Manajemen Keuangan dan Kesejahteraan Keluarga pada Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor

 
 

ABSTRACT
FAUZIAH FAJRIN. Financial management and families well-being of a women’s
factory labor in Bogor Regency. Supervised by HERIEN PUSPITAWATI and
ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
This study aimed to analyze of financial management and families well
being of a women’s factory labor. This research involved 60 samples that were
selected purposive. The samples were chosen from families of factory of labor
who had husband in Dramaga subdistrict. This research employs descriptive and
inferential analysis. Result of the research showed that there was negative
significant correlation between wife’s and husband’s age and family size with
financial management. It means that the higher wife’s and husband’s age and
bigger family size, then lower financial management. There was negative
significant correlation between wife’s age and husband’s age with subjective well
being. It means that the higher wife’s and husband’s age, then the lower level of
subjective well being. There was positive significant correlation between wife’s
educational level with financial management, and families outcomes with family
subjective well being. It means that the higher wife’s educational level then higher
financial management, and the higher families outcomes then the higher level of

subjective well being. There was no correlation between financial management
and family subjective well being.
Keywords: family financial management, subjective well being
ABSTRAK
FAUZIAH FAJRIN. Manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga
perempuan buruh pabrik di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh HERIEN
PUSPITAWATI dan ISTIQLALIYAH MUFLIKHATI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan manajemen
keuangan dan kesejahteraan keluarga perempuan buruh pabrik di Kabupaten
Bogor. Penelitian ini dilakukan secara purposive yang terdiri dari 60 contoh.
Contoh merupakan perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik dan telah
memiliki suami di Kecamatan Dramaga. Penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif dan inferensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang negatif dan nyata antara umur suami dan contoh dan besar keluarga dengan
manajemen keuangan. Artinya, semakin tua umur suami dan contoh serta semakin
besar keluarga maka semakin rendah kemampuan manajemen keuangan keluarga.
Terdapat hubungan yang negatif dan nyata antara umur contoh dan suami dengan
kesejahteraan subjekif keluarga. Artinya, semakin tua usia contoh dan suami maka
semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga subjektif. Pendidikan contoh
berhubungan positif dan nyata dengan manajemen keuangan keluarga. Semakin

tinggi tingkat pendidikan contoh maka semakin baik pengelolaan keuangan
keluarga. Pengeluaran keluarga juga berhubungan positif dan nyata dengan
kesejahteraan keluarga subjektif. Artinya, semakin tinggi pengeluaran keluarga
maka semakin tinggi pula kesejahteraan keluarga subjektif. Tidak terdapat
hubungan yang nyata antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga
subjektif.
Kata kunci: manajemen keuangan keluarga, kesejahteraan keluarga subjektif

1
 

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia
mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk
miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan pada Maret 2010 sebesar 31 juta orang.
Jumlah penduduk miskin di Perkotaan lebih kecil dibanding Perdesaan. Jumlah
penduduk miskin di Perkotaan pada Maret 2010 sebesar 11,2 juta orang.
Sedangkan daerah perdesaan pada Maret 2010 mencapai 19,9 juta orang.
Kemiskinan dapat tercermin dari rendahnya partisipasi penduduk yang

bekerja, khususnya perempuan. Berdasarkan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan
Kerja) perempuan jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Meskipun
demikian, dilihat dari jumlah angkatan kerja selama periode 2006-2008
peningkatan jumlah angkatan kerja perempuan jauh lebih besar dibandingkan
laki-laki. Jumlah angkatan kerja perempuan pada tahun 2006 mencapai 38,6 juta
orang dan meningkat hingga 42,8 juta orang pada tahun 2008, namun pada tahun
yang sama angkatan kerja laki-laki hanya meningkat dari 67,7 juta orang menjadi
69,1 juta orang.
Menurut data BPS (2010), persentase penduduk usia 15 Tahun ke atas
yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan utama di
sektor industri pada Tahun 2009-2010 menunjukkan bahwa perempuan lebih
rendah dibanding laki-laki. Namun terjadi peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja yaitu sebesar 71 478 jiwa. BPS (2011), keadaan ketenagakerjaan di Jawa
Barat pada Februari 2011 ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk yang
bekerja. Pada bulan Februari 2011, jumlah angkatan kerja mencapai 20 155 494
jiwa meningkat 941 134 jiwa dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang
bekerja bertambah sebanyak 990 236 jiwa dibandingkan Februari 2011. Dalam
satu tahun terakhir, peningkatan jumlah penduduk yang bekerja didominasi oleh
penduduk perempuan. Penduduk perempuan yang bekerja bertambah sebanyak
574 353 jiwa, sedangkan jumlah penduduk laki-laki yang bekerja bertambah

sebanyak 415 883 jiwa.
Jumlah penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2009 tercatat sebesar 4 453
927 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 2 258 789 jiwa dan jumlah


 

penduduk perempuan sebesar 2 195 138 jiwa. Sedangkan hasil Sakernas 2009
menunjukkan bahwa total penduduk usia kerja (15 tahun ke atas), sekitar dua per
tiga penduduk Kabupaten Bogor termasuk angkatan kerja. Sementara itu,
persentase penduduk laki-laki yang bekerja (usia 15 tahun ke atas) lebih besar
dibandingkan perempuan yaitu 69,3 persen. Sedangkan persentase perempuan
(usia 15 tahun ke atas) yang bekerja sebesar 30,7 persen. Bila dilihat dari
lapangan usahanya, persentase laki-laki yang bekerja di sektor jasa lebih besar
daripada perempuan. Perempuan lebih banyak bekerja di sektor manufaktur (BPS
2010).
Pada dasarnya perempuan yang bekerja tetaplah seorang pengurus
rumahtangga. Sajogyo (1981) menjelaskan bahwa peranan perempuan bersifat
normatif dengan melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga sekaligus di bidang
ekonomi


rumah

tangga.

Posisi/status

tersebut,

perempuan

tidak

bisa

dikesampingkan sebagai pencari nafkah (utama atau tambahan). Kebanyakan istri
yang bekerja dikarenakan minimnya sumberdaya yang dimiliki oleh keluarga
sehingga membutuhkan tambahan sumberdaya lain untuk memenuhi kebutuhan
dan keinginan keluarga yang semakin berkembang.
Guhardja et al. (1992) menyatakan bahwa berkembangnya kehidupan

keluarga maka berkembang pula kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin
hari semakin tak terbatas sedangkan sumberdaya yang dimiliki setiap keluarga
terbatas. Bahkan kebutuhan dan keinginan tersebut selalu berubah dan cenderung
bertambah banyak. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu manajemen sumberdaya
keluarga yang baik, khususnya sumberdaya keuangan keluarga. Deacon dan
Firebaugh (1988) mengatakan bahwa manajemen keuangan keluarga yang optimal
akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang maksimal. Tingkat kesejahteraan
dapat diukur dari kepuasan subjektif yang dirasakan keluarga berdasarkan
sumberdaya yang dimiliki keluarga.
Sejalan dengan hasil penelitian terdahulu bahwa terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara manajemen keuangan dengan kesejahteraan keluarga
subjektif (Firdaus 2008). Sedangkan Nurulfirdausi (2010), tidak terdapat
hubungan yang nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan tingkat
kesejahteraan keluarga.

3
 

Perumusan Masalah
Jumlah penduduk yang bekerja pada Februari 2011 mengalami kenaikan

dibandingkan Februari 2010. Penduduk yang bekerja pada Februari 2011 tercatat
sebanyak 18 173 043 jiwa, bertambah 990 176 jiwa dibandingkan Februari 2010
yang tercatat sebanyak 17 182 807 jiwa. Sedangkan penduduk yang bekerja
sebagai buruh/karyawan mengalami kenaikan sebanyak 472 598 jiwa atau
meningkat sebesar 8,47 persen dibandingkan tahun sebelumnya (BPS 2011). Data
Sakernas (2011) memperlihatkan bahwa tenaga kerja perempuan di kegiatan
informal sedikit lebih banyak dibandingkan laki-laki, masing-masing yaitu 63,77
persen dan 64,02 persen.
Perempuan yang bekerja tersebut tidak terlepas dari berbagai tindak
ketidakadilan. Beberapa permasalahan yang dihadapi oleh buruh/pekerja
perempuan terutama di bidang industri antara lain:
1. Terdapat perbedaan upah kerja perempuan dengan laki-laki. Berdasarkan
Sakernas Tahun 2000-2004 bahwa rata-rata upah kerja yang diterima
perempuan adalah 50 persen dari upah yang diterima laki-laki dan 70 persen
untuk pekerjaan nonpertanian. Hal ini berarti, upah kerja perempuan lebih
rendah dibandingkan laki-laki. Adapun Upah Minimum Kabupaten/Kota
(UMK) Kabupaten Bogor Tahun 2011 sebesar Rp 1 172 060,00 meningkat
dibandingkan Tahun 2010 yaitu sebesar Rp 1 056 914,00.
2. Perempuan sangat sulit memperoleh promosi jabatan karena selalu
ditempatkan di posisi yang lebih rendah dari laki-laki, yang tidak

mensyaratkan

pendidikan

dan

ketrampilan

yang

tinggi.

Perempuan

ditempatkan pada pekerjaan yang hanya membutuhkan ketekunan, ketelitian,
dan kerapihan, dan biasanya hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan setiap
hari selama bertahun-tahun.
3. Jam kerja yang lebih panjang, dan sulit mengakses berbagai kursus dan
pelatihan.
4. Sebagian besar perusahaan hampir tidak memperhatikan masalah-masalah yang

spesifik yang dialami buruh perempuan formal, seperti masalah cuti haid, cuti
melahirkan, tunjangan untuk kehamilan dan menyusui, dan fasilitas tempat


 

penitipan anak. Perusahaan tidak memberikan hak-hak tersebut di atas karena
dianggap menganggu produktivitas kerja.
Terlepas dari berbagai permasalahan yang dihadapi pekerja perempuan.
Kenyataannya, hak-hak perempuan dilindungi dalam Undang-Undang. UndangUndang yang terkait dengan hak perempuan antara lain Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 terkait
Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2002 Partai Politik, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang
Pemilihan Umum dan Undang-Undang lainnya. Namun perlindungan tersebut
belum benar-benar dirasakan oleh perempuan yang bekerja.
Pada dasarnya, perempuan yang bekerja mampu memberikan kontribusi
ekonomi terhadap pendapatan keluarga baik utama (primary breadwinner)
maupun tambahan (secondary breadwinner). Hal ini dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan dan keinginan keluarga yang semakin tak terbatas.
Seiring dengan kebutuhan dan keinginan keluarga yang tak terbatas
membuat keluarga membutuhkan suatu manajemen yang optimal. Guhardja et al.
(1992) menjelaskan konsep manajemen tidak dapat membuat sumberdaya yang
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi cukup, akan tetapi
manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan sumberdaya yang terbatas
menjadi optimal dalam pemanfaatannya.
Di lain pihak, uang merupakan suatu sumberdaya dan sekaligus alat
pengukur dari sumberdaya. Besarnya uang yang dimiliki oleh keluarga
menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimiliki keluarga. Di sisi
lain, keberadaan sumberdaya uang dalam keluarga relatif terbatas sedangkan
kebutuhan dan keinginan keluarga relatif tak terbatas. Sehingga agar pemanfaatan
sumberdaya uang yang terbatas tersebut mencapai optimum diperlukan usaha
manajemen keuangan yang baik dan efektif (Guhardja et al. 1992).
Manajemen keuangan keluarga yang baik dimulai dari tahap perencanaan,
pelaksanaan, monitoring dan mengevaluasi hasil yang telah diperoleh. Hal ini

5
 


dilakukan demi mencapai tujuan keluarga, yaitu kesejahteraan keluarga.
Kesejahteraan keluarga yang tinggi mencerminkan kepuasan yang dirasakan
keluarga juga tinggi. Adapun kepuasan yang diukur berdasarkan kepuasan
keuangan keluarga, fisik, dan lainnya.
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin mengkaji lebih dalam mengenai
permasalahan bagaimana buruh pabrik perempuan yang pada umumnya bekerja
dalam sektor publik serta domestik keluarga untuk mengelola keuangan
keluarganya sehari-hari, agar tetap terpenuhi segala kebutuhan hidup maupun
kebutuhan mendesak sekalipun serta langkah-langkah apa saja yang dilakukan
agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengantisipasi permasalahan
yang dihadapi keluarga. Mengingat keberadaan perempuan sangat penting dalam
kehidupan keluarga.
Maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana kontribusi pendapatan buruh perempuan terhadap pendapatan
keluarga?
2. Bagaimana penerapan manajemen keuangan keluarga?
3. Bagaimana tingkat kesejahteraan keluarga contoh?
4. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga, manajemen keuangan,
kerjasama gender dalam manajemen keuangan, serta kesejahteraan
keluarga?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum:
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui manajemen
keuangan dan kaitannya dengan kesejahteraan keluarga pada perempuan buruh
pabrik di Kabupaten Bogor.

Tujuan Khusus:
1. Mengetahui kontribusi pendapatan contoh terhadap pendapatan
keluarga.
2. Mengetahui penerapan manajemen keuangan keluarga.
3. Mengetahui kesejahteraan keluarga subjektif.


 

4. Menganalisis hubungan antara karakteristik contoh dan keluarga,
manajemen keuangan keluarga, kerjasama gender dalam manajemen
keuangan keluarga, dan kesejahteraan keluarga subjektif.

Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah:
1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan sarana untuk mengembangkan diri
dari ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan serta dapat memberikan
tambahan pengetahuan/referensi bagi peneliti sendiri serta bagi penelitian
selanjutnya terkait manajemen keuangan dan kesejahteraan keluarga.
2. Bagi para buruh perempuan dan keluarga, penelitian ini dapat memberi
masukan mengenai cara pengelolaan keuangan keluarga yang efektif dan
efisien sehingga tujuan keluarga dapat tercapai yaitu kesejahteraan keluarga.
3. Bagi pemerintah/pengusaha, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan
suatu masukan mengenai gambaran manajemen keuangan yang dilakukan
oleh keluarga perempuan buruh pabrik sehingga dapat dijadikan sebagai
suatu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan pemerintah, khususnya
dibidang kesejahteraan keluarga.
4. Bagi perkembangan ilmu, penelitian ini bermanfaat untuk menambah
referensi perkuliahan terkait mata ajaran di departemen ilmu keluarga dan
konsumen seperti gender dan keluarga, manajemen sumberdaya keluarga, dan
lainnya.
5. Bagi masyarakat khususnya keluarga, penelitian ini bermanfaat untuk
memberikan gambaran mengenai manajemen keuangan keluarga sehingga
dapat dipilih jalan terbaik dalam mengelola keuangan keluarga yang terbatas
serta

mampu

menyeimbangkan

antara

kebutuhan/keinginan

dengan

sumberdaya yang tersedia demi mencapai kesejahteraan keluarga. Selain itu,
menambah pengetahuan masyarakat terkait manajemen keuangan keluarga.

7
 

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Pendekatan Teori Keluarga
Pengertian keluarga
Keluarga menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994
tentang Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera merupakan unit
terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri atau suami istri dan
anaknya atau ayah dan anaknya atau ibu dan anaknya (BKKBN 1996).
Gross, Crandall dan Knoll (1973) mengungkapkan bahwa keluarga
merupakan suatu manajerial unit yang mampu mengelola sumberdaya keluarga
yang dimiliki untuk mencapai tujuan keluarga. Berdasarkan pendekatan sistem,
keluarga memiliki hubungan dengan sistem yang lebih luas, dimana keluarga
menjadi bagian di sistem tersebut. Hubungan keluarga dengan lingkungannya
digambarkan melalui suatu sistem yang saling berkaitan, bergantung, dan
berinteraksi satu sama lainnya. Sistem-sistem ini terdiri dari subsistem yang saling
mempengaruhi.
Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan keluarga sebagai subsistem
dari sistem masyarakat. Keluarga terdiri dari subsistem personal dan manajerial.
Subsistem manajerial berfungsi untuk merencanakan dan melaksanakan
penggunaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan subsistem
personal merupakan bagian yang berhubungan dengan interaksi dinamis dari
suatu jalinan hubungan sosial yang akhirnya memberi ciri pada kepribadian
seseorang, yang nantinya akan mempengaruhi kemampuan manajerial. Subsistem
personal terdiri dari komponen input, throughput, dan output.
Teori Struktural Fungsional
Teori struktural fungsional melihat keluarga, kelompok, organisasi, klub
sosial, dan lain-lain sebagai sebuah sistem yang dapat diterapkan dalam berbagai
situasi. Keluarga merupakan bagian subsistem dari masyarakat, yang saling
berinteraksi dengan subsistem-subsitem lainnya dalam masyarakat, misalnya
sistem ekonomi, politik, pendidikan, dan agama. Interaksi yang terjalin
merupakan wujud fungsi keluarga untuk menjaga keseimbangan sosial dalam
masyarakat atau dikenal dengan istilah equilibrium state. Selain itu, keluarga
bersifat adaptif yang selalu menyesuaikan dirinya dalam menghadapi perubahan


 

lingkungan. Sesuai dengan Parson yang menyatakan bahwa keluarga selalu
beradaptasi secara mulus menghadapi perubahan lingkungan. Kondisi tersebut
dikatakan keseimbangan dinamis atau dynamic equilibrium (Megawangi 1999).
Teori struktural fungsional juga memandang keluarga sebagai sebuah
sistem terkait anggota dalam keluarga. Dalam hal ini, keluarga memiliki peran
dan tugas yang harus dijalankan oleh anggota keluarga (Megawangi 1999). Dalam
pandangan teori struktural fungsional, dapat dilihat dua aspek yang saling
berkaitan yaitu aspek struktural dan aspek fungsional. Selanjutnya, Megawangi
(1999) menjelaskan bahwa aspek struktural melihat suatu keseimbangan dalam
masyarakat yang diciptakan oleh sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial
tercipta jika keluarga memiliki struktur atau strata sehingga anggota keluarga
mengetahui posisi dan patuh pada sistem yang berlaku dalam keluarga. Struktur
dalam keluarga dapat menjadikan institusi dalam keluarga sebagai sistem
kesatuan. Terdapat tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu
status sosial, fungsi sosial, dan norma sosial.
Berdasarkan status sosial, struktur pada keluarga nuklir terdiri dari tiga
struktur utama yaitu bapak/suami, ibu/istri, dan anak-anak. Struktur dapat juga
berupa figur-figur seperti pencari nafkah, ibu rumah tangga, anak balita, remaja,
dan sebagainya. Sedangkan peran sosial merupakan gambaran peran dari status
sosial yang dimiliki. Misalnya, orangtua memiliki peran instrumental yang
dipegang oleh bapak/suami sebagai pencari nafkah dan peran ekspresif yang
melekat pada ibu/istri dengan memberikan cinta dan kelembutan terhadap
keluarga. Norma sosial merupakan peraturan yang menggambarkan bagaimana
sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya, misalnya dalam
hal pembagian tugas dalam keluarga (Megawangi 1999) .
Aspek kedua dari teori struktur fungsional yang sulit dipisahkan dengan
aspek struktural adalah aspek fungsional. Aspek fungsional diartikan sebagai
bagaimana subsistem dapat berhubungan dan dapat menjadi sebuah kesatuan
sosial. Adapun fungsi sebuah sistem mengacu pada sebuah sistem untuk
memelihara dirinya sendiri dan memberikan kontribusi pada berfungsinya
subsistem dari sistem tersebut (Megawangi 1999). Seseorang dalam sistem
keluarga yang memiliki status sosial tertentu memiliki peran yang harus

9
 

dijalankan dari status sosial tersebut. Levy dalam Megawangi (1999)
mengungkapkan bahwa tanpa pembagian tugas yang jelas dari status sosial, maka
fungsi keluarga akan terganggu dan akan mempengaruhi sistem yang lebih besar.
Teori Gender
Gender merupakan pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan
perempuan yang telah ditetapkan masyarakat maupun budaya. Megawangi (1999)
mengungkapkan bahwa peran gender merupakan peran yang diciptakan oleh
masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Laki-laki diharapkan menjalankan
peran instrumental atau sebagai pencari nafkah sedangkan perempuan
menjalankan peran yang bersifat ekspresif atau berorientasi pada manusia.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan ini bukan didasarkan pada
perbedaan biologis melainkan disebabkan oleh faktor sosial budaya. Namun
seiring dengan berkembangnya teknologi mengakibatkan peran perempuan tidak
hanya berada dalam sektor domestik saja melainkan juga mampu bekerja di
sektor-sektor yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan, BKKBN, dan UNFAPA
(2005) mendefinisikan pembagian kerja atau pembagian peran berdasarkan gender
adalah sebagai kerja atau peran yang diwajibkan oleh masyarakat kepada
perempuan dan laki-laki baik di dalam rumah maupun komunitas. Peran
perempuan di dalam rumah seperti mencuci, mengurus anak dan suami, memasak,
dan lainnya. Sedangkan peran laki-laki seperti melindungi dan mencari nafkah
untuk semua anggota keluarga. Pembagian peran yang baik dan seimbang tidak
akan membuat suatu masalah antara laki-laki dan perempuan, namun juga akan
menguntungkan kedua belah pihak.
Handayani dan Sugiarti (2008) menjelaskan konsep gender sebagai sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktorfaktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran
sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Perempuan dikenal sebagai makhluk
yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki
dianggap sebagai makhluk yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Sifat-sifat
tersebut dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
konsep gender dapat diartikan sebagai konsep yang membedakan peran laki-laki

10 
 

dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran antara laki-laki dan perempuan tidak
ditentukan oleh perbedaan biologis atau kodrati (seks), namun dibedakan
berdasarkan kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing di berbagai bidang
kehidupan dan pembangunan (Tabel 1).
Tabel 1 Perbedaan konsep jenis kelamin (sex) dan gender
Seks
Menyangkut perbedaan organ biologis lakilaki dan perempuan (alat reproduksi)

Gender
Menyangkut perbedaan peran, fungsi, dan
tanggung jawab laki-laki dan perempuan
sebagai hasil kesepakatan
Peran reproduksi tidak dapat berubah
Peran sosial dapat berubah
Peran reproduksi tidak dapat dipertukarkan; Peran sosial dapat dipertukarkan. Istri dan
suami bertukar peran misalnya suami
tidak mungkin peran laki-laki melahirkan,
mengurus rumah tangga sedangkan istri
perempuan membuahi
mencari nafkah
Peran sosial bergantung pada masa dan
Peran reproduksi kesehatan berlaku
keadaan
sepanjang masa
Peran sosial bergantung budaya masingPeran reproduksi kesehatan berlaku di
masing
mana saja sama
Peran reproduksi kesehatan berlaku bagi
Peran sosial berbeda antara satu
semua kelas/strata sosial
kelas/strata sosial dengan strata lainnya
Peran reproduksi kesehatan ditentukan oleh Peran sosial bukan kodrat Tuhan tetapi
Tuhan atau kodrat
buatan manusia

Sumber : Puspitawati (2010)
Manajemen Keuangan keluarga
Guhardja et al. (1992) menjelaskan bahwa uang merupakan salah satu
jenis sumberdaya materi sekaligus merupakan alat pengukur sumberdaya. Uang
memiliki empat fungsi, antara lain sebagai dasar perbandingan, sebagai
mekanisme bagi pertukaran dan perekonomian secara umum, sebagai hak untuk
kebutuhan sumberdaya masa depan, dan sebagai media dalam pertukaran dan
perpindahan dengan pemerintah, instansi, kelompok personal, dan individu
(Deacon dan Firebaugh 1988).
Pemilikan sumberdaya uang dalam suatu keluarga tidak lagi terbatas,
tetapi tergantung kepada jumlah dan kualitas orang yang berpartisipasi dalam
pencarian pendapatan. Besarnya uang yang dimiliki oleh seseorang atau keluarga
menunjukkan berapa banyak sumberdaya uang yang dimilikinya. Dengan
kepemilikan uang, seseorang atau keluarga dapat memenuhi keinginannya.
Pemanfaatan sumberdaya uang yang terbatas tersebut dapat mencapai optimum,
diperlukan usaha manajemen keuangan yang baik dan efektif (Guhardja et al.

11
 

1992). Guhardja, Puspitawati, Hartoyo dan Saharia (1989), mengungkapkan
bahwa manajemen merupakan pengelolaan terkait dunia usaha dan aspek lainnya.
Deacon dan Firebaugh (1988), menjelaskan manajemen merupakan suatu
bentuk yang dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan penggunaan sumberdaya
yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Manajemen sebagai proses
dalam mengubah input yang terdiri dari zat/bahan, energi dan informasi menjadi
output. Secara umum, dikenal dengan planning (perencanaan), atau implementing
(pelaksanaan) yang terkait dengan standar aktifitas spesifik, permintaan dan tidak
berhubungan langsung dengan pemahaman aktifitas manajerial.
Menurut Olson dan Beard, perencanaan merupakan bagian dari sistem
manajerial

yang

menerima

tujuan

dan

permintaan

lainnya.

Berfungsi

mengumpulkan informasi mengenai karakteristik alternatif baik kualitatif maupun
kuantitatif yang berpotensial. Dalam mewujudkan perencanaan, dibutuhkan
pengambilan keputusan mengenai bagaimana merubah permintaan dan bagaimana
meningkatkan sumberdaya atau menggunakannya dengan berbeda untuk
menghasilkan

tujuan

aktifitas/tindakan

yang

yang

optimal.

dilakukan

dari

Sedangkan
perencanaan.

pelaksanaan
Dalam

adalah

mengontrol

perencanaan, dibutuhkan pelaksanaan, pengelolaan, dan pengecekkan yang pada
akhirnya akan menghasilkan feedback atau hubungan timbal balik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan suatu proses
tindakan yang dapat dilakukan sendiri maupun bersama dengan menggunakan
sumberdaya yang dimiliki melalui berbagai tahapan-tahapan untuk mencapai
keinginan atau tujuan yang ditetapkan. Walaupun manajemen tidak bisa membuat
sumberdaya yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan menjadi
cukup, akan tetapi manajemen dapat membantu menetapkan penggunaan
sumberdaya yang terbatas untuk item yang disetujui oleh semua anggota keluarga
(Guhardja et al. 1992)
Secara umum terdapat beberapa alasan perlunya seseorang atau keluarga
mengelola keuangan, antara lain: adanya tujuan keuangan yang ingin dicapai;
tingginya biaya hidup; naiknya biaya hidup dari tahun ke tahun/inflasi; keadaan
perekonomian tidak akan selalu baik; fisik manusia yang tidak selalu sehat,
kualitas hidup yang lebih baik dari generasi sebelumnya serta faktor kecelakaan;

12 
 

banyaknya alternatif produk pangan (Rahmayani dan Hartoyo 2009). Oleh karena
itu, dibutuhkan suatu pengelolaan terhadap sumberdaya yang dimiliki sehingga
dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk hasil yang memuaskan.
Salah satu bentuk manajemen keuangan keluarga adalah manajemen cash
flow atau arus kas, yaitu aliran uang yang mengalir mulai mendapatkan uang
tersebut, menyimpannya, mengembangkannya, dan mengeluarkannya dengan
secara teratur, bijak dan disiplin (Rahmayani dan Hartoyo 2009).
Anonimous (2007) menjelaskan bahwa terdapat dua konsep utama tentang
manajemen keuangan keluarga yang wajib diketahui oleh keluarga yaitu tentang
Neraca dan Rugi/Laba serta Manajemen Cashflow/Arus Kas. Pengetahuan akan
cashflow wajib diketahui agar keuangan keluarga tidak akan kacau balau dan
terpantau (Gambar 1).
Gaji

Uang Tunai

Pengeluaran

Pendapatan
ATM/Bank

Hasil
Investasi

Rumah Tangga

Pekerja

Cicilan Utang

Hiburan
Rekreasi

Deposito

Hasil Usaha

Premi
Asuransi
Keperluan
Anak

Properti

Reksadana

Transportasi

Fashion

Obligasi

Zakat/Pajak

Dll

Saham

Sosial
Keluarga Besar

Dll

Gambar 1 Konsep Utama Manajemen Arus Kas/Cash-Flow
Sumber: www.myfamillyaccounting.wordpress.com

Pendapatan
Menurut Alabi, Ogbimi dan Soyebo (2006), pendapatan merupakan
sumberdaya material yang digunakan untuk membelanjakan atau mendapatkan
sumberdaya lain seperti makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya.
Pendapatan sangat penting untuk dikelola dengan sebaik-baiknya. Pendapatan
merupakan imbalan yang diperoleh seorang konsumen dari pekerjaan yang telah

13
 

dilakukannya untuk mencari nafkah. Pada umumnya, pendapatan yang diterima
dalam bentuk uang.
Jumlah pendapatan akan menggambarkan daya beli seseorang. Daya beli
seseorang akan menggambarkan banyaknya produk dan jasa yang bisa dibeli dan
dikonsumsi oleh seseorang dan seluruh anggota keluarganya. Pendapatan diukur
tidak hanya yang diterima oleh seorang individu, melainkan juga semua
pendapatan yang diterima oleh seluruh anggota keluarga. Hal ini berarti, daya beli
rumah tangga ditentukan oleh pendapatan dari semua anggota rumah tangga yang
telah memiliki penghasilan kemudian dikelola bersama dengan tujuan
mewujudkan kesejahteraan keluarga.
Pencatatan pendapatan dari semua anggota keluarga penting dilakukan
karena biasanya sebuah rumah tangga memiliki lebih dari satu orang yang
bekerja. Misalnya suami, istri, anak, dan lainnya. Adapun pengukuran pendapatan
yang berprofesi sebagai pegawai, karyawan, buruh atau pegawai negeri terdiri dari
gaji pokok, tunjangan, bonus, dan pendapatan lainnya (Sumarwan 2002). Faktorfaktor yang dapat mempengaruhi pendapatan antara lain: pekerjaan, pendidikan
dan kecakapan, misalnya seorang pembantu rumah tangga mendapatkan
penghasilan yang lebih murah dibandingkan seorang juru ketik; pengalaman dan
umur seseorang; besarnya tanggung jawab keluarga; dan tempat bekerja (Sadikin
1975).
Alokasi pengeluaran keluarga
Survei BPS (2002) menunjukkan bahwa terjadi perubahan pola konsumsi
karena adanya penurunan standar hidup secara drastis akibat meningkatnya hargaharga kebutuhan hidup setelah krisis ekonomi tahun 1997. Akibatnya, keluarga
yang memiliki penghasilan rendah terpaksa memprioritaskan pengeluaran untuk
pangan.
Pengeluaran keluarga dikelompokkan menjadi dua bagian, antara lain
pengeluaran untuk pangan dan nonpangan. Pengeluaran untuk pangan yaitu
pengeluaran untuk konsumsi bahan pangan berupa padi-padian, ikan, daging,
telur, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak,
minuman, makanan serta minuman jadi. Sedangkan pengeluaran untuk nonpangan
yaitu pengeluaran untuk konsumsi perumahan, bahan bakar, penerangan, air,

14 
 

barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama lainnya. Adapun persentase
pengeluaran keluarga terbesar di negara berkembang adalah pengeluaran untuk
pangan yang kemudian diikuti oleh barang dan jasa (BPS 2002).
Pengeluaran perkapita atau pengeluaran per orang Penduduk Indonesia
dari tahun ke tahun makin meningkat cukup signifikan. Sejak masa krisis 1998,
pengeluaran perkapita sebesar Rp 317 800,00 meningkat menjadi Rp 1 240
900,00 pada tahun 2007 atau meningkat hampir 300 persen selama 10 tahun
(SUSENAS 2010).
BPS (1994), menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan bahwa semakin
tinggi pendapatan seseorang maka semakin berkurang persentase pendapatan yang
dibelanjakannya untuk makanan. Oleh karena itu, komposisi pengeluaran
rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan ekonomi
penduduk dengan asumsi bahwa penurunan persentase pengeluaran mrupakan
gambaran meningkatnya perekonomian penduduk.

Perempuan dan Buruh Pabrik
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa
buruh adalah orang yang bekerja dengan menerima upah dan imbalan dalam
bentuk lain. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa semua orang yang bekerja
baik di perusahaan maupun di luar perusahaan dan menerima upah dan imbalan
adalah buruh.
Buruh atau karyawan merupakan seseorang yang bekerja pada orang lain
atau instansi baik pemerintah atau swasta dengan menerima upah atau gaji baik
berupa uang maupun barang (BPS 1994). Kebanyakan perempuan yang bekerja
sebagai buruh, bukanlah pekerjaan pokok tetapi bagi keluarga yang mengandalkan
sektor informal, penghasilan yang didapat dapat menjadi penghasilan utama.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan keadaan ini antara lain besarnya jumlah
anggota keluarga dan kegigihan para buruh untuk keluar dari lingkungan
kemiskinan (Gardiner et al. 1996).
Anonimous (2011) mengungkapkan beberapa alasan seorang perempuan
bekerja, antara lain: (1) Kebutuhan finansial, kebutuhan keluarga yang tinggi dan
kekurangan dalam mencukupi kehidupan sehari-hari mendesak perempuan

15
 

bekerja di luar rumah; (2) Kebutuhan sosial-relasional, perempuan yang bekerja
memiliki kebutuhan akan penerimaan sosial dan adanya identitas sosial yang
diperoleh melalui komunitas kerja, seperti bergaul; (3) Kebutuhan aktualisasi diri,
melalui

bekerja,

perempuan

dapat

berkarya,

mengekspresikan

diri,

mengembangkan diri dan orang lain, membagikan ilmu dan pengalaman,
menemukan sesuatu, menghasilkan sesuatu, serta mendapatkan penghargaan atau
prestasi adalah bagian dari proses pencapaian kepuasan diri. Sebuah studi tentang
kepuasan hidup wanita bekerja menunjukkan bahwa wanita yang bekerja
memiliki tingkat kepuasan hidup sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
yang tidak bekerja, meskipun ada beberapa faktor lain yang ikut menentukan.
Kesejahteraan Keluarga
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 menyebutkan bahwa
keluarga sejahtera merupakan keluarga yang dibentuk atas perkawinan yang sah,
mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materil yang layak, bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan serasi, selaras, seimbang antar
anggota dan antar keluarga dengan masyarakat dan lingkungannya. Sedangkan
menurut Undang-Undang terbaru Nomor 52 Tahun 2009 menjelaskan bahwa yang
disebut sebagai ketahanan atau kesejahteraan keluarga adalah kondisi keluarga
yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik
materil guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk
hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan kebahagiaan lahir dan batin.
Schmidt dan Welsh (2010), kesejahteraan subjektif terdiri dari tiga bagian
yaitu perasaan positif, perasaan negatif, dan kepuasan yang dirasakan dalam hidup
yang akan stabil atau tidak berubah dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan
Pichler (2006) menjelaskan kesejahteraan subjektif merupakan hasil evaluasi
kehidupan seseorang. Evaluasi tersebut mencakup reaksi emosional, suasana hati
yang dirasakan, dan pendapat tentang kepuasan. Guhardja et al. (1992)
menjelaskan bahwa kepuasan merupakan output yang telah diperoleh akibat
kegiatan suatu manajemen. Ukuran kepuasan ini dapat berbeda untuk setiap
individu atau bersifat subjektif.
Kesejahteraan juga merupakan suatu tata kehidupan dan penghidupan
sosial maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan dan

16 
 

ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan setiap warga negara berusaha
dalam memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi
diri, rumah tangga serta masyarakat (Rambe 2004). Maslow (1943), menjelaskan
bahwa konsep kesejahteraan keluarga berdasarkan Maslow’s Hierarchy of Needs
adalah keadaan atau kondisi dimana keluarga dapat memenuhi kebutuhannya,
antara lain self actualization, esteem, belongingness and love, safety, dan
physiological need. Kesejahteraan subjektif diukur dari tingkat kebahagiaan dan
kepuasan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri bukan orang lain.
Zhang (2007) mengungkapkan bahwa terdapat beberapa studi yang
menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi kesejahteraan subjektif adalah
umur, gender, pendidikan, dan status finansial. Penelitian Simanjuntak (2010)
menjelaskan bahwa relasi gender yang semakin responsif dan tingkat stres ibu
yang semakin rendah memberikan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan
keluarga subjektif, sedangkan ekonomi keluarga yang semakin baik dan strategi
koping yang semakin sedikit akan memberikan pengaruh tidak langsung terhadap
peningkatan kesejahteraan keluarga subjektif. Chen (2010) menjelaskan bahwa
faktor yang mempengaruhi kesejahteraan lansia di China adalah perbedaan gender
dan frekuensi peran. Frekuensi peran yang tinggi akan meningkatkan rata-rata
kesejahteraan perempuan. Sedangkan penelitian Firdaus menunjukkan terdapat
hubungan nyata antara manajemen keuangan keluarga dengan kesejahteraan
keluarga. Contoh yang menerapkan manajemen keuangan dengan baik maka
kesejahteraan keluarga akan lebih tinggi.
Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terkait manajemen keuangan keluarga dan kesejahteraan
keluarga telah banyak dilakukan. Penelitian Firdaus (2009) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang nyata dan positif antara pendidikan suami dengan
manajemen keuangan keluarga. Semakin tinggi pendidikan suami maka semakin
baik keterampilan keluarga dalam mengelola keuangan keluarga. Selain itu,
kesejahteraan keluarga berkorelasi negatif dengan besar keluarga. Semakin
banyak anggota keluarga yang dimiliki maka semakin rendah tingkat
kesejahteraan keluarga. Terdapat hubungan antara manajemen keuangan keluarga
dengan kesejahteraan keluarga. Semakin baik pengelolaan keuangan keluarga

17
 

maka semakin meningkat kesejahteraan suatu keluarga. Berlawanan dengan
penelitian Nurulfirdausi (2010) bahwa tidak terdapat hubungan yang nyata antara
manajemen keuangan dengan tingkat kesejahteraan keluarga.
Penelitian Simanjuntak (2010) menjelaskan bahwa relasi gender yang
semakin responsif dan tingkat stres ibu yang semakin rendah memberikan
pengaruh langsung terhadap kesejahteraan keluarga subjektif, sedangkan ekonomi
keluarga yang semakin baik dan strategi koping yang semakin sedikit akan
memberikan pengaruh tidak langsung terhadap peningkatan kesejahteraan
keluarga subjektif. Hasil penelitian terdahulu tersebut dijadikan acuan dalam
penelitian ini. Adapun hasil penelitian terdahulu terlihat dalam Tabel 2.
Tabel 2 Penelitian pendahulu terkait topik penelitian
No.

Tahun

Penulis

1.

2003

2.

2004

Rambe A

2007

Suandi

Modal Sosial dan
Kesejahteraan
Ekonomi Keluarga

3.

2008

Firdaus

4.

2010

Nurulfirdausi
K

Hubungan Tekanan
Ekonomi,
Manajemen
Keuangan, dan
Mekanisme Koping
dengan
Kesejahteraan
Analisis Pengaruh
Kontribusi Ekonomi
Perempuan dan
Manajemen
Keuangan Keluarga
terhadap
Kesejahteraan
Keluarga TKW

Saleha Q

Judul
MSDK: Suatu
Analisis Gender
dalam Kehidupan
Keluarga Nelayan di
Pesisir Bontang
Kuala, Kaltim
Alokasi Pengeluaran
Rumah Tangga dan
Tingkat
Kesejahteraan

Hasil
• Ada hubungan antara
pendidikan istri dan relasi
gender
• Ada hubungan antara
pengambilan keputusan
dan kepuasan istri
• Faktor determinan
kesejahteraan subjektif
adalah pendidikan kepala
rumah tangga, umur
kepala rumah tangga dan
pendapatan
• Manajemen keuangan dan
manajemen anggota
keluarga berpengaruh
positif terhadap
kesejahteraan ekonomi
objektif keluarga
• Ada hubungan antara
tekanan ekonomi,
manajemen keuangan,
mekanisme koping dan
kesejahteraan keluarga
• Kontribusi ekonomi TKW
tidak berpengaruh pada
kesejahteraan keluarga
• Kesejahteraan subjektif
dipengaruhi nyata positif
oleh jumlah anak

18 
 
No.

Tahun

5.

2010

6.

2011

Penulis
Irzalinda V

Rusydi L N

Judul
Kontribusi Ekonomi,
Peran Perempuan
dan Kesejahteraan
Keluarga di Kota dan
Kabupaten bogor

Analisis
Perbandingan
Manajemen
Sumberdaya dan
Kesejahteraan
Keluarga pada
Keluarga Miskin dan
Tidak Miskin

Hasil
• Rata-rata kontribusi nilai
ekonomi pekerjaan istri
terhadap pendapatan total
keluarga adalah 16,4 dan
46,2 persen pada masingmasing dua daerah lokasi
penelitian
• Faktor yang berpengaruh
terhadap kesejahteraan
keluarga subjektif adalah
permasalahan keluarga.
• Manajemen waktu dan
keuangan pada keluarga
miskin dan tidak miskin
tergolong rendah
• Pada keluarga miskin,
semakin tua istri dan
suami maka semakin
rendah manajemen
keuangan keluarga.
Sedangkan keluarga tidak
miskin, semakin lama
pendidikan istri maka
semakin baik manajemen
keuangan keluarga

19
 

KERANGKA PEMIKIRAN
Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa keluarga merupakan
subsistem dalam sistem masyarakat yang luas dan saling berinteraksi. Pendekatan
struktural fungsional memandang keluarga sebagai sebuah institusi dalam
masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip serupa yang terdapat dalam masyarakat.
Salah satu aspek penting dalam pendekatan struktural fungsional melihat setiap
keluarga sehat memiliki pembagian peran atau fungsi yang jelas. Fungsi tersebut
terpolakan dalam struktur yang jelas dan patuh pada nilai yang berlaku. Struktural
fungsional memandang bahwa suatu struktur keluarga akan membentuk
kemampuannya untuk berfungsi secara efektif. Misalnya, seorang laki-laki
dituntut sebagai pencari nafkah keluarga sedangkan perempuan mengurus
keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga (Megawangi 1999).
Setiap individu dalam keluarga memiliki status dan peranan. Status dan
peranan masing-masing individu memiliki arti penting dalam hubungan timbal
balik antar individu lainnya. Secara abstrak, status menunjukkan kedudukan
dalam masyarakat sedangkan peranan merupakan suatu aspek dinamis dari status.
Kedudukan dan peranan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan
(Megawangi 1999).
Dilihat dari kerangka status dan peranannya dalam sebuah keluarga,
seorang perempuan sebagai istri pada dasarnya adalah pengurus rumahtangga dan
laki-laki sebagai suami bekerja mencari nafkah keluarga. Seiring dengan
perkembangan zaman, terjadi pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan.
Lewis, Burns dan Segner (1969) menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang
menyebabkan perempuan mengalami perubahan peran dari sektor domestik ke
sektor publik, antara lain: 1) Banyak perempuan/istri yang sudah tidak bersama
dengan laki-laki/suami; 2) Terjadi perubahan dalam hukum warisan terkait hak
milik di luar kontrol perempuan; 3) Kebanyakan suami berkeinginan untuk
merubah gaji. Pada akhirnya, kesempatan pendidikan yang semakin tinggi bagi
perempuan maka semakin luas lapangan pekerjaan yang didapatkan perempuan.
Perempuan sebagai seorang ibu rumahtangga yang mengurus keluarga
sehari-hari juga sebagai pencari nafkah utama atau tambahan dalam keluarga.
Puspitawati (2009), kebanyakan istri bekerja di luar rumah sebagai pencari nafkah

20 
 

tambahan keluarga (secondary breadwinner) disamping suami sebagai pencari
nafkah utama (main breadwinner) untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
keluarga.
Kebutuhan dan keinginan keluarga semakin hari semakin tak terbatas,
namun sumberdaya yang dimiliki keluarga sangat terbatas baik dalam jumlah
maupun kualitasnya (Guhardja et al., 1992). Peran perempuan sebagai pengurus
rumah tangga harus mampu memiliki kemampuan dalam mengelola sumberdaya
yang terbatas tersebut secara maksimal agar kebutuhan dan keinginan semua
anggota keluarga dapat terpenuhi. Salah satu sumberdaya perlu dilakukan adalah
pengelolaan sumberdaya keuangan keluarga atau manajemen keuangan.
Deacon dan Firebaugh (1988) menjelaskan bahwa manajemen keuangan
keluarga merupakan suatu bentuk yang dimulai dari perencanaan dan pelaksanaan
penggunaan sumberdaya yang dimiliki untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Ogbimi, Soyebo dan Alabi (2006), menjelaskan bahwa manajemen keuangan
keluarga merupakan suatu proses pengorganisasian untuk mengalokasikan atau
menggunakan uang agar mencapai tujuan yang spesifik terutama dalam pembelian
menggunakan uang. Terdapat tiga langkah utama dalam melakukan pengelolaan
keuangan keluarga, yaitu perencanaan, melaksanakan rencana yang telah dibuat,
dan mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan tersebut (Lewis, Burns dan
Segner 1969).
Ogbimi, Soyebo dan Alabi (2006), perencanaan disusun oleh anggota
keluarga bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam
perencanaan terdiri dari rencana rincian keuangan tahunan yang dikenal sebagai
anggaran atau rencana pengeluaran. Sedangkan pelaksanaan merupakan tindakan
nyata yang dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat sebelumnya (Deacon
dan Firebaugh 1988). Selain itu, monitoring dan evaluasi juga memiliki peran
yang penting dalam pengelolaan keuangan keluarga. Gross dan Crandall (1963),
mengatakan bahwa evaluasi tidak hanya mampu melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan tetapi juga mengukur tingkat kepuasan dari tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Dalam upaya mencapai tujuannya (kesejahteraan keluarga), keluarga harus
mampu mengelola sumberdaya yang dimilikinya, baik sumberdaya materi

21
 

maupun manusia. Pengelolaan sumberdaya keluarga ini dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain karakteristik
contoh dan keluarga contoh, sedangkan faktor eksternal terdiri dari lingkungan
sekitar seperti sosial, fisik, serta peran pemerintah dalam program bantuan
pembangunan fasilitas umum.
Karakteristik buruh dan karakteristik keluarga diduga memiliki hubungan
terhadap manajemen keuangan dan tingkat kesejahteraan keluarga. Pada buruh
dengan karakteristik buruh dan keluarga yang baik cenderung memiliki
pengelolaan keuangan yang baik pula sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Dalam mengelola keuangan keluarga, dibutuhkan pembagian kerja
antara anggota keluarga, khususnya peran suami dan istri dalam merencanakan,
melaksanakan, memonitoring dan mengevaluasi keuangan keluarga.
Peran gender dalam manajemen keuangan keluarga di duga akan
mempengaruhi alokasi pengeluaran baik pangan dan nonpangan serta pendapatan
keluarga. Buruh yang telah memiliki penghasilan sendiri cenderung memberikan
kontribusi terhadap perekonomian keluarga. Hal tersebut, dapat dinyatakan dalam
arus kas pendapatan dan pengeluaran baik dari buruh sendiri maupun keluarga.
Keluarga yang memiliki kemampuan manajemen keuangan keluarga yang
baik dalam memahami dan mengelola sumberdaya keluarga akan dapat
memanfaatkan sumberdaya keluarga khususnya keuangan atau pendapatan
keluarga dengan maksimal sehingga mampu memenuhi kebutuhan keluarga
secara optimal dan tingkat kesejahteraan keluarga dapat tercapai.

22 
 

Karakteristik contoh:
- Umur
- Lama pendidikan
- Pengalaman kerja
- Riwayat pekerjaan
sebelumnya
- Waktu bekerja
- Waktu libur
- Posisi kerja
- Sarana/transportasi contoh
- Upah kerja contoh/bulan

-

Pendapatan keluarga
Kontribusi pendapatan buruh
Alur pendapatan dan pengeluaran

Manajemen keuangan keluarga:
- Perencanaan
- Pelaksanaan/Implementasi
- Monitoring dan Evaluasi
Kesejahteraan keluarga

Karakteristik keluarga contoh:
- Umur suami
- Lama pendidikan suami
- Besar Keluarga
- Pekerjaan suami
- Kepemilikkan aset
- Pendapatan keluarga/bulan
- Pengeluaran keluarga/bulan

Kerjasama gender dalam manajemen
keuangan keluarga:
- Suami/Istri saja
- Suami/Istri dominan
- Suami dan Istri bersama

Alokasi pengeluaran keluarga:
- Pangan
- Nonpangan

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Manajemen Keuangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga
Perempuan Buruh Pabrik di Kabupaten Bogor

23
 

METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara mempelajari objek dalam satu waktu tertentu, tidak
berkesinambungan dalam jangka waktu panjang. Penelitian dilakukan di
Kabupaten Bogor tepatnya berlokasi di Kecamatan Dramaga. Pemilihan lokasi
penelitian

dilakukan

secara

sengaja

(purposive

sampling)

berdasarkan

pertimbangan bahwa Kecamatan Dramaga merupakan salah satu kecamatan yang
merupakan kawasan industri di Kabupaten Bogor dan memiliki banyak penduduk
khususnya perempuan yang bekerja sebagai buruh pabrik. Adapun waktu
pelaksanaan penelitian dilakukan mulai bulan Juni hingga Juli 2011.

Teknik Pemilihan Responden
Populasi dalam penelitian adalah perempuan buruh pabrik di Kecamatan
Dramaga. Responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang bekerja sebagai
buruh pabrik dan telah memiliki suami (keluarga lengkap) di Kecamatan
Dramaga. Contoh adalah istri yang bekerja sebagai buruh pabrik dengan keluarga
lengkap dan bertempat tinggal di Kecamatan Dramaga. Data terkait contoh
didapatkan melalui pendekatan tempat tinggal dan pekerjaan sehingga diperoleh
data dengan tahapan sebagai berikut:
1. Peneliti mendatangi Kantor Kecamatan Dramaga. Berdasarkan informasi
yang didapat dari Kantor Kecamatan maka terpilih dua desa yang akan
dijadikan sampel penelitian yaitu Desa Ciherang dan Desa Babakan
dengan alasan perkiraan jumlah responden yang dapat ditemui dalam
jumlah banyak dan lokasi kedua desa yang dekat dengan salah satu pabrik
garmen.
2. Selanjutnya, peneliti mendatangi Kantor Desa Ciherang dan Babakan,
kemudian peneliti diarahkan menemui beberapa ketua RW/RT di kedua
desa tersebut untuk mendapatkan informasi terkait istri yang bekerja
sebagai buruh pabrik. Setelah terkumpul informasi dari RW/RT tersebut,
peneliti mewawancarai langsung satu per satu contoh dengan cara
mendatangi rumah masing-masing. Namun, keterbatasan informasi yang

24 
 

diperoleh dari RW/RT tersebut, belum mampu memenuhi jumlah yang
diteliti, sehingga peneliti melakukan pendekatan pekerjaan untuk
memperoleh data terkait perempuan buruh pabrik.
3. Berdasarkan informasi dari ketua RT 01 Desa Ciherang yang juga bekerja
sebagai Satpam/Keamanan di salah satu pabrik dekat dengan daerah
penelitian, akhirnya peneliti memilih mengumpulkan data terkait
perempuan buruh pabrik yang bekerja di pabrik tersebut, khususnya yang
tinggal di Desa Ciherang dan Babakan.
4. Peneliti menemui Kepala Humas dan SDM di pabrik tersebut, dan
diperoleh data 60 buruh yang tinggal di Desa Ciherang dan Babakan.
Namun hanya beberapa buruh saja yang dapat dijadikan contoh penelitian
ini mengingat kriteria contoh yang sesuai dengan penelitian. Berdasarkan
data yang diperoleh dari pabrik, peneliti mendatangi langsung ke setiap
rumah contoh.
5. Sisanya, peneliti menunggu di depan pabrik kemudian mendatangi contoh
setelah pulang kerja dan menanyakan kesediaannya untuk diwawancarai
dengan melakukan perjanjian sebelumnya. Setelah terdapat kesepakatan
waktu, selanjutnya peneliti mendatangi rumahnya satu per satu.
Metode pemilihan contoh yang digunakan adalah menggunakan teknik
non probability sampling berupa purposive sampling. Alasan digunakannya teknik
pemilihan non probability sampling, yaitu karena populasi penduduk buruh pabrik
perempuan di Kecamatan Dramaga belum diketahui pasti jumlahnya. Berikut
adalah alasan pemilihan lokasi secara purposive yaitu:
1. Pemilihan Provinsi Jawa Barat dilakukan secara purposive berdasarkan
BPS (2011) bahwa jumlah penduduk yang bekerja di Provinsi Jawa Barat
pada Februari 2011 mengalami peningkatan sebanyak 990 176 jiwa dari
Februari

2011.

Adapun

penduduk

yang

bekerja

dengan

status

bu