BAB III PANDANGAN UMUM TENTANG AYAT-AYAT BERFIKIR
DALAM AL-QUR’AN
A. Konsep Berfikir Dalam Al-Qur’an
Persepsi mempunyai fungsi yang sama bagi manusia dan hewan. Namun manusia mempunyai nilai lebih dari pada hewan, sebab Allah swt menganugrahi akal kepada manusia.
Oleh karena itu, manusia mampu mengkaji sesuatu, mengambil hukum secara umum dari perkara-perkara yang parsial, dan mengambil hukum yang bersumber daripublic
opinion. Kemampuan manusia untuk berpikir telah membuatnya menjadi makhluk yang terkena beban untuk beribadah serta mengemban tanggung jawab ikhtiar dan iradah serta
khalifah di muka bumi. Pengetahuan yang diserap anak kecil pada fase pertama dari kehidupannya melalui
jalur penglihatan telah membentuk kerangka berpikir pada otak anak kecil tersebut. Anak kecil itu lalu menghidangkan pengetahuan tadi dalam ingatan dan angan-angan, kemudian
membandingkannya dengan sesuatu dan menatanya dengan metode baru yang dapat membantunya memperoleh pengetahuan yang baru. Siklus seperti ini merupakan dasar
perkembangan riset ilmiah serta faktor kemajuan pengetahuan teori dan praktek. [1]
Al-Qur’an telah menyeru kepada seluruh manusia untuk berpikir, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah swt
dengan ikhlas berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu pikirkan tentang Muhammad.” Qs. Saba’ [34]: 46. Dalam ayat lain, Allah swt swt juga menyuruh
manusia berpikir tentang kosmologi, bentuknya, penciptaannya, dan pengaturan peredarannya. Allah swt juga menyuruh manusia mempelajari sunatullah dalam segala bentuk
ilmu pengetahuan. Allah swt swt berfirman, “Katakanlah, ‘Berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah swt menciptakan manusia dari permulaannya’.”Qs.
al-‘Ankabūt [29]: 20. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang
dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.”Qs. al- ajj [22]: 46
Ḥ . “Dan apakah
mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah swt?”Qs. al-A’rāf [7]: 185.
[2] Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang mengajak
manusia memikirkan apa yang ada dalam alam semesta ini. Ayat-ayat tersebut merupakan sebuah seruan yang jelas untuk melihat, menganalisis,
dan mengkaji secara ilmiah tentang semua makhluk, dan tentang semua fenomena kosmologi. Al-Qur’an tidak hanya menyuruh manusia untuk berpikir dan mengkaji secara ilmiah tentang
fenomena alami, tetapi juga untuk berpikir tentang rahasia pembentukan dirinya secara biologis dan kejiwaan. Dengan kata lain, al-Qur’an mengajak manusia untuk sering mengkaji
ilmu biologi, psikologi, kedokteran, dan kejiwaan. [3]
Al-Qur’an tidak menuntut untuk menerima begitu saja apa yang disampaikan kepada manusia. Tetapi memaparkan masalah dan membuktikannya dengan argumentasi-argumentasi, bahkan menguraikan
pandangan-pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruannya. Ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali melalui pembuktian logika, dan ada juga ajaran-ajaran agama yang sukar
dipahami dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Penggunaan akal tanpa diiringi dengan keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akal akan membuat manusia mempertuhankan
akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. Akal dapat berargumentasi tentang ada dan tiadanya Tuhan.
[4]
Agar dapat mengalokasikan perannya dengan optimal, akal atau rasio harus berlandaskan pada asas yang dapat mengantarkannya menuju ke al-fahm pemahaman. Asas tersebut, secara umum,
dikembalikan kepada faktor karakteristik wahyu atau kepada karakteristik akal. Ketimpangan yang terjadi pada asas apa pun dari asas ini akan memberikan efek kepada sisi ketimpangan dalam segi pemahaman.
Dan selanjutnya, secara otomatis akan mengakibatkan ketimpangan dalam memahami maksud- maksud ilahi al-Qur’an. Di antara asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1. Asas Bahasa
Hal ini berkaitan bahwa undang-undang linguistik memberikan perhatian yang serius dalam sisi pengungkapan ta‘bīr. Hal itu karena wahyu turun dalam Bahasa Arab. Tabiat
Bahasa Arab adalah meng-khitāb mengingatkan secara umum, namun yang dimaksud adalah zahirnya. Atau, meng-khitāb umum di satu segi dan meng-khitāb yang khusus di segi
lain. Menunjukan segi yang umum, padahal yang dimaksud adalah yang khusus, atau
sebaliknya yang zahir, padahal yang dimaksud adalah umum. Semua ini dapat diketahui melalui awal kalimat, tengah atau akhirnya. Berbicara sesuatu yang dapat dipahami dengan
maknanya, dan dapat pula diketahui dengan isyarat. [5]
Berdasarkan atas tingginya bahasa al-Qur’an, maka pengetahuan tentang Bahasa Arab pada hakikatnya harus dimiliki oleh orang yang ingin mendalami kandungan al-Qur’an.
Pengetahuan dan kemampuan Bahasa Arab dalam memahami al-Qur’an kandungan aspek syariatnya menurut asy-Syātibī menjadi tolok ukur pemahaman syariat itu sendiri.
Pandangan asy-Syātibī juga diperkuat oleh pendapat Fazlurrahman yang menyatakan bahwa untuk memahami al-Qur’an secara tepat diperlukan pengetahuan tentang Bahasa Arab
termasuk tentang idiom-idiom [6]
Bahasa Arab pada zaman Nabi. [7]
Oleh karena itu, kondisi seperti ini sudah selayaknya dijadikan patokan dalam memahami suatu nas dengan formulasi
yang sesuai dengan kondisi saat turunnya wahyu, yang kita dituntut untuk selalu mengikuti satu dari beragam kondisi yang ada, selaras dengan perubahan penggunaan bahasa dari
zaman ke zaman. [8]
2. Asas Maksud dan Tujuan
Allah swt dalam menurunkan wahyu mempunyai tujuan yang erat kaitannya dengan segi- segi kemanusiaan. Tujuan itu secara umum berporos pada usaha merealisasikan kemaslahatan
manusia sepenuhnya dan menjamin kebahagiaannya di dunia dan di akhirat. Imam asy-Syātibī menguraikan maqāshid dharūrīy urgensi maksud ini menjadi lima: menjaga agama, jiwa,
keturunan, harta dan akalrasio. Maksud dan tujuan tersebut didukung dengan turunnya wahyu dalam merealisasikan tujuan kemaslahatan manusia. Maka, ia harus dipahami sesuai dengan
sudut pandang yang mengantarkan kepada arah yang dimaksudkan. Kita juga hendaknya memperhatikan maksud dan tujuan tersebut bukan dengan makna yang menyimpang dari teks
wahyu sehingga kita mampu menggalinya dari segi lain yang berbeda dengan segi nas tersebut.
[9]
Sehingga kita tidak memahami al-Qur’an hanya dengan sisi zahirnya saja. Namun kita juga bisa melihat segi-segi yang tidak dapat dilihat secara zahir namun ruh maksud dan tujuannya
selaras dengan yang zahir tersebut. 3.
Asas Keadaan
Wahyu al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dalam tempo kurang dari 23 tahun. Banyak nas yang turun sesuai dengan kejadian pada suatu waktu atau tempat tertentu. Inilah
yang disebut dengan asbābun-nuzūl sebab-sebab turunya ayat ataumunāsabatun-
nuzūl kesesuaian kejadian pada saat turun. Kejadian yang disebut dengan asbābun- nuzūl mempunyai kesesuaian dengan kondisi juga dengan qarīnahkonteks yang harus ada
dalam usaha memahami maksud dari nas-nas tersebut. Kelalaian dari tuntutan serta qarīnah semacam ini, kadang-kadang akan mengakibatkan kesalahpahaman rasio
pemikiran dari makna yang dimaksud. Seperti halnya salah penempatan hukum kepada orang-orang mukmin, padahal nas itu turun untuk orang-orang kafir, atau sebaliknya.
[10] Di samping dituntut untuk mengetahui asbābun-nuzūl dengan kejadian yang ada,
setiap tempat dan waktu, kita juga dituntut untuk mengetahui kondisi Bangsa Arab ketika turun nas al-Qur’an. Karena nas yang turun meng-khitāb manusia sesuai dengan adat dan
situasi saat itu. Imam asy-Syā ibī ṭ menjelaskan, “Tidak semua kondisi dapat diterima atau
disampaikan, dan tidak semua konteks qarīnah mempunyai kesesuaian dengan kalimat yang tersurat. Kalau seandainya ada sebagian konteks yang tertinggal yang mempunyai
indikasi terhadap nas tersebut maka hilang pula pemahaman kalimat secara global atau salah satunya. Dan, mengetahui ‘sebab-sebab’ dapat menghilangkan segala ketimpangan
dalam format semacam ini. Di antaranya adalah mengetahui adat orang Arab baik bahasa, aktifitas, serta situasi dan kondisi saat diturunkannya ayat atau surat tersebut”
[11]
4. Asas Integral
Wahyu, baik al-Qur’an maupun hadits, sebagai khi āb ṭ Allah swt kepada hamba-Nya
adalah kesatuan integral yang tidak bisa dipisahkan. Akan tetapi, dilihat dari turunnya sungguh beragam sesuai dengan munāsabah kesesuaian di mana ia turun dan berubah-
ubahnya kondisi objek yang di-khi āb ṭ serta kondisi yang meng-khi āb
ṭ . Kondisi dan situasi semacam ini telah membawa konsekuensi adanya perbedaan kedudukan antara al-Qur’an dan
hadis dari segi penentuan hukum, meskipun ada keseragaman esensi hukumnya. Maka ada nas-nas yang datang menasakh menghapus yang datang sebelumnya. Ada pula nas
yang mubayyinmenerangkan apa yang belum jelas mubham, mengkhususkan yang umum dan yang muqayyad mengkhususkan yang mutlak.
Atas dasar ini, maka nas-nas wahyu saling terkait antara yang satu dengan lainnya dalam menerangkan maksud yang diinginkan oleh Allah swt dari nas-nas yang ada.
Barangkali satu ayat al-Qur’an mengandung suatu hukum tertentu, tetapi ia dinasakhkan oleh ayat yang lain. Dan mungkin juga ada ayat lain dipahami sebagai hukum yang umum, tetapi
ia dikhususkan dengan ayat lain dan seterusnya. Maka, akal berperan menggali pemahaman
maksud Allah swt yang tersirat dari awal sampai akhir sehingga tercapai kesatuan teori yang integral ini dalam membatasi maksud Allah swt yang tersirat dalam wahyu.
5. Asas Rasio akal
Rasio yang dimaksud di sini bukanlah apa yang tersusun dalam akal manusia atau mantik secara fitrah yang mempola dasar setiap pemahaman. Namun yang dimaksud rasio di
sini adalah sesuatu yang dapat mengantarkan rasio manusia dari beragam ilmu dan pengetahuan sebagai produk dari sebuah pengamatan dan penelitian. Ilmu pengetahuan ini
mempunyai kemungkinan untuk dijadikan sebagai dasar memahami maksud Allah swt dalam nas-nas wahyu. Hal yang terpenting adalah bagaimana kita menelaah pengetahuan manusia
dalam masalah yang paten qa ‘iy ṭ yang tidak mengandung ann
ẓ perkiraan lagi, seperti
undang-undang alami sunatullah yang akhirnya dapat tersingkap, begitu pula dengan bidang pemikiran atau asumsi. Bidang ini tampak meluas sejak masa Einstein menemukan teori
relativitas. Bentuk pertama dari berbagai macam pengetahuan manusia adalah yang relevan untuk dijadikan asas dalam memahami maksud Allah swt. Adapun bentuk kedua masih bisa
ditentang karena masih relatif. Seandainya nas-nas wahyu tersebut tidak ditafsirkan berdasarkan dasar tadi, maka akan muncul kesalahan dalam menjelaskan maksud yang
diinginkan karena kesalahan pengetahuan manusia. Akan tetapi, bentuk ini kadang-kadang relevan juga dalam mentarjih memberikan penilaian antara yang kuat dan tidak
kemungkinan-kemungkinan, ketika nas itu anniy ẓ
sebagai sarana ijtihad dalam mentarjih dengan menggunakan akal dalam menggali nas seoptimal mungkin agar sampai kepada
maksud yang diinginkan Allah swt. [12]
Dalam kitab al-Khawā ir ṭ
mind karya Syaikh Mutawallī Sya’rawī disebutkan bahwa pikiran adalah keistimewaan yang dipakai manusia untuk memilih sesuatu dari beberapa
alternatif dan menentukan pilihan pada hal yang menguntungkan masa depan diri dan keluarganya. Dalam buku What People Think Will Be Acquired, James Allen menulis bahwa
adanya pemikiran pada manusia membuatnya mampu menentukan pilihan dalam hidup. Dalam ilmu psikologi sosial, para ilmuwan sepakat bahwa kemampuan berpikir yang ada
pada manusia telah menjadikannya sebagai makhluk yang paling spesial. Kemampuan itu sebagai pembeda antara manusia dengan binatang, tumbuhan, dan benda mati. Kemampuan
berpikir pula yang membuat seseorang bisa membedakan mana yang berguna atau merugikan dirinya, mana yang halal dan mana yang haram, dan mana yang mungkin dicapai dan mana
pula yang tak mungkin diraihnya. Dengan adanya pikiran, manusia mampu memilih hal yang sesuai dengan dirinya dan memungkinkan baginya untuk diraih.
[13]
Dan asas-asas yang disebutkan di atas, maka seorang manusia mampu melakukan langkah- langkah berpikir dalam penyelesaian masalah. Setidaknya ada lima langkah yang harus ditempuh di dalam
menyelesaikan masalah, Pertama adalah menentukan objek permasalahan yaitu proses berpikir dimulai dengan menentukan objek permasalahan. Hal ini mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan
masalah. Perasaan kuat inilah yang mendorong manusia untuk sampai pada target penyelesaian. Kedua adalah mengumpulkan data keterangan yaitu memeriksa objek permasalahan dari
segala aspek dan mengumpulkan semua keterangan yang berkaitan dengan permasalahan, kemudian melakukan pemeriksaan untuk mengetahui tingkat kelayakan objek permasalahan. Mengumpulkan
keterangan yang layak bagi objek permasalahan juga merupakan peletakan hipotesis dasar dari permasalahan tersebut. Ketiga adalah
membuat hipotesis untuk mempermudah penyelesaian masalah. Keempat adalah mengevaluasi hipotesis yaitu melakukan uji coba serta mengkaji
hipotesis berdasarkan pengetahuan dan keterangan yang dimiliki, guna mengkonfirmasi kelayakan solusi permasalahan tersebut dan akan lebih baik jika diteruskan dengan
observasi. Kelima adalah kesimpulan solusi yaitu langkah terakhir setelah mengevaluasi hipotesis dan diadakan observasi, agar mendapatkan kesimpulan yang qualified.
[14]
Kelima langkah inilah tahapan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Para ilmuwan pun mengikuti langkah-langkah yang sama, tetapi mereka lebih intensif dalam
melakukan observasi, mengumpulkan data dan menganalisis. Al-Qur’an menganalogikan salah satu contoh jelas bagi kelima langkah ini pada kisah Nabi Ibrahim as ketika berusaha
mengungkap sosok Tuhan yang Maha Besar lagi Maha Kuasa yang telah menciptakan alam kosmologi ini.
[15]
Allah swt berfirman, “Dan ingatlah di waktu Ibrahim berkata kepada āzar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan
kaummu dalam kesesatan yang nyata.” Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan kami yang terdapat di langit dan di bumi, dan kami
memperlihatkannya agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang lalu dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala
bintang itu tenggelam di berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam dia
berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk
orang-orang yang sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar.” Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata, “Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.’”.Qs. al-An’ām[6]:74-79
Nabi Ibrahim as merasa penyembahan berhala yang dilakukan kaumnya merupakan suatu kebatilan, karena berhala-berhala tersebut dibuat oleh manusia. Bagaimana mungkin
menyembah sesuatu yang dibuat oleh tangan sendiri?. Allah swt SWT berfirman, “Ibrahim berkata, ‘Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu?’.” Qs. ash-Shafāt [37]:
95. Berhala-berhala ini tidak mempunyai daya dan kekuatan sedikit pun, maka tidak layak diidentikkan dengan Tuhan. Yang dinamakan Tuhan adalah Dzat yang Maha Kuat dan Maha
Kuasa serta pengendali alam, pemberi kenikmatan, dan pemberi rizki. Allah swt SWT berfirman, “Ibrahim berkata, ‘Maka mengapakah kamu menyembah
selain Allah swt sesuatu yang tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun dan tidak pula memberi mudharat kepada kamu?’.” Qs. al-Anbiyā’ [21]: 66. Di dalam otak Ibrahim as terdapat
pertanyaan, “Siapakah Tuhan pencipta alam ini?” tatkala Nabi Ibrahim as merasakan kesulitan. Ia merasakan adanya dorongan kuat yang mengantarkannya pada pengungkapan Tuhan
tentang kosmologi dan penciptaannya. Dorongan kuat inilah yang membantunya memperoleh kefitrahan yang jernih, roh yang suci, dan akal yang unggul, selain adanya faktor hidayah dan
taufik dari Allah swt. Setelah itu, Nabi Ibrahim as berlanjut pada fase pengumpulan data keterangan. Ia
memperhatikan bintang-bintang, bulan, matahari, serta fenomena lainnya yang ada di langit dan di bumi.
Allah swt berfirman, “Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan kami yang terdapat di langit dan di bumi, dan kami memperlihatkannya agar
Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.”. Di tengah-tengah pengumpulan data keterangan, Nabi Ibrahim as menentukan hipotesis anggapan dasar. Jadi, bila beliau as
melihat bintang di langit maka beliau beranggapan bahwa bintang tersebut adalah Tuhan. Namun ketika ia tahu bintang tersebut tak terlihat, ia menganggap hipotesisnya tidak layak,
maka ia menentukan hipotesis yang baru. Menuurut beliau Tuhan harus mempunyai sifat konstan, tanpa asa perubahan sedikit pun, dan selalu ada.
Tatkala beliau melihat bulan di tengah malam, ia beranggapan itulah Tuhan, tetapi bulan tersebut tidak terlihat lagi beliau menganggap hipotesisnya tidak layak, maka dia menentukan
hipotesis yang baru. Ketika ia melihat matahari terbit dan mempunyai sifat lebih besar dari pada bintang, beliau pun beranggapan bahwa matahari adalah Tuhan. Namun saat matahari tidak
terlihat lagi terbenam, ia menganggap hipotesisnya tidak layak, maka ia menentukan hipotesis baru. Dan pada akhirnya Nabi Ibrahim as menentukan hipotesis baru, bahwa Tuhan adalah Dzat
yang menciptakan bintang, langit, bumi, dan semua yang terdapat di dalamnya. Beliau as berkata, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan
bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang memperskutukan Tuhan.” Setelah dilakukan pengevalusian terhadap hipotesis tersebut,
Nabi Ibrahim as akhirnya berkesimpulan bahwa Tuhan adalah Dzat yang menciptakan kosmologi dengan segala isi dan peraturannya yang komprehensif.
[16] B.
Konteks Penggunaan Term Berfikir Dalam Al-Qur’an
Salah satu kelebihan penting yang dimiliki manusia dibanding dengan makhluk Allah swt lain seperti tumbuhan dan hewan adalah manusia lebih dapat memaksimalkan
penggunakan otaknya untuk berpikir. Dan satu-satunya alat manusia untuk berpikir adalah akal yang dalam Bahasa Arab adalah ‘aql. Ibnu Khaldun 1332-1406 ahli Filsafat Sejarah,
Bapak Sosiologi dalam karya utamanya “Muqaddimah” mengemukakan tentang akal, sebagai berikut:
“Kemudian ketahuilah, bahwa Allah swt membedakan manusia dari hewan dengan kesanggupan berpikir, sumber dari segala kesempurnaan, dan puncak dari segala kemuliaan
dan ketinggian di atas makhluk lainnya. Sebabnya ialah karena pengertian, yaitu kesadaran dalam diri tentang kejadian di luar dirinya, hanyalah ada pada hewan saja, tidak terdapat pada
lain-lain barang yang makhluk sebab hewan menyadari akan apa yang ada di luar dirinya dengan perantaraan panca inderanya pendengaran, penglihatan, bau, perasa lidah, sentuh
yang diberikan Allah swt kepadanya. Sekarang manusia memahami ini dengan kekuatan memahami apa yang ada dibalik panca inderanya. Pikiran bekerja dengan perantaraan
kekuatan yang ada di tengah-tengah otak yang memberi kesanggupan kepadanya menangkap bayangan-bayangan benda yang biasa diterima oleh panca indra dan kemudian
mengembalikan benda iitu dalam ingatannya sambil meringkas lagi bayangan benda-benda itu. Refleksi itu terdiri dari penjamahan bayangan-bayangan ini di balik perasaan oleh akal,
yang memecah atau menghimpun bayangan-bayangan itu untuk membentuk bayangan- bayangan lain.
[17] Betapa tingginya kedudukan akal dalam ajaran islam dapat dilihat dari hadis Qudsi
yang dikutip yang dikutip oleh Harun Nasution, yang di dalamnya digambarkan Allah swt bersabda kepada akal: “Demi kekuasaan dan keagungan-Ku tidaklah Kuciptakan makhluk
yang lebih mulia dari engkau. Karena engkaulah aku mengambil dan memberi dan karena engkaulah aku menurunkan pahala dan menjatuhkan hukuman.”
[18] Dengan kata lain
akallah makhluk Tuhan yang tertinggi dan akallah yang membedakan manusia dari binatang dan makhluk Tuhan lainnya. Karena akal manusia bertanggung jawab atas perbuatannya dan
akal yang ada dalam diri manusia itulah yang dipakai Tuhan sebagai pegangan dalam menentukan pemberian pahala atau hukuman kepada seseorang. Al-Qur’an memuji dan
mengangkat derajat yang tinggi bagi manusia yang menghargai rasio akalnya dalam mencari kebenaran agama dan dalam menjalankan ajaran-ajaranya. Dapat dilihat dalam
sejarah kisah Nabi Ibrahim as dalam mencari kebenaran akan Tuhannya agama di tengah-
tengah kaumnya yang semuanya adalah para pemuja berhala, termasuk ayah beliau sendiri. [19]
Dengan melihat urgensinya, arti akal dalam sumbangsihnya bagi wahyu dalam pemberian petunjuk untuk menapaki kehidupan manusia, maka perlu sekali
dalamIslamic Thought pemikiran keislaman –akal diberi keluasan untuk saling bertukar pikiran mun
ā
arah ẓ
atau saling melengkapi dengan wahyu. Karena keduanya mempunyai peran penting dalam tugas melaksanakan amanat Allah swt, baik sebagai peletak dasar
fondasi-dalam suatu peristiwa hukum yang tidak ada nasnya- maupun sebagai alat interpretasi atau inspirasi wahyu tanzil. Walaupun kadang kala terjadi benturan dalam
proses penakwilannya, sehingga sering terjadi terhalangnya nas ataupun akomodatif penyesuaian diri antara keduanya.
[20] Dalam fungsinya sebagai peletak dasar bangunan, akal menentukan segala sesuatu
yang boleh dikerjakan dan segala sesuatu yang mesti ditinggalkan. Pemerdayaan akal dihentikan manakala didapati wahyu yang menjelaskannya –karena wahyu merupakan nilai
dan norma dalam kehidupan manusia. Apabila tidak terdapat wahyu nas, cukuplah akal sebagai petunjuk menuju kebenaran karena akal adalah cahaya Allah swt yang membuat
manusia dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, serta antara yang baik dan yang buruk.
[21]
Islam memandang berpikir itu sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Sebab dengan berpikir, manusia menyadari posisinya sebagai hamba dan memahami fungsinya
sebagai khalifatullah di muka bumi. Tugasnya hanyalah menghambakan diri kepada Allah swt dengan beribadah. Dengan berpikir juga, manusia mengetahui betapa kuasanya Allah swt
menciptakan alam semesta dengan kekuatan yang Maha Dahsyat, dan dirinya sebagai manusia sangat kecil dan tidak berarti apa-apa di hadapan Allah swt Yang Maha Berkuasa.
Al-Qur’an berkali-kali merangsang manusia, khususnya orang beriman, agar banyak memikirkan dirinya, lingkungan sekitarnya, dan alam semesta. Karena dengan berpikir itu,
manusia akan mampu mengenal kebenaran, yang kemudian untuk diimani dan dipegang teguh dalam kehidupan. Allah swt berfirman, “Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat
mengambil pelajaran.” Qs. Ar-Ra‘d [13]: 19. Islam memandang kaitan antara keilmuan dengan ketakwaan itu sangat erat. Dalam arti,
semakin dalam ilmu seseorang akan semakin takut kepada Allah swt SWT. Disebutkan di dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah swt SWT adalah orang-orang yang
berilmu dari hamba-Nya.” Qs. Fā ir [35]: 28. ṭ
Menurut kacamata Al-Qur’an, orang-orang yang mendurhakai Allah swt itu karena disebabkan “cacat intelektual”. Betapa pun mereka berpikir dan bahkan sebagian mereka ada
yang turut mempunyai andil untuk mengembangkan peradaban manusia, namun selama proses berpikir tidak mengantarkan mereka ke derajat “bertakwa”, maka selama itu pula mereka tetap
berada dalam kategori orang-orang yang “tidak berpikir”.
[22] Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang mengajak manusia untuk berpikir,
hal itu jelas dengan adanya ayat-ayat yang memuat ungkapan seperti: 1.
Apakah mereka tidak berakal 2.
Supaya kamu menjadi berakal 3.
Jika kamu berakal 4.
Bagi kaum yang berakal 5.
Apakah mereka tidak berpikir 6.
Supaya kalian berpikir 7.
Supaya mereka berpikir 8.
Bagi kaum yang berpikir. [23]
Dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan yang mengajak berpikir yang ada dalam al-Qur’an. Al-Qur’an juga telah menunjukan akan pentingnya memperlihatkan dalil rasio
pada permasalahan yang konkrit. [24]
Allah swt SWT berfirman, “Apakah mereka mengamabil Tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, “Tunjukkanlah hujjahmu”. ”Qs. al-Anbiy
ā
’ [21]: 24, “Apakah di samping Allah swt ada Tuhan yang lain? Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu
memang orang-orang yang benar”.”Qs. an-Naml [27]: 64 Al-Qur’an juga menunjukkan tentang pentingnya memperlihatkan bukti empiris
dalam permasalahan yang konkrit. [25]
Allah swt Swt berfirman, “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah swt yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan.
Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikat-malaikat itu?”Qs. az-Zukhruf [43]: 19 Pengarahan ilahi melalui al-Qur’an pada urgenitas pembuktian dalil dan keyakinan
melalui jalur uji coba merupakan dasar atas dilakukannya eksperimen oleh para Ilmuwan Muslim, namun setelah itu diadopsi oleh para Ilmuwan Barat pada permulaan masa
kebangkitan pengetahuan modern di Eropa. Dalam berpikir kadang terjadi kesalahan yang akhirnya membelokkan jalur
pemikirannya ke arah yang tidak benar. Rintangan yang banyak dalam berpikir akan membuat proses berpikir mengalami stagnasi, yang pada akhirnya membuat otak tidak
mampu menerima pendapat dan pemikiran baru, sehingga tidak dapat lagi membedakan antara yang hak dan batil, kebaikan dan keburukan. Jika sudah demikian, maka keistimewaan
yang paling mendasar bagi manusia untuk membedakannya dari hewan, menjadi sirna, maka manusia menjadi seperti hewan atau bahkan lebih rendah lagi.
[26] Keadaan stagnasi berpikir seperti ini telah digambarkan oleh al-Qur’an dengan
istilah menutup hati Qs. al-Isr
ā’ [17]
: 46, Fu il ṣṣ
ā
t [41]: 5, al-An‘
ā
m [6]: 25, mengecap hati, meletakkan hati dalam kerahasiaan, dan meletakkan kunci hati Qs. Mu ammad [47]: 24,
ḥ an-Na l [16]: 108, al-Baqarah [2]: 7, ar-Rūm [30]: 59, al-A‘r
ḥ
ā
f [7]: 100-101. [27]
Al-Qur’an telah menyebutkan beberapa faktor terpenting yang menjadi hambatan proses berpikir dan menyebabkan kondisi stagnasi yang akhirnya menghalangi pengungkapan
kebenaran. Yang pertama adalah berpegang pada pemikiran lampau. Manusia biasanya cenderung berpegang teguh denegan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya. Pengikisan
terhadap adat-istiadat dan pemikiran-pemikiran lampau menjadi sebauah tugas yang membutuhkan kesungguhan ekstra. Al-Qur’an menggambarkan sandaran kebanyakan
manusia sepanjang sejarah pada akidah nenek moyang mereka lantaran ketidakmampuan
mereka untuk melihat akidah yang diserukan oleh beberapa Nabi dan Rasul dengan pemikiran yang independen dari batasan ibadah, adat, dan pemikiran masa lampau. Dengan
kata lain, bersandar pada pemikiran, kebiasaan, dan adat nenek-moyang, merupakan faktor paling dominan dalam membentuk stagnasi berpikir.
[28] Yang kedua, tidak memiliki keterangan yang memadai. Hal ini membuat manusia sulit
untuk berpikir jernih dalam suatu objek tertentu. Hasil pemikiran tidak akan dapat dipertanggungjawabkan bila tidak ada landasan kuat yang mendukung kebenaran hasil
pemikiran tersebut. Al-Qur’an telah menunjukkan betapa pentingnya pengetahuan- pengetahuan tentang objek masalah dalam mencari kebenaran yang hakiki. Al-Qur’an
melarang kita mengemukakan pendapat yang tidak dilandasi oleh ilmu pengetahuan, sebagaimana al-Qur’an melarang kita mendengarkan perkataan dan pendapat yang tidak
didasari oleh ilmu dan kejelasan dalil Qs. al-Isr
ā
’ [17]: 36. [29]
Yang ketiga adalah hawa nafsu dan kecenderungan jiwa. Ilmu jiwa telah membuktikan tentang adanya kesalahan dalam berpikir akibat mengikuti hawa nafsu dan
terpengaruh dengan kecenderungan. Oleh karena itu, seorang pemikir harus selalu berusaha berada pada jalan kebenaran dan membebaskan dirinya dari pengaruh emosi dan fanatisme
yang membelenggu pola pikirnya dalam mencari kebenaran. Keadaan emosi kita dapat mempengaruhi pemikiran dan cenderung pada pemihakan serta terjerumus dalam kekeliruan
hukum yang dikeluarkan. Al-Qur’an telah menunjukkan efek negatif dari hawa nafsu, yaitu penyimpangan pemikiran yang menyesatkan manusia dan melemahkan untuk membedakan
antara hak dengan batil, kebaikan dengan keburukan, serta petunjuk dengan kesesatan Qs. al-Qa a [28]: 135.
ṣ ṣ [30]
C. Medan Semantika Term Berfikir