Cyanotic Congenital Heart Disease.

(1)

1

Cyanotic Congenital Heart Disease

Sri Endah Rahayuningsih

Dipresentasikan pada

PIT V Ilmu Kesehatan Anak

Solo 2013

Departemen Ilmu Kesehatan Anak

RS Hasan Sadikin/FK Universitas Padjadjaran

Bandung

I. PENDAHULUAN

Penyakit jantung bawaan (PJB) masih merupakan masalah kesehatan, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit ini terjadi pada 8-12 dari setiap 1000 kelahiran hidup.1, 2 Seperempat dari jumlah tersebut mengalami PJB kritis (PJBK) atau critical congenital heart disease (CCHD) yang memerlukan operasi atau intervensi kateterisasi dalam bulan pertama kehidupan.2 Walaupun banyak usaha untuk mendeteksi adanya PJBK pada kehidupan janin maupun segera setelah lahir, sebagian besar neonatus dengan kelainan jantung tetap tidak terdiagnosis sampai terjadi manifestasi yang serius.3

Dalam perspektif global, kelainan bawaan (congenital anomalies) mayor memberikan kontribusi 7% terhadap kematian neonatal dini (early neonatal death) dan 25% diantaranya akibat PJB yang berat atau kompleks. Bayi-bayi yang lahir kurang bulan mempunyai kecenderungan 2 kali lipat menderita PJB dibanding dengan bayi cukup bulan dan sekitar 16% bayi kurang bulan menderita PJB.4 Hal ini berarti bahwa PJB, khususnya PJBK turut memberikan kontribusi yang


(2)

2

bermakna terhadap tingginya angka kematian bayi terutama di negara berkembang. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah seringkali pada hari-hari pertama sejak bayi lahir, PJB tidak terdiagnosis sampai bayi pulang dari rumah sakit. Pemeriksaan fisis rutin bayi baru lahir ternyata tidak dapat mendeteksi lebih dari 50% PJB. 5

Proses kelahiran merupakan kejadian besar dari kehidupan janin ke sirkulasi postnatal. Perubahan yang paling penting adalah dari kehidupan di dalam lingkungan cairan amnion dan pertukaran gas plasental ke ventilasi pernapasan. Menarik napas berarti terjadi penurunan mendadak resistensi pembuluh darah paru dan peningkatan aliran darah ke paru. Struktur janin seperti foramen ovale, duktus venosus dan duktus arteriosus yang berperan vital pada kehidupan janin, sudah tidak diperlukan lagi untuk kehidupan bayi dan mulai untuk menutup. Neonatus dengan PJB yang berkaitan dengan ductus-dependent pulmonary blood flow atau ductus-dependent systemic blood flow atau secara fisiologi tercampur seperti transposition of great arteries (TGA) merupakan kondisi yang berisiko tinggi untuk mengalami kegagalan transisi yang adekuat.6

Pengenalan dini PJB khususnya PJBK dengan memperhatikan perubahan sirkulasi janin ke sirkulasi neonatus, pengobatan awal serta tatalaksana bayi dengan PJB sangat diperlukan agar bayi dengan PJB mempunyai prognosis yang lebih baik.

Sari kepustakaan ini akan membahas tentang epidemiologi, definisi, klasifikasi, manifestasi klinik, pemeriksaan penunjang dan tatalaksana penyakit jantung bawaan kritis.

II. EPIDEMIOLOGI

Penyakit jantung bawaan merupakan defek anatomi bawaan yang paling sering ditemukan.7 Insidensi PJB diperkirakan sekitar 8-12 per 1000 kelahiran hidup pada populasi umum.1, 2, 7 Sedangkan insidensi PJB berat (severe congenital heart disease) yang memerlukan penanganan dari ahli kardiologi adalah sekitar 2.5-3 per 1000 kelahiran hidup.8 Di Amerika Serikat, PJB masih merupakan penyebab signifikan kematian neonatal dan bayi, sekitar 29% dari seluruh kematian karena kelainan bawaan dan 5,7% dari seluruh kematian bayi.9 Deteksi dini PJB diharapkan dapat menurunkan angka kematian neonatus akibat kelainan ini menjadi 2‒3 per 1000 kelahiran hidup.6, 10 Prevalensi PJB dilaporkan meningkat secara substansial dari waktu ke waktu, dari 0,6 per 1000 kelahiran hidup (tahun 1930-1934) menjadi 9,1 per 1.000 kelahiran hidup setelah 1995. Perbedaan geografis yang signifikan ditemukan. Asia melaporkan prevalensi PJB tertinggi, dengan 9,3 per 1.000 kelahiran hidup. Prevalensi PJB di Eropa secara signifikan lebih tinggi daripada di Amerika Utara (8,2 per 1.000 kelahiran hidup vs 6,9 per 1.000 kelahiran hidup). Akses ke pelayanan


(3)

3

kesehatan yang masih terbatas di banyak bagian dunia, seperti juga fasilitas diagnostik, mungkin merupakan penyebab terjadinya perbedaan diantara prevalensi PJB di negara maju dan negara berkembang.11

III. DEFINISI

Penyakit jantung bawaan kritis adalah penyakit jantung bawaan yang tergantung pada duktus (ductal dependent lesions) yang memerlukan tindakan intervensi atau bedah dan dapat menyebabkan kematian dalam 30 hari pertama kehidupan.9

IV. KLASIFIKASI

Penderita PJBK dapat dibagi dalam 4 kelompok:3, 12

PJB dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions

Pada PJB ini aliran pembuluh darah paru untuk oksigenasi di sediakan oleh sirkulasi sistemik (aorta) melalui duktus arteriosus (yang berasal dari aorta ke arteri pulmonalis). Lesi ini biasanya disertai dengan sianosis berat. Contoh lesi PJB pada kelompok ini antara lain:

- Tetralogy of Fallot (TOF) dengan atresia pulmonal - Atresia pulmonal

- Atresia pulmonal dengan septum ventrikular intak - Stenosis pulmonal berat

- Ebstein’s anomaly berat

- Transposition of great arteries (TGA) komplit dengan septum ventrikular intak

PJB dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions

Pada PJB ini output sistemik disediakan oleh sistem arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus (mengalir dari arteri pulmonalis utama ke aorta). Lesi ini biasanya bergejala hipotensi sistemik, syok atau kolaps seiring dengan menutupnya duktus ateriosus setelah proses kelahiran. Kelompok ini diantaranya adalah:

- Hypoplastic left heart syndrome (HLHS) - Stenosis aorta berat


(4)

4

- Koarktasio aorta

- Interrupted aortic arch (IAA)

PJB dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate mixing)/ductal independent mixing lesions

Pada PJB ini, didapatkan adanya sianosis dan gagal jantung kongestif atau edema paru dan terjadi peningkatan aliran darah menuju paru. Contoh lesi jantung pada kelompok ini adalah TGA. Pada TGA, terdapat sirkulasi yang bersifat paralel antara sirkulasi sistemik dan pulmonal, sedangkan untuk dapat bertahan hidup harus terjadi pencampuran darah (mixing) antara kedua sistem sirkulasi tersebut melalui PFO (persistent foramen ovale) atau PDA (persistent ductus arteriosus).

PJB dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas exchange)

Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous return). Pada lesi ini semua aliran darah vena pulmonalis kembali ke atrium kanan melalui berbagai koneksi antara vena pulmonalis dan sistem jantung kanan (vena innominata, vena kava superor, sinus koronarius, sistem porta atau vena kava inferior). Akibatnya terjadi pencampuran darah (mixing) di level atrium kanan (menimbulkan sianosis) dan oversirkulasi paru (menimbulkan edema paru). Sirkulasi sistemik dipertahankan dengan adanya pirau kanan ke kiri melalui PFO atau ASD (atrial septal defek).

V. MANIFESTASI KLINIK

Gejala klinis dari PJBK pada neonatus seringkali tidak signifikan. Adanya bising jantung tidak membantu, karena tidak semua bising jantung pada bayi baru lahir adalah patologis dan meskipun tidak terdengan bising jantung, bayi baru lahir dapat mengalami kelainan jantung yang serius dan memerlukan tindakan segera. Prevalensi bising jantung pada neonatus normal sekitar 0,6-4,2% dan sering dianggap sebagai gejala kelainan jantung.13, 14 Sangat penting bagi dokter anak untuk dapat mengidentifikasi bayi baru lahir yang “tidak dalam kondisi baik” dan mempunyai kecurigaan yang tinggi serta dapat mengidentifikasi kebutuhan evaluasi jantung yang cepat yang memerlukan intervensi dini.15

Terdapat 3 tanda utama (cardinal signs) yang menyebabkan kegawatan kardiovaskular pada bayi baru lahir yaitu: sianosis, distres pernapasan/gagal jantung kongestif dan sindrom syok.12


(5)

5 Sianosis

Sianosis adalah gejala fisik yang ditandai oleh adalah warna kebiruan pada mukosa, kuku dan kulit. Kondisi ini disebabkan karena adanya konsentrasi hemoglobin deoksigenasi dalam darah lebih dari 5 g/dL. Harus dibedakan antara sianosis sentral dan sianosis perifer (acrocyanosis). Sianosis sentral menunjukkan adanya desaturasi oksigen dalam darah arteri dan didapatkan pada abnormalitas jantung, paru, susunan saraf pusat atau methemoglobinemia. Pada penderita dengan sianosis perifer namun lidah dan konjuntiva berwarna “pinkish” (merah muda) berarti saturasi oksigen arterial sistemik biasanya normal. Berbagai penyebab sianosis perifer diantanya adalah sepsis, paparan dingin, syok atau output jantung rendah, atau gangguan metabolik. Oleh karena itu, bagian yang tonus vasokonstriksinya lemah seperti lidah, gusi dan mukosa mulut perlu dievaluasi secara cermat (bukan pada tangan dan kaki).12, 15

Pada keadaan hemoglobin yang rendah (anemia) dan saturasi oksigen diatas 85% sianosis tidak mudah dikenali. Oleh karena itu bila secara klinis ada keraguan apakah ada sianosis atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan oksigen dengan oksimetri. Sianosis juga sulit dinilai pada bayi yang berkulit gelap. Namun sianosis akan dapat terdeteksi dengan inspeksi yang teliti pada membran mukosa dan lidah dengan menggunakan sinar. Skrining dengan menggunakan pulse oxymetry dapat digunakan untuk mendeteksi sianosis walaupun tidak dapat mendeteksi semua kelainan.1, 16

Penyebab nonkardiak yang sering menimbulkan sianosis pada neonatus adalah kelainan paru. Oleh karena itu, membedakan penyebab jantung atau paru pada neonatus dengan sianosis adalah sangat penting, karena PJB sianotik yang tidak terdiagnosis dapat memperlihatkan perburukan yang nyata dan kematian. Beberapa petunjuk yang dapat digunakan untuk membedakan sianosis karena kelainan jantung atau paru, diperlihatkan pada tabel berikut ini.12

Tabel 1 Petunjuk untuk Membedakan Penyebab Sianosis akibat Kelainan Jantung atau Paru

Sianosis karena Kelainan Jantung Sianosis karena Kelainan Paru

Respirasi Relatif lebih nyaman saat istirahat Takipnea, distres, retraksi (+)

Menangis Sianosis memburuk Sianosis membaik

Auskultasi toraks Bising jantung (+) Ronkhi/crackles/wheezhing (+)

Foto toraks

Siluet jantung Posisi/bentuk abnormal, kardiomegali (+) Normal

Lapang paru Normal/vaskularisasi ↓, kongesti

pembuluh darah paru

Ground glass appearance, pneumonia, atelektasis, pnemothorax, dll

EKG Ritme/aksis abnormal Normal

pCO2 Normal/rendah Biasanya ↑

Respons terhadap 100% O2 Tidak ada atau hanya sedikit Biasanya (+)

Sumber: Lee, 2010.12


(6)

6

Beberapa PJBK dengan aliran darah ke paru yang berlebihan dan nonrestriktif atau lesi dengan obstruksi vena pulmonalis, akan menampakkan distres pernapasan berat atau edema paru. Frekuensi pernapasan meningkat, terdapat retraksi, peningkatan work of breathing, dan bayi menjadi sulit menetek. Nadi melemah dan sulit diraba pada ekstremitas bawah, namun masih bisa diraba di ekstremitas atas (terutama pada koarktasio aorta).12

Penyebab lain distres pernapasan dan gagal jantung adalah:

- Kelainan sirkulasi sistemik yang sebagian tergantung pada duktus (partial duct dependent) misalnya CoA atau IAA yang biasanya bermanifestasi klinis pada umur 2-3 minggu.

- Defek besar seperti VSD, atriventricular septal defects (AVSD), trunkus arteriosus yang gejalanya muncul pada umur 4 minggu atau lebih pada saat resistensi vaskular paru mulai menurun.

Tabel di bawah ini menunjukkan lesi PJB yang dapat menyebabkan gagal jantung pada neonatus.

Tabel 2 Penyakit Jantung Bawaan yang dapat Menyebabkan Gagal Jantung pada Neonatus

Usia Diagnosis

Saat lahir Hypoplastic Left Heart Syndrome

Regusgitasi Trikuspid berat Regurgitasi pulmonal berat AV fistula sistemik yang besar

Minggu pertama Transposisi Arteri Besar

Bayi premature dengan PDA besar Total Anomaly Pulmonary Vein Return

Minggu 1-4 Stenosis Aorta berat

Stenosis Pulmonal berat Koartasio aorta

Sumber: Myung, 2008.17

Sindrom syok

Presentasi klinis biasanya berat yang disertai pucat dan sianosis ringan. Nadi perifer umumnya lemah atau sulit diraba disertai gangguan pernapasan, kulit yang dingin dan lembab, serta oligouria. Gejala tersebut mengindikasikan adanya perfusi jaringan yang buruk, asidosis, syok, dan gangguan pada end organ. Pada sindrom ini, masalah utama adalah tidak adekuatnya aliran darah sistemik pada neonatus dan sirkulasi sistemik sangat tergantung pada adanya pirau dari arteri pulmonalis melalui duktus arteriosus ke aorta. Akibatnya, apabila duktus menutup, maka keadaan klinis akan cepat memburuk dan berakhir dengan kematian. Keadaan ini terjadi pada lesi HLHS, IAA, CoA berat, atresia aorta dan stenosis aorta berat (critical aortic valve stenosis).3, 12, 17

Kondisi lain yang dapat dicurigai sebagai penyebab syok pada neonatus adalah sepsis neonatal, meningitis, hipoglikemia dan inborn error metabolism. Untuk menyingkirkan diagnosis banding


(7)

7

tersebut, selain anamnesis dan pemeriksaan fisis yang cermat, pemeriksaan ronsen toraks dan EKG sangat membantu. Suatu penelitian pada neonatus membuktikan bahwa adanya kardiomegali pada ronsen toraks atau EKG dapat memprediksi adanya PJB dengan nilai sensitivitas 85% dan spesifitas 95%.12, 18

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk melakukan diagnosis, perlu dilakukan beberapa pemeriksaan pada bayi tersangka PJB, diantaranya adalah:

a. Foto toraks

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit paru pada penderita, mengetahui vaskularisasi paru dan adanya kardiomegali. Beberapa PJB mempunyai gambaran karakteristik seperti “boot shaped heart” pada penderita TOF/PA dan variannya. Bentuk seperti ini memperlihatkan kontur jantung dengan trunkus pulmonalis cekung dengan aorta yang besar dan hipertrofi ventrikel kanan. Gambaran spesifik lain adalah “egg on string” yang terlihat pada foto toraks penderita TGA. Vaskularisasi paru tergantung pada derajat stenosis pulmonal dan jumlah aliran darah ke paru. Adanya kongesti vena pulmonalis menunjukkan adanya pencampuran darah yang terganggu di level atrium dengan peningkatan aliran darah ke paru karena terbukanya duktus arteriosus. Namun demikian, sebagian besar PJBK tidak mempunyai gambaran foto toraks yang spesifik kecuali didapatkan adanya kardiomegali dan perubahan vaskularisasi paru.3, 12, 19

b. Saturasi oksigen dan analisis gas darah

Pada bayi baru lahir, pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oksimetri sebaiknya diperiksa secara rutin pada tangan kanan dan ekstremitas bawah. Menurut American Academy of Pediatric dan American Heart Association, berdasarkan berbagai penelitian, pemeriksaan dengan pulse oxymetry sangat dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua bayi setelah 24 jam di rumah sakit, sebelum bayi dipulangkan. Mayoritas PJBK mengalami hipoksemia pada periode perinatal.1 Pemeriksaan pulse oxymetry dengan cut off point saturasi 95%, diusulkan menjadi alat skrining terhadap PJB, namun masih terdapat false positif sekitar 0,2% dengan spesifitas yang tinggi (99,8%) dan sensitivitas 63%. False positif bisa terjadi pada bayi-bayi normal bila diperiksa dalam 24 jam pertama, sehingga dianjurkan pemeriksaan saturasi oksigen dilakukan setelah hari kedua atau sebelum bayi pulang bila secara klinis belum ditemukan tanda-tanda


(8)

8

PJB. Pemeriksaan analisis gas darah hendaknya diperiksa pada bayi yang mengalami distres pernapasan bila fasilitas memungkinkan. Pemeriksaan ini dapat memastikan tingkat kekurangan oksigen dan upaya bayi untuk melakukan kompensasi dengan hiperventilasi. Pemeriksaan ini sangat penting pada pasien yang mengalami penurunan perfusi sistemik.12

c. Hyperoxia test

Pemeriksaan ini merupakan uji yang penting untuk membedakan apakah sianosis pada bayi sebagai akibat penyakit jantung atau sebab lain seperti kelainan paru. Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian oksigen 100% pada bayi (dengan oxyhood atau endotracheal tube jika bayi sudah terintubasi) selama 10 menit. Kemudian, dilakukan pemeriksan analisa gas darah arteri (sebaiknya diambil dari tangan kanan –preductal source). Sebagai alternatif, dapat dipakai monitor PO2 transkutaneus. Kenaikan tekanan oksigen (PaO2) lebih dari 150 mmHg pada pemberian oksigen 100% menunjukkan bahwa sianosis bukan disebabkan oleh kelainan jantung. Sedangkan apabila kenaikan tersebut tidak melebihi 100 mmHg, maka kemungkinan besar sianosis disebabkan oleh kelainan jantung. Pada bayi dengan PJB sianotik, PaO2 biasanya tidak melebihi 50 mmHg dan kenaikannya tidak akan melebihi 20 mmHg.19

d. Elektrokardiogram (EKG)

EKG merupakan salah satu pemeriksaan yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis PJB, terutama apabila ekokardiografi tidak mudah untuk dilakukan. Peningkatan aktivitas dan hipertrofi ventrikel memberikan nilai penting untuk mengarah ke diagnosis. Walaupun beberapa PJBK dapat memperlihatkan gambaran yang sama, namun informasi dari pemeriksaan lain dapat saling mendukung untuk penegakkan diagnosis yang lebih akurat. Tabel di bawah ini memperlihatkan gambaran EKG pada beberapa PJBK.

Tabel 3 Gambaran EKG pada PJBK

Lesi PJBK Gambaran EKG

Tetralogy of Fallot RAD, RVH atau BPH

TAPVR RAD, RAH, RVH

Pulmonal stenosis RVH atau normal

Aorta stenosis LVH atau normal

Koarktasio aorta RBBB (atau RVH)

TGA RAD, RVH, BVH (pada TGA denganVSD besar, PDA)

Sumber: Myung, 2008.17

Keterangan: BVH, biventricular hypertrophy; RAD, right axis deviation; RBBB, right bundle branch block; RVH, right ventricular hypertrophy; LVH, left ventricular hypertrophy; TAPVR, total anomalous pulmonary venous return; TGA, transposition of great arteries.


(9)

9

e. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan metoda terbaik untuk menegakan diagnosis PJB. Identifikasi detail mengenai defek anatomi jantung didapatkan melalui kombinasi ekokardiografi dua dimensi dan color flow mapping. Penilaian fungsi sistolik ventrikel, pengukuran dimensi ruang jantung dan ketebalan dinding dapat dilakukan dengan M-mode echocardiography.19

Teknik Doppler (pulsed/continuous) dapat digunakan untuk menilai pressure gradient aliran stenotik atau regurgitasi yang melalui katup. Berbagai bentuk gelombang Doppler dapat menilai fisiologi jantung abnormal.3, 19

VII. TATALAKSANA

PJB dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood flow)/ductal dependent pulmonary circulation/right sided obtructive lesions

Presentasi klinik utama PJBK yang termasuk dalam kelompok ini seperti TOF dan PS/PA serta berbagai variannya adalah sianosis sentral. Derajat sianosis tergantung pada patensi duktus arteriosus. Sianosis dapat diperberat karena adanya konstriksi jaringan duktus. Bayi harus segera mendapatkan infus PGE1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka sampai dilakukan operasi koreksi Blalock Taussig (BT) shunt.12

Manajemen saluran pernapasan harus menjadi perhatian utama dan infus PGE1 merupakan kunci utama untuk menurunkan resistensi vaskular pulmonal dan meningkatkan pirau kiri ke kanan sehingga meningkatkan aliran darah ke paru.6

Dosis inisial infus PGE1 adalah 0,05 μ g/kg/min. Jika tidak ada perbaikan, ditingkatkan menjadi 0.1 μ g/kg/min. Sesudah kondisi bayi stabil, dosis pemeliharaan PGE1 adalah 0.025 μ g/kg/min. Apnea, bradikardia, hipotensi, fluid-electrolyte imbalances, rewel, demam dan cutaneous flushing merupakan efek samping PGE1. Oleh karena itu, manajemen saluran pernapasan adalah esensial bersama dengan kewaspadaan terjadinya sepsis.3

PJB dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood flow)/ductal dependent systemic circulation/left sided obtructive lesions

Lesi PJBK dalam kelompok ini sangat bergantung pada duktus untuk dapat mempertahankan perfusi sirkulasi sistemik. Presentasi klinik utama adalah tanda adanya perfusi yang buruk,


(10)

10

hilangnya nadi pada ekstremitas bawah dan syok yang dapat menyerupai keadaan sepsis. Pemberian oksigen dapat mengeksaserbasi penutupan duktus arteriosus dan memperburuk kondisi bayi oleh adanya syok kardiogenik. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk meningkatkan pemberian oksigen sampai infus PGE1 diberikan. Tatalaksana ditujukan untuk mengoptimalkan oksigenasi sistemik dan mencegah asidosis metabolik yang dapat memperburuk kondisi perioperatif.3

Terdapat 2 prinsip utama dalam manajemen PJBK kelompok ini. Pertama, mempertahankan patensi duktus (untuk menyediakan perfusi sistemik). Kedua, setelah patensi duktus dipersiapkan, perhatian harus ditujukan pada keseimbangan sirkulasi sistemik dan pulmonal.3, 14

Beberapa teknik yang dipakai untuk tujuan ini diantaranya adalah:

- Meningkatkan resistensi vaskular paru agar tidak terjadi oversirkulasi paru antara lain dengan cara menyesuaikan positive end expiratory pressure (PEEP) (4‒6 cm H2O), modulasi inspiratory rate, mempertahankan tekanan/tidal volume agar tekanan CO2 arteri berkisar 5‒6 kPa, mencegah pemberian oksigen terlalu banyak, mempertahankan saturasi arteri sistemik sekitar 80% dan mencegah terjadinya alkalosis respiratorik.14

- Menurunkan resitensi vaskular sistemik agar mempertahankan perfusi sistemik yang lebih baik, dengan pemberian vasodilator, seperti phenoxybenzamine dan inhibitor phosphodiesterase (milrinone).3

Apabila masih didapatkan cardiac output yang rendah, maka penilaian ulang harus dilakukan. Pemberian infus PGE1 harus adekuat, volume intravaskular yang memadai dan adanya anemia harus diatasi. Infus inotropik dosis rendah dapat diberikan. Namun, pemberian infus inotropik dosis tinggi harus dihindari karena dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik.3

Tatalaksana paliatif secara fungsional terdiri dari 3 tahap: (1) Neonatus: operasi Norwood tahap I, (2) Usia 6-8 bulan: Norwood tahap II, (3) Usia 18 bulan- 5 tahun: Norwood tahap III.3

Hypoplastic left heart syndrome (HLHS) masih menjadi lesi PJBK kelompok ini dengan angka kematian yang paling tinggi. Walaupun hasil akhir operasi paliatif terus mengalami kemajuan, angka survival bagi penderita HLHS masih berkisar 65% pada usia 5 tahun dan 55% pada usia 10 tahun. 3, 20

PJB dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate mixing)/ductal independent mixing lesions

Pada lesi PJBK ini, contohnya pada TGA dengan septum ventrikular yang intak, diperlukan pencampuran darah (mixing) yang dapat diperoleh dengan tindakan balloon atrial septostomy


(11)

11

(BAS) atau sering disebut juga Raskind Balloon. Tindakan ini dilakukan dengan membuat lubang pada dinding septum interatrium via kateterisasi jantung. Terbukanya lubang interatrium akan meningkatkan saturasi oksigen dengan adanya pencampuran darah di level atrium, sehingga penderita TGA dapat menunggu tindakan operasi (arterial switch operation/Jatene operation) dengan kondisi yang lebih baik.3

PJB dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas exchange)

Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous return). Tatalaksana yang paling efektif adalah operasi. Tujuan operasi adalah membuat koneksi antara vena pulmonalis dan atrium kiri. Penderita dengan TAPVR harus distabilkan sebelum dilakukan tindakan kateterisasi atau operasi. Bila terdapat obstruksi vena pulmonalis, dan terjadi gagal jantung/edema paru, maka pemberian antikongesti seperti digitalis dan diuretik perlu dipertimbangkan. Pada bayi dengan edema paru yang berat, sebaiknya dilakukan intubasi dan menerima bantuan ventilator dengan oksigen dan positive end-expiratory pressure. Operasi koreksi adalah suatu keharusan dan tidak ada operasi paliatif. Oleh karena itu, semua bayi dengan obstruksi vena pulmonalis harus dioperasi setelah diagnosis ditegakkan pada usia neonatus. Bayi yang tidak disertai adanya obstruksi vena pulmonalis namun didapatkan adanya gagal jantung, operasi dapat dilakukan pada usia 4-6 bulan.15, 17

VIII. KESIMPULAN

Penyakit jantung bawaan masih merupakan masalah kesehatan di berbagai negara. Penderita penyakit jantung bawaan kritis dapat memperlihatkan gejala utama kegawatan kardiovaskular seperti sianosis berat, distres pernapasan, syok atau gagal jantung. Diagnosis dini dan stabilisasi yang tepat sangat penting untuk meningkatkan kualitas tatalaksana neonatus dengan penyakit jantung bawaan kritis.


(12)

12 DAFTAR PUSTAKA

1. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific statement from the American Heart Association and American Academy of Pediatrics. Pediatrics. 2009;124:823-36.

2. Chang RKR, Gurvitz M, Rodriguez S. Missed diagnosis of critical congenital heart disease. Arch Pediatr Adolesc Med. 2008;162(10):969-74.

3. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention. Korean J Pediatr. 2011;54(5):183-91.

4. Tanner K, Sabrine N, Wren C. Cardiovascular malformations among preterm infants. Pediatrics. 2005;116:e833-8.

5. Wren C, Richmond S, Donaldson L. Presentation of congenital heart disease in infancy: implications for routine examination. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1999;80.

6. Yee L. Cardiac emergencies in the first year of life. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:981-1008.

7. Marelli AJ, Mackie AS, Ionescu-Ittu R, Rahme E, Pilote L. Congenital heart disease in the general population: changing prevalence and age distribution. Circulation. 2007;115:163-72. 8. Hoffman JE, Kaplan S. The incidence of congenital heart disease. J Am Coll Cardiol.

2002;39:1890-900.

9. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE. Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease: implications for screening. Pediatrics. 2008;121:751-7.

10. Knowles R, Griebsch I, Dezateux C, Brown J, Bull C, Wren C. Newborn screening for congenital heart defects: a systematic review and cost-effectiveness analysis. Health Technol Assess. 2005;9:1-152.

11. Van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, Witsenburg M, Helbing WA, Takkenberg JJM, dkk. Birth prevalence of congenital heart disease worldwide: a systematic review and meta-analysis. J Am Coll Cardiol. 2011;58(21):2241-7.

12. Lee JY. Clinical presentations of critical cardiac defects in the newborn: decision making and initial management. Korean J Pediatr 2010;53(6):669-79.


(13)

13

13. Patton C, Hey E. How effectively can clinical examination pick up congenital heart disease at birth? . Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2006;91(5):F263–7.

14. Penny DJ, Shekerdemian LS. Management of the neonate with symptomatic congenital heart disease. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2001;84:F141-5.

15. Nadas AS, Fyler DC. Hypoxemia. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas' pediatric cardiology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 97-101.

16. Morrow R, Baldwin S, Graham TP, Strauss AW, Kavanaugh-McHugh AL, Liske MR. Report of the tennessee task force on screening newborn infants for critical congenital heart disease. Pediatrics. 2005;118(4):e1251-6.

17. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadephia: Mosby Elsevier; 2008.

18. Pickert CB, Moss MM, Fiser DH. Differentiation of systemic infection and congenital obstructive left heart disease in the very young infant. Pediatr Emerg Care. 1998;14:263-7. 19. Geggel RL, Fyler DC. History, growth, nutrition, physical examination, and routine laboratory

tests. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric cardiology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 130-4ke-2.

20. Alsoufi B, Bennetts J, Verma S, Caldarone CA. New developments in the treatment of hypoplastic left heart syndrome. Pediatrics. 2007;119(1):109-17.


(1)

8

PJB. Pemeriksaan analisis gas darah hendaknya diperiksa pada bayi yang mengalami distres pernapasan bila fasilitas memungkinkan. Pemeriksaan ini dapat memastikan tingkat kekurangan oksigen dan upaya bayi untuk melakukan kompensasi dengan hiperventilasi. Pemeriksaan ini sangat penting pada pasien yang mengalami penurunan perfusi sistemik.12

c. Hyperoxia test

Pemeriksaan ini merupakan uji yang penting untuk membedakan apakah sianosis pada bayi sebagai akibat penyakit jantung atau sebab lain seperti kelainan paru. Pemeriksaan ini dilakukan dengan pemberian oksigen 100% pada bayi (dengan oxyhood atau endotracheal tube jika bayi sudah terintubasi) selama 10 menit. Kemudian, dilakukan pemeriksan analisa gas darah arteri (sebaiknya diambil dari tangan kanan –preductal source). Sebagai alternatif, dapat dipakai monitor PO2 transkutaneus. Kenaikan tekanan oksigen (PaO2) lebih dari 150 mmHg pada pemberian oksigen 100% menunjukkan bahwa sianosis bukan disebabkan oleh kelainan jantung. Sedangkan apabila kenaikan tersebut tidak melebihi 100 mmHg, maka kemungkinan besar sianosis disebabkan oleh kelainan jantung. Pada bayi dengan PJB sianotik, PaO2 biasanya tidak melebihi 50 mmHg dan kenaikannya tidak akan melebihi 20 mmHg.19

d. Elektrokardiogram (EKG)

EKG merupakan salah satu pemeriksaan yang bermanfaat dalam mendukung diagnosis PJB, terutama apabila ekokardiografi tidak mudah untuk dilakukan. Peningkatan aktivitas dan hipertrofi ventrikel memberikan nilai penting untuk mengarah ke diagnosis. Walaupun beberapa PJBK dapat memperlihatkan gambaran yang sama, namun informasi dari pemeriksaan lain dapat saling mendukung untuk penegakkan diagnosis yang lebih akurat. Tabel di bawah ini memperlihatkan gambaran EKG pada beberapa PJBK.

Tabel 3 Gambaran EKG pada PJBK

Lesi PJBK Gambaran EKG Tetralogy of Fallot RAD, RVH atau BPH TAPVR RAD, RAH, RVH Pulmonal stenosis RVH atau normal Aorta stenosis LVH atau normal Koarktasio aorta RBBB (atau RVH)

TGA RAD, RVH, BVH (pada TGA denganVSD besar, PDA) Sumber: Myung, 2008.17

Keterangan: BVH, biventricular hypertrophy; RAD, right axis deviation; RBBB, right bundle branch block; RVH, right ventricular hypertrophy; LVH, left ventricular hypertrophy; TAPVR, total anomalous pulmonary venous return; TGA, transposition of great arteries.


(2)

9

e. Ekokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan metoda terbaik untuk menegakan diagnosis PJB. Identifikasi detail mengenai defek anatomi jantung didapatkan melalui kombinasi ekokardiografi dua dimensi dan

color flow mapping. Penilaian fungsi sistolik ventrikel, pengukuran dimensi ruang jantung dan ketebalan dinding dapat dilakukan dengan M-mode echocardiography.19

Teknik Doppler (pulsed/continuous) dapat digunakan untuk menilai pressure gradient aliran stenotik atau regurgitasi yang melalui katup. Berbagai bentuk gelombang Doppler dapat menilai fisiologi jantung abnormal.3, 19

VII. TATALAKSANA

PJB dengan sirkulasi pulmonal yang kurang (inadequate pulmonary blood flow)/ductal dependent pulmonary circulation/ right sided obtructive lesions

Presentasi klinik utama PJBK yang termasuk dalam kelompok ini seperti TOF dan PS/PA serta berbagai variannya adalah sianosis sentral. Derajat sianosis tergantung pada patensi duktus arteriosus. Sianosis dapat diperberat karena adanya konstriksi jaringan duktus. Bayi harus segera mendapatkan infus PGE1 untuk mempertahankan duktus arteriosus tetap terbuka sampai dilakukan operasi koreksi Blalock Taussig (BT) shunt.12

Manajemen saluran pernapasan harus menjadi perhatian utama dan infus PGE1 merupakan kunci utama untuk menurunkan resistensi vaskular pulmonal dan meningkatkan pirau kiri ke kanan sehingga meningkatkan aliran darah ke paru.6

Dosis inisial infus PGE1 adalah 0,05 μ g/kg/min. Jika tidak ada perbaikan, ditingkatkan menjadi

0.1 μ g/kg/min. Sesudah kondisi bayi stabil, dosis pemeliharaan PGE1 adalah 0.025 μ g/kg/min.

Apnea, bradikardia, hipotensi, fluid-electrolyte imbalances, rewel, demam dan cutaneous flushing

merupakan efek samping PGE1. Oleh karena itu, manajemen saluran pernapasan adalah esensial bersama dengan kewaspadaan terjadinya sepsis.3

PJB dengan sirkulasi sistemik yang kurang (inadequate systemic blood flow)/ductal dependent systemic circulation/ left sided obtructive lesions

Lesi PJBK dalam kelompok ini sangat bergantung pada duktus untuk dapat mempertahankan perfusi sirkulasi sistemik. Presentasi klinik utama adalah tanda adanya perfusi yang buruk,


(3)

10

hilangnya nadi pada ekstremitas bawah dan syok yang dapat menyerupai keadaan sepsis. Pemberian oksigen dapat mengeksaserbasi penutupan duktus arteriosus dan memperburuk kondisi bayi oleh adanya syok kardiogenik. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan untuk meningkatkan pemberian oksigen sampai infus PGE1 diberikan. Tatalaksana ditujukan untuk mengoptimalkan oksigenasi sistemik dan mencegah asidosis metabolik yang dapat memperburuk kondisi perioperatif.3

Terdapat 2 prinsip utama dalam manajemen PJBK kelompok ini. Pertama, mempertahankan patensi duktus (untuk menyediakan perfusi sistemik). Kedua, setelah patensi duktus dipersiapkan, perhatian harus ditujukan pada keseimbangan sirkulasi sistemik dan pulmonal.3, 14

Beberapa teknik yang dipakai untuk tujuan ini diantaranya adalah:

- Meningkatkan resistensi vaskular paru agar tidak terjadi oversirkulasi paru antara lain dengan cara menyesuaikan positive end expiratory pressure (PEEP) (4‒6 cm H2O), modulasi

inspiratory rate, mempertahankan tekanan/tidal volume agar tekanan CO2 arteri berkisar 5‒6 kPa, mencegah pemberian oksigen terlalu banyak, mempertahankan saturasi arteri sistemik sekitar 80% dan mencegah terjadinya alkalosis respiratorik.14

- Menurunkan resitensi vaskular sistemik agar mempertahankan perfusi sistemik yang lebih baik, dengan pemberian vasodilator, seperti phenoxybenzamine dan inhibitor phosphodiesterase (milrinone).3

Apabila masih didapatkan cardiac output yang rendah, maka penilaian ulang harus dilakukan. Pemberian infus PGE1 harus adekuat, volume intravaskular yang memadai dan adanya anemia harus diatasi. Infus inotropik dosis rendah dapat diberikan. Namun, pemberian infus inotropik dosis tinggi harus dihindari karena dapat meningkatkan resistensi vaskular sistemik.3

Tatalaksana paliatif secara fungsional terdiri dari 3 tahap: (1) Neonatus: operasi Norwood tahap I, (2) Usia 6-8 bulan: Norwood tahap II, (3) Usia 18 bulan- 5 tahun: Norwood tahap III.3

Hypoplastic left heart syndrome (HLHS) masih menjadi lesi PJBK kelompok ini dengan angka kematian yang paling tinggi. Walaupun hasil akhir operasi paliatif terus mengalami kemajuan, angka survival bagi penderita HLHS masih berkisar 65% pada usia 5 tahun dan 55% pada usia 10 tahun. 3, 20

PJB dengan pencampuran darah yang tidak memadai (inadequate mixing)/ductal independent mixing lesions

Pada lesi PJBK ini, contohnya pada TGA dengan septum ventrikular yang intak, diperlukan pencampuran darah (mixing) yang dapat diperoleh dengan tindakan balloon atrial septostomy


(4)

11

(BAS) atau sering disebut juga Raskind Balloon. Tindakan ini dilakukan dengan membuat lubang pada dinding septum interatrium via kateterisasi jantung. Terbukanya lubang interatrium akan meningkatkan saturasi oksigen dengan adanya pencampuran darah di level atrium, sehingga penderita TGA dapat menunggu tindakan operasi (arterial switch operation/Jatene operation) dengan kondisi yang lebih baik.3

PJB dengan pertukaran gas/udara yang tidak memadai (inadequate gas exchange)

Lesi PJBK pada kelompok ini adalah TAPVR (total anomalous pulmonary venous return). Tatalaksana yang paling efektif adalah operasi. Tujuan operasi adalah membuat koneksi antara vena pulmonalis dan atrium kiri. Penderita dengan TAPVR harus distabilkan sebelum dilakukan tindakan kateterisasi atau operasi. Bila terdapat obstruksi vena pulmonalis, dan terjadi gagal jantung/edema paru, maka pemberian antikongesti seperti digitalis dan diuretik perlu dipertimbangkan. Pada bayi dengan edema paru yang berat, sebaiknya dilakukan intubasi dan menerima bantuan ventilator dengan oksigen dan positive end-expiratory pressure. Operasi koreksi adalah suatu keharusan dan tidak ada operasi paliatif. Oleh karena itu, semua bayi dengan obstruksi vena pulmonalis harus dioperasi setelah diagnosis ditegakkan pada usia neonatus. Bayi yang tidak disertai adanya obstruksi vena pulmonalis namun didapatkan adanya gagal jantung, operasi dapat dilakukan pada usia 4-6 bulan.15, 17

VIII. KESIMPULAN

Penyakit jantung bawaan masih merupakan masalah kesehatan di berbagai negara. Penderita penyakit jantung bawaan kritis dapat memperlihatkan gejala utama kegawatan kardiovaskular seperti sianosis berat, distres pernapasan, syok atau gagal jantung. Diagnosis dini dan stabilisasi yang tepat sangat penting untuk meningkatkan kualitas tatalaksana neonatus dengan penyakit jantung bawaan kritis.


(5)

12 DAFTAR PUSTAKA

1. Mahle WT, Newburger JW, Matherne GP, Smith FC, Hoke TR, Koppel R, dkk. Role of pulse oximetry in examining newborns for congenital heart disease: a scientific statement from the American Heart Association and American Academy of Pediatrics. Pediatrics. 2009;124:823-36.

2. Chang RKR, Gurvitz M, Rodriguez S. Missed diagnosis of critical congenital heart disease. Arch Pediatr Adolesc Med. 2008;162(10):969-74.

3. Yun SW. Congenital heart disease in the newborn requiring early intervention. Korean J Pediatr. 2011;54(5):183-91.

4. Tanner K, Sabrine N, Wren C. Cardiovascular malformations among preterm infants. Pediatrics. 2005;116:e833-8.

5. Wren C, Richmond S, Donaldson L. Presentation of congenital heart disease in infancy: implications for routine examination. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 1999;80.

6. Yee L. Cardiac emergencies in the first year of life. Emerg Med Clin N Am. 2007;25:981-1008.

7. Marelli AJ, Mackie AS, Ionescu-Ittu R, Rahme E, Pilote L. Congenital heart disease in the general population: changing prevalence and age distribution. Circulation. 2007;115:163-72. 8. Hoffman JE, Kaplan S. The incidence of congenital heart disease. J Am Coll Cardiol.

2002;39:1890-900.

9. Schultz AH, Localio AR, Clark BJ, Ravishankar C, Videon N, Kimmel SE. Epidemiologic features of the presentation of critical congenital heart disease: implications for screening. Pediatrics. 2008;121:751-7.

10. Knowles R, Griebsch I, Dezateux C, Brown J, Bull C, Wren C. Newborn screening for congenital heart defects: a systematic review and cost-effectiveness analysis. Health Technol Assess. 2005;9:1-152.

11. Van der Linde D, Konings EEM, Slager MA, Witsenburg M, Helbing WA, Takkenberg JJM, dkk. Birth prevalence of congenital heart disease worldwide: a systematic review and meta-analysis. J Am Coll Cardiol. 2011;58(21):2241-7.

12. Lee JY. Clinical presentations of critical cardiac defects in the newborn: decision making and initial management. Korean J Pediatr 2010;53(6):669-79.


(6)

13

13. Patton C, Hey E. How effectively can clinical examination pick up congenital heart disease at birth? . Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2006;91(5):F263–7.

14. Penny DJ, Shekerdemian LS. Management of the neonate with symptomatic congenital heart disease. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2001;84:F141-5.

15. Nadas AS, Fyler DC. Hypoxemia. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas' pediatric cardiology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 97-101.

16. Morrow R, Baldwin S, Graham TP, Strauss AW, Kavanaugh-McHugh AL, Liske MR. Report of the tennessee task force on screening newborn infants for critical congenital heart disease. Pediatrics. 2005;118(4):e1251-6.

17. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-5. Philadephia: Mosby Elsevier; 2008.

18. Pickert CB, Moss MM, Fiser DH. Differentiation of systemic infection and congenital obstructive left heart disease in the very young infant. Pediatr Emerg Care. 1998;14:263-7. 19. Geggel RL, Fyler DC. History, growth, nutrition, physical examination, and routine laboratory

tests. Dalam: Keane JF, Lock JE, Fyler DC, penyunting. Nadas pediatric cardiology. Edisi ke-2. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2006. h. 130-4ke-2.

20. Alsoufi B, Bennetts J, Verma S, Caldarone CA. New developments in the treatment of hypoplastic left heart syndrome. Pediatrics. 2007;119(1):109-17.