Upaya Penanggulangan Kejahatan PERAN KEJAKSAAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH REMAJA DI KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (Studi Pada Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

dilakukan. Sedangkan faktor-faktor biologis, psikologis, merupakan faktor yang sekunder saja.Jadi dalam upaya preventif itu adalah bagaimana kita melakukan suatu usaha yang positif, serta bagaimana kita menciptakan suatu kondisi seperti keadaan ekonomi, lingkungan, juga kultur masyarakat yang menjadi suatu daya dinamika dalam pembangunan dan bukan sebaliknya seperti menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang mendorong timbulnya perbuatan menyimpang juga disamping itu bagaimana meningkatkan kesadaran dan patisipasi masyarakat bahwa keamanan dan ketertiban merupakan tanggung jawab bersama. b.Upaya represif Upaya represif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya represif dimaksudkan untuk menindak para pelaku kejahatan sesuai dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar mereka sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan masyarakat , sehingga tidak akan mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang akan ditanggungnya sangat berat . Membahas sistem represif, tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana kita, dimana dalam sistem peradilan pidana paling sedikit terdapat 5 lima sub- sistem yaitu sub-sistem kehakiman, kejaksaan, kepolisian, pemasyarakatan, dan kepengacaraan, yang merupakan suatu keseluruhan yang terangkai dan berhubungan secara fungsional.Upaya represif dalam pelaksanaannya dilakukan pula dengan metode perlakuan treatment dan penghukuman punishment. Lebih jelasnya uraiannya sebagai berikut ini : 1 Perlakuan treatment Penggolongan perlakuan, penulis tidak membicarakan perlakuan yang pasti terhadap pelanggar hukum, tetapi lebih menitikberatkan pada berbagai kemungkinan dan bermacam-macam bentuk perlakuan terhadap pelanggar hukum sesuai dengan akibat yang ditimbulkannya.Perlakuan berdasarkan penerapan hukum, menurut Abdul Syani yang membedakan dari segi jenjang berat dan ringannya suatu perlakuan,yaitu : a Perlakuan yang tidak menerapkan sanksi-sanksi pidana, artinya perlakuan yang paling ringan diberikan kepada orang yang belum telanjur melakukan kejahatan. Dalam perlakuan ini, suatu penyimpangan dianggap belum begitu berbahaya sebagai usaha pencegahan; b Perlakuan dengan sanksi-sanksi pidana secara tidak langsung, artinya tidak berdasarkan putusan yang menyatakan suatu hukum terhadap si pelaku kejahatan. Penerapan perlakuan ini ialah bagaimana tanggapan baik dari pelanggar hukum terhadap perlakuan yang diterimanya. Perlakuan ini dititikberatkan pada usaha pelaku kejahatan agar dapat kembali sadar akan kekeliruannya dan kesalahannya, dan dapat kembali bergaul di dalam masyarakat seperti sedia kala. 5 Jadi dapat diartikan bahwa perlakuan ini mengandung dua tujuan pokok, yaitu sebagai upaya pencegahan dan penyadaran terhadap pelaku kejahatan agar tidak melakukan hal- hal yang lebih buruk lagi dimaksudkan agar si pelaku kejahatan ini di kemudian hari tidak lagi melakukanmenanggulangi pelanggaran hukum, baik dari pelanggaran-pelanggaran yang mungkin lebih besar merugikan masyarakat dan pemerintah. 5 Abdulsyani,1987 , Sosiologi Kriminalitas, Remaja karya, Bandung , hlm 139 2 Penghukuman punishment Jika ada pelanggar hukum yang tidak memungkinkan untuk diberikan perlakuan treatment, mungkin karena kronisnya atau terlalu beratnya kesalahan yang telah dilakukan, maka perlu diberikan penghukuman yang sesuai dengan perundang- undangan dalam hukum pidana.Oleh karena Indonesia sudah menganut sistem pemasyarakatan, bukan lagi sistem kepenjaraan yang penuh dengan penderitaan, maka dengan sistem pemasyarakatan hukuman dijatuhkan kepada pelanggar hukum adalah hukuman yang semaksimal mungkin bukan pembalasan dengan berorientasi pada pembinaan dan perbaikan pelaku kejahatan. Seiring dengan tujuan dari pidana penjara sekarang, Sahardjo mengemukakan seperti yang dikutip oleh Abdulsyani sebagai berikut : 6 “Menyatakan bahwa tujuan dari pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, tetapi juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehingga menjadi kaula yang berfaedah di dalam masyarakat Indonesia. Sistem pemasyarakatan, di samping narapidana harus menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan, mereka pun dididik dan dibina serta dibekali oleh suatu keterampilan agar kelak setelah keluar menjadi orang yang berguna di dalam masyarakat dan bukan lagi menjadi seorang narapidana yang meresahkan masyarakat karena segala perbuatan jahat mereka di masa lalu yang sudah banyak merugikan masyarakat, sehingga kehidupan yang mereka jalani setelah mereka 6 Ibid, hlm 141 keluar dari penjara menjadi lebih baik karena kesadaran mereka untuk melakukan perubahan didalam dirinya maupun bersama dengan masyarakat di sekitar tempat dia bertempat tinggal. Kejahatan adalah masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat di seluruh negara semenjak dahulu dan pada hakikatnya merupakan produk dari masyarakat sendiri. Kejahatan dalam arti luas, menyangkut pelanggaran dari norma-norma yang dikenal masyarakat, seperti norma-norma agama, norma moral hukum. Norma hukum pada umumnya dirumuskan dalam undang-undang yang dipertanggung- jawabkan aparat pemerintah untuk menegakkannya, terutama kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Namun, karena kejahatan langsung mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, maka wajarlah bila semua pihak baik pemerintah maupun warga masyarakat, karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan damai. Menyadari tingginya tingkat kejahatan, maka secara langsung atau tidak langsung mendorong pula perkembangan dari pemberian reaksi terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha penanggulangan kejahatan tersebut. Menurut Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan cara: 7 a Criminal application : penerapan hukum pidana Contohnya : penerapan Pasal 354 KUHP dengan hukuman maksimal yaitu 8 tahun baik dalam tuntutan maupun putusannya. 7 Barda Nawawi Arif, 1991, Upaya Non dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi, UNDIP, Semarang, hlm 2 b Preventif without punishment : pencegahan tanpa pidana Contohnya : dengan menerapkan hukuman maksimal pada pelaku kejahatan, maka secara tidak langsung memberikan prevensi pencegahan kepada publik walaupun ia tidak dikenai hukuman atau shock therapy kepada masyarakat. c Influencing views of society on crime and punishment mas media mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mas media.Contohnya : mensosialisasikan suatu undang-undang dengan memberikan gambaran tentang bagaimana delik itu dan ancaman hukumannya. Upaya pencegahan kejahatan dapat berarti menciptakan suatu kondisi tertentu agar tidak terjadi kejahatan. Kaiser memberikan batasan tentang pencegahan kejahatan sebagai suatu usaha yang meliputi segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang segala tindakan yang mempunyai tujuan yang khusus untuk memperkecil ruang lingkup kekerasan dari suatu pelanggaran baik melalui pengurangan ataupun melalui usaha-usaha pemberian pengaruh kepada orang-orang yang potensial dapat menjadi pelanggar serta kepada masyarakat umum. 8 Penanggulangan kejahatan dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian yang luas, maka pemerintah beserta masyarakat sangat berperan. Bagi pemerintah adalah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma- norma sentral dari masyarakat. 9 8 Muhammad Kamal Darmawan,1984,Strategi Pencegahan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,hlm 4 9 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm 42 Peran pemerintah yang begitu luas, maka kunci dan strategis dalam menanggulangi kejahatan meliputi, ketimpangan sosial, diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan kebodohan di antara golongan besar penduduk. Bahwa upaya penghapusan sebab dari kondisi menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar. 10 Secara sempit lembaga yang bertanggung jawab atas usaha pencegahan kejahatan adalah polisi. Namun karena terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh polisi telah mengakibatkan tidak efektifnya tugas mereka. Lebih jauh polisi juga tidak memungkinkan mencapai tahap ideal pemerintah, sarana dan prasarana yang berkaitan dengan usaha pencegahan kejahatan. Oleh karena itu, peran serta masyarakat dalam kegiatan pencegahan kejahatan menjadi hal yang sangat diharapkan. Kejahatan merupakan gejala sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap masyarakat di dunia ini. Kejahatan dalam keberadaannya dirasakan sangat meresahkan, disamping itu juga mengganggu ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat berupaya semaksimal mungkin untuk menanggulangi kejahatan tersebut.Upaya penanggulangan kejahatan telah dan terus dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Berbagai program dan kegiatan telah dilakukan sambil terus menerus mecari cara paling tepat dan efektif untuk mengatasi masalah tersebut.Menurut Barda Nawawi Arief bahwa: 11 10 Barda Nawawi Arif, 1991, Upaya Non dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bahan Seminar Kriminologi, UNDIP, Semarang, hlm 4 11 Barda Nawawi Arief,2007,Masalah Penegakan Hukun dan Kebijakan Penegakan Penanggulangan kejahatan, Kencana, Jakarta, 2007, hlm 77 “Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakanupaya-upaya untuk perlindungan masyarakat ”. menurut Barda Nawawi Arief,bahwa: “Kebijakan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana ”penal” hukum pidana, maka kebijakan hukum pidana khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social itu berupa ”social welfare” dan “social defence”. Lain halnya menurut Baharuddin Lopa bahwa “upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan represif disamping langkah pencegahan preventif .” 12 Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa, itu meliputi : 13 a Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan sendirinya akan mengurangi kejahatan; b Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan; c Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat; d Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih meningkatkan tindakan represif maupun preventif; e Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak hukum. Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan. Solusi supresif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan kejahatan sudah mulai, kejahatan sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga 12 BaharuddinLopa, 2001, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Penerbit buku kompas, Jakarta, hlm 16 13 Ibid, hlm 16-17 kejahatan dapat dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan atau pemberian ganti kerugian bagi mereka yang menderita akibat kejahatan. Sedangkan solusi pidana atau hukuman juga berguna, sebab setelah kejahatan dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat ganti rugi, kejahatan serupa masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau pelaku lainnya. Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan adalah suatu reformasi. Solusi yang berlangsung kerena rasa takut disebut hukuman. Entah mengakibatkan ketidak mampuan fisik atau tidak, itu tergantung pada bentuk hukumannya.Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham bahwa yang mengemukakan bahwa “Tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk berbuat kejahatan.” 14

C. Tindak Pidana Kesusilaan

1. Pengertian Tindak Pidana Pembentuk undang-undang telah menggunakan istilah “tindak pidana” sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “Strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana. 15 14 Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang-Undangan Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata Dan Hukum Pidana,Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm 307 15 Satochid, Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian Satu, Balai Lektur mahasiswa,hlm.74 Mezger mengatakan bahwa hukum pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum,yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana. 16 Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat di pidana atau disingkat perbuatan jahat Verbrechen atau Crime. Oleh karena dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu strafbaar feit yang berasal dari kata strafbaar, artinya dapat dihukum. 17 Lebih lanjut Sudarto mengatakan bahwa,pembentuk undang-undang sekarang sudah agak tepat dalam pemakaian istilah “tindak pidana”. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri, misalnya Moeljatno, Guru Besar pada Universitas Gadjah Mada menganggap lebih tepat dipergunakan istilah “perbuatan pidana” dalam pidatonya yang berjudul “Perbuatan pidana dan pertanggung-jawaban dalam hukum pidana”. 18 Perlu dikemukakan disini bahwa pidana adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai terjemahan dari bahasa Belanda straf yang dapat diartikan juga sebagai hukuman. Seperti dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari kata straf ini dan istilahdihukum yang berasal dari perkataan wordt gestraft, adalah merupakan istilah-istilah 16 Sudarto,HukumPidana,1990, Yayasan Sudarto, Semarang, hlm. 23. 17 Ibid 18 Lamintang,1981, Kitab Pelajaran Hukum Pidana; Leeboek VanHet Nederlanches Straftrecht, Pionir Jaya,Bandung, hlm. 36. konvensional. 19 Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata straf dan “diancam dengan pidana untuk menggantikan katawordtgestraft. Jikastrafdiartikan hukuman, maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman. 20 Bassar, mempergunakan istilah “tindak pidana” sebagai istilah yang paling tepat untuk menterjemahkan “strafbaar feit”,dengan mengemukakan alasan “istilah tersebut selain mengandung pengertian yang tepat dan jelas sebagai istilah hukum, juga sangat praktis diucapkan. Di samping itu pemerintah didalam kebanyakan peraturanperundang- undangan memakai istilah tindakpidana, umpamanya didalam peraturan-peraturan tindak pidana khusus. 21 Berkaitan dengan masalah belum adanya kesatuan pendapat mengenai istilah “strafbaar feit” dalam hukum pidana Indonesia, Sudarto menegaskan pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan, dan dalam hal ini yang penting adalah isi dari tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Istilah lain sudah dapat diterima oleh masyarakat. Jadi mempunyai “sociologische gelding”. 22 Pendapat dua sarjana di atas, dapatlah diartikan bahwa perkataan pidana merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembahasan pengertian yang dapat menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.Untuk memberi gambaran yang lebih luas, maka perlu dikemukakan beberapa pendapat atau 19 Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, PT. Bima Aksara, Jakarta, hlm.35 20 Ibid 21 Soedrajat Bassar, 1999, Tindak-tindak Pidana Tertentu, Ghalian, Bandung, hlm.1 22 Muladi dan Barda Nawawi Arif, 1992, Teori-teori dan kebijakan pidana, Alumni, Bandung, hlm. 2 definisi dari parasarjana tentang pidana. Menurut Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. 23 Saleh mengatakan bahwa pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.Cross, mengatakan bahwa pidana berarti pengenaan penderitaan oleh negara kepada seseorang yang telah dipidana karena suatu kejahatan. 24 Dengan cara lain Hart mengatakan bahwa pidana harus: 25 a Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan; b Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana; c Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum; d Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana; e Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut. Lamintang mengatakan bahwa pidana itu sebenarnya hanya merupakan suatu penderitaanatausuatualatbelaka.Hal itu berarti pidana itu bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. 26 Pernyataan yang dikemukakan di atas adalah untuk mengingatkan adanya kekacauan pengertian antara pidana dan pemidanaan yang sering diartikan sama dengan menyebut tujuan pemidanaan dengan perkataan tujuan pidana. Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP sebagai kejahatan atau tindak pidana akan tetapidi dalamnya tidak memberi rincian tindak pidana tersebut. 23 Sudarto, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm 24 24 Ibid 25 Ibid 26 P.A.F, Lamintang, , Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, 1986,Bandung, hlm 36

Dokumen yang terkait

UPAYA STRATEGIS INTELIJEN YUSTISIAL KEJAKSAAN DALAM PROSES PENYELIDIKAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung)

2 61 57

PERAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MELAKSANAKAN PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Studi di Kejaksaan Negeri Gunung Sugih)

1 8 48

I B KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 15

II KEBIJAKAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA KESUSILAAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 8

SKRIPSI Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 2 13

PENDAHULUAN Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 5 11

PERAN KEJAKSAAN DALAM TAHAP PENUNTUTAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA Peran Kejaksaan Dalam Tahap Penuntutan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana (Studi Kasus di Kejaksaan Negeri Boyolali dan Kejaksaan Negeri Surakarta).

0 2 19

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

0 1 14

Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Kejaksaan Negeri Kuala Simpang Setelah Dibentuknya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Di Daerah

0 0 2

Implementasi Diversi dalam Tindak Pidana Penganiayaan yang Dilakukan oleh Anak (Studi Kasus Kejaksaan Negeri Enrekang) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 94