Kerangka Teoritis Kerangka Teoritis dan Konseptual

2. Upaya Penanggulangan Masalah kejahatan bukanlah hal yang baru, meskipun tempat dan waktunya berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama.Semakin lama kejahatan di ibu kota dan kota-kota besar lainnya semakin meningkat bahkan dibeberapa daerah dan sampai kekota-kota kecil. Upaya penanggulangan kejahatan telah dilakukan oleh semua pihak ,baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Berbagai program serta kegiatan yang telah dilakukan sambil terus mencari cara yang paling tepat dan efektif dalam mengatasi masalah tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh E.H.Sutherland dan Cressey yang mengemukakan bahwa dalam crime prevention dalam pelaksanaannya ada dua buah metode yang dipakai untuk mengurangi frekuensi dari kejahatan, yaitu : 10 1. Metode untuk mengurangi pengulangan dari kejahatan Merupakan suatu cara yang ditujukan kepada pengurangan jumlah residivis pengulangan kejahatan dengan suatu pembinaan yang dilakukan secara konseptual. 2. Metode untuk mencegah the first crime Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali the first crime yang akan dilakukan oleh seseorang dan metode ini juga dikenal sebagai metode prevention preventif. 10 Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hlm 66 Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat bahwa upaya penanggulangan kejahatan mencakup aktivitas preventif dan sekaligus berupaya untuk memperbaiki perilaku seseorang yang telah dinyatakan bersalah sebagai seorang narapidana di lembaga pemasyarakatan. Dengan kata lain upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan secara preventif dan represif. a. Upaya preventif Penanggulangan kejahatan secara preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya atau timbulnya kejahatan yang pertama kali . Mencegah kejahatan lebih baik daripada mencoba untuk mendidik penjahat menjadi lebih baik kembali, sebagaimana semboyan dalam kriminologi yaitu usaha-usaha memperbaiki penjahat perlu diperhatikan dan diarahkan agar tidak terjadi lagi kejahatan ulangan. Sangat beralasan bila upaya preventif diutamakan karena upaya preventif dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa suatu keahlian khusus dan ekonomis. Barnest dan Teeters menunjukkan beberapa cara untuk menanggulangi kejahatan yaitu: 11 1 Menyadari bahwa akan adanya kebutuhan-kebutuhan untuk mengembangkan dorongan-dorongan sosial atau tekanan-tekanan sosial dan tekanan ekonomi yang dapat mempengaruhi tingkah laku seseorang ke arah perbuatan jahat; 2 Memusatkan perhatian kepada individu-individu yang menunjukkan potensialitas kriminal atau sosial, sekalipun potensialitas tersebut disebabkan gangguan-gangguan biologis dan psikologis atau kurang mendapat kesempatan sosial ekonomis yang cukup baik sehingga dapat merupakan suatu kesatuan yang harmonis. 11 Ibid, hlm 79 Pendapat Barnest dan Teeters tersebut di atas menunjukkan bahwa kejahatan dapat kita tanggulangi apabila keadaan ekonomi atau keadaan lingkungan sosial yang mempengaruhi seseorang ke arah tingkah laku kriminal dapat dikembalikan pada keadaan baik. Dengan kata lain perbaikan keadaan ekonomi mutlak dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja. Berkenaan dengan upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama. Berkenaan dengan hal tersebut Jaksa sebagai lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan terhadap tindak pidana tentunya jaksa sebagai penegak hukum tidak terlepas juga perannya untuk melakukan penanggulangan sejauh ini peran jaksa dalam upaya penanggulangan tindak pidana dapat dilihat dari dalam Pasal 30 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yaitu: 3 Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan: a Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c Pengamanan peredaran barang cetakan; d Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; e Pencegahan penyalahgunaan danatau penodaan agama; f Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik criminal. Bahwa sejauh ini peran jaksa dalam menanggulangi dalam cara preventif yakni sebelum tindak pidana itu terjadi Jaksa sesuai dengan mengadakan penuluhan hukum terhadap masyarakat hal ini tidak terlepas dari Instruksi Jaksa Agung Republik indonesia Nomor : INS-004AJ.A082012 Tentang Pelaksanaan Peningkatan Tugas Penerangan dan Penyuluhan Hukum Program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum adalah sebagai bentuk sosialisasi terhadap masyarakat dan juga dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat itu sendiri. b. Upaya represif Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat , sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat. Membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 lima sub- sistem yaitu sub-sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional. Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan treatment dan penghukuman punishment. Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut ini : 1 Perlakuan treatment Penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya. Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan,yaitu : 12 a Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan; b Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan. Penerapan perlakuan-perlakuan ini ialah tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala, Jadi dapat disimpulkan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai 12 Abdul Syani, Sosiologi Kriminologi, Remaja Karya, 1987 Bandung, hlm 139 upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukan pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah. 2 Penghukuman punishment Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan treatment, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang- undangan dalam hukum pidana. Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin bukan pembalasan dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan. Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani sebagai berikut : 13 “Menyatakan bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat In donesia”. Sistem pemasyarakatan, disamping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi orang yang berguna. 13 Ibid, hlm 141

2. Konseptual

Adapun beberapa konsep yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah: a. Peran adalah merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarkat sebagai organisasi. 14 b. Jaksa adalah adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang- undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. 15 c. Penanggulangan adalah Merupakan satu cara yang ditujukan untuk mencegah terjadinya kejahatan yang pertama kali. 16 d. Tindak Pidana adalah adalah suatu kelakuanhandeling yang diancam pidana, bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung-jawab. 17 e. Kesusilaan adalah perasaan malu yang berhubungan dengan dengan nafsu. 18 f. Remaja adalah merupakan masa peralihan antara masa anak dan masa dewasa yang berjalan antara umur 12 Tashun sampai 21 Tahun. 19 14 Soerjono Soekanto, 2009 Sosiologi SuatuPengantar, Edisi baru, Rajawali Pers, Jakarta 15 Pasal 1 butir 1Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Kejaksaan 16 Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, hlm 66 17 Moeljatno. 1983. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Bandung, hlm 56 18 R Soesilo, 1986, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Serta Komentar- komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm 204 19 http:id.m.wikipedia.orgwikiremaja II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kedudukan dan Tugas Wewenang Kejaksaan sebagai Penegak Hukum

1. Kedudukan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum telah dikenal di Indonesia jauh sebelum masa penjajahan. Meskipun mengalami pergantian nama dan pemerintah, fungsi dan tugas kejaksaan tetap sama yaitu melakukan penuntutan terhadap perkara-perkara kriminal dan bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata. 1 Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain tersebut dipertegas dalam Pasal 38 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Ketentuan mengenai badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara RI, Kejaksaan RI, dan badan- badan lain yang diatur dengan undang-undang.Selanjutnya, Undang-Undang RI 1 Marwan Effendi, 2005, Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Persepektif Hukum, PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. hlm 120 Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 menegaskan bahwa: 1 Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang; 2 Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan secara merdeka; 3 Kejaksaan sebagaimana yang dimaksud pada Ayat 1 adalah satu dan tidak terpisahkan. Mencermati isi Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 diatas, dapat diidentifikasi beberapa hal, yaitu: 1 Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan; 2 Kejaksaan melakukan kekuasaan kewenangan di bidang penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang; 3 Kekuasaan kewenangan itu dilakukan secara merdeka; 4 Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2, menegaskan bahwa: 1 Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya dalam undang-undang ini disebut Kejaksaan, adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan; 2 Kejaksaan adalah salah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Dari pengaturan Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tersebut dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Kejaksaan sebagai suatu lembaga pemerintahan; 2. Kejaksaan melakukan kekuasaan kewenangan di bidang penuntutan; 3. Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Penjelasan dalam Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang ini dijelaskan bahwa Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga pemerintahan pelaksanaan kekuasaan negara yang mempunyai tugas dan wewenang di bidang penuntutan dalam penegakan hukum dan keadilan di lingkungan peradilan umum. Kemudian Penjelasan Pasal 2 Ayat 2 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisah- pisahkan” adalah landasan pelaksaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan, sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja kejaksaan. Oleh karena itu, kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian, tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap dilakukan sekalipun oleh Jaksa Pengganti. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 1 Ayat 1 menegaskan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas sebagai Penuntut Umum. Dalam Ayat 2 menyebutkan bahwa Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung

Dokumen yang terkait

UPAYA STRATEGIS INTELIJEN YUSTISIAL KEJAKSAAN DALAM PROSES PENYELIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

2 61 57

PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MELAKSANAKAN PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

1 8 48

I B KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 15

II KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 8

SKRIPSI Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 2 13

PENDAHULUAN Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 5 11

PERAN KEJAKSAAN DALAM TAHAP PENUNTUTAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 2 19

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

0 1 14

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

0 0 2

Implementasi Diversi dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Enrekang) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 94