ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN

BAHAN BAKAR MINYAK

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

Oleh Anisa Fauziah

Bahan bakar minyak menyangkut hajat hidup orang banyak maka dibuatlah aturan tentang minyak dan gas bumi. Walaupun sudah ada aturan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi, tetapi masih banyak tindak pidana terkait minyak dan gas bumi yang terjadi, seperti halnya penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Kelangkaan bahan bakar minyak, serta harga bahan bakar minyak yang tidak stabil, mendorong beberapa masyarakat untuk melakukan suatu tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Sesuai dengan putusan Pengadilan Negeri Nomor Register Perkara 505/Pid. B/2012/PN. TK, Idham divonis dengan mengingat Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan/ atau niaga bahan bakar minyak dengan penjara lima bulan oleh hakim Pengadilan Negeri. Namun yang menjadi permasalahannya, bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Kemudian data-data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas tentang jawaban dari permasalahan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak yaitu bahwa terdakwa sudah memenuhi semua unsur-unsur pidana maka perbuatan terdakwa dianggap sebagai tindak pidana. Melihat dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, keterangan saksi dan pengakuan terdakwa serta tidak adanya dasar peniadaan pidana atau alasan pemaaf bagi terdakwa. Terdakwa dianggap mampu bertanggungjawab atas apa yang ia perbuat.


(2)

Anisa Fauziah Bahwa berdasarkan perbuatannya pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan karena telah memenuhi semua unsur pasal yang didakwakan. Dengan hukuman pidana penjara selama lima 5 bulan. Dasar pertimbangan Hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim memperhatikan aspek yuridis dan aspek non yuridis sehingga putusan yang dijatuhkan adil sesuai dengan kesalahannya. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang memeriksa dan mengadilinya berkesimpulan bahwa seluruh unsur-unsur Pasal yang didakwakan oleh jaksa Penuntut Umum telah terpenuhi.

Berdasarkan kesimpulan di atas, saran yang dapat dikemukakan penulis bahwa dalam menjatuhkan vonis diharapkan Hakim harus memperhatikan secara lebih cermat dan teliti tentang latar belakang pelaku tindak pidana serta lebih memperhatikan dampak dari tindak pidana yang dilakukan sipelaku tersebut.


(3)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN

BAKAR MINYAK

(Studi Putusan Pengadilan Nomor 505/Pid.B/2012/PN. TK)

Oleh Anisa Fauziah

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(4)

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN

BAHAN BAKAR MINYAK

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh Anisa Fauziah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, Tri. 2009. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.

Fakultas Hukum Unila: Bandar Lampung.

Anwar, Moch. 1981. Beberapa ketentuan dalam Buku ke I KUHP. Alumni. Bandung. Ashshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Bhineka Cipta, Jakarta. Hamzah, Andi, 2010. Asas Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta

Huda, Chairul. 2006. “Dari “Tiada pidana tanpa Kesalahan’ menuju kepada Tiada

Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”; Tinjauan Kritis Terhadap Teori PemisahanTindak Pidana dan Pertanggungjawaba Pidana”. Pranada

Media: Jakarta.

Kanter, E.Y dan Sianturi, S.R. 1999. Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Alumni AHM-PTHM. Jakarta.

Muhammad, Abdulkadir, 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Moeljatno. 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta

Prakorso, Djoko. 1987. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana. Bina Aksara: Jakarta.

Rifai, Ahmad. 2011. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika: Jakarta.

Saleh, Roeslan. 1981. Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana. Penerbit Aksara Baru: Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press: Jakarta.


(6)

Warpani, Surwardjoko. 1990. Merencanakan Sistem Pengangkutan. Penerbit ITB: Bandung.

Pusat Bahasa, 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.


(7)

Judul Skripsi : ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

Nama Mahasiswa : Anisa Fauziah No. Pokok Mahasiswa : 0912011104

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto DM., S.H., M.H. Deni Achmad, S.H., M.H. NIP. 19541112 198603 1 003 NIP. 19810315 200801 1 014

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati M., S.H., M.H. NIP. 19620817 198703 2 003


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Sunarto DM., S.H., M.H. …………

Sekretaris/Anggota : Deni Achmad, S.H., M.H. ...

Penguji Utama : Diah Gustiniati Maulani, S.H., MH. ...

2. Dekan fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H., M.S. NIP 196211091987031003


(9)

MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak menilai rupamu dan hartamu, melainkan Allah

menilai hati dan karyamu.”

(HR. Muslim Abi Hurairah)

Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia

marah.


(10)

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah SWT, kupersembahkan skripsi ini kepada

Allah SWT atas semua petunjuk yang telah Ia berikan, nikmat iman dan islam, serta atas limpahan rahmat dan karunia baik duka ataupun bahagia.

Persembahan khusus kepada Ayahanda ku H. Al Amin Sulaiman dan

Ibunda Ir. Sri Hartati yang selalu tiada henti mencurahkan do’a untuk

adinda dalam banyaknya sujud, atas kasih sayang yang terus tercurah tanpa mengharap balasan.

Kakaku Faiza Riani S.H. serta adik-adikku Muhammad Ramadhon dan


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 9 Mei 1991 sebagai anak kedua dari empat bersaudara pasangan Bapak H. Al Amin Sulaiman dan Ibu Ir. Sri Hartati.

Jenjang pendidikan penulis dimulai pada Taman Kanak-kanak (TK) Aisyiyah Bustanul Athfal Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 1996. Pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 1 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2003, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 8 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2006 dan Pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) SMAN 12 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2009. Pada tahun yang sama penulis diterima di Perguruan Tinggi Universitas Lampung melalu jalur SNMPTN sebagai mahasiswa Fakultas Hukum.


(12)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan anugerah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (Studi Putusan Pengadilan Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S selaku Pejabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung dan selaku Pembahas I yang senantiasa memberikan masukan kepada penulis;

3. Bapak Prof. Dr. Sunarto DM, S.H., M.H selaku Pembimbing I atas kesediaanya memberikan bimbingan, waktu, tenaga dan pikiranya dalam membantu Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

4. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan saran serta meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan;


(13)

5. Bapak Ahmad Irzal F, S.H., M.H selaku Pembahas II yang telah meluangkan waktunya, dan senantiasa memberikan saran dan kritiknya;

6. Ibu Rosida, S.H. selaku Pembimbing Akademik;

7. Seluruh dosen pengajar dan karyawan Akademik Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu memberikan pemikiran dan ilmu pengetahuan selama penulis menyelesaikan studinya;

8. Bapak Agus Hamzah, S.H., M.H. (Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang), serta Ibu Fitri Reshawardani, S.H (Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung) terimakasih atas bantuan dan masukannya dalam penyelesaian skripsi ini;

9. Kakakku Faiza Riani,S.H., almarhum kembaranku, serta adik-adikku Adon, Rara yang selalu menghiburku setiap saat;

10.Buya, Umi, Pakwo, Om Syamsi, Om Ajis yang sudah membantu secara materil maupun moril;

11.Seseorang yang akan mendampingi kehidupanku di kemudian hari nanti; 12.Meria, Ica, Irma, Elsa, Clara, teman-teman seperjuangan yang selalu

bersama-sama tiap semester;

13.Vika, Tri, Maria, Bujung, Ani, Elvira, Fitri, serta teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu;

14.Duwi, Adel, Ayu, Maya, yang selalu menemaniku dari masa putih abu-abu hingga sekarang;

15.Semua Teman-teman KKN di Gunung Kemala, Way Krui, terima kasih atas kebersamaannya selama ini;


(14)

16.Kucing-kucing kesayanganku yang telah tiada Boli, Oceng, dan Oli yang sampai saat ini masih mendampingiku dan membuatku terhibur;

17.Dan untuk pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Maret 2013

Penulis


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak Pidana yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya tindak pidana yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat. Tindak Pidana sepertinya selalu menemukan modus-modus baru untuk melancarkan aksinya yang mana tingkat terjadinya tindak pidana sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Seperti halnya tentang minyak dan gas bumi. Tidak luput dari aksi para pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak.

Bahan bakar minyak merupakan salah satu komoditi strategis di dalam pembangunan tidak dapat dipungkiri bahwa ketersediaan bahan bakar minyak di dalam negeri merupakan hal yang amat penting dan bahkan mutlak. Oleh karena itu, pelaku penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat


(16)

2

dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.1 Untuk dapat dipidana, maka perbuatannya harus memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Apabila perbuatannya memenuhi unsur-unsur tindak pidana, serta pelaku dalam keadaan sehat jasmani melakukan tindak pidana, maka kepada pelaku dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana secara yuridis.

Bahan bakar minyak menyangkut hajat hidup orang banyak maka dibuatlah aturan tentang minyak dan gas bumi. Walaupun sudah ada aturan yang mengatur tentang minyak dan gas bumi, tetapi masih banyak tindak pidana terkait minyak dan gas bumi yang terjadi, seperti halnya penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Kelangkaan bahan bakar minyak, serta harga bahan bakar minyak yang tidak stabil, mendorong beberapa masyarakat untuk melakukan suatu tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Pada prinsipnya kelangkaan bahan bakar minyak dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara jumlah pasokan (supply) dan jumlah kebutuhan (demand) dimana jumlah pasokan kurang dari jumlah kebutuhan, bahkan pada 1 April 2012 direncanakan kenaikan harga bahan bakar minyak. Hal ini tentu saja menggoda banyak pihak untuk mengambil keuntungan dengan berbagai cara, melakukan kesempatan untuk menimbun dan mengangkut bahan bakar minyak untuk dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi dari harga jual di SPBU.

Berdasarkan perkara No. 505/PID.B/2012/PN.TK, dengan terdakwa bernama Idham bin As’ari, 38 (tiga puluh delapan) tahun. Rincian kejadian sebagai berikut,

1

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Aksara Baru,


(17)

3

bahwa terdakwa Idham als Ham bin As’ari pada hari Kamis tanggal 22 Maret 2012 bertempat di Jl. Abdi Negara Kelurahan Gulak Galik Telukbetung Utara Bandar Lampung telah menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang di subsidi pemerintah.

Pada awalnya terdakwa dengan saksi Dody Irani (penuntutan perkara terpisah) menggunakan Mobil Suzuki Pick Up warna Hitam dan 8 (delapan) buah derigen plastik ukuran 35 liter serta 2 (dua) buah selang plastik berangkat dari desa Way Urang Kec. Padang Cermin, Kab. Pesawaran menuju Bandar Lampung selanjutnya terdakwa mencari tempat aman dan akhirnya ditemukan di jalan Abdi Negara Kelurahan Gulak Galik Telukbetung Utara Bandar Lampung, lalu terdakwa menurunkan dan 8 (delapan) buah derigen, selanjutnya terdakwa Idham pergi ke SPBU di Jalan Patimura Teluk Betung untuk membeli bahan bakar minyak jenis premium dengan cara mengisikan ke dalam tangki mobil yang terdakwa bawa sampai dengan penuh dengan harga Rp. 4.500,-/liter.

Terdakwa kembali ke jalan Abdi Negara Kelurahan Gulak Galik Telukbetung Utara untuk memindahkan premium didalam tangki mobil kedalam derigen plastik dengan cara disedot oleh terdakwa menggunakan selang plastik dan hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibeberapa SPBU yaitu di SPBU Patimura sebanyak dua kali, SPBU Pasar kangkung sebanyak dua kali serta di SPBU Pengajaran sebanyak empat kali. Setelah 8 (delapan) buah derigen plastik tersebut terisi bahan bakar minyak jenis premium seluruhnya, selanjutnya kedelapan derigen akan diangkut ke desa Way Urang, Kec. Padang Cermin kab. Pasawaran untuk dijual ke pengecer seharga Rp. 5.500,-/liter, namun kegiatan yang dilakukan


(18)

4

oleh terdakwa tersebut tanpa disertai ijin pengangkutan oleh pemerintah sehingga saat terdakwa akan mengangkut ke atas mobil ditangkap oleh anggota Polresta dan kemudian di bawa ke Polresta Bandar lampung berikut barang bukti guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri No. 505/Pid.B/2012/PN.TK, Idham divonis dengan mengingat Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP terdakwa bersalah melakukan tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan/ atau niaga bahan bakar minyak dengan penjara lima bulan oleh hakim Pengadilan Negeri. Mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan/ atau niaga bahan bakar minyak perlu mendapat perhatian khusus, sebab akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Putusan hakim tersebut harus adil dan sesuai dengan akibat yang ditimbulkan.

Rumusan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang No.22 tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 53:

Setiap orang yang melakukan :

a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun


(19)

5

dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Pasal 55:

Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Unsur utama dari pasal-pasal di atas dalam kaitan dengan penyalahgunaan bahan bakar minyak adalah perbuatan mengangkut, menyimpan, dan menjual tanpa izin. Sebagai aparat penegak hukum memiliki tugas untuk menindak tegas dan menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak, khususnya hakim yang bertugas dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan pidana serta kerugian akibat perbuatannya tersebut.

Berdasarkan atas uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam sebuah penelitian penyusunan skripsi yang diberi judul “Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor. 505/Pid.B/2012/PN.TK)”.


(20)

6

B. Permasalahan

Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana dalam perkara No.505/Pid.B/2012/PN.TK tentang tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak?

1. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan yang diajukan, agar tidak terlalu luas dan tidak terjadi kerancuan dalam pembahasan permasalahan, maka ruang lingkup dalam penulisan skripsi ini, hanya terbatas pada permasalahan pertanggungjawaban pidana dan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak di dalam perkara No. 505/Pid.B/2012/PN.TK yang berlokasi di wilayah Pengadilan Negeri Kelas 1 A Tanjungkarang.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup permasalahan di atas maka penulisan skripsi bertujuan untuk mengetahui:


(21)

7

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dalam perkara No. 505/Pid.B/2012/PN.TK.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dalam perkara No. 505/Pid.B/2012/PN.TK.

2. Kegunaan Penulisan

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis dari hasil penelitian ini untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan Hukum Pidana. Serta untuk mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah guna mengungkapkan kajian yang lebih dalam terhadap undang-undang atau peraturan lainnya yang ada yang bertujuan untuk mengetahui dengan jelas mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah sebagai acuan dan referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum, dan sebagai sumber bacaan bidang hukum khususnya tentang tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak.


(22)

8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang dianggap relevan oleh peneliti.2

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.3

Perbuatan yang tercela akan dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya, artinya orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana bila mempunyai kesalahan. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya dapat disamakan dengan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan. Pada pengertian hukum pidana dapat disebut ciri atau unsur kesalahan dalam arti luas, yaitu:4

1. Dapatnya dipertanggungjawabkan pembuat

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja atau kesalahan dalam arti sempit (culpa)

2

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm. 125.

3

Roeslan Saleh, Op. Cit., hlm. 80.

4


(23)

9

3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat

Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan.5

Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah :6

a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab

c. Dengan sengaja atau kealpaan, dan d. Tidak ada alasan pemaaf

Perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Dalam Pasal 11 Rancangan Undang Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

5

Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan menuju kepada Tiada Pertanggungjawaban

Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Pranada Media, 2006, hlm. 74.

6


(24)

10

Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum, apabila perbuatan itu masuk dalam rumusan delik sebagaimana telah dirumuskan dalam undang-undang. Akan tetapi, perbuatan yang memenuhi rumusan delik tidak senantiasa bersifat melawan hukum, sebab mungkin ada hal-hal yang menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan tersebut.7

Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.8

Berdasarkan Pasal 8, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan yang jahat terdakwa. Sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Menurut Sudarto sebelum hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan, yaitu sebagai berikut:9

a. Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

7

Tri Andrisman, Asas-Asas daj Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia,Bandar Lampung:

Fakultas Hukum Unila, 2009, hlm. 84.

8

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar

Grafika, 2011, Hlm 102.

9


(25)

11

b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

2. Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diinginkan atau diteliti.10

Dalam konsep ini dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dala penulisan, sehingga mempunyai batasan yang jelas dan tepat dalam penafsiran beberapa istilah, hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dalam penulisan. Adapun pengertian istilah yang digunakan sebagi berikut:

a. Analisis adalah suatu uraian mengenai suatu persoalan yang memperbandingkan antara fakta-fakta dengan teori, dengan menggunakan metode argumentatif sehingga menghasilkan suatu kejelasan mengenai persoalan yang dibahas.11

b. Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbaarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum.12

10

Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 32.

11

Ibid, hlm. 31.

12

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,


(26)

12

c. Pelaku menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 55 adalah sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan dan penganjur.

d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.13

e. Penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan menyalahgunakan, penyelewengan.14

f. Pengangkutan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 1 adalah kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat pnampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas bumi dari pipa transmisi dan distribusi.

g. Bahan bakar minyak menurut Undang-Undang No.2 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pasal 1.adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan adalah urutan-urutan tertentu dari unsur-unsur yang merupakan suatu kebulatan dari penulisan dengan tujuan utuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari hasil penelitian di dalam penulisan skripsi. Secara keseluruhan, skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan dan materi sebagai berikut:

13

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 54.

14


(27)

13

I. PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang penulisan skripsi ini, kemudian menarik pemasalahan-permasalahan yang dianggap penting dan membatasi ruang lingkup penulisan, juga memuat tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Berisikan tentang pengertian-pengertian pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri dari pertanggungjawaban pidana, sifat melawan hukum, dasar pertimbangan hakim, pidana dan pelaku tindak pidana, serta tindak pidana terhadap minyak dan gas bumi.

III. METODE PENELITIAN

Dalam bab ini memuat mengenai penulisan yang meliputi pendekatan masalah yang merupakan penjelasan tentang bagaimanakah masalah yang akan dijawab tersebut, sumber dan jenis data yang merupakan penjelasan tentang darimana data tersebut diperoleh, penentuan populasi dan sampel serta pengolahan data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat pokok bahasan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan yaitu mengenai


(28)

14

pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana dalam tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak.

V. PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan penelitian sesuai dengan teori dan praktek di lapangan serta memberikan sumbangan pikiran berupa saran yang berkaitan dengan hasil dari penelitian. tentang Analisis Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Bahan Bakar Minyak (Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 505/Pid.B/2012/PN.TK).


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.15

Pertanggungjawaban pidana adalah seseorang itu dapat dipidana atau tidaknya karena kemampuan dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam bahasa asing dikenal dengan Toerekeningsvatbaarheid dan terdakwa akan dibebaskan dari tanggung jawab jika itu tidak melanggar hukum.16

Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan.17

15

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 80

16

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Op.Cit., hlm. 250.

17


(30)

16

Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan, haruslah melakukan tindak pidana dengan kesalahan.18 Pengertian dari kesalahan itu sendiri adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga itu dapat tercela karena perbuatan tadi.19 Perbuatan melawan hukum belum cukup untuk menjatuhkan hukuman. Harus ada pembuat (dader) yang bertanggung jawab atas perbuatannya. Pembuat harus ada unsur kesalahan dan bersalah itu adalah pertanggungjawaban yang harus memenuhi unsur :

a. Perbuatan yang melawan hukum.

b. Pembuat atau pelaku dianggap mampu bertanggung jawab atas perbuatannya (unsur kesalahan).

Asas legalitas menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang hukum pidana. Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang dilarang undang-undang dan tidak dibenarkan oleh

18

Tri Andrisman, Op.Cit., hlm.91

19


(31)

17

masyarakat atau tidak patut menurut pandangan masyarakat. Melawan hukum dan kesalahan adalah unsur-unsur peristiwa pidana atau perbuatan pidana (delik) yang mempunyai hubungan erat. Tanggung jawab itu selalu ada, meskipun belum pasti dituntut oleh pihak yang berkepentingan. Jika pelaksanaan peranan yang telah berjalan itu ternyata tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Demikian pula dengan masalah terjadinya perbuatan pidana dengan segala faktor-faktor yang menjadi pertimbangan melakukan pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Atas faktor-faktor itulah tanggung jawab dapat lahir dalam hukum pidana.

Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas mempunyai tiga bidang, yaitu :20

1. Kemampuan bertanggung jawab orang yang melakukan perbuatan

2. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya :

a. Perbuatan yang ada kesengajaan, atau

b. Perbuatan yang ada alpa, lalai, kurang hati-hati

3. Tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana bagi pembuat.

Kemampuan bertanggung jawab adalah mampu untuk menginsyafi sifat melawan hukumnya perbuatan yang sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya. Untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab ada 2 (dua) faktor, yaitu pertama faktor akal dan kedua faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan

20


(32)

18

yang tidak diperbolehkan. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.21

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melakukan kesalahan, maka ia akan dipidana. Berarti orang yang melakukan tindak pidana akan dikenakan pidana atas perbuatannya. Seseorang harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang dilakukan sendiri atau bersama orang lain, karena kesengajaan atau kelalaian secara aktif atau pasif, dilakukan dalam wujud perbuatan melawan hukum, baik dalam tahap pelaksanaan maupun tahap percobaan.22

B. Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana

Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.23

Pasal 11 Rancangan Penjelasan Atas RUU KUHP menyatakan bahwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Ditentukannya syarat bertentangan dengan hukum, didasarkan pada pertimbangan bahwa menjatuhkan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil.

21

Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 85.

22

Ibid, hlm. 82.

23


(33)

19

Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut kejadian-kejadian konkrit, tidak menutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal demikian pembuat tindak pidana membuktikan bahwa perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum.

Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. RUU KUHP menyebutkan bahwa, setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

Sifat melawan hukum perbuatan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:24

1. Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang. Sedangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu dapat dihapus hanya berdasarkan suatu ketentuan undang-undang.

2. Sifat melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak, tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang saja, tetapi harus juga melihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis.

Melawan hukum secara formil diartikan bertentangan dengan undang-undang. Apabila suatu perbuatan telah mencocoki rumusan delik, maka biasanya dikatakan telah melawan hukum secara formil. Melawan hukum materiil harus berarti hanya

24


(34)

20

dalam arti negatif, artinya kalau tidak ada melawan hukum (materiil) maka merupakan dasar pembenar.25

Melawan hukum sering merupakan bagian inti (bestanddeel) delik, artinya secara jelas di dalam rumusan delik seperti Pasal 362 KUHP (pencurian), Pasal 372 KUHP (penggelapan) dan lain-lain. Melawan hukum secara umum artinya kadang-kadang hanya tersirat di dalam rumusan delik, misalnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan). Di sini melawan hukum sebagai unsur dapatnya dipidana, bukan bagian inti delik. Apabila bagian inti melawan hukm tidak terbukti, maka putusannya bebas (vrijspraak). Jadi, melawan hukum sebagai bagian inti harus tercantum dalam dakwaan, dan itu yang harus dibuktikan.26

C. Pertimbangan Hakim Dalam Penjatuhan Putusan

Sebelum menjatuhkan putusan atas suatu perkara hakim harus memperhatikan fakta-fakta atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa, kemudian ditetapkan hukuman yang cocok untuk fakta-fakta itu, sehingga dengan jalan penafsiran dapat ditetapkan apakah terdakwa dapat dipidana.27

Putusan hakim merupakan mahkota sekaligus puncak dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sedikit mungkin ketidakcermatan, baik yang

25

Andi Hamzah, Op. Cit., hlm. 141.

26

Ibid 27

Djoko Prakorso. Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, Dalam Proses Hukum Acara Pidana,


(35)

21

bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.28

Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan Undang-Undang. Memang Putusan hakim akan menjadi putusan majelis hakim dan kemudian akan menjadi putusan pengadilan yang menyidangkan dan memutus perkara yang bersangkutan dalam hal ini setelah dilakukan pemeriksaan selesai, maka hakim akan menjatuhkan vonis berupa :

1. Penghukuman bila terbukti kesalahan terdakwa;

2. Pembebasan jika apa yang didakwakan tidak terbukti atau terbukti tetapi bukan perbuatan pidana melainkan perdata;

3. Dilepaskan dari tuntutan hukum bila terdakwa ternyata tidak dapat di pertanggungjawabkan secara rohaninya (ada gangguan jiwa) atau juga ternyata pembelaan yang memaksa.

Putusan Hakim yang menerobos ketentuan dalam undang-undang yang normatif, atau dalam hal ini di bawah tuntutan Jaksa Penuntut Umum dapat saja diterima atau tidak batal demi hukum asal didasari pada rasa keadilan yang objektif. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti pembela yang selalu menyembunyikan suatu perkara, keterangan saksi yang terlalu berbelit-belit atau dibuat-buat, serta adanya pertentangan kerangan antara saksi yang satu dengan

28


(36)

22

saksi lain serta tidak lengkapnya bukti materil yang diperlukan sebagai alat bukti dalam persidangan.

Menurut Sudarto sebelum hakim menjatuhkan putusan, terlebih dahulu ada serangkaian pertimbangan yang harus dilakukan, yaitu sebagai berikut:29

1. Keputusan mengenai perkaranya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan tindak pidana dan apakah terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana.

3. Keputusan mengenai pidananya apabila terdakwa memang dapat dipidana.

Pertimbangan hakim seperti yang tertera dalam Pasal 8, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak yang merugikan banyak pihak perlu mendapat perhatian khusus, sebab akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut harus mendapatkan ganjaran yang setimpal. Putusan hakim tersebut harus adil dan sesuai dengan akibat yang ditimbulkan.

29


(37)

23

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut :30

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentinagan pihak-pihak yang tesangkut atau berakitan dengan perkara, yaitu anatara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban atau kepentingan pihak penggugat dan pihak tergugat.

2. Teori pendekatan seni dan intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori pendekatan keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka

30


(38)

24

menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, karena dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim akan menilai dengan arif dan bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari pemeriksaan dan kesaksian dalam sidang pengadilan (Pasal 188 ayat 3, KUHAP), sesudah itu hakim akan


(39)

25

mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan yang didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dalam musyawarah tersebut Hakim ketua majelis akan mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya (Pasal 182 ayat 2-5, KUHAP). Jika dalam musyawarah tesebut tidak tercapai mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak, apabila tidak juga dapat diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa.

Terdakwa akan diputus bebas jika pengadilan berpendapat bahwa dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat 1, KUHAP). Terdakwa akan dituntut lepas dari segala tuntutan hukum apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat 2, KUHAP). Tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tidak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat 1, KUHAP).

D. Tindak Pidana dan Pelaku Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan


(40)

perundang-26

undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan kejahatan dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkrit.31

Istilah “tindak pidana” telah digunakan oleh masing-masing penerjemah atau yang menggunakan dan telah memberikan sandaran perumusan dari istilah Strafbaar feit tersebut. Istilah het strabare feit sendiri telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai:

a. Delik (delict); b. Peristiwa pidana; c. Perbuatan pidana;

d. Perbuatan yang dapat/boleh dihukum; e. hal yang diancam dengan hukum;

f. Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum; g. Tindak pidana.

31

Tri Andrisman, 2009, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Bandar


(41)

27

Unsur tindak pidana dibagi atau digolongkan menjadi dua unsur yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:

1. Unsur objektif, yaitu terdapat dari luar diri pelaku atau petindak yang pada umumnya berupa tindakan yang dilarang atau diharuskan.

2. Unsur subjektif, yaitu terdapat dan melekat pada diri pelaku atau petindak berupa kesalahan (schuld) dan kemanpuan bertanggung jawab

(aanspraakkekijheid) dari penindak.

Beberapa sarjana memberikan pengertian yang berbeda dalam memberikan pengertian tindak pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana (tindak pidana-pen) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.32

Menurut Simons, Strafbaar feit adalah tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya oleh undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat dihukum.33

Pompe memberikan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu: 1) Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang

dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

32

Moeljatno, Op.Cit., hlm. 54.

33

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997,


(42)

28

2) Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.34

Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dibuatkan suatu kesimpulan mengenai tindak pidana, yaitu sebagai berikut :

1. Suatu perbuatan yang melawan hukum;

2. Orang yang dikenai sanksi harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian;

3. Subjek atau pelaku baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.

Perbuatan pidana adalah suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam pidana. Dimana larangan ditujukan kepada perbuatan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Oleh karena itu antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian memiliki hubungan erat satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, pelaku (pleger) merupakan arti pembuat (dader) dalam pandangan yang sempit. Pembuat itu sendiri merupakan bagian dari penyertaan menurut ajaran equivalente setiap syarat bagi suatu akibat yang diperlukan dalam penyertaan, maka pengertian pelaku atau pembuat akan diperluas dengan:

34


(43)

29

1. Pelaku (pleger)

adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang melakukan perbuatan adalah pelaku sempurna yaitu yang melakukan sesuatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam suatu tindak pidana atau yang melakukan perbuatan yang memenuhi perumusan tindak pidana. Menurut H.R tanggal 19 Desember 1910, pelaku menurut undang-undang adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk menghentikan situasi terlarang, sedangkan peradilan Indonesia memandang pelaku adalah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dipandang bertanggungjawab.35

2. Yang turut serta (medepleger)

adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. Turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana ada tiga kemungkinan:

a. Mereka masing-masing memenuhi unsur rumusan delik; b. Salah seorang memenuhi semua unsur delik;

c. Tidak seorangpun memenuhi unsur delik, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu.

Syarat untuk adanya medepleger yaitu adanya kerjasama secara sadar dan ada pelaksanaan bersama secara fisik. Noyon berpendapat bahwa turut serta melakukan bukanlah turut melakukan, juga bukan bentuk pemberian bantuan,

35


(44)

30

tetapi merupakan bentuk penyertaan yang berdiri sendiri yang terletak diantara perbuatan melakukan dan perbuatan pemberian bantuan.36

3. Penganjur (uitlokker)

adalah orang yang menggerakan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh undang-undang. Perbedaan antara penganjur dengan menyuruh melakukan yaitu: a. Pada penganjuran orang yang digerakkannya dengan menggunakan sarana

untuk menggerakkannya tidak ditentukan;

b. Pada penganjuran pembuat materil dapat dipertanggungjawabkan sedangkan pada menyuruh melakukan pembuat materil tidak dapat dipertanggungjawabkan.

4. Menyuruh melakukan (doenpleger)

adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantaraan orang lain sedang itu hanya diumpamakan alat. Dengan demikian doenpleger ada dua pihak yaitu pembuat langsung dan pembuat tidak langsung, pada doenpleger

terdapat unsur-unsur:

a. Alat yang dipakai adalah manusia.

b. Alat yang dipakai itu berbuat (bukan alat yang mati). c. Alat yang dipakai itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Perbuatan menyuruh melakukan adalah suatu penyertaan, dalam hal ini orang yang telah benar-benar melakukan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya sedangkan orang lain dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang nyata oleh orang yang disuruh melakukan. Menurut MvT, perbuatan

36


(45)

31

menyuruh melakukan terdapat dalam hal tindak pidana itu terjadi dengan perantaraan seorang manusia lain:37

a. Yang dipergunakan sebagai alat dalam tangan pelaku;

b. Yang karena tanpa sepengetahuannnya terbawa dalam suatu keadaan atau terbawa dalam suatu kekeliruan atau karena kekerasan, sehingga ia menyerah untuk bertindak tanpa maksud ataupun kesalahan maupun tanpa dapat diperhitungkan sebelumnya.

E. Tindak Pidana Terhadap Minyak Dan Gas Bumi

Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001, Minyak dan Gas Bumi adalah minyak bumi dan gas bumi. Bahan bakar minyak adalah bahan bakar yang berasal dan/atau diolah dari Minyak Bumi.

Jenis-jenis bahan bakar minyak:38 1. Avgas ( Aviation Gasoline)

Bahan Bakar Minyak ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi. Avgas didisain untuk bahan bakar pesawat udara.

2. Avtur (Aviation Turbine)

Bahan Bakar Minyak ini merupakan BBM jenis khusus yang dihasilkan dari fraksi minyak bumi. Avtur didisain untuk bahan bakar pesawat udara dengan tipe mesin turbin (external combution). Nilai mutu jenis bahan bakar avtur ditentukan oleh karakteristik kemurnian bahan bakar, model pembakaran turbin dan daya tahan struktur pada suhu yang rendah.

37

Ibid, hlm. 14.

38

Web BPH Migas, Komoditas BBM, www.bphmigas.go.id, diakses 27 Mei 2012, jam 16.44 WIB.


(46)

32

3. Bensin

Jenis Bahan Bakar Minyak Bensin merupakan nama umum untuk beberapa jenis BBM yang diperuntukkan untuk mesin dengan pembakaran dengan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu jenis BBM bensin ini dihitung berdasarkan nilai RON (Randon Otcane Number). Berdasarkan RON tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi 3 jenis yaitu:

3.1. Premium (RON 88) : Premium adalah bahan bakar minyak jenis distilat berwarna kekuningan yang jernih. Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar kendaraan bermotor bermesin bensin, seperti: mobil, sepeda motor, motor tempel dan lain-lain.

3.2. Pertamax (RON 92): ditujukan untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan tanpa timbal (unleaded). 3.3.Pertamax Plus (RON 95): Ditujukan untuk kendaraan yang

berteknologi mutakhir yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi dan ramah lingkungan.

4. Minyak Tanah (Kerosene)

Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah. Digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat bantu penerangan, memasak. Umumnya merupakan pemakaian domestik (rumahan), usaha kecil.

5. Minyak Solar

Jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin trasportasi mesin diesel yang umum dipakai dengan sistem injeksi pompa mekanik, serta diperuntukkan untuk jenis kendaraan bermotor transportasi dan mesin industri.


(47)

33

6. Minyak Diesel (MDF)

Minyak Diesel adalah hasil penyulingan minyak yang berwarna hitam yang berbentuk cair pada temperatur rendah.

7. Minyak Bakar (MFO)

Minyak Bakar bukan merupakan produk hasil destilasi tetapi hasil dari jenis residu yang berwarna hitam. Minyak jenis ini memiliki tingkat kekentalan yang tinggi dibandingkan minyak diesel.

8. Biodiesel

Jenis Bahan Bakar ini merupakan alternatif bagi bahan bakar diesel dan terbuat dari sumber terbaharui seperti minyak nabati atau hewan.

9. Pertamina Dex

BBM ini direkomendasikan untuk mesin diesel teknologi injeksi terbaru, sehingga pemakaian bahan bakarnya lebih irit dan ekonomis serta menghasilkan tenaga yang lebih besar.

Pemasalahan pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 53:

Setiap orang yang melakukan :

a. Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengolahan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling tinggi Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah);

b. Pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Pengangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling tinggi Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);


(48)

34

c. Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Penyimpanan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah);

d. Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 tanpa Izin Usaha Niaga dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).

Pasal 55:

Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak yang disubsidi Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).

Unsur utama dari pasal-pasal di atas dalam kaitan dengan tindak pidana penyalahgunaan bahan bakar minyak adalah perbuatan mengangkut, menyimpan, dan menjual tanpa izin. Sebagai aparat penegak hukum memiliki tugas untuk menindak tegas dan menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak, khususnya hakim yang bertugas dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan pidana serta kerugian akibat perbuatannya tersebut.

Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan/atau gas bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan. Pengangkutan adalah kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, dan/atau hasil olahannya dari wilayah kerja atau dari tempat penampungan dan pengolahan, termasuk pengangkutan gas bumi melalui pipa transmisi dan distribusi. Penyimpanan adalah kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi dan/atau gas bumi. Niaga adalah kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, impor minyak bumi dan/atau


(49)

35

hasil olahannya, termasuk niaga gas bumi melalui pipa. Izin usaha adalah izin yang diberikan kepada badan usaha untuk melaksanakan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba.

Pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Pengangkutan adalah kegiatan pemuatan ke dalam alat pengangkut, pemindahan ke tempat tujuan dengan alat pengangkut, dan penurunan/pembongkaran dari alat pengangkut baik mengenai penumpang ataupun barang. 39

Pengangkutan bahan bakar minyak merupakan pengangkutan sebagai proses, yaitu serangkaian perbuatan ke dalam alat pengangkut, kemudian dibawa menuju ke tempat yang telah ditentukan, dan pembongkaran atau penurunan di tempat tujuan. Pengangkutan sebagai proses merupakan sistem hukum yang mempnyai unsur-unsur system, yaitu:40

a. Subjek (pelaku) pengangkutan, yaitu pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengangkutan;

b. Status pelaku pengangkutan, khususnya pengangkut selalu berstatus badan hukum atau bukan badan hukum;

c. Objek pengangkutan, yaitu alat pengangkut, muatan, dan biaya angkutan.

39

Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Niaga, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998,

hlm. 13.

40


(50)

36

Pengangkutan Bahan Bakar Minyak dalam perkara No. 505/PID.B/2012/PN.TK yaitu kegiatan pemindahan bahan bakar minyak jenis premium dengan cara mengisikan ke dalam tangki mobil yang terdakwa bawa sampai dengan penuh dengan harga Rp. 4.500,-/liter menggunakan Mobil Suzuki Pick Up warna Hitam dari SPBU di pindahkan ke tempat penampungan di jalan Abdi Negara Kelurahan Gulak Galik Telukbetung dengan cara disedot oleh terdakwa menggunakan selang plastik dan hal tersebut dilakukan berulang-ulang dibeberapa SPBU. Kemudian setelah semua derigen terisi penuh, derigen akan diangkut ke desa Way Urang, Kec. Padang Cermin kab. Pasawaran untuk dijual ke pengecer seharga Rp. 5.500,-/liter.


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian merupakan suatu rencana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Hal ini disebabkan karena penelitian untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis konstruksi terhadap data yang dikumpulkan dan diolah.41

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan secara yuridis empiris. Pendekatan secara yuridis normatif adalah pendekatan, penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara menghubungkan peraturan-peraturan tertulis atau buku-buku hukum yang erat hubungannya dengan masalah yang diteliti.42

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan wawancara dengan responden yaitu petugas yang berwenang dalam masalah yang diteliti.43

41

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 1985, hlm. 1.

42

Soerjono Soekanto, Op.Cit.,hlm. 51.

43


(52)

38

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka.44 Data yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber pada yaitu :

1. Data Primer

Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan skripsi ini.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang tidak diperoleh langsung di lapangan, tetapi data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan bahan-bahan hukum, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor

73 Tahun 1958 tentang Peraturan Hukum Pidana;

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana;

3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

44


(53)

39

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.45

Prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.46

Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu : 1. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

45

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Bhineka Cipta, 1996, hlm. 79.

46


(54)

40

D. Prosedur pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu :

a. Studi Kepustakaan (Library research)

Yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, buku-buku, media massa dan informasi lain yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Editing, yaitu memeriksa kembali kembali kelengkapan jawaban, kejelasan,

dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklarifikasi jawaban para responden menurut jenisnya, klarifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis.


(55)

41

E. Analisis Data

Pada kegiatan ini data yang dipeoleh kemudian dianalasis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian di lapangan kedalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat.

Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara befikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(56)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka penulis menarik simpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK) bahwa terdakwa sudah memenuhi semua unsur-unsur pasal yang didakwakan maka perbuatan terdakwa dianggap sebagai tindak pidana. Melihat dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, keterangan saksi dan pengakuan terdakwa, terdakwa dengan sengaja melakukan perbuatannya tersebut dan tidak adanya dasar peniadaan pidana atau alasan pemaaf bagi terdakwa. Terdakwa mampu bertanggungjawab atas apa yang diperbuat. Berdasarkan Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dilihat dari keadaan jiwa pelaku yang tidak terganggu jiwanya, Melihat kemampuan jiwa pelaku dapat menginsyafi dan membenarkan atas perbuatannya, serta dapat menentukan kehendaknya atas tindakan yang telah diperbuat. Melihat semuanya pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan melihat unsur-unsur pasal penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dengan mengingat pasal Undang-undang yang berhubungan dengan perkara ini khususnya diatur dalam Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001, bahwa


(57)

59

berdasarkan perbuatannya pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan karena telah memenuhi semua unsur pasal yang didakwakan. Dengan hukuman pidana penjara selama lima 5 bulan.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara nomor 505/Pid.B/2012/PN. TK tentang tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak yaitu berdasarkan teori pertimbangan Hakim, keyakinan Hakim bahwa terdakwa melakukan perbuatan bertentangan dengan undang-undang dan terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Melihat dari semua unsur pasal yang didakwakan terpenuhi, maka terdakwa dianggap melakukan suatu tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Berdasarkan perbuatannya pelaku dijatuhkan putusan dengan penjara selama 5 (Lima) bulan. Pertimbangan majelis hakim dengan memperhatikan aspek yuridis dan aspek non yuridis. Aspek yuridis berdasarkan pada dakwaan jaksa dengan menggunakan pasal yang lebih mendekati pembuktiannya, Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan aspek non yuridis yaitu akibat perbuatan pelaku meresahkan dan merugikan masyarakat, terdapatnya barang bukti, fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan saksi-saksi yang dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Serta dengan menimbang hal-hal yang meringankan yaitu sikap pelaku dimuka persidangan, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana dan terdakwa menyesali perbuatannya tersebut.


(58)

60

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

Diharapkan Hakim dalam menjatuhkan vonis harus memperhatikan secara lebih cermat dan teliti tentang latar belakang pelaku tindak pidana serta lebih memperhatikan dampak dari tindak pidana yang dilakukan sipelaku tersebut.


(1)

39

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan norma-norma hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti buku-buku dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

C. Penentuan Populasi dan Sampel

Populasi adalah keseluruhan dari obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.45

Prosedur sampling dalam penelitian adalah Purposive Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampling yang dalam penentuan dan pengambilan anggota sampel berdasarkan atas pertimbangan dan tujuan penulis yang telah ditetapkan.46

Responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang, yaitu : 1. Jaksa Kejaksaan Negeri Bandar Lampung : 1 orang 2. Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang : 1 orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana Universitas Lampung : 1 orang +

Jumlah : 3 orang

45

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Bhineka Cipta, 1996, hlm. 79.

46


(2)

40

D. Prosedur pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini, prosedur pengumpulan data yang dilakukan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut, yaitu :

a. Studi Kepustakaan (Library research)

Yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat dan mengutip dari berbagai literatur, buku-buku, media massa dan informasi lain yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.

b. Studi Lapangan (Field Research)

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan, maupun dengan menggunakan pedoman pertanyaan secara tertulis.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul, baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Editing, yaitu memeriksa kembali kembali kelengkapan jawaban, kejelasan,

dan relevansi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklarifikasi jawaban para responden menurut jenisnya, klarifikasi ini dilakukan dengan kode tertentu agar memudahkan dalam menganalisis data.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis.


(3)

41

E. Analisis Data

Pada kegiatan ini data yang dipeoleh kemudian dianalasis secara kualitatif, yaitu dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian di lapangan kedalam bentuk penjelasan atau uraian kalimat.

Dari hasil analisis tersebut dapat dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara befikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(4)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diuraikan, maka penulis menarik simpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban Pidana terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK) bahwa terdakwa sudah memenuhi semua unsur-unsur pasal yang didakwakan maka perbuatan terdakwa dianggap sebagai tindak pidana. Melihat dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, keterangan saksi dan pengakuan terdakwa, terdakwa dengan sengaja melakukan perbuatannya tersebut dan tidak adanya dasar peniadaan pidana atau alasan pemaaf bagi terdakwa. Terdakwa mampu bertanggungjawab atas apa yang diperbuat. Berdasarkan Unsur-unsur pertanggungjawaban pidana dilihat dari keadaan jiwa pelaku yang tidak terganggu jiwanya, Melihat kemampuan jiwa pelaku dapat menginsyafi dan membenarkan atas perbuatannya, serta dapat menentukan kehendaknya atas tindakan yang telah diperbuat. Melihat semuanya pelaku mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan melihat unsur-unsur pasal penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak dengan mengingat pasal Undang-undang yang berhubungan dengan perkara ini khususnya diatur dalam Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001, bahwa


(5)

59

berdasarkan perbuatannya pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan karena telah memenuhi semua unsur pasal yang didakwakan. Dengan hukuman pidana penjara selama lima 5 bulan.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam perkara nomor 505/Pid.B/2012/PN. TK tentang tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak yaitu berdasarkan teori pertimbangan Hakim, keyakinan Hakim bahwa terdakwa melakukan perbuatan bertentangan dengan undang-undang dan terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Melihat dari semua unsur pasal yang didakwakan terpenuhi, maka terdakwa dianggap melakukan suatu tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan bahan bakar minyak. Berdasarkan perbuatannya pelaku dijatuhkan putusan dengan penjara selama 5 (Lima) bulan. Pertimbangan majelis hakim dengan memperhatikan aspek yuridis dan aspek non yuridis. Aspek yuridis berdasarkan pada dakwaan jaksa dengan menggunakan pasal yang lebih mendekati pembuktiannya, Pasal 55 UU No. 22 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan aspek non yuridis yaitu akibat perbuatan pelaku meresahkan dan merugikan masyarakat, terdapatnya barang bukti, fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan keterangan saksi-saksi yang dapat meyakinkan hakim untuk menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Serta dengan menimbang hal-hal yang meringankan yaitu sikap pelaku dimuka persidangan, terdakwa belum pernah melakukan tindak pidana dan terdakwa menyesali perbuatannya tersebut.


(6)

60

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan, maka penulis memberikan saran sebagai berikut:

Diharapkan Hakim dalam menjatuhkan vonis harus memperhatikan secara lebih cermat dan teliti tentang latar belakang pelaku tindak pidana serta lebih memperhatikan dampak dari tindak pidana yang dilakukan sipelaku tersebut.


Dokumen yang terkait

TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN DANNIAGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) BERSUBSIDI JENIS MINYAK TANAH DI SIMEULUE

0 5 2

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

1 5 34

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN SURAT ( Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Menggala Nomor 199/PID.B/2011/PN.MGL )

0 12 64

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 508/ PID/B 2011/PN.TK)

3 17 55

ANALISIS TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN NIAGA BAHAN BAKAR MINYAK YANG DISUBSIDI OLEH PEMERINTAH (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1548K/Pid.Sus/2008)

2 11 68

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN PENGANGKUTAN BAHAN BAKAR MINYAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 505/Pid.B/2012/PN.TK)

1 19 58

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN SERTIFIKAT JUAL BELI TANAH (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No 659/PIDB/2011)

0 9 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37

ANALISIS PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MENYIMPAN BAHAN BAKAR MINYAK BERSUBSIDI TANPA IZIN (Studi Putusan No. 516Pid.Sus.LH2016PN.Tjk) (Jurnal Skripsi)

0 0 12