Wacana dan Teks sebagai Realisasi Proses Sosial
Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan
111
sebagai ekstensi atau perluasan dari bentuk-bentuk gramatikal kumpulan kata, kalimat, dan paragraf. Suatu teks bisa hanya berupa satu kata, satu kelompok kata, satu kalimat, satu
paragraf dan bisa juga mencapai satu buku atau satu uraian panjang selama dua jam. Yang terpenting ialah bahwa unit bahasa itu berada dalam konteks dan membawakan suatu fungsi
sosial tertentu. Sebagai contoh, sebuah papan yang bertuliskan ‘bahaya’, yang terpasang pada gardu listrik di salah satu tiang di pinggir jalan, juga merupakan teks. Konteks teks
tersebut ialah medan yang berupa peringatan mengenai berbahayanya listrik yang terdapat di gardu, tiang listrik dengan kabelnya yang terletak di pinggir jalan. Pelibatnya adalah
manajemen PLN dan orang yang lewat. Sarananya adalah papan bertuliskan ’bahaya’ mungkin dengan tanda ’kilat. Sementara itu, konteks kulturalnya adalah pengetahuan
mengenai listrik. Khususnya, listrik dengan tegangan tinggi bisa menyengat orang sampai mati. Hal itu berarti papan yang bertuliskan ’bahaya’ di tiang listrik tersebut benar-benar
merupakan ’teks’ karena tiang tersebut terdapat bahaya listrik. Oleh karena itu, orang yang melewati tiang tersebut tidak akan berani mendekati benda tersebut. Lain halnya
apabila papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut terdapat di keranjang sampah atau diletakkan di dalam gudang. Orang akan berani memegang benda yang ditempati papan tersebut.
Orang sudah tahu bahwa benda tersebut tidak berbahaya walaupun terdapat papan yang bertuliskan ‘bahaya’. Dalam keadaan itu papan bertuliskan ‘bahaya’ tersebut tidak lagi
sebuah teks karena sudah tidak berada di lingkungan yang sebenarnya atau sudah tidak berada di dalam konteksnya. Papan yang bertuliskan ‘bahaya’ dalam keadaan seperti itu
sudah menjadi sampah atau hanya papan yang disimpan di gudang. Demikian halnya tulisan yang terdapat di dalam buku akan masih dianggap teks apabila masih berada di
dalam konteksnya: buku yang disimpan, baik di perpustakaan pribadi maupun umum. Apabila sudah dalam bentuk serpihan yang tercecer atau dalam bentuk bungkus makanan
misalnya, bagian tersebut sudah tidak bisa lagi dikatakan sebagai teks. Alasannya, orang sudah sulit mencari lingkungan asal teksnya dan fungsi sosial teksnya yang disampaikan
di dalamnya. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa teks dan wacana adalah
bahasa yang sedang melaksanakan tugas untuk merealisasikan fungsi atau makna sosial dalam suatu konteks situasi dan konteks kultural. Oleh karena itu, teks atau wacana lebih
merupakan suatu sistem bahasa yang bersifat semantis dan sekaligus fungsional. Bahasa yang digunakan fonologi, grafologi, leksikogramatika, serta semantik wacananya
merupakan pilihan linguistis penuturnya dalam rangka merealisasikan fungsi sosial teks. Oleh karena itu, teks bukan lagi hanya sebuah perluasan bentuk gramatikal dari kumpulan
kata-kata atau kalimat-kalimat walaupun teks tentu saja mempunyai bentuk dan struktur. Dengan melihat kenyataan ini, teks dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, teks
dapat dipandang sebagai suatu ‘proses’, yaitu proses interaksi dan aktivitas sosial antarpartisipannya dalam mengekspresikan fungsi sosialnya. Dalam contoh papan