TATALAKSANA Cyanotic Congenital Heart Disease.

9 e. Ekokardiografi Pemeriksaan ini merupakan metoda terbaik untuk menegakan diagnosis PJB. Identifikasi detail mengenai defek anatomi jantung didapatkan melalui kombinasi ekokardiografi dua dimensi dan color flow mapping. Penilaian fungsi sistolik ventrikel, pengukuran dimensi ruang jantung dan ketebalan dinding dapat dilakukan dengan M-mode echocardiography. 19 Teknik Doppler pulsedcontinuous dapat digunakan untuk menilai pressure gradient aliran stenotik atau regurgitasi yang melalui katup. Berbagai bentuk gelombang Doppler dapat menilai fisiologi jantung abnormal. 3, 19

VII. TATALAKSANA

PJB dengan sirkulasi pulmonal yang kurang inadequate pulmonary blood flowductal dependent pulmonary circulation right sided obtructive lesions Presentasi klinik utama PJBK yang termasuk dalam kelompok ini seperti TOF dan PSPA serta berbagai variannya adalah sianosis sentral. Derajat sianosis tergantung pada patensi duktus arteriosus. Sianosis dapat diperberat karena adanya konstriksi jaringan duktus. Bayi harus segera mendapatkan infus PGE1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka sampai dilakukan operasi koreksi Blalock Taussig BT shunt. 12 Manajemen saluran pernapasan harus menjadi perhatian utama dan infus PGE1 merupakan kunci utama untuk menurunkan resistensi vaskular pulmonal dan meningkatkan pirau kiri ke kanan sehingga meningkatkan aliran darah ke paru. 6 Dosis inisial infus PGE1 adalah 0,05 μ gkgmin. Jika tidak ada perbaikan, ditingkatkan menjadi 0.1 μ gkgmin. Sesudah kondisi bayi stabil, dosis pemeliharaan PGE1 adalah 0.025 μ gkgmin. Apnea, bradikardia, hipotensi, fluid-electrolyte imbalances, rewel, demam dan cutaneous flushing merupakan efek samping PGE1. Oleh karena itu, manajemen saluran pernapasan adalah esensial bersama dengan kewaspadaan terjadinya sepsis. 3 PJB dengan sirkulasi sistemik yang kurang inadequate systemic blood flowductal dependent systemic circulation left sided obtructive lesions Lesi PJBK dalam kelompok ini sangat bergantung pada duktus untuk dapat mempertahankan perfusi sirkulasi sistemik. Presentasi klinik utama adalah tanda adanya perfusi yang buruk, 10 hilangnya nadi pada ekstremitas bawah dan syok yang dapat menyerupai keadaan sepsis. Pemberian oksigen dapat mengeksaserbasi penutupan duktus arteriosus dan memperburuk kondisi bayi oleh adanya syok kardiogenik. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk meningkatkan pemberian oksigen sampai infus PGE1 diberikan. Tatalaksana ditujukan untuk mengoptimalkan oksigenasi sistemik dan mencegah asidosis metabolik yang dapat memperburuk kondisi perioperatif. 3 Terdapat 2 prinsip utama dalam manajemen PJBK kelompok ini. Pertama, mempertahankan patensi duktus untuk menyediakan perfusi sistemik. Kedua, setelah patensi duktus dipersiapkan, perhatian harus ditujukan pada keseimbangan sirkulasi sistemik dan pulmonal. 3, 14 Beberapa teknik yang dipakai untuk tujuan ini diantaranya adalah: - Meningkatkan resistensi vaskular paru agar tidak terjadi oversirkulasi paru antara lain dengan cara menyesuaikan positive end expiratory pressure PEEP 4 ‒6 cm H2O, modulasi inspiratory rate, mempertahankan tekanantidal volume agar tekanan CO2 arteri berkisar 5 ‒6 kPa, mencegah pemberian oksigen terlalu banyak, mempertahankan saturasi arteri sistemik sekitar 80 dan mencegah terjadinya alkalosis respiratorik. 14 - Menurunkan resitensi vaskular sistemik agar mempertahankan perfusi sistemik yang lebih baik, dengan pemberian vasodilator, seperti phenoxybenzamine dan inhibitor phosphodiesterase milrinone. 3 Apabila masih didapatkan cardiac output yang rendah, maka penilaian ulang harus dilakukan. Pemberian infus PGE1 harus adekuat, volume intravaskular yang memadai dan adanya anemia harus diatasi. Infus inotropik dosis rendah dapat diberikan. Namun, pemberian infus inotropik dosis tinggi harus dihindari karena dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik. 3 Tatalaksana paliatif secara fungsional terdiri dari 3 tahap: 1 Neonatus: operasi Norwood tahap I, 2 Usia 6-8 bulan: Norwood tahap II, 3 Usia 18 bulan- 5 tahun: Norwood tahap III. 3 Hypoplastic left heart syndrome HLHS masih menjadi lesi PJBK kelompok ini dengan angka kematian yang paling tinggi. Walaupun hasil akhir operasi paliatif terus mengalami kemajuan, angka survival bagi penderita HLHS masih berkisar 65 pada usia 5 tahun dan 55 pada usia 10 tahun. 3, 20 PJB dengan pencampuran darah yang tidak memadai inadequate mixingductal independent mixing lesions Pada lesi PJBK ini, contohnya pada TGA dengan septum ventrikular yang intak, diperlukan pencampuran darah mixing yang dapat diperoleh dengan tindakan balloon atrial septostomy 11 BAS atau sering disebut juga Raskind Balloon. Tindakan ini dilakukan dengan membuat lubang pada dinding septum interatrium via kateterisasi jantung. Terbukanya lubang interatrium akan meningkatkan saturasi oksigen dengan adanya pencampuran darah di level atrium, sehingga penderita TGA dapat menunggu tindakan operasi arterial switch operationJatene operation dengan kondisi yang lebih baik. 3 PJB dengan pertukaran gasudara yang tidak memadai inadequate gas exchange Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR total anomalous pulmonary venous return. Tatalaksana yang paling efektif adalah operasi. Tujuan operasi adalah membuat koneksi antara vena pulmonalis dan atrium kiri. Penderita dengan TAPVR harus distabilkan sebelum dilakukan tindakan kateterisasi atau operasi. Bila terdapat obstruksi vena pulmonalis, dan terjadi gagal jantungedema paru, maka pemberian antikongesti seperti digitalis dan diuretik perlu dipertimbangkan. Pada bayi dengan edema paru yang berat, sebaiknya dilakukan intubasi dan menerima bantuan ventilator dengan oksigen dan positive end-expiratory pressure. Operasi koreksi adalah suatu keharusan dan tidak ada operasi paliatif. Oleh karena itu, semua bayi dengan obstruksi vena pulmonalis harus dioperasi setelah diagnosis ditegakkan pada usia neonatus. Bayi yang tidak disertai adanya obstruksi vena pulmonalis namun didapatkan adanya gagal jantung, operasi dapat dilakukan pada usia 4-6 bulan. 15, 17

VIII. KESIMPULAN