Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi:

Ijma ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan dalil- dalil Al quran atau hadis. Para ulama mengambil ijma karena dalam Al quran ataupun hadis tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum. Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Quran ataupun hadist. 4. Qiyas Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber- sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam.

E. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi:

1. Ajaran normatif: prinsip-prinsip dasar Sebuah definisi sederhana tentang negara mengatakan bahwa negara adalah semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Lembaga pengelolaan negara tersebut bisa disebut sebagai pemerintahan al-hukm, yang sehari-hari dijalankan oleh pemerintah yang menurut al-Quran adalah segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Tujuan dasar dari terwujudnya negara adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sempurna yang di dalam al-Quran disebut dengan baldah thayyibah wa rabbun ghafur. Secara normatif,al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan prinsip yang utama adalah ajaran tauhid yang menetapkan pentingnya prinsip kesatuan yang disimbolkan melalui kalimat syahadah la ilaha illa Allah. Pada dasarnya ajaran Islam bagaikan piramid dengan satu titik di atas yaitu Allah. Hal ini terlihat pada konsep umat yang menurut al- Quran merupakan satu kesatuan bagaikan bangunan yang kokoh. Prinsip ini juga terefleksi pada ajaran Islam tentang negara dan pemerintahan yang oleh Abd Razzaq al- Sanhuri disebut dengan sulthah markaziyyah islamiyyah, yakni satu kekuasaan yang bersifat sentralistik, yang tersimbolkan melalui figur pemimpin negara dan pemerintahan yang dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah. Agar prinsip tauhid dalam Islam dapat berjalan dengan baik, maka perlu ditegakkan prinsip-prinsip lain, di antaranya: a. Antara warga negara dan pemerintah Al-Quran menegaskan bahwa hubungan warga negara dengan pengelola negara harus didasarkan pada prinsip ketaatan pada Allah,Nabi, dan penguasa ulil amri. Hal ini paling tidak mempunyai tiga implikasi. Pertama, pentingnya penegakan ajaran Allah dan mereka yang berpaling darinya akan mendapat hukuman bahkan dipandang keluar dari Islam kafir. Kedua, ketaatan seorang muslimbukan hanya kepada Allah dan Nabi tetapi juga kepada penguasa negara dan pemerintah. Namun, seperti diingatkan dalam hadits Nabi, ketaatan itu berlangsung sejauh mereka tidak menentukan peraturan yang justru menyalahi syariah Islam. Ketiga, karena ajaran- ajaran al-Quran dan al-Hadis sangat terbatas maka umat Islam dituntut untuk mampu merumuskan aturan-aturan lebih rinci sesuai dengan tuntutan masa dan tempat. b. Lembaga Musyawarah Agara negara dan pemerintahan berjalan menurut yang semestinya maka al-Quran menggariskan prinsip kedua berupa pentingnya lembaga musyawarah majlis syura. Anggota lembaga ini merupakan hasil pemilihan rakyat melalui proses pemilihan umum dan mereka bisa disebut sebagai ahlal-syura, yakni satu lembaga yang bertanggung jawab penuh atas segala proses berlangsungnya negara dan pemerintahan. Pimpinan majlis syura dipilih dari anggota-anggota majlis dan dalam sejarah antara lain dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah. c. Supremasi Hukum Al-Quran menggariskan bahwa salah satu ciri pokok dari seorang muslim danatau masyarakat Islam adalah kesiapan untuk menjalankan hukum Allah syariah. Mengingat begitu pentingnya posisi hukum ini, maka bisa dipahami ketika Sam’ani dalam kitabnya Qawati’ al-Adillah menegaskan bahwa ilmu hukum Islam adalah ilmu yang paling penting dalam Islam, sebab ilmu tersebut membahas peristiwa-peristiwa yang selalu muncul, berubah, berkembang, dan tidak pernah berhenti serta tidak ada batasnya. Konsekuensinya, pengetahuan yang dituntut untuk menangani persoalan tersebut juga tidak terbatas dan selalu menuntut pengembangan. Ada konsekuensi lain dari prinsip di atas. Hukum seperti terelaborasi pada sumber pokok Islam, al-Quran, menuntut ketundukan dari semua pihak baik rakyat, penguasa, bahkan Nabi Muhammad sekalipun. Walaupun sunnah Nabi pada masa berikutnya menjadi sumber pokok, tetapi kedudukannya menempati posisi kedua setelah al-Quran. Dengan demikian, Nabi Muhammad yang secara sosial dan politik dapat dikatakan sebagai pemimpin tertinggi dalam negara dan pemerintahan Islam, juga harus tunduk dan patuh atas ketentuan-ketentuan hukum al-Quran. Ini berarti bahwa supremasi hukum merupakan sifat alami yang melekat dalam ajaran Islam dan harus ditegakkan untuk siapa saja termasuk penguasa, bahkan Nabi sekalipun. 2. Studi Empiris a. Fiqh Siyasah Secara umum, istilah siyasa dipahami sebagai politik dan juga ilmu tata pemerintahan statecraft, atau satu istilah yang lebih mengarah kepada keahlian atau kecakapan dan bukan sebuah doktrin atau filsafat. Fauzi M. Najjar mengatakan bahwa siyasah adalah satu kebijakan atau satu organisasi yang dengan rakyatnya diorganisasi atau diarahkan dengan cara-cara tertentu untuk kehidupan yang baik. Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah menjadi sesuatu yang terkait dengan seni memerintah yang digunakan untuk kepentingan orang banyak baik menyangkut fisik, spiritual, maupun intelektual. Juga bisa dikatakan sebagai seni mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip atau tujuan-tujuan tertentu. Fiqh siyasah merupakan upaya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang terkait dengan negara dan pemerintahan dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Penjelasan tentang siyasah ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan negara, politik, pemerintahan, dan segala yang terkait dengannya sudah menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dengan Islam sebagai sebuah agama. Data sejarah tentang fiqh siyasah seringkali tidak mendapat perhatian kalangan sekuler yang menganut paham pemisahan agama dari negara. b. Antara ulama’ agama dan umara’ negara Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini berlangsung terus hingga masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik menyangkut kekuasaan agama ulama’ ataupun politik umara’. Pada saat itu, kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran syariah sebagai ulama’ berada di tangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi sebagai umara’, semuanya berada di tangan khalifah. Pada masa modern terlihat ketegangan antara ulama’ dan umara’, misalnya, pada pemikiran Rasyid Ridha yang dikenal sebagai salafiyah yang konservatif dan pemikiran Ahmad Safwat dan Ali Abd Raziq yang liberal. Pada dasarnya, Rasyid Ridha berpendapat bahwa sistem khilafah yang telah dihancurkan dan diganti dengan sistem republik oleh penguasa Turki harus dihidupkan kembali. Hal ini penting untuk menyatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan khalifah. Rasyid Ridha menolak secara tegas pemisahan agama ulama’ dan negara umara’. Pandangan Ali Abd Raziq amat berbeda dengan pikiran Rasyid Ridha. Berdasarkan semangat ajaran Abduh, Raziq menformulasikan pikiran kenegaraannya melalui karyanya yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan. Ia, antara lain, menegaskan bahwa masalah negara tidak termasuk bahkan harus dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas berbeda misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang sebagai penganut paham sekuler. Di antara alasan penting yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran tentang hal itu. Namun, Muhammad al-Ghazali setuju dengan pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan pemikiran Rasyid Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama ulama’ dan politik umara’ di tangan pemimpin umat khalifah. Pemisahan antara keduanya, tegas al-Ghazali, adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah din la dawlah agama dan bukan negara dan menegaskan tentang perlunya ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan nasionalis. Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara normatif maupun empiris, pemikiran maupun praktek menyangkut negara, pemerintahan, maupun politik pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama’ agama dan umara’ negara lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada jalur ajaran syariah. Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini didasarkan pada prinsip hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga sesungguhnya agama dan negara adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.

F. Hukum Islam di Indonesia