TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

ABSTRAK

Tinjauan Deskriptif Tentang Sistem Pewarisan Pada Masyarakat Batak
Toba Di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

Oleh
DAHLIANASARI NASUTION
Pembagian harta waris adat batak Toba adalah hanya anak laki-laki saja yang
mendapat harta waris orangtuanya dan yang perempuan hanya di berikan sebagai
hadiah atau hibah. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “sistem
pewarisan pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan apakah masih mengikuti ketentuan hukum adat Batak Toba ?”. Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem pewarisan
hukum adat dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan. Metode yang digunakan adalah metode Deskriptif. Teknik
pengumpulan datanya dengan observasi, dokumentasi, kepustakaan dan
wawancara. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif.
Sistem pewarisan individual pada masyarakat Batak Toba di kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan masih menggunakan pembagian harta waris sesuai
dengan ketentuan hukum adat Batak Toba. sistem pewarisan individul ini tidak
ada perubahan yang terjadi pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar

Kabupaten Lampung Selatan. Sistem pewarisan mayorat dalam keluarga Batak
perantau perlahan-lahan akan terjadi sebuah perubahan dimana anak laki-laki dan
perempuan akan sama-sama mendapat bagian harta waris orangtuanya. Sistem
pewarisan minorat, dimana sistem pewarisan minorat ini adalah rumah
peninggalan orangtua akan diberikan kepada anak laki-laki. Akan tetapi orang
Batak Toba yang tinggal di ke camatan Natar sudah ada yang memberikan rumah
terhadap anak perempuannya.
Ketiga sistem pewarisan diatas maka dapat di simpulkan bahwa sistem pewarisan
masyarakat Batak Toba yang tinggal di kecamatan Natar Kabupaten Lampung
selatan masih menggunakan sistem pembagian harta waris sesuai dengan
ketentuan hukum adat Batak Toba.

9I0Z
cNodllrvl uvGNVS
cNndrilvl svIrsugAINO
NVXTqICNSd olltlr Nvq Nvnuncgll svJ,l0xvJ

3undu.re1 selrsre^run ue{rprpuad

ntull uep uerun8ay se}ln{pd

qe:efag uelrprpuad lpnls urerto:4
IErsoS uenqelatued nurll ue>ltprpued uesrunf
BPPd

rE

r

ac,"o,."Im1f,l,1*$f#X{}.o$,,,,

re'eq e g

ISdIx{S

NOITNSVN IUVSVNVITHV(I
qalo

NVIV'IfiS CN0dI,{V'I NgMngV}I

uvlvN NVJ.-VCSX Ic V80I XVJ- J,-wvlsvru


vcvd Nvsluvflgd iltgJ,sls cNvrNgr .{IJdIUXSSC NVnVfNIJ,

00

I tol,86l II10096I

ffi

'dIN

tr
'lersog uengepEued nuql rrs{Tp1puad
rrBsrlJtlf' Enlax

pqrleiue3f 'Z
I00 I t0L86l 2060696I 'dIN
IS S'ru 'EIsrIr IAolEoJ, 'a'C

I 809861 827,7


r-

'l turqurqrua6

ftrgqugqued IsIrEqH

'I

mmJgil[sr

uenrntay

sslln)[Bd

IBIsoS rrenqelatued mr4l Tre>IrpIpusd

rrBsrunr

gBrBfeS ue:pplpued


1pryS ure:Eor4

,00€€0€T0T

Brr,sIsBgBI [ {o>Iod rorrroN

IIoIlnsBl[ ITBSBIIBIITII'(I

BdrsIsBqBIA[ ErrrBl[

rre>Ilplpued nur11 uep

I{v.wTgs efindmru Ng.LvdnglrlE utr.Lvl{

Ifir&vnvfirx Ic xv.wg J,ulrvu\rrs\m

VGVd I[IilSTulIILgd NSJ,SIS

cNv.tNg.[ drJdlu]Isgc l{Ynvfl{rr


ISdIDIS Inpn1.

sloz

lrEnJqed g

:

BdIxrIS rrelln snln'I 1effilus;

eoorsoss6rgrroo!
I
J'!S'n'uuruqu11 turfng

'.,

rrErllplpued

nqII uep


nen

a; sE}[n{Bd r,rB>lec

-z

Eurqqlqued rrw1ng

11'19'quds

1[n8ue4

g:'19'crqqse1g'srrr i

!s'If

.EISIEII!&OIEO.L .3rC

:


slJBlarrtas

Bnlex
rfn8ue6

N\,lXHVSSI)I[gn

rur; '[

I^[dN
'OOE€O€IOI
uo4nsBN rJBsBrrBrFlBo

Sl0Z usruqed 'Eunduml xupusg

rpncel:#,1'?lffi#ffil1}li

rr,p rq r{n,rssu umpp ncerp sqnuq Br,ces ftruz(
ru4p srlnlrp rlBured Euu{ pdepued nup edrq pdeprq rypq e8nf efes uuntlepEued

Eueftredes trup 'tEEun uetun8rad nlsns Ip treeueftese>1re1eE qoloredureur {n1rm ue4nferp
qutued Ewd udrq pdeprq rypp [uI rsdprls rrrelgp
uapledueur rur ueEueq
"/*\quq

*dl3!'''r'f{

1:3
(dryd1o;) nms Etrndnrqx
t11'te oN I IIBBI I Frrng uepp,(ul mums uo{ed
BIIUn drxc /sdl us)rplpued
qureteg uu>lrp1pued

,00tg0gr0t
uo4nseN lJ?seuurpc

lBruuly 's

rrBs&rnf 'v
rpnlg uerEor6 'g


ssxln)lBc

I,{dN

srrrEN

'Z

'I

:tIBI€pe 1ul quaeq Ip ueEuel Bprruueq Euu,( ur(eg

TTYYIYAUTd IYUOS

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Hutalombang, pada tanggal 04 April 1991,
anak ketujuh dari delapan bersaudara, dari pasangan Bapak
Ridoan Nasution dengan Ibu Ratna Pulungan.

Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negri 172 Hutalombang yang
diselesaikan pada tahun 2004. Tahun 2007, penulis menyelesaikan pendidikan
menengah pertama di MTsN Panyabungan dan menyelesaikan pendidikan menengah
atas di SMA Negeri 2 Plus Sipirok yang diselesaikan pada tahun 2010. Tahun 2010,
penulis tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan
Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui
jalur (PKAB).
Penulis aktif dalam kegiatan Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni (fokma)
Pendidikan Sejarah. Penulis pernah menjadi Staff di Fokma Sejarah tahun 2012/2013.
Penulis pernah melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan tujuan Jogjakarta
– Jakarta pada bulan Januari 20011 serta melaksanakan Program KKN Terintegrasi dan
Program Pengalaman Lapangan (PPL) Di SMP N 1 Sukamarga kabupaten Lampung
Barat dan kegiatan positif lainnya.

PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
karuniaNYa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sesungguhnya ilmu yang aku peroleh belum lagi sempurna, dan
perjalanan hidup masih panjang. Namun sampai saat ini segelintir
kebahagiaan telah aku temukan.
Dengan rasa haruku yang mendalam kupersembahkan skripsi ini
kepada Emak dan Ayah tercinta, Ibu Ratna Pulungan dan Ayah
Ridoan Nasution. Sebagai tanda bakti, hormat dan pengabdian yang
tulus dari ananda.
Abangku Darwin dan Azwar, kakakku Afni, Milah, Rani, Nelli
Adik tersayang “ Fitri ”, dan kerabat-kerabatku yang selalu
mendorongku dan memotivasiku demi keberhasilanku.
Para pendidikku, dosen dan guru-guruku yang telah memberikan ilmu
kepadaku
Almamater tercinta “Universitas Lampung”

MOTTO

Sungguh bersama kesukaran dan keringanan. Karna itu bila
kau telah selesai (mengerjakan yang lain). Dan kepada Tuhan,
berharaplah.
(Q.S Al Insyirah : 6-8)

SANWACANA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tinjauan Deskriptif
Tentang Sistem Pewarisan Masyarakat Batak Toba Di Kecamatan Natar
Kabupaten Lampung Selatan”, penulis selesaikan sebagai salah satu syarat
untuk meraih gelar sarjana pendidikan pada Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung.
Terselesaikannya skripsi ini merupakan perjuangan penulis yang tidak pernah
lepas dari bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terimakasih
yang tulus kepada:
1. Bapak Dr.H. Bujang Rahman, M.Si. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung.
2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si. Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
3. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
4. Bapak Drs. Muhammad Fuad, M.Hum. Pembantu Dekan III Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

5. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si. ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Fakultas Kegurunan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung;
6. Bapak Drs. H. Maskun, M.H. ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.
7. Bapak Drs. Tontowi Amsia, M.SI., pembimbing I yang dengan ikhlas dan
senantiasa sabar membimbing, mengarahkan, dan memotivasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Bapak Drs. H. Maskun, M.H pembimbing II yang dengan ikhlas dan sabar
memberikan arahan, masukan, motivasi dan bimbingannya kepada penulis
dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Drs. H. Iskandar Syah, M.H dosen pembahas utama yang dengan
ikhlas dan sabar memberikan arahan, masukan, motivasi dan bimbingannya
kepada penulis dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak dan Ibu Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung.
11. Bapak dan Ibu staff tata usaha dan karyawan Universitas Lampung.
12. Seluruh informan yang telah banyak membantu penulis dalam memberikan
informasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan: Tulang S. Panjaitan, N.
Damanik, Danil Siregar, P. Sidabolak,A. Nainggolan, E. Munte, A.
Naenggolan dan lain-lain.
13. Kedua orang tuaku, Ayahku tersayang Ridoan Nasution, dan Emakku tercinta
Ratna Pulungan yang senantiasa menuntun, menyayangi dan selalu
mendoakan keberhasilanku terima kasih atas ketulusan, kesabaran dan
pengorbanannya untukku.

14. Seluruh Keluarga Besarku yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima
kasih atas doa, dukungan dan kasih sayangnya.
15. Sahabat terdekatku Mutiara Najla Siahan, terimakasih atas kesetiaan,
kesabaran, dukungan dan doanya dalam penyelesaian skripsi ini
16. Sahabatku dalam suka maupun duka Lilis Suryana, Erma Febriyanti, Dista
Lia Arum. Terimakasih telah membantu saya.
17. Teman- teman seperjuanganku yang banyak membantu ku, angkatan 2010,
Ria, Afni dan Ruma, terima kasih untuk kekeluargaan dan kebersamaan
selama ini.
18. Teman-teman seperjuangan KKN dan PPL di Suoh tahun 2013, Beni
Munandar, Ike Purnama Sari, Hani, Ades, Arinta, Rohli, Anwar, Aji,Nuri,
Marsel dan terakhir Rama, terima kasih atas kekeluargaan kita yang luar biasa
selama 3 bulan bersama.
19. Semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi.

Pepatah mengatakan “tiada gading yang tak retak”. Penulis menyadari dalam
penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna dan banyak terdapat
kekurangan serta kesalahan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun, dan penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini
bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Semoga bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung,

2015

Penulis,

Dahlianasari Nasution
NPM 1013033004

DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
RIWAYAT HIDUP
MOTTO
PERSEMBAHAN
SANWACANA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 11
1.3Tujuan Penelitian ........................................................................................ 11
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................. 11
1.5 Ruang Lingkup .......................................................................................... 12
REFERENSI
II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR DAN PARADIGMA
2.1Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 14
2.1.1 Pengertian Sistem Waris.................................................................. 14
2.1.2 Konsep Hukum Waris ............................................................................. 15
2.1.3 Konsep Hukum Waris Adat ............................................................. 17
2.1.4 Konsep Harta Warisan ............................................................................ 18
2.1.5Hibah ........................................................................................................ 19
2.1.6 Warisan, Pewaris, dan Ahli Waris............................. ...................... 20
2.1.6.1 Warisan ................................................................................ 20
2.1.6.2 Pewaris ................................................................................ 21
2.1.6.3 Ahli Waris ........................................................................... 22
2.1.7 Konsep sistem pewarisan dalam hukum adat Batak ........................ 23
2.2.Kerangka Pikir ........................................................................................... 25
2.3.Paradigma .................................................................................................. 27
REFERENSI
III. METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian ..................................................................................... 29
3.1.1 Pengertian Metode Penelitian ........................................................... 29
3.1.2 Metode Yang Di Gunakan .............................................................. 29

3.2 Variabel Penelitian, Defenisi Operasional Variabel dan Sumber
Informan.................................................................................................... 30
3.2.1 Variabel Penelitian ........................................................................... 30
3.2.2 Defenisi Operasional Variabel ........................................................ 31
3.2.3 Informan ........................................................................................... 32
3.3 Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 32
3.3.1 Observasi ........................................................................................ 32
3.3.2 Studi Kepustakaan............................................................................... 33
3.3.3 Dokumentasi ................................................................................... 34
3.3.4 Wawancara ............................................................................................. 34
3.4 Teknik Analisis Data .................................................................................. 35
REFERENSI
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ........................................................................................................... 38
4.1.1 Sejarah Singkat Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. . 38
4.1.2 Letak Geografis ....................................................................................... 38
4.1.3 Jumlah Penduduk Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan ........................................................................... 39
4.1.4 Jumlah Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar Kabupaten
Lampung Selatan ........................................................................... 44
4.1.5 Pembagian Harta Waris Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar
Kabupaten LampungSelatan ......................................................... 44
4.1.6 Data Tentang Sistem pewarisan Masyarakat Batak Toba di Kecamatan
Natar Kabupaten Lampung Selatan .............................................. 46
4.1.6.1 Sistem Pewarisan Individual ............................................. 46
4.1.6.2 Sistem Pewarisan Mayorat Laki-Laki ............................... 52
4.1.6.3 Sistem Pewarisan Minorat Laki-Laki................................ 58
4.2Pembahasan ................................................................................................. 62

V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .................................................................................................... 66
5.2 Saran ......................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

Tabel 1. Jumlah penduduk menurut desa dan jenis
kelamin pada awal bulan ............................................................................ 39
Tabel 2. Jumlah penduduk menurut desa dan jenis kelamin
pada akhir bulan ......................................................................................... 41
Tabel 3. Jumlah penduduk menurut mata pencaharia ..............................

42

I.

1.1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Keragaman suku juga disertai dengan keragaman budaya. Itulah yang membuat
suku budaya Indonesia sangat dikenal bangsa lain karena budayanya yang unik.
Berbagai bidang budaya mewarnai keragaman suku ini. Keragaman suku budaya
ini harus dilestarikan.

Seorang antropolog yaitu, E.B. Tylor (1871) pernah mencoba memberikan
defenisi mengenai kebudayaan sebagai berikut (terjemahannya):
Kebudayaan adalah komfleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan
kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai masyarakat (soerjono
soekanto 1982 : 150).

Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya. Letak geografis
Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan perbedaan kebudayaan yang
mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku masyarakat. Kita dapat melihat hal ini
pada suku-suku yang terdapat di Indonesia. Salah satu contohnya adalah suku
Batak. Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu Batak Toba, Batak

2

Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak dan Batak Mandailing. Dalam hal ini
penulis mengambil pembahasan tentang Batak.

Menurut sejarah di kalangan suku Batak terutama pada suku Batak Toba, tempat
perkampungan leluhur suku bangsa Batak yang pertama adalah pada mulanya
berada di tepi Danau Toba yang bernama Sianjur Mula-mula, di kaki gunung
Pusuk.Adat Batak adalah norma, aturan atau ketentuan yang dibuat oleh
penguasa/pemimpin dalam suku Batak untuk mengatur kehidupan atau kegiatan
sehari-hari orang Batak di kampungnya dan di dalam keluarga besar orang Batak.

Dapat dikatakan bahwa semua orang Batak bersaudara, karena bangsa Batak
berasal dari satu nenek moyang yang menurunkan orang Batak.Pemimpin adat
Batak biasanya disebut sebagai Mangaraja Adat yaitu yang diangkat dan diberi
gelar Mangaraja yang disandangnya seumur hidup. Hal ini dikarenakan orang
tersebut mengetahui seluk-beluk aturan norma-norma, ketentuan, dan hukum yang
berlaku dalam adat Batak. Pemimpin adat bukan berarti yang mempunyai kuasa
dalam adat, akan tetapi fungsinya adalah memberitahu, mengarahkan cara
melaksanakan satu adat tertentu, bentuk, jenis dan sifatnya dan pihak saja yang
terlibat dalam lingkaran adat tersebut. Oleh karena itu seorang Mangaraja harus
menjadi panutan dan menjadi guru adat di dalam, masyarakat di daerahnya.

Hubungan kekerabatan masyarakat Batak Toba sangat kuat dan ini terus
dipertahankan di mana pun berada. Untuk mengetahui hubungan kekerabatan
antara seseorang dengan yang lainnya, dilakukan dengan menelusuri silsilah
leluhur beberapa generasi di atas mereka yang dalam bahasa Batak disebut
"Martarombo" atau "Martutur" adalah dengan Marga.

3

Menurut Djaren Saragih, dkk pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat
penting karena nama panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi
kalau orang Batak yang baru pertama kali bertemu yang ditanya adalah marganya,
bukan tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anakanak. Manfaat marga bagi orang Batak terutama ialah :
1. Mengatur tata pergaulan.

2. Mengatur tata cara adat.
3. Mengatur hubungan kekeluargaan.
Marga menjadi alat penghubung diantara susunan kekerabatan, oleh karena
sifatnya adalah Unilateral Patrilineal, maka marga yang sama tidak boleh saling
mengawini. Sebab perkawinan adalah eksogami perkawinan diluar marga.
Menurut J. C. VergouwenMarga adalah kelompok orang-orang yang merupakan
keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan itu diperhitungkan
melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu marga memakai
nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.
(J.C. Vergouven 1986:9)

Falsafah Batak Toba sebagai dasar untuk bersikap terhadap kerabat yaitu Dalihan
Na Tolu adalah "Somba Marhula-hula, Manat Mardongan Tubu, Elek Marboru".
Dengan pengertian bahwa kita harus menaruh hormat terhadap Hula-hula,
bersikap hati-hati terhadap kerabat Semarga dan berlaku hormat terhadap Boru.
Dalihan Na Tolu berfungsi juga untuk menyelesaikan/ mendamaikan perselisihan
diantara suami istri, diantara saudara kakak beradik, kerabat dan di dalam hal
upacara perkawinan.

4

Menurut logatnya bahasa Batak dibagi atas 5 (lima) macam sesuai dengan
daerah yang menggunakannya, yaitu:
a. Bahasa Batak Pakpak.
b. Bahasa Batak Karo.
c. Bahasa Batak Simalungun.
d. Bahasa Batak Toba.
e. Bahasa Batak Mandailing.
( Sabam Huldrick Wesley Sianipar, 1991: 81)
Terjadinya 5 (lima) macam Bahasa Batak tersebut karena pengaruh dari daerah
dan para orang pendatang, di samping juga adanya pengaruh dari bahasa asing.
Gotong royong pada orang Batak adalah dalam bentuk kebersamaan yang artinya
saling membantu dalam hal tertentu yang harus dibayar dengan bantuan pada saat
tertentu lainnya.

Masyarakat Batak yang menganut sistem kekeluargaan yang Patrilineal yaitu garis
keturunan ditarik dari ayah. Hal ini terlihat dari marga yang dipakai oleh orang
Batak yang turun dari marga ayahnya. Melihat dari hal ini jugalah secara otomatis
bahwa kedudukan kaum ayah atau laki-laki dalam masyarakat adat dapat
dikatakan lebih tinggi dari kaum wanita. Apalagi pengaruh perkembangan zaman
yang menyetarakan kedudukan wanita dan pria terutama dalam hal pendidikan.
Menutut Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G. Sitepu bila ada warisan yang di
tinggalkan orang tua diturunkan kepada anak dan cucunya dan untuk terciptanya
suatu kedamaian sesama.(Dikutup dari Sempa Sitepu, Bujur Sitepu dan A.G.
Sitepu, pilar budaya Karo, 1996:154-155).
Tradisi masyarakat Batak Toba sebelum menganut suatu agama masih
berdasarkan kepercayaan terhadap nenek moyang (leluhur) yang
berintikan kehidupan duniwawi para leluhur yang sudah meninggal di
lanjutkan oleh anak laki-laki mereka. Keturunan mereka memuja dan
mengurus mereka yang berada dalam kerajaan mereka di alam baka, dan
pasang surut, naik turun, kemakmuran dan kemiskinan yang hidup,
tercermin dalam pemujaan dan penghormatan yang di nikmati oleh roh
mereka. Harta kekayaan yang meninggal tidak memiliki keturunan laki-

5

laki akan diwarisi anggota kelurga yang mempunyai keturunan laki-laki
terdekat (J.C. Vergowen,1986:297-298).
Pada masyarakat Batak Toba di kenal anak laki-laki dianggap sebagai penerus
keturunan (marga) pada suku Batak Toba, sedangkan anak perempuan yang sudah
kawin secara jujuran dan oleh karenanya setelah perkawinan masuk kerabat
suaminya dan dilepaskan dari orang tuanya yang meninggal dunia. (Soerejo
Wingjodipoero, 1995:183)

Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang
peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum
warisitu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.Setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwahukum yaitu
disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnyaseseorang,
hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus menimbulkan akibathukum,
yaitu

tentang

bagaimana

pengurusan

dan

kelanjutan

hak-hak

dan

kewajibanseseorang yang meninggal dunia itu (Wirjono Prodjodikoro,1983:11).

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum.Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada
parawarisnya (Hilman Hadikusuma,2003:8)

Menurut Hilman Hadikusuma Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum
waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta

6

warisan, itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari kepada ahli
waris(Hilman Adikusuma, 1983:11).
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang
peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk
hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum
waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.

Setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa
hukum yaitu disebut meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa
meninggalnya seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan
hak-hak

dan

kewajiban

seseorang

yang

meninggal

dunia

itu(Wirjono

Prodjodikoro, 1983:11).

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi,
warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada
para warisnya(Hilman Hadikusuma, 2003:8).

Dalam hal ini, bentuk dan sistem hukum khususnya hukum kewarisan
sangat erat kaitannya dengan bentuk masyarakat. Bilamana disepakati
bahwa hukum di Indonesia hukum waris adat bersifat pluralistik menurut
suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada dasarnya hal itu
disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi
dasar dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik(
Soerjono Soekanto, 1966:7).
Dasar hukum berlakunya hukum adat terdapat dalam pasal 131 I.S
(Indische Staatssregeling) ayat 2 b (Stb 1925 no .415 jo.577), termasuk
juga berlakunya hukumwaris adat yaitu :
“Bagi golongan Indonesia asli (Bumi Putra), golongan Timur Asing dan
bagian-bagian dari golongan bangsa tersebut, berlaku peraturan hukum

7

yang didasarkan atas agama dan kebiasaan mereka” Hukum waris adat
memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak
berwujud (Immatereriele Goederen) dari suatu angkatan manusia
(Generatie) kepada turunannya( Soepomo, 1987:79).
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai
corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional dengan
bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam tiga corak
yaitu :
a.
Sistem patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis
keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Gayo, Alas, Batak,
Nias, Lampung, Buru, Seram,Nusa tenggara, Irian).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis
keturunan ibu
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada
kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau, Enggano,
Timor).
c.
Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis kedua
orangtua, atau menurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana kedudukan
pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Riau, Jawa,
Kalimantan,Sulawesi) (Hilman Hadikusuma, 2003:23).
Indonesia faktor sistem kekerabatan mempengaruhi berlakunya aneka hukum
adat, termasuk hukum waris yang mempunyai corak sendiri-sendiri berdasarkan
masyarakat adatnya masing-masing, demikian juga halnya hukum adat dalam
masyarakat Batak Karo. Hal ini sejalan dengan pendapat Hazairin yang
mengatakan bahwa “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri ada didalam
pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan sistem keturunan
keturunannya

matrilineal,

patrilineal,

parental

masih

nampak

kebenarannya.”(Hilman Hadikusuma,2003:24).
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari

8

abad ke abad.Adat bangsa Indonesia dikatakan merupakan “Bhinneka” (berbedabeda di daerah suku-suku bangsanya), “Tunggal Ika” (tetapi tetap satu juga, yaitu
dasar dan sifat keindonesiaannya). Adat tersebut tidak mati, melainkan selalu
berkembang, senantiasa bergerak serta berdasarkan keharusan selalu dalam
keadaan evolusi mengikuti proses perkembangan peradaban bangsanya.

Pembagian warisan orang tua,yang mendapatkan warisan adalah anak laki–laki
sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya atau
dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.
Pembagian harta warisan untuk anak laki–laki juga tidak sembarangan, karena
pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki–laki yang paling kecil
atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dia mendapatkan warisan yang
khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak Parmalim, pembagian harta warisan
tertuju pada pihak perempuan. Ini terjadi karena berkaitan dengan sistem
kekerabatan keluarga juga berdasarkan ikatan emosional kekeluargaan. Bukan
berdasarkan perhitungan matematis dan proporsional, tetapi biasanya dikarenakan
orang tua bersifat adil kepada anak–anak nya dalam pembagian harta warisan.

Masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari
luar), hal itu juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang
diberikan kepada anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku,
doktrin agama dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada
sebagian orang yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal
pembagian warisannya.

9

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh ke
tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya tidak mendapatkan
apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara
ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak
perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga. Dalam keluarga Batak
sisitem pembagian harta waris di bagi menjadi tiga bagian: 1. Sistem individual,
2. Sistem mayorat, 3. Sistem minorat.

Akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak dilakukan
oleh masyarakat Batak. Khususnya yang sudah merantau dan berpendidikan.
Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil bagi semua
anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara laki–laki
dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak saat ini
sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi hanya
tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerah lah yang masih
menggunakan waris adat seperti di atas.

Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku
Batak yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan
kekerabatan dalam suku Batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan
warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang

Batak berada adat istiadat(partuturan) tidak akan pernah hilang. Bagi orang tua
dalam suku batak anak sangatlah penting untuk diperjuangkan terutama dalam hal
Pendidikan. Karena ilmu pengetahuan adalah harta warisan yang tidak bisa di
hilangkan atau ditiadakan. Dengan ilmu pengetahuan dan pendidikan maka

10

seseorang akan mendapat harta yang melimpah dan mendapat kedudukan yang
lebih baik dikehidupannya nanti.
Ahli waris dalam hukum adat Batak berbeda dengan hukum waris yang diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hukum adat Batak menempatkan
perempuan dan laki-laki dalam kedudukan yang tidak seimbang berkaitan dengan
pewarisan.

Sistem

pewarisan

yang

diberlakukan

dalam hukum

adat

Batak adalah

berdasarkan sistem patrilineal, yakni sistem keturunan berdasarkan garis
keturunan bapak/laki-laki. Konsekuensi dari sistem patirilineal dalam pewarisan
adalah anak perempuan bukanlah sebagai ahli waris dalam keluarga. Hanya anak
laki-laki dalam keluarga yang dapat menjadi ahli waris. Anak perempuan hanya
dapat menikmati /menguasai harta peninggalan pewaris jika diberikan sebagai
pemberian.

Kedudukan tersebut tidak hanya terbatas pada anak perempuan tetapi juga istri.
Dalam hukum adat batak istri yang ditinggalkan oleh pewaris tidak berhak untuk
menguasai harta. Seorang istri yang ditinggalkan oleh pewaris hanya
diperkenankan menikmati dan memelihara harta peninggalan pewaris. Itupun
selama istri yang ditinggalkan tersebut masih dalam ikatan yang sama atau tidak
pernah menikah lagi. Apabila istri yang ditinggalkan tersebut menikah lagi maka
penguasaan

terhadap

harta

peninggalan

pewaris

diserahkan

kepada

keluarga/saudara kandung pewaris, yakni saudara laki-laki.

Hal ini disebabkan dalam hukum adat batak, laki-laki memegang peranan penting
dalam keluarga. Laki-laki bertanggung jawab sebagai pelindung terhadap

11

keluarganya yang perempuan. Sehingga apabila terjadi sesuatu pada keluarga
perempuan, maka laki-laki dalam keluarga itulah yang merasa bertanggung jawab.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya yaitu sistem
pewarisan pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung
Selatan apakah masih mengikuti ketentuan hukum adat Batak Toba?

1.3

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah :
Untuk mengetahui sistem pewarisan hukum adat dalam masyarakat Batak Toba di
Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

1.4

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi semua pihak yang
membutuhkan. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini
adalah:
1. Dapat menambah wawasan bagi para pembaca mengenai harta waris
masyarakat Batak.
2. Sebagai sumbangan referensi bagi mahasiswa dan masyarakat umum agar
mengetahui pembagian harta waris Batak.
3. Kepentingan Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi konstribusi pemikiran bagi
perkembangan ilmu sosial dalam memahami pembagian HartaWaris pada
masyrakat Batak di Natar kabupaten Lampung Selatan.

12

4. Kepentingan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan informasi bagi masyarakat
tentang bagaimana pembagian HartaWaris pada masyrakat Batak Toba di
Natar kabupaten Lampung Selatan.

1.5

Ruang Lingkup

Mengingat masalah di atas cukup umum dalam penelitian, maka untuk
menghindari kesalah pahaman, dalam hal ini peneliti memberikan kejelasan
tentang sasaran dan tujuan penelitian mencakup:
1.

Objek penelitian

: Pewaris

2.

Subjek Penelitian

: Masyarakat Batak Toba

3.

Tempat penelitian

: Kecamatan Natar kabupaten Lampung Selatan

4.

Waktu

: 2014

13

REFERENSI

Wirjono Prodjodikoro,Hukum Warisan Di Indonesia: Sumur Bandung,
Bandung Hal. 11

1983,

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003,
Hal.8

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda Menurut Hukum Waris Adat, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1966, Hal.7

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradya Paramita, 1987, Hal
.79

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.Cit. , Hal.23

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Op.Cit. , Hal.24

Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1982, Hal 150

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung :Sumur
Bandung,1983.hal 11

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti ,2003,
hal.8

II.

TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR
DAN PARADIGMA

2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pengertian SistemWaris
Sistem mengandung pengertian sebagai kumpulan dari berbagai unsur
(komponen)yang saling bergantungan antara satu unsur dengan unsur yang
lainnya dalam satu kesatuan yang utuh (Abdulsyani, 1994:123).

Menurut Yad Mulyadi dan PosmanSimanjuntak (1992:20), sistem berarti
keseluruhan yang terpadu atau suatu keseluruhan yang berstruktur.

Sedangkan pewarisan adalah cara bagaimana melaksanakan penerusan atau
peralihan atau pembagian harta peninggalan dari pewaris kepada waris (Hilman
Hadikusuma,1996:189)

Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan
sistem pewarisan adalahsuatu cara bagaimana melaksanakan pewarisan dari
pewaris kepada ahli waris secara berstruktur.

15

2.1.2 Konsep Hukum Waris

Hukum adalah sebagai suatu cara untuk mengatur tindak-tanduk manusia dalam
masyarakat, selalu dalam keadaan berubah-ubah sesuai dengan lambat cepatnya
perubahan tindak-takduk manusia yang bersangkutan dan sesuai dengan pola
politik yang menjiwai masyarakat itu(Sunarjati Hartono. 1968:1).
Defenisi hukum menurut beberapa ahli antara lain :
1. Capitant
Hukum adalah keseluruhan daripada norma-norma yang secara mengikat
mengatur hubungan yang berbelit-belit antara manusia dalam masyarakat.
2. Drs. C. Utrecht, SH
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yaitu yang berisi perintahperintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dank
arena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
3. Roscoe pound
Hukum adalah sekumpulan penentuan yang berwibawa atau dasar-dasar
ketetapan yang di kembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang
berwenang atas latar belakang cita-cita tentag ketertipan masyarakat dan
hukum yang sudah diterima(Sudarsono, 1991 : 1-2).
Dari beberapa pendapat ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang di
maksud dengan hukum adalah atauran tingkah laku anggota masyarakat yang
mengandung pertimbangn ke susilaan di tujukan kepada tingkah laku manusia
dalam masyarakat.

Selanjutnya pengertian tentang warisan adalah

segala harta kekayaan yang

ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan
dari yang meninggal dunia setelah dikurangi dengan semua utangnya (Ali Afandi,
1984:7).

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum

16

kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris.pasal 830 menyebutkan, “pewarisan
hanya berlangsung karena kematian” (Effendi Perangi 2008:3) .
Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta yang
ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli warisnya.
pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum
kekayaan/harta benda saja yang dapat diwaris.pasal 830 menyebutkan, “pewarisan
hanya berlangsung karena kematian” (Effendi Perangi 2008:3) .
Menurut Mr. A. Pitlo hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan,
dimana berhubungan dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya dibidang
kebendaan, diatur yaitu: akibat beralihnya harta peninggalan dari seseorang yang
meninggal, kepada ahli waris, baik didalam hubungannya antar mereka sendiri
maupun dengan pihak ketiga ( Ali Afandi, 1984:7).

Hukum Waris yang berlaku di Indonesia ada tiga yakni: Hukum Waris Adat,
Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah memiliki hukum
yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerabatan yang mereka anut. Seperti
yang telah terurai di atas, bahwa hukum waris di Indonesia masih beraneka warna
coraknya, di mana tiap-tiap golongan penduduk teramsuk kepada hukumnya
masing-masing, antara lain hal ini dapat dilihat pada golongan masyarakat yang
beragama Islam kepadanya diberlakukan hukum kewarisan islam, baik mengenai
tata cara pembagian harta pusaka, besarnya bagian antara anak laki-laki dengan
anak perempuan, dan anak angkat, lembaga peradilan yang berhak memeriksa dan
memutuskan sengketa warisan apabila terjadi perselisihan di antara para ahli waris

17

dan lain sebagainya. harta waris ada ketika si pewaris telah meninggal dunia
ketika ahli waris masih hidup ketika harta warisan terbuka.

2.1.3 Konsep Hukum Waris Adat

Istilah hukum waris adat dalam hal ini dimaksudkan untuk membedakannya
dengan istilah hukum waris Barat, hukum waris Islam, hukum waris Indonesia,
hukum waris Batak, hukum waris Minangkabau dan sebagainya.
Hukum waris adat adalah hukum waris yang memuat tentang hukum warisan,
siapa pewaris dan ahli waris, serta bagaimana harta waris (hak maupaun
kewajiban) itu dialihkan dari pewaris kepada ahli waris (Ariman, 1986:9).

Menurut beberapa para ahli hukum dan sarjana, definisi hukum waris adat :
Menurut Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan-ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum
waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta
warisan, itu dialihkan penguasaan dan kepemilikannya dari kepada ahli waris
(Iman Sudiat, 1981:151).

Menurut Iman SudiatHukum Waris Adat meliputi aturan-aturan dan keputusan
keputusan yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/
perpindahan harta kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.
(Hilman Hadikusuma, 1999 : 7).

18

Menurut Ter-Haar Hukum waris adat adalah aturan-aturan hokum mengenai cara
bagaimana penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yangberwujud dan yang
tak berwujud dari satu generasi kegenerasi berikutnya.
(Hilman Hadikusuma, 1996: 6)

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hukum
waris adat adalah aturan-aturan bagaimana cara meneruskan dan mengalihkan
harta kekayaan dari pewaris ketika masih hidup atau sudah mati kepada para
waris, terutama para ahli warisnya.

2.1.4 Konsep Harta Warisan

Harta warisan adalah : harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya
pengurusan jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat

Harta warisan ialah, bahwa warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah
berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seorang pada waktu
ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup (Wirjono
Projodikoro, 1976 : 6).

Jadi dapat disimpulkan bahwa harta warisan adalah cara menyelesaikan hubungan
hukum dalam masyarakat yang melahirkan sedikit banyak kesulitan sebagai
akibat dari wafatnya seorang manusia. Karena manusia yang wafat itu
meninggalkan harta kekayaan. Istilah warisan diartikan sebagai cara penyelesaian
bukan diartikan bendanya sedangkan cara menyelesaikan itu sebagai akibat dari

19

kematian seorang. Selain itu, ada yang mengartikan warisan itu adalah bendanya
dan penyelesaian harta benda seseorang kepada warisnya dapat dilaksanakan
sebelum ia wafat.

2.1.5 Hibah

Hibah adalah harta kekayaan seseorang yang dibagi-bagikan diantara anakanaknya pada waktu ia masih hidup(Tamakiran.S 1992:78)
kata hibah berasal dari bahasa arab yang secara epistimologi berarti
melesatkan/menyalurkan (Chairuman Suchwardi, 1954:113).
Dengan demekian hibah berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi
ketangan yang diberi. Hibah adalah penyerahan hak milik orang lain selagi masih
hidup yang mempunyai hak tanpa adanya satu imbalan (Amir Syarifuddin
1982:252).

Dengan demikian yang dimaksud dengan hibah adalah pelimpahan hak milik
seseorang yang masih hidup kepada orang lain tanpa ada imbalan apapun.
Hibah dibedakan menjadi 2 yaitu:
1. Hibah biasa, pada umumnya tidak dapat ditarik kembali.
2. Hibah wasiat, merupakan kemauan terakhir dari seorang manusia sebelum
meninggal. Hibah wasiat dapat ditarik kembali oleh penghibah, maka sebetulnya
tidak merupakan kemauan terakhir(Soehardi/Van Dijk, 1979:52).

Penghibahan ini sering terjadi ketika anak-anak mulai berdiri sendiri, maupun
karena perkawinan atau karena mereka mulai membentuk keluarga sendiri.
Penghibahan ini dilakukan sewaktu pemilik barang-barang itu masih hidup,

20

karena untuk menghindari percekcokan yang ia khawatirkan akan terjadi pada
anak-anaknya apabila pembagian harta diserahkan kepada mereka sendiri, bila
pemilik harta itu meninggal, atau mungkin juga istrinya adalah ibu tiri dari anakanaknya. Atau apabila disamping anak kandung ada juga anak angkat yang
kemudian di sangkal keanggotaannya.

2.1.6 Warisan, Pewaris, dan Ahli Waris
2.1.6.1 Warisan
Menurut hukum islam, yang dimaksud dengan warisan adalah harta kekayaan
yang di tinggalkan pewaris, yang telah bersih dari kewajiban-kewajiban agama
dan pihak ketiga yang (akan) beralih dari pewaris yang telah wafat kepada para
waris pria dan wanita (Hilman Hadikusuma, 1996:9).

Menurut hukum Barat (dalam kitab Undang-Undang hukum perdata), yang
dimaksud warisan adalah harta kekayaan (Vermogen) berupa aktiva atau pasiva
atau hak-hak dan kewajiban (yang bernilai uang) yang (akan) beralih (terbagibagi) kepada pewaris yang telah wafat kepada waris pria ataupun wanita ( Hilman
Hadikusuma, 1966:9).

Berdasarkan uraian di atas warisan merupakan segala sesuatu yang di tinggalkan
oleh pewaris yang telah wafat baik berupa benda maupun bukan benda, yang
secara hukum dapat dialihkan kepada ahli warisnya

21

2.1.6.2 Pewaris
Menurut hukum waris yang diatur dalam Al-Qur’n dan Al-hadits, yang dimaksud
dengan pewaris adalah orang yang telah wafat dengan meninggalkan harta
warisan untuk dibagi-bagikan pengalihannya kepada ahli waris, baik waris lakilaki maupun perempuan (Hilman Hadikusuma, 1996:9).

Sedangkan menurut hukum waris adat, yang dimaksud dengan pewaris adalah
orang yang mempunyai harta peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat,
harta peninggalan mana (akan) diteruskan penguasaan atau pemiliknya, dalam
keadaan tidak terbagi-bagi
(Hilman Hadikusuma, 1996:9)

Pendapat lain mengatakan bahwa pewaris adalah seseorang yang telah
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup
(Syarifuddin, 1982:56-57)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pewaris adalah seseorang yang masih
hidup atau telah wafat yang meninggalkan harta warisan, baik berupa harta benda
berwujud maupun yang tidak berwujud dan dialihkan kepada ahli warisnya.

22

2.1.6.3. Ahli Waris

Pengertian ahli waris, yaitu orang-orang yang berhak atas harta warisan yang di
tinggalkan oleh orang yang meninggal (Syarifuddin, 1982:56-57).

Ahli waris adalah orang yang berhak menirima warisan dan orang yang tidak
berhak atas suatu warisan tetapi mereka bisa mendapatkan bagian ( disebut
dengan bukan ahli waris)(Hilman Hadikusuma, 1987:24).

Hilman Hadikusuma mengemukakan, untuk menentukan siapa-siapa yang berhak
menjadi ahli waris, dalam hukum adat di bagi menjadi dua kelompok besar yaitu:
1.

Kelompok garis keutamaan

2.

Kelompok garis pengganti(Hilman Hadikusuma, 1957:25).

Kelompok garis keutamaan ialah garis yang menentukan aturan-aturan keutamaan
diantara golongan-golongan dalam keluarga pewaris. Kelompok garis keutamaan
ini adalah orang yang masih mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
Kelompok garis keutamaan ini dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
a.

Golongan keutamaan I yaitu: keturunan pewaris

b.

Golongan keutamaan II yaitu: orang tua pewaris

c.

Golongan keutamaan III yaitu: saudara-saudara pewaris dan keturunannya

d.

Golongan keutamaan IV yaitu: kakek dan nenek pewaris.

Pada kelompok garis keutamaan ini, kelompok diatasnya lebih di dahulukan
daripada kelompok yang berada di bawahnya.
Sedangkan garis penggantian adalah garis hukum yang bertujuan untuk
menentukan siapa diantara orang-orang yang hubungannya dengan pewaris tidak

23

di halangi oleh orang lain. Misalnya antara pewaris dengan cucu, bilama anak
pewaris ( bapak dari cucu tersebut) telah meninggal dunia lebih dulu maka cucu
tersebut sebagai sebagai ahli waris pengganti ayahnya.

2.1.7 Konsep Sistem Pewarisan dalam Hukum Adat Batak

Sistem pewarisan dalam hukum adat Batak:
a)

Sistem pewarisan individual

Pada keluarga-keluarga Patrilineal di tanah Batak pada umumnya berlaku sistem
pewarisan individual ini, yaitu harta warisan terbagi-bagi kepemilikannya kepada
masing-masing ahli waris. Salah satu kelebihan sistem pewarisan individual ini
adalah dengan adanya pembagian terhadap harta warisan kepada masing-masing
pribadi ahli waris, mereka masing-masing bebas untuk menentukan kehendaknya
terhadap bagian warisan itu(Hilman Hadikusuma, 1999:15 – 16).
b)

Sistem pewarisan mayorat laki-laki

Pada masyarakat suku Batak selain sistem pewarisan individual ada juga sebagian
masyarakat yang menggunakan sistem pewarisan mayorat laki-laki, yaitu sistem
pewarisan yang menentukan bahwa harta warisan seluruhnya dikuasai dan
dipelihara oleh anak laki-laki sulung(A.Ridwan Halim, 1985: 95).

Maksud dari sistem mayorat laki-laki ini adalah harta waris dikuasai oleh anak
laki-laki tertua atau anak laki-laki sulung karna orangtua sudah memberikan
tanggung jawab terhadap anak sulung tersebut dikarenakan orangtua sudah tua
atau sudah meninggal dan anak yang tinggal masih kecil-kecil, jadi belum bisa
untuk mengelola harta itu sendiri, kemudian jika adek laki-lakinya sudah besar

24

atau sudah cukup umur maka dia berhak membagikannya kepada adek yang lakilaki.
c)

Sistem pewarisan minorat laki-laki

Pada sebagian suku Batak, anak laki-laki bungsu dapat diberi kepercayaan untuk
menguasai dan memelihara harta warisan peninggalan orang tuanya. Misalnya ia
yang paling lama tinggal di rumah warisan orang tua, dengan demikian ia
merupakan orang yang menjaga dan memelihara rumah warisan tersebut.(Bushar
Muhammad, 200:44)

Perubahan/perkembangan yang terjadi pada kedudukan anak perempuan dalam
hukum pewarisan, saat ini dipengaruhi oleh prinsip-prinsip sistem patrilineal
mumi serta asas ketidak setaraan terhadap anak perempuan. Tetapi dengan
keluarnya Tap MPRS No II/1960 disusul dengan turunnya Putusan Mahkamah
Agung No 179K/Sip/1960 dan Putusan Mahkamah Agung No 179 K/Sip/1961
dan hingga keluarnya UU No. I tahun 1974 tentang UU Perkawinan serta
dipengaruhi oleh politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, kedudukan anak
perempuan dalam pewarisan khususnya orang Batak telah mengalami perubahan.
Di dalam Tap MPRS No 11/1960 terutama huruf c dikatakan, bahwa terhadap
semua harta adalah untuk anak-anak dan janda apabila peninggal harta ada
meninggalkan anak dan janda.

Mahkamah Agung di dalam putusan MA No 179K/SIP/ 1961 mempersamakan
hak anak laki-laki dan perempuan serta janda di dalam hal warisan.
Di dalam Pasal 35 UU No I Tahun 1974 disebutkan :
1.

Harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

25

2.

Harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah

di bawah penguasaan masing-masing.

Adanya

perubahan/perkembangan

tersebut,

sudah

terlihat

adanya

asas

kesamarataan atau kesederajatan antara laki-laki dan perempuan, asa keadilan dan
persamaan hak serta asas perikemanusiaan. Pengaruh pola berpikir orang yang
semakin rasional mengakibatkan perubahan dalam hukum adat Batak, yang
disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Hal ini bagi hukum adat sendiri pada
mulanya dianggap asing, dan pada waktu sebelum keluarnya Tap MPRS Nomor
11 Tahun 1960 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 179K/SIP/1961 harus
tunduk pada sistem yang berlaku menurut hukum adat yaitu sistem
kekerabatan/sistem kekeluargaan patrilineal yang membuat posisi kaum
perempuan

di

dalam

rumah

tangga

maupun

masyarakat

tidak

bisa

bergerak/posisinya lemah.

2.2 Ker

Dokumen yang terkait

Masyarakat Batak Toba Di Desa Serdang Kecamatan Beringin Kabupaten Deli Serdang (1954-1990)

1 145 88

Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

2 89 91

Persepsi Masyarakat Suku Batak Toba Dan Batak Karo Dalam Konteks Komunikasi Antarbudaya (Studi Kasus Masyarakat Suku Batak Toba di Desa Unjur Dan Masyarakat Batak Karo di Desa Surbakti Terhadap Suku Batak Toba Dalam Mempersepsi Nilai-Nilai Perkawinan Ant

1 91 173

Pemertahanan Bahasa Batak Toba Di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir

22 172 81

Eufemisme Pada Tuturan Perkawinan Masyarakat Batak Toba

10 174 109

Bona Pasogit (Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

10 162 119

Perubahan Perlakuan terhadap Anak Perempuan pada Masyarakat Batak Toba (Studi Deskriptif pada Masyarakat Batak Toba di Desa Pollung, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan)

11 112 129

Masyarakat Transmigran Jawa Di Desa Hitam Ulu I, Kabupaten Sarolangun Bangko, Jambi (1981-1990)

2 76 71

PERSEPSI PASANGAN SUAMI-ISTRI TERHADAP BENTUK KOMUNIKASI SIMBOLIK YANG DIBERIKAN KEPADA PENGANTIN DALAM UPACARA PERKAWINAN MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA (Studi Terhadap Masyarakat Adat Batak Toba di Desa Bumi Sari Kecamatan Natar Lampung Selatan)

0 8 2

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

3 35 57