VI.C FAKTOR SOSIAL
VI. B. 1 Ideologi kapitalis dalam iklan
Dengan melihat bahwa tujuan utama iklan, khususnya iklan AXE adalah untuk mempersuasi konsumen agar menggunakan produk, maka pemilihan
strategi dan bentuk iklan yang disampaikan menjadi sangat bervariatif. Setiap produk berlomba-lomba agar tidak tersaingi oleh produk lain. Sehingga setiap
iklan yang mudah menarik perhatian khalayak akan diciptakan. Hal ini membuat para agen periklanan memeras otak untuk mencari jenis
iklan yang belum ada tapi bisa dengan mudah mendapat perhatian dari khalayak. Disinilah berlaku hukum keindahan, bahwa setiap yang indah secara naluri akan
lebih mendapat perhatian indera manusia. Termasuk penonjolan seksualisme wanita sebagai komoditi utama iklan untuk menarik perhatian pemirsa yang
ujung-ujungnya mampu meningkatkan penjualan produk yang ditawarkan. Seks, seperti juga tema-tema sensitif lainnya, selalu mengundang perhatian.
Iklan AXE yang dari tahun ke tahun tetap konsisten dalam menyajikan konsep sex appeal pada setiap versi iklannya, seakan membuktikan bahwa iklan
dengan target markt laki-laki akan mudah ditaklukkan dengan menampilkan wanita sebagai daya tariknya. Hal ini dilakukan tentu saja demi mengeruk
keuntungan untuk para pemilik modal.
Namun, iklan tidak hanya berhenti pada faktor ekonomi. Ketika iklan merepresentasikan tubuh, gambar yang dihadirkan bukan sekadar reproduksi dari
realitas yang ada dalam masyarakat. Tim kreatif telah ”memproduksi tubuh”,
dalam arti memberikan pencitraan dan pewacanaan ideologis tentang tubuh yang ”simulatif” dan ”berlebih” hingga mempertegas fungsi tubuh dan peran
kulturalnya. Kondisi ini akan memperkuat pandangan masyarakat tentang ”tubuh” yang seharusnya atau “sudah seharusnya seperti itu” sehingga mampu
menormalkan relasi kuasa berdasarkan ke-tubuh-an.
195
Misalnya, tubuh perempuan dieksploitasi dalam stereotipisasi yang mengusung daya tarik seksual
dengan penekanan pada bagian-bagian sensual perempuan, seperti payudara, paha, ataupun tubuh sensual yang utuh. Penandaan seperti itu lebih banyak
muncul di iklan untuk laki-laki.
Tidak dapat diingkari, bahwa kulit yang mulus, dada yang menonjol, paha putih, wajah indo adalah trade mark ‘dagangan’ perempuan jaman sekarang.
Tubuh yang sebenarnya bagi perempuan merupakan hak privat, mulai digelar di mana-mana. Hal itu menyebabkan daya jual ‘tubuh’ perempuan pun meningkat,
karena tubuh ini adalah simbolisasi dari libidominic, erotisme, dan sensualitas. Seperti bibir yang basah, merekah, seksi dan sensual akan cepat dimaknai cocok
mengiklankan lipstick. Ini semakin memperkuat dugaan gender objektif.
196
Jika dikaitkan dalam iklan AXE, maka seksualitas dan sensualitas perempuan yang
tiba-tiba muncul akibat “The AXE Effect”, dimaknai sebagai kesan atau image sexy pada produk AXE. Dalam iklan, betis, dada, punggung, rambut dan bibir
195 Ikhwan Setiawan, ‘Tubuh-tubuh yang Berwacana Ideologis’, http:cetak.kompas.comreadxml2008091501043025tubuh-tubuh.yang.berwacana.ideologis
, diakses pada 16 September 2008, Pk. 16:00
196
Makna identitas objektif dari perempuan dimana makna itu masih statis dan hanya berkisar di seputar peran domestic dari perempuan. Lihat Dyah Handayani,” Film, ‘Pasungan’ Cantik Kaum
Hawa”, dalam Komunikasi, Perubahan Sosial dan Dehumanisasi, Surakarta, Pustaka Rumpun Ilalang, 2005, hal 116
masih kental diperlihatkan. Citra ini semakin memperkuat anggapan tersirat bahwa sudah sewajarnya perempuan itu diberlakukan sebagai objek pemuasan
laki-laki, khususnya pemuasan seksual dan menjadi pemujaan akan sensualitas. Seperti yang dikatakan Gail Dines,
”Because fetishisation usually employs a fragmented image. There is a danger of assuming that all fragmentary images are
necessarily fethistic. The process of sexual fetishisation specific phallic assosiations is always complicated by that of commodity
fethishisation, whereby the image of a women’s legs, for example, becomes isolated and estranged. They become a commodity, an
object of display to be visually consumed by an audience”.
197
Pernyataan Gail Dines semakin menguatkan pendapat tentang imej perempuan yang hanya dipandang secara fisik dan untuk dipertontonkan demi
kepentingan industri. Tubuh perempuan menjadi suatu komoditi yang digunakan para pemilik modal untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Senada dengan hal tersebut, Yasraf Amir Piliang
198
, Sejarah tubuh wanita di dalam ekonomi politik kapitalisme adalah
sejarah pemenjaraannya sebagai ‘tanda’ atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme ‘pembebasan’ tubuh wanita dari ‘tanda-tanda’
dan identitas tradisionalnya tabu, etiket, adat, moral, spiritual memenjarakannya di dalam hutan rimba ‘tanda-tanda’ yang
diciptakannya sendiri sebagai bagian dari ekonomi politik kapitalisme. Fungsi tubuh telah bergeser dari fungsi organis
biologis reproduktif, ke arah fungsi ekonomi politik, khususnya fungsi ‘tanda’. Ekonomi kapitalisme mutakhir telah berubah ke
arah penggunaan ‘tubuh’ dan ‘hasrat’ sebagai titik sentral
197
Gail Dines, Gender, Race and Class in Media, a Text Reader, London, Sage Publication, 1995, hal 268
198
Tubuh wanita dimuati dengan ‘modal simbolik’ ketimbang sekedar modal biologis. Erotisasi tubuh wanita di dalam media adalah dengan mengambil fragmen-fragmen tubuh tersebut sebagai ‘penanda’
signifier dengan berbagai posisi dan pose, serta dengan berbagai asumsi ‘makna’. Tubuh wanita yang ‘ditelanjangi’ melalui ribuan varian sikap, gaya, penampilan apperance dan ‘kepribadian’,
mengkonstruksi dan menaturalisasikan tubuhnya secara social dan cultural sebagai ‘objek fetish’ fetish object, yaitu objek yang dipuja sekaligus dilecehkan? karena dianggap mempunyai kekuatan
‘pesona’ rangsangan, hasrat, citra tertentu Menurut Yasraf, wanita dieksploitasi ‘nilai tanda’ sign value atau nilai lIbidonya sebagai ekuivalensi nilai tukar komoditi yang sedang banyak bertebaran di
media massa kita.Yasraf, Op. cit, hal xiv-xvi
komoditi, yang disebut dengan ‘ekonomi lIbido’. Tubuh menjadi bagian dari semiotika kapitalisme yang diperjualbelikan tanda,
makna, dan hasrat.
Menurut hasil penelitian tentang tubuh perempuan dalam perspektif kapitalisme, eksploitasi tubuh perempuan untuk kepentingan industri menjadi
sulit dihindari mengingat naluri atau hasrat seksual laki-laki yang mudah dibangkitkan oleh keindahan lekuk tubuh perempuan. Pencitraan perempuan
yang bertubuh seksi sebagai cerminan sosok ideal yang diinginkan lelaki, sebagaimana dikonstruksikan oleh dunia industri, berhasil membuat perempuan
bermimpi mewujudkan citra tersebut demi menyenangkan laki-laki atau untuk status di kalangan perempuan sendiri.
199
Pengetahuan pelaku bisnis akan hasrat alamiah manusia tersebut menjadi senjata ampuh untuk mengeruk keuntungan
sebanyak-banyaknya melalui eksploitasi tubuh perempuan. Dikatakan oleh Burhan Bungin dalam Imaji Media Massa: Konstruksi
dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik, bahwa iklan sebagai salah satu agen kapitalis, karena memiliki kemampuan atau sengaja
dimanfaatkan oleh para kapitalis untuk membangun konstruksi gambaran tertentu sesuai kepentingan komersial kapitalis. Misalnya konstruksi perempuan atau
konstruksi kelas social masyarakat. Oleh karena itu, Bungin juga menambahkan bahwa iklan televise dapat dilihat sebagai symbol bahasa budaya dalam
masyarakat kapitalis.
200
Bungin dengan menyitir Berger dan Luckman, bahwa kaum kapitalis memiliki dua kekuatan untuk tetap eksis di masyarakat, yaitu: pertama,
199
Argyo, Opcit hal 44
200
Burhan Bungin, 2001 a, Opcit. Hal 25
menggunakan kekuaan ekonomi makro dan politik untuk menyelamatman modal melalui pergerakan modal, kedua dengan menggunakan kekuatan akumulasi
modal, dilakukan dengan menjual produk dan jasa. Melalui cara kedua inilah konstruksi social menjadi salah satu ekkuatan kapitalis. Kekuatan capital mampu
membangun ideologi baru yang dikonstruksikan melalui pembiayaan yang sangat besar untuk merebut pasar. Dengan dominasi kultural ideologi dominan maka
kapitalisme telah mengambil alih kekuatan ini melalui penguasaan capital dan menebarkan dominasi hegemoninya melalui produk-produk mereka.
201
’ Maka iklan sangat tidak mungkin dipisahkan denagn kapitalis. Karena
keduanya sangat berhubungan erat. Dalam masyarakat kapitalis, periklanan tidak dapat dihindari. Keduanya memiliki hubungan simbiosis yang saling
menguntungkan. Namun, tidak jarang iklan dan kapitalis mengambil keuntungan dari beberapa pihak yang menjadi objek dominasi, seperti perempuan yang terus
menjadi objek seks dalam iklan.
VI. B. 2 Budaya Patriarki yang masih kental