Perbedaan Hasil Uji Mantoux Pada Anak Umur 3 Bulan - 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi Dan Belum Imunisasi BCG

(1)

PERBEDAAN HASIL UJI MANTOUX PADA ANAK UMUR

3 BULAN – 16 TAHUN YANG KONTAK SERUMAH

DENGAN PENDERITA TUBERKULOSIS BTA (+)

YANG TELAH DIIMUNISASI DAN

BELUM IMUNISASI BCG

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kedokteran Tropis dalam Program Studi Ilmu Kedokteran Tropis pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

WELLDANY SIREGAR

057027012/IKT

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

Judul Tesis : Perbedaan Hasil Uji Mantoux Pada Anak Umur 3 Bulan – 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi Dan Belum Imunisasi BCG

Nama Mahasiswa : Welldany Siregar

Nomor Pokok : 057027012

Program Studi : Ilmu Kedokteran Tropis

Menyetujui, Komisi Pembimbing :

(dr. Ridwan M Daulay, SpA(K)) Ketua

(dr. R. Lia Kusumawati, MS,SpMK) (Drs. Saib Suwilo, MSc,PhD)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Syahril Pasaribu,DTM&H, MSc(CTM),SpA(K) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B.,MSc)


(3)

Telah diuji pada Tanggal : 29 Juli 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : dr. Ridwan M Daulay, SpA(K)

ANGGOTA : 1. dr. R. Lia Kusumawati, MS,SpMK

2. Drs. Saib Suwilo, MSc,PhD

3. Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K)


(4)

ABSTRAK

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyebab kematian paling banyak di Indonesia. Kasus TB di Indonesia adalah nomor 3 terbesar di dunia sesudah India dan China. Menurut perkiraan WHO, sepertiga penduduk dunia terinfeksi TB dan kematian oleh TB akan meningkat hinggá 35 juta orang pada tahun 2000-2020. Anak yang terinfeksi TB lebih kurang 5 – 15 % dari seluruh penderita TB.

Anak kontak serumah (kontak erat) dengan penderita TB BTA (+) dapat terinfeksi bila tidak segera dideteksi. Kejadian anak terinfeksi TB bervariasi tergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur dan status gizi. Imunisasi BCG meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi Mycobacterium tuberculosis yang virulen. Imunitas yang terbentuk tidaklah mutlak menjamin tidak terjadi infeksi TB pada anak, namun infeksi yang terjadi tidak progesif dan tidak menimbulkan komplikasi yang berat seperti TB Milier dan TB Meninggitis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penderita TB BTA (+) yang kontak serumah (kontak erat) dapat menginfeksi anak umur 3 bulan-16 tahun, dan faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Penelitian dilakukan secara Observasional cross sectional analitik, di Kabupaten Simeulue, Provivsi Nanggroe Aceh Darussalam, selama 6 bulan. Subjek penelitian adalah anak serumah dengan penderita TB BTA (+) yang mendapat pengobatan OAT pada tahun 2005, 2006 dan 2007.

Data dikumpulkan dengan mempergunakan kuesioner. Kemudian dilakukan analisa statistik mempergunakan perangkat SPSS 15 dengan metode Kai kuadrat dengan angka kepercayaan 95 %.

Hasil yang didapat, dari 205 anak kontak serumah dengan penderita TB BTA (+), 90 anak (46,34%) telah terinfeksi TB yang ditandai dengan hasil uji Mantoux (+), dimana 23 anak (25,6%) pernah mendapat imunisasi BCG. Selanjutnya di dapat hasil yang bermakna ( p < 0,05 ) pada penghasilan keluarga yang rendah, dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah.


(5)

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is a contangious infection disease caused by

Mycobacterium tuberculosis and one of the most causes of death in Indonesia. The case of TB in Indonesia is the third biggest in the world after India and China. WHO has estimated that one-third of world population has been infected by TB and the death caused by TB will increase up to 35 millions from 2002 to 2020. The number of children infected by TB is more or less 5 – 15 % of the total people with TB.

A child who lives in the same house and makes a close contact with someone suffered from TB BTA (+) can be infected unless it is immediately detected. The incident of a child infected by TB is varied depending on socio-economic status, public health, age and nutrient status. BCG immunization is given to increase body immunity toward the infection cause by the virulent Mycobacterium tuberculosis.

The immunity given does not absolutely guarantee a child to be free from being infected by TB, only, the infection occurred is not proggesive and does not result in a severe complication such as TB Milier and TB Meningitis.

The purpose of this observational cross-sectional analitycal study conducted for 6 (six) months in Simeulue Distric, Nanggroe Aceh Darussalam Province is to examine whether or not someone suffering from TB BTA (+) who lives in the same house and makes a close contact with children of 3 months to 16 years old can infect the child or children and, if available, to find out the other factors that may influence the incident. The subject for this study are the children who live in the same house with the person suffering from TB BTA (+) given OAT medication in the years of 2005, 2006, 2007.

The data were obtained through questionnares distributed to the subject of study. The data obtained were statistically analyzed through SPSS 15 using Chi-square method with level of confidence of 95%.

The result of this study reveals that, of 205 children who live in the same house with the person suffering from TB BTA (+), 90 children (46,34%) have been infected by TB seen from the result of Mantoux (+) test, and 23 children (25,6%) have been given BCG immunization. Further, it is found out that there is a significant relationship (p < 0,05) between low family income and low education of parents and the incident of TB infection in the children of the above group.


(6)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan syukur kehadirat Allah yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang atas segala rahmad dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat di selesaikan.

Kami ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam c.q. Pemerintah Daerah Kabupaten Simeulue yang dipimpin bapak Bupati Drs. Darmili, yang telah memberikan bantuan finansial, sehingga meringankan beban kami dalam menyelesaikan tesis ini.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) atas kesempatan dan fasillitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.

Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dijabat oleh Prof. Dr. Ir. Chairunnisah, MSc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Ilmu Kedokteran Tropis Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Tropis yang dijabat oleh Prof.Dr. dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H,MSc (CTM), SpA (K) beserta jajarannya, atas kesempatan, bimbingan serta petunjuk selama saya menjadi mahasiswa.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kami ucapkan kepada:


(7)

dr.Ridwan M Daulay, SpA(K), selaku pembimbing utama yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, bimbingan dan saran ditengah-tengah kesibukan beliau yang padat. Sikap teliti, cermat dan seriusnya dalam membimbing, membuat penulis sangat mengagumi beliau.

dr. Lia Kusumawati Iswara, MS, SpMK selaku pembimbing dan sekretaris program ilmu kedokteran tropis, yang dengan sabar dan tulus telah mensupport penulis untuk dapat melewati masa-masa sulit dalam penelitian. Penulis menganggapnya sudah seperti saudara sendiri, karena beliau selalu menyediakan diri untuk mendengarkan keluh kesah penulis dan membantu mencari solusi.

Drs. Saib Suwilo, MSc, PhD selaku pembimbing dan konsultan statistik, dimana dalam sakit dan kesibukan yang luar biasa padat masih tetap memberikan bantuan secara serius tapi santai. Sifat humoris yang mengesankan membuat penulis menjadi lebih antusias menyelesaikan tesis ini.

Dr. dr. Rosihan Anwar, DMM, MS, Sp.MK, M.Pd selaku dosen pembanding dan penguji tesis ini, sangat banyak memberi masukan dan selalu menjadi teladan bagi penulis, baik pada saat penulis S1 di FK-UISU ( penulis selalu ingat pada pesan beliau bahwa seorang dokter harus terus belajar seumur hidupnya- Long life study) maupun pada saat penulis menyelesaikan S2 di Pascasarjana USU. Semoga Tuhan memberikan kesehatan agar beliau tetap bisa mengabdikan ilmunya pada orang banyak.

Prof. dr. Iskandar Z. Lubis, SpA(K), selaku dosen pembanding saat seminar proposal, profil guru yang sebenarnya. Memberi ilmu dengan tulus dan tak kenal


(8)

lelah. Pengabdiannya pada dunia pendidikan kedokteran membuat penulis kagum. Semoga ilmu yang telah diberikannya dapat bermanfaat bagi penulis dan beliau mendapatkan pahala atas ilmunya.

Prof. dr. Guslihan Dasa Tjipta, SpA(K), selaku dosen pembanding saat seminar hasil dan penguji tesis ini yang telah memberikan waktunya, ditengah kesibukan beliau yang padat selaku PD I FK-USU.

Rekan seperjuangan di ilmu kedokteran tropis Universitas Sumatera Utara, angkatan II yang telah bersama-sama selama 2 tahun, membagi informasi, berbagi suka duka dalam kebersamaan dan persahabatan.

Terima kasih dan sayang penulis kepada ayahanda H. Mustafa Siregar dan ibunda Hj. Nurjannah Dj, yang selalu mendoakan penulis dan mendukung penulis dengan penuh kasih sayang, juga rasa hormat dan cinta buat suamiku Samsudin, SH, yang telah mendukung, baik dalam suka maupun duka dan buat dua 'mutiara' kecilku, yang amat kukasihi, Muhammad Alif Putra Akbar dan Kemala Setya Arantii Tsani, yang telah merelakan bundanya pergi untuk sementara waktu dalam rangka mengikuti pendidikan S2 di USU Medan. Ananda berdua bunda tinggalkan bersama ayah di kota rawan bencana gempa di Simeulue sana. Semoga Allah swt selalu membimbing dan memberkahi ananda berdua. ” Ya Allah, jadikanlah anak-anakku manusia yang berguna bagi nusa, bangsa dan agamanya”- Amin.

Buat adik-adikku, Nurhayati Siregar, SPd, Mayor (psk) Yasir Arafat Siregar, Ssi, Rahmad Juliandi Siregar, ST, dan Aidil Siregar, A.Md. Semoga kita selalu menghargai ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmu sebagai landasan dalam bersikap


(9)

dan berbuat. Menjadi manusia yang cinta ilmu dan mulia karena memiliki ilmu. Tuntutlah ilmu dari ayunan sampai keliang lahat...

Terima kasih in memorian buat (alm) dr. Soetadi, SpPD, selaku dosen saat penulis S1 di FK-UISU, yang menginspirasi penulis untuk mengikuti pendidikan lanjutan, sangat penulis kagumi sikap dan kesederhanaannya. Terima kasih pada dr.Wisman, SpA, yang telah memberi saran yang konstruktif selama penulis menyiapkan tesis ini, juga kepada dr. Emil Azlin, SpA dan dr. Hendy Zulkarnain, SpA yang selalu mensupport penulis.

Terima kasih buat semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga kebaikan yang anda perbuat mendapat ganjaran pahala dari Allah...Amin.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang memerlukan.

Medan, Juni 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap : Welldany Siregar

Tempat/Tanggal lahir : Langsa, Kabupaten Aceh Timur, Prov.Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 21 November 1967, sebagai anak pertama dari H. Mustafa Siregar dan Hj. Nurjannah Djanaid.

Alamat : Jln. Datuk Ajim no.192, Dusun Cemara Indah, Desa Amiria Bahagia, Kec. Simeulue Timur, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Riwayat Pendidikan:

1. Sekolah Dasar : SD negeri no.7 Langsa, tahun 1973 s/d 1980 2. Sekolah Menengah Pertama : SMP negeri 1 Langsa, tahun 1980 s/d 1983 3. Sekolah Menengah Atas : SMA negeri 1 Langsa, tahun 1983 s/d 1986

4. Universitas : Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara pada tahun 1986 dan tamat pada tahun 1998.

Riwayat Pekerjaan

1. Kepala Puskesmas Pongok (PTT) pada tahun 1999-2001, kec. Lepar Pongok, Kabupaten Bangka, Provinsi Sumatera Selatan (sekarang Provinsi Bangka Belitung).


(11)

2. Kepala Puskesmas Muara Kuang (PTT) pada tahun 2001-2002, kec. Muara Kuang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan.

3. Kepala Puskesmas Teupah Barat (PNS dpk) pada 2002-2004, kec. Teupah Barat, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

4. Dokter RSUD Simelue (PNS dpk), 2005-sekarang, Kabupaten Simeulue, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pada tahun 2000 menikah dan dikaruniai 2 orang anak, 1 putra dan 1 putri. Pada bulan Agustus tahun 2005 mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan program studi Ilmu Kedokteran Tropis.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Kerangka Konsep ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Hipotesis... 5

1.6. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis ... 6


(13)

2.3. Uji Mantoux ... 8

2.4. Respon Imunologi terhadap M. tuberculosis... 12

BAB III METODE PENELITIAN... 15

3.1. Desain Penelitian... 15

3.1.1. Kriteria inklusi ... 15

3.1.2. Kriteria eksklusi ... 15

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.3. Perkiraan Besar Sampel ... 16

3.4. Definisi Operasional ... 17

3.5. Kerangka Kerja ... 19

3.6. Cara Kerja ... 19

3.7. Variabel yang diamati ... 20

3.8. Analisa Data ... 21

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 22

4.1. Hasil ... 22

4.2. Pembahasan... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 33

5.1. Kesimpulan ... 33

5.2. Saran... 33


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Karakteritik sampel penelitian ... 23 2. Distribusi Uji Mantoux menurut jenis kelamin dan

kelompok umur ... 24 3. Distribusi Uji Mantoux menurut status imunisasi... 24 4. Distribusi Uji Mantoux menurut ventilasi dan

jumlah penghuni... 25 5. Distribusi Uji Mantoux menurut penghasilan ... 25 6. Distribusi Uji Mantoux menurut pendidikan orang tua ... 26


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Kerangka Konsep ... 4 2. Kerangka Kerja ... 19


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Kelompok Umur, Rasio Beban Tanggungan, Rasio Jenis Kelamin, Dan

Kecamatan Kabupaten Simeulue Tahun 2007 ... 38

2. Persetujuan Komite Etik Tentang Pelaksanaan Penelitian Bidang Kesehatan ... 39

3. Surat Pernyataan Kesediaan... 40

4. Data Hasil Penelitian... 41

5. Kuisioner Penelitian ... 50

6. Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia ... 51


(17)

DAFTAR SINGKATAN

ARTI Annual Risk of Tuberculosis Infection

BCG Bacille Calmette Guirine

BTA Basil Tahan Asam

CD4 Cluster Differentiation 4

DEPKES RI Departemen Kesehatan Republik Indonesia DOTS Directly Observed Treatment Shortcourse

HIV Human Immunodeficiency Virus

INF Interferon

IUATLD International Union Againts Tuberculosis and Lung Diseases

KK Kepala Keluarga

KMS Kartu Menuju Sehat

NAD Obat Anti Tuberkulosis

OT Old Tuberkulin

PPD Purified Protein Derivatif

PPD-S Purified Protein Derivatif Seibert PPD-RT 23 Purified Protein Derivatif Renset 23

PP IDAI Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia RSUD Rumah Sakit Umum Daerah


(18)

SMP Sekolah Menengah Pertama

SMA Sekolah Menengah Atas

SPSS Statistical Package Solutions & Services

TB Tuberkulosis

TSRU Tuberculosis Surveilance Research Unit TU Tuberkulin Unit

TNF Tumor Necrotic Factor


(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagai sumber kontak adalah penderita TB dengan basil tahan asam positif (BTA (+)). Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara melalui droplet (percikan dahak). Droplet mengandung kuman TB yang dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan. (Depkes, 2002).

World Health Orgnization (WHO) 2003 memperkirakan jumlah penderita TB baru di dunia akan meningkat dari 8,8 juta tahun 1995 menjadi 10,2 juta pada tahun 2000 dan 11,9 juta pada tahun 2005 . Setiap tahun diperkirakan 4 juta penderita TB baru, dengan 8 juta kematian. Dari 3 juta kematian pada tahun 1995, 95% terjadi di negara berkembang.

Data terakhir WHO 2003 memperkirakan di Indonesia setiap tahun terjadi 550.000 kematian akibat TB. Jumlah TB anak lebih kurang 5 – 15% dari seluruh penderita TB. Diperkirakan sekitar 15 juta penderita baru dan 5 juta kematian akan terjadi pada anak, antara umur 5 tahun.

Di Indonesia untuk menghindari anak terinfeksi TB, pemerintah menetapkan imunisasi Bacille Calmete Guerin (BCG) sebagai imunisasi wajib. Imunisasi BCG


(20)

masih merupakan strategi WHO untuk menanggulangi infeksi TB terutama di negara berkembang. Sampai sekarang, perdebatan mengenai efektifitas BCG untuk memproteksi TB anak masih terus berlangsung. Sebuah studi meta analisis menyatakan efek proteksi atau efektifitas BCG bervariasi dari 0-80%. Bayi dan anak walaupun telah diimunisasi BCG bisa terinfeksi TB (Leman, 2004; Rahajoe, 2005; Graham et al, 2006). Walaupun cakupan imunisasi BCG di Indonesia mencapai 90%, TB anak yang sudah mendapat imunisasi BCG masih tinggi yaitu 25% (Rahajoe, 2002).

Anak kontak serumah (kontak erat) dengan penderita TB TBA (+) dapat terinfeksi bila tidak segera dideteksi. Deteksi dengan melakukan uji Tuberkulin, sampai saat ini masih merupakan metode yang paling cepat (48-72 jam), akurat dan dipercaya. Uji Tuberkulin merupakan salah satu metode standar yang efektif untuk mendeteksi dan sebagai uji tapis anak terinfeksi M. tuberculosis. Harus diingat kemungkinan variabel perancu yang mempengaruhi hasil uji Tuberkulin. Keadaan ini sering menjadi dilema bagi petugas kesehatan untuk menentukan epidemiologi dan penatalaksanaan TB (Small, 2000; Starkey, 2003; Rahajoe, 2005).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infektion = ARTI) di Indonesia cukup tinggi, yaitu 1-3%. Bila ARTI di Simelue di tetapkan 1 % maka setiap tahun ada 83 orang penderita baru TB BTA (+). Data dari Dinas Kesehatan Simeulue, jumlah penderita TB mendapat OAT di Rumah Sakit Umum Daerah Simeulue, pada tahun 2005 sebanyak 33 orang, tahun 2006 ada 67 orang, dan tahun 2007 ada 74 orang. Jumlah penderita TB BTA (+) yang menjalani pengobatan dengan


(21)

OAT dalam masa 3 tahun tersebut berjumlah 174 orang. Bila setiap keluarga di Simeulue rata-rata memiliki 3 orang anak maka ada 522 anak berisiko terinfeksi TB dalam masa 3 tahun tersebut. Peningkatan jumlah penderita TB dari tahun 2005 hingga 2007 mengindikasikan potensi masalah penyakit TB di masyarakat Simeulue cukup tinggi. Sementara pengetahuan masyarakat terhadap TB dan penularannya ternyata sangat rendah.

Kinerja tenaga kesehatan di Simeulue rendah, cakupan dan data imunisasi BCG tidak terlaksana dan terdata dengan baik. Program TB yang direkomendasikan Depkes, tidak mempunyai sistim pencatatan dan pelaporan yang baik dan benar sehingga penemuan penderita TB baru sangat rendah dan penderita TB yang putus berobat tinggi.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang bahwa penderita TB BTA (+) dapat menginfeksi anak yang kontak serumah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Apakah ada efek pemberian imunisasi BCG pada anak yang kontak serumah dengan penderita TB BTA (+) dengan menggunakan uji Mantoux dan faktor-faktor lain yang mempengaruhinya.


(22)

1.3. Kerangka Konsep

Anak yang serumah dgn TB BTA (+)

Uji Mantoux Telah Imunisasi

BCG

Tidak Imunisasi BCG

Uji Mantoux

- Umur

- Jenis kelamin - Jumlah penghuni - Ventilasi

- Pendidikan - Penghasilan

Gambar 1. Kerangka Konsep

1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penderita TB BTA (+) yang kontak serumah dapat menginfeksi anak umur 3 bulan-16 tahun.


(23)

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui efek pemberian imunisasi BCG pada anak kontak serumah dengan penderita TB BTA (+).

2. Untuk mengetahui anak yang terinfeksi M.tuberculosis dengan menggunakan Uji Mantoux.

1.5. Hipotesis

Tidak ada efek pemberian imunisasi BCG pada anak yang kontak serumah dengan penderita TB BTA (+).

1.6. Manfaat Penelitian

Umum: Untuk mengetahui efektifitas imunisasi BCG pada anak umur 3 bulan-16 tahun yang kontak serumah dengan penderita tuberkulosis BTA (+).

Khusus:

1. Masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Simeuleu agar program penanggulangan TB diprioritaskan dengan menemukan sedini mungkin penderita TB BTA (+).

2. Mengoptimalkan kinerja petugas TB untuk mengawasi terus menerus penderita TB dalam masa pengobatan agar menyelesaikan pengobatan dengan sempurna sesuai Pedoman Nasional penanggulangan TB rekomendasi Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

3. Anak yang terinfeksi TB pada penelitian ini harus segera di obati, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kontak serumah dengan penderita Tuberkulosis

Anak kontak serumah dengan penderita TB BTA (+) memiliki peran khusus, pada pengertian epidemik TB dalam suatu komunitas (Starke, 2003; Soysal Ahmed et al, 2005). Secara teoritis indikator epidemiologis paling akurat adalah infeksi. Keadaan ini merefleksikan penularan berkepanjangan dalam suatu komunitas. Sayangnya, sangat tidak praktis mengukur insiden infeksi karena memerlukan survei besar-besaran, dan biaya mahal sehingga perlu variabel epidemiologi yang dapat dipakai untuk menilai situasi tuberkulosis (Soemirat, 1999). Tuberkulosis Surveilance Research Unit (TSRU) menemukan indikator epidemiologis sederhana dan dapat dipercaya, dikenal dengan rate of infection (risiko infeksi). Indikator ini dapat menilai situasi tuberkulosis di suatu daerah atau negara, disebut juga Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI). Cara lain perkiraan risiko infeksi TB dapat diperoleh dari survei tuberkulin. Survei tuberkulin dilakukan dengan mengukur prevalensi infeksi (Achmadi, 2005). Walaupun cakupan imunisasi BCG besar, infeksi

Mycobacterium tuberculosis lingkungan sekitar akan menyulitkan kita menentukan prevalensi infeksi (Starke, 1983; Depkes 2002).


(25)

2.2. Imunisasi BCG

Vaksin BCG adalah vaksin hidup, dibuat dari M. bovis yang dibiakkan berulang kali selama 1-3 tahun sehingga didapat basil tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,05 ml untuk bayi atau 0,1 ml untuk anak (Aditama, 1994; Starke, 2003; Rahajoe, 2005).

Berdasarkan latar belakang kondisi negara kita, meskipun belum membuktikan efikasi imunisasi BCG secara konsisten, hingga saat sekarang imunisasi ini masih efektif dan aman diberikan. BCG merupakan salah satu upaya dari berbagai upaya penanggulangan TB. Deteksi dan tata laksana adekuat TB anak merupakan upaya yang sangat diperlukan (Rahajoe, 2005).

Imunisasi BCG di Indonesia dimulai sejak tahun 1973, diberikan pada semua bayi sebagai salah satu program imunisasi dasar. Sebaiknya diberikan pada umur ≤ 2 bulan. PP IDAI menganjurkan pemberian secara intradermal di daerah insersio otot deltoid kanan, sehingga bila terjadi limfadenitis di aksila lebih mudah terdeteksi (Starke, 2003; Rahajoe, 2005).

Imunisasi BCG untuk mencegah infeksi TB sudah bertahun-tahun dilakukan. Dampak morbiditas penyakit sulit ditentukan karena imunisasi BCG diberikan pada anak di negara berkembang dimana kejadian infeksi TB pada orang dewasa masih tinggi yang merupakan sumber penularan utama pada anak. Anak yang sudah diimunisasi BCG diharapkan tidak akan mendapat komplikasi TB berat (Rahajoe, 2005).


(26)

2.3. Uji Mantoux

Pada tahun 1890 Koch menemukan, apabila basil tuberkulosis mati disuntikkan pada kulit binatang akan menyebabkan reaksi radang pada tempat suntikan. Mantoux menyimpulkan, respon terhadap uji tersebut berhubungan secara kuantitatif dengan kekuatan tuberkulin yang dipakai (Aditama, 1994; Small, 2000; Starke, 2003; Rahajoe, 2005). Uji Mantoux adalah salah satu uji tuberkulin intra dermal, akan menimbulkan reaksi delayed hypersensitivity terhadap tuberkuloprotein akibat infeksi tuberkulosis dan erat hubungannya dengan mekanisme imunitas seluler di dalam tubuh. Reaksi ini bersifat lambat timbul 24 jam setelah kontak dengan tuberkuloprotein, berupa infiltrasi sel-sel radang. Dilakukan untuk mendeteksi infeksi

M. tuberculosis, hasil imunisasi BCG, mengetahui prevalensi dan insiden infeksi TB (Small, 2000; Starke, 2003). Walaupun uji ini tidak sensitif dan spesifik 100% masih tetap digunakan karena belum ada metode pengganti yang lebih baik. Manifestasi yang timbul setelah 6-12 jam penyuntikan adalah delayed hypersensitivity klasik. Reaksi ini merupakan reaksi lokal berupa eritema karena vasodilatasi primer, edema karena reaksi antigen-antibodi, indurasi dibentuk oleh sel-sel mononukleus dan sering disertai rasa gatal, juga bisa nyeri saat disentuh (Small, 2000; Starke, 2003). Antara 12-72 jam sel netrofil terus menurun, sebaliknya monosit akan meningkat sampai dengan 72 jam. Sel monosit terdiri dari 80%-90% limfosit dan 10%-20% sel makrofag (Roitt Ivan, 2003). Kemungkinan terjadi peningkatan antibodi di peredaran darah, sehingga timbul aggregasi antigen-antibodi (Sajarwa, 1983).


(27)

Uji kulit lain seperti Multiple puncture tests lebih menyenangkan dan gampang dilakukan, uji kulit ini merupakan uji saring kualitatif (qualitatif screening tests). Uji kulit Heaf sudah banyak ditinggalkan (Ehlers.WRM, 1995; Hopewell CP, Bloom,RB, 2000). Uji kulit Mantoux lebih dapat dipercaya dan dipakai hampir pada seluruh kegiatan epidemi TB (Starke, 2003; Small, 2000; Rahajoe, 2005). Ada dua jenis tuberkulin digunakan pada uji Mantoux yaitu Old Tuberkulin (OT) dan Purified Protein Derivative (PPD). PPD mengandung Tween 80 + Khinosol sehingga dapat digunakan setiap saat. OT tidak dapat dipakai berulang kali bila telah diencerkan. PPD yang sering dipakai yaitu PPD-S (Seibert) dan PPD-RT 23 (Renset 23). Kekuatan dari tuberkulin dinyatakan dalam International Tuberkulin Unit atau TU, 1 TU = 0,01 mg OT atau 0,00002 mg PPD. Dosis baku uji Mantoux adalah, 0,1 ml PPD S (kekuatan 5 TU atau 10 TU) atau PPD-RT 23 (kekuatan 2 TU atau 5 TU) atau OT (kekuatan 1/2000 atau 1/1000) dengan kekuatan intermediate. Suntikkan intradermal dilakukan pada bagian sentral volar lengan bawah kiri menggunakan satu syringe plastik dan jarum pendek berukuran 26 atau 27 G yang dimiringkan ke arah atas. Pada saat suntikan akan timbul benjolan berwarna putih berdiameter 6-10 mm. Reaksi tuberkulin mulai terjadi 5-6 jam sesudah penyuntikan, maksimal indurasi terjadi 48-72 jam sehingga pembacaan dilakukan pada 48-72 jam. Reaksi hipersensitifitas cepat akibat tuberkulin atau pengencernya bisa terjadi, reaksi ini akan hilang dalam 24 jam (Small, 2000; Starke, 2003; Rahajoe, 2005).

Interpretasi hasil uji Mantoux dapat berupa reaksi positif dan negatif palsu. Keadaan ini berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitas sebagai nilai duga bagi


(28)

uji Mantoux (Madiyono, 2002). Sensitivitas adalah persentase populasi hasil uji positif, mampu untuk mengenali secara benar orang terinfeksi. Spesifisitas adalah persentase populasi dengan hasil uji negatif, mampu mengenali secara benar orang yang tidak terinfeksi (Madiyono, 2002). Sensitivitas tinggi apabila hasil uji Mantoux negatif semuanya, sedangkan positif semu mengurangi spesifisitas uji tersebut (Madiyono, 2002).

Reaksi positif palsu terjadi pada :

a) Individu yang terinfeksi oleh Mycobacterium lain seperti imunisasi dengan BCG. b) Infeksi silang dengan M. Atipik.

Reaksi negatif palsu terjadi pada :

a. Kondisi individu saat dilakukan uji Mantoux : 1. Infeksi :

1.1. Virus : Mumps, Varicella, Rubella, Morbilli, HIV. 1.2. Bakteri : Typhus abdominalis, Pertusis, Bruselosis. 1.3. Jamur : Blastomycosis.

2. Gangguan metabolisme (gagal ginjal kronik).

3. Penyakit yang berhubungan dengan organ limfoid (penyakit Hodgkin, Limfoma, Leukemia kronik, dan Sarkoidosis).

4. Obat-obatan (kortikosteroid, obat imunosupresif), umur (baru lahir), bedah, luka bakar, penyakit mental, reaksi graft-versus-host).

5. Malnutrisi berat.


(29)

b. Tuberkulin yang dipakai :

Penyimpanan tidak memadai (terpapar sinar dan panas), pengenceran tidak tepat, kontaminasi bakteri, dan absorpsi tuberkuloprotein ke dinding wadah.

c. Metode pemberian :

Penyuntikan antigen (tuberkulin) terlalu sedikit, suntikan secara subkutan, menunda pemberian terlalu lama sesudah dimasukkan ke semprit.

d. Pembacaan dan pencatatan hasil uji Mantoux :

Pembacaan hasil uji Mantoux dilakukan orang yang belum berpengalaman, bias yang disadari atau tidak, dan kesalahan pencatatan (Small, 2000; Starke, 2003).

Dalam setiap populasi keberadaan hasil uji Mantoux positif apakah mewakili

true infection atau tidak, dihubungkan dengan prevalensi infeksi M. tuberculosis. Spesifikasi uji Mantoux 99% dalam populasi tanpa ada paparan dengan

Mycobacterium lain atau imunisasi BCG. Spesifikasi menurun menjadi 95% populasi yang memiliki reaksi silang dengan Mycobacterium lain (Small, 2000; Starke, 2003).

Interpretasi hasil uji Mantoux yang layak diterima membutuhkan pengetahuan yang cukup mengenai faktor-faktor perancu seperti imunisasi BCG yang sudah dilakukan sebelumnya. Ini penting, terutama pada negara-negara yang tinggi prevalensi TB nya dan dimana BCG masih merupakan imunisasi rutin diberikan. Telah dilaporkan individu dengan imunisasi BCG, memiliki hasil uji Mantoux positif bervariasi dari 0% sampai 80%. Beberapa laporan terakhir menyatakan imunisasi BCG pada masa bayi tidak memberi kontribusi respon PPD yang positif. Apabila


(30)

imunisasi BCG diberikan pada masa anak atau umur lebih besar bisa menghasilkan uji Mantoux yang positif (Rahajoe, 2005).

2.4. Respon Imunologi terhadap M. tuberculosis

Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T CD4 dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang dikeluarkan M.tuberculosis, limposit-T CD4 mempengaruhi limposit-T Th1 untuk mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF dan INF γ. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD4 memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya nitrogen oksida dan interleukin-2 (Matondang, 2001). Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh TNF α dan INF γ untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh M. tuberculosis virulen (Musa, 1997). Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan menghancurkan basil TB terutama pada jumlah basil sedikit. Kemampuan membunuh M. tuberculosis juga tergantung jumlah makrofag setempat yang aktif (Rahajoe, 2005).

Hipersensitivitas tipe lambat merupakan respon imun seluler, terjadi peningkatan aktifitas limposit-T CD4 dan limposit-T CD8 sitotoksik dan sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan sekitar dan perkijuan.


(31)

M. tuberculosis menjadi dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan parut. Proses ini merugikan tubuh, karena M. tuberculosis dapat keluar dari pinggir daerah nekrosis dan membentuk hipersensitivitas tipe lambat kemudian difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila makrofag belum diaktifkan oleh imunitas seluler, maka

M. tuberculosis dapat tumbuh dalam makrofag sampai hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah nekrosis. Pada saat ini imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh basil dan mencegah perkembangan penyakit. Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan (Starke, 2003; Rahajoe, 2005).

Apabila M. tuberculosis masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan dihancurkan di tempat yang baru dan terbentuk tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap antigen yang dihasilkan M. tuberculosis pada limposit-T di darah dan jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan aktifasi makrofag dan destruksi

M. tuberculosis lebih cepat. Tuberkel yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan minimal, cepat sembuh dan dapat terjadi penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringan lain (Aditama, 1994; Rahajoe, 2005).

Tujuan imunisasi BCG diharapkan infeksi primer oleh M. tuberculosis yang potensial berbahaya diganti dengan infeksi BCG yang tidak berbahaya, oleh karena timbul aktifasi imunitas seluler terhadap M. tuberculosis. Anak sudah mendapat imunisasi BCG terinfeksi oleh M. tuberculosis maka sel limposit-T memori segera berproliferasi, berdiferensiasi, mengaktifkan makrofag dan memproduksi sitokin. Sitokin akan meningkatkan kemampuan makrofag dalam mekanisme mikrobisida dan


(32)

telah dibuktikan bahwa sitokin ini mampu menghambat pertumbuhan basil, membunuh basil dan menghambat mobilitas makrofag yang terinfeksi sehingga tidak terjadi penyebaran infeksi secara hematogen. Dengan demikian respon limposit-T ini meningkatkan perlindungan terhadap penyebaran sistemik (Starke, 2003; Rahajoe, 2005).


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah Observasional cross sectional analitik. 3.1.1. Kriteria inklusi :

1. Bayi berumur 3 bulan – anak 16 tahun yang kontak serumah dengan penderita TB BTA (+) yang mendapat pengobatan dengan OAT.

2. Bersedia mengikuti sampai akhir penelitian, dengan mengisi surat persetujuan.

3.1.2. Kriteria eksklusi : 1. Gizi buruk

2. Tifus abdominalis 3. Campak (morbilli) 4. Gondongan (mumps)

5. Tuberkulosis berat : Meningitis Tuberkulosis dan Tuberkulosis milier 6. Batuk rejan

7. sedang mendapat pengobatan dengan obat kortikosteroid ataupun obat imunosupresif lainnya.

8. Menderita penyakit keganasan seperti limfoma Hodgkin dan limfoma non Hodgkin.


(34)

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Simeuleu Timur, Kecamatan Simeulue Tengah, Kecamatan Simeulue Barat dan Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeuleu, Prov. Nanggroe Aceh Darussalam. Penelitian dilakukan mulai bulan Agustus 2007 – Januari 2008 terhadap penderita TB dengan OAT tahun 2005, 2006 dan 2007.

3.3. Perkiraan Besar Sampel (Sudigdo, 2002)

Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue, diperoleh jumlah wanita usia subur di kab. Simeulue sebanyak 13566 orang, jumlah anak laki-laki dan perempuan usia < 1 – 16 tahun sebanyak 35313 orang. Sehingga rata-rata jumlah anak yang dimiliki setiap KK adalah 3 orang ( 35313 : 13566 = 2,6, dibulatkan jadi 3 ). Jumlah penderita TB yang mendapat pengobatan dengan OAT pada tahun 2005, 2006, dan 2007 sebanyak 174 orang. Populasi anak yang berisiko terinfeksi TB: 174 penderita TB x 3 = 522 orang. Perkiraan besar sampel ditentukan dengan formula Slovin.

n = 2

e N 1

N +

n = 2

) 1 , 0 ( 522 1 522 + = 22 , 5 1 522 + = 22 , 6 522 = 83.


(35)

n = jumlah subjek

N = perkiraan populasi anak yang berisiko terinfeksi TB e = margin error = 10 %.

Dari rumus di atas didapatkan besar sampel sebanyak 83 orang.

3.4. Definisi Operasional

1. Anak kontak serumah (kontak erat) : anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru BTA (+) dalam waktu 3 bulan.

2. Umur sampel ditetapkan berdasarkan umur kalender.

3. Status imunisasi BCG ditentukan dengan scar atau KMS, bila scar tidak di jumpai tetapi tertera dalam KMS, imunisasi BCG dianggap telah diberikan. 4. Hasil uji Mantoux (+) apabila diameter indurasi ≥ 10 mm dan (−) apabila

0-4 mm. Indurasi 5-9 mm hasil meragukan dan harus diulang 2 minggu kemudian, untuk menghindari efek booster. Anak di bawah umur 5 tahun di imunisasi BCG hasil uji Mantoux (+) apabila diameter indurasi ≥ 15 mm dan jika tidak diimunisasi, uji Mantoux apabila (+) indurasi ≥ 10 mm (Rahajoe, 2005).

5. Status nutrisi anak diklasifikasikan menjadi gizi baik, sedang, kurang atau buruk berdasarkan pemeriksaan antropometri (Depkes, 1991).

6. Pengukuran antropometri adalah pengukuran berbagai variasi ukuran fisik dan komposisi kasar tubuh manusia pada berbagai tingkat umur dan status nutrisi yang berbeda (Depkes, 1991).


(36)

7. Penderita TB ditetapkan dengan pemeriksaan mikroskopis BTA (+), menggunakan skala IUATLD (Depkes, 2002).

8. Jumlah penghuni:

Jumlah penghuni dalam rumah tempat tinggal, berdasarkan rumus jumlah penghuni/luas bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10 m² per orang (Depkes, 2003; Achmadi, 2005).

9. Ventilasi baik, apabila dijumpai ukuran jendela 10% dari luas permukaan lantai dan berfungsi dengan baik sebagai tempat sirkulasi udara (Depkes, 1999; Achmadi, 2005).

10.Pendidikan orang tua/wali:

a. SD apabila pernah duduk dan atau tamat SD. b. SMP apabila pernah duduk dan atau tamat SMP. c. SMA apabilla pernah duduk dan atau tamat SMA.

d. Sarjana apabila pernah duduk atau tamat perguruan tinggi. 11.Penghasilan:

Jumlah/gaji yang didapat oleh keluarga tersebut dalam satu bulan (Badan Pusat Statistik)


(37)

3.5. Kerangka Kerja

Kriteria Eksklusi

Uji Mantoux

Imunisasi BCG (+) Imunisasi BCG (−)

Kriteria Inklusi

Gambar 2. Kerangka Kerja

3.6. Cara Kerja

1. Sampel diperoleh dari 174 penderita TB dewasa BTA (+) yang mendapat pengobatan dengan OAT di RSUD Simeulue. Anak umur 3 bulan-16 tahun kontak serumah dengan penderita diambil sebagai sampel.

2. Data dasar sampel dicatat seperti nama, umur, jenis kelamin dan status imunisasi. Sampel didatangi langsung oleh peneliti dan petugas TB RSUD Simeulue, diberi pengarahan maksud penelitian. Keluarga yang setuju mengisi surat persetujuan dan bersedia mengikuti sampai akhir penelitian.

3. Terhadap sampel dilakukan uji Mantoux memakai PPD RT-23 kekuatan 2 TU buatan Biofarma Bandung dengan dosis 0,1 ml, memakai semprit tuberkulin 27 G, secara intradermal di permukaan sentral volar tangan kiri bawah. Khusus bayi yang akan dilakukan uji Mantoux digendong, dipegang lengan kirinya dengan kuat oleh pembantu peneliti. Daerah suntikan dibersihan dengan kapas yang


(38)

sudah dibasahi dengan air bersih, lalu dilakukan penyuntikan intradermal dengan memakai PPD RT 23 kekuatan 2 TU sebanyak 0,1 ml, memakai semprit tuberkulin 27 G. Suntikan dilakukan secara intradermal. Dengan perlahan-lahan jarum ditusukkan pada kulit, setelah tepat intradermal posisi jarum suntik dibuat sejajar dengan pemukaan kulit dengan sedikit didorong. Apabila suntikan dilakukan dengan benar telihat kulit membengkak berwarna kepucatan dengan diameter 6-10 mm. Pada waktu menyuntik anak berikutnya semprit dan jarum diganti dengan yang baru (Rahajoe, 2005).

4. Pembacaan hasil uji mantoux dilakukan setelah 48-72 jam oleh peneliti sendiri dengan mengukur indurasi melintang (bukan eritema) di bawah sinar yang terang. Hasil uji Mantoux dinyatakan dalam milimeter. Penentuan hasil positif pada anak yang sudah diimunisasi BCG bila indurasi ≥ 15 mm, pada anak yang belum diimunisasi BCG indurasi ≥ 10. Bila timbul bulla atau vesikel dicatat.

3.7. Variabel yang diamati

Variabel bebas : jenis kelamin, umur, imunisasi, ventilasi, jumlah penghuni dalam rumah, penghasilan keluarga, pendidikan ayah dan pendidikan ibu.


(39)

3.8. Analisa Data

Data dikumpul dan disajikan secara kualitatif, diuji dengan menggunakan uji kai-kuadrat (uji X²), nilai p < 0,05 dinyatakan bermakna (signifikan). Untuk melihat perbedaan uji mantoux pada anak umur 3 bulan-16 tahun, yang sudah diimunisasi dan tidak imunisasi BCG.

Analisa data dilakukan dengan membandingkan jenis kelamin, umur, imunisasi, ventilasi, jumlah penghuni dalam rumah, jumlah penghasilan keluarga, pendidikan ayah, pendidikan ibu dengan menggunakan program SPSS (Statistical Package Solution & Services) versi 15.


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari 201 penderita TB BTA (+) dewasa yang mendapat pengobatan dengan OAT didapat sampel penelitian 205 orang berumur 3 bulan – 16 tahun kontak serumah. Jenis kelamin perempuan sebanyak 103 orang (50,2%). Kelompok umur paling banyak adalah kelompok umur >5 tahun sebanyak 131 orang (63,9%). Anak yang tidak diimunisasi BCG 149 orang (72,7%). Anak yang tinggal pada rumah berventilasi 114 orang (55,6%). Anak yang tinggal serumah dengan penghuni ≤ 5 sebanyak 122 orang (59,5%). Anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan ≤ Rp 500.000 sebanyak 169 orang (82,4%). Anak yang mempunyai ayah berpendidikan rendah (SD dan SMP) 156 orang (76,1%), dan ibu berpendidikan rendah 181 orang (88,2%) (tabel 1).


(41)

Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian

Karakteristik n %

1. Jenis kelamin

Laki-laki 102 49,8

Perempuan 103 50,2

2. Kelompok umur

≤ 5 74 36,1

> 5 131 63,9

3. Imunisasi

Tidak BCG 149 72,7

Telah BCG 56 27,3

4. Ventilasi

Ada 114 55,6

Tidak ada 91 44,4

5. Jumlah penghuni

≤ 5 122 59,5

> 5 83 40,5

6. Penghasilan

≤ 200.000 38 18,5

201.000 – 300.000 80 39,0

301.000 – 400.000 19 9,3

401.000 – 500.000 32 15,6

501.000 – 600.000 4 2,0

601.000 – 700.000 15 7,3

≥ 701.000 17 8,3

7. Pendidikan

Ayah

SD 77 37,6

SMP 79 38,5

SMA 41 20,0

Sarjana 8 3,9

Ibu

SD 103 50,2

SMP 78 38,0

SMA 20 9,8


(42)

Tabel 2. Distribusi Uji Mantoux menurut jenis kelamin dan kelompok umur

Mantoux ()

Mantoux

(+) Total

n % n % n % P

Jenis kelamin

Laki-laki 59 51,3 43 47,8 102 49,8 0,616

Perempuan 56 48,7 47 52,2 103 50,2

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Kelompok umur

≤ 5 45 39,1 29 32,2 74 36,1 0,379

> 5 70 60,9 61 67,8 131 63,9

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Dari Tabel 2, jenis kelamin dan kelompok umur tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Tabel 3. Distribusi Uji Mantoux menurut status imunisasi

Mantoux ()

Mantoux

(+) Total

n % n % n % P

Status imunisasi

Telah BCG 33 28,7 23 25,6 56 27,3 0,617

Tidak BCG 82 71,3 67 74,4 149 72,7

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Dari Tabel 3, status imunisasi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.


(43)

Tabel 4. Distribusi Uji Mantoux menurut ventilasi dan jumlah penghuni

Mantoux ()

Mantoux

(+) Total

n % n % n % P

Ventilasi

Ada 61 53,0 53 58,9 114 55,6 0,403

Tidak ada 54 47,0 37 41,1 91 44,4

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Jumlah penghuni

≤ 5 64 55,7 58 64,4 122 59,5 0,203

> 5 51 44,3 32 35,6 83 40,5

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Dari Tabel 4, ventilasi dan jumlah penghuni tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.

Tabel 5. Distribusi Uji Mantoux menurut penghasilan

Mantoux ()

Mantoux

(+) Total

n % n % n % P

Penghasilan

≤ 200.000 17 14,8 21 23,3 38 18,5

201.000 – 300.000 36 31,3 44 48,9 80 39,0 301.000 – 400.000 12 10,4 7 7,8 19 9,3

401.000 – 500.000 20 17,4 12 13,3 32 15,6 0,004 501.000 – 600.000 3 2,6 1 1,1 4 2,0

601.000 – 700.000 11 9,6 4 4,4 15 7,3

≥ 701.000 16 13,9 1 1,1 17 8,3

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0


(44)

Tabel 6. Distribusi Uji Mantoux menurut pendidikan orangtua

Mantoux ()

Mantoux

(+) Total

n % n % n % P

Pendidikan Ayah

SD 35 30,4 42 46,7 77 37,6

SMP 44 38,3 35 38,9 79 38,5

SMA 28 24,3 13 14,4 41 20,0 0,006

Sarjana 8 7,0 0 0 8 3,9

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Pendidikan Ibu

SD 43 37,4 60 66,7 103 50,2

SMP 52 45,2 26 28,9 78 38,0 0,000

SMA 16 13,9 4 4,4 20 9,8

Sarjana 4 3,5 0 0 4 2,0

Total 115 100,0 90 100,0 205 100,0

Dari Tabel 6, pendidikan ayah dan ibu menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik.


(45)

4.2. Pembahasan

Penyakit TB bisa mengenai siapa saja, baik dewasa maupun anak. Anak mendapat penularan dari penderita TB dewasa melalui riwayat kontak serumah. Pada penelitian ini, dari 201 penderita TB BTA (+), ditemukan 205 anak yang punya riwayat kontak serumah, sembilan puluh anak hasil uji Mantoux positif (46,34%). Sanchez-Albisua dan kawan-kawan melakukan penelitian terhadap TB pada 2 dekade yang berbeda (1978-1987 dan 1988-1997) menemukan bahwa penderita TB dewasa sebagai sumber infeksi pada anak masih tinggi yaitu 67,1% pada dekade pertama dan 58,3% pada dekade kedua. Sushama Bai dan Lekshmi Devi melaporkan 52% dari semua infeksi TB anak mempunyai riwayat kontak dengan penderita TB dewasa. Sehingga penting melakukan pelacakkan anak-anak yang kontak serumah dengan penderita TB BTA (+), apabila ditemui salah satu anggota keluarga dewasa menderita TB (Crofton, J, 2002).

Riwayat kontak pada penelitian ini berasal dari penderita TB BTA (+) yang kontak serumah. Semua anak yang ikut penelitian ini punya riwayat kontak dengan penderita TB BTA (+) dengan hasil uji Mantoux positif 46,34%.

Pada penelitian ini kelompok umur > 5 tahun (63,9%) paling banyak terinfeksi

M.tuberculosis. Umur anak ≤ 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami infeksi TB karena imunitas selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, risiko ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan umur. Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TB, 43% akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak umur 1-5 tahun, yang menjadi sakit 24%. Anak < 5 tahun memiliki risiko lebih tinggi


(46)

mengalami TB Diseminata (seperti TB Milier dan TB Meninggitis), dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya progresivitas TB adalah pada dua tahun pertama setelah infeksi. Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB sangat singkat dan biasanya timbul gejala yang akut (Fine PEM, dkk, 1989, Small, 2000; Starke, 2003). Rahajoe (2005) menemukan kelompok umur terbanyak terinfeksi M.tuberculosis adalah 5-12 tahun (38,1%).

Jenis kelamin perempuan pada banyak penelitian lebih rentan terhadap penyakit infeksi tanpa menyebutkan alasan kenapa hal ini terjadi. Pada penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik. Pada anak umur 5-14 tahun angka kejadian infeksi TB mempunyai perbandingan yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan (Fine PEM, dkk, 1989, Small, 2000; Starke, 2003).

Upaya untuk mencegah infeksi TB, menghindari kontak dengan penderita TB BTA (+), pemberian isoniazid pada anggota keluarga yang serumah dan imunisasi BCG ( Sushama Bai, 2002, dan Colditz GA, dkk, 1995), serta penemuan dan pengobatan kasus TB BTA (+) dengan pendekatan DOTS (Colditz GA, dkk, 1995). Pada penelitian ini anak yang telah diimunisasi BCG ternyata bisa terinfeksi

M.tuberculosis. Dari sembilan puluh anak dengan uji Mantoux positif, 23 anak (25,6%) pernah mendapat imunisasi BCG. Ini disebabkan efektifitas BCG untuk memproteksi bayi dan anak dari penyakit TB bervariasi (Rahajoe, 2005).

Dari suatu meta analisis (1966 – 1999) dikatakan bahwa waktu pemberian vaksinasi BCG menjadi hal yang sangat penting. Vaksinasi yang diberikan sesudah


(47)

lewat masa bayi akan memberikan hasil uji Mantoux (menggunakan PPD kekuatan 5 TU) positif dua kali lebih besar dibandingkan bila pemberian dilakukan pada saat lahir (Menzies R, Vissanjee B, 1992 ).

Penelitian di Quebec menyatakan bahwa imunisasi BCG yang dilakukan pada masa bayi tidak menghasilkan respon uji Mantoux yang positif, tetapi bila BCG diberikan pada masa 2-5 tahun dan ≥ 6 tahun akan menghasilkan uji Mantoux yang positif (Migliori BG, Raviglione CM, 1997).

Faktor usia pada saat pemberian imunisasi BCG memiliki pengaruh penting penentu utama reaktivitas tuberkulin, terutama bila diberikan pada usia tua. Menzies menyatakan orang-orang yang di uji Mantoux yang sudah mendapat imunisasi BCG sebelumnya, prioritas pertama adalah menentukan usia saat di imunisasi BCG (Migliori BG, Raviglione CM, 1997). Reaksi uji Mantoux positif akibat infeksi

M.tuberculosis lebih sering didapati pada anak yang tinggal berdekatan dengan sumber penularan dibandingkan uji Mantoux positif karena reaksi silang (Manuhutu, 1981).

Edwards, Palmer, Magnus (1953) telah mengadakan penyelidikan uji Mantoux sebelum vaksinasi, guna menilai naturally acquired tuberculin sensitivity. Dari penyelidikan mereka, didapatkan 3 golongan:

1. kelompok yang memberikan reaksi berupa alergi derajat tinggi terhadap uji Mantoux yang disebabkan oleh infeksi M.tuberculosis.

2. kelompok yang memberikan reaksi berupa alergi derajat rendah, dimana penyebarannya berhubungan dengan daerah.


(48)

3. kelompok yang memberikan reaksi berupa alergi derajat kecil, yang tidak disebabkan oleh infeksi M.tuberculosis ( Manuhutu, 1981).

World Health Organization Tuberculosis Research Office pada tahun 1955, telah mengadakan penyelidikan tentang naturally acquired tuberculin sensitivity, di 7 negara didaerah tropik diantaranya di Indonesia, mendapatkan adanya alergi uji Mantoux derajat rendah. Nyboe (1960) mengadakan penyelidikan naturally acquired tuberculin sensitivity di 33 negara dan mendapatkan hasil berupa histogram bentuk bipartite dan histogram bentuk non bipartite. Perbedaan antara kedua histogram ini adalah:

Histogram Bipartite :

1. dapat terlihat golongan reaktor dan non-reaktor terpisah dengan jelas 2. tidak terdapat alergi uji Mantoux derajat rendah

3. umumnya ditemukan pada negara-negara subtropik. Histogram Non-Bipartite:

1. tidak dapat dipisahkan golongan reaktor dan non-reaktor 2. terdapat alergi uji mantoux derajat rendah

3. sering dijumpai pada negara-negara tropis.

Bleiker (1969) menyatakan bahwa alergi tuberkulin derajat rendah akan memberi hasil reaksi berupa indurasi antara 6-12 mm dengan dosis rendah PPD berkekuatan 2 TU. Dijelaskan bahwa alergi uji Mantoux derajat rendah menunjukkan reaksi fisiologis terhadap M.tuberculosis atau reaksi silang (cross reaction) dengan reaksi non spesifik yaitu golongan M.Atipik.


(49)

Ventilasi, berhubungan dengan kondisi perumahan, dimana faktor risiko infeksi TB pada anak tinggi karena transmisi kuman dari orang dewasa ke anak lebih tinggi pada tempat tinggal yang tidak mempunyai ventilasi dimana sirkulasi udara tidak baik (Achmadi; 2005). Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman TBC dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultra violet. Supriyono (2003) menemukan resiko untuk terkena TB 9,2 kali lebih tinggi pada penghuni yang memiliki ventilasi tidak baik. Dari penelitian ini tidak didapati adanya hubungan antara ventilasi dengan uji Mantoux dimana hasil penelitian memperlihatkan rumah tidak punya ventilasi dengan uji mantoux positif 37 anak (41,1%), sedang rumah ada ventilasi uji Mantoux positif 53 anak (58,9%). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Shidartani (2006) yang mendapatkan 80% anak yang menderita TB mempunyai rumah yang tidak berventilasi, sehingga menyebabkan M.tuberculosis lebih mudah menular.

Kepadatan merupakan pre-requisit untuk proses penularan penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat (Achmadi, 2005). Penelitian di Ciampea, Jawa Barat, menunjukkan bahwa risiko untuk mendapatkan TB 1,3 kali lebih tinggi pada rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Dari sembilan puluh anak dengan uji Mantoux positif tidak didapat hubungan antara jumlah penghuni dengan uji Mantoux positif karena pada rumah dengan jumlah penghuni ≤ dari 5 orang, uji Mantoux positif 32 (35,6%), sedang rumah dengan jumlah penghuni ≥ 5 orang, uji Mantoux positif 58 (64,4%). Menurut keterangan, satu tahun terakhir pasca gempa dan tsunami 2004,


(50)

hampir seluruh masyarakat mendapat rumah bantuan dari BRR (Badan Rehabitasi dan Rekontruksi) serta donatur asing sehingga setiap keluarga inti memiliki satu rumah yang representatif sebagai rumah sehat dengan ventilasi yang cukup. Sebelumnya mereka tinggal bersama dalam satu rumah dengan keluarga inti yang lain, sehingga jumlah penghuni dalam satu rumah minimal mencapai 7-11 orang.

Dari sembilan puluh anak dengan hasil uji Mantoux positif, 84 anak berasal dari keluarga dengan penghasilan ≤ Rp.500.000 per bulan (93,3%). Hal ini sangat mungkin karena keluarga berpenghasilan rendah sering mengalami malnutrisi protein dan kalori sehingga respon tubuh terhadap infeksi TB rendah. Shidartani (2006) mendapatkan keluarga berpenghasilan rendah (38%) lebih mudah terinfeksi TB namun tidak menyebut angka berapa untuk kategori rendah, sedang dan tinggi. Dari penelitian ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik antara jumlah penghasilan yang rendah dengan hasil uji Mantoux yang positif.

Dari sembilan puluh anak dengan uji Mantoux positif, ayah berpendidikan rendah (SD dan SMP) 77 (85,6%), dan ibu berpendidikan rendah 86 (95,6%). Dari penelitian Fahhruda (1999) didapat bahwa tingkat pengetahuan yang rendah akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menerima informasi tentang penyakit. Kurang pengetahuan tentang penyakit menyebabkan kurang pengertian penderita terhadap penyakit.

Dari penelitian ini yang terlihat bermakna adalah jumlah penghasilan keluarga yang rendah ≤ 500.000 perbulan dan pendidikan ibu yang rendah.


(51)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Anak yang tinggal serumah dengan penderita TB BTA (+) bisa terinfeksi TB (46,34%). Dari sembilan puluh anak dengan hasil uji Mantoux positif, dua puluh tiga anak (25,6%) sudah pernah di imunisasi BCG.

Penghasilan keluarga yang rendah (93,3%), menyebabkan anak malnutrisi kalori dan protein, tingkat pendidikan ayah yang rendah (85,6%) dan ibu (95,6%) menyebabkan orangtua tidak mengerti bahwa penyakit TB tersebut dapat menular pada keluarganya yang lain sehingga penting baginya untuk segera berobat dan sembuh dari TB.

5.2. Saran

1. Dalam memberantas penularan tuberkulosis di Simeulue, selain mengobati penderita tuberkulosis yang ada, perlu dilakukan penyuluhan terus menerus pada masyarakat tentang pola hidup yang sehat dan bersih, pentingnya ventilasi, imunisasi BCG pada anak dan segera berobat pada sarana kesehatan apabila menjumpai masalah dengan kesehatannya.

2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan, agar dapat dibedakan anak mana yang benar-benar terinfeksi M.tuberculosis dan M.atipik.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, UF, 2005, Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, Jakarta, Penerbit Buku Kompas, hlm 271-288.

Aditama YT, Priyanti., 1994, Tuberkulosis Paru, Masalah dan Penanggulangannya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, hlm 1-105.

Aditama YT, Priyanti., 2005, Diagnsis dan Pengobatan Terbaru, TBC Indonesia: Artikel dan Berita TBC.

Aditama YT, Priyanti., 2006, Laporan mengikuti 37th World Conference Union Againts Tuberculosis and Lung Disease, Paris, France, 31 Oktober – 4 November 2006.

Arifin Fatimah, 2006, Tuberkulosis Pada Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK Unsri/ RSMH Palembang, hlm 1-4.

Bai SS, Devi RL, 2002, Clinical Spectrum of Tuberculosis in BCG vaccinated children, Indian Paedriatrics, 39; page 458-62.

Baratawodjaja, KG., 2006, Imunologi Dasar, Edisi ke-7, Jakarta, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm 305-312.

Crofton, J. ; Horne, N.; Miller, F., Jakarta, 1999, Clinical Tuberculosis, terjemahan, Widya Medika.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2002, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke-8, hlm 1-57.

E. Jawetz, J.L. Melnick & E.A. Adelberg, 1986, Mikobakteria. Dalam : Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan, Editor: Gerard Bnang, Edisi 16, jakarta, ECG, 17, hlm 278-284.

Ehler WRM, 1995, Biology of mycobacterium tuberculosis and the host pathogen relationship.Cremin JB, Janieson HD, Ed.Childhood tuberculosis modern imaging and clinical concepts. Great Britan; Spinger, page 8-18.


(53)

Elzi Luigia, Schlegel Matthias, Webber Rainer, Hirschel Bernard, et al, Chicago, 2007, Reducing Tuberculosis Incidence by Tuberculin Skin Testing, Preventive Treatment and Antiretrovial Therapy in an Area of Low Tuberculosis Transmission, Volume 44, Iss. 1, pg 94.

Fahrudda, A, 2001, Surveilans Epidemiologi Tuberkulosis di Kota Banjarmasin. Pusat studi tuberkulosis, FK-UNLAM. Banjarmasin.

Graham Maryza, Howley Tanya M, Pierce Robert J, Johnson Paul D, 2006, Should medical Student be Routinely Offered BCG Vaccination?, Medical Journal of Australia, Volume 185 Number 6, ProQuest Medical Library, pg 324-326.

Himawan, Sutisna, 1987, Tuberkulosis, dalam Kumpulan Kuliah Patologi, Universitas Indonesia, jakarta, hlm 166-168.

Hasan R, Alatas H, 2000, Tuberkulosis Pada Anak, Buku kuliah ilmu kesehatan anak 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hlm 573-91.

Hopewell CP, Bloom RB, 2000, Tuberculosis and other mycobacterial disease. Ed; Murray FJ, Nadel AJ, Teexbook of respiratory medicine.Edition-3, Philadelphia; Sandeurs, page 1043-1064.

Leman, Martin., 2004, Mengapa Jadwal Imunisasi berbeda-beda, Informasi tentang penyakit dan kesehatan anak dan ibu.

Loebis Sjabaroeddin M., 2006, Allergy Immunologic Diseases in Children, Department of Pedriatics, University of North Sumatera Medical Faculty/ H. Adam Malik Hospital.

Madiyono B, Moeslichan Mz S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto Hari S., 2002, Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi ke-2, Jakarta, hlm 259-286.

Manuhutu EJ., 1981, Suatu tinjauan tentang daya perlindungan vaksin BCG terhadap penyakit tuberculosis. Majalah Kedokteran Indonesia, 31 (9-10): 166-171. Matondang CS, 2001, Aspek Imunolgi Imunisasi, Buku Imunisasi di Indnesia, Edisi

ke-1, Jakarta, Satgas Imunisasi – IDAI, hlm 5-11.

Mangunnegoro Hadiarto, 2002, Tuberkulosis dan HIV, Kumpulan Artikel Tuberkulosis majalah Paru dan Jurnal Respirologi Indonesia, Bagian Pulmonologi FKUI/ RSUP Persahabatan, hlm 56-59.


(54)

Menzies R, Vissanjee B, 1992, Effect of Bacille Calmette Guierin vaccination on tuberculin reactivity. Am Rev Respir DS ; 145: 621-25.

Migliori BG, Raviglion CM, 1997; Population surveillance and prevention strategies for tuberculosis. Switzerland: Anales Nestle : Les Presses de la Venoge S.A; 55: 24-34.

Miller F.J.W, 1982, Tuberculosis in Children Evolution, Epidemiology, Treatment, Prevention, Tuberculin Sensitivity and The Tuberculin Test, pg 18-36.

Musa DA, 1997, Keamanan dan Indikasi Kontra Imunisasi Pada Anak. Tjokronegoro A, Utama H, Strategi pemilihan dan penggunaan vaksin serta antibiotika dalam upaya antisipasi perubahan pola penyakit, naskah lengkap PKB IKA XXXIX, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, hlm 65-75.

N.K. Yangtjik, 2006, Penanganan Tuberkulosis Anak dan Permasalahannya, Kumpulan Artikel Ruberkulosis Majalah Paru dan Jurnal Respirologi Indonesia, Sub bagian Pulmonologi, Bagian Kesehatan Anak, FKUI.

Rahajoe Nastiti N, Basir Darfioes, MS Makmuri, Kartasasmita Cissy B, 2005, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia, hlm 75-77.

Sadjarwa A.M.B., 2002, Perangai Trombosit Terhadab BCG, Kumpulan Artikel Tuberkulosis, Majalah Paru dan Jurnal Respirologi Indonesia, Bagian Paru R.S. Dr. Soedarso, hlm 200-202.

Semiloka Antropometri Indonesia, Ciloto, 3-7 Februari 1991, 1-6.

Sibua, W Herdin, Panggabean Marulam M, Gultom S.P., 1992, Ilmu Penyakit Dalam, Tuberkulosis Paru, jakarta, Kerjasama Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia dengan Rumah Sakit DGI “Tjikini”, hlm 46-52.

Sidhartani M, Laila R.M, 2006, Characteristic of tuberculosis contact of children with pulmonary tuberculosis, Paediatrica Indonesiana, Vol 46, No. 11-12, hal 250-254.

Soemirat, Juli, 1999, Epidemiologi Lingkungan, Wabah Penyakit Menular, Bandung, hlm 24-27.


(55)

55

Soysal Ahmet, Milington Kerry A, Bakir Mustafa, Dosanjh Davinder, et al., 2005, Effect of BCG Vaccination on Risk of Mycobacterium Tuberculosis Infection in Children With Household Tuberculosis Contact: A Prospective Community-based Study, London, Vol. 366, Iss. 9495, pg 1443, 9 pgs.

Small MP, Selcer MU, Tuberculosis. Dalam Strickland TG, Penyunting. Hunters Tropikal Medicine and Emerging Infectious Disease, Edisi ke-8, Philadelphia: W.B Saunders Company 2000, pg 19-41.

Speert PD, Tuberculosis. Dalam: krugmans, Katz LS, Gershon AA, Wilfert MC, penyunting. Infections Disease, Edisi ke-9, St. Louis: Mosby Year books, 1992, pg 551-571.

Starke RJ, Tuberculosis. Dalam: Nelson EW, Berhman ER, Kleigman MR, Arvin, penyunting. Nelson Textbook of Pedriatics, Edisi ke-15, Philadelphia: Saunders, 1995, pg 834-84.

Roitt Ivan, 2003, Hipersensitivitas Tipe Lambat. Dalam: Imunology, Widya Medika, Jakarta, hlm 313-314.

WHO-SEARO. Tuberculosis control in the South-East Asia Region. New Delhi, India: WHO Regional Office for South-East Asia; 2003.


(56)

56

Lampiran 1

JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN, KELOMPOK UMUR, RASIO BEBAN TANGGUNGAN, RASIO JENIS KELAMIN, DAN KECAMATAN

KABUPATEN SIMEULUE TAHUN 2007

JUMLAH PENDUDUK

LAKI-LAKI (TAHUN) PEREMPUAN

NO KECAMATAN JUMLAH

PENDUDUK

<1 1-4 5-14 15-44 45-64 >=65 JUMLAH <1 1-4 5-14 15-44 45-64 >=65 JUMLAH

RASIO BEBAN TANGGUNGAN

RASIO JENIS KELAMIN

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1 Simeulue Timur 27,286 351 1792 3644 4690 1986 966 13429 372 1829 3865 4798 1995 998 13857 102.6 96.9

2 Simeulue Tengah 9,694 123 593 1008 1303 1342 201 4570 140 623 1349 1309 1432 271 5124 109.4 89.2

3 Simeulue Barat 10,350 121 640 1592 2240 227 184 5004 132 653 1900 2075 401 185 5346 76.4 93.6

4 Teupah Selatan 8,949 109 521 1005 1955 853 223 4666 114 595 1009 1402 864 299 4283 97.4 108.9

5 Salang 8,075 95 440 1084 1201 918 216 3954 110 547 1204 1025 946 289 4121 97.7 95.9

6 Teupah Barat 7,178 89 431 989 1078 797 197 3581 101 468 1045 1102 653 228 3597 97.7 99.6

7 Teluk Dalam 6,062 70 322 684 1041 679 98 2894 79 404 981 1038 431 235 3168 79.1 91.4

8 Alafan 4,973 57 291 628 801 541 84 2402 64 315 735 817 320 320 2571 100.6 93.4

JUMLAH 82,567 1015 5030 10634 14309 7343 2169 40500 1112 5434 12088 13566 7042 2825 42067 95.4 96.3

SUMBER : Dinas Kesehatan Kabupaten Simeulue


(57)

Lampiran 3

SURAT PERNYATAAN KESEDIAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : ... Umur : ... Pekerjaan : ... Alamat : ... Adalah orangtua (Ayah/Ibu/Wali) dari :

Nama : ... Jenis Kelamin : ... Umur : ... Alamat : ...

Saya selaku orangtua (Bapak/Ibu/Wali), setelah mempelajari dan mendapat penjelasan yang sejelas-jelasnya mengenai penelitian dengan judul : Perbedaan Hasil Uji Mantoux pada Anak Usia 3 Bulan Sampai 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi dan Belum Imunisasi BCG, dan setelah mengetahui dan menyadari sepenuhnya resiko yang mungkin terjadi, dengan ini saya menyatakan bahwa saya mengizinkan dengan suka rela ANAK SAYA menjadi subyek penelitian tersebut, dengan catatan sewaktu-waktu bisa mengundurkan diri apabila merasa tidak mampu untuk mengikuti penelitian ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Medan, 2007

Yang menyatakan, Pemimpin penelitian

( ) dr. Welldany Siregar Saksi :

Nama : ... : Status : ... Tandatangan : ...


(58)

(59)

(60)

(61)

(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

(68)

Lampiran 5

KUISIONER SURVEI

A. Identitas Sampel

1. Nama :

2. Pendidikan : 3. Jenis Kelamin :

4. Hubungan dengan responden survei : 1. Ayah 2. Ibu 3. Wali B. Identitas Responden Survei

5. Nama :

6. Agama :

7. Pendidikan Ayah : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Sarjana Ibu : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Sarjana 8. Pekerjaan Ayah : 1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pegawai 4. Lain-lain

Ibu : 1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pegawai 4. Lain-lain C. Status Ekonomi

9. Perkiraan rata-rata penghasilan keluarga per bulan, selama 1 tahun terakhir : a. ≤ Rp. 200.000

b. Rp. 201.000 – 300.000 c. Rp. 301.000 – 400.000 d. Rp. 401.000 – 500.000 e. Rp. 500.000 – 600.000 f. Rp. 601.000 – 700.000 g. ≥ Rp. 701.000

D. Kondisi Perumahan

10. Ventilasi dalam rumah : 1. ada 2. tidak ada

11. Jumlah penghuni dalam rumah : 1. 5 orang 2. 7 orang 3. ... E. Kondisi Kesehatan

12. Anggota keluarga yang batuk lama : 1. ada 2. tidak ada 3. ... 13. BCG Scar : 1. ada 2. tidak ada 3. ...


(69)

Lampiran 6

Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia

Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umum (BB/U); Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) dibagi menjadi 4 klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut.

1. Status gizi buruk dengan “batas atas” < -3 Standar Deviasi (SD)

2. Status gizi kurang dengan “batas bawah” ≥ -3 SD dan “batas atas” < -2 SD 3. Status gizi sedang dengan “batas bawah” ≥ -2 SD dan “batas atas” < -1 SD 4. Status gizi baik dengan “batas bawah” ≥ -1 SD


(70)

(1)

(2)

Welldany Siregar: Perbedaan Hasil Uji Mantoux Pada Anak Umur 3 Bulan - 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi Dan Belum Imunisasi BCG, 2008.


(3)

(4)

Lampiran 5

KUISIONER SURVEI

A. Identitas Sampel

1. Nama :

2. Pendidikan : 3. Jenis Kelamin :

4. Hubungan dengan responden survei : 1. Ayah 2. Ibu 3. Wali B. Identitas Responden Survei

5. Nama :

6. Agama :

7. Pendidikan Ayah : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Sarjana Ibu : 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Sarjana 8. Pekerjaan Ayah : 1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pegawai 4. Lain-lain

Ibu : 1. Petani 2. Wiraswasta 3. Pegawai 4. Lain-lain C. Status Ekonomi

9. Perkiraan rata-rata penghasilan keluarga per bulan, selama 1 tahun terakhir : a. ≤ Rp. 200.000

b. Rp. 201.000 – 300.000 c. Rp. 301.000 – 400.000 d. Rp. 401.000 – 500.000 e. Rp. 500.000 – 600.000 f. Rp. 601.000 – 700.000 g. ≥ Rp. 701.000

D. Kondisi Perumahan

10. Ventilasi dalam rumah : 1. ada 2. tidak ada

11. Jumlah penghuni dalam rumah : 1. 5 orang 2. 7 orang 3. ... E. Kondisi Kesehatan

12. Anggota keluarga yang batuk lama : 1. ada 2. tidak ada 3. ... 13. BCG Scar : 1. ada 2. tidak ada 3. ...

50

Welldany Siregar: Perbedaan Hasil Uji Mantoux Pada Anak Umur 3 Bulan - 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi Dan Belum Imunisasi BCG, 2008.


(5)

Lampiran 6

Status gizi berdasarkan hasil dan rekomendasi Semiloka Antropometri di Indonesia

Untuk menentukan klasifikasi status gizi digunakan Z-score sebagai batas ambang. Kategori sesuai dengan klasifikasi status gizi berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umum (BB/U); Panjang Badan menurut Umur atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) dibagi menjadi 4 klasifikasi dengan batas ambang sebagai berikut.

1. Status gizi buruk dengan “batas atas” < -3 Standar Deviasi (SD)

2. Status gizi kurang dengan “batas bawah” ≥ -3 SD dan “batas atas” < -2 SD 3. Status gizi sedang dengan “batas bawah” ≥ -2 SD dan “batas atas” < -1 SD 4. Status gizi baik dengan “batas bawah” ≥ -1 SD


(6)

Welldany Siregar: Perbedaan Hasil Uji Mantoux Pada Anak Umur 3 Bulan - 16 Tahun Yang Kontak Serumah Dengan Penderita Tuberkulosis BTA (+) Yang Telah Diimunisasi Dan Belum Imunisasi BCG, 2008.