D. Keaslian Penulisan
Setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana,
belum ditemukan adanya kesamaan judul ataupun permasalahan dengan judul dan permasalahan yang akan diangkat yaitu tentang “Pertanggungjawaban pidana
pengguna dan pengedar narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri”. Penulisan skripsi ini adalah asli dari ide, pemikiran, gagasan dan usaha penulis sendiri tanpa
adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, namun apabila terdapat kesamaan maka penulis siap bertanggung jawab
atas keaslian penulisan skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
1.1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda,
demikian juga pada WvS Hindia Belanda KUHP, tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para
ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.
3
3
Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan Batas berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2001, hal. 67
Universitas Sumatera Utara
Istilah-istilah yang pernah digunakan, baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam bernagai literature hukum sebagai terjemahan dari istilah
starfbaar feit adalah sebagai berikut:
4
1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam perundang-
undangan pidana kita. Hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam UU No. 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta, diganti dengan UU No.192002, UU No.11PNPS1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi, UU
No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999, dan perundang-undangan lainnya. Ahli
hukum yang menggunakan istilah ini seperti Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. lihat buku Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia. 2.
Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya Mr. R. Tresna dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, Mr. Drs. H.J. van
Schravendijk dalam buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H. dalam buku beliau Hukum Pidana.
Pembentuk UU juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana, yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 baca Pasal 14 ayat
1. 3.
Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin delictum juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan stafbaar feit.
4
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Istilah ini dapat dijumpai dalam beberapa literature, misalnya Prof. Drs. E. Utrecht, S.H., walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni
peristiwa pidana dalam buku Hukum Pidana I. Prof. A. Zainal Abidin dalam buku beliau Hukum Pidana I. Prof. Moeljatno pernah juga
menggunakan istilah ini, seperti pada judul buku beliau Delik-Delik Percobaan Delik-Delik Penyertaan walaupun menurut beliau lebih tepat
dengan istilah perbuatan pidana. 4.
Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Pokok-Pokok Hukum Pidana yang ditulis oleh Mr. M.H Tirtaamidjaja.
5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni
dalam buku beliau Ringkasan tentang Hukum Pidana. Begitu juga Schravendijk dalam bukunya Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana
Indonesia. 6.
Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang- Undang dalam Undang-Undang No. 12Drt1951 tentang Senjata Api dan
Bahan Peledak baca Pasal 3. 7.
Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-asas Hukum Pidana.
Dari beberapa istilah tersebut, tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit. Pengertian tindak pidana perlu diketahui
untuk memahami unsur-unsur yang ada di dalamnya, dimana unsur-unsur tindak pidana tersebut dapat menjadi patokan dalam upaya untuk menentukan apakah
perbuatan yang dilakukan seseorang itu merupakan suatu tindak pidana atau tidak.
Universitas Sumatera Utara
Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa didalam KUHP WvS hanya ada asas legalitas Pasal 1 KUHP yang merupakan “landasan yuridis” untuk
menyatakan suatu perbuatan feit sebagai perbuatan yang dapat dipidana strafbaar feit. Namun apa yang dimaksud dengan “starfbaar feit” tidak
dijelaskan. Jadi tidak ada pengertianbatasan yuridis tentang tindak pidana. Pengertian tentang tindak pidana. Pengertian tindak pidana stafbaar feit hanya
ada dalam teori atau pendapat para sarjana.
5
Simons merumuskan tindak pidana “sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah disengaja dilakukan oleh seseorang yang dapat
dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.
6
Dapat disimpulkan bahwa Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum dimana apabila peraturan tersebut dilanggar,
maka ada ancaman hukuman bagi mereka yang melanggar. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan yang ditetapkan oleh suatu
peraturan perundang-undangan, apakah si pelanggar aturan telah melakukan tindak pidana sehingga harus dijatuhi hukuman berupa sanksi atau tidak. Dasar
adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya si pembuat tindak pidana adalah asas kesalahan.
5
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2010, hal.75
6
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag.1, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal.67
Universitas Sumatera Utara
1.2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang yang melakukan suatu perbuatan kemudian dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan kepadanya, tergantung dari soal apakah
dalam melakukan perbuatan tersebut dia mempunyai kesalahan atau tidak. Kesalahan schuld pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.
Bahwa untuk pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi disamping itu harus ada
kesalahan, atau sikap bathin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas hukum yang tidak tertulis : Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Geen straf zonder
schuld, ohne Schuld keine Strafe.
7
Dapat pula dikatakan : Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi hukuman kalau tidak melakukan perbuatan pidana, ia tidak selalu dapat
dipidana. Tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana ia tidak selalu dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana, apabila ia
mempunyai kesalahan. Kapankah orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan. Hal inilah yang dibicarakan dalam masalah pertanggungjawaban pidana ini.
8
Di bawah ini beberapa pendapat dari pakar hukum pidana tentang kesalahan schuld yang pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban pidana.
9
7
Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988 hal. 98
8
Ibid
9
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta, RajaGrafindo, 2001, hal. 78-79.
Universitas Sumatera Utara
a. Metzger:
Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap pelaku hukum pidana.
b. Simons:
Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan adannya hubungan antara keadaan tersebut
dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi. Berdasarkan pendapat ini
dapat disimpulkan adanya dua hal disamping melakukan tindak pidana,
yaitu:
1. keadaan psikis tertentu;
2. hubungan tertentu antara keadaan psikis dengan perbuatan yang
dilakukan hingga menimbulkan celaan.
c. Van Hamel:
Kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian psikologis, berhubungan antara keadaan jiwa pelaku dan terwujudnya unsur-unsur
delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah pertanggungjawaban dalam hukum.
Dalam hukum pidana, yang dimaksud dengan “kesalahan” atau “pertanggungjawaban” itu adalah suatu pertanggungjawaban menurut hukum
pidana verantwoordelijkheid volgens het strafrecht. Sebetulnya menurut etika, tiap orang bertanggungjawab atas segala perbuatannya. Tetapi dalam bidang
hukum pidana, hanya kelakuan yang dapat menyebabkan hal hakim pidana
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan hukuman dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat. Pertanggungjawaban itu adalah pertanggungjawaban pidana.
10
Selain pengertian dari kesalahan atau pertanggungjawaban pidana, perlu juga diketahui mengenai unsur-unsur dari kesalahan. Dimana dari unsur-unsur
tersebut dapat diketahui pula apakah suatu perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum atau tidak. Apabila perbuatan tersebut tidak melawan
hukum, maka tidak perlu menetapkan kesalahan kepada si pembuat atau sebaliknya apabila perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum,
maka perbuatan tersebut dapat dijatuhkan pidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana dapat dipidana jika memenuhi
semua unsur yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana. Sedangkan jika orang tersebut tidak memenuhi salah satu unsur-unsur mengenai
pertanggungjawaban pidana maka tidak dapat dipidana dari segala tuntutan hukum.
Dalam buku Hukum Pidana edisi I Karya Sudarto, disebutkan ada dua golongan yang memandang mengenai pemidanaan yakni pandangan monistis dan
dualistis. Bagi golongan yang berpandangan monistis seseorang yang melakukan tindak pidana sudah dapat dipidana, sedang bagi yang berpandangan
dualistisdualism sama sekali belum mencukupi syarat untuk dipidana kerana masih harus disertai syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang
yang berbuat.
11
10
Djoko Prakoso, op.cit, hal. 105
11
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hal.45
Universitas Sumatera Utara
Adapun unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah :
12
1. Melakukan perbuatan yang melawan hukum atau perbuatan pidana.
2. Untuk adanya pidana pelaku harus mampu bertanggung jawab.
3. Mempunyai suatu bentuk kesalahan.
4. Tidak adanya alasan pemaaf.
Unsur pertanggungjawaban pidana dalam bentuk melakukan perbuatan melawan hukum atau wederrechtelijkheid sebagai syarat mutlak dari tiap-tiap
melakukan perbuatan pidana. Jika sifat melawan hukum perbuatan pidana tersebut tidak dilakukan, maka menurut Vos, Jonkers dan Langemeyer dalam hal ini harus
dilepas dari segala tuntutan onslag van recht-vervolging. Menurut Vos, perbuatan yang bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang tidak
diperbolehkan.
13
Batasan mengenai perbuatan pidana yang dianggap tidak mampu bertanggung jawab menurut KUHP adalah :
“ Kurang sempurnanya akan atau adanya sakit yang berubah akalnya” pasal 44 ayat 1 KUHP.
Dengan dasar adanya ketentuan KUHP diatas, maka pembuat perbuatan pidana tidak termasuk mempunyai pertanggungjawaban pidana dalam melakukan
perbuatan pidana. Perbuatan manusia dianggap mempunyai kesalahan merupakan bagian dari
unsur pertanggungjawaban pidana. Asas yang dipergunakan dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tidak dipidananya jika tidak ada kesalahan.
12
Ibid, hal. 164
13
Ibid, hal. 134
Universitas Sumatera Utara
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakatnya dapat tercela karenanya, yaitu
kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna yang tidak baik dari perbuatan tersebut, dan karenanya dapat
bahkan harus menghindari perbuatan yang sedemikian itu. Bentuk perbuatan manusia yang dianggap mempunyai kesalahan
mengandung dua sifat dalam melaksanakan perbuatan tersebut, yaitu kesengajaan dolus dan kealpaan culpa. Menurut Willems dan Werens, yang dimaksud
perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja adalah perbuatan yang dikehendaki dan dilakukan dengan penuh kesadaran. Sedangkan bentuk dari kesengajaan
menurut teori ini terdiri dari tiga corak yaitu:
14
a Kesengajaan sebagai maksud Dolus Derictus
b Kesengajaan sebagai kepastian, keharusan
c Kesengajaan sebagai kemungkinan Dolus Eventualis
Pertanggungjawaban pidana seorang yang melakukan perbuatan pidana dapat dibatalkan demi hukum jika terdapat alas an pemaaf. Yang dimaksud alas an
pemaaf menurut teori hukum adalah alas an yang menghapuskan kesalahan. Kalau ada alasan-alasan yang menghapuskan kesalahan alasan pemaaf, maka masih
ada perbuatan pidana, maka orang tersebut tidak dapat dipidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
15
14
Ibid. hal. 165
Dampak yang terjadi dengan adanya alasan pemaaf yang terjadi pada seseorang yang melakukan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilakukan oleh orang tersebut tetaplah merupakan perbuatan yang melawan
15
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hal. 137
Universitas Sumatera Utara
hukum, akan tetapi perbuatan tersebut tidak dapat dipidana karena tidak ada kesalahan.
Alasan-alasan tidak dapat dipidanakannya seseorang atau alasan-alasan tidak dipidananya seseorang adalah:
16
a Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak
dalam orang itu inwendig, misalnya hilangnya akal, dll. b
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak diluar orang itu uitwendig, misalnya adanya kealpaan, dll.
Ketentuan yang mempunyai bentuk perbuatan sebagai alasan pemaaf pada ketentuan KUHP adalah sebagai berikut:
a Pasal 44 mengenai pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu.
b Pasal 48 mengenai daya memaksa.
c Pasal 49 mengenai pembelaan terpaksa.
d Pasal 51 ayat 2 mengenai melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah.
Jika seseorang melakukan tindak pidana namun memenuhi ketentuan diatas, maka harus dibebaskan dari segala tuntutan hukum atau tidak dimintai
pertanggungjawaban pidana meskipun perbuatan tersebut merupakam perbuatan atau tindak pidana.
Berdasarkan hukum pidana Belanda, pertanggungjawaban pidana pada diri seseorang pelaku tindak pidana, harus memenuhi 4 empat persyaratan sebagai
berikut:
17
16
Ibid.
17
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, CV. Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.67-68
Universitas Sumatera Utara
1. Ada suatu tindakan commission atau omission oleh si pelaku.
2. Yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang.
3. Dan tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta
4. Pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut “common law system” pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan
yang fundamental dengan “civil law system”. Hukum pidana Inggris mensyaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan
dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban pidana yang bersangkutan atau
“exemptions from liability”.
18
Seseorang tidak dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana jika:
19
a. Ia memperoleh tekanan physic atau psikologis sedemikian rupa sehingga
mengurangi pengendalian diri yang bersangkutan atau membatasi kebebasan pribadinya, seperti: gila atau daya paksa atau
b. Pelaku termasuk golongan orang-orang yang tunduk pada peraturan
khusus, seperti: diplomat asing atau anak di bawah umur. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika
telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah
ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum.
18
Ibid hal. 71
19
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, oleh karena itu untuk membuktikan unsur kesalahan tersebut, maka unsur pertanggung
jawaban harus juga dibuktikan, namun demikian untuk membuktikan adanya unsur kemampuan bertanggungjawab itu sangat sulit dan membutuhkan waktu
dan biaya, maka dalam praktek dipakai faksi yaitu bahwa setiap orang dianggap mampu bertanggungjawaban kecuali ada tanda-tanda yang menunjukkan lain.
Maka dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian pertanggung jawaban pidana yaitu kemampuan seseorang untuk menerima resiko
dari perbuatan yang diperbuatnya sesuai dengan undang-undang.
2. Narkoba dan penggolongannya 2.1 Pengertian Narkoba, Pengguna dan Pengedar
Pada hakikatnya, Narkoba adalah bahan zat baik secara alamiah maupun sintetis yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya jika masuk kedalam
tubuh manusia tidak melalui aturan kesehatan berpengaruh terhadap otak pada susunan pusat dan bila disalahgunakan bertentangan ketentuan hukum. Narkoba
pertama kali dibuat oleh orang Inggris dan kemudian disebarluaskan ke daerah daratan Asia mulai dari China, Hongkong, Jepang sampai ke Indonesia. Pelaku
penyalahgunaan narkoba terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai “pengedar” danatau “pemakai”, sedangkan peraturan substansial untuk
menanggulangi kasus penyalahgunaan narkotika adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan
Universitas Sumatera Utara
peraturan lainnya. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan bermanfaat dibidang pengobatan atau
pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, akan tetapi disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat serta saksama.
20
Pada UU Narkotika dan UU Psikotropika secara eksplisit tidak dijelaskan pengertian “pengedar NarkotikaPsikotropika”. Secara implisit dan sempit dapat
dikatakan bahwa, “Pengedar NarkotikaPsikotropika” adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan NarkotikaPsikotropika. Akan tetapi, secara luas
pengertian “pengedar” tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai,
menyediakan, melakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor “NarkotikaPsikotropika”. Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengedar” diatur
dalam Pasal 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125 dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 59 ayat 1 huruf a, c, Pasal 60
ayat 1 huruf b, c, ayat 2, 3, 4, 5, Pasal 61 dan Pasal 63 ayat 1 huruf a UU Psikotropika. Begitu pula halnya terhadap “pengguna NarkotikaPsikotropika”.
Hakikatnya “pengguna” adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan
20
http:pn-kepanjen.go.idindex.php?option=com_contenttask=viewid=163 diakses pada tanggal 17 Februari 2013, 14.56
Universitas Sumatera Utara
dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU NarkotikaPsikotropika. Dalam ketentuan UU Narkotika maka “pengguna” diatur dalam Pasal 116, 121, 126,
127, 128, 134, dan dalam UU Psikotropika diatur dalam Pasal 36, 37, 38, 39, 40, 41, 59 ayat 1 huruf a, b dan Pasal 62 UU Psikotropika.
21
2.2 Penggolongan Narkoba 1 Narkotika
Pengertian yang paling umum dari narkotika adalah zat-zat obat baik dari alam atau sintesis maupun semi sintesis yang dapat menimbulkan
ketidaksadaran atau pembiusan. Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah mengakibatkan daya khayalhalusinasi ganja,
seta menimbulkan daya rangsangstimulant cocaine. Narkotika tersebut dapat menimbulkan ketergantungan depence.
22
Narkotika menurut Soedjono Dirdjosisworo adalah sejenis zat yang bila dipergunakan dimasukkan dalam tubuh akan membawa pengaruh terhadap
tubuh si pemakai, pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang, dan menimbulkan khayalan-khayalan halusinasi.
23
Pengertian Narkotika dalam Pasal 1 angka 1 dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2009 yaitu :
21
Ibid
22
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 35
23
Soedjono Dirdjosisworo, Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara, Bandung, 1990, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Penggolongan narkotika dalam penjelasan pasal 6 Undang-undang No.35
Tahun 2009 tentang narkotika adalah, sebagai berikut : a.
Narkotika Golongan I Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan I” adalah
Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi
sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b.
Narkotika Golongan II Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan II” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c.
Narkotika Golongan III Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan ”Narkotika Golongan III” adalah
Narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi danatau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
ringan mengakibatkan ketergantungan.
Universitas Sumatera Utara
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu
narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan
cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sintetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk
didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.
24
2 Psikotropika
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis, bukan narkotika dan berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf
pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Pada prinsipnya psikotropika bermanfaar dan sangat diperlukan dalam pelayanan
kesehatan, seperti pada pelayanan penderita gangguan jiwa dan saraf, maupun tujuan ilmu pengetahuan. Walaupun demikian, penggunaan psikotropika yang
tidak dilakukan oleh danatau dibawah pengawasan tenaga yang diberikan wewenang dapat merugikan kesehatan, dan dapat menimbulkan sindrom
ketergantungan yang merugikan perseorangan, keluarga, masyarakat, generasi sekarang dan generasi yang akan datang serta merusak nilai-nilai budaya
bangsa.
25
24
Op.cit hal. 34
25
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention On Psychotropica
Universitas Sumatera Utara
Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang
Psikotropika digolongkan menjadi:
26
•
Golongan I, psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta memiliki potensi kuat
mengakibatkan sindrom ketergantungan.
•
Golongan II, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan dapat digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan.
•
Golongan III, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan banyak digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan.
•
Golongan IV, psikotropika yang berkhasiat sebagai obat dan sangat luas digunakan dalam terapi dan tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki
potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Zat adiktif hampir semuanya termasuk ke dalam psikotropika, tetapi tidak semua
psikotropika menimbulkan ketergantungan.
Berikut ini termasuk ke dalam golongan psikotropika, yaitu LSD Lysergic Acid Diethylamide dan amfetamin. Penyalahgunaan kedua golongan
psikotropika ini sudah meluas di dunia.
27
26
Penjelasan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Psikotropika
27
http:www.g-excess.com2755pengertian-psikotropika-dan-penjelasannyadiakses 17 Februari 2013, 21.03
Universitas Sumatera Utara
a. LSD Lysergic Acid Diethylamide
LSD merupakan zat psikotropika yang dapat menimbulkan halusinasi persepsi semu mengenai sesuatu benda yang sebenarnya tidak ada. Zat ini
dipakai untuk membantu pengobatan bagi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa atau sakit ingatan. Zat ini bekerja dengan cara membuat otot-otot yang
semula tegang menjadi rileks. Penyalahgunaan zat ini biasanya dilakukan oleh
orang-orang yang menderita frustasi dan ketegangan jiwa.
b. Amfetamin
Kita seringkali mendengar pemberitaan di media massa mengenai penjualan barang-barang terlarang, seperti ekstasi dan shabu. Ekstasi dan shabu
adalah hasil sintesis dari zat kimia yang disebut amfetamin. Jadi, zat psikotropika, seperti ekstasi dan shabu tidak diperoleh dari tanaman melainkan hasil sintesis.
Pemakaian zat-zat tersebut akan menimbulkan gejalagejala berikut: siaga, percaya diri, euphoria perasaan gembira berlebihan, banyak bicara, tidak mudah lelah,
tidak nafsu makan, berdebar-debar, tekanan darah menurun dan napas cepat. Jika overdosis akan menimbulkan gejala-gejala: jantung berdebar-debar, panik,
mengamuk, paranoid curiga berlebihan, tekanan darah naik, pendarahan otak, suhu tubuh tinggi, kejang, kerusakan pada ujung-ujung saraf dan dapat
mengakibatkan kematian. Jika sudah kecanduan, kemudian dihentikan akan menimbulkan gejala putus obat sebagai berikut: lesu, apatis, tidur berlebihan,
depresi dan mudah tersinggung.
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian Kepolisian, Fungsi dan Tugas Pokok POLRI 3.1 Pengertian Polisi
Istilah Polisi sepanjang sejarah ternyata mempunyai arti yang berbeda- beda. Pengertian polisi yang sekarang misalnya adalah berbeda dengan pengertian
polisi pada awal ditemukannya istilah itu sendiri. Ada pun pengertian polisi diantaranya:
28
a. Pertama kali ditemukannya polisi dari perkataan Yunani “politea” yang
berarti seluruh pemerintahan negara kota. Pada masa itu yaitu abad sebelum masehi negara yunani terdiri dari kota-kota tidak saja menyangkut
mengenai pemerintahan negara kota saja, tapi juga termasuk urusan-urusan keagamaan. Baru setelah timbul agama Nasrani, maka pengertian polisi
sebagai pemerintahan negara kota dikurangi urusan agama. b.
Di negara Belanda pada zaman dahulu istilah polisi dikenal melalui konsep Catur Praja dan van Hollenhoven yang membagi
pemerintahanmenjadi 4 empat bagian, yaitu bestuur, politie, rechtspraack dan regeling.
c. Charles Reith dalam bukunya The Blind Eye of History mengemukakan
pengertian polisi dalam bahasa inggris: “Police Indonesia the English Language came mean of planning for improving ordering communal
existence”, yaitu sebagai tiap-tiap usaha untuk memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Pengertian ini berpangkal
28
H. Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka, 2005, hal 4-8
Universitas Sumatera Utara
dari pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, membuat aturan-aturan yang disepakati bersama. Ternyata didalam
kelompok itu terdapat anggota yang tidak mau mematuhi aturan bersama sehingga timbul masalah siapa yang berkewajiban untuk memperbaiki dan
menertibkan kembali anggota kelompok yang telah melanggar. Dari pemikiran ini kemudian diperlukan polisi baik orangnya maupun tugasnya
untuk memperbaiki dan menertibkan tata susunan kehidupan masyarakat tersebut.
d. Di dalam Encyclopedia and Social Scince di kemukakan bahwa pengertian
polisi meliputi bidang fungsi, tugas yang luas yang digunakan untuk menjelaskan berbagai aspek daripada pengawasan keseharian umum.
Kemudian dalam arti yang sangat khusus dipakai dalam hubungannya dengan penindasan pelanggaran-pelanggaran politik, yang selanjutnya
meliputi semua bentuk kepentingan dari ketertiban umum. Dengan kata lain polisi diberikan pengertian sebagai hal-hal yang berhubungan dengan
pemeliharaan ketertiban umum dan perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang melanggar hukum.
e. Dalam kamus bahasa Indonesia W.J.S. Poerwodarmita dikemukakan
bahwa istilah polisi menduduki pengertian: 1.
Badan pemerintah sekelompok pegawai negeri yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum.
2. Pegawai negeri yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban
umum.
Universitas Sumatera Utara
f. Analog dalam penerbitan diatas untuk jelasnya dapat disimak pengertian
yang tertuang dalam Undang-Undang Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2002 pada Pasal 5 yang menyatakan bahwa:
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan
hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Kemudian dalam Pasal 13, Kepolisian Negara mempunyai tugas:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum; dan
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
Dari pengertian-pengertian polisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa istilah polisi mengandung 4 empat pengertian, yaitu:
1. Sebagai tugas
2. Sebagai organ
3. Sebagai petugas
4. Sebagai ilmu pengetahuan kepolisian
Polisi sebagai tugas di artikan sebagai pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat. Sebagai organ polisi merupakan badan atau wadah yang
Universitas Sumatera Utara
bertugas dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Sebagai petugas dalam arti orang yang dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
itu, sedangkan sebagai ilmu pengetahuan kepolisian berarti ilmu yang mempelajari segala hal ikhwal kepolisian.
3.2 Fungsi POLRI
Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan salah satu tugas fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat, penertiban hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Memperhatikan fungsi kepolisian tersebut diatas jelas bahwa tugas kepolisian tersebut hanya sampai pada keamanan dan ketertiban masyarakat
dalam arti seluas-luasnya. Kepolisian mempunyai dua fungsi utama, menurut C.H Niew Huis untuk melaksanakan tugas pokok polisi itu mempunyai dua fungsi
utama yaitu:
29
1. Fungsi Preventif untuk pencegahan, yang berarti bahwa polisi itu
berkewajiban melindungi negara serta lembaga-lembaganya, ketertiban dan ketaatan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan
mencegah dilakukannya perbuatan-perbuatan pada hakikatnya dapat mengancam dan membahayakan ketertiban dan ketenteraman umum.
29
Jend Pol Purn Kunarto MBA, Perilaku Organisasi Polri, hal. 110-111.
Universitas Sumatera Utara
2. Fungsi Represif atau pengendalian, yang berarti bahwa polisi itu
berkewajiban menyidik perkara-perkara tindak pidana dan menangkap pelaku-pelakunya dan kepada penyidik yustisi untuk penghukuman.
Sehubungan dengan kedua fungsi tersebut, maka dalam organisasi kepolisian dibagi dua macam kepolisian dengan tugas dan tanggung jawab
masing-masing yaitu:
a. Polisi Administratif
Polisi keamanan yang disebut juga dengan “Service Publik”, polisi tertib, polisi berseragam. Tugas polisi ini pada umumnya memberikan pelayanan umum,
bantuan atau penolongan kepada masyarakat, menegakkan hukum yang bersifat mengatur baik dari pusat maupun daerah dan menjaga ketertiban. Mengingat
tugasnya yang sangat luas maka tindakannya tidak selalu berdasar wetdelijk, tetapi cukup dengan rectdelijk. Sedangkan orientasinya adalah pelayanan dan
kesetaraan, oleh karena itu pengawasannya ada pada pejabat-pejabat pemerintah baik dari pusat maupun daerah.
b. Polisi Peradilan atau Reserse
Tugas umumnya menegakkan hukum pidana, mencari pelaku, mengumpulkan bukti-bukti dan nantinya diproses di pengadilan. Oleh karena
tugasnya itu, polisi ini disebut “La Politie Judiciaire”. Mengingat tugasnya bersifat represif yang dilakukan secara rahasia dengan menggunakan tehnik-
tehnik reserse seperti pengamatan, observasi maka polisi ini disebut polisi yang
Universitas Sumatera Utara
tidak beruniform. Karena dalam tugasnya selalu menggunakan pakaian preman, di Indonesia polisi ini disebut dengan reserse reserse kriminal, reserse narkotika.
Polisi peradilan berbeda tugasnya dengan polisi administratif. Polisi yudicial ini tindakannya selalu berdasarkan undang-undang ketentuan-ketentuan
hukum pidana dan kitab undang-undang hukum acara pidana. Polisi ini ditujukan untuk menegakkan hukum pidana. Namun demikian polisi mempunyai satu tujuan
yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dimaksud dengan keamanan dan ketertiban masyarakat telah diatur jelas dalam pasal 1 angka 5 UU Nomor tahun 2002 adalah suatu kondisi dinamis
masyarakat sebagai salah satu syarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai tujuan nasional yang ditandai oleh terjaganya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketentraman yang mengandung kemampuan membina dan mengembangkan potensi dan kekuatan
masyarakat dalam menyangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk pelanggaran lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat.
3.3 Tugas Pokok POLRI
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia mempunyai fungsi melaksanakan salah satu fungsi pemerintahan negara
dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Agar supaya fungsi kepolisian itu dapat terwujud maka polisi harus dilengkapi dengan tugas dan wewenang. Dalam Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun
2002 diatur mengenai tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tugas kepolisian adalah:
30
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakkan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat.
4. Pengaturan Tindak Pidana yang dilakukan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Kepolisian Negara Republik Indonesia pada tahun 2002 mengalami suatu perubahan yang mendasar dalam kelembagaan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Perubahan tersebut membawa konsekuensi, khususnya mengenai pertanggungjawaban anggota Kepolisian Republik Indonesia yang melakukan
tindak pidana, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana setelah Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003
dinyatakan berlaku, maka anggota Kepolisian yang melakukan tindak pidana mulai dari tingkat penyidikan maupun penyelidikan diberlakukan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dilingkungan peradilan umum.
30
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menjaga keteraturan pelaksanaan, maka pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana yang
dilakukan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Tujuan pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut agar ada kepastian hukum,
hal ini senada dengan bahwa sebenarnya hukum itu dituntut untuk memenuhi berbagai karya, tidak saja hanya kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan
kegunaan dan oleh Radbruch ketiga-tiganya disebut sebagai mulai dasar dari hukum.
31
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana yang dilakukan anggota Kepolisian Republik Indonesia, yaitu :
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Tahun 1945, Pasal
28 D ayat 1, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama dihadapan hukum. 2
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor : VI MPR 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional
Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia. 3
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana.
31
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 20
Universitas Sumatera Utara
5 Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan
Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
5. Proses Peradilan terhadap anggota kepolisian yang melakukan Tindak Pidana.
Proses peradilan terhadap anggota kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 3
Tahun 2003 tunduk pada kekuasaan peradilan umum, mulai dari tingkat penyidikan maupun pemeriksaan di Pengadilan.
Sesuai ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003, bahwa proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku dilingkungan Peradilan umum. Proses penanganannya dilakukan menurut hukum
acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan penahanan. Hal ini sesuai dengan Pasal 8 Peraturan
Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003 yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1 Bagi tersangka anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, tempat
penahanan dapat dipisahkan dari ruang tahanan tersangka lainnya. 2
Bagi terdakwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tempat penahanan dapat dipisahkan dari ruangan terdakwa lainnya.
Sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor : 3 Tahun 2003, yaitu :
1 Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangka
terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai
adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 2
Pemberhentian sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia untu kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung.
3 Ketentuan tentang tata cara pelaksanaan pemberhentian sementara
sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diatur Keputusan Kapolri.
Dalam hal penyidikan terhadap terdakwa anggota Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan cukup maka berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri
untuk dilakukan penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum seperti yang diatur dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 yaitu “Penuntutan terdakwa
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia di lingkungan Peradilan Umum
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum sesuai dengan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku.
Pembinaan narapidana anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dilaksanan di lembaga Permasyarakatan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku seperti yang tercantum pada Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003.
Dapat dijelaskan bahwa mulai dari penyidikan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila disangka melakukan tindak pidana dilakukan oleh
pejabat penyidik yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya tingkat penuntutan dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang mendasarkan pada
Hukum Acara Pidana yang berlaku di Peradilan Umum. Apabila jaksa penuntut umum telah menerima perlimpahan berkas dari penyidik Kepolisian dan tidak ada
perubahan dan dinyatakan secara lengkap, maka jaksa akan melimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk dilakukan penuntutan. Hal ini sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP dan Peraturan pemerintah Nomor 3 Tahun 2003.
F. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu penelitian dan pembahasan yang didasarkan
pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang- Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta melakukan survey kelapangan
Universitas Sumatera Utara
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
2. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini alasan memilih dan menentukan lokasi penelitian merupakan yang sifatnya ilmiah, dalam hal ini penulis memilih lokasi penelitian
di KAPOLDA SUMUT Direktorat Reserse Narkoba yang beralamat di JL. SM. Raja KM. 10,5 No. 60 Medan.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan diambil didalam penelitian ini adalah : a.
Data Primer Data yang diperoleh secara langsung dari informan yang berhubungan
dengan permasalahan yang dikaji tentang penanganan bagi Polri yang menyalahgunakan narkoba. Informan tersebut adalah Bapak Kompol J. Silaban
Kasubag Minopsnal di Reserse Narkoba Polda Sumut. b.
Data Sekunder Data kepustakaan yang mendukung data primer yang merupakan pedoman
dalam melanjutkan penelitian terhadap data primer yang ada dilapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan melakukan pengumpulan
data dari berbagai sumber dan literatur yang berkaitan dengan narkoba.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Untuk data primer dilakukan dengan cara wawancara
Universitas Sumatera Utara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.
32
b. Untuk data sekunder dilakukan dengan cara studi pustaka.
Wawancara yang dilakukan sebagai upaya mendapatkan data yang lebih lengkap dengan cara
mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara lisan yang berhubungan dengan permasalahan. Jenis wawancara yang dilakukan dalam rangka mengumpulkan
data adalah dengan cara wawancara bebas terpimpin yaitu dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman dan masih dimungkinkan
didalamnya ada variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi ketika wawancara.
Studi pustaka adalah mencari data tersedia yang pernah ditulis peneliti sebelumnya dimana ada hubungan dengan masalah yang akan dipecahkan dan
informasi lain yang bersifat umum.
33
5. Analisis Data
Studi pustaka ini dilakukan dengan mengumpulkan data melalui penelusuran bahan pustaka yang dipelajari dan
dikutip dari data sumber yang ada, berupa catatan literatur yang berhubungan dengan narkoba.
Teknik analisa data ini menggunakan metode kualitatif deskriptif analisis dengan memperlihatkan kualitas dari data yang diperoleh. Penulis melakukan
analisis dari semua data yang dianggap relevan diperoleh dilapangan, dan kemudian data tersebut dipaparkan sesuai dengan realitanya. Kemudian
32
Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal. 95
33
Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 55
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan data yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk membuat suatu kesimpulan dan dapat memberikan suatu pemecahan dari masalah yang dikaji.
G. Sistematika Penulisan
Sistem penulisan skripsi ini oleh penulis dimaksudkan untuk memberi perincian secara garis besar isi dari skripsi ini. Dalam penyusunannya skripsi ini
akan dibagi menjadi 5 lima bab dengan susunan sebagai berikut :
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan tentang
latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Dalam bab ini akan diuraikan tentang hal-hal apa yang menjadi
penanggulangan pemakaian dan pengedaran narkoba yang dilakukan oleh oknum Polri seperti faktor-faktor penyebab oknum POLRI menjadi pengguna
dan pengedar narkoba, modus operandi yang dilakukan dalam menyalahgunakan narkoba serta upaya penanggulangan dan hal-hal yang
menjadi kendala dalam penanggulangan tersebut
BAB III : Bab ini membahas mengenai pertanggungjawaban pidana oleh
oknum POLRI yang menyalahgunakan narkoba. Dalam bab ini dijelaskan pula pemberian sanksi baik sanksi pidana maupun sanksi administratif
terhadap oknum POLRI yang terbukti melakukan pelanggaran seperti menggunakan atau mengedarkan narkoba.
BAB VI : Bab terakhir ini merupakan kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENANGGULANGAN KEJAHATAN ATAU TINDAK PIDANA
NARKOBA YANG DILAKUKAN OKNUM POLRI A. Faktor-faktor yang menjadi penyebab oknum POLRI
menyalahgunakan Narkoba.
Masalah penyalahgunaan tindak pidana narkoba, terutama yang dilakukan oleh anggota kepolisian bukan semata-mata polisi sebagai penegak hukum, dia
tetap melanggar hukum karena masalah narkoba bisa menjerat ke siapapun. Sebab narkoba tidak melihat jabatan baik polisi, anggota DPR, Pegawai Negeri Sipil dan
lain-lain.
34
34
Hasil wawancara dengan Kompol J. Silaban Kasubag Minopsional di Reserse Narkoba Polda SUMUT
Siapapun bisa terlibat narkoba, namun keprihatinan besar selalu saja muncul setiap kali terungkap ada kasus narkoba yang menjerat aparat penegak
hukum baik itu Polisi, Jaksa ataupun Hakim karena mereka merupakan gerbang terdepan dalam sistem hukum untuk memerangi narkoba.
Universitas Sumatera Utara
Tidak adanya suatu pendirian yang tetap dalam suatu kepribadian akan menyebabkan seseorang mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif khususnya
penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Sebab pada pribadi yang semacam ini, biasanya tidak dapat membedakan hal-hal yang positif dan negatif. Krisis
kejiwaan juga memegang peranan yang penting, hal ini biasanya terjadi pada orang-orang yang kurang kreatif, pemalas, senang ikut-ikutan, senang iseng.
Keadaan seperti ini akan menimbulkan perbuatan yang negatif, sebab orang-orang semacam ini tidak dapat memanfaatkan waktu yang terluang dengan kegiatan
positif.
35
Penyalahgunaan Narkoba oleh polisi menghadirkan suatu dimensi yang benar-benar berbeda. Contohnya, petugas mungkin melakukan kejahatan melalui
kepemilikan narkoba. Belum lagi potensi bahaya bagi keselamatan penduduk jika seorang petugas berada dibawah pengaruh obat terlarang ketika melakukan tugas.
Rachman Hermawan S, berpendapat bahwa terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dipengaruhi oleh beberapa faktor dimana salah satunya
adalah faktor dari dalam diri pecandu narkotika dan psikotropika. Dimana hal ini meliputi faktor kecerdasan, usia, jenis kelamin serta masalah-masalah yang
dihadapi.
36
Penggunaan narkoba bagi orang awam atau orang yang kurang mengerti, tentu saja dapat dipahami. Tetapi bagi seseorang yang mengkonsumsi narkoba,
35
B. Bosu, Sendi-sendi kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hal.68
36
Rachman Hermawan S, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Eresco, Bandung, 1988, hal.32
Universitas Sumatera Utara
yang sebelumnya sudah mengetahui akibat-akibatnya adalah di luar nalar kita.
Lalu apakah yang mendorong mereka untuk mengkonsumsi? Menurut GRAHAM BLAINE
seorang psikiater M. RIDHA MA’ROEF, 1976 : 63 sebab-sebab
penyalahgunaan narkotika adalah :
37
1. Untuk membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berbahaya, dan mempunyai resiko, misalnya ngebut, berkelahi atau bergaul dengan wanita;
2. Untuk menantang suatu otoritas terhadap orang tua, guru, hukum atau
instansi yang berwenang; 3.
Untuk mempermudah penyaluran dan perbuatan seksual; 4.
Untuk melepaskan diri dari rasa kesepian dan ingin memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;
5. Untuk berusaha agar dapat menemukan arti hidup;
6. Untuk mengisi kekosongan dan mengisi perasaan bosan, karena kurang
kesibukan; 7.
Untuk menghilangkan rasa frustasi dan kegelisahan yang disebabkan oleh problema yang tidak bisa diatasi dan jalan pikiran yang buntu, terutama
bagi mereka yang mempunyai kepribadian yang tidak harmonis; 8.
Untuk mengikuti kemauan kawan dan untuk memupuk solidaritas dengan kawan-kawan;
9. Karena didorong rasa ingin tahu curiosity dank arena iseng just for
kicks.
37
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, Hal 6
Universitas Sumatera Utara
Banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang mulai menyalahgunakan narkoba, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
ketergantungan. Hal tersebut terjadi tidak terkecuali bagi anggota kepolisian yang juga terlibat dalam kasus penyalahgunaan narkoba. Sudah banyak terdapat kasus
yang melibatkan anggota kepolisian dalam penggunaan maupun pengedaran narkoba. Hal tersebut tentu saja dapat merusak citra kepolisian sebagai penegak
hukum dan pemberantas kejahatan.
Menurut Kompol J. Silaban Kasubag Minopsional di Reserse Narkoba Polda Sumut, ada beberapa faktor yang menyebabkan anggota kepolisian
menyalahgunakan Narkoba yaitu :
1. Faktor Keluarga
Faktor keluarga merupakan hal yang penting pada terjadinya penggunaan awal obat-obatan terlarang. Keluarga mempunyai peranan penting dalam
perkembangan awal serta melindungi dari awal penggunaan narkoba. Jika terjadi suatu konflik dalam keluarga dimana masalah tersebut terlalu sulit
untuk diselesaikan sehingga menimbulkan depresi, hal ini dapat memicu seseorang untuk menggunakan narkoba agar dapat merasakan suatu
ketenangan dan jauh dari masalah yang dialami.
2. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi merupakan akar dari permasalahan dari setiap tindak kejahatan. Seseorang akan melakukan hal-hal yang melanggar hukum jika tidak
Universitas Sumatera Utara
terpenuhinya kebutuhan hidup mereka, termasuk oknum polisi sekalipun. Tingginya kebutuhan hidup memaksa polisi untuk mencari pendapatan tambahan
melalui berbagai cara termasuk menyalahgunakan kewenangan mereka untuk hal- hal yang seharusnya mereka berantas seperti, menerima suap, melindungi
pengedar narkoba bahkan ikut menggunakan dan mengedarkan narkoba. Hal ini semata mereka lakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan
keluarga mereka.
3. Faktor Mental dari Polisi itu sendiri
Pada faktor ini, mental seorang polisi juga mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan narkoba. Seorang polisi yang mempunyai mental yang kuat akan
mampu menahan keinginan untuk tidak menyalahgunakan narkoba walau seberat apapun masalah yang mereka hadapi. Sebaliknya, jika seorang polisi yang
mempunyai mental rendah tidak akan mampu menghindari diri dari pengaruh obat-obatan terlaran. Dalam hal ini, mental seorang polisi khususnya yang
menangani kasus narkoba harus terlatih agar tidak mudah terpengaruh untuk ingin mencoba obat-obatan tersebut. Polisi sebagaimana yang kita ketahui mempunyai
tugas pokok membimbing, mengayomi,, melayani dan menegakkan hukum di masyarakat. Sebagai pembimbing, pengayom dan pelayan, tak ubahnya polisi
bagaikan seorang guru atau ulama.
4. Lemahnya pengawasan dari atasan
Pengawasan yang kurang dari atasan merupakan faktor yang paling mempengaruhi anggota kepolisian untuk menggunakan narkoba. Atasan yang
Universitas Sumatera Utara
kurang memperhatikan gejala yang ditimbulkan oleh bawahannya dapat memicu penggunaan narkoba oleh anggota kepolisian. Dalam memberikan sanksi ataupun
hukuman kepada anggota kepolisian yang terbukti menggunakan narkoba dikatakan cukup rendah sehingga hal ini juga menjadi faktor penyebab
penyalahgunaan narkoba oleh anggota kepolisian karena hukuman yang rendah tersebut tidak menimbulkan rasa takut bagi mereka.
Ada beberapa polisi yang menggunakan narkoba dengan tujuan hiburan. Pemakaian narkoba yang pada awalnya merupakan keinginan untuk mencari
kesenangan namun karena sudah terbiasa, maka hal tersebut menjadi kebiasaan yang menyebabkan kecanduan dalam penggunaan narkoba tersebut. Hal tersebut
biasanya dilakukan diluar tugas dari kepolisian dan ditempat terasing serta dengan masyarakat yang terbatas. Pemakaian narkoba oleh penegak hukum merupakan
pengaruh dari moral yang menurun.
Pemakaian obat terlarang dalam tugas juga dapat muncul jika masalahnya menjadi sistematis di dalam kelompok kerja. Dalam satu kota berukuran sedang
sekitar 30 petugas diidentifikasikan terlibat dalam suatu “jaringan pemakai” tidak semua dari mereka menggunakan obat terlarang dalam tugas. Pemakaian obat
terlarang menjadi begitu menyebar luas sehingga ada toleransi untuk pemakaiannya meskipun dalam tugas. Meskipun beberapa petugas dalam
kelompok tersebut tidak menyukai pemakaian obat terlarang dalam tugas, mereka tidak akan melaporkan rekan mereka yang menggunakan obat terlarang selagi
bekerja, karena adanya implikasi kuat bahwa mereka akan diketahui sebagai
Universitas Sumatera Utara
pemakai obat terlarang, walau dilakukan selama diluar tugas. Dari pengalaman ini orang dapat menyimpulkan bahwa di bawah faktor-faktor subkultural yang
sistematis, jika pemakaian obat terlarang di luar tugas menjadi suatu hal yang lazim maka kemungkinan pemakaian di dalam tugas akan meningkat.
38
Jika tekanan merupakan faktor penyebab utama dalam penyalahgunaan obat terlarang di kalangan petugas polisi, maka akan muncul kecenderungan
bahwa tingkat pemakaian obat terlarang meningkat dalam 15 tahun terakhir dan bahwa pemakaian semacam itu akan menjadi lebih jelas. Selain itu, dalam kasus-
kasus di mana petugas yang menyalahgunakan obat terlarang sudah dikenai tindakan disipliner, menyatakan bersalah, atau diadili, bukti-bukti menunjukkan
bahwa tekanan pekerjaan bukan merupakan faktor dalam penyalahgunaan obat terlarang. Meskipun begitu, tidak ditemukan bukti empiris yang mendukung
ataupun menentang hipotesa tekananobat terlarang dalam pekerjaan polisi.
39
Masalah kedua yang berhubungan dengan pekerjaan adalah bahwa penyalahgunaan zat terlarang mungkin merupakan akibat dari penugasan khusus.
Sebagian orang menyatakan bahwa petugas yang bekerja dalam penyamaran yang menjalin hubungan yang sering atau terus menerus dengan narkotik dan jenis obat
terlarang lain mungkin menjadi tersosialisasi ke dalam “budaya obat terlarang”. Yaitu, interaksi yang tetap dengan lingkungan obat terlarang mengurangi
38
Thomas Barker, Police Deviance, Cipta Manunggal, Jakarta, 1999, hal. 155
39
Ibid
Universitas Sumatera Utara
implikasi social-moral negatif terhadap pemakaian obat terlarang, memperkuat frekwensi dan pembolehan pemakaian obat terlarang.
40
B. Modus operandi penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh Oknum Polri.
Ada banyak modus operandi yang dilakukan sebagai usaha dalam menyalahgunakan narkoba. Sebagai contoh, terutama seorang Warga Negara
Indonesia yang bekerja di Negara lain atau Tenaga Kerja Indonesia TKI banyak yang terjebak. Mereka awalnya di nikahi oleh seorang Warga Negara Asing yang
memang memproduksi Narkoba. WNA tersebut menikahi seorang WNI dengan tujuan untuk mempermudah aksesnya terhadap jual beli narkoba ke Indonesia.
Selain contoh diatas, ada beberapa macam modus yang dilakukan baik oleh anggota kepolisian maupun masyarakat biasa seperti :
41
1. Ketika mereka berada di Bandara dan terdapat pemeriksaan oleh Polisi
yang melakukan razia, ada berbagai macam cara yang dilakukan untuk menyembunyikan narkoba tersebut diantaranya dengan mengikat barang
tersebut diperut dengan lakban, memasukkannya kedalam sela-sela sepatu, menelan kedalam mulut bahkan menyimpannya dipakaian dalam.
40
Ibid
41
Hasil wawancara dengan Kompol J. Silaban Kasubag di Polda SUMUT pada tanggal 23 April 2013
Universitas Sumatera Utara
2. Ketika berada di kapal, ada modus lain pula yang dilakukan seperti
memasukkan barang tersebut kedalam sekoci dengan mencampurkannya dengan barang-barang elektronik yang dibawa.
Dari berbagai macam modus yang sudah sering dilakukan, sebagai seorang polisi atau penegak hukum seharusnya sudah mengetahui hal tersebut dan
mempunyai trik atau cara untuk mengantisipasi agar hal yang demikian tidak mudah dilakukan oleh penjahat narkoba.
C. Upaya penanggulangan dan hal-hal yang menjadi kendala dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba yang dilakukan oknum
Polri. 1. Upaya Penanggulangan dalam penyalahgunaan Narkoba
Menurut Kompol J. Silaban Kasubag Minopsional di Polda Sumut, ada beberapa upaya yang dilakukan untuk mencegah adanya kejahatan narkoba antara
lain : a
Penyuluhan di setiap Polres-polres agar mereka mengerti akibat dari penyalahgunaan narkoba seperti ke LSM masyarakat karena efek dari
penyalahgunaan narkoba tersebut bukan hanya berakibat pada perseorangan namun juga pada negara.
b Melakukan pengawasan yang ketat terhadap setiap anggota kepolisian.
Pengawasan juga berperan penting dalam menanggulangi penyalahgunaan narkoba tersebut. Petugas atau pengawas harus lebih mengetahui dan
memahami adanya potensi penyalahgunaan narkoba sehingga mereka
Universitas Sumatera Utara
dapat mengidentifikasi para calon polisi. Apakah mereka bersih dari narkoba atau tidak.
c Melakukan tes urine pada anggota kepolisian. Penyaringan untuk menjadi
polisi merupakan suatu langkah awal yang penting dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba oleh anggota kepolisian. Apakah dalam hal ini
dilakukan test urine atau cara-cara lain yang dapat meminimalisir terjadinya penyalahgunaan narkoba setelah menjadi polisi.
d Setiap malam minggu dilakukan razia keseluruh diskotik, membuat pos di
Langkat perbatasan antara Medan dengan Aceh, razia di Bandara Polonia masuknya barang-barang dari luar negeri, melakukan koordinasi di
Pelabuhan Belawan serta melakukan koordinasi dengan pegawai-pegawai yang ada di Tanjung Balai.
Penanggulangan penyalahgunaan narkoba saat ini belum dapat dikatakan optimal dan belum mencapai hasil yang diharapkan. Masalah penanggulangan
penyalahgunaan narkoba tidak tertangani sehingga kasus terhadap penyalahgunaan tersbut semakin meningkat khususnya bagi anggota kepolisian.
Untuk dapat melaksanakan upaya tersebut dengan baik, polisi tidak dapat bekerja sendiri. Polisi juga perlu untuk melakukan kerja sama baik dengan
pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat juga berperan aktif untuk dapat melakukan upaya tersebut.
Upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah tidak dapat dilepaskan dari kepolisian. Tugas pokok Polri itu sendiri menurut Undang-
Universitas Sumatera Utara
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
42
Agar tindakan kepolisian menjadi efektif sampai diluar satuan, bukan hanya struktur dan praktek kepolisian yang perlu dimodifikasi, tetapi juga sifat
kerjasama dengan masyarakat maupun dengan instansi lain. Walaupun penanggulangan kejahatan merupakan tanggungjawab formal dan yurisdiksi
kepolisian, upaya pencegahan utama harus diserahkan kepada penguasa setempat yang kerjasama dengan polisi, instansi lain dan masyarakat dalam rangka mencari
dukungan yang diperlakukan untuk menjamin efektivitas.
43
Menjadi polisi memang tidak gampang. Tetapi jika seseorang telah menjadi polisi maka jangan setengah-setengah. Baik dalam tanggungjawab
maupun menjalankan wewenangnya sebagai polisi. Jangan sampai ada polisi yang tak mengerti tugas, tugas, tanggungjawab dan wewenangnya apalagi sampai
menyimpang dari aturan yang berlaku. Usaha membersihkan polisi dari narkoba ini perlu menjadi prioritas.
Sebab, polisi yang terlibat kejahatan narkotika ini sudah merata disemua level, dari pangkat terendah hingga perwira. Telah banyak polisi menjadi pemakai,
pengedar bahkan pelindung jaringan narkoba. Nilai materi yang menggiurkan kelihatannya menjadi daya tarik sampai polisi mau mengorbankan karier dan
42
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia
43
Robert R. Friedmann, Community Policing, Cipta Manunggal, Jakarta, 1998, hal. 212
Universitas Sumatera Utara
kehormatan. Maka pembersihan bisa dimulai dengan mengharuskan kepala kepolisian disetiap daerah menyerahkan data anak buahnya yang terlibat narkoba.
Itu bukan pekerjaan mudah mengingat kepala polisi daerah pasti mempertimbangkan konduite dan karir, tapi kapolri perlu mengeluarkan instruksi
tegas.
44
2. Kendala dalam penanggulangan penyalahgunaan Narkoba
Pada umumnya yang menjadi kendala dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut :
45
a
Kurangnya kerja sama antara aparat dengan masyarakat dalam mengungkap sindikat Narkotika .
b
Modus yang dijalankan pengedar Narkotika makin bervariasi dan terorganisir sehingga aparat mengalami hambatan dalam
pengungkapannya.
c
Ketidaktegasan sanksi yang diberikan pemerintah kepada pelaku penyalahgunaan Narkotika
d
Ketidaktahuan masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi Narkotika jika mereka sudah mengerti tentang bahaya mengkonsumsinya mengapa
mereka masih juga memakainya.
e
Banyak berdiri tempat-tempat hiburan malam ilegal yang diduga menjadi peredaran gelap Narkotika.
44
www. tempointeraktif.com. Ketika Polisi Akrab dengan Narkoba, diakses tgl 28 April 2013
45
http:cplin-1984.blogspot.com201101penyalahgunaan-narkoba.html, diakses tgl 28 April 2013
Universitas Sumatera Utara
f
Peredaran narkoba masih sulit diberantas karena produk hukum yang ada kurang bisa menjerat bandar-bandar narkoba.
g
Kampanye untuk menunjukkan bahaya penggunaan narkoba masih kurang bisa menggapai ke seluruh pelosok nusantara karena kurangnya dana.
Penyalahgunaan narkoba di Indonesia sudah pada taraf yang mengkhawatirkan. Kalau diamati berita-berita di berbagai media, baik media
cetak maupun media elektronik setiap hari kita dapati kejahatan narkoba
.
Hal ini mengindikasikan begitu mudah seseorang mendapatkan narkoba, secara legal
maupuan ilegal, yang pada akhirnya akan mengancam dan merusak generasi muda sebagai generasi penerus bangsa. Maraknya penyalahgunaan narkoba jelas
berakibat buruk terhadap kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menjadi salah satu modal pembangunan nasional.
Kurangnya peran masyarakat dan pemerintah juga menjadi salah satu kendala dalam penganggulangan penyalahgunaan narkoba. Apabila masyarakat
dan pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan aktif, maka akan dapat mempermudah para aparat penegak hukum untuk memberantas tindak pidana
narkoba. Untuk itu, sangat diharapkan kepada seluruh masyarakat dan pemerintah untuk ikut serta dalam upaya untuk memberantas kejahatan narkoba.
Tidak hanya peran masyarakat yang menjadi kendala, kurangnya anggota kepolisian dan anggaran atau dana juga menjadi salah satu faktor yang menjadi
kendala dalam menanggulangi pemberantasan tindak pidana narkoba. Alat yang masih manual dan belum canggih juga menjadi hambatan dalam penanggulangan
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Polisi kita bukan saja minim dalam jumlah tetapi juga minim dalam sarana peralatannya.
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA OLEH OKNUM POLRI
YANG MENYALAHGUNAKAN NARKOBA A. Pengertian Sanksi dan Pemberian Sanksi terhadap POLRI yang
menyakahgunakan Narkoba 1. Pengertian Sanksi
Sebelum mengenal arti dari “Pidana” terlebih dahulu mengerti akan pengertian hukum pidana itu sendiri. Sebagian besar para ahli hukum berpendapat
bahwa hukum pidana adalah “kumpulan aturan yang mengandung larangan dan akan mendapatkan sanksi pidana atau hukuman bila dilarang.
46
Sanksi dalam hukum pidana jauh lebih keras dibanding dengan akibat sanksi hukum yang
lainnya, “akan tetapi ada juga para ahli yang berpendapat sebaliknya bahwa “hukum pidana tidak mengadakan norma baru melainkan mempertegas sanksi
belaka sebagai ancaman pidana sehingga hukum pidana adalah sanksi belaka”.
47
46
Marlina, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Medan, 2011, hal. 15
Mengenai pidana juga terjadi pertentangan pendapat yang dimulai sejak zaman keemasan paham sofisme bersama pengikutnya, yang menyebut dirinya golongan
47
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
protagoras. Golongan protagoras mengatakan bahwa “tujuan pidana harus memperhatikan masa datang dan usaha untuk mencegah agar seseorang atau
orang yang lain sadar untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi”.
48
Selanjutnya Bender OP, menyatakan bahwa hukum pidana itu adalah hukum alam sebagai tandanya ialah pada segala zaman dan disemua negara selalu
ada suatu hukum pidana, hanya yang satu lebih sempurna dari yang lain. Tetapi dimana pun, satu hal selalu sama adalah adanya suatu hukum pidana. Alasannya
hukum pidana merupakan pembawaan alami manusia untuk menuntut agar hak- haknya dipertahankan dengan selayaknya, dan hal itu tidak dapat terjadi jika
orang-orang tidak hidup didalam suatu masyarakat dengan suatu hukum pidana positif.
49
Beberapa pengertian Pidana yang dikemukakan oleh beberapa sarjana antara lain :
Pidana adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang terpenting dalam hukum pidana.
50
a Van Hammel
Pidana straf merupakan suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan
pidana atas nama negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut
48
Ibid.
49
Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Apakah Itu?, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal. 151-152
50
Marlina, op.cit, hal.18
Universitas Sumatera Utara
telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.
b Simons
Pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu
putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah. c
Algra Jassen Pidana atau Straf adalah alat yang dipergunakan oleh penguasa hakim
untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut
kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan atau harta kekayaannya, yaitu seandainya
ia telah tidak melakukan tindak pidana. d
Roeslan Saleh Pidana adalah “reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa dengan
sengaja diterapkan kepada si pembuat delik itu”. e
Sudarto Menyatakan secara tradisional, pidana didefinisikan sebagai nestapa yang
dikenakan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran
Universitas Sumatera Utara
terhadap ketentuan Undang-Undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
Berdasarkan beberapa pendapat sarjana tersebut, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pidana mengandung unsur-unsur serta ciri-ciri sebagai
berikut:
51
a Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan nestapa atau
penderitaan atau akibat lain yang tidak menyenangkan. b
Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang.
c Pidana itu diberikan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana
menurut Undang-Undang. Tidak hanya sanksi pidana yang diberlakukan, ada juga sanksi lain seperti
sanksi administratif yang disebut juga sanksi tindakan. Sanksi administratif berlaku bagi orang-orang yang memiliki jabatan seperti Pegawai Negeri Sipil,
Polisi ataupun Pejabat lainnya yang jika terbukti melakukan pelanggaran tidak hanya dikenakan sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang atau peraturan yang
berlaku, namun juga dikenakan sanksi administratif yang diberikan dari instansi yang bersangkutan.
Walaupun ditingkat praktis, perbedaan antara sanksi pidana dan sanksi tindakan sering agak samar, namun ditingkat ide dasar keduanya memiliki
perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi
51
Ibid, hal.22
Universitas Sumatera Utara
pidana bersumber pada ide dasar “Mengapa diadakan pemidanaan?”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar: “Untuk apa diadakan pemidanaan itu?”
52
Dengan kata lain, sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan, sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap
pelaku perbuatan tersebut. Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera,
maka fokus sanksi tindakan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah.
53
Jelaslah, bahwa sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan pengimbalan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
seorang pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pembuat.
54
Atau seperti dikatakan J. E Jonkers, bahwa sanksi pidana dititikberatkan pada pidana
yang diterapkan untuk kejahatan yang dilakukan, sedangkan sanksi tindakan mempunyai tujuan yang bersifat social.
55
Berdasarkan tujuannya, sanksi pidana dan sanksi tindakan juga bertolak dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan
istimewa bijzonder leed kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku,
52
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.31-32
53
Ibid.
54
Sudarto, Hukum Pidana Jilid I A, Badan Penyediaan Kuliah FH-UNDIP, Semarang, 1973, hal. 7
55
J.E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 350
Universitas Sumatera Utara
sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.
56
2. Pemberian Sanksi terhadap Polri yang menyalahgunakan narkoba a. Sanksi Pidana menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Sanksi pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika lebih berat dari
Undang-Undang sebelumnya yaitu UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika. Perubahan tersebut terlihat pada pengaturan tanaman yaitu 1kg5 batang dan
bukan tanaman dengan berat melebihi 5 gram dan juga pengaturan pidana mati terhadap yang memproduksi, mengekspor, mengimpor, mengedarkan dan
menggunakan narkotika pada orang lain pidana mati selain diterapkan pada Narkotika Golongan I juga diterapkan pada Narkotika Golongan II. Ketentuan
tersebut diharapkan dapat membuat efek yang sangat jera bagi para pelaku tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Undang-Undang ini telah mempunyai
daya laku dan daya mengikat dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan Narkotika.
Dalam penanganan pemberian sanksi pidana terhadap oknum Polri yang menyalahgunakan narkoba diberlakukan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika. Didalam ketentuan tersebut tidak hanya berlaku bagi anggota kepolisan saja tetapi bagi masyarakat lain juga yang terbukti telah
menyalahgunakan narkoba.
56
M. Sholehuddin, op.cit
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan pidana Narkotika bentuk tindak pidana yang dilakukan serta ancaman sanksi pidana bagi pelakunya yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009
tercantum dalam beberapa pasal. Berikut bunyi dari beberapa pasal tersebut : Ketentuan Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah dan paling
banyak Rp 8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 1 satu kilogram atau melebihi 5 lima batang pohon, pelaku dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua
puluh tahun dan dipidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 112 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memilki, meyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman,
dipidana dengan pidana pnjara paling singkat 4 empat tahun dan paling
Universitas Sumatera Utara
lama 12 dua belas tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan memilki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat
1 beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun
dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan pada Pasal 113 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda palingh sedikit Rp
1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan palinh banyak Rp 10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
2 Dalam hal perbuatan memproduksi , mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 satu kilogram atau melebihi 5
lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama
Universitas Sumatera Utara
20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 114 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima
tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 satu kilogram atau melebihi 5 lima
batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 6 enam tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 ditambah 13 sepertiga. Ketentuan Pasal 115 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan I, dipidana dengan
Universitas Sumatera Utara
pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 delapan
ratus juta rupiah dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah.
2 Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 satu kilogram atau melebihi 5 lima batang
pohon beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun
dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 116 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah.
2 Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun
Universitas Sumatera Utara
dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 117 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, meyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 enam ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana
denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 118 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
2 Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 5 lima gram,pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga. Ketentuan Pasal 119 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 delapan
ratus juta rupiah dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah.
2 Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun
dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 120 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 enam ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 121 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan II tehadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun dan paling lama 12 dua belas tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 delapan ratus juta rupiah dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 delapan miliar rupiah.
2 Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku
dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
Universitas Sumatera Utara
penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1
ditambah 13 sepertiga. Ketentuan Pasal 122 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 empat ratus juta rupiah dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah.
2 Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan
Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13
sepertiga. Ketentuan Pasal 123 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3tiga tahun dan paling
lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 enam ratus juta rupiah dan paling banyak Rp
5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
Universitas Sumatera Utara
2 Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah
13 sepertiga. Ketentuan Pasal 124 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 enam ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13
sepertiga. Ketentuan Pasal 125 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
1 Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim,
mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III, dipidana dengan
Universitas Sumatera Utara
pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp400.000.000,00 empat ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 tiga miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Ketentuan Pasal 126 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika
Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.
2 Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian
Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang lain mati atau cacat
permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. “Setiap Penyalah Guna :
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 empat tahun; b.
Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana dengan
penjara paling lama 1 satu tahun. Ketentuan Pasal 129 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut.
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 empat tahun paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima miliar
rupiah setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum: a.
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika;
b. memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Prekursor
Narkotika untuk pembuatan Narkotika; c.
menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Prekursor Narkotika untuk
pembuatan Narkotika; d.
membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika.”
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan Pasal 137 UU No. 35 Tahun 2009 berbunyi sebagai berikut. “ Setiap orang yang:
a. menempatkan, membayarkan atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan,
menghibahkan, mewariskan, danatau mentransfer uang, harta, dan benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud
atau tidak berwujud yang berasal dari tindak pidana Narkotika danatau tindak pidana Prekursor Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah dan paling
banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah; b. menerima penempatan, pembayaran atau pembelanjaan, penitipan, penukaran,
penyembunyian atau penyamaran investasi, simpanan atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset baik dalam bentuk benda bergerak
maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang diketahuinya berasal dari tindak pidana Narkotika danatau tindak pidana Prekursor
Narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 lima ratus juta rupiah dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah.”
Universitas Sumatera Utara
b. Sanksi Administratif dari Instansi yang bersangkutan
Sesuai dengan tugas pokok kepolisian Negara Republik Indonesia yang tercantum pada Pasal 13 huruf b yakni menegakkan hukum, maka setiap anggota
Polri dituntut untuk mampu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap bentuk tindak pidana. Hal itu akan sangat bertolak belakang jika anggota
Polri sendiri yang melakukan tindak pidana, sebab seharusnya dia menjadi panutan masyarakat dalam melaksanakan hukum dan peraturan yang berlaku.
Hukum berlaku bagi siapa saja yang melanggar tidak terkecuali bagi anggota kepolisian sehingga selain dikenakan sanksi yang tercantum dalam Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 juga diberikan sanksi administratif bagi aparat tersebut dari instansi yang bersangkutan.
Jika oknum polisi terbukti melakukan tindak pidana narkoba, menurut “Kompol Kompol J. Silaban” oknum tersebut harus tetap dihukum. Penerapan
hukum selain Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, tata cara mengadili mengacu pada KUHAP dapat dilihat pada ketentuan dalam Undang-Undang No. 02 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara. Ada beberapa tindakan yang akan dikenakan pada oknum polisi tersebut yaitu :
1 dijerat dengan Peraturan Kepolisian
2 dibawa ke sidang profesi atau sidang disiplin dimana dalam hal ini
ancaman hukuman dijatuhkan sesuai dengan hasil keputusan sidang 3
pemberhentian tidak dengan hormat PTDH. Jika oknum tersebut dijatuhkan hukuman oleh Hakim dengan hukuman 5 tahun penjara atau
Universitas Sumatera Utara
lebih maka oknum tersebut dapat dipecat dari instansi tetapi jika hukuman yang dijatuhkan kurang dari 5 lima tahun maka oknum tersebut dapat
dipertimbangkan lagi oleh instansi. 4
penurunan pangkat 5
jika terbukti menggunakan narkoba maka oknum polisi tersebut dimutasi ke tempat yang jauh dari narkoba atau tidak ada narkobanya.
Potensi keterlibatan oknum polisi dalam menyalahgunakan narkoba sangatlah besar, sebab oknum polisi yang juga manusia terlebih polisi yang
memiliki tugas sehari-harinya terlibat dalam pemberantasan peredaran narkoba. Selain sebagai pengguna, ada juga kasus dimana oknum polisi sendiri yang
menjadi pengedar narkoba. Sanksi ataupun hukuman yang dijatuhkan kepada anggota kepolisian yang
terbukti menggunakan maupun mengedarkan narkoba haruslah tegas dari instansi yang bersangkutan. Dengan sanksi yang cukup berat akan menimbulkan rasa takut
bagi mereka untuk melakukan kejahatan narkoba. Harus ada kebijakan khusus dalam menangani hal ini, tidak hanya sanksi berupa pemecatan tetapi juga
dikenakan dengan sanksi pidana sesuai dengan peraturan yang berlaku. Terhadap pelaku kejahatan narkotika terdapat alasan-alasan tertentu untuk
memberatkan hukumannya, karena perbuatan yang dilakukan tergolong sangat membahayakan kepentingan masyarakat. Tujuan dari pemberatan tersebut bukan
dipandang sebagai pembalasan terhadap pelakunya, akan tetapi dimaksudkan
Universitas Sumatera Utara
untuk mendidik pelakunya supaya menjadi insyaf dan jera sehingga tidak lagi mengurangi perbuatannya.
57
B. Pertanggungjawaban Pidana oleh Oknum POLRI yang melakukan penyalahgunaan Narkoba
Kepolisian Republik Negara Indonesia belakangan ini sering diuji citranya akibat diterpa berbagai kasus-kasus seperti penyalahgunaan Narkoba dan tindak
pidana lainnya. Pertanggungjawaban bagi oknum polisi yang telah menyalahgunakan Narkoba ataupun melakukan tindak pidana lain tidak dilihat
dari sadar atau tidaknya oknum tersebut dalam melakukan tindak pidana tersebut, namun dilihat dari perbuatannya karena sudah melanggar hukum yang berlaku
serta merusak pandangan masyarakat terhadap citra anggota kepolisian sehingga oknum-oknum tersebut tidak perlu dipertahankan lagi dari jabatannya.
Menurut Pasal 29 ayat 1 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Negara Republik Indonesia tunduk kepada Kekuasaan Peradilan Umum. Hal ini menunjukkan bahwa anggota Polri merupakan warga sipil dan bukan termasuk
subjek hukum militer. Walaupun anggota kepolisian termasuk warga sipil, namun terhadap mereka juga berlaku ketentuan Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi.
Peraturan Disiplin Polri diatur dalam Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
57
Gatot Supramono, Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta, 2004, hal.221
Universitas Sumatera Utara
sedangkan Kode Etik Kepolisian diatur dalam Perkapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Terhadap anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana, seperti penyalahgunaan Narkoba terdapat sanksi yang dijatuhkan baik sanksi pidana
maupun sanksi dari instansi yang bersangkutan. Terbukti bersalah atau tidak, oknum tersebut tetap menjalani sidang kode etik yang diatur dalam Undang-
Undang No 14 Tahun 2011. Oknum Polri yang menggunakan narkoba berarti telah melanggar aturan
disiplin dan kode etik karena setiap anggota Polri wajib menjaga tegaknya hukum serta menjaga kehormatan, reputasi dan martabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia seperti yang tercantum pada Pasal 5 huruf a Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 jo Pasal 6 dan Pasal 7 Perkapolri No. 14 Tahun 2011.
Etika profesi kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota
kepolisian meliputi etika pengabdian, kelembagaan, dan kenegaraan, selanjtnya disusun kedalam Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pencurahan perhatian yang sangat serius dilakukan dalam menyusun etika Kepolisian adalah saat pencarian identitas polisi sebagai landasan etika
Kepolisian. Sebelum dinyatakan sebagai Kode Etik, Tribrata memberikan
Universitas Sumatera Utara
identitas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam rangka penyusunan undang-undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
58
Etika Profesi Kepolisian merupakan kristalisasi nilai-nilai yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dalam wujud komitmen moral yang meliputi pada pengabdian, kelembagaan dan kenegaraan, selanjutnya disusun kedalam bentuk
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Etika Profesi Kepolisian terdiri dari :
a Etika pengabdian merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia terhadap profesinya sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum serta pelindung,
pengayom dan pelayan masyarakat. b
Etika kelembagaan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia institusinya yang menjadi wadah pengabdian
yang patut dijunjung tinggi ikatan lahir batin dari semua insan bhayangkara dan segala martabat dan kehormatannya
c Etika kenegaraan merupakan komitmen moral setiap anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan institusinya untuk senantiasa bersikap netral, mandiri dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik, golongan
dalam rangka menjaga tegaknya hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
58
Sumaryono, Etika profesi Hukum, Norma-Norma bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal.17
Universitas Sumatera Utara
Pelanggaran terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi. Penjatuhan disiplin serta sanksi atas pelanggaran
Kode Etik tidak menghapus tuntutan pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan seperti yang tercantum pada Pasal 12 ayat 1 PP No. 2 Tahun 2003
jo Pasal 28 ayat 2 Perkapolri No. 14 Tahun 2011. Oleh karena itu, oknum polisi yang menggunakan narkotika tetapi akan diproses hukum acara pidana walaupun
telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik. Oknum polisi disangkakan menggunakan narkoba dan diproses penyidikan
tetap harus dipandang tidak bersalah sampai terbukti melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap asas praduga tidak bersalah sebagaimana
diatur pada Pasal 8 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Apabila putusan pidana terhadap oknum polisi telah berkekuatan hukum tetap, ia terancam diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 12 ayat
1 huruf a Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila dipidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan
untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian, walaupun si oknum polisi sudah dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, oknum polisi tersebut
baru dapat diberhentikan dengan tidak hormat apabila menurut pertimbangan pejabat yang berwenang dia tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam
dinas kepolisian. Pemberhentian tersebut dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode
Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 12 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003. Jadi walaupun anggota kepolisian merupakan
warga sipil, tetapi terdapat perbedaan proses penyidikan perkaranya dengan warga negara lain karena selain tunduk pada peraturan perundang-undangan, anggota
polri juga terikat pada aturan disiplin dan kode etik yang juga harus dipatuhi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan