Hasil Penelitian Utama .1 Kelimpahan Sel

kelimpahan sel sebesar 6,65 x 10 6 selml dan pada P2 peningkatan kelimpahan sel sebesar 13,4 x 10 6 selml. Berdasarkan nilai tersebut terlihat bahwa penambahan karbondioksida pada kultivasi mikroalga memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap pertumbuhan dan kelimpahan sel mikroalga. Parameter kualitas air yang diukur pada saat penelitian antara lain suhu, pH serta salinitas. Ruangan yang digunakan sebagai tempat dilakukannya kultur di atur dengan menggunakan pendingin ruangan dengan suhu sebesar 20 °C. Selama kultivasi dilakukan nilai salinitas mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama kultivasi dari 30-35 ‰, menurut Hu dan Gao 2006 Nannochloropsis sp. dapat berkembang dengan baik pada salinitas 31 dan dapat terus menerus berkembang pada kisaran salinitas 22-49. Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH indikator universal, nilai pH yang terukur pada kontrol dan P1 konstan yaitu sebesar 8, sedangkan pada P2 pH berubah-ubah setiap harinya. Hal ini dikarenakan pemakaian karbondioksida tidak konstan yaitu hanya dua hari sekali. Nilai pH pada hari ketika tidak diberikan tambahan karbondioksida berkisar antara 7- 8, sedangkan pada hari ketika ditambahkan karbondioksida pH berkisar antara 4-5. 4.2 Hasil Penelitian Utama 4.2.1 Kelimpahan Sel Nannochloropsis sp. Kelimpahan sel Nannochloropsis sp. pada penelitian utama menunjukkan pola yang hampir sama dengan penelitian pendahuluan. Kelimpahan sel mikroalga dalam bentuk kurva disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 6. Tabel 3. Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada Kontrol, P1, dan P2 Hari ke- Kontrol P1 P2 10 6 selml 10 6 selml 10 6 selml 3,40 ± 1,11 3,42 ± 1,19 3,43 ± 1,21 1 3,50 ± 0,88 3,78 ± 1,22 4,00 ± 0,90 2 3,58 ± 0,87 4,18 ± 1,19 4,56 ± 0,99 3 3,71 ± 0,96 4,34 ± 1,09 4,86 ± 0,94 4 3,96 ± 0,95 4,62 ± 1,08 5,13 ± 0,88 5 4,25 ± 0,62 4,95 ± 0,71 5,41 ± 0,55 6 4,22 ± 0,38 5,40 ± 0,81 5,93 ± 0,35 7 4,09 ± 0,18 4,95 ± 0,67 5,04 ± 0,44 8 3,13 ± 0,08 4,62 ± 0,60 4,59 ± 0,40 9 2,64 ± 0,18 3,67 ± 0,94 3,67 ± 0,59 Keterangan: P1 = kultivasi menggunakan aerasi P2 = kultivasi dengan penambahan karbondioksida Menurut Rocha et al. 2003, salah satu parameter yang mempengaruhi pertumbuhan Nannochloropsis sp. adalah nilai pH. Nilai pH ini dapat membuat pertumbuhan mikroalga menurun bahkan sampai mati, dan ada pula jenis mikroalga lain yang dapat tumbuh lebih baik pada media yang hanya di aerasi dengan blower. Nannochloropsis sp. adalah salah satu mikroalga yang mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap perubahan nilai pH dan termasuk yang terbaik bila dikultur dengan menambahkan gas karbondioksida Chiu et al., 2008. Pada Tabel 3 terlihat bahwa kelimpahan Nannochloropsis sp. lebih tinggi pada P2, sedangkan pada kontrol dan P1 pertumbuhan Nannochloropsis sp. tidak terlalu tinggi. Kelimpahan sel pada kontrol menunjukkan peningkatan yang kurang signifikan Gambar 6. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak adanya aerasi pada perlakuan ini sehingga tidak semua mikroalga mendapat asupan cahaya dan nutrien yang cukup. Puncak kelimpahan sel mikroalga terjadi pada hari ke-5 yaitu sebesar 4,25 x 10 6 selml. Kelimpahan sel pada P1 terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan mengalami puncak kelimpahan pada hari ke-6 yaitu sebesar 5,40 x 10 6 selml Gambar 6. Peningkatan kelimpahan sel mikroalga pada hari ke-1 hingga puncak kelimpahan diduga karena pada hari-hari tersebut kandungan mineral pada air media kultivasi masih cukup tinggi, sehingga mikroalga dapat memanfaatkan secara maksimal untuk pertumbuhannya. Penurunan kelimpahan sel mikroalga pada hari ke-7 hingga hari ke-9 diduga disebabkan karena nilai alkalinitas yang mengalami penurunan, nilai alkalinitas yang kecil berarti bahwa air media kultivasi mikroalga menjadi asam sehingga kandungan mineral pada media kurang menyebabkan kematian pada sel mikroalga. Gambar 6. Kelimpahan Nannochloropsis sp. Kelimpahan sel mikroalga pada P2 menunjukkan peningkatan yang paling signifikan dan memiliki puncak kelimpahan tertinggi dari ketiga perlakuan yaitu sebesar 5,93 x 10 6 selml Gambar 6. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Nannochloropsis sp. cepat memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan yang baru dan juga cepat beradapatasi dengan masukan karbondioksida. Hal ini diduga karena air laut kultivasi media, bibit dan nutrien berasal dari laboratorium yang sama sehingga mikroalga cepat beradaptasi. Peningkatan kelimpahan sel Nannochloropsis sp. pada kontrol dari awal kultivasi hingga puncak kelimpahan adalah 0,85 x 10 6 selml, pada P1 peningkatan kelimpahan sel sebesar 1,98 x 10 6 selml dan pada P2 peningkatan kelimpahan sel sebesar 2,50 x 10 6 selml. Berdasarkan nilai tersebut terlihat bahwa penambahan karbondioksida pada kultivasi mikroalga memberikan pengaruh yang sangat baik terhadap pertumbuhan dan kelimpahan sel mikroalga.

4.2.2 Laju Pertumbuhan Spesifik

Berdasarkan Tabel 4. dapat diketahui bahwa pola pertumbuhan Nannochloropsis sp. pada kontrol tanpa aerasi, perlakuan menggunakan aerasi dan perlakuan menggunakan karbondioksida memiliki daya adaptasi yang berbeda, hal ini dapat dilihat dari nilai laju pertumbuhan spesifik. Tabel 4. Kelimpahan dan Laju Pertumbuhan Spesifik µ Nannochloropsis sp. Keterangan: P1 = kultivasi menggunakan aerasi P2 = kultivasi dengan penambahan karbondioksida Fase lag dari Nannochloropsis sp. pada kontrol diduga terjadi kurang dari 24 jam, hal ini dapat dilihat dari kelimpahan pada awal kultivasi sebesar 3,40 x 10 6 selml menjadi 3,50 x 10 6 selml pada hari ke-1. Fase eksponensial diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam hingga hari ke-5, fase ini menunjukkan pertumbuhan pada Nannochloropsis sp. yang tinggi hingga mencapai puncaknya pada hari ke-5, pada fase ini mikroalga sudah dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi kultivasi yang diberikan. Pada periode ini intensitas cahaya tidak terbatas dan perubahan konsentrasi nutrien disebabkan oleh penyerapan mikroalga Becker, 1994. Fase stasioner diduga terjadi dari hari ke-5 hingga hari ke-6, terlihat dari nilai kelimpahan sel dan laju pertumbuhan yang menurun dengan nilai µ sebesar -0,01 dan kelimpahan sel sebesar 4,22 x10 6 selml pada hari ke-6. Fase deklinasi terjadi pada hari ke-6 hingga hari ke-9 dimana nilai µ semakin menurun dengan nilai µ sebesar -0,17 pada Hari ke- Kontrol P1 P2 10 6 selml µ 10 6 selml µ 10 6 selml µ 3,40 -- 3,42 -- 3,43 -- 1 3,50 0,03 3,78 0,10 4,00 0,16 2 3,58 0,02 4,18 0,10 4,56 0,13 3 3,71 0,04 4,34 0,04 4,86 0,06 4 3,96 0,06 4,62 0,06 5,13 0,05 5 4,25 0,07 4,95 0,07 5,41 0,05 6 4,22 -0,01 5,40 0,09 5,93 0,09 7 4,09 -0,03 4,95 -0,09 5,04 -0,16 8 3,13 -0,27 4,62 -0,07 4,59 -0,09 9 2,64 -0,17 3,67 -0,23 3,67 -0,23 hari ke-9. Hal ini juga dapat dilihat dari kelimpahan sel mikroalga yang sangat kecil yaitu sebesar 2,64 x10 6 selml. Fase deklinasi dapat terjadi karena nutrisi kultur telah habis dan terjadi akumulasi senyawa NH 4+ dalam konsentrasi tinggi dan adanya produk ekstraseluler dari mikroalga yang meracuni diri sendiri sehingga dapat meningkatkan mortalitas Fogg, 1965 dalam Suantika, 2009. Gambar 7. Kurva pertumbuhan Nannochloropsis sp. Penelitian Utama Kelimpahan Nannochloropsis sp. pada P1 diawal kultivasi hingga hari ke-1 menunjukkan peningkatan yang drastis dari 3,42 x10 6 selml menjadi 3,78 x10 6 selml. Diduga dalam waktu kurang dari 24 jam fase lag terjadi, lalu fase eksponensial terjadi dari hari ke-1 hingga hari ke-6 yaitu pada saat puncak kelimpahan terjadi. Fase stasioner dimulai ketika terjadi keterbatasan mineral dan akumulasi toksik, sehingga dapat menurunkan laju pertumbuhan dan kelimpahan sel menurun Becker, 1994. Fase stastioner pada P2 diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, dapat dilihat dari menurunnya nilai µ. Fase deklinasi yaitu fase dimana terjadi penurunan kelimpahan sel diduga terjadi dari hari ke-7 hingga hari ke-9 dilihat dari nilai µ yang semakin kecil mencapai nilai -0,23 pada hari ke-9. Turunnya laju pertumbuhan Nannochloropsis sp. dapat disebabkan oleh berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial. Selain itu adanya toksik yang dihasilkan oleh spesies mikroalga itu sendiri, sebagai hasil samping dari metabolisme dapat meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya Riley dan Chester, 1971 dalam Nugraheny, 2001. Fase lag pada P2 diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, hal ini dapat dilihat dari peningkatan kelimpahan sel yang terjadi pada hari ke-1 dari 3,43 x 10 6 selml menjadi 4,00 x 10 6 selml. Fase eksponensial terjadi dari hari ke-1 hingga hari ke-6, terlihat dari Kelimpahan sel yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada hari ke-6 yaitu sebesar 5,93 x 10 6 selml. Fase stasioner diduga terjadi dalam waktu kurang dari 24 jam, hal ini dikarenakan pada hari ke-7 sel mengalami penurunan yang cukup signifikan dengan nilai µ sebesar -0,16, lalu fase deklinasi terjadi hingga hari ke-9 dimana kelimpahan sel mulai menurun hingga mencapai kelimpahan sebesar 3,67 x 10 6 selml dan nilai µ yang juga menurun hingga mencapai nilai -0,23. Fase deklinasi terjadi ketika sel mikroalga mulai mati, ditandai dengan menurunnya kelimpahan sel. Kondisi lingkungan tidak lagi menguntungkan, umur kultivasi yang terlalu lama, terjadinya keterbatasan cahaya dan nutrien atau dapat disebabkan oleh tumbuhnya mikroorganisme lain Becker, 1994. Kisaran suhu kultivasi selama kultivasi mikroalga berlangsung pada ketiga perlakuan berkisar antara 26-27 °C Gambar 10. Menurut Rocha et al. 2003 Nannochloropsis sp. memiliki rentang suhu yang cukup besar untuk dapat tumbuh, yaitu 25 ± 5 °C, sehingga dengan rentang suhu tersebut Nannochloropsis sp. masih dapat bertumbuh dengan baik dan tidak menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Menurut Hu dan Gao 2006 Nannochloropsis sp. masih dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 14-30 °C. Gambar 8. Perubahan rata-rata suhu kultivasi Nannochloropsis sp. Secara umum, kisaran salinitas kultivasi mukroalga pada setiap perlakuan menujukkan karakteristik yang hampir sama. Salinitas kultivasi masing-masing perlakuan semakin meningkat setiap harinya selama kultivasi, perubahan rata-rata salinitas pada kultur Nannochloropsis sp.selama penelitian, besarnya salinitas berkisar antara 30-34 ‰. Nannochloropsis sp. dapat berkembang dengan baik pada salinitas 31 ‰ dan dapat terus menerus berkembang pada kisaran salinitas 22-49 Hu dan Gao, 2006 Gambar 11. Gambar 9. Perubahan rata-rata salinitas kultivasi Nannochloropsis sp. Sidik ragam yang dilakukan pada penelitian menunjukkan bahwa pemberian karbondioksida pada kultivasi mikroalga memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada pertumbuhan mikroalga. Dan uji lanjut yang dilakukan memperlihatkan bahwa tiap kultivasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada pertumbuhan mikroalga. Perhitungan sidik ragam dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.2.3 Alkalinitas

Alkalinitas merupakan jumlah basa yang terkandung dalam sebuah perairan, yang umumnya ditentukan oleh CO 3 2- dan HCO 3 dengan satuan CaCO 3 Dongoran, , 2003. Menurut Effendi 2003 alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk menetralkan asam atau kuantitas anion di dalam air yang dapat menetralkan kation hidrogen, serta sebagai kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan. Menurut Chiu et al. 2008, Nannochloropsis sp. merupakan salah satu mikroalga yang sangat baik bila dikultur dengan tambahan gas karbondioksida, karena spesies ini mampu beradaptasi dengan cepat sehingga pertumbuhannya juga sangat signifikan bila dibandingkan dengan kultur hanya menggunakan aerasi biasa. Pada penelitian ini perhitungan alkalinitas hanya dilakukan pada kultivasi dengan penambahan karbondioksida, karena pada kultivasi tanpa aerasi dan kultivasi dengan aerasi, pH yang terukur tidak dapat masuk dalam kisaran rumus yang digunakan. volume gas karbondioksida yang digunakan adalah 15 CO 2 vv, dengan laju alir rata-rata sebesar 0.5 ccmin atau 0.5 mlmin selama 5 jam. Perubahan nilai pH dan nilai alkalinitas disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Perubahan Nilai pH dan Nilai Alkalinitas Hari ke- pH sebelum ditambahkan CO 2 pH sesudah ditambahkan CO 2 Alkalinitas mgL CaCO 3 7,57 5,38 70,00 1 7,81 5,53 38,30 2 7,73 5,38 46,03 3 7,89 5,34 29,88 4 7,56 5,38 70,71 5 7,50 5,25 71,94 6 7,50 5,46 72,03 7 7,41 5,37 99,15 8 7,76 5,68 39,18 9 7,65 5,86 52,73 Terlihat pada Tabel 5 bahwa kisaran nilai alkalinitas pada penelitian ini tidak hanya dipengaruhi oleh pH setelah ditambahkan dengan karbondioksida, tetapi juga dipengaruhi oleh pH sebelum ditambahkan karbondioksida. Selama kultur kisaran nilai alkalinitas adalah antara 29,88-99,15 mgL CaCO 3 , nilai tersebut masih cukup baik bagi kehidupan organisme perairan dengan kisaran 30-500 mgL CaCO 3 Effendi, 2003. Nilai alkalinitas pada awal kultivasi adalah 70,00 mgL CaCO 3 , diduga pada awal kultivasi mikroalga air media bersifat sadah atau air memiliki kadar mineral yang tinggi. Pada hari ke-1 hingga hari ke 3 terjadi penurunan nilai alkalinitas, diduga air media memiliki kadar mineral yang rendah. Berarti pada hari ke-1 hingga hari ke-3 mikroalga memanfaatkan karbondioksida dan mineral-mineral. Hal ini dapat dilihat dari kelimpahan sel hari ke-1 hingga hari ke-3 yang mengalami peningkatan dan berada pada fase eksponensial. Pada hari ke-4 hingga hari ke-7 nilai alkalinitas mengalami peningkatan, hal ini mungkin disebabkan karena kelimpahan sel mikroalga sedang mengalami peningkatan, sel mikroalga tersebut selain melakukan fotosintesis juga melakukan respirasi yang mengeluarkan karbondioksida sehingga jumlah karbondioksida di air media menjadi jenuh dan mikroalga kurang memanfaatkan karbondioksida. Dan pada hari ke 8 dan hari ke-9 nilai alkalinitas mengalami penurunan, hal ini mungkin terjadi karena kelimpahan sel mikroalga mengalami penurunan sehingga karbondioksida yang dihasilkan oleh mikroalga menjadi sedikit sehingga mikroalga memanfaatkan karbondioksida yang dimasukkan. Menurut Effendi 2003 perairan dengan nilai alkalinitas 40 mgL CaCO 3 disebut perairan sadah hard water, sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas 40 mgL CaCO 3 disebut perairan lunak soft water. Semakin tinggi nilai alkalinitas maka perairan tersebut cenderung bersifat alkali. Menurut Zooneveld et al 1991 dalam Anggraeni 2002, nilai alkalinitas yang tinggi dan cenderung bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas yang rendah atau cenderung masam. Lebih produktifnya perairan dengan nilai alkalinitas tinggi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan meningkatnya nilai alkalinitas. Alkalinitas tidak hanya dipengaruhi oleh pH juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu dan kekuatan ion Effendi, 2003. 35

5. KESIMPULAN DAN SARAN