Studi Q fever pada telur ayam di wilayah bogor ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat veteriner

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH
BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN
MASYARAKAT VETERINER

TRIOSO PURNAWARMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Studi Q Fever pada Telur Ayam di
Wilayah Bogor ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2011
Trioso Purnawarman

NRP. P18600004

ABSTRACT
TRIOSO PURNAWARMAN. Study of Q Fever in Chicken Eggs in Bogor Area :
Veterinary Public Health’s Point of View. Under the direction of I WAYAN TEGUH
WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU and AGUS SETIYONO
Every year, Indonesia imports cattle and meat from Australia. Australia is the first
country in the world where Query fever (Q fever) disease in abattoir workers was
discovered and it is still endemic. Q fever is a disease that can be transmitted through
food (foodborne disease) and it is categorized as zoonoses emerging infectious disease.
This disease is caused by Coxiella burnetii (C. burnetii), which is an obligate intracellular
pathogen, pleomorphic, resistant to physic-chemistry conditions and potentially used as
biological weapons. Transmission to humans occurs through inhalation of dust particles
from feces, urine and wool; direct infection from infected animals or tissues such as the
rest of abortion, the placenta and the blood; and through the digestive tract from
consuming unpasteurized milk and eggs.
C. burnetii was detected serologically and molecularly in Bali cattle, Brahman
cross cattle, sheep and goats in the area of Bali and Bogor. Therefore, it is necessary to
do a deeper study about its existence on chicken and eggs in Indonesia. This is important
because the research results in Japan, Korea and the Philippines in 2003-2004 showed

that 4.2% eggs were positive DNA C. burnetii.
This research was aimed (1) to know the existence of the DNA of C. burnetii in
eggs, (2) to know the relationship between the presence of C. burnetii with the
characteristics of the farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity), and
(3) to determine the sensitivity and specificity of the nested polymerase chain reaction
(nested PCR) method compared with PCR to detect the DNA of C. burnetii.
Qiao modified method for extracting DNA of C. burnetii in egg yolk is capable to
produce a high concentration and high level of DNA purity.
Assessment of C. burneti DNA detection in 222 in commercial chicken eggs taken
from sector 2 chicken farm and 130 local chicken eggs from sector 4 farm in Bogor area
was done. The results shows that there wasn’t any C. burnetii DNA in 352 eggs sample
which were tested with nested PCR method. It hadn’t been known the relation between
farm environment (sanitation, personal hygiene and biosecurity) and the existence of the
DNA of C. burnetii.
The sensitivity of nested PCR method to detect the DNA of C. burnetii reached the
limit of detection up to 300 pg or it is 50 times more sensitive than PCR. In addition, PCR
and nested PCR has high specificity (conserved) to detect C. burnetii. Two pairs of
primers OMP1-OMP2 and OMP3-OMP4 are highly sensitive and specific of 21 strains
C. burnetii and have been used as diagnostic method for Q fever disease in humans.
The results of this study can be used as initial information about the presence of

C. burnetii in eggs in Bogor area. In order to determine the infection of C. burnetii in
chicken farms, it is necessary to conduct further research, both serological and
molecular, in egg-producing regions throughout Indonesia. Further research should be
conducted in other poultry eggs such as quail and duck eggs. Besides that, it is
necessary to do C. burnetii surveillance in imported cows from Australia so that a
guidance control system to face the entry of exotic zoonoses into Indonesia can be
compiled.
.
Key words: Coxiella burnetii, Chicken eggs, sensitivity and specificity, nested polymerase
chain reaction.

RINGKASAN
TRIOSO PURNAWARMAN. Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor
ditinjau dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh I WAYAN
TEGUH WIBAWAN, FACHRIYAN HASMI PASARIBU dan AGUS SETIYONO
Setiap tahun Indonesia mengimpor sapi dan daging dari Australia. Australia
merupakan negara pertama ditemukannya penyakit Query fever (Q fever) pada pekerja
rumah potong hewan dan sampai sekarang masih bersifat endemik. Q fever merupakan
salah satu penyakit yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) dan
dikategorikan sebagai emerging infectious disesase yang bersifat zoonosis. Penyakit ini

disebabkan oleh Coxiella burnetii (C. burnetii) yang bersifat obligat patogen intraseluler,
pleomorfik, tahan terhadap kondisi psikokimia dan berpotensi digunakan sebagai senjata
biologis. Penularan ke manusia terjadi melalui inhalasi partikel debu yang berasal dari
feses, urin dan wol yang terinfeksi; kontak langsung dari hewan atau jaringan terinfeksi
seperti sisa abortus, plasenta dan darah serta melalui saluran pencernaan karena
mengkonsumsi susu dan telur yang tidak dipasteurisasi.
Orang yang terinfeksi penyakit Q fever akan memperlihatkan gejala klinis seperti
flu (flu like syndrome), pneumonia dan hepatitis. Apabila tidak segera diobati dengan baik
sekitar 2-10% akan menjadi endokarditis. Kematian pada kasus kronis dapat mencapai
25-65%, sehingga dari kesehatan masyarakat veteriner perlu mendapatkan perhatian
yang serius.
C. burnetii sudah terdeteksi secara serologis dan molekuler pada sapi bali, sapi
brahman cross, domba dan kambing di wilayah Bali dan Bogor, maka perlu dilakukan
studi lebih mendalam tentang keberadaannya pada ayam dan telur di Indonesia. Hal ini
penting karena dari hasil penelitian di Jepang, Korea dan Pilipina pada tahun 2003-2004
menunjukkan 4.2% positif DNA C. burnetii pada telur. Di Indonesia, telur merupakan
sumber protein hewani yang mempunyai nilai gizi yang tinggi, harganya terjangkau dan
gemar dikonsumsi dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Penelitian ini dilakukan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii pada
telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik lingkungan

peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) mengetahui sensitivitas
dan spesifisitas metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) dibandingkan
dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii.
Modifikasi metode Qiao untuk mengekstraksi DNA C. burnetii pada kuning telur
mampu menghasilkan konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA yang tinggi.
Kajian dilakukan untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada 222 butir telur ayam ras
yang diambil dari peternakan ayam sektor 2 dan 130 butir telur ayam lokal dari
peternakan sektor 4 di wilayah Bogor. Hasil deteksi menunjukkan tidak ditemukan DNA
C. burnetii pada 352 sampel telur yang diuji dengan metode nested PCR dan belum dapat
diketahui hubungan antara karakteristik lingkungan (sanitasi, higiene personal dan
biosekuriti) dengan keberadaan DNA C. burnetii.
Sensitivitas metode nested PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii mencapai limit
deteksi hingga ≥ 300 pg atau 50 kali lebih sensitif dibandingkan PCR. Selain itu PCR dan
nested PCR mempunyai spesifisitas yang tinggi (conserved) untuk mendeteksi C. burnetii.
Dua pasang primer OMP1-OMP2 dan OMP3-OMP4 sangat sensitif dan spesifik terhadap
21 strain C. burnetii dan sudah digunakan sebagai metode diagnosa untuk penyakit
Q fever pada manusia.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi awal tentang keberadaan
C. burnetii pada telur di wilayah Bogor. Untuk mengetahui adanya infeksi C. burnetii di
peternakan ayam, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut baik secara serologis


maupun molekuler di wilayah-wilayah penghasil telur di seluruh Indonesia dan juga
mendeteksi pada telur unggas lainnya seperti telur burung puyuh dan bebek. Disamping
itu perlu dilakukan surveilans C. burnetii terhadap sapi-sapi impor asal Australia sehingga
dapat disusun pedoman sistim pengendalian menghadapi masuknya penyakit zoonosa
baru ke Indonesia.
Kata kunci: Coxiella burnetii, telur ayam, sensitivitas dan spesifisitas, nested polymerase
chain reaction.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI Q FEVER PADA TELUR AYAM DI WILAYAH
BOGOR DITINJAU DARI ASPEK KESEHATAN

MASYARAKAT VETERINER

TRIOSO PURNAWARMAN

DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

Penguji luar komisi pada ujian tertutup :

Prof. Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS
Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si

Penguji luar komisi pada ujian terbuka :


drh. Pudjiatmoko, Ph.D
Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto

Judul Disertasi

: Studi Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor ditinjau

Nama
NRP

dari Aspek Kesehatan Masyarakat Veteriner
: Trioso Purnawarman
: P18600004

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
Ketua


Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu
Anggota

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph.D
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Sains Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Prof. drh. Bambang Pontjo P., MS, Ph.D

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

Tanggal Ujian : 16 Maret 2011

Tanggal Lulus :


PRAKATA
Puji

syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia dan

hidayahNya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui keberadaan mikroorganisma patogen pada pangan asal hewan, khususnya
telur yang dapat mempengaruhi keamanan pangan bagi kesehatan masyarakat dengan
topik Q Fever pada Telur Ayam di Wilayah Bogor yang belum pernah diteliti di Indonesia.
Coxiella burnetii (C. burnetii) sebagai penyebab Q fever merupakan salah satu potensi
ancaman besar bagi kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh.
I Wayan Teguh Wibawan, MS, Prof. Dr. drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan drh. H. Agus
Setiyono, MS, Ph.D selaku pembimbing yang telah memberi perhatian, semangat serta
dorongan kepada penulis. Kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto yang telah
membantu memberikan DNA C. burnetii Nine Mile 2 ATCC (NM2) dan masukan

perbaikan metode ekstraksi dalam penelitian ini. Terima kasih juga disampaikan kepada
Dr. Muharam Saepulloh yang telah membantu penelitian dan Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si
yang memberikan jurnal-jurnal untuk melengkapi disertasi ini.

Kepada Prof. drh.

Bambang Pontjo P. MS, Ph.D selaku ketua program studi Sains Veteriner FKH IPB, Prof.
Dr. drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si sebagai
penguji luar komisi pada ujian tertutup serta drh. Pudjiatmoko, Ph.D dan Prof. Dr. drh. Hj.
Mirnawati Sudarwanto sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka.

Kepada para

kolega staf pengajar dan laboran di Bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB;
staf dan laboran di Laboratorium Terpadu FKH IPB; staf dan laboran di Laboratorium
Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH
IPB; staf dan laboran di Balai Besar Penelitian Veteriner serta para peternak ayam di
wilayah Bogor yang telah membantu penelitian ini.

Terima kasih dan penghargaan

penulis sampaikan pula kepada kedua orang tua, mertua, drh. Rosy Roselina, Roby
Raditia Aryoputranto dan Renardi Purnama Putra, atas perhatian, nasehat serta doanya
selama ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan
kesehatan masyarakat.
Bogor, April 2011
Trioso Purnawarman

RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara putra Bapak Bambang
Soeletter dan Ibu Sri Hartini serta dilahirkan di Balikpapan pada tanggal 5 Oktober 1962.
Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di Sekolah Dasar di Palembang
Sumatera Selatan tahun 1968-1974, Sekolah Menengah Pertama Perguruan Cikini
Jakarta

tahun 1975-1977 dan Sekolah Menengah Atas

Negeri 9 Jakarta tahun

1978-1981. Penulis menyelesaikan studi dokter hewan dari Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Pada tahun 1986-1988 penulis bekerja pada
perusahan perunggasan nasional di sektor pembibitan ayam sebagai manajer produksi.
Sejak tahun 1988 diangkat sebagai staf pengajar di Bagian Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH
IPB.

Penulis melanjutkan pendidikan program Magister Sains (Strata 2) di program

pascasarjana IPB bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (KMV) pada tahun 1990-1994.
Sejak tahun 2000 melanjutkan pendidikan program Doktor (Strata 3) di Sekolah
Pascasarjana IPB bidang Sains Veteriner (SVT).
Penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi selama menjadi siswa di sekolah
menengah sampai mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dokter hewan bergabung
pada Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia dan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.
Pada tahun 1999-2002 menjadi Sekretaris Jenderal Forum Komunikasi Kesehatan
Masyarakat Veteriner (Forkom Kesmavet) dan tahun 2002-2006 menjadi koordinator
komisi sanitasi lingkungan, Asosiasi Kesehatan Kesehatan Masyarakat Veteriner
(Askesmaveti). Pada tahun 2006 sampai sekarang sebagai anggota panitia teknis 67-03
bidang peternakan dan produk peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Republik Indonesia serta pada tahun 2010
sampai sekarang sebagai koordinator bidang organisasi Masyarakat Ilmu Perunggasan
Indonesia (MIPI).
Beberapa tulisan yang telah dan akan diterbitkan pada beberapa jurnal nasional
antara lain tingkat kejadian residu formalin pada daging ayam yang dijual di pasar
tradisional di kota Bogor pada Jurnal Medis Veteriner Indonesia serta sensitivitas dan
spesifisitas nested polymerase chain reaction untuk mendeteksi DNA Coxiella burnetii
pada Jurnal Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.…………………………………………………………………........

xiv

DAFTAR GAMBAR.……………………………………………………………………

xv

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………..

xvi

PENDAHULUAN.………………………………………………………………………

1

TINJAUAN PUSTAKA
Q Fever.………………………………………………………………………...
Morfologi dan Karakteristik Coxiella burnetii..……………………..
Diagnosa Penyakit Q Fever………………………………………....

5
5
8

Q Fever pada Hewan.………………………………………………………...
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit..………………………….
Patogenesis Q Fever..……………………………………………….
Gejala Klinis.………………………………………………………….

11
11
12
12

Q Fever pada Manusia.………………………………………………………
Epidemiologi dan Distribusi Penyakit………………………………
Q Fever Sebagai Food-borne Disease…………………………….
Gejala Klinis.………………………………………………………….
Pengendalian.………………………………………………………...

13
13
15
16
16

Q Fever di Indonesia ………………………………………………………...

19

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………………….
Tahapan Penelitian …………………………………………………………...

20
20

DETEKSI Coxiella burnetii PADA TELUR AYAM RAS DAN LOKAL DI
WILAYAH BOGOR DENGAN METODE NESTED POLYMERASE CHAIN
REACTION
Abstrak …………………………………………………………………………
Abstract ………………………………………………………………………...
Pendahuluan …………………………………………………………………..
Bahan dan Metode ……………………………………………………………
Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………
Kesimpulan dan Saran ……………………………………………………….

25
25
25
27
31
34

SENSITIVITAS DAN SPESIFISITAS NESTED POLYMERASE CHAIN
REACTION UNTUK MENDETEKSI DNA Coxiella burnetii
Abstrak …………………………………………………………………………
Abstract ………………………………………………………………………...
Pendahuluan …………………………………………………………………..
Bahan dan Metode ……………………………………………………………
Hasil dan Pembahasan ………………………………………………………
Kesimpulan …………………………………………………………………….

35
35
35
37
39
42

PEMBAHASAN UMUM ……………………………………………………………….

43

Halaman
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan.…………………………………………………………………….
Saran.…………………………………………………………………………...

50
50

DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………………......

51

LAMPIRAN.……………………………………………………………………………..

58

DAFTAR TABEL
Halaman
1 Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan ………………..

1

2 Pengobatan Q fever pada manusia……………………………………………….

17

3 Kriteria peternakan ayam…………………………………………………………..

33

4 Gambaran sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan ayam
sektor 2 dan sektor 4………………………………………………………………..

33

5 Perbandingan sensitivitas PCR dan nested PCR dalam mendeteksi DNA
C. burnetii dengan konsentrasi 75 ng/µl sampai dengan 0.03 pg/µl.………….

40

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA………………….

5

2 C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali……......

6

3 Antigen fase I dan fase II C. burnetii……………………………………………..

7

4 Mekanisme infeksi dan gejala penyakit Q fever pada manusia……………….

17

5 Tahapan penelitian studi Q fever pada ayam di wilayah Bogor.………………

20

6 Hasil deteksi DNA C. burnetii dengan elektroforesis…………………………...

31

7 Sensitivitas PCR dan nested PCR menggunakan konsentrasi DNA
C. burnetii 75 ng/ µl sampai dengan 0.03 pg/µl.………………………………

40

8 Uji spesifisitas C. burnetii dengan metode PCR dan nested PCR.…………...

41

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Asal sampel telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor……………..

59

2 Asal sampel telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan
kota Bogor.......................................................................................................

59

3 Hasil uji nested PCR telur ayam ras yang berasal dari kabupaten Bogor……

60

4 Hasil uji nested PCR telur ayam lokal yang berasal dari kabupaten dan
kota Bogor…………………………………………………………………………..
5 Kuesioner untuk peternak…………………………………………………………

61
62

6 Pengelompokan dan pembobotan faktor-faktor yang mempengaruhi
sanitasi, higiene personal dan biosekuriti di peternakan……………………….

64

7 Skoring (penilaian) faktor-faktor yang mempengaruhi sanitasi, higiene
personal dan biosekuriti di peternakan…………………………………………..
8 Perbandingan metode Qiao dengan modifikasi metode Qiao…………………

65
67

PENDAHULUAN
Perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini semakin baik,
sehingga permintaan terhadap bahan pangan asal hewan yang aman (safe) dan
layak (suitable) juga meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan permintaan daging
sapi empat tahun terakhir meningkat sebesar 10.7%, yaitu dari 356 863 ribu ton
pada tahun 2006 menjadi 399 535 pada

tahun 2009.

Untuk memenuhi

permintaan tersebut, maka impor sapi bakalan meningkat 24.1% dari 218 408
ekor pada tahun 2006

menjadi 271 043 ekor pada

tahun 2009. Data

menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor sapi rata-rata
tahun

yang

sebagian

besar

berasal

dari

650 000 ekor per

Australia

(Apfindo

2010).

Perkembangan permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan
selama empat tahun terakhir disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1

Permintaan dan penyediaan daging serta impor sapi bakalan
(Apfindo 2010)

Uraian

Permintaan daging (ton)
Penyediaan daging dalam
negeri (ton)
Selisih permintaan penyediaan
- Dalam (ton)
- Dalam (ekor)
Impor bakalan (ekor)

Tahun
2006

2007

2008

2009

356 863

370 813

385 035

399 535

256 831

245 213

249 925

264 446

-100 032
-708 945
218 408

-125 599
-890 147
210 165

-135 109
-957 547
246 988

-135 089
-957 402
271 043

Australia merupakan negara asal dan pertama ditemukannya Query fever
(Q fever) pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha
dan Szyfres 2003). Sapi bakalan yang di impor dalam jumlah yang banyak, akan
menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada
hewan dan manusia ke Indonesia.
Q fever merupakan penyakit yang sangat kontagius, berhubungan
dengan pekerjaan (occupational disease) dan merupakan salah satu penyakit
yang dapat ditularkan melalui makanan (foodborne disease) serta dapat
dikategorikan sebagai emerging infectious disease/EID yang bersifat zoonosis
(CFSPH 2007; Muramatsu et al. 2006; Vaidya 2008). Di Australia sejak tahun

2

1977 Q fever
disease),

termasuk kategori penyakit yang harus dilaporkan (notifiable

sedangkan di Amerika Serikat baru di mulai tahun 1999 (CFSPH

2007). Penyakit ini dapat pada manusia ditularkan melalui inhalasi partikel debu
(feses, urin, wol), kontak langsung (plasenta, sisa obortus), makanan (susu, telur)
dan air yang terkontaminasi 1-10 organisme (ID 50, yaitu apabila orang terinfeksi
1-10 mikroorganisme Coxiella burnetii, maka 50% dari orang tersebut

akan

menunjukkan gejala penyakit) (Acha dan Szyfres 2003; Anonim 2003).
Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada
tahun 1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada 188 serum sapi
yang diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi

C. burnetii

menggunakan metode cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan
Bertagna 1955). Penelitian berikutnya dilakukan Rumawas (1976) menunjukkan
bahwa dari 323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya
dan Semarang ditemukan 4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever
menggunakan metode CAT. Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian
penyakit Q fever pada pekerja di Indonesia secara seroepidemilogi.

Hasil

penelitian yang dilakukan Ibrahim et al. (1999) memperoleh 20.8-51.9% positif
antibodi terhadap spotted fever, 38% positif murine typhus,

tetapi tidak

menemukan Q fever pada serum tikus liar menggunakan metode indirect
immunoflourescent antibody (IFA) di Jakarta dan Boyolali.
Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus
pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan
ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor
pada domba dan kambing menunjukkan masing-masing sebesar 31.88% dan
20.29% menggunakan metode IFA, sedangkan dengan metode nested
polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor sapi bali dan
brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii serta pada
165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA C. burnetii
di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).
Penyakit Q fever pada sapi, kambing dan domba sudah ditemukan
di Indonesia, maka kemungkinan penyebaran penyakit ini pada hewan lainnya
termasuk unggas, dapat terjadi. Penularan dari hewan ke hewan, baik antara
hewan liar ke hewan domestik maupun dari hewan domestik ke hewan domestik
lainnya dapat melalui gigitan caplak (Ixodidae spp., Argasidae spp.) dan lalat

3

(Stomoxis sp., Musca sp.) yang bertindak sebagai vektor (Acha dan Szyfres
2003; Maurin dan Raoult 1999; Norlander 2000; Sonenshine et al. 2002).
Penyebaran penyakit Q fever dipermudah akibat penataan wilayah
subsektor peternakan di Indonesia yang masih belum tertata dengan baik. Di
beberapa wilayah di Indonesia, lokasi peternakan sapi, domba dan kambing
berdekatan dengan peternakan unggas, sehingga memudahkan terjadinya
penularan penyakit Q fever melalui kontak langsung, aerosol, maupun melalui
vektor. Penataan peternakan dalam satu wilayah harus tetap memperhatikan
sistem pemisahan (zoning) dan jarak antara satu peternakan dengan peternakan
lainnya untuk setiap jenis ternak.
Studi seroepidemiologi Q fever menggunakan metode CAT terhadap
25 peternakan ayam di distrik Nainital dan Ajmer, di negara bagian Uttar Pradesh
dan Rajasthan, India, ditemukan 78 sampel (13.24%) positif antibodi Q fever
dengan titer 8 sampai 64. Ayam petelur atau layer (umur lebih dari 6 bulan) lebih
tinggi persentase positifnya dibandingkan dengan ayam grower, yaitu 19.74% :
5.55%.

Selain itu dilaporkan bahwa pada pekerja peternakan ayam tersebut

ditemukan positif antibodi Q fever sebesar 27.52% dengan metode CAT (Rarotra
et al. 1978).

Hasil penelitian

To et al. (1998) menemukan 2% positif

titer

antibodi C. burnetii menggunakan metode CAT dan 1.1% positif DNA C. burnetii
menggunakan metode nested PCR pada ayam di wilayah Fukuoka Jepang.
Penelitian yang sama juga dilakukan pada peternakan ayam di Jepang bagian
tengah (Aichi, Shizuoka, Mie dan Gifu), didapatkan 7% positif antibodi IgG
terhadap C. burnetii, dengan titer berkisar antara 16 sampai dengan 64 dengan
metode IFA, tetapi dengan metode nested PCR tidak ditemukan DNA C. burnetii
(Muramatsu et al. 2006).
Hasil penelitian pada telur ayam yang dilakukan di Jepang, Korea dan
Filipina menunjukkan bahwa dari bulan Juli 2003 sampai dengan Juni 2004
didapatkan 179 sampel (4.2%) positif DNA C. burnetii dari 4252 sampel, serta
pada mayones yang dilakukan di Jepang dan Kanada dari bulan Maret 2003
sampai dengan Juni 2004 diperoleh 35 sampel (17.5%) positif DNA C. burnetii
dari 200 sampel menggunakan metode nested PCR (Tatsumi et al. 2006). Hasil
studi di Swiss menunjukkan 17 sampel (4.7%) positif DNA C. burnetii dari 359
sampel susu sapi, tetapi tidak ditemukan DNA C. burnetii pada 81 sampel susu
domba, 39 sampel susu kambing dan 504 sampel telur ayam yang diperiksa
menggunakan metode nested PCR (Fretz et al. 2007).

4

Data tersebut diatas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian
tentang keberadaan penyakit Q fever di Indonesia, terutama pada ayam dan
bahan pangan asal unggas, khususnya telur. Hal ini penting dilakukan karena
sampai saat ini masih banyak masyarakat Indonesia yang gemar mengkonsumsi
telur mentah atau setengah matang, karena disebabkan masih adanya
kepercayaan bahwa khasiatnya lebih baik bila dimakan dalam keadaan mentah
sebagai pelengkap jamu. Pelacakan keberadaan DNA C. burnetii

pada telur

sudah sangat mendesak untuk dilakukan, karena sampai saat ini belum ada studi
atau kajian tentang ada tidaknya mikroorganisme C. burnetii dalam telur,
sehingga penelitian yang dilakukan benar-benar merupakan sesuatu yang baru
di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui keberadaan DNA C. burnetii
pada telur, (2) mengetahui hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik
lingkungan peternakan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3)
mengetahui sensitivitas dan spesifisitas metode nested PCR dibandingkan
dengan PCR untuk mendeteksi DNA C. burnetii.
Hipotesis penelitian ini adalah (1) DNA C. burnetii dapat ditemukan pada
telur, (2) terdapat hubungan keberadaan C. burnetii dengan karakteristik
lingkungan (sanitasi, higiene personal dan biosekuriti), serta (3) metode nested
PCR merupakan metode deteksi yang sensitif dan spesifik.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat (1) memberikan informasi tentang
keberadaan DNA C. burnetii pada telur, (2) dapat ditetapkan metode uji yang
sensitif dan spesifik terhadap C. burnetii sebagai agen penyebab Q fever, serta
(3) dapat digunakan pemerintah sebagai signal awal sistem kewaspadaan dini
(SKD), sehingga dapat disusun pedoman cara pengendalian penyakit Q fever di
Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA
Q Fever
Morfologi dan KarakterIstik Coxiella burnetii
Nama Query fever (Q fever) pertama kali diusulkan tahun 1937 oleh Edward
Holbrook Derrick, setelah adanya gejala demam yang diderita pekerja rumah potong
hewan (RPH) di Brisbane Queensland Australia pada tahun 1935. Pada tahun 1938
Herald Rea Cox dan MacFarlane Burnett menemukan penyebabnya, yaitu Rickettsia
burnetii (R. burnetii). Berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA R. burnetii yang dilakukan
Maurin dan Raoult (1999), secara filogenik dekat dengan Francisella tularensis,
Legionella pneumophila, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa dalam kelompok
famili Proteobacteria subdivisi gamma, sedangkan yang lain subdivisi alpha (Rickettsia
rickettsii, Erlichia cheffeensis, Bortonella henseloe, Brucella abortus, Afipia felis), subdivisi
beta (Alcaligenes faecalis), subdivisi delta (Campylobacter jejuni) dan subdivisi epsilon
(Helicobacter pylori). Tetapi karena mempunyai perbedaan diantara kelompok sub divisi
gamma, maka Cornelius B. Philip mengusulkan genus tersendiri menjadi Coxiella burnetii
(C. burnetii) yang merupakan penghargaan terhadap Herald Rea Cox dan MacFarlane
Burnett seperti pada Gambar 1 (Singleton dan Sainsbury 2006).
Francisella tularensis
Coxiella burnetii
Legionella pneumophila

gamma

Escherichia coli
Pseudomonas aeruginosa
Rickettsia rickettsii
Erlichia cheffeensis
Proteobacteria

Bortonella henseloe

alpha

Brucella abortus
Afipia felis
Alcaligenes faecalis

beta

Campylobacter jejuni

delta

Helicobacter pylori

epsilon

Gambar 1 Filogenik C. burnetii berdasarkan analisa sekuen 16S rRNA (Maurin
dan Raoult 1999; Singleton dan Sainsbury 2006).

6

C. burnetii bersifat obligat patogen intraseluler, termasuk bacterial like organism,
memiliki membran seperti bakteri Gram negatif, namun sulit diamati dengan pewarnaan
Gram. Pewarnaan yang bisa digunakan adalah Gimenez dan Stamp (Maurin dan Raoult
1999; Willems et al. 1998; Zhang et al. 2004).
C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau
kokoid), berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora
(spora like), mempunyai bentuk besar (large form/large cell variant) dan bentuk kecil
(small form/small cell variant) seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998; Heinzen
et al. 1999; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii dapat bereplikasi menjadi dua kali setiap
20-45 jam di dalam vakuola parasitoforus sel eukariot inang (Angelakis dan Raoult 2010).

b
k

b

k
Gambar 2

C. burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran 75 000 kali,
bentuk kecil (k); bentuk besar (b) (Fournier et al. 1998).

Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel
makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat di ekstraseluler dan diduga sebagai bentuk
yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yakni antigen fase I dan fase II.
Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan,

sedangkan fase II ditemukan setelah

passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I lebih patogenik dibandingkan
dengan fase II. Perbedaan antara kedua bentuk fase antigen ini sangat penting di dalam
diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa
dihidroksistreptosa dan galaktosamin uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan
dalam menentukan patogenitasnya, sedangkan pada fase II terlihat kasar dan tidak
ditemukan rantai sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3
(Fournier et al. 1998).

7

a

b

Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al. 1998).
Coleman et al. (2004) menyatakan bahwa susunan LPS pada mikroorganisme
C. burnetii fase I dan fase II berbeda. Berdasarkan analisa electrospray ionization mass
spectrometry menunjukkan bahwa pada fase I dan fase II terdapat lipid A yang sama.
Lipid A tersebut tidak dapat mengaktifkan toll like receptor 2 (TLR-2)

dan TLR-4.

Hal ini berbeda dengan lipid A yang berasal dari E. coli yang mampu mengikat TLR-4,
sehingga bila ada C. burnetii maka TLR-2 dapat sebagai penentu adanya infeksi dan
akan menghambat pertumbuhan mikroorganisme tersebut di dalam sel inang.
Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan
dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronik, antibodi terhadap
antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan hingga
berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000). Zhang et al. (2004)
menyatakan bahwa sekuen gen AdaA pada protein membran luar merupakan penanda
untuk C. burnetii pada kasus akut serta berhubungan dengan faktor patogenitasnya.
Menurut CDC (2005) bahwa pada penderita akut Q fever dapat dideteksi dengan
meningkatnya antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase II, sedangkan pada kronis
Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan IgA fase I.
Berdasarkan hasil analisa restriction fragment length polymorphism (RFLP)
C. burnetii dapat dibagi menjadi 6 grup. Grup I, II, III dihubungkan dengan keganasan
pada hewan, caplak atau isolat yang berasal dari manusia yang terinfeksi ke dalam
kelompok tipe akut, sedangkan grup IV dan V selalu dikaitkan dengan endokarditis pada
manusia yang dikelompokkan dalam tipe kronis.

Grup VI merupakan isolat yang

diperoleh dari rodensia yang belum diketahui patogenisitasnya (Colemen et al. 2004).
Pada

hewan percobaan

marmot, infeksi grup I (Nine Mile, African dan Ohio) akan

menunjukkan gejala akut yang jelas, grup V (G dan S) menunjukkan gejala ringan sampai

8

sedang, serta grup IV (Priscilla dan P) dan V (Dugway) tidak memperlihatkan gejala sama
sekali. Pada tikus infeksi grup I, IV, V dan VI semua menunjukkan gejala klinis yang jelas
(Russell-Lodrigue et al. 2009).
Mikroorganisme C. burnetii mempunyai beberapa plasmid, yaitu QpH1, QpRS,
QpDG dan QpDV (Maurin dan Raoult 1999). Plasmid QpH1 ditemukan pada grup

I, II

dan III; plasmid QpRS pada grup IV dan V, plasmid QpDG pada grup VI; serta plasmid
QpDV pada strain French (Fournier et al. 1998).
Hasil analisa genom C. burnetii Nine Mile fase 1 yang sebesar 1 995 275 pb,
terdapat beberapa gen yang berpotensi dalam proses adesi dan invasi ke dalam sel inang
dan juga mempunyai kemampuan detoksikasi. Ukuran genom dari beberapa strain
C. burnetii bervariasi antara 1.5-2.4 Mb (Maurin dan Raoult 1999).
Agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas,
kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi disinfektan, seperti 0.05% hipoklorit,
5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid
(CFSPH 2007).

Pada bahan pangan asal hewan dan olahannya C. burnetii dapat

bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage pada suhu -20 ºC,
42 bulan pada susu segar yang disimpan pada suhu 4-6 ºC dan lebih dari 40 bulan pada
susu skim (CFSPH 2007).
senjata biologis yang

Oleh karena itu C. burnetii dapat dikembangkan sebagai

berpotensi digunakan sebagai ancaman teroris (bioterrorisme)

(CDC 2005; Kagawa et al. 2003; Madariaga et al. 2003).

Diagnosa Penyakit Q fever
Diagnosa yang akurat terhadap penyakit Q fever pada hewan dan manusia masih
sulit dilakukan karena infeksi agen penyebab penyakit ini umumnya bersifat subklinis
serta memilki dua fase antigen yang sangat penting dalam peneguhan diagnosa.
C. burnetii merupakan bakteri intraseluler yang pada fase akut dapat ditemukan di dalam
darah dan pada fase kronis terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat dalam organ
seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Lorenz et al. 1998). Dalam fase akut antibodi
terhadap antigen fase II lebih tinggi dibandingkan dengan fase I dan umumnya dapat
terdeteksi selama minggu kedua sejak terinfeksi, sedangkan pada fase kronis antibodi
terhadap antigen fase I bertahan lebih lama (Setiyono et al. 2005).
Metode diagnosa yang tepat harus memperhatikan beberapa faktor, antara lain
sensitivitas, spesifisitas, jumlah sampel yang akan diuji, biaya yang diperlukan dan waktu
yang dibutuhkan untuk melaksanakan uji.

Sensitivitas berkaitan dengan kemampuan

9

untuk mendeteksi antigen dalam jumlah sedikit atau respon imun yang kecil, sedangkan
spesifisitas pengujian berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antigen atau
respon imun antigen yang sangat erat hubungannya (Fournier et al. 1998).
Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat berguna
untuk mengetahui seroprevalensi Q fever disuatu daerah secara luas dalam waktu relatif
singkat (Setiyono et al. 2008).

Metode serodiagnosa yang telah diterapkan untuk

pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination test (CAT), complement fixation
test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan indirect immunofluorescent
antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000; Setiyono et al. 2005).
Penggunaan teknik CAT pernah dilakukan di Indonesia terhadap 323 sampel
darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang dan ditemukan
4 sampel (1.2%) positif Q fever (Rumawas 1976). Adesiyun dan Cazabon (1996)
mendapatkan 36 sampel (4.8%) positif C. burnetii dari serum darah ayam, sapi, babi,
kerbau, domba dan kambing di beberapa rumah potong di Trinidad. Sementara itu hasil
penelitian Richards et al. (2003) mendapatkan 2.1% seropositif Rickettsia dengan metode
ELISA terhadap penduduk di Kepulauan Gag Irian Jaya.
Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah banyak,
waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi spesifitasnya
rendah. Adapun kekurangan dari teknik ELISA diantaranya sering menimbulkan reaksi
positif palsu.

Hal ini disebabkan karena antigen standar yang digunakan umumnya

dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan antibodi dalam serum berikatan
dengan epitop-epitop lain yang ada dipermukaan sel kultur. Reaksi silang yang pernah
dilaporkan adalah dengan Microbacterium pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono
et al. 2005; Slaba et al. 2005).
Field et al. (2000) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa
Q fever yaitu teknik ELISA dengan IFA.

Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa

teknik

95%

ELISA

memberikan

sensitivitas

dan

menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifisitas

spesifisitas

88%,

sedangkan

98%. Penelitian yang sama juga

dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 93.8% dan 83.3%.

Teknik ELISA baik digunakan untuk tes skrining

dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifisitasnya dapat ditingkatkan dengan
mengkombinasi dengan IFA. Hasil penelitian yang dilakukan Kennerman et al. (2010)
menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok) yang berumur antara 10-24 bulan
di Turki sejak tahun 2001-2004 dengan menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx

10

Laboratories, Broomfield, CO, USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et
al. (2008) dengan teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan
memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta 7.9%
seropositif pada sapi (dari 571 ekor) di Albania.
Metode IFA merupakan metode yang direkomendasikan oleh banyak peneliti
untuk mendapatkan gambaran seroprevalensi Q fever secara cepat dan luas. Hal ini
didasarkan keunggulan metode IFA antara lain cepat, sensitif, relatif murah serta tidak
ditemukan adanya reaksi silang dengan infeksi penyakit lain dan dapat dilakukan untuk
jumlah sampel yang banyak.
Metode IFA digunakan untuk mendiagnosa Q fever fase akut maupun kronis pada
manusia berdasarkan titer immunoglobulin M (IgM), A (IgA) dan G (IgG) yang spesifik
terhadap C. burnetii fase I dan II (Fournier et al. 1998; Setiyono et al. 2005). IgM akan
berespon awal setelah C. burnetii masuk kedalam tubuh, kemudian setelah dua minggu
baru terbentuk IgG dan secara bertahap akan meningkat titernya di dalam darah sampai
beberapa bulan dan setelah itu akan menurun (To et al. 1996).
Polymerase chain reaction (PCR) merupakan teknik diagnosa yang paling sensitif
dan spesifik saat ini. Nested PCR adalah salah satu aplikasi teknik PCR yang banyak
digunakan untuk mendeteksi C. burnetii, walaupun masih mempunyai beberapa
kelemahan diantaranya perlu ketelitian yang tinggi dalam pengerjaannya, memerlukan
primer yang spesifik dan biayanya relatif mahal (Kato et al. 1998; Zhang et al. 1998).
Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji serologis
(ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif dengan ELISA, 32%
positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Dari 7 ekor domba yang seronegatif,
dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil positif. Hal ini menunjukkan bahwa
PCR mempunyai sensitivitas lebih tinggi dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001).
Perbandingan uji serologis dan molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut
menunjukkan bahwa apabila serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah
infeksi dapat didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ke tiga
sampai ke empat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya
untuk mengkonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003).
Penegakan diagnosa menggunakan satu uji serologis tidak cukup, diperlukan
konfirmasi dengan uji yang memiliki tingkat spesifisitas tinggi. Untuk itu maka hasil
positif ELISA dan IFA sebaiknya dikonfirmasi dengan metode PCR (Setiyono et al. 2008).

11

Q Fever pada Hewan
Epidemiologi dan Penyebaran Penyakit
Beberapa jenis hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing,
domba, anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati,
kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005;
Maurin dan Raoult 1999; Muskens et al. 2007; Parker et al. 2006). Burung dan rodensia
merupakan pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing dan domba
merupakan reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan
Vellema 2009). Di beberapa negara, anjing dan kucing juga merupakan sumber utama
penularan, hal ini sesuai dengan uji serologis yang mendapatkan seropositif pada anjing
dan kucing berkisar antara 15-20% (Buhariwalla et al. 1996; Marrie 2000).
Kontaminasi C. burnetii di lingkungan dapat terjadi setelah hewan melahirkan,
terutama melalui cairan kelahiran, plasenta, feses dan urin secara terus menerus.
Kontaminasi tersebut bisa berlangsung beberapa bulan dan dilaporkan pada kambing
lebih lama dibandingkan domba, yaitu selama dua kali masa kebuntingan, oleh karena itu
kambing sering menjadi sumber infeksi ke manusia (Arricau-Bouvery dan Rodolakis 2005;
Hatchette et al. 2003). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh subur di
dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi Q fever bersifat
laten (Kloppert et al. 2004).
C. burnetii dilaporkan telah ditemukan pada 40 spesies caplak di dunia, sehingga
caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar ke hewan
pelihara dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang terinhalasi. Disamping itu
penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak seksual karena agen
penyebab ditemukan pada semen sapi pejantan (Marrie 2000; Maurin dan Raoult 1999).
Sethi et al. (1978) melakukan penelitian pada ayam petelur leghorn putih umur
6 bulan, dengan menginfeksikan 2 ml larutan 10% membran yolk sac yang mengandung
C. burnetii strain Nine Mile melalui oral dan intra peritoneal. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan titer antibodi dengan metode CAT mulai meningkat (1:512) pada 13 hari
setelah infeksi dan tertinggi (1:1024) pada 30 hari setelah infeksi, kemudian menurun
(