ABSTRAK ANALISIS INTEGRASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM SUPPLY CHAIN MANAGEMENT TERHADAP KEBERLANJUTAN BISNIS PERUSAHAAN (Studi Pada PTPN VII (Persero) Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan)

ABSTRAK
ANALISIS INTEGRASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM SUPPLY CHAIN
MANAGEMENT TERHADAP KEBERLANJUTAN BISNIS PERUSAHAAN
(Studi Pada PTPN VII (Persero) Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan)
Oleh
NOVIA AYU WULANDARI

PTPN VII Unit Usaha Rejosari merupakan perusahaan BUMN yang menjadi salah satu
penghasil Crued Palm Oil (CPO) yang memperoleh pasokan bahan baku berupa Tandan Buah
Segar (TBS) dari kebun inti dan juga kebun plasma. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa
integrasi antara CSR dalam SCM terhadap keberlanjutan bisnis perusahaan, yang ada di PTPN
VII Unit Usaha Rejosari melalui program kemitraan pinjaman bibit kelapa sawit kepada
masyarakat yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Peneliti menganalisa
integrasi tersebut melalui beberapa indikator yang terdiri dari perlindungan hewan,bioteknologi,
kesehatan dan keselamatan, lingkungan,tenaga kerja, masyarakat, pengadaan barang, dan
perdagangan yang adil.
Peneliti menggunakan metode kualitatif, dan menggunakan teknik purposive sampling dan
snowball sampling, informan ditujukan kepada pihak perusahaan, masyarakat, dan KUB binaan.
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa integrasi antara CSR dalam SCM di PTPN VII
Unit Usaha Rejosari dalam bentuk Program Kemitraan melalui pinjaman bibit kelapa sawit
kepada KUB binaan sudah dihentikan sejak tahun 2007 hingga saat ini (2012) sampai dengan

waktu yang belum di tentukan. Program kemitraan tersebut juga telah melakukan integrasi yang
mengarah pada keberlanjutan bisnis perusahaan, namun karena adanya kredit macet dan kurang
loyalnya KUB kepada perusahaan berakibat pada terganggunya mekanisme SCM yang
mengganggu keberlanjutan bisnis perusahaan.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan perusahaan dalam menjaga pasokan bahan baku dan
memberdayakan masyarakat tidak berjalan dengan baik di PTPN VII Unit Usaha Rejosari Natar
Lampung Selatan. Selanjutnya direkomendasikan saran kepada PTPN VII Unit Usaha Rejosari
agar melakukan evaluasi dalam surat Perjanjian Pinjaman Kelapa Sawit, dan memberikan
Pinjaman Bibit Kelapa Sawit melalui pembentukan atau pengembangan Koprasi Desa dengan
melibatkan masyarakat dan perangkat desa yang ada, sesuai dengan kebutuhan atau kondisi
dilapangan. Hal ini di tujukan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan serta pemberian
ruang kepada KUB dan masyarakat untuk bisa mengembangkan aspirasi dan keluhannya dari
program yang dijalankan.

ABSTRAK

ANALISIS INTEGRASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM SUPPLY CHAIN
MANAGEMENT TERHADAP KEBERLANJUTAN BISNIS PERUSAHAAN
(Studi Pada PTPN VII (Persero) Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan)
Oleh

NOVIA AYU WULANDARI

PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Rejosari is a state-owned company into one of the
Crued Palm Oil (CPO) who obtain supplies of raw materials in the form of Tandan Buah Segar
(TBS) from the nucleus and plasma. This study aims to analyze the integration of CSR in the
business sustainability SCM against the company, which is in PTPN VII Unit Usaha Rejosari
through the partnership program loans palm seedlings to the people who joined in the Kelompok
Usaha Bersama (KUB). This research, can be analyze of integration through multiple indicators
consisting of animal protection, biotechnology, health and safety, environment, labor,
community, procurement, and fair trade.
This research using qualitative methods, and using purposive sampling and snowball sampling.
The informants to the company, the community, and KUB target. Based on this research, it is
known that the integration of CSR in the SCM of PTPN VII Unit Usaha Rejosari at the
Partnership Program through loans palm seedlings to KUB target since 2007 has been
discontinued to the present (2012) up to the time that has not been determined. The partnership
program has also led to the integration of the company's business sustainability, but of the crunch
credit and KUB is not loyal to the company result in a disruption of mechanisms and business
continuity SCM company.
It can be concluded that the company's goal to maintain the supply of raw materials and to
empower them is not going well at PTPN VII Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan.

Furthermore, researchers advise PTPN VII Unit Usaha Rejosari in order to evaluate the Loan
Agreement letter Palm Oil and Palm Oil Seeds provide loans through the creation or
development of Rural Cooperatives by involving the community and village, in accordance with
the requirements or conditions of the field. It is in intended for monitoring and coaching as well
as providing space for KUB and the community to be able to develop the aspirations and
grievances of the run program.

A. Latar Belakang
Perusahaan dituntut untuk memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan yang lebih luas, baik
terhadap aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang lebih dikenal dengan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR). Makna yang penting dalam CSR adalah memaksimalkan dampak
positif operasi perusahaan dan meminimalkan dampak negatif demi pembangunan berkelanjutan.
Perusahaan sudah mulai memasukan CSR dalam inti (Core) operasi perusahaan, yakni proses
bisnis serta rantai nilai (Value Chain) yang etis dan bertanggung jawab, dibandingkan makna lain
dimana CSR lebih diletakkan dan dimaknai sebagai upaya promosi, branding dan public
relations yang terlalu dominan.
Kini banyak perusahaan yang telah berupaya mengaplikasikan kebijakan CSR ke dalam
beberapa bentuk kebijakan kreatif, salah satunya dengan mengintegrasikan CSR kedalam Supply
Chain Management (SCM) untuk memperoleh keuntungan bersama yang bisa di peroleh oleh
perusahaan, dan pemangku kepentingan (stakeholder) secara luas. Carter dan Jennings (2004)

menjelaskan bahwa:
Selain pertimbangan etis, kritik konsumen terhadap aplikasi CSR dan SCM dirasa sangat
merugikan profitabilitas perusahaan dan pangsa pasar. Perusahaan dapat lebih bijaksana
dengan mengantisipasi masalah CSR dan SCM mereka dan mengintegrasikan standar
SCM dan CSR ke dalam operasional perusahaan

Maloni dan Brown, (2006) menyatakan bahwa:
Industri makanan menghadapi kritik yang signifikan dari publik terhadap CSR dalam
SCM. Pernyataan ini mengacu pada banyaknya industri yang sedang mengembangkan
kerangka konsep yang komprehensif antara CSR dalam SCM di industri makanan.
Kerangka konsep aplikasi CSR dalam SCM pada industri makanan terdiri dari

perlindungan hewan, bioteknologi, lingkungan, kesehatan dan keselamatan, perdagangan
adil, tenaga kerja dan hak asasi manusia. Isu umum seputar CSR dalam SCM seperti
lingkungan masyarakat dan pengadaan barang juga menjadi pertimbangan.

Perusahaan merupakan bagian dari entitas bisnis, dan perusahaan di harapkan tidak hanya
melakukan kegiatan bisnis untuk profit semata. Namun dapat dimaknai sebagai komitmen dalam
menjalankan bisnis yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan
etika yang berlaku, baik dalam lingkup internal maupun eksternal. Sehingga CSR dalam jangka

panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan lingkungan ekonomi yang
berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan masyarakat.
Hubungan dari integrasi kebijakan CSR dengan kebijakan SCM saat ini menjadi perhatian
perusahaan global untuk bisa semakin kokoh bertahan dan memenuhi permintaan pasar dengan
produk yang kompetitif. Kini CSR tampaknya akan semakin penting dalam SCM karena tidak
hanya sebatas produk yang di konsumsi saja namun juga nilai-nilai yang di aplikasikan
perusahaan terhadap suatu produk. Saat ini perusahaan mulai berupaya mengarah pada strategi
pengintegrasian peran CSR perusahaan pada standar operasional yang ada dalam bagian SCM
perusahaan.

SCM bukan hanya sekedar mekanisme pemenuhan bahan produksi saja namun juga dalam
pemenuhan hak konsumen tentang kesehatan suatu produk, halal tidaknya suatu produk, dan juga
latar belakang dari produk tersebut. Beberapa faktor tersebut kini menjadi sorotan dan bahan
pertimbangan bagi konsumen dalam memilih produk. Salah satunya dengan melakukan
pemberdayaan petani dalam menerapkan kebijakan CSR dalam SCM perusahaan, hal ini juga
diharapkan akan membantu perusahaan dalam mengawasi kualitas dan kuantitas pasokan bahan
baku yang di butuhkan perusahaan.

Seperti yang di lakukan oleh PT Uniliver Indonesia Tbk. Pada tahun 2003. PT Unilever Tbk
mulai berkerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk mengembangkan biji kedelai

hitam (diberi nama Malika), kemudian memberi penyuluhan kepada petani tentang keunggulan
membudidayakan kedelai hitam (Swa, 2008). Di Indonesia sendiri CSR merupakan sesuatu yang
tidak dapat dihindari, dan sudah menjadi kewajiban perusahaan. Terlebih bagi perusahaan yang
memanfaatkan sumber daya alam, baik secara lansung maupun tidak langsung, sesuai dengan
yang diamanatkan dalam Undang-Undang: UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007, UU
Penanaman Modal No. 25 tahun 2007, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
No. 32 Tahun 2009, dan UU BUMN No. 19 tahun 2003.

PT Perkebunan Nusantara VII Persero Bandar Lampung merupakan salah satu perusahaan
BUMN, dan memiliki Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Program PKBL
dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pinjaman kredit lunak untuk
pengembangan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), memberikan bantuan untuk
sarana Umum, serta pemberian pinjaman bibit kelapa sawit kepada mitra binaan atau Kelompok
Usaha Bersama (KUB).

PTPN VII Unit Usaha Rejosari merupakan unit usaha dengan salah satu produk unggulan, yaitu
hasil kebun kelapa sawit atau Tandan Buah Segar (TBS) yang kemudian di olah menjadi minyak
mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Perolehan bahan baku atau TBS ini ada dua cara, yaitu
diperoleh dari hasil kebun PTPN VII Unit Usaha Rejosari/kebun inti, dan TBS juga diperoleh
dari pemasok yang merupakan mitra PTPN VII Unit Usaha Rejosari. Dalam Program Kemitraan

perusahaan juga turut serta dalam memberdayakan/mengembangkan masyarakat, yaitu dengan

cara pemberian pinjaman bibit kelapa sawit pada mitra binaan yang sebelumnya mengajukan
permohonan pinjaman bibit kelapa sawit kepada perusahaan.

Dalam proses pinjaman bibit kelapa sawit ini perusahaan dan KUB mengikuti aturan kerjasama
antara pemerintah daerah tingkat II kabupaten Lampung Selatan. No : X.9/KTR/02/1996 dan No
: 66/Disun/AK-LS 1996 tentang Pengembangan Tanaman Kelapa Sawit Rakyat Lampung
Selatan. Dalam perjanjian tersebut perusahaan dan anggota KUB menandatangani kesepakatan
perjanjian dalam pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing.

Berikut ini isi dari surat perjanjian yang memuat ketentuan yang harus di patuhi Pihak
perusahaan dan pihak KUB dalam Program Pinjaman Bibit Kelapa Sawit (dok. PTPN VII) yaitu
:

1. Ruang Lingkup Perjanjian :
a. Pihak pertama memberikan pinjaman uang dana kemitraan kepada pihak kedua dan
pihak kedua menyatakan telah menerima pinjaman uang dimaksud dari pihak pertama.
b. Uang yang menjadi obyek pinjaman ini di peruntukan bagi keperluan pengadaan bibit
kelapa sawit siap tanam sebanyak xxx (jumlah bibit) batang untuk areal xxx (luas areal)

lahan siap tanam milik petani yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB)
xxx (nama KUB/pihak kedua). Harga bibit kelapa sawit siap tanam per batang Rp.xxx
(harga/batang) di tempat pembibitan pihak pertama di Unit Usaha Rejosari.
c. Setelah pihak kedua menerima Pinjaman Bibit Kelapa Sawit dari pihak pertama, pihak
kedua wajib membuat Surat Pernyataan Pengakuan Hutang (SPPH) dari masing-masing
petani sebagai lampiran dengan diketahui Administrator Unit Usaha Rejosari dan Dinas
Perkebunan Kabupaten Lampung Selatan.
2. Cara Pembayaran :
a. Besarnya dana yang dipinjam pihak kedua dari pihak pertama berjumlah Rp.xxx
(jumlah uang)
b. Pembayaran uang dimaksudkan diatas oleh pihak pertama, kepada pihak kedua
diberikan dalam bentuk Bibit Kelapa Sawit siap tanam sebanyak xxx (jumlah bibit)
batang, hasil Tandan Buah Segar (TBS) pihak kedua dimaksudkan harus diserahkan
kepada pihak pertama sesuai dengan ketentuan Kriteria Teknis yang berlaku pada pihak
pertama.

3. Angsuran Pengembalian :
a. Uang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal (2) harus sudah dikembalikan seluruhnya oleh
pihak kedua kepada pihak pertama dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan
dengan dibebani Biaya Administrasi 12 % pertahun, dihitung secara menurun dan

diperitungkan proporsional masing-masing anggota. Angsuran pengembalian pokok dan
biaya administrasi berlaku mulai 2008 (tahun pertama tanaman mulai menghasilkan)
dan atau mulai tanaman sudah menghasilkan pada tahun pertama. Yaitu 2008 (tahun
pertama tanaman mulai menghasilkan) dan harus lunas pada 2011 (36 bulan masa
angsuran pengembalian pinjaman).
b. Pengembalian pinjaman diangsur dari penjual hasil panen (TBS) pihak kedua yang
diterima di pabrik pihak pertama dalam hal ini pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS)
Unit Usaha Rejosari dan dipotong langsung oleh pihak pertama yang besarnya potongan
berkisar antara 15-30 % atau disesuaikan dengan jumlah produksi yang disetor ke pihak
pertama.
Sumber : Perjanjian Pinjaman Bibit No.Resa/KTR/01/2005
(PTPN VII Unit Usaha Rejosari)

Program Kemitraan Pinjaman Bibit kelapa sawit di PTPN VII dilaksanakan sejak tahun 1996
dengan tujuan untuk menjaga pasokan bahan baku TBS, serta turut serta dalam memberdayakan
masyarakat di sekitar unit usaha Rejosari. Hal ini juga untuk menjamin kualitas atau standar TBS
yang bersumber dari KUB. Mekanisme SCM sangat kompleks dan bervariasi, misalnya untuk
mengetahui apakah TBS yang di gunakan PTPN VII Unit Usaha Rejosari telah memenuhi
standar ataupun kualifikasi lain yang ditentukan. Berikut adalah daftar nama Kelompok Usaha
Bersama (KUB) yang dikembangkan unit usaha Rejosari yang terdaftar sejak tahun 1996 hingga

tahun 2006:

Tabel 1.
Komposisi Areal dan Bibit Kemitraan Unit Usaha Rejosari
No.

Nama KUB

Total Hektar (HA)
Tahun 1996-2006

Total Bibit Tahun 1996-2006

1

Sido Makmur. B

54

7.210


2

Sumber Harapan

158,19

21359

3

Sido Makmur. A

56,35

7606

4

Sawit Makmur

69

9233

5

Sari makmur

14,8

2000

6

Agro Megah Buana

42

5665

7

Sinar Harapan

137

18268

8

Sari Rejeki

75,43

10209

9

wahara Makmur

370,44

49319

10

Angan Saka

52

6282

11

Sejahtera

38

5879

12

KUD Laras

54

7170

13

Seumber Rejo

36,3

4901

14

Gedung Wani

318,33

42961

15

Guna Jaya

64,94

8768

16

Harapan Jaya

132,19

17817

17

Tunas mekar

67

9045

18

Rahayu

129,03

16114

19

Drs. Hasyim Abdullah

23,5

3177

20

Sri Lestari III

31

4170

21

Wukir Sari III

39

5224

22

Mayang Harapan

66

8860

23

Suka Tani

24

3250

24

Marihat

144

19385

25

Tunas Harapan

91

12233

26

Tani Mukti

57

7620

27

Jati Agung

43

5805

28

Bangun Jaya

18

2430

29

Tunas Mandiri

10

1350

7

950

30
Gayub Rukun
Sumber : PTPN VII Unit Usaha Rejosari

Berdasarkan hasil identifikasi pra riset yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa dari 30 KUB
(pada tabel.1), tercatat di Tahun 2012 hanya sekitar 10 KUB yang masih bertahan, dan aktif
dalam memasok TBS. Berikut ini daftar nama KUB yang aktif menjadi pemasok di PTPN VII
Unit Usaha Rejosari:
Tabel 8.
Daftar Mitra KUB Pemasok TBS PTPN VII Unit Usaha Rejosari Periode Januari s/d
Agustus Tahun 2012

No.
1.

Nama KUB
Sumber Harapan

Desa/ Kecamatan
Rejo Agung/Tegineneng

2.

Sari Rezeki

3.

Sido Makmur B

4.

Gedong Wani

Relung Helok/Natar
Haduyang/Natar
Gedong Wani/Jati Agung

5.

Wukir Sari

6.

Jati Agung

7.

Wahana Makmur

8.

Sido Makmur A

Lumber Rejo/Negri Katon
Margo Agung/Jati Agung
Trans Tanjungan/Ketibung
Rawo Rejo/Gedong Tataan

9.

Argo Megah Buana

10.

Hasym Abdullah

Way Penat/L. Maringgal
Tanjung Rejo/Negri Katon

Sumber : PTPN VII Unit Usaha Rejosari (Data diolah oleh Peneliti)
Adanya isu seputar CSR dalam SCM yang banyak dialami perusahaan seperti UNILEVER, dan
Nestle (dalam konsep Creating Shared Value (CSV)), serta adanya isu permasalahan kredit

macet dalam Program Pinjaman Bibit Kelapa Sawit di PTPN VII Unit Usaha Rejosari, dan
banyaknya KUB yang tidak menjalankan kewajibanya dalam memasok TBS kepada perusahaan.
Pada akhirnya mengantarkan peneliti untuk lebih melakukan eksplorasi pada aplikasi dari
integrasi antara CSR dalam SCM pada TBS yang menjadi bahan baku di PTPN VII Unit Usaha
Rejosari.
Penelitian mengenai Integrasi antara CSR dalam SCM masih sangat jarang dilakukan di
Indonesia dan dari masalah tersebut peneliti mencoba untuk mengidentifikasi integrasi antara
CSR dalam SCM terhadap keberlanjutan bisnis perusahaan. Khususnya yang diterapkan PTPN
VII Unit Usaha Rejosari. Selanjutnya penelitian ini akan mengambil judul:
“Analisis Integrasi Corporate Social Responsibility (CSR) dalam Supply Chain Menagement
(SCM) Terhadap Keberlanjutan Bisnis Perusahaan“ (Studi pada PT Perkebunan Nusantara
VII (Persero) Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan).
B. Rumusan Masalah :
1. Bagaimana integrasi antara CSR dalam SCM di PTPN VII Unit Usaha Rejosari dalam
menciptakan keberlanjutan bisnis perusahaan?
2. Bagaimana manfaat dari integrasi antara CSR dan SCM yang di bangun oleh PTPN
VII Unit Usaha Rejosari dalam upaya menciptakan bisnis yang berkelanjutan?
C. Tujuan penelitian
1.

Untuk mengidentifikasi integrasi antara CSR dalam SCM di PTPN VII Unit Usaha
Rejosari dalam menciptakan keberlanjutan bisnis perusahaan.

2. Untuk mengidentifikasi manfaat dari integrasi antara CSR dan SCM yang di bangun
oleh PTPN VII Unit Usaha Rejosari dalam upaya menciptakan keberlanjutan bisnis
perusahaan.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Perusahaan
Penelitian ini merupakan proses analisa terhadap integrasi antara CSR dalam SCM di
PTPN VII Unit Usaha Rejosari. Penelitian ini bertujuan untuk dapat memberikan
informasi yang sesuai dengan kondisi perusahaan dan mitra binaan di PTPN VII Unit
Usaha Rejosari. Mengingat bahwasanya kebijakan CSR saat ini sangat menjadi
pertimbangan bagi konsumen dalam menentukan produk dan bagi pemangku kepentingan
dalam menentukan kebijakan berkaitan dengan perusahaan melalui program dan
kebijakan-kebijakan yang memberi manfaat positif bagi pembangunan dan juga
keberlanjutan bisnis perusahaan.
2. Bagi Masyarakat dan KUB
Dari hasil penelitian, diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi atau masukan
bagi masyarakat dan KUB dalam menyelesaikan persoalaan yang berkaitan dengan
program CSR yang dilakukan perusahaan serta praktek integrasi antara CSR dalam SCM
di PTPN VII Unit Usaha Rejosari.
3. Bagi Akademisi

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan referensi atau kajian
bagi penelitian-penelitian berikutnya untuk memperoleh kajian yang lebih baik dan
bermanfaat.
4. Bagi Pemerintah
Diharapkan agar penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan referensi dan masukan
bagi Pemerintah dalam menetapkan kebijakan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Stakeholder
1. Legitimasi Stakeholder
Hadi (2011) dalam Ardianto dan Machfudz (2011) mendefinisikan bahwa:
Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka
mengembangkan perusahaan ke depan. Hal itu dapat di jadikan sebagai wahana untuk
mengonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya memosisikan diri di
tengah lingkungan masyarakat yang semakin maju.

Hadi (2011) dalam Ardianto dan Machfudz (2011) juga mengungkapkan bahwa :
Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang diberikan masyarakat kepada
perusahaan dan sesuatu yang diinginkan atau di cari perusahaan dari masyarakat. Dengan
demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan
untuk bertahan hidup (going concern).

Menurut Pattren, dalam Ardianto dan Machfudz (2011) Upaya yang perlu dilakukan perusahaan
dalam rangka mengelola legitimasi agar efektif ada 3 cara yaitu:
1. Melakukan identifikasi dan komunikasi atau dilalog dengan publik
2. Melakukan komunikasi atau dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan
lingkungan, serta membangun persepsi tentang perusahaan.
3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapkan terkait dengan CSR.

2. Teori Pemangku Kepentingan (Stakeholders Theory)
Asumsi stakeholder theory menurut Thomas dan Andrew (Hadi, 2011 dalam Ardianto dan
Machfudz, 2011):

1. Perusahaan memiliki hubungan dengan banyak kelompok-kelompok konsistuen
(stakeholder) yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan perusahaan,
2. Teori ini ditekankan pada sifat alami hubungan dalam proses dan keluaran bagi
perusahaan dan stakeholder-nya,
3. Kepentingan semua legitimasi stakeholder memiliki nilai secara hakiki, dan tidak
membentuk kepentingan yang didominasi satu sama lain,
4. Teori ini memokuskan pada pengambilan keputusan manajerial.

Menurut Adam (Hadi, 2011 dalam Ardianto dan Machfudz, 2011) Berdasarkan asumsi
stakeholder theory:
Perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga
legitimasi stakeholder serta mendudukannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan
keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas
usaha dan jaminan going concern.
Freeman, (1984) dalam Philips dan Margolis, (1999) mendefenisikan:
Stakeholder sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh suatu pencapaian tujuan tertentu. Kewajiban moral yang dibuat berdasarkan
tindakan yang diambil (dalam hal ini penerimaan manfaat yang sifatnya sukarela) dari
berbagai pihak.

Philips (1999) mengatakan, Stakeholders adalah para pemilik perusahaan, pemilik modal atau
pemilik

asset,

masyarakat,

pemerintah,

juga

karyawan.

Overseas

Development

Administration/ODA, (1995) mendefinisikan bahwa, kekuatan stakeholder, posisi penting, dan
pengaruh stakeholder terhadap suatu isu stakeholder dapat diketegorikan kedalam beberapa
kelompok yaitu :

1. Stakeholder Utama (primer)
Stakeholder utama merupakan stakeholder yang memiliki kaitan kepentingan secara
langsung dengan suatu kebijakan, program, dan proyek. Mereka harus ditempatkan sebagai
penentu utama dalam proses pengambilan keputusan, yaitu:

a. Masyarakat dan tokoh masyarakat : Masyarakat yang terkait dengan proyek,
yakni masyarakat yang diidentifkasi akan memperoleh manfaat dan yang akan
terkena dampak (kehilangan tanah dan kemungkinan kehilangan mata
pencaharian) dari proyek ini. Tokoh masyarakat : Anggota masyarakat yang oleh
masyarakat ditokohkan di wilayah itu sekaligus dianggap dapat mewakili aspirasi
masyarakat
b. Pihak Manajer publik : lembaga/badan publik yang bertanggung jawab dalam
pengambilan dan implementasi suatu keputusan.

2. Stakeholder Pendukung (sekunder)
Stakeholder pendukung (sekunder) adalah stakeholder yang tidak memiliki kaitan
kepentingan secara langsung terhadap suatu kebijakan, program, dan proyek, tetapi
memiliki kepedulian (concern) dan keprihatinan sehingga mereka turut bersuara dan
berpengaruh terhadap sikap masyarakat dan keputusan legal pemerintah.
a. Lembaga (Aparat) pemerintah dalam suatu wilayah tetapi tidak memiliki
tanggung jawab langsung.
b. Lembaga pemerintah yang terkait dengan isu tetapi tidak memiliki kewenangan
secara langsung dalam pengambilan keputusan.
c. Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) setempat : LSM yang bergerak dibidang
yang bersesuai dengan rencana, manfaat, dampak yang muncul yang memiliki
“concern” (termasuk organisasi massa yang terkait).
d. Perguruan Tinggi: Kelompok akademisi ini memiliki pengaruh penting dalam
pengambilan keputusan pemerintah.
e. Pengusaha (Badan usaha) yang terkait.

3. Stakeholder Kunci
Stakeholder kunci merupakan stakeholder yang memiliki kewenangan secara legal dalam
hal pengambilan keputusan. Stakeholder kunci yang dimaksud adalah unsur eksekutif sesuai
levelnya, legisltif, dan instansi. Istilah stakeholders sudah sangat populer. Kata ini telah
dipakai oleh banyak pihak dan hubungannnya dengan berbagi ilmu atau konteks, misalnya
manajemen bisnis, ilmu komunikasi, pengelolaan sumberdaya alam, sosiologi, dan lain-lain.
Lembaga-lembaga publik telah menggunakan secara luas istilah stakeholder ini ke dalam
proses-proses pengambilan dan implementasi keputusan. Secara sederhana, stakeholder
sering dinyatakan sebagai para pihak, lintas pelaku, atau pihak-pihak yang terkait dengan
suatu isu atau suatu rencana.
Menurut Kartini (2009):

Pengakuan terhadap adanya berbagai stakeholders diluar pemegang saham
(Shareholders) yang dapat memengaruhi efektifitas pencapaian tujuan perusahaan telah
mengubah dimensi tanggung jawab sosial perusahaan, dari tanggung jawab ekonomi
semata-mata dalam bentuk maksimasi laba untuk kemakmuran para pemegang saham
menjadi tanggung jawab kepada sejumlah stakeholders yang lebih luas.
Stakeholder memiliki peran dan fungsi penting bagi perusahaan, stakeholder mencakup seluruh
bagian perusahaan baik dilingkup interrnal maupun lingkup eksternal perusahaan. Hal ini
ditandai dengan tujuan dan misi perusahaan yang selalu berkaitan dengan upaya pengintegrasian
antara tujuan dan misi perusahaan dengan kondisi dan peran serta fungsi stakeholder bagi
perusahaan. Diketahui bahwa stakeholder (masyarakat, aparat pemerintahan, akademisi dan
mitra bisnis) memiliki keterkaitan dan peran yang jelas dalam mendukung perusahaan, baik dari
segi struktural hingga aplikasi dari setiap kebijakan dan proses bisnis perusahaan yang dituntut
untuk tetap memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi secara simultan.

B.

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate social Responsibility)

Menurut Dwipayana (dalam Ardianto dan Machfudz, 2011) :
CSR perusahaan mengacu pada konsep triple battom line, yaitu keseimbangan dalam
menjaga kelestarian lingkungn sekitar wilayah oprasi (aspek lingkungan), memberi
manfaat kepada masyarakat (aspek sosial), dan perusahaan mendapatkan nilai untuk
menjaga kelangsungan oprasnya (aspek ekonomi). Dalam menerapkan CSR, perusahaan
selalu mengendalikan biaya, mencari trobosan-trobosan dengan biaya relatif ringan
namun hasilnya bisa langsung menyasar pada kebutuhan masyarakat dan tentu ada
kaitannya dengan kegiatan usahanya.
Widjaja & Pratama (2008) mendefinisikan CSR sebagai berikut:
CSR adalah sebuah komitmen bersama dari seluruh Stakeholder perusahaan yang
dinyatakan baik dalam Code of Conduct, code of Etichs, Corporate Policy maupun
Statement of Principles perusahaan serta diwujudkan dalam setiap tindakan yang diambil
oleh perusahaan tersebut dan harus ditaati oleh setiap stakeholders tersebut. Secara umum
bisa dikatakan, CSR mempunyai dua karakteristik utama. Pertama yaitu, menguraikan
hubungan antara bisnis dan masyarakat yang lebih besar, yang kedua, mengacu pada
suatu aktivitas sukarela perusahaan yang mencakup isu sosial dan lingkungan. Sehingga
tanggung jawab sosial yang dimiliki perusahaan mengharuskan perusahaan untuk
mengawasi kebijakan yang ditentukan dari suatu strategi bisnis dan sistem ekonomi yang

berlaku untuk memenuhi harapan publik. Hal tersebut menunjukan bahwa kondisi
perekonomian perusahaan juga Oprasional perusahaan harus diperhitungkan secara
mendalam sehingga produksi dan distribusi dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dan
ekonomi secara berkelanjutan.

Sikap stakeholder dalam menilai tanggung jawab sosial perusahaan kini tak lagi hanya sebatas
pada bisnis dan profit namun juga tujuan-tujuan sosial yang dimiliki perusahaan (Carroll Dan
Buchholtz, 2000). CSR berpusat pada gagasan bahwa korporasi dapat diadakan secara sosial dan
etis dengan pantauan dari Stakeholder seperti pelanggan, karyawan, pemerintah, masyarakat,
LSM, investor, pemasok, serikat kerja, regulator, dan media. Penelitian CSR telah berkembang
selama 50 tahun terakhir (Carroll, 1999).
Dari perspektif rantai pasokan (SCM), Carter dan Jennings (2004) menunjukkan bahwa CSR
tidak hanya identik dengan etika bisnis tetapi juga mencakup dimensi filantropi, masyarakat,
keragaman di tempat kerja, keamanan, hak asasi manusia, dan lingkungan. Perusahaan mengejar
CSR untuk berbagai alasan. Berdasarkan nilai-nilai organisasi, beberapa pemimpin bisnis telah
memeluk konsep dan berusaha untuk memberikan kepemimpinan di daerah tersebut, motivasi
CSR juga dapat mencakup pemasaran, publisitas, dan inovasi (Maignan et al., 2002, dalam
Maloni dan Brown, 2006). Pengertian tanggung jawab sosial mengartikan bahwa para pelaku
bisnis perlu mengaplikasikan kebijakan dari suatu sistem ekonomi, karena hal itu berkaitan
dengan harapan banyak pihak (Maloni dan Brown, 2006).
Maloni dan Brown (2006) mengemukakan bahwa:
Adanya tekanan terhadap perusahaan global yang muncul dari para stakeholder baik
internal maupun eksternal seperti pelanggan, karyawan, serikat pekerja, pemegang
saham, mitra bisnis, pemerintah, LSM dan media, yang menunjukkan keprihatinan
mereka atas kondisi lingkungan dan sosial disekitar perusahaan atau tempat produksi
perusahaan, khususnya yang berada di negara berkembang.

Comment [ U1] : Cara penulisan harus ilmiah, cek
panduan!!!

Menurut maloni dan Brown (2006) Perusahaan tidak mampu untuk menutupi praktik tidak etis
yang dilakukan pemasok mereka:
Hal ini disebabkan mudahnya akses informasi yang menembus batas-batas negara dan
budaya yang secara terbuka telah membuka informasi tentang praktek-praktek yang tidak
bertanggung jawab yang dilakukan perusahaan global, seperti pelanggaran hak azasi
manusia, pekerja anak, keamanan pekerja, masalah ras, diskriminasi gender, dan masalah
lainnya. Masalah terkenal yang bersumber dari media antara lain adalah Nike, Gap, H &
M, Wal-Mart, dan Mattel.

CSR disimpulkan sebagai mekanisme kebijakan pendeketan sosial yang memberi dukungan
terhadap perusahaan, untuk dapat bertahan dalam kondisi yang syarat dengan kemajuan
teknologi. Perusahaan juga diharapkan untuk tidak melakukan eksplorasi yang berlebihan
terhadap alam, lingkungan sosial, dan juga Sumber Daya Manusia (SDM). Perusahaan
diharapkan mampu tumbuh dan berkembang dengan turut serta perduli dan memberi manfaat
yang baik kepada stakeholder, untuk memperoleh dukungan yang baik dari stakeholder terhadap
kebijakan dan bisnsi perusahaan.
C. Menajemen Rantai Pasokan (Supply Chain Management)

Anatan dan Elitan (2008) mendefinisikan SCM sebagai berikut:
Manajemen SCM merupakan strategi alternatif yang memberikan solusi dalam
menghadapi ketidakpastian lingkungan untuk mencapai keunggulan kompetitif melalui
pengurangan biaya oprasional dan perbaikan pelayanan konsumen dan kepuasan
konsumen. SCM menawarkan suatu mekanisme yang mengatur proses bisnis,
meningkatkan produktivitas, dan mengurangi biaya oprasional perusahaan

Lee dan Whang, (2000) dalam Anatan dan Elitan, (2008) mendefinisikan SCM sebagai integrasi
proses bisnis dari pengguna akhir melalui pemasok yang memberikan produk, jasa, informasi,
dan bahkan peningkatan nilai untuk konsumen dan karyawan. Melalui SCM, perusahaan dapat

membangun jaringan yang terkordinasi dalam penyediaan barang maupun jasa bagi konsumen
secara efisien (D’Amours et al., 1999 dalam Anatan dan Elitan, 2008). Salah satu hal terpenting
dalam SCM

adalah saling berbagi informasi merupakan keseluruhan elemen dalam rantai

pasokan yang perlu diintegrasikan (Chen et al., 2004 dalam Anatan dan Elitan, 2008).

Tabel 3.
Area Cakupan SCM.
Bagian
Pengembagan produk
Pengadaan

Perencanaan&
Pengendalian
Oprasi dan Produksi
Pengiriman/Distribusi

Cakupan Kegiatan
Melakukan riset pasar, merancang produk baru, melibatkan
pemasok dalam perancangan produk baru
Memilih pemasok, mengevaluasi kinerja pemasok, melakukan
pembelian bahan baku dan komponen, memonitor resiko
pemasok, membina dan memelihara hubungan dengan pemasok.
Perencanaan permintaan, peramalan permintaan, perencanaan
kapasitas, perencanaan produksi dan persediaan.
Eksekusi produksi dan pengendalian kualitas
Perencanaan jaringan distribusi, penjadwalan, pengiriman,
mencari dan memelihara hubungan dengan perusahaan, jasa
pengiriman, memonitor tingkat pelayanan pada tiap pusat
distribusi.

Sumber : Pujawan (2005), dalam Anatan dan Elitan (2008).
Ho et Al., (2002) dalam Schwartz dan Tapper (2008) mengemukakan bahwa:
SCM dapat digambarkan sebagai suatu filsafat manajemen inti yang berasal dari supplier
awal bahan baku hingga pada tengkulak, dan berapa di tangan produsen untuk
menyediakan produk, jasa, dan informasi yang menambahkan nilai untuk pelanggan dan
Stakeholders dengan cara menggabungkan tiap bagian yang berperan dalam supply chain
perusahaan.

Schwartz dan Tapper (2008) juga mendefinisikan SCM sebagai:
Proses dimana seorang produsen atau pembeli bekerja dengan para penyalur mereka
untuk memastikan bahwa produk dan jasa diperoleh dalam cara-cara yang memenuhi
permintaan konsumen. Diantaranya meliputi desain produk, perencanaan, operasi
produksi, logistik, distribusi, seperti halnya pembayaran dan prosedur susuai kontrak. Hal
tersebut lebih dulu dipusatkan pada tujuan untuk mencapai hasil dan kualitas yang baik,
kemudian untuk meretas isu lingkungan dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
mengurangi barang sisa, sebagai bagian dari implementasi yang bersandar pada sistem
produksi, dalam rangka mengendalikan biaya produksi. Hal tersebut telah mendorong
pengembangan SSCM (sustainability supply chain menagement) sebagai aplikasi yang
lebih kompleks dalam praktek perusahaan.

Menurut schwart dan Tapper (2008) untuk mempertahankan rantai suplai (Supply Chain)
perusahaan maka perusahan perlu memperhatikan beberapa hal yaitu:
keberlanjutan Supply Chain dalam jangka panajang. SSCM sebagai proses dalam
mempertahankan Supply Chain, perusahaan perlu mempertimbangkan lingkungan,
dampak bisnis secara luas baik dalam aspek sosial dan ekonomi. Dalam prosesnya hal ini
berhubungan dengan pengembangan kebijakan dan juga aplikasi kebijakan tersebut. Hal
ini secara positif akan berperan untuk mempertahankan suplier atau penyalur, dan mampu
meningkatkan mutu produk dan jasa yang ditawarkan. Namun hal ini tidak berlaku secara
langsung, karena proses SCM merupakan proses yang kompleks dan berbeda ditiap
perusahaan, antara lain karena lokasi perusahaan, distribusi, proses produksi, dan fasilitas
yang ada.

SCM merupakan proses distribusi yang kompleks yang pada tahap ini SCM di integrasikan
dengan CSR dalam menciptakan kebijakan yang harapannya dapat memberi kontribusi yang
lebih efektif untuk lingkungan internal maupun eksternal perusahaan. SCM adalah sebuah proses
di mana produk diciptakan dan disampaikan kepada konsumen dari sudut struktural.
Gambar 1.
Model Rantai Pasokan (A Typical Supply Chain) :

Comment [ U2] : DijelASKAN YANG BAGUS TIDAK
HANYA GAMBAR SAJA

Sumber : A Typical Supply Chain (Davis, 1993)

Gambar 1. menunjukan bahwa Supply Chain adalah jaringan yang sederhana dalam proses
penghubungan material dengan karakteristik yang mengikutinya : persediaan (Supply),
perubahan bentuk (Transformation), dan permintaan (Demand). Model ini menunjukan banyak
tingkatan, rantai produksi memerlukan Material itu kemudian dirubah dalam beberapa cara guna
menambahkan nilai, untuk menghasilkan suatu persediaan barang jadi.

SCM dapat disimpulkan sebagai mekanisme alur penambahan nilai terhadap seuatu produk
melalui rangkaian prosedur yang dijalankan perusahaan bersama pemasok. Mekanisme SCM
dilaksanakan dalam bentuk yang sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Hal ini
bertujuan untuk memaksimalkan manfaat yang diperoleh perusahaan dalam menjaga bahan baku
dan keefektifan perusahaan dalam menjaga dan mengaplikasikan proses SCM, untuk
menghindari adanya isu negatif berkaitan dengan proses SCM diperusahaan.
D. Hubungan antara CSR dan SCM

Carroll dan Buchholtz (2000) mengutarakan bahwa hubungan antara CSR dalam SCM sebagai
berikut:

CSR adalah suatu konsep lebih luas dan bukan sekedar integrasi CSR ke dalam SCM
saja, tetapi lebih kepada pertanggung jawaban perusahaan kepada stakeholder dan
lingkungan secara luas. Integrasi antara CSR dalam SCM secara global muncul dan
berkembang karena sifat hubungan bisnis yang berubah dari perusahaan barang
manufaktur dan didukung dengan kondisi lingkungan yang mengalami masa peralihan
yang kompleks baik dari aspek teknologi, kebutuhan masyarakat, hingga ketersediaan
maupun kekurangan persediaan sumber daya alam mengarahkan perusahaan utuk bisa
terlibat dalam Supply Chain dan sudut pandang stakeholder dalam menilai produk.

SCM Sebuah perusahaan yang dapat secara umum didefinisikan sebagai rangkaian proses
perusahaan, termasuk dukungan, pelanggan, dan penyedia logistik yang bekerja sama untuk
memberikan paket nilai barang dan jasa kepada pelanggan akhir (Simchi-Levi et al, 2002 dalam
Maloni dan Brown, 2006). Poist (1989) dalam Maloni dan Brown (2006) memberikan
pertimbangan awal dari CSR dalam SCM, dan menyarankan pendekatan tanggung jawab total
yang menambahkan masalah sosial untuk mengendalikan ekonomi dari Supply Chain:
Diluar pertimbangan etis, kritik yang datang dari konsumen terhadap aplikasi CSR
mereka dirasa dapat sangat merugikan atau menghambat Profitabilitas perusahaan dan
strategi penguatan pasar, dengan melakukan integrasi antara SCM perusahaan ke dalam
CSR akan meningkatkan kompleksitas pada menajemen CSR perusahaan. Dan akan lebih
bijaksana jika perusahaan mengantisipasi dan melakukan integrasi antara SCM dan CSR
ke dalam operasional perusahaan sehari-hari. SCM perusahaan yang terintegrasi akan
meningkatkan keseluruhan nilai yang dihasilkan oleh Supply Chain tersebut sebagai
sekumpulan aktifitas (dalam bentuk entitas/fasilitas) yang terlibat dalam proses
transformasi dan distribusi barang mulai dari bahan baku paling awal dari alam sampai
produk jadi pada konsumen akhir.
Carter dan jenings (2004) mengemukakan bahwa:
Supply chain juga banyak diasosiasikan dengan suatu jaringan Value Adding activities.
Penting untuk dicatat bahwa dalam Supply Chain terdapat tiga macam aliran utama, yaitu
aliran produk, uang dan informasi. Pengelolaan dan sinkronisasi ketiga aliran inilah yang
menjadi ruh dan jiwa dari SCM.

Hubungan antara CSR dengan SCM dapat disimpulkan sebagai hubungan yang diaplikasikan
dengan tujuan dalam menanggapi adanya isu yang berkembang pada mekanisme CSR dan SCM

Comment [ U3] : TULISAN di cek lagi

diperusahaan. Tanggapan yang dilakukan perusahaan dimaknai sebagai proses penambahan nilai
bagi kedua proses yang diaplikasikan perusahaan.
E. Integrasi CSR dan SCM
CSR dalam aplikasi SCM dipandang mampu menerapkan etika bisnis yang lebih terintegrasi
dalam mengatasi isu-isu seperti kesejahteraan hewan, perdagangan yang adil, bioteknologi,
kesehatan, distribusi, metode pertanian, standar kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan tenaga
kerja (Carter dan Jennings, 2004).

Penelitian CSR dalam aplikasi SCM pada perusahaan

memberi dasar dimana perusahaan dapat memperoleh kesadaran langsung dari masalah SCM
dan CSR ditingkat global. yang didasari beberapa panduan Internasional Standarisasi Organisasi
(ISO) (2005a, b), yaitu panduan untuk lingkungan (ISO 14000) dan panduan keamanan pangan
(ISO 22000). Menurut Maloni dan Brown (2006):
Saat ini telah banyak perusahaan global yang menanggapi adanya tekanan dan harapan
dari para stakeholder dengan mendefinisikan, mengembangkan dan menerapkan sistem
dan prosedur untuk memastikan bahwa pemasok mereka sesuai dengan standar sosial dan
lingkungan, yang diantaranya diaplikasikan oleh integrasi antara CSR dalam supply chain
perusahaan.

Dalam identifikasi terhadap aplikasi CSR dan SCM perusahaan, Maloni dan Brown (2006)
menggunakan 8 Indikator dalam kerangka konsep integrasi antara CSR dalam SCM, antara lain
kesejahteraan dan perlindungan hewan, bioteknologi, masyarakat, lingkungan, praktek keuangan,
kesehatan dan keselamatan, tenaga kerja, dan pengadaan barang yaitu :
1. Kesejahteraan dan Perlindungan Hewan (Animal welfare indicator)

Kesejahteraan dan perlindungan hewan meliputi beberapa hal, diantaranya pendekatan
manusiawi untuk penanganan hewan, tempat peternakan hewan, transportasi distribusi,
dan masalah pembantaian hewan. Perusahaan makanan telah menekankan biaya rendah
dengan membuat peternakan lebih diintensifkan (umumnya dikenal sebagai pabrik

peternakan). Zuzworsky (2001) mencatat bahwa praktek-praktek tersebut telah
membantu industri mengurangi biaya, namun pendekatan ini telah menyebabkan
kesejahteraan dan perlindungan hewan dipertanyakan. Fox (1997) tidak hanya membahas
masalah kondisi tempat tinggal hewan ternak yang hidup, sirkulasi udara yang baik dan
sinar matahari, interaksi dengan hewan lain, tetapi ia juga menyarankan untuk
menyembelih hewan sebelum di proses untuk dikonsumsi.
2. Bioteknologi (Biotechnology Indicator)

Bioteknologi didefinisikan sebagai penggunaan proses biologi untuk membuat produk
yang berguna (Gosling, 1996). Bioteknologi tidak terbatas pada rekombinan DNA
(menggabungkan DNA dari organisme yang berbeda), tetapi juga meliputi kultur jaringan
(jaringan tumbuh di luar tubuh), kloning, pertumbuhan stimulasi, pengujian genetik
(untuk berkembang biak dan tujuan seleksi), dan penggunaan antibiotik (Blayney et al.,
1991). Proses tersebut dapat diterapkan untuk tanaman atau hewan. Penelitian
menunjukkan bioteknologi memberi manfaat yang besar pada industri makanan, baik dari
segi keuntungan yang lebih tinggi, biaya produksi lebih rendah, peningkatan kesehatan
hewan, resiko kerugian karena kehilangan bahan pokok (sayuran dan hewan) berkurang,
juga tidak begitu memerlukan herbisida dan pestisida yang berlebihan (Gosling, 1996).
Bioteknologi juga dapat memungkinkan untuk pengujian penyakit serta meningkatkan
produksi obat-obatan yang berasal dari tumbuhan dan hewan (Gosling, 1996).
3. Masyarakat/ Komunitas sosial (Comunity Indicator)
Masyarakat dalam CSR merupakan lingkup yang luas dalam memberikan dukungan bagi
perusahaan. Pusat Corporate Citizenship (2004) berfokus pada dampak bisnis seperti
dukungan terhadap pendidikan nasional, pembangunan ekonomi, pelatihan kerja,
pemenuhan hak karyawan, perawatan kesehatan, melek huruf bagi masyarakat,
pengembangan seni dan budaya, pendidikan moral anak, dan perumahan. Sebagian besar
upaya ini berkisar pada sumbangan keuangan (Maloni dan Brown, 2006). Elemen penting
yang belum diterapkan dalam CSR adalah melakukan integrasi dalam supply chain atau
rantai pasokan. Carter dan Jennings (2002b, 2004) menyatakan bahwa masyarakat
sebagai elemen penting dari integrasi antara CSR dan SCM melalui penggunaan model
persamaan struktural. Salah satu contoh dalam industri makanan adalah Ronald
McDonald House, yang menyediakan perumahan bagi anak-anak sakit (Smith, 1994).
4. Lingkungan (environment performance indicator)
Industri makanan memiliki banyak dampak untuk lingkungan. Misalnya, Fox (1997)
mencatat adanya masalah dengan pembuangan limbah perusahaan, adanya dampak buruk
pada tanah dan air, penggundulan hutan, dan pemanasan global. Boehlje (1993)
membahas masalah pertanian termasuk adanya isu bahan kimia (pupuk, herbisida,
pestisida, dll), pembuangan limbah, dan teknik-teknik pertanian yang merusak tanah.
Contoh faktor lingkungan lain yang ditujukan antara lain adanya pencemaran air,
kemasan yang tidak mudah terurai, jarak distrubusi makanan (jarak tempuh dari pertanian
ke konsumen yang mengarah ke masalah konsumsi bahan bakar, yang akhirnya
berdampak pada pemanasan global). Sebagai contoh dalam industri makanan, Starbucks
memulai dengan memilih pemasok dengan program yang baik, dan menghargai supplier

sebagai upaya untuk aplikasi praktek yang bertanggung jawab, baik lingkungan dan juga
aspek sosial (Schrage, 2004). McDonald menggabungkan faktor lingkungan ke dalam
pedoman pembelian termasuk elemen seperti air dan konservasi energi, polusi udara,
limbah dan daur ulang, perlindungan habitat dan penggunaan bahan kimia (McDonald,
2004).
5. Perdagangan yang adil (Fair Trade Indicator)
Praktek keuangan menjadi salah satu bagian dari CSR, dan telah mendapatkan perhatian
yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir dengan adanya skandal keuangan
perusahaan (Maloni dan Brown, 2006). Standar pelaporan keuangan dalam SCM industri
makanan juga menghadapi tantangan dari stakeholders karena adanya keprihatinan
terhadap perdagangan yang adil. Premis dari perdagangan yang adil adalah bahwa
pengusaha makanan harus memberikan harga yang baik kepada para pemasok yang
tujuanya tidak hanya untuk menghindari kemiskinan tetapi juga untuk mempertahankan
keberlanjutan bisnis perusahaan (Maloni dan Brown, 2006).
6. Kesehatan dan Keselamatan Konsumen (Human Rights Performance Indicator)
Ketakutan konsumen mendorong kemampuan industri makanan untuk mengidentifikasi
masalah awal dalam SCM sebelum produk mencapai tingkat ritel. Gaya hidup sehat
dalam SCM kini semakin penting dalam tinjauan CSR Perusahaan dan pemasok
menghadapi tekanan untuk mendukung pola makan sehat dengan menu makanan baru
serta pe-labelan produk terkini (Standard dan Poor, 2005). Wade, (2001)
memperingatkan untuk memastikan bahwa persediaan hasil pertanian di negara
berkembang, pertama diarahkan memenuhi pasokan makanan untuk populasi lokal
sebelum mendukung kegiatan ekspor.
7. Tenaga Kerja (Labor Practices Performance)
Tenaga Kerja dan hak asasi manusia dalam integrasi antara CSR dalam SCM menarik
perhatian konsumen hampir sepuluh tahun yang lalu oleh LSM dengan isu '' kondisi
tenaga kerja'' dari produsen pakaian asing yang memasok pengecer terkemuka AS seperti
Nike dan Wal-Mart (Emmelhainz dan Adams, 1999). Adanya isu kunci seperti pekerja
anak dan kerja paksa, kesehatan dan keselamatan, keluhan, diskriminasi, disiplin, dan
kompensasi telah muncul dari program seperti UN Global Compact (2005). Akuntabilitas
Sosial Internasional SA8000 (International Social Accountability, 2005). Tenaga Kerja
dan HAM juga menyajikan komplikasi masalah dalam industri makanan, berpotensi
mengekspos industri supply chain dan memunculkan protes yang sama yang dialami oleh
industri pakaian (Maloni dan Brown, 2006).

8. Pembelian/ pengadaan barang (Procurement)
Pelanggaran dan ketidakpantasan dalam proses pengadaan dapat terdiri dari SCM
perusahaan Carter, (2000) dari banyak contoh masalah etika dalam proses pengadaan

seperti perlakuan pilih kasih dan istimewa terhadap salah satu pihak, suap, dan syarat
kontrak yang tidak jelas. Cooper et al (1997) menemukan masalah etika yang terkait
dengan proses pengadaan untuk menunjukkan keberpihakan kepada pemasok, sehingga
mempengaruhi keputusan membeli, dan kegagalan untuk memberikan tanggapan yang
cepat terhadap tanggapan pelanggan. Institute for Supply Management (2005)
didefinisikan sebagai standar untuk etika CSR dalam pengadaan barang, unsur
membangun seperti penggunaan informasi rahasia, kepemilikan yang tidak jelas, konflik
kepentingan, penipuan, pemaksaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan perlakuan khusus
pada pihak lain. Elemen lainnya termasuk perilaku, kompetensi profesional, mematuhi
peraturan hukum, promosi bagi pemasok yang kurang beruntung dan minoritas, dan
program tenaga kerja bagi pemasok minoritas.

Gambar 2.
Dimensi CSR dalam Rantai Pasokan Makanan

Dimensions of CSR in the Food Supply chain (Maloni & Brown, 2006)

SCM merupakan mekanisme awal dalam perusahaan untuk memperoleh dan menjaga kualitas
dan kuantitas pasokan bahan baku. Integrasi antara CSR dalam SCM disimpulkan sebagai suatu
proses yang melatarbelakangi terciptanya keseimbangan antara prosedur CSR dan SCM di suatu
perusahaan dengan tujuan untuk menanggapi isu yang berkembang dimasyarakat. Integrasi
tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah yang berkaitan dengan ketidak adilan yang
terjadi dalam mekanisme SCM.
F. Bisnis Berkelanjutan (Business Sustainability)
Dalam konsep pembangungan berkelanjutan Widjaja dan Pratama (2008) mengemukakan
bahwa:

Pelaksanaan CSR juga didasari oleh adopsi konsep pembangunan berkelanjutan
(Sustainnable Development) dengan menerapkan alat ukur yang dikenal dengan Tripel
Batom Line (TBL), yaitu economic Growth, social welfare, dan enverinmental Protection.
Ketiga dimensi ini harus dikelola sedemikian rupa dalam suatu manajemen keberlanjutan.
Kondisi keuangan saja tidak cukup dalam menilai perusahaan tumbuh secara
berkelanjutan. Keberlanjutan perusahaan hanya akan terjamin bila perusahaan
memperhatikan dimensi sosial dan lingkup hidup. Sudah menjadi fakta bagaimana
resistensi masyarakat sekitar muncul kepermukaan terhadap perusahaan yang dianggap
tidak memperhatikan lingkungan hidup.
Aplikasi dari CSR sebagai upaya untuk mewujudkan bisnis berkelanjutan yang dituangkan
dalam bentuk kepedulian sosial, dengan beberapa dasar yang melahirkan panduan (guedelines)
dan standarisasi untuk tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO26000, yang merupakan
panduan dan bukan pemenuhan terhadap persyaratan (requirements) karena memang tidak
digunakan sebagai standar sistem dan sertifikasi. Widjaja dan Pratama, (2008) menyatakan
bahwa Guidelines atau pedoman sangat diperlukan dalam pelaksanaan strategi CSR oleh
perusahaan. Dibeberapa institusi global telah menetapkan pedoman yang baik sera efektif
mengenai apasaja yang berhubungan dengan CSR, selain dari institusi World Business Council
For sustainable Compact yang di inasiasi oleh matan sekjen PBB Kofi Anan. Konten UN Global
Compact adalah sebagai berikut :
1. Hak Azasi Manusia
a. Mendukung dan menghormati perlindungan HAM.
b. Menghindari keterlibatab didalam pelanggaran HAM.
2. Aturan Paerburuhan
c. Mempertahankan kebebasan berserikat dan perjanjian kolektif.
d. Penghapusan kerja paksa.
e. Penghapusan kerja untuk anak dibawah umur.
f. Peniadaan diskriminasi dalam penempatan tenaga kerja dan penugasan.
3. Lingkungan
g. Mendukung kehati-hatian dalam penanganan lingkungan.
h. Penyebarluasan tanggung jawab lingkungan.
i. Mendorong penggunaan teknologi ramah lingkungan.
4. Anti Korupsi
j. Secara aktif melawan segala bentuk korupsi, termasuk pemerasan dan
penyuapan.

Beberapa negara telah menjadikan UN Global Compact ini menjadi suatu kebijakan yang
disesuaikan lagi dengan kebijakan negara mereka masing-masing. Sehingga dengan adanya
pedoman ini, korporasi, pemerintah dan masyarakat paham mengenai ruang lingkup serta apa
yang menjadi substansi CSR itu sendiri (widjaja & Pratama). Sementara itu Urip (2010)
menjelaskan bahwa:
Dengan menganalisis perkembangan CSR, didapatkan bahwa terdapat keterbatasan alam
dalam mendukung kehidupan manusia sehingga perlu adanya upaya untuk menyadarkan
dan membuat manusia peduli tidak han

Dokumen yang terkait

Penerapan Corporate Social Responsibility (CSR) Pada Bank Bni Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Studi Pada PT. BNI 46 Kantor Cabang Universitas Sumatera Utara)

5 90 106

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina (Persero) Unit Pengolahan II Dumai (Studi Deskriptif: Penerima Program CSR Masyarakat Kelurahan Jaya Mukti, Dumai).

13 105 123

Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility ( Studi pada PT. Jamsostek Kantor Wilayah I Sumatera Utara )

1 34 150

Corporate Social Responsibility (CSR) Yang Dilakukan Bank Sumut Kepada Masyarakat Sekitarnya (Studi Pada PT. Bank Sumut, Kantor Pusat Jalan Imam Bonjol No. 18 Medan)

2 52 161

Implementasi Corporate Social Responbility (CSR) Terhadap Masyarakat Lingkungan PTPN IV (Studi Pada Unit Kebon Dolok Ilir Kabupaten Simalungun)

5 39 118

ANALISIS INTEGRASI CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DALAM SUPPLY CHAIN MANAGEMENT TERHADAP KEBERLANJUTAN BISNIS PERUSAHAAN (Studi Pada PTPN VII (Persero) Unit Usaha Rejosari Natar Lampung Selatan)

1 53 107

PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR PERUSAHAAN TERHADAP PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN (PKBL) PT. PERKEBUNAN NUSANTARA VII (PERSERO) UNIT USAHA REJOSARI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

1 7 85

EVALUASI KANDUNGAN MINERAL DAUN KELAPA SAWIT di PTPN VII UNIT USAHA REJOSARI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

0 2 2

KEBUTUHAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM KEMITRAAN DAN BINA LINGKUNGAN (PKBL) PTPN VII UNIT USAHA REJOSARI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2 21 95

STRATEGI PROGRAM KEMITRAAN PTPN VII UNIT USAHA KEDATON DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI UKM MASYARAKAT DI DESA REJOSARI NATAR LAMPUNG SELATAN

0 3 111