Asal dan penyebarannya Plasma nutfah dan pemuliaannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TANAMAN ABAKA 1. Biologi dan manfaatnya Abaka Musa textilis Nee merupakan tanaman sejenis pisang penghasil serat termasuk dalam genus: Musa, famili: Musaceae, ordo: Zingiberales. Abaka memiliki daun dan batang yang lebih ramping, dan ujung daunnya lebih runcing dibandingkan pisang. Pangkal daun membulat dan salah satu sisi lamina lebih pendek dibandingkan sisi lainnya Berger 1969; Tabora dan Carlos 1978.Tepi lamina daun berwarna hitam sehingga mudah dibedakan dengan daun pisang. Tinggi tanaman berkisar antara 3-7.5 meter, buahnya berisi biji kecil-kecil, buah berwarna hijau saat masak tetapi kemudian berubah menjadi kuning pucat dan akhirnya hitam Dempsey 1963; Tabora dan Carlos 1978. Awalnya serat abaka yang dihasilkan dari pelepah daun yang membentuk batang semu, banyak digunakan sebagai tali-temali, terutama kapal dan bahan untuk industri pancing karena tahan terhadap kelembaban, air laut dan air tawar Purseglove 1983. Selain itu serat abaka dapat ditenun dan digunakan sebagai bahan pakaian yang sejuk dipakai, untuk kain jok, popok bayi pampers, pembungkus kabel listrik dan peredam suara kapal terbang Heyne 1987; Duryatmo dan Dasoeki 1999. Pulp abaka sangat baik digunakan untuk bahan baku kertas tipis seperti kertas dokumen, surat berharga, kertas uang, kertas kemasan Triyanto et al. 1982, kertas saring, kertas dasar stensil, kertas sigaret, kertas teh celup, kertas pembungkus dagingsosis, dan kertas lensa Aragon 2000. Penggunaan serat abaka untuk kertas uang peso di Filipina dimulai tahun 2000, sedangkan di Jepang sudah sejak lama dilakukan Hilario 2006.

2. Asal dan penyebarannya

Abaka berasal dari Filipina Nur 1957, Villordon 2003, daerah penanaman terbesar adalah semenanjung Bicol yang terletak di bagian selatan pulau Luzon; Leyte dan Samar pada kepulauan Visayas; dan propinsi Davao pada kepulauan Mindanao. Karena abaka merupakan tanaman asli Filipina, maka disebut juga sebagai ’Manila Hemp’ dan pada tahun 1690 disebut sebagai Musa mindanensis Montgomery 1954. Usaha penyebaran abaka sudah dimulai sejak 1811 tetapi selalu mengalami kegagalan karena introduksi menggunakan biji, kondisi pertumb uhan tidak sesuai, dan kurangnya pengetahuan tentang budidaya Purseglove 1983. Tahun 1924-1925 bibit abaka berhasil diintroduksi ke Panama, Costa Rica, Guatemala, dan Honduras, kemudian menyebar dan dapat tumbuh baik di India, Ceylon, Kepulauan Andaman, Bengal, Hawai, Kepulauan Salomon, Jamaica, Tinidad, Sabah, Sumatra, Malaya dan New Guinea Hilman dan Toruan-Mathius 2001. Pengembangan abaka di Indonesia dimulai pada tahun 1853 di Minahasa, tetapi pada saat itu keuntungan yang diperoleh dari budidaya abaka sangat rendah. Tahun 1905 mulai dikembangkan di Jawa dan Sumatera Selatan dan tumbuhnya tidak mengecewakan. Pada tahun 1912 dilaporkan bahwa terdapat tiga perkebunan besar di Besuki, Jawa Timur dan pada tahun tersebut dapat mengekspor 200 ton serat, kemudian produktivitas menurun dan keuntungannya terlampau kecil, sehingga perkebunan tersebut tidak berkembang Heyne 1987; Hilman dan Toruan-Mathius 2001. Salah satu perkebunan abaka di Indonesia yang masih tersisa antara lain di Bayulor, Banyuwangi seluas ± 400 ha.

3. Plasma nutfah dan pemuliaannya

Plasma nutfah abaka di Philippina mencapai sekitar 192 aksesi Villareal 1988, tetapi hanya 20 diantaranya yang memiliki nilai komersial tinggi. Tiga varietas utama yang banyak ditanam adalah: Tangongon, Bungulanon, dan Maguindanao Dempsey 1963; Purseglove 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001. Di Indonesia, koleksi plasma nutfah yang terdapat di Balittas, hanya 37 aksesi, sepuluh diantaranya telah dianalisis keragaman genetiknya oleh Hadipoentyanti et al. 2001, hasil analisis menunjukkan bahwa 10 aksesi tersebut memiliki hubungan kekerabatan dekat. Pemuliaan abaka terutama ditujukan untuk memperoleh varietas tahan terhadap penyakit atau hama. Penyakit yang banyak ditemukan pada pertanaman abaka adalah penyakit yang disebabkan oleh virus bunchy top, mosaik, jamur Fusarium oxysporum Schlecht. f.sp cubensis E.F.Sm Synder Hansen, bakteri Pseudomonas solanacearum, serta nematoda Radopholus simulus dan Pratylenchus coffeae. Hama utama yang banyak dijumpai adalah: aphids, ulat Cosmopolites sordidus Germ, hama pemakan daun Thosea sinensis Purseglove, 1983; Hilman dan Toruan-Mathius 2001. Persilangan antara abaka M. textilis, 2n=20, kualitas serat baik dengan pacol M. balbisiana, 2n=22, tahan bunchy top dan mosaik, telah menghasilkan hibrid yang memiliki sifat tahan terhadap penyakit tersebut dan kualitas pulp paling tinggi. Hibrid tersebut telah dikembangkan secara besar-besaran di Filipina sebagai agro- industri Villareal 1988. Varietas unggul abaka diharapkan mempunyai ciri-ciri: batang tinggi besar minimal tinggi 6 m dan diameter batang bawah 20 cm, perakaran dalam dengan jumlah akar 150 pada setiap tanaman dewasa, memiliki 20 pelepah daun per batang, kandungan serat minimum 2.5 persen, dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan lingkungan yang berbeda, resisten terhadap kekeringan dan banjir, masa produktif lama, resisten terhadap hama dan penyakit, memiliki kualitas serat baik Purseglove 1983. PENYAKIT LAYU FUSARIUM Penyakit layu Fusarium, yang juga dikenal sebagai Panama disease, merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada tanaman pisang, termasuk abaka Musa textilis Nee yang ditanam di daerah tropika. Penyakit yang disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporum Schlecht.f.sp. cubense E.F. Smith Snyd Hans ini telah menginfeksi pertanaman pisang di Asia, Afrika, Australia, dan daerah tropika di Amerika sejak 50 tahun yang lalu Hwang Ko 2004. Cendawan tersebut dapat bertahan lama di dalam tanah dalam sruktur klamidospora pada sisa-sisa tanaman dan merupakan sumber inokulum yang dapat menyerang abaka dan tanaman lainnya. Penyakit ini dapat menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit yang ada di sekitarnya, dapat juga melalui bibit dan tanah yang terinfeksi Agrios 1997. Cendawan ini menyebar cepat pada daerah yang kelengasan tanahnya tinggi, drainasenya buruk, tanah remah dan masam. Penyebaran patogen terutama melalui bibit, tanah yang terinfeksi, sisa tanaman sakit, air ya ng mengalir, alat-alat pertanian, dan alat transportasi Hutagalung 2002. Sampai saat ini telah dikenal 4 ras F. oxysporum f.sp. cubense, tiga diantaranya merupakan patogen utama pada pisang Wibowo et al. 2001.

1. Gejala yang ditimbulkan