B. INTERVENSI NEGARA DAN DAMPAKNYA TERHADAP HAK
ULAYAT 36
1. Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat dan Hak-hak
Tradisionalnya: 36
2. Prinsip
“Negara Menguasai”:
39 3. Hak Ulayat Dalam Otonomi Daerah:
44 C. KONFLIK PENGELOLAAN TANAH ULAYAT DAN
SISTEM PENYELESAIANNYA
51 1. Pengelolaan Tanah Ulayat Dan Faktor Penyebab Konflik 51
2. Teknik Pengelolaan Solusi Konflik Tanah Suku 61
BAB V PENUTUP 65
A. KESIMPULAN 65
B. REKOMENDASI 66
DAFTAR PUSTAKA
67
BAB 1 PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Realitas masyarakat hukum adat pertanahan dan eksistensi hak ulayat tanah suku pada umumnya dan khususnya masyarakat Nusa Tenggara Timur, antara lain merupakan
dasar argumentasi untuk melakukan penelitian ini :
1. Keraguan akademis
Berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa pengelompokan lingkungan hukum adat didasarkan pada beberapa kriteria: bahasa Van Vollenhoven, 1925; teritorial dan
genealogis Jaspan, 1959; sosiografi Indonesia, 1959; Ter Haar, 1987 dan kombinasi dari berbagai keriteria bahasa, genealogis dan teritorial yang banyak dilakukan oleh para
psikolog. Kriteria tersebut kemudian dipandang mengandung karakteristik universal dan dijadikan dasar penilaian bagi eksistensi sistem hukum adat yang ada diberbagai tempat
yang berbeda-beda. Identifikasi tersebut, kemudian menghasilkan Hipotesa tentang 19 lingkungan masyarakat hukum adat.
Di beberapa daerah, usaha verifikasi membenarkan dan falsifikasi menggugurkan terhadap hipotesis tentatif tersebut diatas sudah ada, meskipun
jumlahnya masih sangat kurang seminar hukum adat, BPHN, 1976; R. Subekti, 1991. Usaha verifikasi dan falsifikasi itu dilakukan melalui berbagai penelitian ilmiah yang
diperkuat dengan putusan mahkamah agung jurisprudensi. Untuk lingkungan hukum adat wilayah Nusa Tenggara Timur, penelitian tentang hukum adat dan eksistensi hak
ulayat tanah suku jarang dilakukan. Langkahnya penelitian hukum adat; masyarakat adat; hubungan antara masyarakat
hukum adat dengan tanah eksistensi tanah suku; menyulitkan praktisi hukum termasuk lembaga pengadilan untuk menyelesaikan setiap sengketa yang dihadapkan kepadanya
secara adil dengan memperhatikan hukum yang hidup pada masyarakat adat. Akibat selanjutnya ialah bahwa, jurisprudensi mahkamah agung yang mengukuhkan verifikasi
1
atau menggugurkan falsifikasi terhadap hukum adat di daerah ini jarang ditemukan, bahkan belum ada sama sekali. Apakah ini semua berarti hukum adat pertanahan di
wilayah ini masih eksis termasuk tanah suku atau sebaliknya? Kalau eksis, apa yang menyebabkan hukum adat dan wilayah persekutuan tanah suku itu eksis dan sebaliknya
kalau falsifikasi, apa alasan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan dan bagaimana dari teori tersebut yang difalsifikasi? Suatu realita, bahwa hukum adat dan wilayah
persekutuan tanah suku di wilayah ini masih ada, minimal seperti yang ditunjukan oleh para peneliti sebelumnya, tetapi bagaimana rupanya belum terkompilasi.
2. Pendirian Hukum Positif Terhadap Hukum Adat Pertanahan
Ambiguitas hukum positif terhadap hukum adat pertanahan tampak dalam tiga hal.
Pertama , secara eksplisit mengakui eksistensi hak komunal beshickkingsrecht
masyarakat hukum adat atas tanah antara lain diatur dalam pasal 2 ayat 4; pasal 3; pasal 5 UUPA; UU No.6 tahun 1976; pasal 6 PP No. 21 tahun 1970; Kepres No. 54 Tahun
1980; pasal 34. 37 UU No. 41 tahun 1999; Kepmen Agraria No. 5 tahun 1999. Kedua,
pengakuan terhadap hak-hak individu inlands bezitsrecht tentang terjadinya hak milik, jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan lain yang
bermaksud memindahkan hak milik antara lain pasal 22 ayat 1 dan pasal 56 UUPA.
Ketiga , antara mengakui dan tidak mengakui hak-hak komunal masyarakat adat antara
lain Permen Agraria No. 5 Tahun 1999 dan Perda Propinsi NTT No. 8 Tahun 1974. Ambiguitas tersebut di atas, memerlukan keputusan tentang posisi dan eksistensi
hukum adat pertanahan, menyangkut: hak-hak komunal beschikkingrecht; hak-hak perorangan inlands bezitrecht, terjadinya hak milik, jual beli, penukaran, penghibahan,
pemberian dengan wasiat dan perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak milik. Penelitian sangat perlu untuk mendukung suatu pilihan atau keputusan.
3. Praktis
Tanah memiliki arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia, berbagai kegiatan manusia senantiasa berkaitan dengan tanah, baik kegiatan sosial, ekonomi,
budaya, agama dan sebagainya. Bahkan tanah sering diulang-ulang dan cenderung
2
menjadi mitos tanpa melihat konteks sosial politik, bahkan dikatakan memiliki makna tinggi yang dapat dipadankan dengan nyawa Judiantara dan Wijaya dalam Hariardi dan
Masruchah, 1995: 75. Penilaian semacam itu bukanlah suatu isapan jempol belaka, karena dalam
kenyataannya penilaian seperti yang disebutkan di atas memiliki dasar pembenarannya. Bagi penduduk NTT yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian, tanah selain sebagai
sumber daya ekonomi, diperlukan untuk kegiatan sosial, budaya dan agama, juga melambangkan status sosial seseorang dalam masyarakat.
Manyadari akan pentingnya tanah bagi kehidupan umat manusia, tidak luput dari perhatian kaum penjajah waktu itu dimana tanah yang dikuasai rakyat berdasarkan
hukum adat tanah suku maupun tanah perorangan tidak diberi ruang untuk memperoleh kepastian hukum, karena disamping perangkat hukumnya tidak tersedia, pendaftaran
yang dilakukan pada waktu itu hanya mengenai tanah yang bersumberkan hukum barat. Terhadap tanah adat hanya dilakukan registrasi untuk penarikan pajak landrente.
Tanah suku adalah tanah yang dikuasai oleh persekutuan masyarakat adat yang terbentuk berdasarkan kesamaan tempat tinggal teritorial maupun berdasarkan
kesamaan keturunan geneologis. Tanah tersebut mempunyai nilai religius magis karena ada hubungan yang erat dengan sistem nilai, kepercayaan dan struktur kekerabatan
maupun teritorial masyarakat setempat. Penguasaannya pun telah turun-temurun, diakui oleh masyarakat setempat sekalipun hanya didasarkan pada kebiasaan dan adat-istiadat
yang berlaku di wilayah tersebut. Pemilikan dan penguasaan yang didasarkan pada hukum adat dan tidak didukung oleh bukti tertulis dinyatakan sebagai tanah milik negara
penjajah pasal 1 Agrarish Besluit yang dikenal dengan sebutan Domein Verklaring. Hal ini tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang mengutamakan
kepentingan kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya. Setelah bangsa indonesia merdeka, negara hanya diberikan hak menguasai atas
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk mengatur dan
3
menyelenggarakan penggunaan, peruntukan, persediaan dan pemeliharaannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat indonesia pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Sebagai penjabaran dari ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 45 ditetapkan undang- undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar Pokok-pokok Agraria UUPA.
Pembentukan UUPA didasarkan pada hukum adat pasal 5 dan pasal 3 UUPA mengakui keberadaan tanah ulayat tanah suku dan semacamnya sepanjang kenyataannya masih
ada. Itu artinya tidak diperkenankan untuk membentuk tanah suku baru. Pada tahun 1974 Pemerintah Daerah Tingkat I NTT mengeluarkan Peraturan
Daerah No. 8 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Hak Atas Tanah yang melemahkan eksistensi hak ulayat tanah suku. Pasal 2 ayat 1 Peraturan Daerah ini menentukan
bahwa tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat maksudnya tanah suku dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah penguasaan pemerintah daerah cq Gubernur
Kepala Daerah. Penegasan Pemerintah Daerah ini atas dasar pertimbangan bahwa suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai persekutuan hukum geneologis, sehingga tidak
ada lagi tanah suku. Yang ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat dan tanah-tanah seperti inilah yang oleh pemerintah daerah dinyatakan sebagai tanah
negara. Berdasarkan penjelasan dari ketentuan pasal 2 peraturan daerah tersebut, pernyataan yang tertuang dalam pasal 2 sebagai tindak lanjut hasil kesimpulan
Simposium Terbatas Persoalan Tanah Suku di Daerah Propinsi NTT yang diselenggarakan pada bulan Mei 1972. Simposium itu sendiri dalam kesimpulannya
antara lain menyatakan, bahwa telah terjadi proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum
geneologis. Karena itu dikatakan bahwa di NTT tidak ada lagi tanah suku. Yang ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat suku
Penegasan seperti tersebut diatas belum tentu mencerminkan keadaan sesungguhnya, karena belum tentu melalui pengkajian penelitian yang mendalam
tentang keberadaan tanah suku dengan berbagai komponen yang terkait didalamnya. Lagi pula di kalangan pemerintah sendiri dalam hal ini Kanwil Badan Pertanahan Nasional
masih belum yakin dengan pernyataan kesimpulan simposium 1972 itu. Kepala Kantor
4
Wilayah BPN Propinsi NTT, dalam suratnya kepada Gubernur tanggal 20 Nopember 1993 No. 500-224 menyampaikan suatu telahaan yang antara lain isinya menyatakan
bahwa di NTT, baik ditingkat propinsi maupun kabupaten perlu dibentuk lembaga yang bersifat permanen sebagai peneliti untuk melihat sejauh mana keberadaan eksitensi
tanah suku hak ulayat di NTT dengan tugas antara lain untuk meneliti tentang : 1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat dengan batas-batas yang jelas dan
diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan. 2. Adanya masyarakat hukum adat.
3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan. 4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan masih
operasional tidak hanya nama. 5. Adanya sanksi terhadap pelanggar yang ditaati warga masyarakat hukum adat.
6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat diperjual-belikan. Perlu dilakukan penelitian tentang keberadaan tanah suku ini diperkuat dengan
ditetapkannya Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat. Dalam ketentuan pasal 5 dari peraturan menteri tersebut ditentukan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 2
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, lembaga swadaya
masyarakat dan instansi yang mengelola sumber daya alam. Dengan demikian penelitian tentang eksistensi tanah suku dewasa ini sudah sangat
tepat dilakukan dalam hubungannya dengan pelaksanaan otonomi daerah. Masing-masing pihak persekutuan masyarakat adat, pemerintah dan investor akan memperoleh
keuntungan apabila semua kepentingan terakomodir dalam memanfaatkan tanah persekutuan tanah suku untuk menunjang pelaksanaan pembangunan demi
kesejahteraan seluruh rakyat. Saat ini yang memperoleh keuntungan adalah pemanfaat tanah pesekutuan adat seperti pemegang HPH, kuasa pertambangan, pemegang HGU dll,
hal ini terjadi disebabkan penyelesaian secara tuntas mengenai eksistensi tanah suku tidak
5
final. Masyarakat persekutuan adat suku menjadi penonton dan tidak lagi menjadi tuan dinegerinya sendiri. Namun untuk masa depan hak-haknya merekapun pemegang HPH
dsb akan terancam akibat penyerobotan yang dilakukan oleh anggota atau persekutuan masyarakat hukum adat dalam bentuk kleim sepihak bahwa tanah-tanah tersebut
merupakan milik persekutuan adat tanpa mempedulikan nilai investasi atas tanah tersebut. Klaim tersebut seringkali disertai dengan tindak kekerasan seperti perusakan
fasilitas pendukung usaha, kantor, peralatan usaha, kendaraan dsb.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan pokok penelitian adalah bagaimanakah eksistensi tanah suku dalam masyarakat hukum adat di Propinsi Nusa
Tenggara Timur. Permasalahan pokok tersebut dijabarkan dalam 4 empat pertanyaan penelitian:
1. Apakah masih ada wilayah persekutuan dengan batas-batas tertentu sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak ulayat tanah suku dan diakui oleh
masyarakat hukum yang berbatasan ? 2. Apakah kepala persekutuan masyarakat hukum adat masih memiliki kewenangan
untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah persekutuan yang dikuasai, mengatur dan menentukan
hubungan hukum antara orang dengan tanah, mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang berkenaan
dengan tanah ? 3. Apakah masih ada masyarakat hukum adat anggota persekutuan yang merasa
terikat dan mentaati kewenangan persekutuan masyarakat hukum adat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk memelihara dan mempertahankan
wilayah persekutuan yang dikuasai dari gangguan pihak lain ? 4. Apakah ada hukum adat termasuk hukum pertanahan yang berlaku dan mengikat
semua anggota persekutuan ? 5. Apakah dalam masyarakat hukum adat masih ada tanah ulayat dan bagaimanakah
keberadaan hak ulayat atas tanah tersebut?
6
6. Bagaimanakah perlakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat hokum adat dan hak ulayat atas tanah?
7. Bagaimana mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan hak ulayat ?
8. Bagaimana mekanisme pengalihan hak ulayat kepada pihak ketiga ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui keberadaan wilayah persekutuan dengan batas-batas yang jelas
sebagai lebenstraum yang merupakan obyek hak ulayat. 2. Untuk mengetahui kewenangan yang dimiliki persekutuan masyarakat hukum
adat dalam mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah, persediaan dan pemeliharaan tanah persekutuan yang dikuasai; mengatur dan menentukan
hubungan hukum antara orang dengan tanah; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum yang berkenaan dengan
tanah. 3. Untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat anggota persekutuan
yang merasa terikat dan mentaati kewenangan persekutuan masyarakat hukum adat dan memiliki tanggung jawab yang sama untuk memelihara dan
mempertahankan wilayah persekutuan yang dikuasai dari gangguan pihak lain. 4. Untuk mengetahui keberadaan hukum adat termasuk hukum adat pertanahan yang
berlaku dan mengikat semua anggota persekutuan. 5. Untuk mengetahui keberadaan hak ulayat atas tanah dalam masyarakat hukum
adat. 6. Untuk mengetahui perlakuan pemerintah daerah terhadap masyarakat hukum adat
dan hak ulayat atas tanah. 7. Untuk mengetahui mekanisme solusi konflik yang berhubungan dengan
penguasaan dan pemanfaatan tanah persekutuan hak ulayat.
7
8. Untuk mengetahui mekanisme pengalihan hak ulayat tanah suku kepada pihak ketiga
Sedangkan manfaat dari hasil penelitian ini adalah: 1. Sebagai referensi ilmiah bagi proses pengambilan keputusan politik dan hukum
penyusunan perda tentang kecamatan dan desa pada umumnya khususnya yang berhubungan dengan pemberdayaan lembaga adat, pengelolaan tanah suku di
Propinsi NTT. 2. Sebagai bahan yang dapat dipertimbangkan semua pihak dalam rangka untuk
menyelesaikan sengketa tanah suku pada umumnya dan khususnya tanah suku di Propinsi NTT.
3. Sebagai bahan informasi bagi DPD RI dalam membuat kebijakan yang berkaitan dengan fungsi yang diembannya, terutama mengenai pengelolaan sumber daya
alam di daerah.
8
BAB II TELAAHAN PUSTAKA
Hak ulayat tanah suku merupakan nama yang diberikan para ahli hukum dan hubungan hukum konkrit antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya
yang disebut tanah ulayat Boedi Harsono, 1994: 215. Pengertian hak ulayat tanah suku secara resmi tidak dijumpai didalam UUPA.
Dalam pasal 3 dan penjelasannya hanya dinyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan istilah hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu ialah apa yang dalam kepustakaan hukum
adat disebut beschikkingrecht.
C.C.J. Massen dan A.p.G. Hens sebagai dikutip oleh Eddy Ruchijat 1986: 31
merumuskan hak ulayat beschikkingrecht sebagai hak desa menurut adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan daerahnya buat kepentingan
anggota-anggotanya atau untuk kepentingan orang lain orang asing dengan membayar kerugian kepada desa, dalam hal mana desa itu adalah banyak turut campur dengan
pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi
disitu yang belum dapat diselesaikan. Sedangkan Sudikno Mertokusumo mengartikan
hak menguasai maksudnya hak ulayat sebagai hak dari desa untuk dalam batas wilayah tersebut menguasai tanah menurut kemauannya, guna kepentingan anggota-anggota desa
atau guna kepentingan orang-orang diluar desa itu dengan pembayaran ganti kerugian Sukdikno 1988: 11, 12.
Lebih lanjut Iman Sudiyat yang menyebut hak ulayat dengan istilah hak purba sebagaimana Djojodigoeno, menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan hak purba
ialah: hak yang dipunyai suatu suku clan gens stam, sebuah serikat desa dorpenbond atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam
9
lingkungan wilayahnya Sudiyat, 1981: 2. Selanjutnya Roestandi Ardiwilaga 1962:
23 menjelaskan secara lebih rinci pengertian hak ulayat sebagai hak persekutuan hukum untuk menggunakan dengan bebas tanah-tanah yang masih merupakan hutan belukar
didalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu sendiri dan anggota-anggotanya atau guna kepentingan orang-orang luar orang asing dengan isin
kepala persekutuan dengan pembayaran recognisi. Dari uraian diatas diketahui bahwa subyek hak ulayat adalah masyarakat hukum
adat, baik tunggal maupun persekutuan daerah, tetapi tidak merupakan hak individu dan merupakan pula hak dari suatu famili Sumardjono, 1982: 5.
Masyarakat hukum merupakan gerombolan yang teratur bersifat tetap, mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri berupa benda yang kelihatan dan yang tidak
kelihatan Ter Harr 1976: 4. Dengan demikian maka hak ulayat menunjukan adanya hubungan hukum antara masyarakat hukum itu dengan tanah wilayahnya. Hubungan
hukum dimaksud menurut Maria S.W. Sumardjono, adalah hubungan menguasai,
bukan hubungan milik sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Hak menguasai yang melekat pada
masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat tanah suku tersebut berisi wewenang untuk :
1. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah untuk pemukiman, bercocok tanam dan lain-lain dan pemeliharaan tanah.
2. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu.
3. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah seperti: jual-beli, warisan dan
lain-lain Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993. Kewenangan yang disebutkan diatas, jika masih ada mencerminkan masih eksisnya
hak ulayat tanah suku dan hak-hak semacamnya dalam masyarakat hukum adat. Dikatakan hak ulayat bila didalamnya terkandung hal-hal sebagai berikut :
10
1. Masyarakat yang bertempat tinggal dalam daerah, kawasan, wilayah tersendiri, yang selanjutnya disebut masyarakat hukum persekutuan hukum rechts
gemeenschap. 2. Tanah yang terletak atau berada didaerah kekuasaan masyarakat hukum tersebut
diatas yang disebut tanah ulayat tanah pertuanan, tanah suku, penyempeto, meru, prabumian dan sebagainya.
3. Kekuasaan yang berada didalam tangan masyarakat hukum serta wewenang untuk mengatur segala sesuatu mengenai tanah ulayat tersebut diatas yang ada sangkut
pautnya dengan tanah ulayat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang selanjutnya disebut hak ulayat Kertawidjaja, 1978: 27-28.
Selanjutnya Cornelis Van Volenhoven menyebut 6 tanda hak ulayat, yaitu:
1. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya dapat dengan bebas mempergunakan tanah liar yang terdapat dalam wilayahnya, seperti
membuka tanah, mendirikan perkampungan. 2. Orang luar masyarakat hukum hanya boleh mempergunakan tanah tersebut
dengan isin dari masyarakat hukum, tanpa isin dipandang sebagai suatu delik. 3. Dalam mempergunakan tanah tersebut bagi masyarakat hukum yang bersangkutan
kadang-kadang juga dipungut recognisi, tetapi orang luar masyarakat hukum selalu dipungut recognisi.
4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang terjadi didalam wilayah yang pelakunya tidak dapat dituntut atau dikenal.
5. Masyarakat hukum adat tidak boleh mengalihkan hak ulayat secara menetap. 6. Masyarakat hukum adat masih mempunyai kewenangan untuk campur tangan
terhadap tanah yang telah digarap Van Vollenhoven dalam Sumardjono, 1982: 6.
Disamping tanda-tandaciri yang disebut para ahli hukum sebagai petunjuk eksistensi hak ulayat dan hak-hak semacamnya, secara konstitusional telah ditetapkan
dalam pasal 3 UUPA yang berbunyi “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang
11
kenyataannya masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertantangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa ekstensi hak ulayat tanah suku dan
hak-hak semacamnya dalam hukum tanah nasional tetap diakui, jika kenyataannya masih ada, artinya, bila dalam kenyataannya tidak ada, maka hak ulayat tanah suku dan hak-
hak semacamnya tidak akan dihidupkan lagi dan tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Meskipun eksistensi hak ulayat diakui, namun dalam pelaksanaanya dibatasi agar sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan dengan undang- undang dan peraturan yang lebih tinggi. Namun kriteria penentu tentang
keeksistensiannya tidak diberikan batasan yang jelas. Dalam hubungan dengan ini, Maria Sumardjono
mengatakan bahwa kriteria penentu ada atau tidaknya hak ulayat dilihat pada 3 tiga hal, yaitu :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat.
2. Adanya tanah wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebestraum yang merupakan obyek hak ulayat.
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu Sumardjono, Kompas 13 Mei 1993.
Dari berlakunya hak ulayat dengan tanda dan kriteria penentu yang digambarkan diatas, dapat disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan
kewajiban masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya. Hak ulayat mengandung 2 dua unsur, yaitu unsur kepunyaan yang
termasuk bidang hukum perdata dan unsur kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penguasaan tanah bersama yang termasuk bidang hukum publik. Pelaksanaan
kewenangan yang bersifat publik ini dilimpahkan kepada kepala adat sendiri atau bersama-sama dengan para tetua adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan Boedi
Harsono, 1994: 216.
12
Di Nusa Tenggara Timur, istilah hak ulayat tidak dikenal, tetapi istilah-istilah seperti tanah Kabisu di Sumba, tanah Wungu di Flores Timur, tanah Lingko di
Manggarai, tanah Leo di Rote, tanah Kanaf di Timor bagian dawan, tanah Fukun di Timor bagian Tetun, Udu di Sabu, Bapang di Alor, dan Ngeng Ngerang di Sikka Patty,
1984: 18 mengandung arti dan isi yang identik dengan tanah hak ulayat. Namun demikian istilah yang populer adalah tanah suku hak ulayat.
Kuatnya eksistensi hak ulayat tergantung dari kuatnya persekutuan masyarakat hukum dan anggota persekutuan mempertahankannya dan tercermin dari sikap
masyarakat mempertahankan dan mentaati kewenangan dan kewajiban yang diemban. Semakin kuatnya hak persekutuan masyarakat hukum yang bersangkutan, maka hak-hak
perorangan akan melemah. Sebaliknya bila hak-hak perorangan mengalami peningkatan dari segi kualitas maupun kuantitasnya, maka kewenangan masyarakat hukum adat
melemah. Kenyataan tersebut oleh Maria Sumardjono 1982: 9 disebut sebagai sifat
istimewa dari hak ulayat, yaitu adanya hubungan timbal balik antara hak ulayat dengan hak-hak perorangan. Semakin intensif penggarapan tanah secara perorangan oleh warga
masyarakat hukum akan menimbulkan hak yang kuat antar penggarap dengan tanah dan oleh karenanya hak ulayat menjadi lemah. Namun apabila tanah garapan tersebut
kemudian ditinggalkan oleh yang bersangkutan dan tidak dipeliharanya lagi, maka hak ulayat menjadi kuat kembali.
Ditetapkannya peraturan Daerah Tingkat I Propinsi NTT No. 8 Tahun 1974 tentang pelaksanaan penegasan Hak Atas Tanah melemahkan eksistensi tanah suku yang dikuasai
rakyat berdasarkan hukum adat. Pasal 2 ayat 1 peraturan daerah ini menentukan bahwa tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat dinyatakan sebagai tanah-tanah dibawah
penguasaan Pemerintah Daerah c.q Gubernur Kepala Daerah, sedangkan dalam ayat 2 ditentukan bahwa, setiap orang atau badan hukum yang menguasai tanah-tanah sebagai
dimaksud pada ayat 1 pasal ini perlu memiliki bukti penegasan hak. Pernyataan penguasaan tersebut diatas, menurut penjelasan dari ketentuan pasal 2
peraturan daerah tersebut, menindak lanjuti hasil kesimpulan Simposium terbatas persoalan tanah suku di daerah Propinsi NTT yang diselenggarakan bulan Mei 1972.
13
Simposium itu sendiri dalam kesimpulannya antara lain menyatakan, bahwa telah terjadi proses individualisasi dan disintegrasi suku, sehingga suku tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagai suatu persekutuan hukum geneologis. Jadi oleh karena suku tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai persekutuan hukum
geneologis, maka tidak ada lagi tanah suku. Yang ada adalah tanah bekas penguasaan masyarakat hukum adat suku dan tanah-tanah seperti inilah yang oleh Peraturan Daerah
dinyatakan sebagai tanah negara. Peraturan daerah diatas kemudian pada tahun 1984 diperkuat dengan produk hukum
lain dari Pemerintah Daerah berupa Instruksi Gubernur Kepala Daerah Tkt I NTT No. 3 Pem-um 1984 yang antara lain berisi ketentuan sebagai berikut:
1. Melarang setiap orang, badan hukum, instansi pemerintah dan lembaga kemasyarakatan untuk membagi tanah negara dan tanah-tanah bekas tanah suku,
selama kewenangan tersebut tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Menginventarisasi tanah-tanah kosong yang ditelantarkan dan diatur penggunaannya oleh pemerintah sesuai dengan rencana induk pembangunan
daerah. Tidak jelas apakah kesimpulan simposium tahun 1972 tersebut diatas menjadi
landasan pemikiran dikeluarkannya peraturan daerah No. 8 Tahun 1974 dan kemudian Instruksi Gubernur No.3 Pem-Um-1984 benar-benar mencerminkan kenyataan
sesungguhnya tentang keberadaan persekutuan masyarakat hukum adat suku selaku subyek hak ulayat di NTT. Sebab, apabila tidak, hal itu secara yuridis menegaskan
keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat yang dimilikinya. Pemerintah daerah sendiri, setidak-tidaknya kantor wilayah BPN NTT belum belum
begitu yakin dengan pernyataan kesimpulan simposium tahun 1972 itu. Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi NTT, dalam suratnya kepada Gubernur Kepala Daerah Tkt I NTT
tanggal 20 Nopember 1993 No. 500-224 menyampaikan suatu telahaan yang antara lain isinya menyatakan bahwa di NTT, baik ditingkat Propinsi maupun Kabupaten, perlu
14
dibentuk lembaga yang bersifat permanen sebagai peneliti sejauhmana keberadaan eksistensi tanah suku hak ulayat di NTT dengan tugas antara lain untuk meneliti
tentang: 1. Keberadaan wilayah masyarakat hukum dengan batas-batasnya yang jelas dan
diakui oleh masyarakat hukum adat yang berbatasan. 2. Adanya masyarakat hukum adat.
3. Adanya hukum adat termasuk hukum pertanahan. 4. Adanya perangkat hukum adat yang diakui oleh anggotanya dan masih
operasional tidak hanya nama. 5. Adanya sanksi terhadap pelanggaran yang ditaati oleh warga masyarakat hukum
adat. 6. Adanya hak atas tanah yang bersifat komunal yang tidak dapat diperjual belikan.
Keberadaan eksistensi hak ulayat tanah suku ditegaskan lebih lanjut dalam ketentuan pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat dimana disebutkan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada apabila : a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari, b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan diatati oleh warga persekutuan hukum tersebut. Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat tanah suku dalam ketentuan pasal 5
diisaratkan untuk dilakukan penelitian, namun penelitian dimaksud belum pernah dilakukan.
15
BAB III METODE PENELITIAN