Perumusan model kelembagaan TPN-GGP dengan mengingat aturan per- Undang-Undangan restorasi yang ada. Berdasarkan aturan perundangan yang ada yaitu UU no 41 tahun 1999 tentang kehutanan, UU no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati, dan peraturan perundangan turunannya maka 101 terdapat 25 jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat di dalam kawasan hutan. Matrik kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan konservasi bervariasi menurut zonasi yang ada di TNGGP, selengkapnya disajikan dalam Lampiran14. North menjelaskan bahwa ‘ekonomi kelembagaaan baru’ mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dll sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar Yustika 2006. Hodgson 1998 dalam Yustika 2006 menegaskan antara lain bahwa analisis ekonomi kelembagaan tidak diawali dengan membangun model-model matematis, namun diawali dari gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab akibat. Miller 1988 dalam Yustika 2006 menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi kelembagaan lebih menekankan instrumen ‘struktur kekuasaan’ untuk menganalisis fenomena ekonomi. Pejovich 1995 dalam Yustika 2006 menjelaskan bahwa kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yang beroperasi pada dua level, yaitu: 1 Pengembangan dan spesifikasi kelembagaan yang menyangkut aturan main rules of the game; dan 2 Kegiatan ekonomi yang menyangkut interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia, yang menyangkut permainan itu sendiri game. Selanjutnya Yustika 2006 menjelaskan bahwa pernyatan-pernyataan tersebut merupakan basis kerangka metodologis ekonomi kelembagaan sehingga struktur dan perilaku masyarakat dalam perspektif ekonomi kelembagaan harus mendapat ruang yang lebar dalam setiap analisis ekonomi kelembagaan. Ekonomi kelembagaan tidak membangun manusia ekonomi, tetapi mengenai apa yang manusia lakukan dan pikirkan. Berdasarkan uraian di atas maka dalam perumusan kelembagaan TPN-GGP, struktur terbangun oleh stakeholder yang terkait dengan kegiatan restorasi yaitu BBTNGGP, masyarakat petani penggarap lahan, dan stakeholder lain yang terkait dengan kegiatan restorasi kawasan ataupun yang terkait dengan pengembangan TPN-GGP. Sedangkan pengembangan aturan main mencakup peran masing- masing stakeholder yang dituangkan kedalam 5 lima tahap kegiatan dalam implementasi TPN-GGP yaitu: 1 penentuan jenis tanaman yang digunakan dalam kegiatan restorasi; 2 pengadaan tanaman restorasi; 3 pola penanaman tanaman 102 restorasi; 4 pola pemeliharaan tanaman restorasi; dan 5 pola pemanfaatan hasil kegiatan restorasi. Penelitian ini menggunakan konsep rekayasa sosial dengan kerangka analitik kelembagaan dari Pakpahan 1989 untuk menjelaskan kasus kelembagaan restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP sebagai landasan penelitian empiris yang ditujukan untuk perumusan alternatif model kelembagaan guna mencapai kinerja yang diinginkan pada aktivitas restorasi biodiversitas khususnya dan aktivitas konservasi pada umumnya. Pakpahan 1989 menjelaskan antara lain bahwa bagian-bagian penting dari proses rekayasa sosial adalah: 1 Analisis tentang dampak batas yurisdiksi, 2 Pengaturan hak kepemilikan atau property rights, dan 3 Aturan representasi dalam pembuatan keputusan. Penelitian rekayasa sosial menghasilkan preskripsi yang memberikan rekomendasi apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya diputuskan oleh pengambil keputusan, maka penelitian rekayasa sosial ditentukan oleh orientasi metodologi tepatnya adalah orientasi metodologi pragmatisme dengan workability sebagai kaidah uji obyektivitasnya. Sumber interdependensi ditentukan oleh karakteristik inheren dari komoditas seperti inkompatibilitas, high exclusion cost goods, eksternalitas, skala ekonomi, joint impact goods,ongkos transaksi, surplus, dan interdependensi antar generasi. Konteks suatu penelitian rekayasa sosial adalah masalah nyata yang merupakan penelitian problem solving. Dengan demikian output penelitian adalah suatu preskripsi atau suatu resep. Rekayasa sosial merupakan upaya memecahkan masalah nyata yang dihadapi masyarakat melalui perubahan kelembagaan sehingga mengatur perubahan dalam batas yurisdiksi, property rights, dan aturan representasi. Berdasarkan penjelasan Pakpahan 1989 tersebut di atas maka pengaturan batas yurisdiksi, property rights, dan aturan representasi merupakan bagian-bagian penting yang dirumuskan untuk setiap varian desain fisik TPN yang ditemukan sehingga secara keseluruhan merupakan model kelembagaan restorasi dengan pendekatan konsep TPN. 103 Batas Yurisdiksi Masuknya komponen tipologi masyarakat petani penggarap lahan dalam perumusan model kelembagaan merupakan alternatif masuknya unsur pelibatan masyarakat petani penggarap lahan hutan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Model kelembagaan ini juga dimaksudkan untuk mencari titik temu yang mempertimbangkan pengaruh dan kepentingan-kepentingan dari pengelola taman nasional dan masyarakat petani penggarap lahan hutan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi. Varian desain fisik TPN mencerminkan preferensi jenis tanaman, iptek, aturan perundangan dalam rangka usaha pencapaian tujuan konservasi melalui pelaksanaan kegiatan restorasi biodiversitas serta kepentingan ekonomi masyarakat, serta tujuan pengembalian hak akses masyarakat. Tipologi masyarakat petani penggarap lahan hutan mencerminkan ketergantungan dan kebutuhan masyarakat terhadap SDL hutan. Dari kedua komponen tersebut dapat dirumuskan bentuk konkrit dari alternatif model kelembagaan yang sesuai yaitu berupa kelembagaan partisipatif dengan level partisipatif yang sesuai dengan varian desain fisik dan tipologi masyarakat. Model kelembagaan mencerminkan level partisipatif masyarakat untuk tipologi tertentu pada varian desain fisik TPN tertentu. Penetapan kelembagaan berdasarkan pada apa yang dibolehkan terkait pelibatan masyarakat dalam implementasi TPN. Kelembagaan yang terbentuk merupakan kelembagaan partisipatif dengan level partisipatif yang sesuai dengan karakteristik masyarakat yang dilibatkan dan kondisi ekologis kawasan berupa tutupan lahan. Reklasifikasinya berdasarkan tipe partisipasinya. Pembangunan partisipatif adalah proses melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat sehingga partisipasi dapat dimaknai sebagai ambil bagian atau share dalam suatu aktivitas pembangunan Syahyuti, 2006. Landasan teori yang mementingkan peran kelembagaan terletak pada masalah kerjasama kemanusiaan. Keberadaan kelembagaan adalah untuk menurunkan ketidakpastian yang tercakup dalam interaksi manusia. Sumber ketidakpastian adalah kompleksitas masalah yang hendak diselesaikan dan software penyelesaian masalah yang dimiliki individu North 1991. Dengan menggunakan pendekatan partisipatif dalam pembangunan masyarakat di sekitar kawasan hutan, Suharjito 2004 menemukan 104 dampak dari pembangunan tersebut adalah meningkatnya kesadaran masyarakat, terbangunnya komunikasi dalam menyampaikan aspirasi yang lebih baik antara masyarakat dengan dinas kehutanan dan diimplementasikannya pengetahuan yang diperoleh dari petani lainnya. Penentuan batas yurisdiksi dicerminkan oleh penentuan hak dan kewajiban dalam akses SDL dan SDH. Pengaturan batasan hak dan kewajiban masyarakat dalam akses pada SDL dan SDH diatur oleh pemegang otorita pengelolaan kawasan dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku. Pengaturan hak dan kewajiban ini bervariasi menurut varian desain fisik TPN yang telah terumuskan. Hak dan kewajiban untuk tiap tahapan implementasi TPN dalam pelaksanaan kegiatan restorasi juga bergantung pada kesepakatan yang dibuat antara masing-masing pihak yaitu masyarakat petani penggarap dan atau pihak lain dengan pemegang otorita pengelolaan kawasan BBTNGGP. Hasil analisis ditinjau dari aspek kelembagaan dalam pelaksanaan kegiatan restorasi yang melibatkan masyarakat, dengan mengacu Arstein 1969 dalam Setyowati 2006 menghasilkan 6 enam model kelembagaan partisipatif yang menunjukkan 4 empat level partisipatif yang sesuai non level, tokenisme, kemitraan, dan pendelegasian kontrol sebagaimana dituangkan dalam Tabel 28. Tabel 29 Perumusan model kelembagaan restorasi Kompatibilitas Implementasi TPN Tipologi Masyarakat Petani Penggarap Lahan Pro Konservasi Pro Ekonomi dan Konservasi Pro Ekonomi TPN-Hutan f - - TPN Seimbang Kebun’ g c-d - TPN Dominan Kebun g-h e a-b Keterangan: Level partisipatif a. Manipulasi non level partisipasi b. Terapi non level partisipasi c. Informasi d. Konsultasi e. Placation f. Kemitraaan g. Pendelegasian wewenang h. Kontrol masyarakat Arah matriks perumusan kelembagaan tersebut menunjukkan bahwa ke arah atas kolom menunjukkan pemenuhan tujuan konservasi yang semakin baik, dan ke arah kanan baris menunjukkan tipologi yang semakin rawan terhadap 105 pencapaian tujuan restorasi. Dari model kelembagaan restorasi yang dihasilkan, selanjutnya dilakukan reklasifikasi berdasarkan tipe partisipasi mengacu Probst et al. 2003 dan diperoleh 4 empat tipe partisipasi, yaitu: 1 Contractual participation terdiri dari level-level manipulasi, terapi, dan informasi; 2 Consultative participation terdiri dari level konsultasi dan placation. 3 Collaborative participation terdiri dari level kemitraan; dan 4 Collegiate partisipation terdiri dari level pendelegasian dan kontrol masyarakat. Property Rights Hak Kepemilikan Pengaturan hak kepemilikan sumberdaya property rights pada kelembagaan TPN-GGP merupakan pengaturan hak atas properti tanaman, mencakup pengaturan hak penguasaan atas hasil tanaman restorasi dan mekanisme pengaturan pemanfaatan hasil restorasi kawasan konservasi dimana masyarakat dilibatkan. Yustika 2006 menjelaskan bahwa konsep kontrak dalam ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menurut Richter adalah konsep mengenai hak kepemilikan property rights. Asumsi dasarnya adalah masing-masing jenis pertukaran hak kepemilikan dapat dimodelkan sebagai transaksi yang mengatur kontrak tersebut Binner 1999 dan tipe kontrak dapat dipilah kedalam tiga jenis: yaitu teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan teori kontrak relasional. Furubotn and Richter 2000. Dua tipe penegakan kesepakatan atau kelembagaan yang eksis, yaitu tipe aturan formal dan tipe aturan informal. Pengaturan hak atas properti tanaman mencakup hasil tanaman restorasi dalam TPN sebagai manfaatguna langsung dan pemanfaatan segala potensi TPN sebagai manfaatguna langsung dan tidak langsung. Pengaturan hak atas properti tanaman dalam TPN dan mekanisme pemanfaatan TPN dalam konteks ekowisata dimana petani penggarap dilibatkan ini harus dirancang sepenuhnya oleh pengelola kawasan konservasi dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku untuk selanjutnya diatur melalui mekanisme kesepakatan sesuai dengan hasil perumusan model kelembagaan restorasi. Pengaturan hak atas properti tanaman dalam TPN disusun menurut tahapan kegiatan implementasi TPN dan tingkatan hak menurut Schlager and Ostrom 1992 sesuai dengan varian desain fisik TPN sebagaimana tertuang dalam Tabel 29. 106 Tabel 30 Pengaturan hak kepemilikan masyarakat dalam tahapan implementasi TPN menurut varian desain fisik TPN Tahapan Implementasi TPN Tingkatan Hak Access Withdrawal Management Exclusion Alienation TPN-Hutan Penentuan Jenis X X X X X Pengadaan Tanaman XX XX X X X Penanaman XX XX X X X Pemeliharaan XX XX X X X Pemanfaatan Hasil XX XX X X X TPN Seimbang Kebun Penentuan Jenis XX XX XX XX X Pengadaan Tanaman XXX XXX XX XX XX Penanaman XXX XXX XX XX XX Pemeliharaan XXX XXX XX XX XX Pemanfaatan Hasil XXX XXX XX XX XX TPN Dominan Kebun Penentuan Jenis XX XX XX XX X Pengadaan Tanaman XXX XXX XXX XXX XXX Penanaman XXX XXX XXX XXX XXX Pemeliharaan XXX XXX XXX XXX XXX Pemanfaatan Hasil XXX XXX XXX XXX XX Keterangan: X = Dilarang; XX= Boleh dengan syarat; XXX= Boleh .Aturan Representasi Untuk mendorong percepatan pencapaian tujuan restorasi maka perlu dilakukan program pengadaan kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat yang gayut dengan aplikasi model restorasi biodiversitas dengan konsep TPN. Pentingnya pelibatan masyarakat dalam pembangunan dipengaruhi oleh teori demokrasi dengan argumen bahwa masyarakat memiliki hak untuk berkontribusi dalam pengambilan keputusan melalui perwakilan Karky 2001. Menurut Howell at al. 1987 bahwa terlibatnya masyarakat dalam pengambilan keputusan publik didasarkan pada adanya hak dan kewajiban baik formal ataupun nonformal yang dimiliki oleh masyarakat serta penilaian ekonomi sebagai faktor pendorong yang kuat. Munculnya konsep pembangunan partisipatif di Indonesia terjadi seiring isu desentralisasi dengan pendekatan konseptual yang dikonsentrasikan pada strategi pembangunan yang dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara bersama sehingga menunjang pencapaian pembangunan berkelanjutan 107 Hardy dan Lloyd 1994 ; Clement dan Hansen 2001. Perencanaan pembangunan partisipatif dalam hal ini menekankan pada integrasi keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan mulai dari perencanaan, implementasi dan monitoring sampai dengan evaluasi. Dalam perumusan aturan representasi, pihak otorita pengelola kawasan perlu menyusun pedoman yang mengatur batasan kewenangan yang jelas dan definitif jika diperlukan pertemuan untuk pengambilan keputusan atas masalah yang mungkin terjadi dalam proses implementasi dan pengembangan varian desain fisik TPN. Batasan kewenangan tersebut mengatur kewenangan setiap stakeholder yang terlibat dalam implementasi TPN dalam rangka restorasi kawasan, mencakup kewenangan BBTNGGP selaku pengelola kawasasn, petani partisipan, dan stakeholder lain yang terlibat dalam proses implementasi dan pengelolaan TPN. Prinsip yang harus dipenuhi dalam perumusan aturan representasi pada kelembagaan TPN adalah adanya kepastian aturan main dalam pengambilan keputusan yang menjadi keputusan mengikat dan ditaati bagi semua pihak yang terlibat dalam proses implementasi TPN mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi serta monitoring, dan juga meliputi pengelolaan TPN secara berkelanjutan.

6.5. Implikasi Hasil Penelitian

Aspek dinamika pola-pola yang ditemukan dalam rangka perumusan model kelembagaan adalah bahwa semua mengarah ke tanaman keras jenis asli dan atau jenis endemik sebagai bentuk tujuan restorasi. Dalam rangka penyempurnaan model kelembagaan ini sesungguhnya terbuka peluang untuk membahas beberapa hal yang bisa dinegosiasikan yaitu kepentingan konservasi dan kepentingan ekonomi antara BBTNGGP dengan masyarakat petani penggarap lahan dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Hal ini belum sempat dilaksanakan misalnya melalui penyelenggaraan Focus Group Discussion FGD mengingat keterbatasan yang ada pada peneliti. Dinamika perkembangan pertumbuhan tanaman restorasi menjadi tegakan hutan yang diharapkan akan mempengaruhi model kelembagaan restorasi yang telah terumuskan. Aspek dinamika lainnya di luar variabel model seperti adanya kemungkinan perubahan 108 perbaikan ekonomi masyarakat akibat perkembangan sektor lainnya tentunya juga akan mempengaruhi model kelembagaan restorasi dengan konsep TPN ini. Untuk itu terbuka peluang bagi penelitian lebih lanjut. VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

1 Pola penggunaan kawasan perluasan yang direstorasi merupakan alternatif bentuk win-win solution terhadap kepentingan stakeholders, dirumuskan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mencerminkan kepentingan ekologi, ekonomi, dan sosial dengan memadukan konsep ekowisata sebagai basis penggunaan kawasan konservasi. Konsep ekowisata dapat dituangkan melalui pilihan jenis tanaman, pola penanaman, dan penataan ruang yang seindah mungkin serta penggalian dan pengembangan potensi kawasan untuk tujuan ekowisata. Penentuan dan pengaturan komposisi jenis tanaman untuk kedua macam kepentingan tersebut dapat berbentuk graduasi komposisi jenis tanaman dalam pelaksanaan restorasi dengan bobot komposisi sesuai dengan kesepakatan. Ke arah dalam semakin mendekati kawasan asli taman nasional maka komposisi jenis tanaman dan persentasenya semakin mementingkan jenis- jenis tanaman asli atau endemik, dan sebaliknya ke arah luar mendekati batas terluar kawasan perluasan maka semakin menekankan pertimbangan preferensi jenis tanaman bagi kepentingan ekonomi masyarakat. Dihasilkan 8 delapan pola penggunaan kawasan yang direklasifikasi berdasarkan tingkat kompatibilitas toleransi biofisik terhadap pengembangan tanaman budidaya menjadi 3 tiga kelompok kompatibilitas toleransi penggunaan kawasan yaitu: : 1 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Kawasan Dominan Ekonomi; 2 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Kawasan Seimbang Ekonomi dan Ekologi; dan 3 Kompatibilitas Toleransi Penggunaan Kawasan Dominan Ekologi. 2 Desain fisik TPN mencerminkan kesesuaian upaya penggunaan kawasan yang direstorasi untuk mencapai tujuan restorasi ekologis dan ekonomi yang diaplikasikan pada karakteritik kondisi biofisik kawasan dengan mempertimbangkan kesesuaian alokasi zonasi taman nasional dan karakteristik kondisi sosial-ekonomi masyarakat dan pelibatannya dalam kegiatan restorasi. Dihasilkan 6 enam varian desain fisik TPN yang