Pertumbuhan Mindi (Melia Azedarach L.) Dan Kedelai (Glycine Max (L) Merrill) Secara Organik Dalam Sistem Agroforestri

PERTUMBUHAN MINDI (Melia azedarach L.) DAN KEDELAI
(Glycine max (L.) Merrill) SECARA ORGANIK
DALAM SISTEM AGROFORESTRI

ADITYA WARDANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pertumbuhan Mindi (Melia
azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem
Agroforestri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Aditya Wardani
NIM E451150176

RINGKASAN
ADITYA WARDANI. Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai
(Glycine max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri. Dibimbing
oleh NURHENI WIJAYANTO dan ARUM SEKAR WULANDARI.
Kebutuhan kayu nasional dapat diupayakan melalui pengelolaan hutan
rakyat. Tanaman mindi merupakan salah satu tanaman fast growing yang memiliki
nilai ekonomi. Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan mindi dapat
dimaksimalkan dengan menanam tanaman pertanian. Salah satu tanaman pertanian
yang dapat dipadukan dengan tanaman mindi adalah kedelai. Tujuan dari penelitian
ini adalah untuk menganalisis pertumbuhan mindi dan produksi kedelai, respon
fisiologi mindi dan kedelai, serta luas dan intensitas serangan hama kedelai di
dalam sistem agroforestri secara organik.
Lokasi penelitian di lahan Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka Cikabayan
Kampus IPB Darmaga. Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan
Juni 2016. Tanaman mindi yang digunakan dalam penelitian berumur 2 tahun

dengan jarak tanam 2.5 m x 2.5 m. Penelitian ini terdiri dari 2 percobaan, yaitu pada
percobaan pertama untuk mengetahui pertumbuhan tanaman mindi pada pola
tanam monokultur dan agroforestri. Percobaan kedua yaitu untuk mengetahui
produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur dan agroforestri secara organik.
Percobaan pertama menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor dan 14 ulangan. Pola tanam sebagai faktor terdiri atas 2 taraf yaitu
monokultur dan agroforestri. Percobaan kedua menggunakan rancangan acak
kelompok petak terbagi (split plot design). Perlakuan petak utama adalah pola
tanam yang terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur dan agroforestri. Perlakuan anak
petak terdiri atas 3 taraf yaitu varietas kedelai Anjasmoro, Tanggamus, dan Wilis
yang keragamannya terletak di dalam petak utama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggi mindi pada pola tanam
agroforestri 61.12% lebih besar dibandingkan dengan monokultur. Diameter batang
pada mindi dengan pola tanam agroforestri 26.07 % lebih besar bila dibandingkan
monokultur. Kandungan unsur hara N, P, dan K pada mindi monokultur dan
agroforestri mengalami peningkatan dibandingkan sebelum kegiatan penanaman
kedelai. Serapan hara N dan K pada pola tanam agroforestri lebih besar
dibandingkan monokultur. Peningkatan kandungan hara pada pola tanam
agroforestri menyebabkan penambahan dimensi pohon mindi yang lebih besar
dibandingkan dengan monokultur.

Produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur memberikan hasil yang
lebih tinggi dibandingkan dengan agroforestri. Produktivitas kedelai varietas Wilis
dan Anjasmoro secara monokultur sesuai dengan deskripsi yang dikeluarkan oleh
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (Puslittan). Varietas
Tanggamus memiliki hasil produktivitas rendah diantara ketiga varietas.
Penanaman kedelai pada pola tanam agroforestri dengan tanaman mindi umur 2
tahun menghasilkan produksi kedelai yang rendah bila dibandingkan dengan
deskripsi kedelai dari Puslittan.
Kandungan klorofil a, klorofil b, antosianin, dan karotenoid pada kedelai
dengan pola tanam agroforestri lebih besar dibandingkan dengan monokultur.

Kedelai dengan pola tanam agroforestri memiliki serapan hara N, P, dan K lebih
tinggi dibandingkan dengan monokultur.
Kedelai pada penelitian ini tidak ditemukan adanya serangan patogen. Luas
serangan hama pada tanaman kedelai dengan pola tanam monokultur lebih tinggi
dibandingkan agroforestri. Intensitas serangan hama pada bagian daun kedelai lebih
tinggi dibandingkan bagian polong.
Kata kunci: fisiologi, hara, klorofil, pestisida nabati, serangan hama

SUMMARY

ADITYA WARDANI. Growth of Mindi (Melia azedarach L.) and Organic
Soybean (Glycine max (L.) Merrill) in Agroforestry. Supervised by NURHENI
WIJAYANTO and ARUM SEKAR WULANDARI.
National wood demand can be fulfilled through community forest
management. Mindi is one of fast growing species with high economic value. The
land under Mindi shade can be planted with agricultural crop to optimize the land
use. One of agricultural crop to be integrated with mindi is soybean. This research
aimed to analyze the growth of Mindi and soybean productivity, physiological
response of Mindi and soybean as well as intensity of soybean pest and disease
attack in organic agroforestry.
The research located in Conservation Unit of Biopharmaceutical IPB
Darmaga from January 2016 until June 2016. Mindi used in the study was two years
with spacing of 2.5 m x 2.5 m. The research consisted of two experiments which
the first experiment aimed to identify growth of mindi in agroforestry and in
monoculture system while the second experiment aimed to analyze soybean
productivity in organic monoculture and in organic agroforestry system. The first
experiment used complete randomized design with one factor which was cropping
pattern consisted of agroforestry and monoculture and 14 replications. The second
experiment used complete randomized block design with split plot where the main
plot was cropping pattern consisted of monoculture and agroforesty while the sub

plot was soybean variety consisted of Anjasmoro, Tanggamus, and Wilis which the
variation was in the main plot.
The result showed that height of mindi in agroforestry was 61.12% higher
than the ones in monoculture system. Diameter of mindi in agroforestry was also
26.07% higher than in monoculture system. The content of nutrient N, P, and K in
monoculture and agroforestry increased compared to before soybean planting.
Nutrient uptake of N, P, and K in agroforestry system was higher than in
monoculture. The increase of nutrient content in agroforestry system led to the
higher increase of growth dimensions of mindi tree than the ones in monoculture.
Soybean productivity in monoculture system showed higher result than the
ones in agroforestry. The productivity of Wilis and Anjasmoro in monoculture
system matched with the description from Research and Development Center for
Food Plant (Puslittan). Tanggamus variety had the lowest productivity among all.
Soybean cultivation in agroforestry system integrated with 2 years old mindi tree
produced the lower productivity compared to Puslittan description.
The content of chlorophyll a, chlorophyll b, antocyanin, and carotenoid of
soybean planted in agroforestry system was higher than the ones in monoculture.
Soybean in agroforestry system had higher nutrient uptake of N, P, and K compared
to the ones in monoculture.
In this experiment, it was not found pathogens attack to soybean. Pest attack

intensity of soybean in monoculture system was higher than the ones in
agroforestry. Pest attack intensity in soybean leaf was higher than in the pods.
Keywords: chlorophyll, nutrient uptake, organic pesticide, pest attact, physiology

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PERTUMBUHAN MINDI (Melia azedarach L.) DAN KEDELAI
(Glycine max (L.) Merrill) SECARA ORGANIK
DALAM SISTEM AGROFORESTRI

ADITYA WARDANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Irdika Mansur, MForSc

Judul Tesis : Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine
max (L.) Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri
Nama
: Aditya Wardani
NIM
: E451150176

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS
Ketua

Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Januari 2017


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Juni 2016 ini
ialah Pertumbuhan Mindi (Melia azedarach L.) dan Kedelai (Glycine max (L.)
Merrill) secara Organik dalam Sistem Agroforestri.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto,
MS dan Ibu Dr Ir Arum Sekar Wulandari, MS selaku pembimbing. Terima kasih
penulis sampaikan juga kepada Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku dosen penguji
luar komisi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ibu Noer Samsijah,
ayah Soemarno, mbak Iana Hanifah, mas Katon, adik Fajar, Nofika Senjaya, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman satu bimbingan
(Nilasari Dewi, Arifa Mulyesthi R, Andhira Trianingtyas, dan Nofika Senjaya), Pak
Adnani, Pak Parjo, M Iqbal Maulana, Fatimah Nur Istiqomah, Siti Jaenab, Christine
Della P, Dyah Ayu Kusumaningrum, Zafira, Ria R, Saifurrohman Wahid, temanteman seperjuangan fast track Silvikultur 48, dan teman-teman Silvikultur Tropika
angkatan 2014 yang telah memberikan bantuan, semangat, dan dukungan selama

ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2017
Aditya Wardani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
2
3
4

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Alat dan Bahan
Rancangan dan Prosedur Penelitian
Data Pendukung

4
4
5
5
12

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Mindi
Pertumbuhan Kedelai
Produksi Kedelai
Luas dan Intensitas Serangan pada Kedelai

12
12
15
18
24

4 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

27
27
28

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

49

DAFTAR TABEL
1 Kriteria kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama
2 Pertambahan dimensi mindi pada plot monokultur dan agroforestri
3 Perbandingan kandungan unsur hara mindi sebelum dan sesudah
penanaman kedelai, pada pola tanam monokultur dan agroforestri
4 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang
diberikan perlakuan pola tanam dan varietas
..5 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai
6 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap pertumbuhan kedelai
7 Rekapitulasi hasil analisis ragam data produksi kedelai yang diberikan
perlakuan pola tanam dan varietas
8 Pengaruh pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai
9 Perbandingan kandungan klorofil tanaman kedelai pada pola tanam
dan varietas
10 Interaksi antara pola tanam dan varietas terhadap produksi kedelai
11 Produksi kedelai pada beberapa varietas
12 Luas serangan hama (%) pada pola tanam dan varietas kedelai
13 Intensitas serangan hama (%) pada pola tanam dan vareitas kedelai

10
13
13
15
16
18
19
19
21
23
24
26
26

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alur penelitian
2 Peta lokasi penelitian
3 Serapan hara berbagai varietas kedelai pada pola tanam monokultur
dan agroforestri
4 Hama kedelai pada fase vegetatif
5 Hama kedelai pada fase generatif

3
4
22
24
25

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
..5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Desain plot agroforestri mindi dan kedelai
Desain plot monokultur kedelai
Desain plot monokultur mindi
Pengamatan aspek biofisik, dimensi tegakan mindi, peubah fisiologi,
fase vegetatif dan generatif tanaman kedelai
Deskripsi varietas Tanggamus
Deskripsi varietas Wilis
Deskripsi varietas Anjasmoro
Hasil analisis kimia tanah awal pada lahan penelitian
Hasil analisis fisika tanah awal pada lahan penelitian
Data curah hujan harian, suhu, dan kelembaban udara di daerah
Dramaga Bogor pada bulan Maret–Juli 2016
Data hasil pengujian klorofil tanaman kedelai
Data hasil pengujian hara pada tanaman kedelai
Data hasil pengujian hara pada mindi sebelum penanaman
Data hasil pengujian hara pada mindi setelah penanaman

35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mindi (Melia azedarach L.) merupakan tanaman jenis eksotik yang banyak
ditemui di Jawa Barat. Kualitas kayu mindi cukup baik sehingga memiliki potensi
ekonomi (Syamsuwida et al. 2012). Menurut Khan et al. (2008) kayu mindi
mengandung metabolit sekunder yang dapat dimanfaatkan untuk obat sakit kepala,
demam, antiseptik, obat kanker, dan pestisida. Tanaman mindi memiliki potensi
untuk dikembangkan di hutan rakyat.
Penduduk melakukan pola hutan rakyat mindi secara turun menurun dan
sebatas pengetahuan lokal (Rambey 2011). Pengelolaan hutan rakyat mindi secara
berkelanjutan dapat dilakukan dengan memadukan tanaman pertanian sebagai
penyedia pangan bagi masyarakat. Tanaman pertanian yang dapat dikombinasikan
dengan mindi salah satunya adalah kedelai.
Kedelai merupakan sumber protein nabati utama bagi sebagian besar
penduduk di Indonesia. Produksi kedelai tahun 2015 sebanyak 963.1 ribu ton biji
kering, meningkat sebanyak 8.1 ribu ton (0.85%) dibandingkan tahun 2014.
Peningkatan produksi kedelai diperkirakan terjadi karena kenaikan produktivitas
sebesar 0.18 kuintal/ha (1.16%) meskipun luas panen mengalami penurunan seluas
1 800 hektar (BPS 2016). Meskipun terjadi peningkatan baik produksi dan
produktivitas, namun ketersediannya belum mencukupi kebutuhan masyarakat
(Aimon dan Satrianto 2014). Kebutuhan kedelai total tahun 2012 mencapai 2.2 juta
ton. Berdasarkan proyeksi pertumbuhan penduduk dan rata-rata konsumsi per
kapita per tahun, kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2.6 juta ton pada tahun
2020 (Harsono 2008).
Menurut Efendi (2010) pola pertanian yang banyak diterapkan saat ini yaitu
secara konvensional dengan pengunaan pupuk anorganik dan pestisida kimia yang
tinggi. Keseimbangan ekosistem alam dapat dicapai dengan meminimalkan
penggunaan bahan-bahan sintetik. Input ketersediaan hara dan ketahanan tanaman
terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT) yang lebih ramah lingkungan
dilakukan dengan penanaman kedelai secara organik. Pemberian pupuk organik
dapat memberikan perbaikan sifat tanah seperti pH dan kegemburan tanah (Susanti
et al. 2008). Penambahan pupuk kandang pada tanaman kedelai dapat
meningkatkan panjang dan kerapatan akar, luas daun, biomassa, serapan nitrogen,
produksi biji, efisiensi penggunaan air dan nitrogen serta memperbaiki sifat fisika
tanah (Bandyopadhyay et al. 2010).
Upaya untuk meningkatkan produksi kedelai dapat dilakukan salah satunya
dengan memanfaatkan lahan tidur seperti di bawah tegakan mindi. Menurut Hodges
(2000) agroforestri sebagai bentuk kegiatan menumbuhkan dengan sengaja dan
mengelola pohon secara bersama-sama dengan tanaman pertanian dan atau ternak
dalam sistem yang bertujuan supaya berkelanjutan secara ekologi, sosial dan
ekonomi.
Agroforestri mempunyai komponen penyusun utama yaitu tanaman
kehutanan dan tanaman pertanian. Menurut Sopandie et al. (2005) kendala utama
pada lahan agroforestri adalah adanya kompetisi untuk mendapatkan cahaya dan
unsur hara. Kedelai yang tumbuh di bawah naungan mindi memiliki faktor

2
pembatas yaitu intensitas cahaya. Kekurangan cahaya dapat mengakibatkan
berkurangnya jumlah polong kedelai yang terbentuk (Kurosaki dan Yumoto 2003).
Kedelai mampu tumbuh optimal di daerah terbuka oleh karena itu diperlukan upaya
untuk memperoleh varietas yang berproduksi tinggi pada kondisi demikian.
Sobari et al. (2012) menyatakan bahwa di dalam sistem agroforestri terjadi
proses interaksi atau hubungan timbal balik antara satu jenis tanaman dengan
lainnya pada lahan yang sama. Menurut Jose et al. (2004) asosiasi antara tanaman
kehutanan dan tanaman herba pada sistem agroforestri perlu didesain untuk
mengoptimalkan penggunaan ruang, waktu, dan sumber daya dengan
memaksimalkan interaksi positif dan meminimalkan interaksi negatif seperti
kompetisi. Sistem agroforestri berhasil ketika ada interaksi positif antara komponen
satu dengan komponen lainnya dan tidak saling merugikan baik secara ekologis
maupun ekonomis. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang hubungan
interaksi yang terjadi antar komponen penyusun agroforestri dan pertumbuhan
kedua jenis tanaman penyusunnya serta menemukan varietas kedelai yang memiliki
produktivitas terbaik di bawah tegakan mindi.
Perumusan Masalah
Kebutuhan kayu nasional dapat diupayakan melalui pengelolaan hutan rakyat.
Pembangunan hutan yang lestari harus mempertimbangan keberlanjutan secara
ekonomi, sosial, dan ekologi. Tanaman mindi merupakan salah satu tanaman fast
growing yang juga memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemanfaatan lahan tidur di
bawah tegakan mindi dapat dimaksimalkan dengan menanam tanaman tumpangsari.
Salah satu tanaman tumpangsari yang dapat dipadukan dengan tanaman mindi
adalah kedelai.
Kedelai merupakan salah satu jenis tanaman palawija yang umumnya
diusahakan oleh para petani di Indonesia. Produksi kedelai sampai saat ini belum
mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Peningkatan produksi kedelai dapat
dilakukan melalui optimalisasi penggunaan lahan di bawah tegakan yang dikenal
dengan istilah sistem agroforestri.
Komponen dalam sistem agroforestri baik tanaman kehutanan dan pertanian
sebagai tanaman tumpangsari diharapkan memberikan interaksi yang positif.
Pemilihan tanaman mindi dan kedelai diharapkan menjadi kombinasi yang tepat
karena mindi merupakan tanaman multiguna yang salah satunya dapat berfungsi
sebagai biopestisida, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dari kedua
komponen agroforestri tersebut.
Aspek yang perlu diperhatikan dalam usaha pengelolaan kedelai adalah
pemilihan varietas. Kendala utama yang ditemukan adalah pengelolaan lahan
secara agroforestri yaitu adanya persaingan baik air, unsur hara, dan cahaya,
sehingga pengujian varietas kedelai dilakukan untuk menguji kemampuan masingmasing varietas dalam pertumbuhan dan produktivitasnya.
Degradasi dan kerusakan lahan saat ini banyak terjadi salah satunya
diakibatkan oleh pertanian konvensional dengan penggunaan input seperti pupuk
anorganik dan pestisida kimia yang tinggi. Kedelai yang diusahakan secara organik
dapat diterapkan untuk memperbaiki kualitas tanah dan ketersediaan air yang
optimal. Diagram alur dari penelitian disajikan pada Gambar 1.

3
Luas budidaya kedelai menurun

Pemanfaatan hutan rakyat mindi

Penerapan sistem agroforestri

Dimensi mindi

1.
2.
3.
4.

Tinggi
Diameter
Tajuk
Akar

Pertumbuhan
kedelai
1. Fase vegetatif
2. Fase generatif

Respon fisiologi
kedelai dan mindi

Intensitas serangan
hama

1. Analisis hara
2.Analisis klorofil

Analisis pertumbuhan mindi dan
kedelai dalam sistem agroforestri

Peningkatan produksi kedelai di dalam sistem agroforestri
Gambar 1 Diagram alur penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dalam rangka
mendapatkan jawaban atas beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertumbuhan mindi dan produksi kedelai secara organik di dalam
sistem agroforestri?
2. Bagaimana respon fisiologi mindi dan kedelai secara organik di dalam sistem
agroforestri?
3. Bagaimana luas dan intensitas serangan hama terhadap kedelai secara organik
di dalam sistem agroforestri?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis pertumbuhan mindi dan produksi kedelai secara organik di
dalam sistem agroforestri.
2. Menganalisis respon fisiologi mindi dan kedelai secara organik yang di
dalam sistem agroforestri.
3. Menganalisis luas dan intensitas serangan hama terhadap kedelai secara
organik di dalam sistem agroforestri.

4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
pertumbuhan mindi dan produksi kedelai dalam sistem agroforestri secara organik.
Informasi mengenai pemilihan varietas kedelai dalam sistem agroforestri
diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi masyarakat untuk mengembangkan
potensi hutan rakyat. Hasil penelitian juga dapat digunakan sebagai bahan referensi
bagi pihak-pihak yang ingin mengembangkan agroforestri antara mindi dan kedelai.

2 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Juni 2016. Lokasi
penelitian di lahan Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka Cikabayan Kampus IPB
Darmaga seluas 300 m2, dengan koordinat berada pada 106º43”0.81” BT,
6º32”51.95” δS (Gambar 2). Analisis tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah,
Bogor.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

5
Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan adalah cangkul, golok, gembor, bor tanah, pita ukur,
penggaris, ring tanah, timbangan, GPS, kompas, lux meter, haga hypsometer,
kaliper, termohigrometer, label, karung, oven, sprayer, cool box, gunting, kamera
digital, bambu, paku, plastik, tali, gunting, tally sheet, software MS. Word, MS.
Excel, SAS 9.1.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tegakan mindi umur
2 tahun, benih kedelai (varietas Anjasmoro, Wilis, Tanggamus), tanaman serai
wangi (Cymbopogon nardus), pupuk kandang kambing, pupuk kandang ayam,
kapur lolime, dan pupuk hayati rhizobium dari Balai Penelitian Tanah.
Rancangan dan Prosedur Penelitian
Penelitian 1. Pertumbuhan tanaman mindi pada pola tanam monokultur dan
agroforestri
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu faktor,
yaitu pola tanam dan 14 ulangan (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Pola tanam terdiri
atas 2 taraf yaitu monokultur (P0) dan agroforestri (P1). Data yang diperoleh
berdasarkan pengamatan dan pengukuran, kemudian dianalisis dengan
menggunakan model linier (Mattjik dan Sumertajaya 2013):
Yij = µ + τi +

ij

Keterangan:
Yij = Nilai respon dari pengamatan pola tanam ke-i dan ulangan ke-j
µ = Nilai rataan umum
τi = Pengaruh pola tanam ke-i
ij = Galat perlakuan ke-i ulangan ke-j
i = P0 dan P1
j = Ulangan ke 1, 2, …, 14
Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5% untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data diolah menggunakan software SAS
9.1, jika:
a. P-value > α (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati,
b. P-value < α (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan’s Multiple Range Test.
Pengamatan dan Pengambilan Data Dimensi Mindi
Mindi yang digunakan dalam penelitian ini berumur 2 tahun dengan jarak
tanam 2.5 m x 2.5 m. Mindi pada penelitian ini terdiri atas dua pola tanam yaitu
agroforestri (Lampiran 1) dan monokultur (Lampiran 3). Mindi dengan pola tanam
monokultur tidak dilakukan penanaman bersama kedelai di bawah tegakannya.
Kegiatan pemeliharaan pada mindi dengan pola tanam monokultur yaitu

6
penyiangan gulma di bawah tegakan. Mindi dengan pola tanam agroforestri
dilakukan penanaman kedelai di bawah tegakannya.
Pengambilan data didasarkan pada pengamatan terhadap beberapa peubah
tanaman mindi, yaitu tinggi, diameter, tajuk dan akar. Hasil pengamatan dan
pengambilan data selanjutnya dicatat dalam tally sheet.
1. Pengukuran tinggi (m)
Pengukuran pertumbuhan tinggi mindi dilakukan menggunakan haga
hypsometer. Mindi diukur mulai dari pangkal batang sampai titik tumbuhnya.
Pengukuran ini dilakukan setiap 1 bulan sekali sampai bulan ke-4.
2. Pengukuran diameter batang (cm)
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Diameter batang diukur
pada ketinggian 130 cm di atas pangkal batang mindi. Pengukuran diameter
dilakukan setiap 1 bulan sekali sampai bulan ke-4.
3. Pengukuran tajuk
Pengukuran dilakukan terhadap panjang dan lebar tajuk dengan menggunakan
meteran dan pita ukur pada proyeksi tajuk yang akan diamati. Menurut
Wijayanto dan Nurunnajah (2012) pengukuran tajuk dilakukan untuk
mengetahui luas tajuk. Pengukuran tajuk dilakukan pada awal dan akhir
penanaman tanaman kedelai.
4. Pengukuran akar
Pengukuran akar dilakukan pada awal dan akhir penanaman tanaman kedelai.
Menurut Wijayanto dan Hidayanthi (2012) penggalian akar dilakukan tegak
lurus petak secara bertahap yaitu penggalian sebelah barat terlebih dahulu lalu
dilanjutkan pada penggalian di sebelah timur. Penggalian ini dilakukan dengan
hati-hati untuk mencegah putusnya akar. Metode penggalian dilakukan dengan
menggali di pertengahan larikan dua pohon, penggalian tersebut dihentikan
ketika ditemukan akar, apabila masih belum ditemukan akar sampai kedalaman
30 cm, dilanjutkan menggali tanah pada jarak 25 cm ke arah kanan dan kiri dari
penggalian sebelumnya, hal tersebut dilakukan sampai dijumpai akar di dalam
permukaan tanah. Pengukuran pertumbuhan akar dilakukan setelah selesai
penggalian. Penggalian akar yang telah dilakukan digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan akar mindi. Akar yang sudah ditemukan ujungnya, diukur panjang
dan kedalamannya.
Analisis Kandungan Hara Mindi
Jaringan tanaman yang digunakan untuk analisis kandungan hara mindi
adalah daun. Menurut Liferdi (2009) hara yang ada pada daun tidak hanya berperan
dalam fotosintesis namun juga menggambarkan status hara tanaman. Analisis
kandungan hara dilakukan sebelum tanam dan setelah panen kedelai. Bahan
tanaman mindi yang digunakan adalah daun pada posisi ketiga dari tunas (pucuk)
dan masih berwarna hijau (Wali et al. 2014). Sampel daun mindi yang digunakan
yaitu pada pola tanam agroforestri dan monokultur yang diambil secara acak
kemudian dikompositkan. Sampel daun mindi yang digunakan sebesar 100 g daun
kering. Analisis kandungan hara daun mindi dilakukan di Laboratorium Pengujian,
Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

7
Penelitian 2. Produktivitas kedelai pada pola tanam monokultur dan
agroforestri
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok petak terbagi (split plot
design) (Mattjik dan Sumertajaya 2013). Petak utamanya adalah pola tanam, yang
terdiri atas 2 taraf yaitu monokultur (P0) dan agroforestri (P1). Anak petaknya
adalah varietas kedelai yang terdiri atas 3 taraf yaitu Anjasmoro (A), Tanggamus
(T), dan Wilis (W). Percobaan diulang sebanyak 3 kali. Desain percobaan di
lapangan disajikan pada Lampiran 1, 2, dan 3.
Data yang diperoleh berdasarkan pengamatan dan pengukuran, kemudian
dianalisis dengan menggunakan model linier. Model rancangan yang digunakan
adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2013):
Yijk = μ + αi + βj + (αβ)ij+ ik + jk
Keterangan:
Yijk
= nilai pengamatan pada petak utama taraf ke-i, anak petak taraf
ke-j dan kelompok ke-k
i
= petak utama yaitu pola tanam 1, 2
j
= anak petak yaitu berbagai varietas 1, 2, 3
k
= ulangan 1, 2 dan 3
µ
= nilai rataan umum
αi
= pengaruh perlakuan pola tanam ke-i
βj
= pengaruh perlakuan varietas ke-j
(αβ)ij = pengaruh interaksi antara perlakuan pola tanam ke-i dengan
perlakuan varietas ke-j
ik
= pengaruh acak dari pola tanam ke-i, kelompok ke-k yang
menyebar normal
jk
= pengaruh acak dari varietas ke-j, kelompok ke-k yang
menyebar normal
Analisis data menggunakan sidik ragam (ANOVA) pada taraf nyata 5%
untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data diolah menggunakan software
SAS 9.1, jika:
a. P-value > α (0.05), maka perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati,
b. P-value < α (0.05), maka perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap
parameter yang diamati, kemudian dilanjutkan dengan uji jarak berganda
Duncan’s Multiple Range Test.
Prosedur Penanaman Kedelai
Pengambilan Sampel Tanah
Sampel tanah diambil dari petak monokultur kedelai dan pada tegakan
tanaman mindi. Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan metode systematic
sampling (SyS) (Suganda et al. 2014). Sampel tanah untuk analisis merupakan
sampel tanah komposit dengan pengambilan sampel menggunakan cara sistematis
diagonal. Contoh tanah individu diambil pada 4 titik diagonal dan 1 titik pusat.

8
Terdapat dua metode dalam pengambilan sampel tanah yaitu metode tanah
terusik dan metode tanah utuh. Sifat kimia tanah diamati pada contoh tanah terusik
yang diambil dengan menggunakan bor tanah pada kedalaman 0‒20 cm. Sifat fisika
tanah diamati pada contoh tanah tidak terusik yang diambil dengan menggunakan
ring tanah.
Sampel tanah kemudian dianalisis sifat kimia dan fisika tanahnya. Sifat kimia
tanah yang diamati meliputi pH, KTK, kandungan nutrisi berupa C-organik, N, Ptersedia, K, dan unsur hara lain. Sifat fisika tanah meliputi bobot isi, porositas, dan
air tersedia.
Penyiapan Lahan
Pengolahan lahan dilakukan 2 minggu sebelum penanaman. Penyiapan lahan
bertujuan membebaskan lahan dari tumbuhan liar dan komponen lain serta
memberikan ruang tumbuh untuk tanaman kedelai. Penyiapan lahan meliputi
kegiatan pembersihan lahan dan pengolahan lahan. Pembersihan lahan dilakukan
dengan menebas semak serta tumbuhan liar dan membersihkannya dari sisa akar
tanaman. Tanah kemudian diolah menggunakan cangkul hingga gembur dan rata,
dan diikuti dengan pemberian lolime sebanyak 2 g/5 L sehingga menaikan pH tanah
di lahan percobaan. Ukuran bedengan yang dibuat yaitu 1.2 m x 4 m dengan jarak
antar tanaman mindi dan bedengan adalah 50 cm, sedangkan jarak antar plot dan
ulangan adalah 2.5 m.
Tanah yang telah dibuat bedengan kemudian dicampur dengan pupuk
kandang kambing dengan dosis 12.5 ton/ha (Efendi 2010). Pupuk kandang ayam
juga ditambahkan dengan dosis 10 ton/ha (Melati dan Andriyani 2005). Menurut
Sudarsono et al. (2013) pupuk kandang kambing dan ayam didiamkan selama 2
minggu sebelum penanaman dengan cara dibenamkan ke tanah agar terdekomposisi.
Persiapan Benih Kedelai
Kedelai varietas Tanggamus, Wilis, dan Anjasmoro merupakan benih unggul
yang dirilis oleh Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
(Balitkabi) dan Balai Penelitian Tanah (Balittan). Benih kedelai varietas
Tanggamus, Wilis, dan Anjasmoro yang digunakan berasal dari Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Genetika Cimanggu, Bogor.
Kedelai varietas Tanggamus dan Anjasmoro disimpan selama ± 3 minggu, serta
varietas Wilis selama ± 2 minggu sampai waktu penanaman. Penyimpanan benih
kedelai menggunakan aluminium foil dan disimpan di dalam ruang dingin dengan
suhu 18−20 C. Ketiga benih tersebut termasuk dalam kelas benih penjenis (breeder
seeds).
Varietas Anjasmoro merupakan kedelai biji besar sedangkan Tanggamus
dan Wilis merupakan kedelai biji sedang. Jumlah biji kedelai yang dibutuhkan
kurang lebih 1 000 biji/varietas atau kira-kira 160 gram untuk Anjasmoro, 110 gram
untuk Tanggamus, dan 100 gram untuk Wilis. Benih kedelai diinokulasi dengan
pupuk hayati yang mengandung rhizobium dengan dosis 5 g/1 kg benih kedelai
(Rafiastuti et al. 2012). Pencampuran rhizobium dilakukan dengan cara membasahi
benih kedelai dengan air secukupnya, selanjutnya dicampurkan dengan rhizobium
hingga rata melekat ke permukaan benih.

9

Penanaman
Penanaman dilakukan setelah membuat lubang tanam pada kedalaman 3‒4
cm. Jarak tanam antar lubang 40 cm x 20 cm sehingga terdapat 60 lubang setiap
petak. Benih ditanam ke dalam lubang tanam sebanyak 3 benih setiap lubang tanam
dan ditutup dengan tanah lapisan permukaan.
Pemeliharaan
Kegiatan pemeliharaan tanaman kedelai meliputi penyiraman, penjarangan,
penyulaman, pembumbunan, penyiangan, pemberian ajir serta pengendalian OPT.
Penyiraman kedelai dilakukan sebanyak 2 kali sehari, namun jika hujan maka
penyiraman tidak dilakukan. Efendi (2010) menyebutkan bahwa penjarangan
dilakukan dengan meninggalkan tiap lubang 1 tanaman kedelai yang terbaik dan
seragam. Penjarangan kedelai dilakukan 2 minggu setelah tanam (MST).
Penyulaman dilakukan ketika tanaman berumur 1 MST pada kedelai yang
tidak tumbuh atau tumbuh abnormal. Kedelai yang digunakan untuk kegiatan
penyulaman ditanam pada petakan khusus untuk tanaman sulaman. Kegiatan
pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyulaman tersebut.
Penyiangan dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan kondisi lapangan.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual atau dengan menggunakan cangkul.
Pemberian ajir dilakukan supaya kedelai mampu menopang tanaman agar tetap
tegak dan tidak mudah rebah.
Pengendalian OPT dilakukan dengan menanam tanaman serai wangi yang
berada di sekeliling petakan penelitian. Menurut Kusheryani dan Aziz (2006)
tanaman serai wangi dapat digunakan sebagai tanaman OPT karena memiliki bau
yang menyengat. Tanaman serai wangi ditanam dengan jarak 100 cm x 100 cm di
sekeliling guludan kedelai mengingat pertumbuhan serai yang rimbun (Kusheryani
dan Aziz 2006; Daswir dan Kusmana 2010) (Lampiran 1 dan Lampiran 2).
Pengendalian hayati dilakukan juga dengan ekstrak daun mindi. Pembuatan
ekstrak daun mindi mengacu pada Bukhari (2011) tentang pembuatan ekstrak daun
mimba. Daun mindi segar dengan berat 100 g dihaluskan dan dilarutkan ke dalam
1 000 mL air. Ekstrak daun mindi sebanyak 200 mL kemudian dicampur dengan
800 mL air. Pengendalian hama pada tanaman kedelai dilakukan dengan
menyemprotkan ekstrak daun mindi pada fase vegetatif dan generatif.
Penyemprotan dilakukan seminggu sekali pada pagi hari.
Pengukuran Luas dan Intensitas Serangan Hama
Pengamatan dan pengukuran terhadap luas dan intensitas serangan hama
dilakukan terhadap tanaman kedelai. Rumus luas serangan (Tuca et al. 2010) dan
intensitas serangan (Kusheryani dan Aziz 2006) sebagai berikut:
δS =

n
x 100%
N

keterangan:
LS
: luas serangan hama
n
: jumlah tanaman terserang hama
N
: jumlah total tanaman kedelai yang diamati

10

IS =

∑�
�=0 � .��
��

x 100%

keterangan :
IS
: Intensitas serangan hama
n
: Jumlah tanaman dengan skor serangan ke-i
vi
: Nilai serangan 0, 1, 2, 3, 4
V
: Nilai serangan tertinggi
N
: Jumlah seluruh sampel tanaman yang diamati
Pengamatan luas dan intensitas serangan hama dilakukan dengan melihat
gejala yang ditimbulkan pada bagian tanaman kedelai yang diserang tanpa
mengidentifikasi hama yang menyerang. Perhitungan intensitas serangan dilakukan
untuk mengetahui kategori serangan hama (Tabel 1). Hasil pengamatan kemudian
direkapitulasi untuk mengklasifikasikan kategori serangan hama pada tanaman
kedelai.
Tabel 1 Kriteria kerusakan tanaman yang disebabkan oleh hama*
Klasifikasi
Deskripsi
Intensitas
Kategori
Serangan
Serangan
0
Tidak ada kerusakan
0
Sehat
1
Tanaman yang rusak/terserang
>0−25%
Ringan
1−25% dari jumlah keseluruhan
2
Tanaman yang rusak/terserang
26−50%
Sedang
26−50% dari jumlah keseluruhan
3
Tanaman yang rusak/terserang
51−75%
Berat
51−75% dari jumlah keseluruhan
4
Tanaman yang rusak/terserang
76−100%
Sangat berat
76−100% dari jumlah
keseluruhan
*Sumber: Kusheryani dan Aziz (2006).
Panen
Menurut Jufri (2006) pemanenan kedelai dilakukan saat polong telah
kehilangan warna hijaunya kurang lebih 90%, batang-batangnya sudah kering, dan
sebagian daun-daunnya sudah kering dan rontok, serta biji telah mengeras.
Pemanenan dilakukan dengan cara memotong pangkal tanaman menggunakan sabit
atau parang yang tajam.
Panen dilakukan secara serempak pada pagi hari dalam kondisi cuaca cerah.
Kedelai dipotong dan dicabut batangnya termasuk daunnya, guna memastikan
polong kedelai sudah cukup tua atau berisi sehingga dihasilkan biji kedelai yang
berkualitas serta mengurangi kehilangan hasil pada saat panen.
Pengukuran Tanaman Kedelai
Variabel yang diamati dalam pengukuran pertumbuhan tanaman kedelai
meliputi tinggi tanaman (cm), persentase hidup kedelai (%), umur berbunga

11
tanaman, bobot basah (g), bobot kering (g), jumlah bintil akar, dan umur panen
tanaman kedelai (Susanto dan Sundari 2011).
Pengukuran tinggi tanaman dilakukan dari pangkal batang sampai titik
tumbuh kedelai pada umur tanaman 2 MST dan akhir masa vegetatif. Pengukuran
bobot basah dan bobot kering tanaman kedelai dilakukan di akhir masa vegetatif
tanaman kedelai yaitu ± 7 MST, yang dilakukan dengan menimbang bobot basah
dan bobot kering yang ada pada tanaman contoh, sebelumnya untuk bobot kering
bagian pucuk dan akar tanaman contoh dikeringkan dalam oven pada suhu 80 ºC
selama 2 x 24 jam dan ditimbang. Tanaman sampel dimasukkan kembali ke dalam
oven selama 24 jam pada suhu yang sama, kemudian dikeluarkan dan didiamkan,
lalu ditimbang kembali. Jika bobot yang diperoleh sama dengan hasil penimbangan
yang pertama, maka bobot kering pupus tersebut dapat dikatakan konstan. Tanaman
dibongkar dan akar dicuci dengan air kemudian dihitung jumlah bintil akar yang
aktif. Menurut Melati et al. (2008) sampel tanaman kedelai diambil di setiap satuan
petak percobaan yang terdiri atas 10 tanaman kedelai untuk diamati, dan 2 tanaman
kedelai setiap perlakuan/ulangan sebagai tanaman destruktif yang diambil di bagian
tengah.
Hasil dan komponen hasil
Hasil dan komponen hasil yang diamati adalah jumlah cabang produktif,
jumlah polong setiap tanaman, jumlah polong berisi setiap tanaman, bobot biji
setiap tanaman, bobot 100 biji, dan hasil setiap ha (Iqbal et al. 2013). Perhitungan
jumlah polong setiap tanaman dilakukan setelah panen. Perhitungan jumlah polong
berisi setiap tanaman dilakukan setelah panen pada tanaman sampel. Hasil dari
perhitungan dirata-ratakan untuk mendapatkan hasil akhirnya. Polong dikatakan
berisi jika dalam polong sekurang-kurangnya terdapat satu biji dan jika ditekan
akan terasa keras. Bobot 100 biji ditentukan dengan cara menimbang 100 biji kering
yang sebelumnya telah dikeringkan di bawah sinar matahari selama 2–3 hari (kadar
air ±14%). Biji diambil secara acak dari tanaman sampel sebanyak 100 biji dan
ditimbang beratnya. Penimbangan diulang sebanyak 3 kali selanjutnya hasil
penimbangan 100 biji dirata-ratakan.
Analisis fisiologi
Menurut Kisman et al. (2007) analisis fisiologi tanaman kedelai terdiri atas
analisis klorofil dan hara tanaman. Analisis kandungan klorofil (klorofil a, klorofil
b, rasio klorofil a/b, antosianin, dan karotenoid) menggunakan 2 sampel daun per
varietas yang telah membuka sempurna yaitu pada umur 7 MST. Pengambilan
sampel daun dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4 dari atas pada setiap varietas pada
tanaman di bagian tengah (Thamrin et al. 2013). Sampel daun yang digunakan
sekitar 3−5 helai. Daun yang dijadikan sempel tersebut dimasukkan dalam plastik
dan disimpan ke cool box dan selanjutnya diteliti di laboratorium.
Sampel diambil dari tanaman kedelai yang berada di bagian tengah petakan.
Setiap perlakuan menggunakan 3 sampel daun yang telah membuka sempurna yaitu
pada umur 7 MST. Pengambilan sampel daun dilakukan pada daun ke-3 atau ke-4
dari atas. Sampel daun tersebut dihaluskan dan dikompositkan. Selanjutnya sampel
daun yang sudah dihaluskan tersebut dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan
kandungan haranya. Menurut Agung dan Rahayu (2004), serapan hara dihitung
dengan menggunakan rumus:

12

Serapan hara (g/tanaman) = bobot kering daun x kandungan hara
Data pendukung
Pengamatan aspek biofisik, dimensi tegakan mindi, peubah fisiologi, fase
vegetatif dan generatif tanaman kedelai secara rinci tersaji pada Lampiran 4. Data
pendukung berupa aspek biofisik yang diperlukan dalam penelitian adalah:
a. Sifat fisika dan kimia tanah
Analisis sifat fisika dan kimia tanah dilakukan untuk mengetahui tingkat
kesuburan tanah pada lahan penelitian. Pada penelitian ini sampel tanah
untuk analisis merupakan sampel tanah komposit dengan pengambilan
sampel menggunakan cara sistematis diagonal. Analisis sifat fisika dan kimia
tanah dilakukan di Balai Penelitian Tanah, Bogor.
b. Iklim
Data iklim diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas I Darmaga Bogor, Jalan
alternatif IPB, Situ Gede Bogor Barat.
c. Pengukuran intensitas cahaya
Intensitas cahaya diukur dengan alat lux meter. Lux meter memiliki bagian
yang peka terhadap cahaya. Bagian tersebut diarahkan pada pantulan
datangnya cahaya dan besarnya intensitas dapat dilihat pada skala.
Pengukuran dilakukan pada lima titik yang berbeda pada pola tanam kedelai
monokultur dan agroforestri, tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang, dan sore.
Alat tersebut dipegang setinggi 75 cm di atas lantai hutan.
d. Pengukuran suhu dan kelembaban
Pengukuran suhu dan kelembaban dengan menggunakan termohigrometer
dilakukan tiap minggu di 2 lokasi selama penelitian. Pengukuran intensitas
cahaya dilakukan tiap minggu. Pengukuran masing-masing dilakukan pada
pagi, siang, dan sore hari.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan Mindi
Pertumbuhan pada tanaman merupakan salah satu indikator keberhasilan
pengelolaan tanaman. Dimensi tanaman menjadi peubah penting untuk mengetahui
interaksi dan persaingan yang ada pada suatu lahan dalam sistem agroforestri.
Peubah dimensi mindi yang diamati adalah tinggi, diameter, tajuk, dan akar.
Berdasarkan hasil analisis ragam terlihat bahwa perlakuan pola tanam
memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan tinggi pohon bulan 1 sampai
bulan 3, pertambahan diameter pohon bulan 3, dan pertambahan kedalaman akar.
Perlakuan pola tanam memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada
pertambahan diameter pohon bulan 1 dan 2, pertambahan diameter tajuk, serta
pertambahan panjang akar (Tabel 2).

13
Tabel 2 Pertambahan dimensi mindi pada plot monokultur dan agroforestri
Pola tanam
Peubah
Uji F
Monokultur
Agroforestri
Pertambahan tinggi pohon (m)
*
1.57b
4.04a
Bulan 1
*
0.93b
2.82a
b
Bulan 2
*
0.32
0.68a
Bulan 3
*
0.32b
0.54a
b
Pertambahan diameter pohon (cm)
*
1.73
2.34a
Bulan 1
tn
1.41a
1.71a
Bulan 2
tn
0.18a
0.32a
b
Bulan 3
*
0.14
0.31a
Pertambahan diameter tajuk (m)
tn
0.85a
0.85a
a
Pertambahan panjang akar (cm)
tn
56.43
41.00a
Pertambahan kedalaman akar (cm)
*
23.36a
3.57b
(tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%, angka-angka pada
baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf
uji 5% (uji selang berganda Duncan).
Pertambahan tinggi dan diameter mindi pada pola tanam agroforestri lebih
besar dibandingkan pada pola monokultur (Tabel 2). Adanya tanaman semusim
menyebabkan keadaan tempat tumbuh menjadi lebih baik. Salah satu faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah tanah yang memiliki kandungan
unsur hara yang cukup dan aerasi yang baik. Adanya akar dari tanaman semusim
diduga membuat aerasi tanah lebih baik. Kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman
semusim seperti penggemburan tanah dan penyiangan gulma dapat menambah
nutrisi tanah (Wibowo 2012; Wijayanto dan Hidayanthi 2012).
Pemberian pupuk kandang pada tanaman kedelai juga diserap oleh mindi
untuk pertumbuhannya. Penyiangan gulma yang dilakukan mampu mengurangi
adanya kompetisi antara tanaman mindi dengan gulma. Penggemburan tanah yang
dilakukan pada kedelai diduga menyebabkan akar mindi dapat berkembang dengan
baik sehingga mampu menyerap air dan unsur hara lebih tinggi dibandingkan
dengan mindi pada pola tanam monokultur.
Bahan organik sangat penting sebagai pembentuk kesuburan fisika tanah dan
tidak dapat digantikan oleh komponen lain yang terdapat di alam (Sumarno et al.
2009). Menurut Hasanuzzaman dan Hossain (2014) serasah mindi mampu
kehilangan massa kurang lebih 53−63%, sehingga mampu mengembalikan nutrisi
ke dalam tanah dengan jumlah yang cukup tinggi.
Tabel 3

Perbandingan kandungan unsur hara mindi sebelum dan sesudah
penanaman kedelai, pada pola tanam monokultur dan agroforestri
Akhir Penanaman
Awal
Unsur hara
Penanaman
Monokultur
Agroforestri
N Total (%)
4.04
4.33
4.68
P Total (%)
0.25
0.39
0.36
K Total (%)
1.98
2.16
2.44

14
Kegiatan pemupukan untuk tanaman kedelai di bawah tegakan mindi
menyebabkan adanya penambahan ketersediaan unsur hara sehingga unsur hara
pada pola tanam agroforestri lebih besar dibandingkan monokultur (Tabel 3).
Menurut Fernandez et al. (2011) unsur hara N, P, dan K merupakan nutrisi utama
yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan, produksi, dan mutu buah.
Kandungan hara N, P, dan K mindi pada pola tanam monokultur dan agroforestri
mengalami peningkatan dibandingkan sebelum kegiatan penanaman kedelai.
Peningkatan serapan unsur hara N, P, dan K pada tanaman mindi yang ditanam
secara monokultur berturut-turut yaitu: 0.29%; 0.14%; dan 0.18%. Sedangkan
peningkatan serapan unsur hara N, P, dan K pada tanaman mindi yang ditanam
secara agroforestri berturut-turut yaitu: 0.64%; 0.11%; dan 0.46%. Jumlah unsur
hara tertinggi adalah N dan yang terendah adalah unsur P. Menurut Rina (2015)
unsur N dibutuhkan dalam jumlah besar dikarenakan menyusun 1−5% berat tubuh
tanaman. Unsur K yang terkandung pada tanaman sekitar 0.5−6%. Fosfor (P)
termasuk hara makro yang penting untuk pertumbuhan tanamanan namun
kandungannya di dalam tanaman lebih rendah dibanding unsur N dan K (Novriani
2010). Kadar P dalam tanaman berkisar 0.14−0.25%.
Peningkatan kandungan hara yang lebih tinggi pada plot agroforestri
menyebabkan penambahan dimensi pohon mindi yang lebih besar dibandingkan
dengan plot monokultur. Adanya tanaman kedelai diduga membantu menyediakan
unsur hara secara tidak langsung.
Pola tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan
diameter tajuk (Tabel 2). Tajuk pohon yang luas meningkatkan proses fotosintesis
pada pohon sehingga mempercepat pertumbuhannya. Menurut Wijayanto dan
Hidayanthi (2012) tajuk melalui proses fotosintesis menyediakan karbohidrat untuk
akar, sedangkan akar menyerap air dan hara dari dalam tanah untuk memenuhi
kebutuhan tajuk.
Akar merupakan aspek yang berpengaruh dalam pertumbuhan tanaman. Akar
yang tumbuh baik dapat menyerap air dan unsur hara. Tanah dengan jumlah poripori yang banyak dapat mempermudah akar untuk tumbuh. Persaingan
pertumbuhan akar menjadi kendala dalam penerapan sistem agroforestri. Tanaman
semusim dan tahunan pada lahan yang sama bersaing untuk memperoleh air dan
hara. Perpaduan antara jenis akar dalam dan pendek dapat diperhatikan untuk
mengurangi persaingan di dalam tanah. Tanaman semusim biasanya memiliki
sistem perakaran yang pendek.
Pertumbuhan akar dapat diamati melalui pengukuran panjang dan kedalaman
akar. Menurut Zamora et al. (2007) panjang akar menunjukkan interaksi yang
terjadi di bawah tanah. Pertumbuhan akar pada tanaman mindi memperlihatkan
respon yang beragam. Pola tanam monokultur maupun agroforestri tidak
memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar. Akar yang panjang dapat
memperluas permukaan dalam kegiatan penyerapan baik air maupun unsur hara.
Akar pada pola tanam monokultur lebih panjang dibandingkan dengan agroforestri.
Hal ini diduga karena akar pada monokultur memperpanjang jangkauan untuk
mendapatkan unsur hara. Kegiatan pemeliharaan pada pola tanam agroforestri
seperti pemupukan pada tanaman semusim sehingga menyediakan unsur hara di
sekitar tanaman mindi.
Perbedaan yang nyata terdapat pada pertambahan kedalaman akar (Tabel 2).
Pertambahan kedalaman akar pada plot monokultur lebih tinggi dibandingkan

15
dengan plot agroforestri. Pertumbuhan akar lateral pada plot monokultur yang
cenderung ke dalam tanah menunjukkan bahwa unsur hara yang ada di plot tersebut
terdapat di tanah yang lebih dalam (Young 2002). Kegiatan pemupukan pada
tanaman kedelai menyebabkan akar lateral pada plot agroforestri diduga tidak
tumbuh ke dalam.
Pertumbuhan Kedelai
Perlakuan pola tanam pada kedelai terdiri atas monokultur dan agroforestri.
Berdasarkan hasil analisis ragam pola tanam memberikan pengaruh yang nyata
terhadap semua peubah pertumbuhan kedelai. Varietas kedelai tidak berpengaruh
nyata terhadap umur berbunga kedelai dan bobot kering pucuk. Interaksi antara pola
tanam dan varietas kedelai memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah
akar, bobot kering akar, dan umur panen kedelai (Tabel 4).
Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam data pertumbuhan kedelai yang diberikan
perlakuan pola tanam dan varietas
Pola tanam
Varietas
Interaksi
Peubah
(P)
(V)
(PXV)
1. % hidup kedelai
*
*
tn
2. Umur berbunga kedelai (HST)
*
tn
tn
3. Bobot basah (g)
Pucuk
*
*
tn
Akar
*
*
*
4. Bobot kering (g)
Pucuk
*
tn
tn
Akar
*
*
*
5. Jumlah bintil akar
*
*
tn
6. Umur panen kedelai (HST)
*
*
*
(tn) : tidak berbeda nyata; (*) : berbeda nyata pada taraf uji 5%.
Pertumbuhan tanaman tidak hanya bergantung pada ketersediaan unsur hara
saja, namun juga ditunjang dengan keadaan fisika tanah yang baik. Tanah dengan
kondisi fisika yang baik serta tidak bersifat toksik dapat menunjang pertumbuhan
tanaman. Sifat tanah yang menentukan kemungkinan akar suatu tanaman dapat
menembus tanah adalah bulk density. Menurut Hardjowigeno (2007) bulk density
secara umum nilainya berkisar 1.1−1.6 g/cc. Bobot isi pada lahan monokultur
kedelai dan agroforestri yaitu 1.13 g/cc dan 1.01 g/cc. Bobot isi atau bulk density
pada pola tanam monokultur lebih tinggi bila dibandingkan dengan agroforestri
(Lampiran 7). Hal ini menunjukkan bahwa kepadatan tanah pada plot monokultur
lebih besar. Menurut Tolaka et al. (2013) penanaman jenis pohon dalam sistem
agroforestri mempengaruhi kondisi fisika tanah baik secara langsung maupun tidak
melalui pola sebaran akar maupun melalui penyediaan pakan bagi cacing tanah.
Berdasarkan hasil analisis pengujian sifat kimia tanah diketahui pH tanah di
lahan agroforestri adalah 4.9 dan lahan monokultur adalah 4.8 (Lampiran 6). Hasil
ini menunjukkan bahwa tanah yang akan dipakai sebagai lokasi penelitian adalah
masam. Menurut Andrianto dan Indarto (2004) pH optimum untuk pertumbuhan

16
kedelai adalah 5.8‒7.0. Kegiatan pengapuran perlu dilakukan untuk meningkatkan
pH tanah.
Menurut Pusat Penelitian Tanah (1983) dalam Hardjowigeno (2007) lahan
pada pola tanam monokultur memiliki kandungan C organik, N total dan K
tergolong rendah, sedangkan P tersedia tergolong san