Konsep Negara Terkait Hukum Islam dan Ke

(1)

KONSEP NEGARA TERKAIT HUKUM ISLAM

dan

HUBUNGANNYA DENGAN INDONESIA

Tim Penulis:

Muhammad Adzkia Fatah - 1006709462 Muhammad Iqbal – 1006709494

Nabilah Karimah - 1006709544 FHUI 2010


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, bahwa tim penulis telah menyelesaikan tugas makalah kelompok mata kuliah hukum Islam, dengan membahas Konsep Negara terkait Hukum Islam dan Hubungannya dengan Indonesia.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat hasil diskusi kelompok yang telah menuai berbagai masukan dari dalam maupun dari luar kelompok, serta informasi dan referensi dari berbagai sumber kepustakaan. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Tuhan YME akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi para pembaca yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai. Terima kasih.


(3)

DEPOK, MEI 2011 TIM PENULIS

ABSTRAK

Negara merupakan suatu organisasi yang terbentuk dari suatu perjanjian masyarakat, dan hal ini berlaku bagi sebagian besar Negara yang terbentuk di dunia menurut sejarahnya. Suatu negara mempunyai banyak sekali aspek yang harus dipertimbangkan agar susunan serta pelaksanaan dari kegiatan-kegiatan negara berjalan dengan baik dan lancar. Aspek-aspek inilah yang dipermasalahkan oleh banyak sekali ahli dalam sejarah dunia, karena memang kompleksitas daripadanya sangatlah tajam. Dalam hal ini, yang dipertimbangkan pertama sekali tentunya adalah “konsep” dari suatu negara. Kemudian di samping daripada hal tersebut, Islam merupakan agama yang “sempurna” yang mengajarkan berbagai hal mengenai kehidupan manusia sebagai “khalifah” di muka bumi, dan hal mengenai ajaran Islam berbasis pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Termasuk diantaranya, ajaran mengenai bagaimana meregulasi suatu koloni manusia dengan tatanan yang baik dalam rangka mencapai Ridha Allah SWT. Maka dalam hal ini, Islam memperkenalkan berbagai ajaran yang bersifat umum maupun khusus atau spesifik mengenai hal pengaturan atau regulasi dalam membentuk, mengolah, dan melaksanakan kegiatan bernegara.


(4)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sesungguhnya tidak dapat hidup sendiri, dan memerlukan bantuan manusia lain, maka dari itu manusia disebut pula zoon politicon, dan dalam hal memenuhi kebutuhan manusia di muka bumi ini, manusia membentuk suatu koloni untuk bahu-membahu dalam menyelesaikan segala urusan, dan di antaranya, membentuk Negara.

Salah satu pemenuhan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan spiritual atau rohani, yang berlandaskan kepada suatu kepercayaan akan kekuatan yang berada di luar kuasa manusia. Kepercayaan ini menjadi pedoman dalam manusia menjalani hidupnya, dan sebagian kepercayaan menjadi pedoman pula akan kematiannya. Dalam hal kaitannya dengan makalah ini, ialah agama Islam yang merupakan agama samawi, yaitu agama yang diturunkan dari langit dan berasal dari Allah SWT. Agama islam, sesuai dengan ajarannya, merupakan agama “penyempurna” dari agama-agama samawi sebelumnya. Islam senantiasa memandu umatnya untuk berbuat kebajikan dan menjauhi keburukan. Dalam pengertiannya, Islam artinya adalah “selamat”, maka muslim adalah orang-orang yang terselamatkan.

Latar belakang dari penulisan makalah ini, berdasarkan pada Hukum Islam yang merupakan salah satu Mata Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan berbagai ilmu pengetahuan lain dari berbagai sumber. Penulisan makalah ini membahas mengenai kaitan antara Hukum Islam dengan Konsep Negara yang dihubungkan dengan keadaan di Indonesia. Peran serta kedudukan Hukum Islam akan dibahas dan langsung dikaitkan dengan Konsep Negara dan berlanjut kepada keadaannya di Indonesia.


(5)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dari makalah ini, maka masalah yang diangkat ialah: 1. Apa saja Konsep Negara dalam perkembangan sejarah dunia?

2. Apa pengertian Hukum Islam secara luas? 3. Hubungan kedua poin di atas dengan Indonesia

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah dari makalah ini, maka tujuannya ialah: 1. Mengetahui Konsep Negara dan Hukum Islam,

2. Mengetahui hubungan antara Konsep Negara dan Hukum Islam dengan Indonesia.

D. Metode Penulisan

Sesuai dengan masalah yang akan ditulis oleh penulis, metode yang dilakukan oleh penulis adalah tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka yang dimaksud adalah dengan membaca sumber-sumber, seperti buku, teks bacaan, dan internet.

E. Sistematika Penyajian

Sistematikan penulisan makalah ini adalah

 Bab I Pendahuluan, terdiri dari: a. Latar Belakang

b. Perumusan Masalah c. Tujuan Penulisan d. Metode Penulisan

 Bab II Isi, terdiri dari:

a. Definisi negara menurut para ahli

b. Konsep Negara menurut pendekatan Barat c. Tujuan Negara


(6)

e. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi f. Hukum Islam di Indonesia

 Bab III Penutup, terdiri dari : a. Kesimpulan

b. Saran

 Daftar Pustaka

BAB II ISI

A. Definisi negara menurut para ahli:

1. Roger H. Soltau:

"Negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority) yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat" (The state is agency or authority managing and controlling these (common) affairs on behalf of and in the name of the community).


(7)

"Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup dan bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan mereka bersama. Masyarakat merupakan negara kalau cara hidup yang harus ditaati baik oleh individu-individu maupun asosiasi-asosiasi ditentukan oleh suatu wewenang yang bersifat memaksa dan mengikat". (The state is society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of the society. A society is a group of human beings living together and working together for the satisfactions of their mutual wants. Such a society is a state when the way of life to which both inviduals and associations must conform is difined by coercive authority binding upon them all).

3. Max Weber:

"Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam suatu wilayah" (The state is human society that (successfully) claims the monopoly of the legitimate use of physical force within a given territory).

4. Rober M. MacIver:

"Negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa" (The state is an association which, acting through law as promulgated by a government endowed to this end with coercive power, maintains within a community territorially demarcated the external conditions of order).

B. Konsep Negara menurut pendekatan Barat:

1. Zaman Pertengahan

 Augustinus (354-430)

Augustinus, seorang Kristiani, mengemukakakn suatu ajaran yang sifatnya sangat teokratis. Dalam bukunya De Civitas Dei, Agustinus menyebutkan adanya dua macam negara, yaitu:


(8)

a. Civitas Dei, atau negara Tuhan, merupakan negara yang terpuji karena merupakan negara yang dicita-citakan oleh agama. Civitas Dei akan membawa keamanan dan kesejahteraan bagi umat manusia karena mendapatkan bimbingan serta pimpinan dari Tuhan.

b. Civitas Terena, atau Civitas Diabolis/Negara Iblis, merupakan negara duniawi yang sangat dikecam oleh Agustinus. Civitas Terena akan membawa kelaliman, kekacauan, serta kesengsaraan bagi manusia karena berada di luar pimpinan Tuhan.

Menurut Agustinus, agama memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari negara dan saling terkait, tetapi negara hanya sebagai alat bagi Gereja untuk melenyapkan musuh-musuhnya.

 Thomas Van Aquino (1225-1274)

Sedangkan Thomas Van Aquino mengemukakan teori Dua Pedang, yaitu Pedang Rohaniah berada pada organisasi gereja yang dipimpin oleh Paus, dan Pedang Duniawiah, yang diserahkan oleh Paus pada organisasi negara yang dipimpin oleh raja/kaisar. Dalam teorinya, Thomas Van Aquino berusaha memisahkan soal-soal duniawi dan soal-soal agama, sehingga menimbulkan ajaran sekularisme.

 Marsilius Padua (1270-1340) dan Willian Occam (1280-1317)

Negara itu ialah suatu badan yang hidup dan bebas, yang mempunyai sebagai tujuan tertinggi ialah mempertahankan perdamaian. Tujuan itu dulu-dulunya juga sudah dipikirkan, akan tetapi tidak sebagai tujuan pertama dan tertinggi, melainkan untuk kepentingan gereja dan cita-citanya, yakni cita-cita yang lebih tinggi lagi. Negara itu seharusnya memajukan kemakmuran dan memberi kesempatan pada anggota-anggotanya untuk mengembangkan dirinya secara bebas. Gereja dibawahkan pada negara. Menurut Marsilius kedudukan negara lebih tinggi daripada kedudukan Gereja dan terdapat pemisahan yang tegas antara negara dan Gereja.

2. Abad Keenambelas (Renaissance)

 Niccolo Machiavelli (1469-1527)

Ajaran Niccolo Machiavelli, pada hakekatnya merupakan pencerminan dari apa yang dikenalnya dalam praktek sebagai ahli negara dan apa yang telah dijalankannya, karena dianggapnya perlu sekali untuk menyelenggarakan kepentingan-kepentingan negara, diangkatnya menjadi teori umum mengenai praktek ketatanegaraan dengan cara yang


(9)

gagah berani. Dengan berbuat demikian, ia menganjurkan pada ahli negara suatu sikap yang menolak sama sekali ajaran kesusilaan dari pandangan hidup Kristen.

3. Abad Ketujuhbelas (Natural Law)

 Hugo de Groot (1583-1645)

Dalam menetapkan dasar-dasar modern untuk pikiran tentang negara dan hukum, Hugo de Groot berpokok pangkal pada pendapat Aristoteles yang terkenal, ialah bahwa manusia dalah makhluk sosial sehingga karena itu ingin hidup bersama-sama dengan orang lain. Negara lahir karena adanya perjanjian, tetapi perjanjian itu tidak diilhami oleh Tuhan, melainkan karena dorongan rasio manusia sebagai dasar hukum alam. Natural law adalah suatu peraturan dari akal murni yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan sama sekali dengan Sang Pencipta sebagai sumber dari hukum alam dan rasio manusia

4. Abad Kedelapanbelas

 Montesquieu (1689-1755)

Montesquieu memang berpendapat bahwa asas-asas hukum terletak di dalam alam, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa asas-asas itu dapat ditemukan dengan jalan mengamati dan mengusut kejadian-kejadian tersebut. Jadinya ia tidak menyukai suatu hukum alam yang mencoba menemukan hukum yang sempurna dengan melalui jalan abstrak. Menurut Montesquieu, fungsi negara hukum harus dipisahkan dalam 3 kekuasaan lembaga negara, yaitu:

a. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang

b. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para warga

c. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang, memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan negara-negara lain, menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.

C. Tujuan Negara

Suatu negara ialah berarti suatu organisasi, yang mana tentunya suatu organisasi haruslah mempunyai patokan yang hendak dituju, sehingga adanya kejelasan dan tidak adanya


(10)

simpang siur dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Tujuan negara dapat berbeda-beda pada tiap negara, hal ini tergantung dari sudut mana seseorang memandang kehidupan. Perbedaan filosofi, sosiologis, dan historis dapat menyebabkan perbedaan dalam mengkonstruksi dan menjalankan negara, termasuk cara mengkonstruksi sistim hukumnya (aspek yuridis). Adapun perlunya pembedaan antara tujuan negara dengan fungsi negara dikarenakan fungsi ialah pelaksanaan lebih lanjut dari tujuan. George Wilhelm Friedrich Hegel menyatakan bahwa tujuan negara adalah negara itu sendiri, negara adalah “person” yang mempunyai kemampuan sendiri dalam melaksanakan “ide” umum, negara dapat menyempurnakan dirinya sendiri, maka kewajiban tertinggi manusia adalah menjadi warga suatu negara dengan baik.1

Pendapat dari Hegel banyak ditentang, negara tetap harus memilik suatu tujuan yang nyata, karena negara merupakan suatu alat/organisasi manusia untuk mencapai tujuan tertinggi. Secara umum tujuan negara dapat digolongkan kedalam tiga tujuan:

1. Tujuan negara yang dihubungkan dengan tujuan akhir hidup manusia

Dalam hal ini, tujuan negara sangatlah erat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat teologis

atau keagamaan. Banyak sekali unsur-unsur kerohanian, spiritual, dan eskatologis atau keakhiratan yang terkandung dalam setiap elemen-elemen suatu negara. Hal ini dikarenakan dalam setiap agama pastinya membahas mengenai, apa itu tujuan sebenarnya dari hidup seorang manusia, yang mana setiap agama mempunyai hakikatnya masing-masing. Augustinus seorang tokoh filsafat dan teolog Kristen memperkenalkan teorinya Civitas Dei

(unsur Tuhan) dan Civitas Terrena (unsur dunia). Nilai-nilai duniawi dipergunakan untuk mencapai tujuan utama manusida yaitu cinta kepada Allah. Kemudian ada pula Ibnu Taimiyah, seorang filosof dan teolog Islam menegaskan bahwa negara adalah sarana untuk mewujudkan syari’ah atau hukum-hukum Tuhan. Ia mengutip dari ajaran agama Islam dan dapat diambil kesimpulan bahwa negara yang dituju oleh ajaran Islam adalah negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa (Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur).2 Sebagai kesimpulan dari poin ini, tujuan negara ialah untuk menjadi

suatu fasilitas untuk para rakyatnya melakukan penyembahan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan senantiasa menyelaraskan segala sesuatu dengan keagamaan.

1 Ilmu Negara FHUI 2010, hal 68 2 Ilmu Negara FHUi 2010, hal 70


(11)

2. Tujuan negara yang dihubungkan dengan pencapaian kekuasaan

Dalam teori ini ada 2 teori khusus dan 1 teori umum yang dapat dijadikan pembahasan, yaitu [1] teori dari Lord Shang Yang, yang mencari kekuasaan semata, menganggap bahwa penguasa haruslah kuat dan rakyat haruslah lemah dan bodoh. Ia berpendapat bahwa dengan menghancurkan kebudayaan maka raja akan dapat mengendalikan rakyat dengan lebih mudah dan negara akan menjadi kuat. [2] teori dari Nicolo Machiavelli yang mencari kekuasaan untuk mempersatukan italia yang saat itu terpecah belah. Ia berpendapat bahwa penguasa harus memiliki sifat seperti serigala dan singa, ia juga tidak menghendaki adanya kebudayaan, agama, moral, dan sebagainya, karena hal tersebut akan melemahkan raja dalam memerintah negaranya. Machiavelli sangat mengusahakan terselenggaranya ketertiban, keamanan dan ketentraman. [3] negara kekuasaan, suatu negara kekuasaan biasanya hanya dilandaskan pada kepentingan politik kekuasaan. Pengumpulan kekuasaan yang sebesar-besarnya biasanya dilakukan oleh elit-elit politik kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan demi kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Pendekatan yang dilakukanpun biasanya dengan pendekatan kekuasaan, yang artinya lebih dekat pada politik kekerasan, pemaksaan, monopoli pendapat dan berlanjut pada pola-pola penguasaan ekonomi yang sentralistik dan pemerintahan yang oligarkis.

3. Tujuan negara yang dihubungkan dengan kemakmuran rakyat

“Kepentingan umum mengatasi segala-galanya”, hal inilah yang mendasarkan teori pada poin ini, dan yang menentukan kepentingan umum ini ialah penguasa. Terdapat beberapa tipe negara yang mengkonsentrasikan tujuannya pada kemakmuran rakyat, yaitu: [1] tipe negara kekuasaan absolute atau polizei staat (tujuan kemakmuran negara), menganut prinsip prince legibus solutes est (raja membuat undang-undang untuk negara), artinya raja membuat undang-undang yang diartikan sebagai kepentingan umum yang ditafsirkan sepihak oleh penguasa. Tipe negara ini sangatlah memakmurkan negara dan rakyat berikap pasif dalam masalah kemakmuran, hanya menunggu piring kemakmuran raja penuh, lalu tumpah menjadi bagian rakyat. [2] tipe negara hukum liberal (tujuan kemakmuran individu), merupakan reaksi dari kondisi yang dialami suatu negara kekuasaan absolute atau polizei staat. Dalam


(12)

secara dominan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan rakyat adalah status positif. Sementara itu golongan pengusaha kaya mendesak raja dan golongan bangsawan untuk tidak ikut campur terlalu banyak dalam urusan bisnis mereka dalam ikut berupaya memakmurkan rakyat. Desakan yang menginginkan status negative bagi negara itu diprakarsai oleh orang-orang yang berpikiran bebas atau beraliran liberal, disebut kelompok borjuis dan merupakan kelompok yang besar dalam negara. Akan tetapi kelompok borjuis tetap tidak dapat masuk dalam kelompok penguasa negara, karena sudah dikuasai oleh kelompok bangsawan dan gereja. Mereka kemudian menuntut pemeruntah agar tidak turut campur dalam masalah kebebasan rakyat untuk mencari kemakmuran. Kebebasan dalam mencari kemakmuran harus dijamin dengan hukum sebagai bentuk perlindungan hak asasi. Paham liberal ini bisa dikaitkan dengan teori Kant menimbulkan tipe negara hukum liberal dengan pola perekonomian kapitalisme. Menurut Kant, tujuan negara adalah membentuk dan mempertahankan hukum sedang tujuan hukum adalah menjamin dan melindungi kebebasan rakyat. [3] tipe negara hukum formil, perkembangan dari negara liberalis. Negara hukum telah menjadi istilah tehnis kenegaraan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Pandangan liberal yang ingin mendudukkan negara hanya sebagai pemegang tata tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi bahwa negara membutuhkan biaya untuk menjalankan tugasnya. Pendapatan negara yang terbesar dapat diraih dari penarikan pajak. Penarikan pajak memerlukan persetujuan dari rakyat. Untuk resminya, penguasa kemudian mengadakan peraturan-peraturan tentang pajak, peraturan peraturan itu tertulis, dan lama-kelamaan menimbulkan undang-undang atau hukum tertulis secara formil. Kemudian lahirlah negara hukum formil karena dalam segala tindakan-tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk hukum tertentu, dan formalitasnya ini adalah bentuk undang-undang. [4] negara hukum materiil (negara kesejahteraan/kemakmuran), pada tipe negara ini tidak lagi dipentingkan bentuk dari suatu peraturan, melainkan isinya, yaitu kemakmuran rakyat. Penguasa tidak harus terpaku pada suatu aturan formil untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, melainkan hanya memperhatikan materinya untuk memakmurkan rakyat saja sudah cukup.3 D. Pengertian Hukum Islam


(13)

Pengertian hukum islam adalah hukum yang bersumber kepada nilai – nilai keislaman. Yang dibentuk dari sumber dalil – dalil agama islam. Hukum itu bisa berarti ketetapan, kesepakatan, anjuran, larangan, dan sebagainya.

Hukum Islam hanya ditujukkan kepada orang – orang yang beragama Islam dan tidak ditunjukkan kepada orang yang non-Islam. Jika ada orang Islam yang melanggar hukum Islam, orang itu harus diadili sesuai dengan ketentuan dalil-dalil agama Islam. Ada beberapa sumber yang menjadi landasan dalam membuat ketetapan hukum Islam. Sumber-sember tersebut adalah sebagai berikut.

1. Al Quran

Al quran adalah kitab suci umat Islam. Kitab tersebut diturunkan kepada nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al quran memuat banyak sekali kandungan. Kandungan-kandungan tersebut berisi perintah, larangan, anjuran, ketentuan dan sebagainya. Al quran menjelaskan secara rinci bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya agar tercipta masyarakat yang madani. Maka dari itu, ayat-ayat Al quran inilah yang menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu hukum.

2. Hadis

Hadis adalah segala sesuatu yang berlandaskan pada Rasulullah SAW. Baik berupa perkataan, perilaku, persetujuan, dan sifat beliau. Hadis menjadi landasan sumber yang paling kuat setelah Al quran. Nabi Muhammad menjadi sosok yang paling sentral bagi umat Islam karena umat Islam meyakini bahwa segala perbuatan Rasulullah tidak sedikit pun yang bertentangan dengan Al quran dan beliau terbebas dari kesalahan.


(14)

Ijma' ulama adalah kesepakatan para ulama yang mengambil simpulan berdasarkan dalil-dalil Al quran atau hadis. Para ulama mengambil ijma' karena dalam Al quran ataupun hadis tidak dijelaskan secara teperinci sebuah ketetapan yang terjadi pada masa itu atau kini. Dengan demikian, para ulama mengadakan rapat dan membuat kesepakatan sehingga hasil rapat atau kesepakatan tersebut menjadi ketetapan hukum. Ijma ulama tidak boleh bertentangn dengan al-Qur'an ataupun hadist.

4. Qiyas

Qiyas berarti menjelaskan sesuatu yang tidak ada dalil nashnya dalam Al quran ataupun hadis dengan cara membandingkan sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang hendak diketahui hukumnya tersebut. Misalnya, dalam Al quran dijelaskan bahwa segala sesuatu yang memabukkan adalah haram hukumnya. Al quran tidak menjelaskan bahwa arak haram, sedangkan arak adalah sesuatu yang memabukkan. Dengan demikian, kita akan mengambil qiyas bahwa arak haram hukumnya karena memabukkan. Itulah sumber-sumber utama yang menjadi landasan untuk menetapkan hukum Islam.

E. Negara dan pemerintahan dalam Islam dalam konteks metodologi:

1. Ajaran normatif: prinsip-prinsip dasar

Sebuah definisi sederhana tentang negara mengatakan bahwa negara adalah semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Lembaga pengelolaan negara


(15)

tersebut bisa disebut sebagai pemerintahan (al-hukm), yang sehari-hari dijalankan oleh pemerintah yang menurut al-Quran adalah segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar. Tujuan dasar dari terwujudnya negara adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup yang sempurna yang di dalam al-Quran disebut dengan baldah thayyibah wa rabbun ghafur. Secara normatif,al-Quran telah menggariskan sejumlah prinsip, dan prinsip yang utama adalah ajaran tauhid yang menetapkan pentingnya prinsip kesatuan yang disimbolkan melalui kalimat syahadah la ilaha illa Allah. Pada dasarnya ajaran Islam bagaikan piramid dengan satu titik di atas yaitu Allah. Hal ini terlihat pada konsep umat yang menurut al-Quran merupakan satu kesatuan bagaikan bangunan yang kokoh. Prinsip ini juga terefleksi pada ajaran Islam tentang negara dan pemerintahan yang oleh Abd Razzaq al-Sanhuri disebut dengan sulthah markaziyyah islamiyyah, yakni satu kekuasaan yang bersifat sentralistik, yang tersimbolkan melalui figur pemimpin negara dan pemerintahan yang dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah. Agar prinsip tauhid dalam Islam dapat berjalan dengan baik, maka perlu ditegakkan prinsip-prinsip lain, di antaranya: a. Antara warga negara dan pemerintah

Al-Quran menegaskan bahwa hubungan warga negara dengan pengelola negara harus didasarkan pada prinsip ketaatan pada Allah,Nabi, dan penguasa (ulil amri). Hal ini paling tidak mempunyai tiga implikasi. Pertama, pentingnya penegakan ajaran Allah dan mereka yang berpaling darinya akan mendapat hukuman bahkan dipandang keluar dari Islam (kafir). Kedua, ketaatan seorang muslimbukan hanya kepada Allah dan Nabi tetapi juga kepada penguasa negara dan pemerintah. Namun, seperti diingatkan dalam hadits Nabi, ketaatan itu berlangsung sejauh mereka tidak menentukan peraturan yang justru menyalahi syariah Islam. Ketiga, karena ajaran-ajaran al-Quran dan al-Hadis sangat terbatas maka umat Islam dituntut untuk mampu merumuskan aturan-aturan lebih rinci sesuai dengan tuntutan masa dan tempat. b. Lembaga Musyawarah

Agara negara dan pemerintahan berjalan menurut yang semestinya maka al-Quran menggariskan prinsip kedua berupa pentingnya lembaga musyawarah (majlis syura). Anggota lembaga ini merupakan hasil pemilihan rakyat melalui proses pemilihan umum dan mereka bisa disebut sebagai ahlal-syura, yakni satu lembaga yang


(16)

bertanggung jawab penuh atas segala proses berlangsungnya negara dan pemerintahan. Pimpinan majlis syura dipilih dari anggota-anggota majlis dan dalam sejarah antara lain dikenal dengan imam, amir, sulthan, atau khalifah.

c. Supremasi Hukum

Al-Quran menggariskan bahwa salah satu ciri pokok dari seorang muslim dan/atau masyarakat Islam adalah kesiapan untuk menjalankan hukum Allah (syariah). Mengingat begitu pentingnya posisi hukum ini, maka bisa dipahami ketika Sam’ani dalam kitabnya Qawati’ al-Adillah menegaskan bahwa ilmu hukum Islam adalah ilmu yang paling penting dalam Islam, sebab ilmu tersebut membahas peristiwa-peristiwa yang selalu muncul, berubah, berkembang, dan tidak pernah berhenti serta tidak ada batasnya. Konsekuensinya, pengetahuan yang dituntut untuk menangani persoalan tersebut juga tidak terbatas dan selalu menuntut pengembangan. Ada konsekuensi lain dari prinsip di atas. Hukum seperti terelaborasi pada sumber pokok Islam, al-Quran, menuntut ketundukan dari semua pihak baik rakyat, penguasa, bahkan Nabi Muhammad sekalipun. Walaupun sunnah Nabi pada masa berikutnya menjadi sumber pokok, tetapi kedudukannya menempati posisi kedua setelah al-Quran. Dengan demikian, Nabi Muhammad yang secara sosial dan politik dapat dikatakan sebagai pemimpin tertinggi dalam negara dan pemerintahan Islam, juga harus tunduk dan patuh atas ketentuan-ketentuan hukum al-Quran. Ini berarti bahwa supremasi hukum merupakan sifat alami yang melekat dalam ajaran Islam dan harus ditegakkan untuk siapa saja termasuk penguasa, bahkan Nabi sekalipun.

2. Studi Empiris a. Fiqh Siyasah

Secara umum, istilah siyasa dipahami sebagai politik dan juga ilmu tata pemerintahan (statecraft), atau satu istilah yang lebih mengarah kepada keahlian atau kecakapan dan bukan sebuah doktrin atau filsafat. Fauzi M. Najjar mengatakan bahwa siyasah

adalah satu kebijakan atau satu organisasi yang dengan rakyatnya diorganisasi atau diarahkan dengan cara-cara tertentu untuk kehidupan yang baik. Jika dikaitkan dengan orang atau kota, siyasah menjadi sesuatu yang terkait dengan seni memerintah yang digunakan untuk kepentingan orang banyak baik menyangkut fisik, spiritual,


(17)

maupun intelektual. Juga bisa dikatakan sebagai seni mengurus sebuah kota berdasarkan prinsip-prinsip atau tujuan-tujuan tertentu. Fiqh siyasah merupakan upaya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang terkait dengan negara dan pemerintahan dan segala sesuatu yang terkait dengannya. Penjelasan tentang siyasah ini sekaligus menggambarkan bahwa persoalan negara, politik, pemerintahan, dan segala yang terkait dengannya sudah menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dengan Islam sebagai sebuah agama. Data sejarah tentang fiqh siyasah seringkali tidak mendapat perhatian kalangan sekuler yang menganut paham pemisahan agama dari negara.

b. Antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara)

Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam di Madinah di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad. Hal ini berlangsung terus hingga masa al-Khulafa’ al-Rashidun. Sebagaimana pada masa Nabi, para khalifah memegang kekuasaan baik menyangkut kekuasaan agama (ulama’) ataupun politik (umara’). Pada saat itu, kekuasaan untuk mendefinisikan hal-hal yang dianggap benar menyangkut ajaran syariah (sebagai ulama’) berada di tangan para khalifah. Begitu pula, kekuasaan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, dan juga untuk melanjutkan misi Islam yang telah dilakukan oleh Nabi (sebagai umara’), semuanya berada di tangan khalifah.

Pada masa modern terlihat ketegangan antara ulama’ dan umara’, misalnya, pada pemikiran Rasyid Ridha yang dikenal sebagai salafiyah yang konservatif dan pemikiran Ahmad Safwat dan Ali Abd Raziq yang liberal. Pada dasarnya, Rasyid Ridha berpendapat bahwa sistem khilafah yang telah dihancurkan dan diganti dengan sistem republik oleh penguasa Turki harus dihidupkan kembali. Hal ini penting untuk menyatukan kembali umat Islam dalam satu kepemimpinan khalifah. Rasyid Ridha menolak secara tegas pemisahan agama (ulama’) dan negara (umara’).

Pandangan Ali Abd Raziq amat berbeda dengan pikiran Rasyid Ridha. Berdasarkan semangat ajaran Abduh, Raziq menformulasikan pikiran kenegaraannya melalui karyanya yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar


(18)

Pemerintahan). Ia, antara lain, menegaskan bahwa masalah negara tidak termasuk bahkan harus dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas berbeda misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang sebagai penganut paham sekuler. Di antara alasan penting yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran tentang hal itu. Namun, Muhammad al-Ghazali setuju dengan pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan pemikiran Rasyid Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama (ulama’) dan politik (umara’) di tangan pemimpin umat (khalifah). Pemisahan antara keduanya, tegas al-Ghazali, adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah

din la dawlah (agama dan bukan negara) dan menegaskan tentang perlunya ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan nasionalis.

Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara normatif maupun empiris, pemikiran maupun praktek menyangkut negara, pemerintahan, maupun politik pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada jalur ajaran syariah.

Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini didasarkan pada prinsip hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga sesungguhnya agama dan negara adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.

F. Hukum Islam di Indonesia

Pembicaraan mengenai kedudukan Hukum Islam di Indonesia sangat memerlukan kajian mengenai sistem hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, yang mana bersifat majemuk. Hal ini dikarenakan ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu


(19)

Hukum dari Eropa Kontinental, Hukum Adat, dan Hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut telah berlaku di Indonesia walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama. Hukum Adat merupakan yang paling pertama berlaku di Indonesia, disusul dengan Hukum Islam dan kemudian Hukum Eropa Kontinental. Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita. Waktu persis kedatangannya belum diketahui sampai sekarang, banyak perbedaan pendapat tentang masalah ini, namun yang pasti ialah Hukum Islam berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk agama Islam di manapun ia berada. Setelah Belanda menjajah Indonesia, perkembangan hukum Islam “dikendalikan” dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan perundang-undangan (IS 1925, 1929), menurut Prof. Hazairin, perkembangan Hukum Islam dihambat di tanah air kita4.

Pengkaitan antara Hukum Islam dengan konsep Negara Indonesia tentunya berlandaskan kepada pertama yaitu Grund Norm atau norma dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Pancasila. Mengingat sila kesatu dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah jelas bahwa disini dapat ditafsirkan bahwa segi-segi teologis sangatlah dikedepankan dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Konsep negara menurut ajaran agama Islam haruslah bertujuan baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang artinya negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa, dan tentunya dengan didasarkan pada hukum Islam-lah hal ini dapat terwujud.

Mengilas balik kepada bahasan “negara dan pemerintahan dalam islam dalam konteks metodologi” dan menjadikannya sebagai salah satu bahan acuan pada penerapan hukum islam pada suatu konsep bernegara, tentunya sangat banyak yang dapat diambil untuk menghias konspe negara Indonesia, karena tentunya agama Islam menjungjung tinggi segala kebajikan untuk seluruh umat. Poin pertama berbicara mengenai ajaran normatif, yaitu prinsip-prinsip dasar daripada suatu negara, konsep yang diajarkan berdasarkan kepada tauhid yang bersandar pada kalimat syahadat. Negara Republik Indonesia, pada saat penyusunan Pancasila, pada awal mulanya sila pertama berbicara secara langsung tentang negara yang didasarkan pada syari’at Islam, namun tentunya hal ini dipandang tidak


(20)

memungkinkan untuk terwujud, mengingat keberagaman dan kemajemukan keyakinan serta kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Maka dari itu, tentunya konsep negara Indonesia tidak dapat berlangsung dengan sistem teokrasi yang secara terang menegaskan prinsip-prinsip ketuhanan dalam bernegara. Namun hal ini bukan menjadi alasan untuk mengenyampingkan hukum Islam dan membiarkannya hanya sekedar menjadi kiasan belaka dalam kehidupan, karena nyatanya banyak sekali yang dapat dipandang perlu karena member manfaat yang sangat baik, misalnya prinsip-prinsip ketauhidan, kerukunan antar umat, supremasi hukum yang selalu ditekankan dan dijunjung tingginya keadilan. Tentunya banyak sekali hal yang tidak disadari maupun dikesampingkan oleh manusia mengenai fakta bahwa ajaran agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Poin kedua, studi empiris mengisahkan betapa disayangkannya apabila terjadi instabilitas dalam negara yaitu instabilitas antara politik dengan pemerintahannya, penyimpangan-penyimpangan dan perseteruan antara ulama’ dan umara’ menimbulkan berbagai “penyakit” dan hal ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dalam penerapannya, hal ini terlihat pada pemerintahan Indonesia yang cenderung korup dan sudah sangat menyimpang dari sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT, kemakmuran rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama dari kebijakan pemerintah, melainkan kemakmuran individual atau kelompoknya sendiri.

Semakin jauhnya “kedudukan” hukum Islam di Indonesia dari peringkat prioritas, kini menjadi sangat memprihatinkan, konsep negara Indonesia yang memang semula bertujuan untuk menjunjung tinggi keagamaan dalam mengendalikan arah negara kea rah yang lebih baik, tampaknya diabaikan dan hanya dijadikan kiasan belaka. Hukum Islam sudah seharusnya mendapat posisi prioritas dalam menentukan segala kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dan mengingat kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia, hal ini harus disusun dengan se-adil mungkin dan menghindari cacat sekecil mungkin, agar tidak terjadi prasangka dan perpecahan antar umat beragama di Indonesia, serta tidak menjadikan suatu peraturan bagai “pisau bermata dua” alias dapat merugikan pihak pemerintah pada akhirnya.


(21)

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan sumber dan hasil pembahasan dari sumber, maka kesimpulan yang dapat ditarik untuk makalah ini ialah: [1] bahwa Konsep Negara terkait dengan Hukum Islam, adalah suatu ikatan yang dapat dikatakan hampir sempurna. Hal ini dikarenakan oleh susunan dari pemikiran para ahli yang digabungkan dengan ajaran Islam yang sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan bertujuan untuk


(22)

mensejahterakan ummat, Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur. Dalam kesimpulan ini, terkait pula dengan tujuan negara, dan negara dan pemerintahan dengan konteks metodologi Islam; [2] Hubungan antara hal tersebut dengan Indonesia adalah, ketika Hukum Islam dikaitkan dengan Konsep Negara yang dianut oleh Indonesia, maka sesungguhnya kestabilan bernegara sangatlah memungkinkan untuk terjadi. Terkait dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa, maka Hukum Islam seharusnya mendapat prioritas tinggi dalam pengkaitan dengan Konsep Negara Indonesia, yang mana akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang penulis tarik dari makalah ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah, [1] Kepada seluruh rakyat Indonesia agar senantiasa mengamalkan isi dari Pancasila sebagai dasar dari kehidupan bernegara; [2] Kepada seluruh umat muslim di Indonesia, agar senantiasa mematuhi dan mengamalkan apa-apa yang menjadi ajaran agama Islam, karena pada asasnya keimanan merupakan nikmat tertinggi dari Allah SWT, dan ingatlah bahwa janji Allah akan datang. Negara Indonesia adalah Negara dengan kekayaan alam yang berlimpah, dan merupakan karunia Allah SWT, dan menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengolah dan melestarikannya, berdasarkan apa-apa yang menjadi dasar kehidupan bernegara dan beragama, yaitu tentunya hal ini terkait dengan kesimpulan dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Mizan, Jakarta, 2001

Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995


(23)

Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011

Kamaruzzaman, RelasiIslam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Yayasan Indonesiatera, Jakarta, 2001

Schmid, Von, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT Pembangunan, Jakarta, 1988 Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2010


(1)

Pemerintahan). Ia, antara lain, menegaskan bahwa masalah negara tidak termasuk bahkan harus dipisahkan dari agama. Ulama’ dan umara’ secara tegas berbeda misinya. Karena pendapatnya ini, ia dipandang sebagai penganut paham sekuler. Di antara alasan penting yang dijadikan argumen pemikir sekuler untuk menolak kehadiran negara Islam adalah tidak adanya ayat al-Quran tentang hal itu. Namun, Muhammad al-Ghazali setuju dengan pemikiran Rasyid Ridha. Ia melanjutkan pemikiran Rasyid Ridha tentang pentingnya penyatuan kekuasaan agama (ulama’) dan politik (umara’) di tangan pemimpin umat (khalifah). Pemisahan antara keduanya, tegas al-Ghazali, adalah bid’ah. Ia menolak pendapat bahwa Islam adalah din la dawlah (agama dan bukan negara) dan menegaskan tentang perlunya ditegakkan hukm islami la qawmi, pemerintahan Islam dan bukan pemerintahan nasionalis.

Dari pembahasan pada bagian-bagian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa secara normatif maupun empiris, pemikiran maupun praktek menyangkut negara, pemerintahan, maupun politik pada umumnya merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari Islam itu sendiri sebagai satu agama sejak awal Islam hingga kini. Realitas sejarah yang menunjukkan konflik atau pemisahan antara ulama’ (agama) dan umara’ (negara) lebih menggambarkan penyimpangan dari ajaran yang seharusnya. Dengan kata lain, pemisahan tersebut terjadi justru karena penguasa politik cenderung otoriter dan korup yang kemudian mendapat tantangan keras dari para ulama’ yang menginginkan umat tetap berada pada jalur ajaran syariah.

Agama dan negara memiliki pertalian yang erat. Pertalian ini didasarkan pada prinsip hablun min Allah wa hablun min al nas. Sehingga sesungguhnya agama dan negara adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan begitu saja.

F. Hukum Islam di Indonesia

Pembicaraan mengenai kedudukan Hukum Islam di Indonesia sangat memerlukan kajian mengenai sistem hukum yang berlaku di Indonesia sekarang ini, yang mana bersifat majemuk. Hal ini dikarenakan ada tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu


(2)

Hukum dari Eropa Kontinental, Hukum Adat, dan Hukum Islam. Ketiga sistem hukum tersebut telah berlaku di Indonesia walaupun keadaan dan saat mulai berlakunya tidaklah sama. Hukum Adat merupakan yang paling pertama berlaku di Indonesia, disusul dengan Hukum Islam dan kemudian Hukum Eropa Kontinental. Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air kita. Waktu persis kedatangannya belum diketahui sampai sekarang, banyak perbedaan pendapat tentang masalah ini, namun yang pasti ialah Hukum Islam berlaku dan mengikat bagi semua pemeluk agama Islam di manapun ia berada. Setelah Belanda menjajah Indonesia, perkembangan hukum Islam “dikendalikan” dan sesudah tahun 1927, tatkala teori resepsi mendapat landasan peraturan perundang-undangan (IS 1925, 1929), menurut Prof. Hazairin, perkembangan Hukum Islam dihambat di tanah air kita4.

Pengkaitan antara Hukum Islam dengan konsep Negara Indonesia tentunya berlandaskan kepada pertama yaitu Grund Norm atau norma dasar yang berlaku di Indonesia, yaitu Pancasila. Mengingat sila kesatu dari Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah jelas bahwa disini dapat ditafsirkan bahwa segi-segi teologis sangatlah dikedepankan dalam menjalani kegiatan kenegaraan. Konsep negara menurut ajaran agama Islam haruslah bertujuan baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang artinya negara yang adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah Yang Maha Kuasa, dan tentunya dengan didasarkan pada hukum Islam-lah hal ini dapat terwujud.

Mengilas balik kepada bahasan “negara dan pemerintahan dalam islam dalam konteks metodologi” dan menjadikannya sebagai salah satu bahan acuan pada penerapan hukum islam pada suatu konsep bernegara, tentunya sangat banyak yang dapat diambil untuk menghias konspe negara Indonesia, karena tentunya agama Islam menjungjung tinggi segala kebajikan untuk seluruh umat. Poin pertama berbicara mengenai ajaran normatif, yaitu prinsip-prinsip dasar daripada suatu negara, konsep yang diajarkan berdasarkan kepada tauhid yang bersandar pada kalimat syahadat. Negara Republik Indonesia, pada saat penyusunan Pancasila, pada awal mulanya sila pertama berbicara secara langsung tentang negara yang didasarkan pada syari’at Islam, namun tentunya hal ini dipandang tidak


(3)

memungkinkan untuk terwujud, mengingat keberagaman dan kemajemukan keyakinan serta kepercayaan yang dianut oleh penduduk Indonesia. Maka dari itu, tentunya konsep negara Indonesia tidak dapat berlangsung dengan sistem teokrasi yang secara terang menegaskan prinsip-prinsip ketuhanan dalam bernegara. Namun hal ini bukan menjadi alasan untuk mengenyampingkan hukum Islam dan membiarkannya hanya sekedar menjadi kiasan belaka dalam kehidupan, karena nyatanya banyak sekali yang dapat dipandang perlu karena member manfaat yang sangat baik, misalnya prinsip-prinsip ketauhidan, kerukunan antar umat, supremasi hukum yang selalu ditekankan dan dijunjung tingginya keadilan. Tentunya banyak sekali hal yang tidak disadari maupun dikesampingkan oleh manusia mengenai fakta bahwa ajaran agama Islam mempunyai keunggulan yang luar biasa dalam berbagai bidang. Poin kedua, studi empiris mengisahkan betapa disayangkannya apabila terjadi instabilitas dalam negara yaitu instabilitas antara politik dengan pemerintahannya, penyimpangan-penyimpangan dan perseteruan antara ulama’ dan umara’ menimbulkan berbagai “penyakit” dan hal ini disebabkan kurangnya perhatian terhadap ajaran agama Islam yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dalam penerapannya, hal ini terlihat pada pemerintahan Indonesia yang cenderung korup dan sudah sangat menyimpang dari sesuatu yang dikehendaki oleh Allah SWT, kemakmuran rakyat tidak lagi menjadi tujuan utama dari kebijakan pemerintah, melainkan kemakmuran individual atau kelompoknya sendiri.

Semakin jauhnya “kedudukan” hukum Islam di Indonesia dari peringkat prioritas, kini menjadi sangat memprihatinkan, konsep negara Indonesia yang memang semula bertujuan untuk menjunjung tinggi keagamaan dalam mengendalikan arah negara kea rah yang lebih baik, tampaknya diabaikan dan hanya dijadikan kiasan belaka. Hukum Islam sudah seharusnya mendapat posisi prioritas dalam menentukan segala kebijakan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah, dan mengingat kemajemukan yang ada dalam masyarakat Indonesia, hal ini harus disusun dengan se-adil mungkin dan menghindari cacat sekecil mungkin, agar tidak terjadi prasangka dan perpecahan antar umat beragama di Indonesia, serta tidak menjadikan suatu peraturan bagai “pisau bermata dua” alias dapat merugikan pihak pemerintah pada akhirnya.


(4)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan sumber dan hasil pembahasan dari sumber, maka kesimpulan yang dapat ditarik untuk makalah ini ialah: [1] bahwa Konsep Negara terkait dengan Hukum Islam, adalah suatu ikatan yang dapat dikatakan hampir sempurna. Hal ini dikarenakan oleh susunan dari pemikiran para ahli yang digabungkan dengan ajaran Islam yang sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan bertujuan untuk


(5)

mensejahterakan ummat, Baldatun Thoyibatun Warobbun Ghofur. Dalam kesimpulan ini, terkait pula dengan tujuan negara, dan negara dan pemerintahan dengan konteks metodologi Islam; [2] Hubungan antara hal tersebut dengan Indonesia adalah, ketika Hukum Islam dikaitkan dengan Konsep Negara yang dianut oleh Indonesia, maka sesungguhnya kestabilan bernegara sangatlah memungkinkan untuk terjadi. Terkait dengan Pancasila, yang menjunjung tinggi ketuhanan Yang Maha Esa, maka Hukum Islam seharusnya mendapat prioritas tinggi dalam pengkaitan dengan Konsep Negara Indonesia, yang mana akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. B. Saran

Berdasarkan kesimpulan yang penulis tarik dari makalah ini, maka saran yang dapat disampaikan adalah, [1] Kepada seluruh rakyat Indonesia agar senantiasa mengamalkan isi dari Pancasila sebagai dasar dari kehidupan bernegara; [2] Kepada seluruh umat muslim di Indonesia, agar senantiasa mematuhi dan mengamalkan apa-apa yang menjadi ajaran agama Islam, karena pada asasnya keimanan merupakan nikmat tertinggi dari Allah SWT, dan ingatlah bahwa janji Allah akan datang. Negara Indonesia adalah Negara dengan kekayaan alam yang berlimpah, dan merupakan karunia Allah SWT, dan menjadi tugas seluruh rakyat Indonesia untuk mengolah dan melestarikannya, berdasarkan apa-apa yang menjadi dasar kehidupan bernegara dan beragama, yaitu tentunya hal ini terkait dengan kesimpulan dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah, Mizan, Jakarta, 2001

Azhary, Tahir, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-unsurnya, Universitas Indonesia, Jakarta, 1995


(6)

Daud Ali, Mohammad, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2011

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan Fundamentalis, Yayasan Indonesiatera, Jakarta, 2001

Schmid, Von, Ahli-ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, PT Pembangunan, Jakarta, 1988 Tim Pengajar Mata Kuliah Ilmu Negara, Ilmu Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2010