Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak khasanah seni budaya. Seni pupuh merupakan salah satu di antaranya. Pupuh merupakan
hasil dari akulturasi budaya Jawa dengan budaya Sunda pada abad ke-17. Berdasarkan Wiraatmaja, S. dalam Yulianti 2003, hlm. 17 dinyatakan bahwa:
„Datangnya 17 pupuh dari kerajaan Mataram Islam, ke daerah Sunda dibawa oleh para petinggi Sunda yang waktu itu sering datang ke daerah Jawa untuk
membayar upeti ”.
Adapun menurut Pigeaud dalam Yulianti 2003, hlm. 4 penyebaran pupuh di wilayah Sunda dinyatakan sebagai berikut,
It is supposed that these Javanese verse metres, first found in midle Javanese kidung literature, were introduced in the Sundanese area around1650, during
the Mataram era, and at the time they were mainly used by noblemen and islamic teacher.
Berdasarkan kutipan tersebut, kemungkinan penyebaran pupuh Jawa di wilayah Jawa Barat yang ditemukan dalam kesusastraan kidung Jawa Tengah,
yakni sekitar tahun 1650 pada masa kerajaan Mataram Islam, dan pupuh tersebut disebarkan oleh para wali serta para ulama. Demikian juga menurut Rosidi 1966,
hlm. 12-16 bahwa masuknya pupuh dalam kesusatraan Sunda diperkirakan sekitar abad 17, dan mencapai puncaknya pada abad 19. Menurut para ahli bentuk
pupuh yang dikenal masyarakat saat ini berbeda dibandingkan dengan bentuk pupuh asalnya pupuh dari kerajaan Mataram Islam. Pupuh yang berkembang
pada masyarakat Sunda sudah disesuaikan dengan nilai estetika budaya yang ada di Sunda.
Pupuh pada dasarnya merupakan sebuah puisi lama yang memiliki atau terikat dengan aturan-aturan pakeman yang terdiri dari guru wilangan jumlah
suku kata engang pada setiap barisnya, guru lagu suara vokal akhirengang
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
panungtung pada setiap barisnya, jumlah barispadalisan, dan watak pupuh. Menurut Soepandi dalam Widorini 1999, hlm. 17 dijelaskan bahwa pengertian
pupuh, adalah aturan-aturan atau patokan –patokan puisi zaman lama yang dalam
penyusunan rumpakanya sebagai sarana penampilan lagu- lagu tembang”. Pupuh
yang dikenal masyarakat Sunda terdiri dari 17 jenis. Ketujuh belas lagu pupuh itu yakni: asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, juru
demung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, Mijil, pangkur, Pucung, Sinom, dan Wirangrong. Menurut Soepandi pupuh tersebut
diklasifikasikan atas dua kelompok yakni pupuh sekar ageung dan pupuh sekar alit. Pupuh sekar ageung antara lain kinanti, sinom, asmarandana, dan
dangdanggula atau yang biasa disingkat KSAD. Sedangkan yang termasuk pada kelompok sekar alit antara lain: balakbak, durma, gambuh, gurisa, juru demung,
ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, dan wirangrong.
Cirebon termasuk salah satu daerah di Jawa Barat yang mendapat pengaruh dari kerajaan Mataram Islam sekitar abad ke-16. Menurut
Sastrasuganda, 2012, hlm. 2 bahwa Bangkitnya sastra di Cirebon dimulai dengan munculnya karya-karya
seperti carita Parahiyangan Saking Jawa Kulwan 1676 M dan Pustaka Nagara Kerta Bumi 1977 M, karya Panembahan Gusti atau Pangeran
Wangsa Kerta, kitab tarekat karya Sultan Kanoman I Sultan Badridin. Setelah itu para pangageng Praja lainnya berlomba membuat karya-karya
lain. Karya sastra di Cirebon terdiri dari beberapa jenis yakni: kakawen, kidung,
gugon tuwon, dan jawokan. Seni pupuh termasuk pada jenis sastra kidung. Seni pupuh memiliki nilai budaya tinggi, antara lain di dalam teksnya
tersirat ajaran-ajaran budi pekerti yang difungsikan sebagai sarana pendidikan di sekolah-sekolah, sarana politik dan juga sarana penyebaran agama Islam. Nilai-
nilai ajaran yang terkandung dalam pupuh disampaikan oleh orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, para pemimpin kepada rakyatnya, maupun para
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
ulama kepada umatnya. Besarnya manfaat pupuh berimplikasi pada keberlangsungan pupuh yang masih berkembang sampai saat ini.
Tujuan masyarakat mengajarkan pupuh kepada generasi muda antara lain untuk mengenalkan budaya Sunda yang syarat pendidikan karakter. Hal ini sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional tentang pendidikan karakter. Menurut Wacik, J 2002, hlm. vi-vii bahwa pendidikan karakter mencakup 24 kategori yang
berfungsi sebagai modal untuk membangun bangsa. Adapun 24 karakter tersebut adalah: Yakin akan empat pilar kebangsaan, bangga sebagai bangsa Indonesia,
berpikir positif, pantang menyerah, gotong royong, bertoleransi dan menghargai kemajemukan, cinta damai, kejar prestasi, demokratis, kerja keras, anti
diskriminasi, menghargai pendapat orang lain, sopan santun, rendah hati, sportif, lugas, berani bersaing, setia, satunya kata dan perbuatan, bersih jujur, hormat
kepada yang dituakan, rela berkorban, bermoral dan etis, dan saling percaya. Pupuh merupakan karya sastra puisi lama yang terikat dengan aturan dan
di dalam teksnya banyak memuat nilai-nilai budi pekerti luhur. Berdasarkan aspek musikalnya pupuh Sunda berbeda dibandingkan dengan pupuh asalnya dari Jawa,
yakni memiliki tangganada Sunda meliputi laras salendro, pelog degung, dan madenda.
Seni pupuh banyak menginspirasi para seniman untuk di kembangkan menjadi beberapa bentuk kesenian tradisi Sunda lainnya, misalnya tembang-
tembang Cianjuran, Cigawiran, Ciawian, Wawacan, Gending Karesmen, dan lain-lain. Tembang Sunda Cianjuran atau awalnya disebut seni mamaos, banyak
menggunakan pola pupuh sebagai syairnya. Beberapa lagu yang termasuk pada seni mamaos antara lain dedegungan dan rarancagan, sehingga ada asmarandana
lagu rajamantri, dangdanggula lagu bayubud, kinanti lagu Ligar, sinom lagu sinom ela-ela. Dalam bentuk Ciawian, syair pupuh digunakan dalam syair lagu
antara lain Kinanti Berenuk. Ciawian berasal dari Ciawi Tasikmalaya. Adapun bentuk tembang Cigawiran difungsikan dalam pemberian nasihat yang
bernafaskan Islam. Kesenian ini berasal dari Cigawir Malangbong Garut.
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
Pengembangan pupuh lainnya yaitu dalam bentuk Wawacan. Wawacan adalah suatu lakon dengan menggunakan pola pupuh yang disajikan dalam
bentuk nyanyian. Lakon wawacan di antaranya: Lutung Kasarung, Damar Wulan, Panji Wulung, dan sebagainya.
Perkembangan terbaru yaitu pupuh kreasi disebut juga Pupuh raehan hasil karya dosen Karawitan STSI Bandung H. Yusuf Wiradiredja yang disapa
dengan nama Yus Wiradiredja. Pupuh kreasi karya Yus Wiradiredja, mengolah aspek musik pengiringnya sehingga menciptakan nuansa baru tanpa mengubah
pupuh aslinya. Pembawaan pupuh kreasi berbeda dibanding dengan Pupuh buhun. Pupuh
kreasi menggunakan beberapa alat musik sebagai pengiringnya, di antaranya kecapi, suling, rebab, biola, kendang, gong, dan instrumen lain hasil modifikasi
Yus Wiradiredja, sehingga pembawaan pupuh menciptakan suasana yang berbeda dan terkesan sangat khas. Musik iringan pupuh raehan dibuat lebih nge-pop. Ciri
khas tersebut ditimbulkan antara lain dari variasi bunyi masing-masing alat musik, sehingga menciptakan warna bunyi yang berbeda. Demikian juga dengan syairnya
ada yang disajikan persis sama dengan syair pupuh yang umumnya berkembang di masyarakat dan ada pula yang dibuat baru, walaupun pola syairnya sama
seperti pupuh buhun. Pupuh raehan mulai dikenalkan oleh Wiradiredja, Y. sejak tahun 2004.
Kata raehan sama dengan kreasi. Menurut Wiradiredja wawancara: 22 Juli 2014 “pupuh raehan adalah sajian pupuh yang dikreasikan dengan aneka lagu-lagu dan
aransemen musik atau gending karya Yus Wiradiredja ”. Istilah Pupuh raehan
juga secara langsung digunakan untuk menamai produk rekaman karya Yus tersebut. Menurut Uus Karwati, dosen Pascasarjana UPI wawancara: 1
September 2014 “Pupuh raehan merupakan karya penataan musik, memadukan antara pupuh dengan kreasi gendingmusik yang garapannya bersifat kekinian”.
Sajian pupuh raehan banyak diminati oleh beberapa kalangan karena terkesan lebih menarik akibat kolaborasi antara irama pop dan lagu-lagu kreasinya
yang mudah diikuti. Dengan demikian sajian pupuh bisa lebih dinikmati dan
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
diapresiasi oleh semua kalangan, terutama anak muda sebagai generasi penerus. Tujuan lain dari penciptaan karya pupuh kreasi menurut Yus Wiradiredja adalah
untuk mengimbangi perkembangan zaman, di mana seni tradisi semakin tersisihkan dan tergantikan oleh seni dari luar yang saat ini sedang digemari oleh
generasi muda. Seperti yang kita ketahui bersama pada akhir-akhir ini generasi muda di
Jawa Barat banyak yang tidak lagi mengenal lagu-lagu pupuh. Hal ini terjadi juga di Cirebon, dimana generasi muda jangankan bisa menyanyikan, mengenal pupuh
Cirebon pun tidak. Bahkan sebagian besar tidak tahu adanya pupuh Cirebon, mereka lebih mengenal pupuh Sunda dibandingkan pupuh Cirebon. Setelah di
telusuri ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kurang diminatinya pupuh Cirebon di antaranya: 1 Pupuh Cirebon hanya berkembang dikalangan keraton,
sehingga tidak memasyarakat di kalangan umum; 2 Para pemegang kebijakan di Cirebon sebagian besar bukan orang Cirebon tetapi orang Sunda, sehingga kurang
memahami potensi daerah Cirebon; 3 Bahasa yang digunakan dalam pupuh Cirebon terlalu sulit dimengerti oleh generasi muda Cirebon yang sudah jarang
menggunakan bahasa bebasan Cirebon; 4 Kebijakan pemerintah Daerah Jawa Barat melalui Peraturan Daerah Perda Jawa Barat No. 5 Tahun 2003 tentang
Perlindungan dan Pengembangan Budaya dan Bahasa di Jawa Barat yang mengakui adanya tiga suku asli Jawa Barat yaitu Sunda, Melayu-Betawi dan
Cirebon. Akan tetapi pada pelaksanaannya karena beberapa faktor, pengembangan bahasa dan budaya Cirebon masih belum bisa dilaksanakan di daerah Cirebon.
Selain persoalan di atas, jiwa anak-anak dan remaja saat ini jauh berbeda dari jiwa anak-anak dan remaja zaman dulu. Jiwa anak-anak dan remaja sekarang
ini sudah terpengaruh oleh perkembangan informasi dan teknologi global sehingga mereka lebih dapat mengingat lagu-lagu Peterpan, Ungu, Dewa, The
Lucky Laki, J-Rock, dan yang lainnya daripada lagu-lagu pupuh itu sendiri. Fenomena ini tidak dapat dihindari lagi dan para orang tua tidak kuasa melarang
atau menjustment anak-anak mereka terhadap kenyataan tersebut. Akibat pengaruh arus globalisasi di bidang musik yang banyak diapresiasi oleh generasi
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
muda, mereka beranggapan bahwa lagu-lagu tradisional terkesan kuno, dan ketinggalan zaman. Ini merupakan realitas budaya sebagai cerminan dari begitu
besarnya pengaruh media elektronik dan kapitalisme terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran, para generasi muda lama- kelamaan tidak lagi mengenal seni pupuh sebagai kebanggaan budayanya. Dalam
menghadapi situasi seperti ini, maka kreativitas seniman sangat dibutuhkan.Oleh karena itu perlu kiranya diantisipasi agar seni pupuh sebagai kekayaan budaya
bangsa dan nilai-nilainya dapat dikenalkan kepada generasi muda sejak dini. Salah satu upaya untuk mengenalkan kembali pupuh kepada generasi muda
melalui pendidikan adalah dengan pembelajaran di sekolah. Tentu saja dengan materi dan strategi yang disesuaikan dengan tingkatan sekolah dan karakteristik
perkembangan anak. Baik melalui pendidikan formal, non formal maupun informal.
Sebagai materi pembejaran seni budaya, pupuh bisa ditinjau dari berbagai aspek antara lain aspek musikal di antaranya pengenalan nada, tangganada,
interval, dan teknik vokal. Aspek kebahasaan misalnya tema syair, ilmu tentang pupuh, dan kesejarahannya. Selama ini pembelajaran pupuh yang dilakukan oleh
guru di sekolah cenderung monoton dan kurang bervariasi. Pada umumnya guru hanya mengajarkan lagu untuk ditiru oleh murid melalui metode drill, sehingga
anak-anak kurang kreatif dan kurang minat belajar pupuh. Kecenderungan di lapangan pupuh sering diajarkan, tetapi hanya menghapal repertoar lagu-lagu saja,
sehingga siswa kurang memahami aspek musikal serta nilai-nilai yang terkandung di dalam lagu pupuh. Padahal apabila kita cermati pupuh dari aspek musikalnya,
sangat banyak mengandung unsur musikal yang dapat kita tanamkan kepada siswa, di antaranya aspek laras. Melalui pembelajaran pupuh siswa dapat
mengenal laras tangga nada. Agar pembelajaran lebih menarik maka perlu kiranya diterapkan strategi
pembelajaran yang dikembangkan dan diaplikasikan oleh para guru di sekolah. Salah satu alternatifnya penggunaan materi pupuh sebagai media untuk melatih
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
kepekaan laras. Agar pupuh dapat diminati diwilayah Cirebon, maka guru juga bisa menggunakan rekaman berupa audio pupuh raehan sebagai media untuk
meningkatkan kepekaan laras. Diharapkan guru dapat meciptakan pembelajaran pupuh yang lebih kreatif dan siswa pun dapat berekspresi melalui pembelajaran
tersebut. Hal ini sesuai dengan teori pembelajaran seni menurut Jazuli 2008, hlm. 165.
Pembelajaran seni adalah suatu preses usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh suatu perubahan sikap dan tingkah laku
sebagai hasil pengalaman berkesenian dan berinteraksi dengan budaya lingkungan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan berfungsi untuk
mengarahkan perubahan sikap dan tingkah laku sebagai hasil belajar seni, sedangkan materi ajar seni untuk dikaji agar berfungsi sebagai pengalaman
belajar. Untuk itu pengalaman belajar berkesenian harus mampu menumbuhkembangkan
potensi kreatif
siswa, sehingga
mampu menemukan genius dalam diri siswa. Potensi kreatif siswa dapat
berpegang pada tiga prinsip. Pertama, pembelajaran seni di sekolah harus memberikan kebebasan kepada diri siswa untuk mengolah potensi
kreatifnya. Kedua, pembelajaran seni harus dapat memperluas pergaulan dan komunikasi siswa dengan lingkungannya. Ketiga, pembelajaran seni
di sekolah hendaknya dilakukan dengan cara yang menyenangkan joyfull learning dan dalam suasana yang bebas tanpa tekanan.
Penggunaan materi pupuh raehan ini pun dapat dimanfaatkan di wilayah
Cirebon sebagai salah satu pendekatan atau “jembatan” untuk menarik minat
siswa supaya mau mengenal dan mempelajari pupuh. Selain itu juga melatih kepekaan laras, karena dalam pupuh Sunda dan pupuh Cirebon memiliki konsep
rasa salendro dan pelog. Kegiatan tersebut merupakan pendekatan awal untuk menguasai dan mempelajari pupuh yang merupakan bagian dari kekayaan
masyarakat Cirebon. Adapun pupuh yang dapat dijadikan sebagai materi di antaranya adalah pupuh sekar ageung KSAD dengan menggunakan media audio
pupuh raehan. Media pupuh raehan sebagai sarana berekspresi bagi para siswa hal ini sesuai dengan pendapat Jazuli 2008 yang mengungkapkan bahwa
“sarana berekspresi seni harus selalu dicari, digali, disesuaikan dan dianalisis pada setiap
saat dan oleh setiap personal agar tetap komunikatif selaras dengan tuntutan
Eli Yulianti, 2014 Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk
Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
situasi dan zamannya ”. Pernyataan tersebut erat kaitannya dengan pupuh raehan
sebagai materi untuk meningkatkan kepekaan laras tersebut. Pembelajaran pupuh sekar ageung dalam pupuh raehan belum pernah di
implementasikan oleh para guru dalam pembelajaran seni budaya khususnya di tingkat sekolah menengah atas. Hal tersebut sangat menarik bagi peneliti untuk
dapat mengembangkan dalam pembelajaran seni budaya disekolah lebih khusus lagi kaitannya dengan pelaksanaan kurikulum 2013. Berdasarkan kurikulum
tersebut dikembangkan pendekatan pembelajaran berdasarkan pendekatan saintifik, yaitu suatu pendekatan ilmiah yang di dalamnya memuat proses
pembelajaran dan penilaian autentik Materi Pelatihan guru 2014, hlm. 4 . Pendekatan ini untuk mencapai kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Penguatan proses pembelajaran dilakukan melalui pendekatan saintifik, yaitu pembelajaran yang mendorong siswa lebih mampu dalam mengamati, menanya,
mencobamengumpulkan data, mengasosiasimenalar, dan mengkomunikasikan. Pendekatan tersebut sangat relevan diaplikasikan guna menggali kreativitas dan
ekspresi siswa dalam berkarya. Penelitian ini akan dilakukan pada siswa kelas X SMA Negeri 8 kota Cirebon
Bertolak dari pemikiran di atas, peneliti berusaha mewujudkan pengembangan pembelajaran dengan melakukan penelitian yang berjudul
PEMBELAJARAN PUPUH SEKAR AGEUNG RAEHAN BERBASIS PENDEKATAN SAINTIFIK UNTUK MENINGKATKAN KEPEKAAN
LARAS DI SMA NEGERI 8 CIREBON
B. Identifikasi Masalah