Inkonsistensi dan Kekuatan Eksekutorial BPSK

BPSK. 41 Hal ini diperkuat dengan Pasal 6 ayat 5 Perma No. 1 Tahun 2006 yang memungkinkan adanya “alasan lain” sebagai dasar pengajuan gugatan selain alasan yang tercantum dalam Pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999. 42 Tidak adanya penjelasan lebih lanjut tentang alasan apa saj a yang termasuk dalam “alasan lain” ini dapat ditafsirkan bahwa alasan apapun dapat diajukan sebagai dasar keberatan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK bukan karena adanya kesalahan atau kecacatan terhadap putusan BPSK. Keadaan seperti inilah yang membuat eksistensi dan wewenang BPSK dalam UUPK terkesan “setengah hati”, putusan BPSK dianggap bersifat ambigu, karena sebagai lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution ADR putusan BPSK masih terbuka peluang untuk diajukan upaya hukum lebih lanjut. 43 Walaupun Pasal 56 ayat 2 UUPK menegaskan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap semua jenis putusan BPSK, namun dalam Pasal 2 Perma No. 1 Tahun 2006 dikatakan bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK. 44 Berdasarkan rumusan tersebut jelas dapat disimpulkan bahwa putusan BPSK yang didapatkan berdasarkan mekanisme konsiliasi dan mediasi tidaklah bisa diajukan keberatan. 41 Lihat,Pasal 1 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 42 Lihat,Pasal 6 ayat 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. 43 Wahyu Sasongko, Op.Cit., hlm 148-149. 44 Lihat, Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Peluang mengajukan keberatan atas putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri bahkan sampai kasasi ke Mahkamah Agung adalah bentuk campur tangan yang demikian besar dari lembaga peradilan umum terhadap penyelesaian sengketa melalui BPSK. Campur tangan yang demikian besar bukanlah suatu ciri arbitrase yang modern, karena cirri-ciri arbitrase modern adalah tersampingkannya campur tangan yang luas dari peradilan umum, sehingga putusan arbitrase tersebut menjadi efektif. Kemungkinan bahwa putusan majelis BPSK akan cenderung dibantah oleh pihak yang berperkara melalui pengajuan keberatan, terutama oleh pelaku usaha sebenarnya sudah diindikasikan oleh Pasal 56 ayat 5 yang mengatakan bahwa “Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan”. 45 Ini berarti bahwa putusan BPSK yang menghukum pelaku usaha dapat dipakai untuk menjadikan pelaku usaha sebagai tersangka. Hal ini tentu tidak dikehendaki oleh pelaku usaha sehingga jika pun ia benar-benar mengaku bersalah, ia akan berusaha untuk menghindari penangkapan dan penahanan dalam statusnya sebagai tersangka, mengulur-ulur waktu dengan jalan mengajukan keberatan. Seorang pelaku usaha yang sudah sadar akan dijadikan tersangka tentu tidak akan mau begitu saja menerima putusan majelis BPSK yang menghukum dia untuk membayar ganti kerugian kepada konsumen dalam sengketa 45 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 8 Tahun 1999, TLN Nomor 3821, Pasal 56 ayat 5. konsumen. Karena itu, putusan majelis BPSK akan selalu dibantah oleh pelaku usaha jika ia dinyatakan bersalah dan dihukum membayar ganti kerugian. 46 Dalam kacamata sistem peradilan di Indonesia, pada dasarnya putusan majelis BPSK bersifat nonlitigasi, sehingga apabila ada pihak yang keberatan atas putusan BPSK tersebut, mereka dapat mengajukan kepada Pengadilan Negeri. Dalam arti pula, putusan BPSK ini tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Ketentuan Pasal 58 UUPK yang mewajibkan Pengadilan Negeri untuk memproses penyelesaian suatu perkara dengan melalui acara gugatan perdata biasa. Hal ini menunjukkan bahwa posisi proses hukum dan putusan BPSK itu pada dasarnya non yudisial. Dalam arti pula, putusan BPSK itu merupakan gerbong lain dari rangkaian gerbong mekanisme sistem pengadilan, jadi berada diluar mekanisme peradilan umum. Akibat adanya cacat substansial dari beberapa pasal dalam UUPK yang mengatur tentang BPSK tersebut, maka tujuan melindungi konsumen sulit untuk tercapai. Sudah seharusnya ada upaya dari pemerintah untuk memperhatikan segala jenis peraturan tentang perlindungan konsumen sehingga BPSK tetap konsisten dan memiliki kekuatan untuk eksekutorial yang tetap. 46 Janus Sidabalok, Op.Cit., hlm. 202. V.KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pertanggung jawaban PT NMI sebagai pelaku usaha yang melakukan praktik periklanan menyesatkan dan merugikan konsumen telah diputus sesuai dengan Pasal 19 UUPK mengenai tanggung jawab pelaku usaha. Majelis arbitrase BPSK dalam putusannya terkait sengketa konsumen antara Ludmilla Arif melawan PT NMI menyatakan bahwa klaim yang terdapat di dalam kegiatan promosi iklan Nissan March telah melanggar Pasal 9 ayat 1 huruf k dan Pasal 10 huruf c UUPK, dan menyatakan bahwa transaksi mobil Nissan March tersebut dibatalkan. PT NMI sebagai Termohon harus dihukum membayar uang sebesar Rp. 150.000.000,- kepada Ludmilla selaku Pemohon yang mengadukan kasus ini kepada BPSK karena merasa dirugikan sebagai konsumen produk otomotif Nissan March. Putusan arbitrase BPSK tersebut sudah sesuai dengan ketentuan UUPK karena unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 9 ayat 1 huruf k dan Pasal 10 huruf c Undang-undang tersebut telah terpenuhi sehingga putusan BPSK dalam kasus ini sudah sesuai dengan ketentuan UUPK. 2. Permasalahan kepastian hukum dan kekuatan eksekutorial putusan BPSK dalam sengketa konsumen antara Ludmilla Arief meelawan PT NMI tersebut telah membuktikan bahwa kurangnya ketegasan hukum dan tidak adanya kekuatan eksekutorial yang dimiliki BPSK. Pertentangan yang ada di dalam Pasal 54 ayat 2 dan Pasal 56 ayat 3 UUPK justru diperkuat dengan lahirnya Pasal 41 ayat 3 dan Pasal 42 ayat 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350MPPKep122001 serta Pasal 1 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 yang membuat semakin lemahnya lembaga penyelesaian konsumen tersebut. Walaupun UUPK telah menegaskan bahwa para pihak dapat mengajukan keberatan terhadap semua jenis putusan BPSK, namun dalam Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 2006 dikatakan bahwa keberatan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh BPSK. Hal ini jugalah yang terjadi didalam putusan BPSK No. 099Pts. ABPSK-DKIII2012 tentang sengketa konsumen antara PT NMI dengan Ludmilla Arif sebagai konsumen. Setelah putusan arbitrase BPSK memberikan putusan bahwa sengketa ini dimenangkan oleh pihak konsumen, PT NMI sebagai pelaku usaha mengajukan upaya keberatan dengan “alasan lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat 5 Perma Nomor 1 Tahun 2006. Sampai akhirnya kasus tersebut tidak hanya selesai di BPSK saja, tetapi berlanjut hingga ke Pengadilan Negeri bahkan sampai kasasi di Mahkamah Agung, sehingga terlihat tidak adanya ketegasan dalam memberikan titel hukum terhadap putusan yang di keluarkan oleh BPSK.

B. Saran dan Rekomendasi

1. Skripsi ini pertama direkomendasikan kepada pemerintah sebagai regulator dan pemegang kebijakan sangat penting untuk segera merevisi segala jenis peraturan tentang perlindungan konsumen, sehingga tidak ada lagi terjadinya pelemahan terhadap tubuh BPSK. Hak-hak konsumen dalam menerima informasi iklan yang benar, jelas, jujur dan tidak menyesatkan konsumen harus dijunjung tinggi dengan dibuatnya peraturan yang lebih tegas dan lebih fokus terhadap segala jenis periklanan baik itu melalui media cetak maupun elektronik. Sosialisasi akan hak- hak konsumen harus lebih ditegakkan, dan jangan hanya menekankan kegiatan sosialisasi di Ibukota saja, tetapi juga melakukan kegiatan sosialisasi tentang perlindungan konsumen di setiap daerah Indonesia. Dengan begitu diharapkan dapat menutup kemungkinan bagi para pihak yang beritikad buruk untuk membuka kembali perkara sengketa konsumen melawan pelaku usaha dengan alasan yang tidak jelas. 2. Sengketa konsumen di dalam skripsi ini juga harapannya dapat memberikan pelajaran kepada seluruh konsumen di Indonesia yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha dalam kegiatan usaha sehari-hari, dimana tidak jarang kita melihat pelaku usaha yang menjalankan usahanya tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. Langkah yang dilakukan oleh Ludmilla sudah sangat tepat, meskipun masih banyak kekurangan dalam penyelesaian sengketa di tubuh BPSK. Akan tetapi, bukan berarti kita sebagai konsumen bisa selalu diam ketika kita merasa dirugikan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Kita harus tetap berani dan jangan pernah ragu untuk membela hak-hak kita sebagai konsumen jika ada pelanggaran dalam segala bentuk kegiatan usaha. Karena percayalah pada prinsipnya walaupun terdapat pertentangan di dalam UUPK, tetapi masih banyak keuntungan yang kita dapatkan jika kita ingin menyelesaikan sengketa konsumen melalui BPSK sebagai lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan segala perkara sengketa konsumen di Indonesia.

Dokumen yang terkait

Kedudukan dan Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Dalam Rangka Menyelesaikan Sengketa Konsumen ditinjau dari UU nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsume

22 339 103

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

6 80 130

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Konsumen Terhadap Produk Cacat Dalam Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Produsen

0 46 132

EKSISTENSI KELEMBAGAAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM MENJALANKAN INDEPENDENSI PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

0 10 48

KONSUMEN DAN PEMBIAYAAN KONSUMEN: Studi Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Konsumen Dan Pembiayaan Konsumen: Studi Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Nomor: 02-06/LS/IV/2012/BPSK.Ska Mengenai Perjanjian Pembiayaan K

0 2 17

KONSUMEN DAN PROMOSI KARTU DEBET: Studi terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta Konsumen Dan Promosi Kartu Debet: Studi terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Surakarta Nomor 01-02/Jk/II/2014/Bpsk.Ska dalam Sengketa

0 4 13

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI EKSISTENSI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DI SURAKARTA

0 0 17

Kata kunci: sengketa, konsumen, BPSK PENDAHULUAN - SENGKETA KONSUMEN DAN TEKNIS PENYELESAIANNYA PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 0 12

KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 1 20

PERMASALAHAN DAN KENDALA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

0 0 13