ANALISIS TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN NIAGA BAHAN BAKAR MINYAK YANG DISUBSIDI OLEH PEMERINTAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)

(1)

ANALISIS TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU

PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN NIAGA BAHAN BAKAR MINYAK YANG DISUBSIDI OLEH

PEMERINTAH

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)

Oleh :

Wahdah Nora Harahap

Minyak dan gas bumi selalu menjadi permasalahan global karena keterbatasan jumlahnya dan sifatnya. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu produk utama dari hasil penyulingan minyak bumi. Adanya monopoli yang dilakukan menimbulkan beberapa penyimpangan, antara lain adalah penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah. Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi maka terjadi perubahan fundamental dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Salah satu kasus penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah adalah kasus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah dan apakah putusan bebas Mahkamah Agung telah mencerminkan rasa keadilan. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan yang ada. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 55 Undang-Undang No.22 Tahun


(2)

2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, putusan Pengadilan yang membebaskan Terdakwa itu dikarenakan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut. Dalam pertimbangan-pertimbangan yang diberikan Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yaitu bahwa Terdakwa tidak terbukti bersalah karena perbuatannya tidak sesuai dengan rumusan undang-undang yaitu Pasal 55 Undang-Undang No.22 Tahun 2001, yaitu unsur setiap orang, menyalahgunakan pengangkutan niaga. Permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan Bebas Mahkamah Agung sudah mencerminkan rasa keadilan, karena tidak ada satu buktipun yang dapat membuktikan Terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Fakta hukumnya Majelis Hakim menilai tidak ada niatan Terdakwa untuk merugikan kepentingan masyarakat banyak maupun merugikan kepentingan Negara, terdakwa tidak melakukan pengoplosan minyak tanah, penimbunan minyak tanah maupun melakukan pengangkutan dan penjualan minyak tanah keluar negeri.

Saran dari skripsi ini adalah, Diharapkan pada proses penyidikan diperlukan suatu sikap yang obyektif dan profesional dari para penyidik, sehingga proses penyidikan tidak mendapat campur tangan dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat agar citra kepolisian menjadi lebih baik di mata masyarakat.


(3)

A. Pendekatan Masalah

Berdasarkan klasifikasi penelitian hukum baik yang bersifat normatif maupun yang bersifat empiris serta ciri-cirinya, maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Pendekatan yuridis normatif dilakukan melalui studi kepustakaan, dengan cara mempelajari buku-buku, bahan-bahan bacaan literatur peraturan perundang-undangan yang menunjang dan berhubungan sebagai penelaahan hukum terhadap kaedah yang dianggap sesuai dengan penelitian hukum tertulis. Penelitian normatif terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, dasar hukum dan konsep-konsep hukum.

Pendekatan ini dilaksanakan dengan mempelajari norma atau kaidah hukum yaitu Undang-Undang tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang di subsidi oleh pemerintah dan peraturan-peraturan lainnya serta literatur-literatur yang berhubungan dengan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah.

B. Jenis dan Sumber Data

Menurut Maleong (2005:65) Sumber data yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah bersumber pada:


(4)

a. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari masyarakat. Dalam hal ini mengenai tugas dan wewenang Pengadilan Negeri sebagai penyelenggara peradilan di masyarakat dalam mengadili tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang di subsidi oleh pemerintah.

b. Data Sekunder, adalah data yang diperoleh dengan jalan menelaah bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang sesuai dengan masalah yang dibahas.

Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan (Library Research) dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan menganalisis berbagai literatur. Data sekunder yang terdiri dari 3 (tiga) bahan hukum yaitu:

a. Bahan hukum primer antara lain :

1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Jo. Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 197l tentang Pertamina.

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak Dan Gas Bumi. 5) Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum.

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.


(5)

b. Bahan Hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti buku-buku, literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan, yaitu:

1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

2) Rancangan KUHP dan Rancangan KUHAP.

3) Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008.

c. Bahan hukum tersier merupakan data pendukung yang berasal dari informasi dari buku-buku, literatur, media massa, kamus maupun data-data lainnya.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:

Studi dokumentasi dan Studi Pustaka, studi dokumentasi dan pustaka ini dilakukan dengan jalan membaca teori-teori dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (bahan hukum primer, sekunder dan bahan buku tersier). Kemudian menginventarisir serta mensistematisirnya.

2. Prosedur Pengolahan Data

Pengolahan data yang telah diperoleh maka penulis melakukan kegiatan-kegiatan antara lain:

a. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data yang telah diterima serta relevansinya dalam penelitian


(6)

b. Klasifikasi data adalah suatu kumpulan data yang diperoleh perlu disusun dalam bentuk logis dan ringkas, kemudian disempurnakan lagi menurut ciri-ciri data dan kebutuhan penelitian yang diklasifikasikan sesuai jenisnya. c. Sistematika data yaitu melakukan penyusunan data secara sistematis sesuai

dengan jenis dan pokok bahasan dengan maksud memudahkan dalam menganalisa data tersebut.

D. Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini yang bersifat sosial yaitu analisis secara kualitatif. Pengertian analisis kualitatif adalah tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku yang nyata. Sedangkan yang dimaksud dengan analisis kualitatif adalah penyorotan upaya-upaya yang banyak didasarkan pada pengukuran yang memecahkan objek-objek penelitian ke dalam unsur-unsur tertentu, untuk kemudian ditarik generalisasinya yang seluas mungkin terhadap ruang lingkup yang telah ditetapkan (Soerjono Soekanto. 1986:35).


(7)

PEMERINTAH

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008) (Skripsi)

Oleh :

Wahdah Nora Harahap

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(8)

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

E. Sistematika Penulisan... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 15

B. Tinjauan Umum Tentang Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana . 18 C. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Niaga... 26

D. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Putusan Pengadilan ... 30

E. Tugas Hakim Dalam Perkara Pidana... 36

F. Dasar Pertimbangan Hakim... 40

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 45

B. Jenis dan Sumber Data ... 45

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data... 47

D. Analisis Data ... 48

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kasus ... 49


(9)

Disubsidi Oleh Pemerintah... 51 C. Putusan Bebas Mahkamah Agung telah Mencerminkan Rasa

Keadilan... 60

V. PENUTUP

A. Simpulan... 71 B. Saran ... 72


(10)

Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

________.2009.Hukum Pidana.Universitas Lampung. Bandar Lampung. ________. 2008.Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta.

Arief, Barda Nawawi. 1998. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bhakti, Bandung.

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, Jakarta.

Atmasasmita, Romli. 1989.Asas-Asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan I, Jakarta.

B. Simandjuntak. 1981.Penanggulangan Kejahatan, Alumni, Bandung.

Bawengan, G.B. 1997. Masalah Kejahatan dengan Sebab Akibat, Pradnya Paramita, Jakarta.

Chazawi, Adami. 2007. Pelajaran Hukum Pidana II. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Ekana, Yana. 2009.Ilmu Pemerintah Dasar. Universitas Lampung Press, Bandar Lampung.

Hamzah, Andi. 2006. Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Harahap, M. Yahya. 1988. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Pustaka Kartini, Jakarta.

Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,. Alumni, Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bina cipta, Bandung.


(11)

Maleong, Lexy J. 2005.Metode Penelitian Sosial: Edisi Revisi, Bandung, Remaja Rosdakarya.

Mertokusumo, Sudikno. 1993. Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Moeljatno. 2003.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta. ________. 2005.Asas-Asas Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Cipta Aditya Bakti, Bandung.

Muhammad, Rusli. 2006. Potret Lembaga Pengadilan Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Mulyadi, Lilik. 2010.Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Pound, Roscoe. 1988. Filsafat Hukum, Bhratara, Jakarta.

Prodjodikoro, Wiryono. 2003. Tindak-Tindak Pidana tertentu di Indonesia. PT. Rafika Aditama. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. Rasjidi, Lili. 1978.Dasar-Dasar Filsafat Hukum,Alumni, Bandung.

Saifudien. 2001.Delik-Delik Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung.

Saleh, Roeslan. 1983.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta.

_______.1983.Stelsel Pidana Indonesia,Aksara Baru,Jakarta.

Sianturi, S.R. 1996. Asas-Asas Pidana Di Indonesiadan Penerapannya, Alumni, Bandung.

Siswanto, Heni. 2005.Bahan Ajar Hukum Pidana. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Cet ke-3. UI Press, Jakarta.

________.1983.Kriminologi, Suatu Pengantar,Ghalia Indonesia, Jakarta. ________. 1986.Metode Penelitian Sosial. Bina Rupa Aksara, Jakarta.


(12)

Syani, Abdul. 1987.Sosiologi Kriminalitas, Remadja Karya, Bandung. Prasetyo, Teguh. 2011.Hukum Pidana. Rajawali Pers, Jakarta.

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Unila, Press. Bandar Lampung.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 197l tentang Pertamina.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008/PN.JKT.PST


(13)

A. Latar Belakang Masalah

Sumber energi yang banyak digunakan untuk memasak, kenderaan bermotor, dan industri berasal dari minyak bumi, gas alam dan batubara. Ketiga jenis bahan bakar tersebut berasal dari pelapukan sisa-sisa organisme sehingga disebut bahan bakar fosil. Minyak bumi dan gas alam berasal dari jasad renik, tumbuhan dan hewan yang mati.

Sisa-sisa organisme mengendap di dasar bumi kemudian di tutupi lumpur. Lumpur tersebut lambat laun berubah menjadi bebatuan karena pengaruh tekanan di atasnya. Sementara itu dengan meningkatnya tekanan dan suhu, bakteri anaerob menguraikan sisa-sisa jasad renik itu menjadi minyak dan gas. Selain bahan bakar, minyak dan gas bumi merupakan bahan industri yang penting. Bahan-bahan atau produk yang di buat dari minyak dan gas bumi ini disebut petrokimia. Dewasa ini puluhan ribu jenis bahan petrokimia tersebut dapat digolongkan kedalam plastik, serat sintetik, pestisida, detergen, pelarut, pupuk, dan berbagai jenis obat.

Minyak dan gas bumi selalu menjadi permasalahan global karena keterbatasan jumlahnya dan sifatnya. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu produk utama dari hasil penyulingan minyak bumi, selain produk petrokimia lainnya. BBM berfungsi dalam proses pembakaran sebagai penghasil energi pada


(14)

proses combustion mesin-mesin, baik pada mesin industrial, transportasi, dan kegiatan rumah tangga.

Di Indonesia, minyak dan gas bumi dikuasai dan dimiliki oleh negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Mengingat betapa pentingnya sektor minyak dan gas bumi bagi pembangunan negara Republik Indonesia dan juga karena berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, maka pemerintah sejak awal telah memberikan hak monopoli terhadap pertamina untuk pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 Tentang Pertamina, Pemerintah memberikan kewenangan kepada pertamina sebagai satu-satunya perusahaan milik negara untuk melakukan pengelolaan minyak dan gas bumi yang meliputi ekporasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan dan penjualan.

Pemerintah memberikan tugas secara tegas kepada pertamina untuk menyediakan dan melayani kebutuhan BBM dan gas bumi untuk dalam negeri, Sehingga pertamina merupakan Badan Usaha Milik Negara yang memiliki kewenangan yang sangat besar dan memonopoli semua kegiatan dari hulu sampai hilir minyak dan gas bumi di Indonesia.

Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka terjadi perubahan fundamental dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Sifat monopolistik yang dianut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, berganti dengan semangat liberalisme dan persaingan usaha. Pelaku usaha swasta dan asing yang sebelumnya tidak dapat terjun dalam kegiatan usaha hilir minyak dan gas, sekarang di perbolehkan.


(15)

Pada sektor Hulu, “Kuasa Pertambangan” minyak dan gas bumi dikembalikan kepada Pemerintah (sebelumnya dipegang Pertamina). Di sektor Hilir, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 mengamanatkan dibukanya sektor yang sebelumnya dimonopoli Pertamina. Pada kegiatan usaha Hulu dibentuk Badan Hukum milik Negara yang disebut Badan Pelaksana kegiatan usaha hulu Migas (BP Migas) yang bertugas menandatangani kontrak kerja sama, mengawasi pelaksanaan kontrak kerja sama yang semula berada pada pertamina.

Di sektor Hilir dibentuk Badan Pengatur (BPH Migas). Badan ini akan mengawasi pelaksanaan aktivitas di sektor Hilir Migas, terutama ketersediaan dan distribusi bahan bakar minyak tertentu (BBM) dan kegiatan usaha penyaluran gas alam di pasar dalam negeri. Semula hal ini menjadi tanggung jawab pertamina. Pertamina menjadi Perusahaan (persero) milik negara dan akan bertindak sebagai salah satu pelaku bisnis minyak dan gas bumi disektor hulu maupun hilir.

Kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 1 dan angka 2 dapat dilaksanakan oleh :

1. Badan Usaha Milik Negara; 2. Badan Usaha Milik Daerah; 3. Koperasi Usaha Kecil;

4. Badan Usaha Swasta (Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 2001).

Monopoli pertamina, baik dalam sektor eksplorasi dan eksploitasi (sektor hulu) maupun kewajiban penyediaan BBM (sektor hilir) dihapuskan dan diberlakukan sistem pasar persaingan, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi :


(16)

“Kegiatan Usaha Hilir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 2 diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat, dan transparan. (Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001).”

Adanya monopoli yang dilakukan menimbulkan beberapa penyimpangan, antara lain adalah penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah. Salah satu kasus penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah adalah kasus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008.

Kasus ini diawali dari saksi Ngatirun sebagai anggota Polda Metro Jaya pada hari senin, tanggal 7 januari 2008 menerima informasi dari masyarakat yang mengatakan bahwa di Jalan Pembangunan II No.15 C RT.09, RW.02, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat ada penampungan minyak tanah liar, selanjutnya saksi beserta team Sat Sumdaling langsung melakukan penyelidikan dan pemeriksaan di tempat yang diinformasikan oleh warga sekitar tersebut di atas dan ternyata benar di tempat tersebut saksi menemukan 29 jerigen berisi 865 liter minyak tanah dan 1 (satu) unit mobil pick up merk Suzuki Carry Nomor Polisi B 9736 QM.

Kemudian diketahui pemilik minyak tanah tersebut adalah terdakwa Takhmudi dan setelah ditanyakan mengenai izin pengangkutan minyak tanah dengan mobil tersebut terdakwa mengatakan tidak mempunyai izin angkut minyak tanah, sedangkan terdakwa mendapatkan minyak tanah tersebut di daerah Cisarua Bogor dengan cara terdakwa mutar-mutar dengan mengendarai mobil Suzuki Pick Up warna biru dengan Nomor Polisi B 9736 QM milik saksi Rojali yang terdakwa


(17)

sewa per harinya Rp.60.000,- (enam puluh ribu rupiah) diperjalanan terdakwa mendapatkan minyak tanah tersebut dan tukang dorong setelah terdakwa tawar dan harganya cocok Rp.3.500,- (tiga ribu lima ratus rupiah) per liter terdakwa membeli kemudian terdakwa masukkan ke mobil setelah penuh kemudian minyak tanah tersebut terdakwa bawa pulang ke rumah untuk dijual ke warung-warung dengan harga Rp.4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) per liter.

Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 663/Pid.B/2008/PN.JKT.PST tanggal 26 Juni 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa terdakwa Takhmudi tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa/Penutut Umum baik dalam dakwaan Primair maupun dakwaan Subsidair;

2. Membebaskan terdakwa dari dakwaan tersebut;

3. Memerintahkan agar terdakwa segera dibebaskan dari tahanan;

4. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya;

5. Memerintahkan barang bukti berupa :

a. Sebuah mobil pick up warna biru, merk Suzuki No.Pol. B 9736 QM, STNK, kunci kontak dan Buku Uji Kendaraan Bermotor (KIR) dikembalikan kepada saksi Rojali selaku pemilik;

b. 29 (dua puluh sembilan) jerigen minyak tanah masing-masing 10 (sepuluh) jerigen berisi 20 (dua puluh) liter, dan 9 (sembilan) jerigen berisi 35 (tiga puluh lima) liter milik terdakwa;


(18)

Dikembalikan kepada terdakwa; 6. Membebankan biaya perkara kepada Negara;

Setiap orang yang melakukan Pengolahan tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah). Pengangkutan tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh miliar rupiah). Penyimpanan tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,- (tiga puluh miliar rupiah). Niaga tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp. 30.000.000.000,-(tiga puluh miliar rupiah).

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan, mahkamah agung juga berwenang mengadili pada tingkat kasasi dan menguji Peraturan Perundang-undangan seperti yang diatur pada Pasal 20 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa mahkamah agung dalam mengadili pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada mahkamah agung terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua lingkungan peradilan. Berdasarkan uraian di atas, bahwa perkara pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah dan mendapatkan putusan dari mahkamah agung sebagai Pengadilan tertinggi negara.


(19)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan oleh penulis diatas, maka penulis tertarik untuk menyusunnya sebagai penulisan hukum dengan judul “Analisis tindak pidana terhadap pelaku penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)”.

B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka ada beberapa masalah yang dapat dirumuskan yaitu:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah?

b. Apakah putusan bebas mahkamah agung telah mencerminkan rasa keadilan?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Mengingat permasalahan tersebut memerlukan suatu pembatasan ruang lingkup, ruang lingkup dalam penulisan ini terutama pada pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah serta putusan bebas mahkamah agung telah mencerminkan rasa keadilan berdasarkan putusan mahkamah agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008.


(20)

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai agar penelitian tersebut dapat menemukan, mengembangkan, menguji kebenaran suatu pengetahuan dengan metode-metode ilmiah dan memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi. Berdasarkan hal tersebut di atas, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah.

b. Untuk mengetahui putusan bebas mahkamah agung telah mencerminkan rasa keadilan.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian hukum ini, adalah : a. Kegunaan Teoritis

1) Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan untuk bidang hukum pidana pada khususnya.

2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi di dunia kepustakaan dan memberi masukan kepada pihak-pihak lain yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penulisan ilmiah bidang hukum selanjutnya.


(21)

b. Kegunaan Praktis

1) Dapat membantu penulis dalam mengembangkan diri, membentuk pola pikir yang terpadu dan berpola, serta menambah penalaran penulis di dalam menerapkan ilmu yang telah diperoleh.

2) Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai putusan hakim terhadap tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah.

3) Untuk memberikan jawaban atas rumusan masalah yang sedang diliti oleh penulis.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Toeritis

Kerangka teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asa, keterangan sebagai satu kesatuan logis yang menjadi landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan (Abdulkadir Muhammad, 2004 : 73).

Untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Sesuai dengan asas legalitas yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1 ayat (1) sebagai berikut:

“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”


(22)

Menurut Van Hamel, kemampuan bertanggungjawab adalah suatu keadan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 (tiga) kemampuan :

a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri;

b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan;

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu. (Tri Andrisman, 2009 : 97).

Membahas permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana, sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (S.R. Sianturi, 1996 : 164).

Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psichologish. Demikian misalnya pandangan dari pembentuk Wvs. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya bathin dari pada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai


(23)

keadaan bathinnya itu, apakah dinilai ada ataukah tidak ada kesalahannya. Kemudian dapat disimpulkan bahwa unsur kesalahan itu, mempunyai unsur-unsur pula (S.R. Sianturi, 1996 : 164-166), yaitu:

(1) Kemampuan bertanggungjawab;

(2) Kesengajaan atau kealpaan, (sebagai bentuk kesalahan, dan pula sebagai penilaian dari hubungan bathin dengan perbuatannya pelaku);

(3) Tidak adanya alasan pemaaf.

Menurut Romli Atmasasmita (1989 : 79), pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Menurut Roeslan Saleh (1982 : 33), berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan antara konsep-konsep khusus yang menjadi kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti (Soerjono Soekanto, 1986, 132). Beberapa pengertian dasar istilah-istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain yaitu :

a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan sebenarnya (sebab musabab, duduk perkaranya). (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2003:43).

b. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. (Roeslan Saleh, 1983 : 75).


(24)

c. Pidana adalah penderitaan yang sengaja dijatuhkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu. Pidana berupa sanksi pidana atau tindakan tata tertib. (Heni Siswanto, 2005 : 10). d. Tindak pidana menurut moeljatno dapat disamakan dengan perbuatan pidana

yang artinya adalah perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut. (Sudarto, 1990 : 43).

e. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan/atau hasil olahannya dari Wilayah Kerja atau dari tempat penampungan dan Pengolahan, termasuk pengangkutan Gas Bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. (Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001). f. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor Minyak Bumi

dan/atau hasil olahannya, termasuk Niaga Gas Bumi melalui pipa. (Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001).

g. Bahan Bakar Minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi. (Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001). h. Pemerintah adalah sebagai sekumpulan orang-orang yang mengelola

kewenangan-kewenangan, melaksanakan kepemimpinan dan koordinasi pemerintahan serta pembangunan masyarakat dari lembaga-lembaga dimana mereka ditempatkan. (Yana Ekana, 2009 : 8).

i. Mahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945. (Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009, 2010 : 3).


(25)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai sistematika penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab.

Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut : I. PENDAHULUAN

Pada awal bab ini penulis memberikan gambaran awal penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, serta kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dan sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan suatu bab yang menjelaskan mengenai pengertian-pengertian yaitu Tinjauan umum tindak pidana, tinjauan umum tentang pertanggungjawaban pidana, pengertian dan dasar hukum tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan, kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, tugas hakim dalam perkara pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab metode penelitian menjelaskan mengenai metode-metode yang digunakan dalam penelitian guna menyelesaikan skripsi ini yaitu menjelaskan mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.


(26)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Menyajikan pembahasan hasil penelitian yaitu prosedur penjatuhan putusan pada tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar yang disubsidi oleh pemerintah.

V. PENUTUP

Bab penutup merupakan bab terakhir dalam suatu karya ilmiah dalam hal ini adalah skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.


(27)

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

Pidana memiliki pengertian perbuatan yang dilakukan setiap orang/subjek hukum yang berupa kesalahan dan bersifat melanggar hukum ataupun tidak sesuai dengan perundang-undangan (KUHP). Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh Peraturan Perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh Peraturan Perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar (Barda Nawawi Arief, 1996 : 152-153).

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaar feit, didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni delictum (Teguh Prasetyo, 2011:47).


(28)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindakpidana.”

Arti terpenting dari adanya hukum pidana sebagai bagian dari sistem hukum yang berlaku di dalam suatu negara terletak pada tujuan hukum pidana itu sendiri yakni menciptakan tata tertib di dalam masyarakat sehingga kehidupan masyarakat dapat berlangsung dengan damai dan tentram. Tujuan hukum pidana secara umum demikian ini, sebenarnya tidak banyak berbeda dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang-bidang hukum lainnya. Perbedaannya terletak pada cara kerja hukum pidana dalam mencapai tujuannya, yaitu bahwa upaya untuk mewujudkan tata tertib dan suasana damai ini oleh hukum pidana ditempuh melalui apa yang didalam ilmu hukum pidana dikenal dengan istilah pemidanaan atau pemberian pidana.

Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraaan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. (dalam Tri Andrisman, 2009:70)

Simons menyatakan bahwa tindak pidana adalah kelakuan/handeling yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. (dalam Tri Andrisman, 2009:70)


(29)

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. (dalam Tri Andrisman, 2009:70). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengklasifikasikan tindak pidana atau delik kedalam dua kelompok besar yaitu dalam Buku Kedua dan Buku Ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.

Dalam memberikan defenisi mengenai tindak pidana, ada dua pandangan bertolak belakang yaitu :

a. Pandangan / Aliran Monistis, yang tidak memisahkan antara pengertian dan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana.

b. Pandangan / Aliran dualistis, yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana (criminal act atau actus reus) dan dapat dipertanggungjawabkan si pembuat (criminal responsibility atau mens rea). (Heni Siswanto, 2005 : 15).

Perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Atau dapat diartikan pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi hukum yang berupa pidana. Dari definisi diatas dapat dicari beberapa unsur-unsur tindak pidana yaitu :

1. Perbuatan manusia;

2. Memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil: sebagai konsekuensi adanya asas legalitas);


(30)

3. Melawan hukum (syarat materil);

4. Kesalahan dan kemampuan berpertanggungjawab. (Heni Siswanto, 2005:16).

B. Tinjauan Umum Tentang Teori-Teori Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum semata-mata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi walaupun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, yaitu bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Menurut Romli Atmasasmita (1989 ; 79), pertanggungjawaban atau liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dan seseorang yang dirugikan. Menurut Roeslan Saleh (1983 ;33), berpendapat bahwa tanggung jawab atas sesuatu perbuatan pidana yang bersangkutan secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.

Seseorang untuk dapat dijatuhi pidana dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran yaitu ajaran (aliran) monisme dan ajaran (aliran) dualisme. Ajaran (aliran) monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan


(31)

pidana sudah pasti dipidana jika perbuatannya itu tidak memenuhi rumusan delik tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak. Ajaran (aliran) dualisme, memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap seseorang, maka pertama terlebih dahulu harus dilihat apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi kemudian masuk pada tahap kedua yaitu melihat apakah ada kesalahan, kemudian ketiga melihat apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab (dalam Romli Atmasasmita, 1989 : 38), merumuskan kedua ajaran (aliran) tersebut di dalam satu rumusan syarat-syarat pemidanaan yaitu:

a. Ajaran (aliran) monisme atau klasik:

c=ab Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan ab berarti seluruh unsur-unsur darifeit

b. Ajaran (aliran) dualisme atau modern:

c=a + b Keterangan: c berarti syarat-syarat pemidanaan a + b berarti dua kelompok unsurfeitdandader

Berdasarkan ajaran ini, dibutuhkan dalam syarat-syarat pemidanaan harus dipenuhi unsur-unsur dari tindak pidana. Selain itu, dalam poin b ditambahkan satu unsur lagi adalah adanya pelaku (dader).

Mengenai subyek atau pelaku perbuatan pidana secara umum hukum hanya mengakui sebagai pelaku, sedangkan pertanggungjawaban pidana dianut asas kesalahan, yang berarti untuk dapat menjatuhkan pidana kepada pembuat delik disamping harus memenuhi unsur-unsur rumusan delik juga harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab (Barda Nawawi Arief, 2002: 85).


(32)

Dengan adanya atau berlakunya asas kesalahan tersebut, tidak semua atau belum tentu semua pelaku tindak pidana dapat dipidana. Misalnya, orang gila telah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap seorang anak yang sedang bermain. Orang gila tersebut tidak dapat dipidana karena tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab sebagai unsur dari kesalahan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.

Adapun unsur dari kesalahan itu sendiri selain kemampuan bertanggungjawab yaitu unsur kesengajaan (dolus/opzet) dan kelalaian (culpa/alpa), serta unsur tidak ada alasan pemaaf.

Unsur-unsur kesalahan tersebut dijelaskan satu persatu sebagai berikut: 1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur pertama dari kesalahan yang harus terpenuhi untuk memastikan bahwa pelaku tindak pidana dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya atau dapat di pidana. Kemampuan bertanggung jawab biasanya dikaitkan dengan keadaan jiwa pelaku tindak pidana.

Menurut Moeljatno (1993: 165), dari ucapan-ucapan para sarjana kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:


(33)

(1) kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum;

(2) kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi.

Pertama merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak. (Moeljatno, 1993: 165-166)

Pasal yang mengatur mengenai kemampuan bertanggungjawab ini adalah Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu berdasarkan undang-undang ada beberapa hal yang menyebabkan pelaku tindak pidana tidak mampu bertanggungjawab, misalnya masih di bawah umur, ingatannya terganggu oleh penyakit, daya paksa, pembeban terpaksa yang melampaui batas. Apabila keadaan-keadaan tersebut melekat pada pelaku tindak pidana, maka undang-undang memaafkan pelaku sehingga ia terbebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam ilmu kedokteran kejiwaan dikenal beberapa jenis penyakit jiwa yang membuat seseorang tidak mampu untuk bertanggung jawab untuk sebagian. Beberapa penyakit tersebut antara lain yaitu:

a. Kleptomanieadalah penyakit jiwa yang berwujud dorongan yang kuat dan tak tertahan untuk mengambil barang orang lain, tetapi tidak sadar bahwa perbuatannya di larang,


(34)

b. Pyromanie adalah penyakit jiwa berupa kesukaan untuk melakukan pembakaran tanpa alasan sama sekali.

Seseorang yang menderita penyakit tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya yang berhubungan dengan penyakitnya. Namun jika ia melakukan perbuatan pidana yang tidak ada hubungannya dengan penyakitnya maka ia dapat dipidana. Dalam hal lain yaitu seseorang kurang mampu bertanggungjawab atau memiliki kekurangan kemampuan untuk bertanggungjawab, faktor tersebut digunakan untuk memberikan keringanan dalam pemidanaan. Cara menentukan kekurangan kemampuan untuk bertanggungjawab ini dinyatakan oleh psikiater berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan.

2. Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa)

Kesengajaan (Dolus/Opzet) dan Kealpaan (Culpa/Alpa) merupakan unsur kedua dari kesalahan dimana keduanya merupakan hubungan batin antara pelaku tindak pidana dengan perbuatan yang dilakukan. Mengenai kesengajaan (dolus/opzet), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak memberikan pengertian. Namun pengertian kesengajaan (dolus/opzet) dapat diketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yang memberikan arti kesengajaan sebagai “menghendaki dan mengetahui”.

Hukum pidana mengenal beberapa teori yang berkaitan dengan kesengajaan (dolus/opzet) yaitu:


(35)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang.

b. Teori Pengetahuan atau Membayangkan (Voorstellingtheorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. (Heni siswanto, 2005 : 52).

Kesengajaan (dolus/opzet) memiliki 3 (tiga) bentuk corak batin yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai suatu tujuan (opzet als oogmerk) atau dolus directus. Dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.

2) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang mendasar dari delik, tetapi ia tahu benar akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (voorwaardelijk opzet) atau dolus eventualis. Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belakangan akibat itu. ( Wirjono Prodjodikoro, 1996:65-72).

Membicarakan mengenai kelalaian (culpa/alpa), meskipun pada umumnya setiap kejahatan diperlukan unsur kesengajaan untuk dapat dipidananya pelaku tindak pidana, tetapi walaupun unsur kesengajaan tidak terpenuhi dan yang terpenuhi


(36)

adalah unsur kelalaian/kealpaan juga dapat dipidana. Misalnya Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:

“Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang di pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal lain yang mengatur hal yang sama antara lain Pasal 188, Pasal 360, dan Pasal 409 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun alasan pembentuk undang-undang mengancam pidana perbuatan yang mengandung unsur kealpaan dapat diketahui dari MvT (Memorie van Toelichting), yaitu:

“ada keadaan yang sedemikian membahayakan keamanan orang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi, sehingga undang-undang juga bertindak terhadap kekurangan perhatian, sikap sembrono (teledor), pendek kata terhadap kealpaan yang menyebabkan keadaan tersebut”.

Menurut Van Hamel (dalam Moeljatno, 1993: 201), kealpaan mengandung dua syarat yaitu:

1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2) Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

Keterangan resmi dari pembentuk KUHP mengenai persoalan mengapa culpa juga diancam dengan pidana, walaupun lebih ringan, adalah bahwa berbeda dengan kesengajaan atau dolus yang sifatnya “menentang larangan justru dengan melakukan perbuatan yang dilarang”. Dalam hal kealpaan atau culpa si pelaku “tidak begitu mengindahkan adanya larangan”. (Teguh Prasetyo, 2011: 106-107)


(37)

3. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dipidananya si pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yang bersifat subyektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan berbuat; dan (2) atas dasar pembenar (rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat obyektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. (Adami Chazawi, 2007: 18).

Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi ia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. (Tri Andrisman, 2009: 113)

Alasan pemaaf atau schulduitsluitingsgrond ini menyangkut pertanggungjawaban seseorang terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukannya atau criminal responsibility. Alasan pemaaf ini menghapuskan kesalahan orang yang melakukan delik atas dasar beberapa hal. (Teguh Prasetyo, 2011: 126-127)

Dalam kesalahan tidak ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf terdapat dalam Pasal 44, Pasal 49 ayat (2), dan Pasal 51 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa pembuat harus mampu bertanggungjawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan, apabila seseorang itu tidak mampu bertanggung jawab.


(38)

Dalam Pasal 44 KUHP menyebutkan, “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”.

C. Pengertian dan Dasar Hukum Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Niaga

Pembahasan tentang penyidikan suatu tindak pidana tidak terlepas dari aspek filosofisnya sebagaimana termuat dalam alinea ke-2 dan ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Barang bukti adalah benda bergerak atau tidak berwujud yang dikuasai oleh penyidik sebagai hasil dari serangkaian tindakan penyidik dalam melakukan penyitaan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberi definisi penyidikan sebagai berikut : “Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”


(39)

Penyidikan dalam bahasa Belanda ini sama denganopsporing.Menurutde Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Bagian-bagian hukum acara pidana yang menyangkut penyidikan menurut (Andi Hamzah, 2006 : 17) adalah sebagai berikut :

1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik.

2. Ketentuan tentang diketahuinya terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian.

4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara.

6. Penggeledahan.

7. Pemeriksaan atau interogasi.

8. Berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat). 9. Penyitaan.

10. Penyampingan perkara.

11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.

Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 berbunyi : “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam


(40)

Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Sesuai bunyi alinea tersebut, maka negara wajib melindungi dan mengatur mengenai hak dan kewajiban warga negaranya melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh warga negara Indonesia agar tercipta suasana dan kondisi yang aman, damai dan tentram di dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia.

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi : “Negara Indonesia adalah negara hukum” Negara hukum adalah suatu negara yang diatur dengan sebaik-baiknya berdasarkan undang-undang, sehingga segala kekuasaan dan alat-alat pemerintahan didasarkan atas hukum. Pendapat lain bahwa negara hukum adalah negara yang diperintah oleh hukum bukan oleh orang atau kelompok orang (a state that not governed by men, but by laws). Supomo dalam bukunya UUDS RI mengartikan istilah negara hukum sebagai negara yang tunduk kepada hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi segala alat negara, badan negara, dan semua komponen Negara .(Andi Hamzah, 2006: 9).

Mochtar Kusumaatmadja (1972: 10) menyatakan bahwa dalam negara hukum “Rule of law” untuk Republik Indonesia harus menganut asas dan konsep Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yakni :

1. Asas Ketuhanan (mengamanatkan bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang anti agama).

2. Asas Kemanusiaan (mengamanatkan bahwa hukum nasional harus menjamin, melindungi hak asasi manusia).


(41)

3. Asas Kesatuan dan Persatuan (mengamanatkan bahwa hukum Indonesia harus merupakan hukum nasional yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia, berfungsi sebagai pemersatu bangsa).

4. Asas Demokrasi (mengamanatkan bahwa kekuasaan harus tunduk pada hukum yang adil demokratis).

5. Asas Keadilan Sosial (mengamanatkan bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama bahwa semua orang sama dihadapan hukum).

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana penyelundupan bahan bakar minyak, diantaranya sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1960 Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi;

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi; 4. Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan; 5. Pasal 1 ayat (5) KUHAP Tentang Penyelidikan; 6. Pasal 1 ayat (2) KUHAP Tentang Penyidikan;

7. Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Tentang Kewenangan Penyidik;

8. Pasal 7 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa untuk penyidikan terhadap tindak pidana tertentu dapat dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dalam pelaksanaan tetap berada dibawah Korwas Penyidik Polri.


(42)

D. Pengertian dan Bentuk-bentuk Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan merupakan output suatu proses peradilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, dan pemeriksaan barang bukti.

Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP disebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana. (Rusli Muhammad, 2006 : 115).

Bentuk-bentuk putusan hakim dalam perkara pidana menurut dimensi teoritis dan praktis dibagi dalam 3 putusan yaitu :

1. Putusan Bebas (Vrijspraak/Acquittal)

secara teoritis, putusan bebas dalam rumpun hukum Eropa Kontinental lazim disebut dengan istilah vrijspraak, sedangkan dalam rumpun Anglo-Saxon disebut putusan acquittal. Pada asasnya eksistensi putusan bebas terjadi karena terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya. Konkritnya terdakwa dibebaskan dari tuntutan hukum, atau terdakwa ”tidak dijatuhi pidana”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP beserta penjelasannya menentukan putusan bebas/vrijspraakdapat terjadi apabila :


(43)

a. Dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan

b. Kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadananya tidak terbukti secara sah dan mayakinkan menurut hukum karena :

1. tidak terdapatnya alat bukti seperti ditentukan asas minimum pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijs theorie) sebaimana dianut oleh KUHAP. Misalnya, hakim dalam persidangan tidak menentukan satu alat bukti berupa keterangan terdakwa saja (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP) atau satu alat bukti petunjuk saja (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP).

2. majelis hakim berpendirian terhadap asas minimum pembuktian sesuai undang-undang telah terpenuhi, misalnya adanya dua alat bukti berupa keterangan saksi (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan alat bukti petunjuk (Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP). Akan tetapi, majelis hakim tidak dapat menjatuhkan pidana karena tidak yakin akan kesalahan terdakwa.

3. oleh karena itu majelis hakim menjatuhkan putusan bebas (vrijspraak/acquittal) kepada terdakwa.

Dalam praktik peradilan, jika seorang terdakwa oleh majelis hakim dijatuhi putusanvrijspraak, pada hakikatnya amar/diktum putusannya harus berisikan :

”Pembebasan terdakwa secara sah dan meyakinkan dari segala dakwaan, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan serta martabatnya, memerintahkan terdakwa segera dibebaskan dari tahanan


(44)

setelah putusan diucapkan apabila terdakwa ditahan dan pembebasan biaya perkara kepada negara”

2. Putusan Pelepasan dari segala tuntutan hukum (Onslag van Alle Rechtsvervolging)

Secara fundamental terhadap ”putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum” atau onslag van alle rechtsvervolging di atur dalam ketentuan Pasal 191 ayat (2) dirumuskan dengan redaksional bahwa :

”Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.

Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.

Pelepasan dari segala tuntutan hukum dijatuhkan apabila terdapat hal-hal yang menghapuskan pidana baik yang menyangkut perbuatannya sendiri maupun yang menyangkut diri pelaku perbuatan itu, misalnya terdapat pada :

a. Pasal 44 KUHP, yaitu orang yang sakit jiwa atau cacat jiwanya; b. Pasal 48 KUHP tentang keadaan memaksa (over macht); c. Pasal 49 KUHP tentang membela diri;


(45)

d. Pasal 50 KUHP, yakni melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang.

e. Pasal 51 KUHP melakukan perintah yang diberikan oleh atasan.

Terdapat pula hal-hal yang menghapuskan pidana secara khusus yang diatur dalam Pasal tertentu dalam undang-undang, misalnya Pasal 166 dan 310 ayat (3) KUHP. Dengan demikian terdakwa yang memenuhi kriteria masing-masing Pasal, baik yang mengatur hal-hal yang menghapuskan pidana secara khusus maupun secara umum, seperti tersebut diatas, tidak dapat dipertanggungjawabkan meskipun perbuatan yang didakwakan itu terbukti. (Rusli Muhammad ,2006 : 117-119).

Apabila dikonklusikan dan dijabarkan lebih jauh, baik secara teoritis maupun praktik, pada ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP terhadap putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging) terjadi jika :

a. Dari hasil pemerikasaan didepan sidang pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, tetapi perbuatan bukanlah merupakan tindak pidana, melainkan misalnya termasuk yurisdiksi hukum perdata, adat, atau dagang.

b. Perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi amar/diktum putusan hakim melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum karena adanya alasan pemaaf (strafuitslulings-gronden/feit de’axcuse) dan alasan pembenar (rechtsvaardigings-grond). ( Lilik Mulyadi, 2010 : 186-187).


(46)

3. Putusan Pemidanaan (Veroordeling)

Pada asasnya putusan pemidanaan atau ”veroordeling” diatur dalam Pasal 191 ayat (3) KUHAP dengan redaksional bahwa :

”Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.

Dalam praktik peradilan, lazimnya terhadap putusan pemidanaan kerap muncul nuansa yuridis. Jika tidak dilakukan penahanan terhadap terdakwa majelis hakim memerintahkan bahwa terdakwa tetap ditahan yang diancam dengan pidana % tahun atau lebih atau jika pidana itu yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP dan terdapat alasan untuk itu.

Ada 3 sebab keputusan hakim, menurut keputusan hakim lain yaitu :

1. karena keputusan itu mempunyai kekuasaan lebih tinggi, terutama keputusan Pengadilan Tinggi Mahkamah Agung.

2. karena pertimbangan praktis, 3. kerena sependapat.

Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP diatur bahwa sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil pemufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai maka ditempuh dua cara:


(47)

b. jika yang tersebut pada huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan, yang dipilih ialah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Andi Hamzah, 2008 :283).

Setelah hakim membacakan putusan yang mengandung pemidanaan, wajib bagi hakim memberitahukan kepada terdakwa akan haknya. Dengan adanya hak-hak terdakwa tersebut, terhadap setiap putusan yang mengandung penghukuman dimana terdakwa merasa tidak puas, dapat mengajukan pemeriksaan tingkat banding. (Rusli Muhammad , 2006 : 120 ).

E. Tugas Hakim Dalam Perkara Pidana

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman memuat bahwa untuk melaksanakan peradilan yang baik sesuai dengan bidang permasalahan yang dihadapi masing-masing orang untuk memperoleh keadilan dan kebenaran maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menetapkan Badan-Badan Peradilan sebagai pelaksana Kekuasaan Kehakiman yang melingkupi empat Badan Peradilan yaitu:

1. Peradilan Umum 2. Peradilan Agama 3. Peradilan Militer dan

4. Peradilan Tata Usaha Negara (Barda Nawawi, 1998: 16)


(48)

Bentukan badan peradilan di atas (Pengadilan Negeri) dapat bertugas untuk mengadili tindak pidana korupsi setelah mendapat bukti-bukti yang diajukan secara resmi oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan. Mekanisme sistem peradilan pidana akan melibatkan penegak hukum pidana, baik hukum pidana substantif, hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Disamping itu dapat dilihat pula bentuknya baik yang bersifat preventif, represif maupun kuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antara sub sistem peradilan pidana, yakni lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Bahkan dapat terkait lembaga penasehat hukum dan masyarakat. (Romli Atmasasnita, 1996: 3).

Romli Atmasasmita (1996 : 4) berpendapat, bahwa ciri pendekatan sistem peradilan pidana ialah : Titik berat pada koordinasi dan singkronisasi komponen dari peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan):

a. Pengawasan dan Pengendalian penggunaan kekuasaan oleh Komponen peradilan pidana.

b. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efesiensi penyelesaian perkara.

c. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk menetapkan the administration of justice.

Tugas Peradilan umum menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah mengadili perkara sipil (bukan militer) yang menyangkut mengenai penyimpangan-penyimpangan dari aturan hukum perdata materiil dan hukum pidana materiil. Di samping itu peradilan umum juga mengadili perkara-perkara sebagai berikut:


(49)

1. Peradilan Anak yang berada di lingkup peradilan umum.

2. "Keberatan" atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 3. "Keberatan" atas putusan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha. 4. Peradilan Hak Asasi Manusia.

5. Pengadilan Penyelesaian Perselesaian Hubungan Industrial.

6. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merupakan lembaga Negara yang bersifat Independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mempunyai kewenangan untuk menyelidiki, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi, meliputi tindak pidana korupsi sebagai berikut :

a. Melibatkan aparat penegak hukum penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau pejabat negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan

c. Menyangkut keuangan negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000, 00 (Satu milyar rupiah)

7. Pengadilan Tipikor yang berada dilingkungan Peradilan Umum, yang untuk pertama kalinya dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pengadilan Tipikor ini berwenang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Majelis hakim tipikor terdiri dari 2 orang hakim Pengadilan Negeri dan 3 orang hakim ad-hoc, demikian juga pada proses banding dan kasasi juga dilakukan oleh majelis yang terdiri dari 2


(50)

orang hakim dan 3 orang hakim ad-hoc yang ditetapkan untuk banding atau kasasi.

8. Pengadilan Pajak.

Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 alinea terakhir menjelaskan mengenai struktur perbedaan peradilan yang menyatakan:

"Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara), tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan atau spesialisasi dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya."

Memperhatikan penjelasan alinea terakhir Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, ruang lingkup berlakunya KUHAP dalam pelaksanaan penegakan hukum meliputi kegiatan "tugas-tugas pengkhususan" yang diletakkan kepada Peradilan Umum (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung) seperti fungsi ekonomi, peradilan anak, tindak pidana korupsi, tindak pidana imigrasi dan narkotika. Jadi sudah merupakan barang tentu bahwa Pengadilan Negeri dalam melakukan pengkajian dan pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi harus berdasarkan ketentuan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.


(51)

Pengadilan Negeri adalah lingkungan peradilan di bawah mahkamah agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Dan dalam menjalankan hak dan kewenangannya sebagai suatu lembaga Negara tingkat pertama yang bertugas memberikan keadilan bagi masyarakat, maka dalam menentukan atau menjatuhkan hukuman Pengadilan Negeri harus melaporkan hasil putusannya kepada mahkamah agung selaku lembaga yudikatif yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam lembaga peradilan.

F. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim diberi kebebasan untuk menjatuhkan putusan dalam setiap Pengadilan perkara tindak pidana, hal tersebut sesuai dengan bunyi UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakn peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjelaskan bahwa:

“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemindahan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”


(52)

Menurut (Soedarto, 1981:74) Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus bisa memutuskan perkara dengan “Rasa Keadilan Berdasarkan Pancasila” yaitu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

a. Keputusan mengenai peristiwa ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatannya dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apakah terdakwa memang dapat dipidana.

Menjatuhkan putusan hakim harus memiliki pertimbangan, dimana pertimbangan tersebut merupakan bagian dari setiap putusan, ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (4) Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab II menjelaskan mengenai Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yaitu Pasal 2-17. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menjelaskan bahwa:

“(1)Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

(2)Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

(3)Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang.


(53)

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa:

“(1)Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda -bedakan orang.

(2)Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan merupakan dasar atau landasan bagi hakim untuk menentukan keyakinan hakim itu sendiri dalam menentukan kesalahan terdakwa dan pembuktian dalam proses persidangan, pembuktian memiliki asas minimum pembuktian yang dipergunakan sebagai pedoman dalam menilai cukup tidaknya alat bukti untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa, dipertegas dengan Pasal 183 KUHAP yang mengatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya. Dapat disimpulkan pidana baru dapat dijatuhkan kepada seseorang apabila terdakwa terbukti bersalah dengan dua alat bukti yang sah.

Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, yang termasuk alat bukti yang sah antara lain : 4. keterangan saksi;


(54)

6. surat; 7. petunjuk;

8. keterangan terdakwa. (Andi Hamzah, 2008 : 259).

Pertimbangan hakim sangat berpengaruh terhadap putusan hakim tentang berat ringannya penjatuhan hukuman atau sentencing (straftoemeting), dalam istilah Indonesia disebut “ pemidanaan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap terdakwa harus bisa memutuskan perkara dengan “Rasa Keadilan Berdasarkan Pancasila” yaitu memperhatikan hal -hal berikut :

a. keputusan mengenai peristiwa, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

b. Keputusan mengenai hukumannya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apakah terdakwa memang dapat dipidana. (Soedarto, 1981:74).

Tidak kalah perlu diketahuinya sebab-sebab yang mendorong dan motivasi melakukan tindak pidana, apakah semata-mata didorong untuk melakukan kejahatan, misalnya benar-benar didorong untuk balas dendam atau memperoleh kepuasan batin dan sebagainya. Atau apakah karena dorongan sosial ekonomis maupun karena keadaan yang berada diluar kemauan kesadaran terdakwa. Juga perlu diperhatikan laporan pejabat tempat terdakwa ditahan tentang sikap dan


(55)

perilakunya selama berada didalam tahanan. Semua hal-hal dan keadaan tersebut ikut dipertimbangkan sebagai faktor menentukan pemidanaan (M. Yahya Harahap, 2002; 363).

Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 28 UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim harus mempertimbangkan segala sesuatu sebelum memutuskan suatu perkara yang ditanganinya. Hakim harus benar-benar memperhatikan hukum dalam memutus suatu perkara agar keadilan dapat tercapai.


(56)

PEMERINTAH

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)

Oleh

Wahdah Nora Harahap

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(57)

MINYAK YANG DISUBSIDI OLEH

PEMERINTAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung nomor 1548K/pid.Sus/2008)

Nama Mahasiswa :Wahdah Nora Harahap

No. Pokok Mahasiswa : 0812011082

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof.Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. NIP 194311141969091001 NIP 196004061989031003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. NIP 196208171987032003


(58)

1. Tim Penguji Ketua :Prof.Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota :Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. ...

Penguji Utama :Dr. Maroni, S.H., M.H ...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 19621109 198703 1 003


(59)

Penulis dilahirkan di Panyabungan Sumatera Utara pada tanggal 05 Maret 1990. Penulis merupakan putri kedua dari empat bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Muhammad Efendi Harahap dan Ibu Suarni Hasibuan.

Penulis telah menempuh beberapa tingkat pendidikan yaitu Taman Kanak-Kanak Bustanul Atfal Gunung Tua Panggorengan diselesaikan pada tahun 1996, Pendidikan Sekolah Dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 061 Mompang Julu, Panyabungan Utara pada tahun 2002, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Panyabungan Kota pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Plus Sipirok pada tahun 2008.

Pada tahun 2008, penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saat menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lampung, penulis mengambil minat Hukum Pidana. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2011 di Desa Margodadi, KecamatanTumijajar, Kabupaten Tulang Bawang Barat. Penulis menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Lampung setelah menulis skripsi dengan judul Analisis tindak pidana terhadap pelaku penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008).


(60)

ANALISIS TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU

PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN NIAGA BAHAN BAKAR MINYAK YANG DISUBSIDI OLEH

PEMERINTAH

(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)

Oleh :

Wahdah Nora Harahap

Minyak dan gas bumi selalu menjadi permasalahan global karena keterbatasan jumlahnya dan sifatnya. Bahan bakar minyak (BBM) merupakan salah satu produk utama dari hasil penyulingan minyak bumi. Adanya monopoli yang dilakukan menimbulkan beberapa penyimpangan, antara lain adalah penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah .Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka terjadi perubahan fundamental dalam industri minyak dan gas bumi di Indonesia. Salah satu kasus penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah adalah kasus dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah dan apakah putusan bebas mahkamah agung telah mencerminkan rasa keadilan.

Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dimana pengumpulan dan penyajian data dilakukan dengan mempelajari dan menelaah konsep-konsep dan teori-teori serta peraturan-peraturan secara kepustakaan yang berkaitan dengan pokok bahasan penulisan skripsi ini.

Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh pemerintah didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22


(61)

majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yaitu bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah karena perbuatannya tidak sesuai dengan rumusan undang-undang yaitu Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu unsur setiap orang, menyalahgunakan pengangkutan niaga. permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Putusan bebas mahkamah agung sudah mencerminkan rasa keadilan, karena tidak ada satu buktipun yang dapat membuktikan terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Fakta hukumnya majelis hakim menilai tidak ada niatan terdakwa untuk merugikan kepentingan masyarakat banyak maupun merugikan kepentingan Negara, terdakwa tidak melakukan pengoplosan minyak tanah, penimbunan minyak tanah maupun melakukan pengangkutan dan penjualan minyak tanah keluar negeri.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan pada proses penyidikan diperlukan suatu sikap yang obyektif dan profesional dari para penyidik, sehingga proses penyidikan tidak mendapat campur tangan dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat agar citra kepolisian menjadi lebih baik di mata masyarakat.


(62)

Ikhlas menghadapi kesulitan hidup, agar di anugerahi kekuatan untuk

memudahkannya

(Wahdah Nora Harahap)

Tugas kita bukanlah untuk meyakini sesuatu yang tidak mungkin, tetapi

melakukan yang bisa kita lakukan untuk membatalkan sesuatu yang tadinya kita

rasakan tidak mungkin. Dengan hati baikmu, dengan pikiran sehatmu, dan dengan

tubuh tegapmu, Lakukanlah yang mungkin, untuk mencapai yang tadinya tidak

mungkin.

You can do it!


(63)

BISMILLAHIRRAHMANNIRAHIIM

Puji Syukur kupanjatkan kepada ALLAH SWT, Tuhan Semesta Alam untuk setiap nafas yang kuhirup, detak jantung yang berdegup dan darah yang mengalir dalam hidupku ini. Karena karunia-Mu dengan segala kerendahan hati

kupersembahkan karya ini kepada keluarga ku semoga menjadi sebuah kebanggaan.

Kedua orang tua ku ayah dan ibu tercinta yang selalu dengan sabar membimbing dengan keikhlasannya hingga hari kemenangan ini

,abang dan adek-adekku tersayang, Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do anya untuk keberhasilanku, terima

kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama

serta


(64)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan, kesabaran, dan ketekunan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan.

Penulis mendapatkan bantuan, petunjuk, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Prof.Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan sabar dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang juga dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga skripsi ini selesai.


(1)

PERSEMBAHAN

BISMILLAHIRRAHMANNIRAHIIM

Puji Syukur kupanjatkan kepada ALLAH SWT, Tuhan Semesta Alam untuk setiap nafas yang kuhirup, detak jantung yang berdegup dan darah yang mengalir dalam hidupku ini. Karena karunia-Mu dengan segala kerendahan hati

kupersembahkan karya ini kepada keluarga ku semoga menjadi sebuah kebanggaan.

Kedua orang tua ku ayah dan ibu tercinta yang selalu dengan sabar membimbing dengan keikhlasannya hingga hari kemenangan ini

,abang dan adek-adekku tersayang, Sahabat-sahabatku tercinta yang selama ini selalu menemani, memberikan dukungan dan do anya untuk keberhasilanku, terima

kasih atas persahabatan yang indah dan waktu-waktu yang kita lalui bersama

serta


(2)

SANWACANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah, kekuatan, kesabaran, dan ketekunan bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan.

Penulis mendapatkan bantuan, petunjuk, bimbingan, saran, dan kritik dari berbagai pihak dalam menyusun dan menyelesaikan skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati M, S.H., M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Prof.Dr. Kadri Husin, S.H., M.H. Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan sabar dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang juga dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan skripsi ini hingga skripsi ini selesai.


(3)

5. Bapak Dr. Maroni, S.H.,M.H. selaku Pembahas I yang telah memberikan masukan, arahan, dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Bapak Deni Achmad, S.H.,M.H. selaku Pembahas II yang juga telah

memberikan masukan, arahan, dan bantuan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis. 8. Para Dosen Fakultas Hukum yang telah banyak memberikan ilmu dan

bimbingan kepada penulis selama manjadi mahasiswa di Fakultas Hukum. 9. Mbak Yanti, Mbak Sri dan Pak Narto yang telah banyak membantu penulis. 10. Kedua orang tua ku tercinta yang selalu mendukung, mendoakan, memberi

motivasi dan semangat, serta selalu memberikan kasih sayang dan ketenangan bagi penulis sampai kapanpun, kupersembahkan karya kecil ini sebagai tanda baktiku.

11. Bang Ahmad Royhan Mashuri Harahap, dedek Muhammad Iqra Harahap dan dedek Abu Yazid Bustami Harahap tersayang yang selalu memberikan motivasi dan semangat, nasihat, serta kasih sayang untuk penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, ayo kita buat bangga Ayah Ibu !! 12. Sahabat seperjuanganku Fenny Tri Astuti, Ni Nyoman Indri Kusumawati, Dwi

Haska Kurniati, Ira Quwaity Saragih, Melvin Indriyani, dan Anggun Zeltia Fitri yang saling mendukung dan memberikan semangat satu sama lain, jangan lupain aku ya kalo udah pulang ke Medan.

13. Teman-teman sejatiku Evi Nora Wahyuni (jangan takut ya kalo aku nggak satu kamar lagi sama mu, hehe), Yunita Ardah Ritonga (ntar sering datang ya


(4)

ke rumah nek aji), Susi Simbolon, Ridha Yanti Puspita Lubis, Erni Yusnita Siregar, terima kasih atas persaudaraannya ,semoga kita semua sukses.

14. Teman-teman kos Salsabila Mbak Eni Okta Sari, Mbak Reza Wintia Agustiana,dan Siti Fatimah Azzahro, terima kasih atas kebersamaan dan kekeluargaannya selama ini, salam kangen selalu.

15. Orang yang spesial (ndut ku) yang telah mengisi hari-hariku dan selalu setia memberikan semangat, motivasi, doa dan dukungan kepada penulis.

16. Teman-teman KKN Margodadi Crew, Teteh Adis, Atu Baretha, Kanjeng Andri, Sutan David, Ajo Merwanto dan Om Zai,don’t forget me, OK.

17. Semua Pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik itu berupa moril maupun materiil selama menempuh studi.

Hanya kepada Allah SWT penulis memanjatkan doa, semoga semua amal kebaikan dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang lebih besar dari Allah SWT. Akhir kata penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin..

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis


(5)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan niaga bahan bakar minyak yang disubsidi oleh Pemerintah didasarkan pada terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal 55 Unang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, putusan pengadilan yang membebaskan terdakwa itu dikarenakan tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut. Dalam pertimbangan-pertimbangan yang diberikan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, yaitu bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah karena perbuatannya tidak sesuai dengan rumusan undang-undang yaitu Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu unsur setiap orang, menyalahgunakan pengangkutan niaga. Permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima..

2. Putusan bebas mahkamah agung sudah mencerminkan rasa keadilan, karena tidak ada satu buktipun yang dapat membuktikan terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55. Fakta hukumnya majelis hakim menilai tidak ada niatan terdakwa untuk merugikan kepentingan


(6)

72

masyarakat banyak maupun merugikan kepentingan Negara, terdakwa tidak melakukan pengoplosan minyak tanah, penimbunan minyak tanah maupun melakukan pengangkutan dan penjualan minyak tanah keluar negeri.

B. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, maka dapat diberikan beberapa saran antara lain

1. Diharapkan pada proses penyidikan diperlukan suatu sikap yang obyektif dan profesional dari para penyidik, sehingga proses penyidikan tidak mendapat campur tangan dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan. Meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat agar citra kepolisian menjadi lebih baik di mata masyarakat.

2. Pemohon Kasasi hendaknya dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut.


Dokumen yang terkait

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Analisis Tentang Putusan Mahkamah Agung Dalam Proses Peninjauan Kembali Yang Menolak Pidana Mati Terdakwa Hanky Gunawan Dalam Delik Narkotika

1 30 53

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN DANNIAGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI JENIS MINYAK TANAH DI SIMEULUE

0 5 2

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN LISTRIK (Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2379 K/Pid.Sus/2010)

2 9 17

KAJIAN YURIDIS PUTUSAN REHABILITASI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 593/K.PID.SUS/2011)

0 4 16

ANALISIS TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI OLEH JUDEX JURIST (HAKIM MAHKAMAH AGUNG) DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan Mahkamah Agung No. No. 1481K/PID.SUS/2008)

1 13 63

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

1 19 58