Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

(1)

STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA : DANY PARDEDE

NIM : 100707059

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL.

SKRIPSI SARJANA

NAMA : DANY PARDEDE

NIM : 100707059

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra, Rithaony, M.A. Drs, Torang Naiborhu, M.Hum NIP 196311161990032001 NIP 196308141990031004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Studi Tekstual Dan Musikal. Melalui skripsi ini penulis akan mengakaji tentang deskripsi studi tekstual andung-andung dari manghirap tondi beserta dengan proses pelaksanaan manghirap tondi.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan metode penelitiin kualitatif yang mana dengan melakukan penelitian langsung pada objek yang diteliti. Adapun dalam proses kerjanya, dimulai dari membaca buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tulisan-tulisan ini dan penulis akan melakukan pengamatan terlibat wawancara, studi pustaka, perekaman kegiatan, foto-foto, transkripsi yang tentunya relevan dengan penelitian ini.

Untuk memperoleh data atau informan tentang andung-andung manghirap tondi ini,maka penulis melakukan wawancara langsung dengan informan yang mengetahui tentang manghirap tondi beserta andung-andungnya. Untuk melengkapi tulisan ini penulis sudah memiliki informan yang bersedia memberikan informasi tentang manghirap tondi yaitu ibu Rotua Pardede. Beliau dengan senang hati memberikan informasi dan mempraktekkan proses pelaksanaan manghirap tondi.


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis. Setip detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh. Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis. Skripsi ini berjudul “STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL.” Skripsi ini diajukan dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam penyusunan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis. Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun, energi baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua yang sangat penulis sayangi, ayahanda Sumando Pardede dan ibunda Sonty Hutagalung . Terima kasih untuk segala cinta kasih dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis. Kesabaran, kebijaksanaan, dan kerendahan hati telah diajarkan kepada penulis sejak kecil. Sehingga, saat ini merupakan buah karya dan karsa yang telah dilakukan untuk penulis. Terlebih-lebih dalam penyusunan skripsi ini, suka dan


(5)

duka terlampaui atas doa-doa yang telah dipanjatkan setiap hari. Motivasi dan dorongan selalu hadir saat penulis melakukan kelalaian dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang terkasih Bastian Pardede, kakak terkasih Afrianty Pardede dan, adik terkasih Ayomi Pardede,Thirto Pardede, dan Christin Pardede . Terimakasih untuk doa, bantuan, motivasi, waktu, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. Meskipun jarak memisahkan keberadaan kita, penulis dapat merasakan kehadiran kalian. Sehingga penulis mampu melalui rintangan dalam penyusunan skripsi ini. Penulis sungguh bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan keluarga yang luar biasa untuk penulis. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh jajaran di Dekanat Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat Bapak Drs. M. Takari, M.Hum., Ph.D. sebagai Ketua Departemen Etnomusikologi dan Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhomat Ibu Dra. Heristina Dewi, M.Pd. sebagai Sekretaris Departemen Etnomusikologi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Rithaony M.A sebagai Dosen Pembimbing I penulis yang telah membimbing dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk ilmu pengetahuan, pengalaman, kebaikan dan nasehat-nasehat yang telah Ibu berikan kepada penulis selama berada di perkuliahan. Kiranya Tuhan selalu menyertai dan melimpahkan sukacita kepada IBu. Serta kepada Bapak Drs. Torang Naiborhu M.Hum sebagai


(6)

Dosen Pembimbing II penulis yang telah mengarahkan dan memberikan bimbingan kepada penulis sejak memulai perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk perhatian, ilmu, dan kebaikan yang bapak berikan. Kiranya Tuhan senantiasi melindungi dan melimpahkan berkat untuk Bapak. Begitu pula untuk pegawai adminitrasi di Departemen Etnomusikologi FIB USU yang telah berkenan untuk membantu kelancaran administrasi kuliah dan mengingatkan semua urusan administratif penulis selama ini. Penulis mengucapkan terima kasih untuk kebaikan dan pertolongan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat seluruh staf pengajar Departemen Etnomusikologi USU yang telah banyak memberikan pemikiran dan wawasan baru kepada penulis selama mengikuti perkuliahan. Kepada seluruh dosen di Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak Drs. Irwansyah Harahap, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Fadlin, M.A., Bapak Drs. Bebas Sembiring, M.Si., Ibu Arifni Netrosa, SST,M.A., Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si., Bapak Drs. Perikuten Tarigan, M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si., dan Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak/Ibu yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian. Seluruh ilmu dan pengalaman hidup Bapak/Ibu sekalian menjadi pelajaran berharga untuk penulis. Kepada semua informan yang telah memberikan dukungan dan bantuan untuk penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;Ibu Rotua Pardede, Bapak Sumando Pardede, Bapak Amasohuiton Situmorang dan Josua Siagian, Ganyong L. Simanjuntak dan informan lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu- persatu. Kesempatan dan


(7)

pengalaman yang sungguh berharga telah penulis dapatkan atas kebaikan Bapak/Ibu sekalian. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kekasih penulis Purnama S. Sianturi yang selalu memberikan waktu, dukungan, doa dan motivasi kepada penulis. Kepada saudara-saudari penulis Etno 2010: Luhut Simarmata, Josua Siagian, Roman Hutagalung,Yoseni Turnip, serta semua teman-teman stambuk 2010 yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih untuk masa-masa yang telah kita ciptakan di Etnomusikologi. Penulis sangat bersyukur dapat memiliki teman-teman yang luar biasa seperti kalian. Penulis berdoa semoga kita dapat berhasil dan berjumpa di lingkungan yang baru. Kepada junior di Etnomusikologi, penulis mengucapkan terimakasih untuk hari-hari yang penuh tawa dan canda selama berada di Etnomusikologi. Penulis sangat kagum atas keharmonisan pluralisme yang tercipta.


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………....………...ii

DAFTAR ISI………...………iii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL……….…vi

BAB I PENDAHULUAN………... ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian. ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep Dan Teori ... 8

1.4.1 Konsep ... 8

1.4.2 Teori ... 10

1.5 Metode Penelitian ... 13

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 14

1.5.2 Penelitian Lapangan ... 15

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 17

1.6 Lokasi Penelitian ... 17

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI IBU ROTUA PARDEDE………. ... 19


(9)

2.1 Suku Batak Toba………..…... 19

2.1.1 Asal Usul Batak Toba ... 19

2.2 Sistem Kekerabatan Batak Toba ... 21

2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan ... 22

2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan ... 23

2.2.3 Sistem Perkawinan ... 26

2.3. Sistem Kepercayaan Dan Agama ... 29

2.4 Bahasa ... 32

2.5 Sistem Mata Pencaharian ... 33

2.6 Kesenian ... 34

2.6.1 Seni musik ... 34

2.6.2 Seni Tari ... 35

2.6.3 Seni Sastra ... 36

2.6.4 Seni Rupa ... 37

2.7 Pengertian Biografi ... 37

2.8 Biografi Singkat Ibu Rotua Pardede ... 40

BAB III PROSES PENYAJIAN MANGHIRAP TONDI…..…………... ... 43

3.1 Manghirap Tondi Dalam Masyarakat Batak Toba ... 43

3.2 Pemilihan Bahan-bahan Sesajen Manghirap Tondi ... 45

3.3 Proses Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi Ke atas Anduri (Tampi) ... 50

3.4 Proses Pelaksanaan Manghirap Tondi ... 55

3.5 Waktu Pelaksanaan Manghirap Tondi ... 57


(10)

BAB IV KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL MANGHIRAP TONDI... 62

4.1 Kajian Tekstual Manghirap Tondi ... 62

4.1.1 Isi Teks ... 63

4.1.2 Makna Teks ... 63

4.1.3 Pemilihan Teks ... 64

4.2 Kajian Musikal Andung-Andung Manghirap tondi ... 65

4.2.1 Tangga Nada (Scale) ... 66

4.2.2 Nada Dasar (pitch center) ... 66

4.2.3 Wilayah Nada (range) ... 66

4.2.4 Jumlah Nada ... 67

4.2.5 Jumlah Interval ... 67

4.2.7 Pola Kadensa (Cadance Patterns) ... 68

4.2.8 Formula Melodi (Melody Formula) ... 68

4.2.9 Kontur (contour) ... 69

4.2.10 Analisis Ritem ... 70

4.2.11 Pola Melody Yang Diulang ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN


(11)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Daftar Gambar :

Gambar 2.1 Foto Ibu Rotua Pardede………41

Gambar 3.1 Anduri (Tampi)…...………...46

Gambar 3.2 Tali Plastik ………47

Gambar 3.3 Daun Pisang………...47

Gambar 3.4 Pisau………...47

Gambar 3.5 Mangkuk (cawan/baskom kecil berisi air)……….48

Gambar 3.6 Cangkir ……….48

Gambar 3.7 Selimut ………..49

Gambar 3.8 Bantal ………49

Gambar 3.9 Paku ………..50

Gambar 3.10 Anduri (tampi) ………..51

Gambar 3.11 dan 3.12 Anduri yang sudah dilobangi/diberi ikatan tali plastik pada ke empat sisi anduri (tampi)………...51

Gambar 3.13 dan 3.14 Meletakkan nasi di atas daun pisang ………52

Gambar 3.15 dan 3.16 Nasi diberi ikan ………..53

Gambar 3.17 Meletakkan cangkir berisi air minum dan mangkok berisi air bersih ………54

Gambar 3.18 Menggantung anduri (tampi) diatas pintu ………..55

Gambar 3.19 Proses pelaksanaan andung-andung Manghirap tondi ………55

Gambar 3.20 Pelemparan bantal ke tempat tidur………. 56

GAmbar 3.21 Pelemparan selimut ke tempat tidur ………..57

Gambar 3.22 Sordam Batak Toba ………58


(12)

Gambar 3.24 Sordam Tampak Belakang ………...……...60 Gambar 3.25 Tehnik Tiupan Bapak Amasohution Situmorang ………61 Gambar 3.26 Tehnik Penjarian Josua Siagian ………..….61

Daftar Tabel :


(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Studi Tekstual Dan Musikal. Melalui skripsi ini penulis akan mengakaji tentang deskripsi studi tekstual andung-andung dari manghirap tondi beserta dengan proses pelaksanaan manghirap tondi.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan metode penelitiin kualitatif yang mana dengan melakukan penelitian langsung pada objek yang diteliti. Adapun dalam proses kerjanya, dimulai dari membaca buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tulisan-tulisan ini dan penulis akan melakukan pengamatan terlibat wawancara, studi pustaka, perekaman kegiatan, foto-foto, transkripsi yang tentunya relevan dengan penelitian ini.

Untuk memperoleh data atau informan tentang andung-andung manghirap tondi ini,maka penulis melakukan wawancara langsung dengan informan yang mengetahui tentang manghirap tondi beserta andung-andungnya. Untuk melengkapi tulisan ini penulis sudah memiliki informan yang bersedia memberikan informasi tentang manghirap tondi yaitu ibu Rotua Pardede. Beliau dengan senang hati memberikan informasi dan mempraktekkan proses pelaksanaan manghirap tondi.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara memiliki wilayah yang luas terbagi dari beberapa daerah yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan terdapat beberapa suku, ras, agama, dan golongan. Diantara semua itu ada beberapa suku yang bertautan dan saling melengkapi menjadi suatu etnik, adapun etnik tersebut terdiri dari

Batak Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, Pesisir, Sibolga, Nias, inilah sub etnik yang ada di Sumatera Utara.

Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis Batak Toba, masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Kesenian pada masyarakat Batak Toba

diantaranya terdiri atas seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni musik. Dalam skripsi ini penulis akan mengkaji upacara ritual dari manghirap tondi.

Penulis akan membahas kepada studi tekstual dan musikal dari

manghirap tondi yang dilaksanakan dalam tradisi etnis Batak Toba. Teks

manghirap tondi adalah teks yang dinyanyikan penyaji dengan spontan yang menyangkut kepada proses manghirap todi. Teks yang dinyanyikan penyaji


(15)

termasuk kenyanyian andung-andung yang dinyanyikan secara mengerutu dengan suasana kesedihan yang mendalam. Secara umum, isi teksnya hanya bujukan. Teks tersebut disampaikan kepada seseorang yang mau dihirap (dipanggil) pulang.

Dalam tulisan ini penulis lebih tertarik membahas tentang andung-andung (ratapan) manghirap tondi. Andung-andung-andung (ratapan) ini berisi tentang ungkapan kesedihan sesesorang yang kehilangan keluarganya karena sudah lama tidak pulang dan tidak tau dimana keberadaanya. Secara tekstual andung-andung manghirap tondi menggunakan bahasa Batak Toba yang mengandung makna-makna tertentu.

Manghirap tondi di kategorikan ke dalam dua bagian yaitu manghirap

dan tondi. Manghirap merupakan suatu cara memanggil seseorang yang tidak tau alamat keberadaanya dan tidak pernah pulang ke kampung halamannya.

Manghirap dilaksanakan di rumah seseorang yang mau dipanggil. Sedangkan

tondi adalah roh yang mengikat nafas kehidupan manusia memberikan daya jiwa dan kepribadian, menentukan nasib manusia dengan memberi arah petunjuk bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain tondi wujudnya roh yang menempati tubuh seseorang sebagai satu kesatuan, membentuk pribadi seseorang, memberikan daya hidup yang menghubungkan nyawa dengan jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat. Dari hasil wawancara saya dengan ibu Rotua Pardede mengatakan bahwa tondi dapat sesekali meninggalkan tubuh manusia hidup saat mimpi bahkan sadar sekalipun. Beliau juga mengatakan tondi dapat juga


(16)

terperangkap atau disandera oleh roh-roh halus di tempat angker dan keramat, karena salah melangkah, atau melanggar tabu ketika berada di tempat itu.

Di dalam tradisi Batak Toba, usaha agar tondi seseorang itu kembali harus dengan melaksanakan upacara spritual yang biasanya dilakukan seorang Dukun/Paranormal dan juga seseorang yang memiliki indra ke-6. Upacara tersebut diantaranya mangalap tondi ( menjemput tondi) atau

manghirap tondi (menarik tondi yang pergi) di bawah bimbingan seorang datu (dukun). Cara lain adalah mangupa tondi (memberdayakan tondi yang lemah) dengan menaburkan boras pir ni tondi (beras untuk menguatkan

tondi) ke atas kepala untuk memulihkkan tondi yang terkejut, misalnya oleh orang tua kepada anaknya yang baru mengalami musibah. Berbagai istilah lain seperti; pahothon tondi (mempererat/mengokohkan tondi), atau papirhon tondi (memperkuat tondi).

Jadi dari penjelasan di atas manghirap tondi dapat diartikan adalah suatu upacara pemanggilan roh seseorang yang telah lama tak pernah pulang-pulang ke kampung halamannya dan tidak tau keberadaaannya sama sekali. Biasanya upacara manghirap tondi tidak semua orang yang bisa melaksanakannya melainkan hanya seorang yang mempunyai indra ke-6 dan seorang Dukun/Paranormal. Dimasa sekarang ini masyarakat Batak Toba

sudah jarang melaksanakan tradisi manghirap tondi ini bahkan sulit ditemukan orang yang bisa melaksanakan tradisi manghirap tondi. Bisa dikatakan tradisi ini dalam Batak Toba hampir punah.


(17)

Sebagai bukti yang mempengaruhi tradisi ini lambat laun punah karena pengaruh teknologi dan perkembangan jaman. Pada saat ini teknologi sudah maju bahkan alat komunikasi juga berkembang pesat yang mempermudah mengetahui letak atau posisi seseorang itu dimana keberadaannya dan mengajak supaya pulang ke kampung halamannya. Ibu Rotua Pardede mengatakan tradisi ini pada jaman dulu sangat berkembang pesat karena alat komunikasi sangat minim, ketika seseorang itu bertahun-tahun tidak pulang dan tidak memilki kabar ke kampung halamannya, maka dengan cara mistis seseorang bisa melakukan tradisi manghirap tondi

(menarik tondi yang pergi) sehingga seseorang itu tersentuh hatinya untuk pulang ke kampung halamannya. Sebagai bukti lain yang juga mempengaruhi hilangnya tradisi manghirap tondi ini yaitu tidak semua orang bisa melaksanakan manghirap tondi ini melainkan hanya orang tertentu seperti orang yang memiliki indra ke-6 dan dukun/paranormal .

Di dalam praktek manghirap tondi ini sendiri, ibu Rotua Pardede mengatakan gerakan dan kata-kata yang dilaksanakan dan diucapakan tidak terlalu sulit, hanya saja butuh konsentrasi tinggi dan tetap fokus yang disampaikan dengan bernyanyi serta melakukan gerakan-gerakan tertentu. Kata-kata yang di ucapkan keluar dengan sendirinya seperti cara mengajak dan membujuk seseorang yang dihirap (dipanggil) untuk pulang kerumah atau ke kampung halamannya. Manghirap tondi ini dilaksanakan sekali dalam satu hari dengan memanggil nama seseorang yang hilang tersebut, yang dilaksanakan pada waktu jam enam sore (pada saat matahari mau terbenam).


(18)

Tradisi pemanggilan roh orang yang hilang ini dilaksankan tujuh hari tujuh malam. Penyaji juga menyiapkan sesajen atau makanan-makanan yang sering dimakan seseorang yang mau dihirap (dipanggil). Dan makanan tersebut disusun rapi di dalam tampi dan digantungkan di pintu dapur di dalam rumah, supaya seseorang yang mau dihirap (dipanggil) tersebut mengingat setiap makanannya sehari-hari waktu tinggal di kampung. Dan terakhir si penyaji berdoa kepada Debata Jahowa (Tuhan Allah) dalam Agama Kristen untuk medoakan supaya seseorang yang mau dihirap (dipanggil) itu pulang ke kampung halamannya. Dari penuturannya, ibu Rotua Pardede mengatakan beliau sudah 3 kali melaksanakan tradisi upacara manghirap tondi ini, salah satu contoh yang jelas terbukti yaitu dilakukan manghirap tondi kepada anaknya sendiri.1

Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk menuliskannya dalam tulisan ilmiah dengan judul : ” Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam

Dengan demikian penulis tertarik untuk membahas tentang

manghirap tondi baik dari prosesi awal dilakukan dengan meneliti studi tekstual dari kata-kata yang di ucapkan dan studi musikalnya agar tulisan ini bermanfaat bagi peneliti berikutnya sehingga dengan tulisan ini bisa diketahui dan dikenal upacara manghirap tondi dalam tradisi Batak Toba yang bisa dikatakan sudah jarang dilaksanakan. Alasan inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membahas tentang upacara ritual manghirap tondi.

1


(19)

Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukanlah pokok permasalahan. Dalam skripsi ini permasalahan yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut:

a. Bagaimana struktur manghirap tondi yang dipertunjukkan oleh ibu Rotua Pardede? Pokok permasalahanya ini akan dijawab dengan uraian mengenai properti manghirap tondi, sesajen yang disediakan, andung-andung manghirap tondi, kata-kata yang di ucapkan dalam manghirap tondi beserta hal-hal yang berkait dengan keberadaan manghirap tondi yang merupakan salah satu pertunjukan seni yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. b. Bagaimana struktur tekstual dan musikal dalam manghirap tondi

terutama dalam nyanyian andung-andungnya.

c. Bagaimana eksistensi manghirap tondi di tengah-tengah masyarakat Batak Toba.

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian


(20)

a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur manghirap tondi yang di sajikan oleh Ibu Rotua Pardede.

b. Untuk mengkaji bagaimana pengertian dan pemahaman mengenai

manghirap tondi dan melihat makna tekstual kata-kata yang diucapkan dalam manghirap tondi sebagai cara untuk menyampaikan rasa atau ungkapan atau ekspresi pelaku manghirap tondi.

c. Untuk mengetahui eksistensi dan keberadaannya di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, apakah masih sering dilaksanakan atau bahkan upacara ritual manghirap tondi ini semakin lama semakin punah.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sebagai dokumentasi dan bahan literatur dalam disiplin etnomusikologi berkaitan tentang kesenian Batak Toba

(khususnya manghirap tondi)

b. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneiti selanjutnya, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian manghirap tondi.

c. Menjadi salah satu bahan dokumentasi tambahan tentang informasi manghirap tondi (khususnya bagi masyarakat Batak Toba).


(21)

d. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah refrensi mengenai proses manghirap tondi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

e. Dapat menjadi refrensi bagi peneliti, masyarakat dan juga bagi setiap pembaca.

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penulisan yang akan digunakan sebagai alat menggambarkan fenomena dengan adanya penjabaran masalah dari kerangka teoritisnya. Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya (KBBI 2005:258).

Kata deskriptif yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah bagaimana gambaran sebenarnya manghirap tondi pada saat dilaksanakan tanpa ada unsur yang ditambahi dan dikurangi. Manghirap berarti pemanggilan. Manghirap yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah salah satu pemanggilan roh dalam masyarakat Batak Toba.

Tondi berarti roh, roh adalah yang mengikat nafas kehidupan manusia memberikan daya jiwa dan kepribadian, menentukan nasib manusia dengan memberi arah petunjuk bagi kehidupan manusia. Roh menempati tubuh seseorang sebagai satu kesatuan, membentuk pribadi seseorang, memberikan daya hidup yang menghubungkan nyawa dengan


(22)

jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Medina Hutasoit dalam skripsinya menyebutkan Andung - andung merupakan suatu nyanyian ratapan dalam konteks kematian atau kemalangan. Secara umum andung- andung adalah berisi tentang kesedihan atau penderitaan hidup. Wujud dari kemalangan ini adalah kesedihan dan dukacita misalnya pada saat kematian orang tua, dan kehilangan anggota keluarga.2

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terkait

Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 kajian yaitu kajian tekstual dan musikal. Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu kata-kata. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian berbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.

2

Penelitian terdahulu oleh Medina Hutasoit (ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN)


(23)

oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat yang penulis maksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di desa Lintong Nihuta, kecamatan Tampahan, Toba Samosir. Daerah ini merupakan daerah yang menjadi tempat penulis meneliti Manghirap Tondi.

1.4.2 Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan, yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman ilmiah kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam tulisan ini. Teori juga merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa. (Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, 1991 : 1041).

Dalam tulisan ini unsur yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah studi tekstual dan musikal manghirap tondi. Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun berstruktur, sejalan dengan apa saja yag mungkin akan digunakan (Suwardi, 2006: 107).

Dalam mengkaji strukstur dan makna tekstual manghirap tondi, penulis menggunakan teori semiotika. Dimana teori ini digunakan untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang


(24)

membangun sebuah peristiwa seni. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. Dalam melakukan analisis semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik (paralinguistics); bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual communication); kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain.

Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah: sistem aktifitas atau rangakaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990-190). Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1958:243) yang menyatakan aspek-aspek dalam upacara ada empat, yaitu : (1) tempat upacara, (2) waktu upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) yang melaksanakan upacara dan pemimpin upacara.

Dalam meneliti upacara manghirap tondi penulis akan mendeskripsikan bagaimana uraian mengenai andung-andung, teks yang diucapkan, benda-benda


(25)

yang digunakan saat upacara, dan juga sesajen yang digukan saat upacara ritual berlangsung. Untuk mengkaji studi teks dalam manghirap tondi penulis berpedoman kepada teori semiotik. Istilah kata semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeioni. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Dalam menganalisa struktur teks dalam manghirap tondi

penulis juga menggunakan teori William P. Malm dalam buku terjemahan Music Culture of The pasific, The Near, East, and Asia, ia mengatakan dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta membantu reaksi musikal bagi sebuah kata yang di anggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1995:17). Sementara itu untuk mengkaji musik iringan dalam manghirap tondi penulis akan menggunakan teori Bruno Nelt (1964 : 131) mengatakan bahwa untuk mendapatkan seluruh benda musikal dilakukan analisis: perbendaharaan nada, modus, ritem, nada dasar, bentuk dan tempo.

Untuk menganalisis struktur melodi manghirap tondi penulis mengunakan teori weighted scale (bobot tangga nada) yang dikemukakan oleh William P. Malm. Hal yang harus diperhatikan dalam mendeskripsikan melodi yaitu: (1) tangga nada, (2) nada dasar (pitch center), (3) wilayah nada, (4) jumlah nada-nada, (5) jumlah interval, (6) pola-pola kadensa, (7) formula-formula melodik, dan (8) kontur (Malm dalam terjemahan Takari 1995:15)


(26)

Untuk mendukung analisis struktur melodi manghirap tondi, penulis mengunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi yang didengar dan dilihat. Dalam mengerjakan transkripsi penulis menggunakan pada notasi musik yang dinyatakan Seeger yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan menggunakan notasi deskriptif. Karena, penulis akan menyampaikan atau memberikan informasi tentang manghirap tondi dengan detail agar jelas tujuan dari komposisi

manghirap tondi.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti manghirap tondi desa Lintong Nihuta, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: ”Penelitian adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”.

Penelitian kualitatif dapat dibagi dalam empat tahap yaitu: tahap sebelum ke lapangan, pekerjaan lapangan, analisis data dan penulisan laporan.


(27)

Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penellitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Selanjutnya pada tahap perkerjaan di lapangan peneliti mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu, kamera digital merk Nikon, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) pertujukan manghirap tondi yang dilaksanakan ibu Rotua Pardede. Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sahari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan dan wawancara biasanya berlangsung lama.

Dalam tahap mennganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori dengan hasil akhir membuat laporan untuk penulisan skripsi.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Dalam mencari tulisan-tulisan pendukung, penulis melakukan adanya studi kepustakaan dan kegiatan ini dilakukan untuk menemukan literatur atau sumber bacaan guna melengkapi data-data yang diperlukan dalam tulisan ini. Sumber bacaan yang digunakan dapat berasal dari penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dimana sumber bacaan diperoleh dari buku, majalah, buletin, jurnal, artikel dan situs


(28)

internet. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Batak Toba yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan

(field work) dengan menggunakan : (1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoala bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

Mengacu pada teori diatas penulis mengumpulkan keterangan yang diperlukan dengan cara mengamati sasaran penelitian, misalnya tentang penyajian manghirap tondi, sarana yang dipergunakan, pelaku, dan


(29)

masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. (2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian pendirian yang mereka miliki, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara terfokus, wawancara bebas dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu sifatnya hanya untuk menambah data lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

(3) Perekaman, dalam hal ini penulis melakukan perekaman dengan 2 cara, yaitu (a) perekaman yang penulis lakukan yaitu perekaman audio dengan menggunakan handycam Sony mini DVD. Perekaman ini sebagai bahan tekstual dan musikal. (b) untuk mendapatkan dokumentasi dalam bentuk gambar digunakan kamera digital merk Nikon. Pengambilan gambar dilakukan pada saat upacara ritual berlangsung.


(30)

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskipsian dan selanjutnya dianalisisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspekstruktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang interdisipliner dan keseluruhanannya dikerjakan dilaboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahanya merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang sampai ditemukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini.

1.6 Lokasi Penelitian

Sebagai lokasi penelitian, penulis memilih lokasi di desa Lintong Nihuta Bagasan Kecamatan Tampahan tepat nya dirumah Ibu Rotua Pardede. Dan menjadi informan kunci di dalam penelitian ini. Alasan penulis memilih tempat tersebut karena di Kabupaten Tobasamosir sudah jarang dan sangat sulit didapati seseorang yang bisa


(31)

melaksanakan upacara ritual manghirap tondi ini. Dengan demikian penulis tertarik melakukan penelitian di tempat tersebut.


(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI ROTUA PARDEDE

2.1 Suku Batak Toba

Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa batak. Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Pada masa kerajaan yang berpusat di Bakara, Kerajaan yang dalam pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi Kerajaan Batak dalam 4 wilayah yang disebut Raja Maropat, yaitu:

1. Raja Maropat Silindung 2. Raja Maropat Samosir 3. Raja Maropat Humbang 4. Raja Maropat Toba

Marga asli penduduk Batak Toba yang berdomisili di Tampahan adalah Siahaan, Simanjuntak dan marga-marga penduduk pendatang seperti; Simatupang, Pardede, Sianturi, Panggabean, Sianipar, dll.

2.1.1 Asal-Usul Batak Toba

Penelusuran sejarah, sebuah upaya yang bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tetapi jika dipikir lebih mendalam,setiap orang pasti


(33)

bertanya dari manakah asal-usul suku Batak Toba. Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak Toba dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyebrang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula-Mula, lebih kurang 8 KM arah barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

Menurut kepercayaan bangsa Batak induk marga Batak dimulai dari Si Raja Batak yang diyakini sebagai asal mula orang Batak. Si raja Batak mempunyai dua orang putra, yakni Guru Tatea Bulan dan Si Raja Isumbaon. Guru Tatea Bulan mempunyai 5 (lima) orang putra yakni Raja Uti (Raja Biak-Biak), Saribu Raja, Limbong Mulana, Sagala Raja, dan Malau Raja. Sementara, Si Raja Isumboan mempunyai 3 (tiga) orang putra yakni Tuan Sorimangaraja, Si Raja Asiasi, dan Sangkar Somalindang. Dari keturunan (pinompar) mereka inilah kemudian menyebar ke segala penjuru daerah di Tapanuli, baik ke utara maupun ke selatan sehingga muncullah berbagai macam marga Batak. Legenda mengenai


(34)

bagaimana Si Raja Batak disebut sebagai asal mula orang Batak amsih perlu dikaji lebih dalam.

Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak Masa kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: Samosir (Pulau Samosir, dan sekitarnya), Toba (Balige, Laguboti, Porsea, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya), Humbang ( Dolok Sanggul, Siborong-borong, dan sekitarnya), Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya).

2.2 Sitem Kekerabatan Batak Toba

Sistem kekerabatan ialah hubungan kekeluargaan daripada individu-individu. Kekerabatan timbul akibat dua hal, yaitu hubungan darah (consaigunal) dan akibat adanya perkawinan (konjugnal). Oleh karena itu kekerabatan (kinship) menyangkut jauh dekat hubungannya seseorang (individu) dan antara seorang dengan sekelompok orang (keluaraga/kerabat) demikian pula sebaliknya. Untuk menentukan bagaimana jauh dekatnya seseorang diadakan kekerabatan menurut adat istiadat (budaya) Batak Toba, kriteria yang digunakan ialah menurut garis keturunan pihak laki-laki (ayah) dan pertalian darah akibat perkawinan (dari pihak perempuan). Namun yang paling menentukan ialah garis menurut garis keturunan ayah. Hal ini karena etnis Batak Toba penganut paham kebapakan (patrilinear discent) bahwa keturunan laki-laki, dimana marga ayah sangat dominan.


(35)

Walaupun demikian dalam menentukan kekerabatan (partuturan) juga dianut oleh paham keibuan (bilibneal discent) karena keluarga ibu/istri menduduki posisi yang sangat penting yaitu sebagai tempat untuk meminta berkat (tuah/pasu-pasu). Maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara kelompok ayah/suami dengan kelompok ibu/istri dan begitu juga sebaliknya (Purba 1997:4 dikutip oleh Kezia Purba).3

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Tampahan tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain. Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala

Orang Batak Toba mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Batak Toba adalah “silsilah atau tarombo” (marga nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat).

Hal ini bisa dilihat saat orang Batak Toba bertemu, langsung bertanya “marga aha hamuna?” (apa marga anda) dan juga “sian dia huta muna?” (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas oleh pepatah atau Umpasa Batak Toba yaitu “ Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukun marga asa binoto partuturan” (maksudnya yaitu kita tanya apa marganya terlebih dahulu agar kita tahu hubungan kita dengannya).

2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan

3

Penelitian terdahulu oleh Kezia Purba (ANALISIS MUSIKAL DAN TEKSTUAL MARSIALOPARI KARYA TARALAMSYAH SARAGIH )


(36)

tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal)4

Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982). Menurut falsafah . Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru.

Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya. Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga angat berperan dalam kehidupan masyarakat.

2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan

4


(37)

orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya (Skripsi Nainggolan: 2009). Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain.

Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga dari istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.

Dalam suatu acara adat kedudukan dongan tubu sama atau sederejat dengan pihak yang menyelenggarakan pesta (suhut). Dongan tubu mempunyai tugas untuk mengawasi berjalannya acara adat. Boru adalah keluarga yang memperisteri anak perempuan dari suatu marga. Boru adalah orang yang selalu


(38)

sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula. Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya.

Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Sumando).5

5

Sumando Pardede

Somba marhula-hula maksudnya adalah agar pihak boru selalu memberikan sembah kepada hula-hula, elek marboru maksudnya adalah agar pihak hula-hula selalu bersikap mangelek (membujuk) dan sayang terhadap pihak boru, manat mardongan tubu maksudnya adalah agar pihak sesama marga selalu saling memperhatikan dan selalu berhati-hati dalam bersikap agar tidak terjadi sakit hati bagi sesama dongan tubu.


(39)

2.2.3 Sistem Perkawinan

Perkawinan dalam Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya Perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga besar (Kepler, 2002:38). Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan. Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam bahasa Batak Toba) dan pihak perempuan (parboru).

Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga. Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom, diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan.

Dengan demikian, tata upacara perkawinan terdiri dari tata cara penyatuan tetap atau permanen ke dalam lingkungan (sosial) baru, dan tata cara penyatuan yang bersifat personal. Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum eksogami (perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Seorang


(40)

perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen, 1986: xi) Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba seseorang yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga dari pihak laki-laki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Tahapan-tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut17: 1. Paranakkon Hata

a) Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak b) laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan).

c) Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh oleh pihak laki-laki pada hari itu juga.

d) Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.

2. Marhusip

a) Marhusip artinya membicarakan prosedur yang harus dilaksanakan oleh pihak paranak sesuai dengan ketentuan adat setempat (ruhut adat di huta i) dan sesuai dengan keinginan parboru (pihak perempuan).


(41)

b) Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya.

c) Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru dongan-tubu, dan dongan-sahuta.

3. Marhata Sinamot

a) Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan sahuta.

b) Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.

c) Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot. 4. Marpudun Saut

Marpudun saut artinya merealisasikan apa yang dikatakan dalam paranak hata, marhusip, dan marhata sinamot. Semua yang dibicarakan pada ketiga tingkat pembicaraan sebelumnya dipudun (disimpulkan, dirangkum) menjadi satu untuk selanjutnya disahkan oleh tua-tua adat. Dalam marpudun saut sudah diputuskan ketentuan yang pasti mengenai sinamot, ketentuan jambar sinamot kepada si jalo todoan, ketentuan sinamot kepada parjambar na gok, ketentuan sinamot kepada parjambar sinamot, parjuhut, jambar juhut, tempat upacara, tanggal upacara, ketentuan mengenai ulos yang akan digunakan, ketentuan mengenai ulos-ulos kepada pihak paranak, dan ketentuan tentang adat.


(42)

5. Unjuk

Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:

a) Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.

b) Mempersiapkan makanan,

c) Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo, d) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas),

e) Doa makan,

f) Membagikan jambar,

g) Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni paranak, tanggapan parsinabung ni parboru.

h) Pasahat sinamot dan todoan, i) Mangulosi, dan

j) Padalan Olopolop. 6. Tangiang Parujungan

Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

2.3 Sistem Kepercayaan Dan Agama

Tanah Batak telah telah dipengaruhi beberapa agama. Agama Kristen Protestan dan Islam masuk ke daerah orang Batak Toba sejak permulaan abad


(43)

ke-19. Walaupun sebagian besar orang Batak Toba sudah beragama kristen dan islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan Batak Toba asli adalah buku-buku kuno (pustaha). Selain daripada berisi silsilah-silsilah (tarombo) buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang batak tentang dunia makhluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia makhluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia yang pertama yang leluhurnya bersangkutpaut dengan burung.

Konsepsi tentang pencipta, orang Batak Toba mempunyai konsep bahwa alam ini dan seluruh isinya, diciptakan oleh Debata (Opung) Mulajadi Nabolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi Nabolon, ia tinggal di Langit dan merupakan Maha Pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon Nabolon, atau Tuan Panduka ni Aji. Sebagi penguasa dunia makhluk halus ia bernama Pane Nabolon. Selain daripda pencipta Debata Mulajadi Nabolon menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala Alam seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane Nabolon mengatur Penjuru mata angin.

Konsepsi tentang jiwa, roh dan dunia akhirat. Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal 3 (tiga) konsep yaitu: Tondi, sahala, dan begu.tondi itu adalah jiwa atau orang itu sendiri dan sekaligus dan juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki oleh


(44)

seseorang. Bedanya dengan tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kualitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang Raja atau Datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari seorang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala menyebaban seseorang kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.

Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada didalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya seperti halnya dengan sahala, yang dapat berkurang atau bertambah, tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan sementara, makaorang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya, maka orang itu meninggal. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena adanya kekuatan lain (sambaon) yang menawannya.

Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia, hanya secara kebalikannya, yaitu: misalnya apa yang dilakukan oleh manusia pada siang hari dilakukan begu malam hari. Orang Batak mengenal begu yang baik dan yang jahat. Sesuai dengan kebutuhannya, begu dipuja dengan sajian (pelean). Dikalangan orang Batak Toba, Begu terpenting ialah Sumangot ni ompu (begu dari nenek moyang). Kalau begu yang dulunya sebagai tondi menduduki tubuh manusia yang kaya, yang berkuasa, dan mempunyai keturunan yang banyak, maka upacara untuk menghormatinya juga bersifat besar-besaran. Upacara seperti itu


(45)

disertai dengan gondang ( musik Batak) dan dengan sajian yang disebut Tibal-tibal yang ditempatkan di atas Pangumbari. Beberapa golongan begu yang ditakuti orang Batak Toba adalah:

1. Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang padat, gelap, dan mengerikan (persombaonan).

2. Solobean, yaitu begu yang dianggap sebagai penguasa dari tempat-tempat tertentu dari Toba.

3. Silan, yaitu begu yang serupa dengan Sombaon menempati pohon besar, atau batu yang aneh bentuknya, tetapi khususnya dinggap sebagai nenek moyang pendiri Huta dan juga nenek moyang dari marga.

4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara oleh orang agar dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain yang dibenci oleh sipemelihara begu ganjang tersebut.

Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga percaya kepada kekutan sakti dari Jimat, tongkat wasiat atau tunggal panaluan dan kepada mantra-mantra yang mengandung sakti. Semua kekuatan itu menurut kitab- kitab ilmu gaib orang Batak Toba (pustaha), berasal dari Si Raja Batak.

2.4 Bahasa

Bahasa ialah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain (Koentjaraningrat, 1986:39).


(46)

Kecamatan Tampahan merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tobasa yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa ibu dari masyarakat dari masyarakat Batak yang menetap disana. Selain bahasa Batak Toba.

Masyarakat yang ada di Kecamatan Tampahan menggunakan bahasa Batak sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.

2.5Sistem Mata Pencaharian

Kecamatan Tampahan merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat yang tinggal di kecamata ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti sayur-sayuran, padi terutama sebagai penyadap pohon karet sebagai tumbuhan yang tumbuh secara alami. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru.

Namun sekalipun berprofesi sebagai guru mereka juga melakukan kegiatan bertani sebagai pekerjaan sampingan apabila lagi libur atau setelah


(47)

pulang dari mengajar di sekolah. Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap nira untuk dijadikan tuak. Selain sebagai guru, penyadap bagot merupakan pekerjaan sampingan yang ditekuni. Dari hasil tani, dan penyadapan pohon bagot inilah bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perkuliahan. Bertani dan menyadap nira merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun-temurun dan merupakan mata pencaharian desa ini.

2.6 Kesenian 2.6.1 Seni Musik

Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang bisa mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai alat atau instrumen musik. Istilah penggunaan gondang (Hutajulu dan Harahap, 2005:19) bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiaanya, misalnya:

1) Gondang hasahata;, kata gondang memiliki makna sebuah komposisi. 2) Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari

tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata Sori”.

3) Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.

4) Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembuhan.

5) Gondang sabangunan atau gondang hasapi; kata gondang bermakna ensambel musik.


(48)

Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba, yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune etek (aerofon) dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini tidak pernah lagi dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa Lintong Nihuta Bagasan ini. Masyarakat sudah memakai instrumen kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap.

2.6.2 Seni Tari

Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba. Pada masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan kegiatan martumba sudah tidak terdapat lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya pemrakarsa ataupun karena rasa kekeluargaan dan persatuan antar muda-mudi tidak ada lagi.


(49)

2.6.3 Seni Sastra

Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu :

1. Umpasa merupakan kata-kata kiasan yang berisi ajaran tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religious. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di masyarakat Batak Toba.

2. Tonggo-tongo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan harapan.

3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber dari berbagai mitos dan legenda.

4. Huling-huling ansa adalah sejenis sastra berbentuk teka-teki yang umumnya dilakukan oleh pemuda dan pemudi di waktu senggang. Umpasa dan hulung-huling ansa merupakan dua dari seni sastra yang masih terdapat pada masyarakat yang ada di Desa Hutaimbaru ini. Berdasarkan pengamatan penulis, umpasa sering digunakan pada acara-acara adat perkawinan dan huling- huling ansa banyak digunakan oleh anak-anak ketika sedang bermain dengan anak-anak yang lain.


(50)

2.6.4 Seni Rupa

Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat. (Harahap, 2005:12). Pada jaman dahulu masyarakat Batak telah mengenal seni patung dari batu ini. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Samosir yaitu situs peninggalan raja-raja Batak.

Jenis patung yang paling popular di masyarakat Batak Toba adalah sigale-gale. Sigale-gale adalah sejenis patung boneka kayu yang dapat menari. Patung ini digunakan sebagai seni pertunjukan hiburan. Sigale-gale dikendalikan oleh seseorang dengan menggunakan tali-tali yang dipasang pada bagian-bagian patung. Selain seni patung, masyarakat Batak Toba juga mengenal seni ukir ornamental yang disebut dengan gorga. Seni ukir ini banyak terdapat pada dinding rumah tradisional Batak dan banyak juga digunakan pada alat-alat musik sebagai hiasan. Motif-motif yang digunakan dapat berupa ukiran gambar manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun lambang delapan penjuru angin.

2.7 Pengertian Biografi

Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah riwayat hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris


(51)

kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta - fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi – informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas. Sebuah biografi biasanya menganalisia dan menerangkan kejadian - kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya.

Dengan membaca biografi, pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita - cerita atau pengalaman - pengalaman selama hidupnya. Suatu karya biografi biasanya becerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada orang – orang atau tokoh-tokoh terkenal saja. Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu. Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat berupa benda-benda seperti surat-surat,


(52)

buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut.

Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu. Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas;

(b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain;

(c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut;

(d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut;

(e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya;

(g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko,atau karena keberuntungan;

(h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup, bagaimana, dan mengapa demikian. Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan


(53)

dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs : (www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).6

Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun

2.8 Biografi Singkat Ibu Rotua Pardede

Rotua Pardede adalah seorang mantan Guru (Kepala Sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap seni, budaya dan sejarah Batak Toba. Penguasaannya terhadap sejarah seni dan kebudayaan Batak Toba khusunya perlu dihargai dan tetap dilestarikan. Adapun hasil wawancara penulis dengan informan tentang biografi atau rowayat hidup informan yaitu, Ibu Rotua Pardede lahir pada tanggal 5 Agustus 1937 di Janjimaria, Balige. Dalam perkawinannya, Rotua Pardede menikah pada tahun 1960 dengan Bapak M. Simanjuntak. Ibu Rotua memiliki 10 orang anak diantaranya 4 laki-laki dan 6 wanita. Serta sudah memiliki cucu sebanyak 43 orang.

Pada tahun 1958 Ibu Rotua Pardede Lulus dari Sekolah SPG Soposurung sambil mengajar di SD Balige 2. Dan menjabat sebagai Kepala Sekolah selama 10 tahun di SDN 173528 Tampahan sejak tahun 1989 sampai tahun 1998. Pensiun pada tanggal 29 November 1998. Dan tahun 1975 sampai tahun 1976 Ibu Rotua mengambil sekolah lagi di KPG dengn jurusan Matematika.

6


(54)

1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

Gambar 2.1 Foto Ibu Rotua Pardede

Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun 1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

Ibu Rotua sering dikenal orang dengan kebaikannya, keramahannya, dan kerajinannya dalam pekerjaan apapun. Ibu Rotua mampu mengobati berbagai penyakit akan tetapi Ibu Rotua bukan seorang dukun (datu) melainkan ilmunya


(55)

datang dari mimpi-mimpinya dan menjadi kenyataan. Saat ini Ibu Rotua sudah berusia 77 tahun dan tinggal dengan suminya di Lintong Nihuta Bagasan, Balige.7

7


(56)

BAB III

PROSES PENYAJIAN MANGHIRAP TONDI

3.1 Manghirap Tondi Dalam Masyarakat Batak Toba

Manghirap tondi adalah suatu upacara pemanggilan roh seseorang yang telah lama tak pernah pulang-pulang ke kampung halamannya dan tidak tau keberadaaannya sama sekali. Dalam masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Lintong Nihuta Bagasan tradisi atau ritual manghirap tondi hanya bisa dilakukan atau dipraktekkan oleh Ibu Rotua Pardede, mulai dari pembuatan sesajen dan proses melakukan manghirap tondi tersebut. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan bahwa manghirap tondi ini dapat dilakukan dan diketahui oleh ibu Rotua berdasarkan mimpi yang datang ke beliau. Dan hal ini jadi kenyataan sebab segala sesuatu yang dilakukan oleh ibu Rotua berasal dari mimpinya. Misalnya saja membuat ramuan minyak urutnya didapat lewat mimpinya.

Ibu Rotua merupakan orang biasa yang memiliki kelebihan tersendiri, beliau bukan seorang dukun (datu/sibaso) hal ini dibuktikan bahwa dalam melakukan hal-hal yang dianggap mistis ibu Rotua tidak menggunakan cawan, tikar khusus, atau tempat-tempat khusus (kamar khusus), sesajen- sesajen seperti halnya dilakukan oleh seorang dukun. Ibu Rotua mampu melakukan kegiatan yang diangap mistis itu lewat mimpi-mimpinya dan keahlian atau kelebihan dari diri ibu Rotua tersebut.

Ibu Rotua pardede sudah lama melaksanakan ritual manghirap tondi ini dan salah satunya dilakukan untuk memanggil anaknya sendiri yang sudah lama


(57)

tidak pulang dari perantauan di Kalimantan. Dengan melakukan ritual manghirap tondi ini anak ibu Rotua akhirnya pulang dari Kalimantan yaitu Putranya yang kedua bernama Ganyong Simanjuntak dan sekarang sudah menikah dan memiliki 2 anak. Adapun orang lain yang sudah pernah di hirap oleh ibu Rotua adalah Alon Simanjuntak dan saat ini tinggal di Desa Lintong Nihuta Balige dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu- persatu.

Bagi masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta, keberadaan

manghirap tondi ini dianggap penting. Manghirap Tondi dulunya sangat penting yang dimanfaatkan sebagai alat untuk memanggil kembali orang-orang yang sudah lama tidak pulang - pulang ke kampung halamannya. Namun, saat ini eksistensi manghirap tondi di masyarakat Batak Toba sudah berkurang dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi yang sangat pesat, sehingga untuk mencari dan menghubungi orang-orang yang lama tidak pulang ke kampung halaman sudah lebih mudah.

Di masyarakat Batak Toba khususya di Desa Lintong Nihuta Balige

manghirap tondi tidak setenar dahulu, dimana ibu Rotua yang sudah semakin tua dan sudah sangat jarang melaksanakan ritual ini. Berdasarkan sepengetahuan ibu Rotua bahwa yang melakukan manghirap tondi sejauh ini hanya beliau yang bisa melakukannya lain hal di kampung lain atau di wilayah lainnya beliau tidak mengetahui siapa- siapa saja yang bisa melakukan ritual manghirap tondi ini. Namun di Kampung halamannya beliaulah yang bisa melakukan ritual tersebut.

Pandangan agama sekitar Desa Lintong Nihuta terhadap manghirap tondi


(58)

Tuhan yang diberikan melalui hal-hal seperti ini yang diberikan kepada orang-orang tertentu namun bukan berarti menjadi lebih mempercayai hal seperti itu, karena semuanya kembali lagi kepada Tuhan sebab Tuhanlah yang lebih berkuasa. Namun agama juga tidak bisa menyangkal dengan adanya ritual seperti

manghirap tondi ini. Manghirap tondi ini tidak terlalu bertentangan dengan agama karena manghirap tondi juga dilakukan dengan doa-doa yang disampaikan kepada Tuhan hanya saja cara dan prosesnya berbeda dengan berdoa yang biasanya.

Ibu Rotua juga seorang yang taat akan agamanya, karena dalam melakukan setiap kegiatannya dimulainya dengan doa. Agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan.

3.2 Pemilihan Bahan-Bahan Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi

Untuk melakukan ritual manghirap tondi diperlukan beberapa alat rumah tangga serta makanan sehari-hari atau biasa disebut sesajen manghirap tondi. Dalam ritual manghirap tondi ini dibuat karena itu merupakan salah satu syarat atau unsur dalam melaksanakan manghirap tondi yaitu dilakukan berdasarkan kebiasaan orang sehari-harinya.

Adapun alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ritual

manghirap tondi adalah: a. Alat-alat

1. Anduri (Tampi) 2. Tali Plastik


(59)

3. Daun Pisang 4. Pisau

5. Mangkuk/ cawan/ baskom kecil 6. Cangkir/ gelas

7. Selimut 8. Bantal 9. Paku b. Bahan-bahan :

1. Air Minum 2. Nasi

3. Ikan ( Ihan Batak)

4. Air bersih ( sebagai air untuk mencuci tangan/ air kobokan) Adapun keterangan dari Alat dan Bahan di atas adalah sebagai berikut:

1. Anduri (Tampi)

Yaitu alat yang digunakan sebagai alas atau tempat untuk meletakkan makanan yang telah disajikan. Seperti pada gambar 3.1


(60)

2. Tali Plastik

Yaitu alat yang digunakan untuk mengikatkan tampi di atas pintu tempat melakukan ritual manghirap tondi tersebut.Seperti pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Tali Plastik

3. Daun Plastik

Yaitu lat yang digunakan sebagai alas tempat makanan berupa nasi dan ikannya. Seperti pada Gambar 3.3

Gambar. 3.3 Daun Pisang

4. Pisau

Yaitu alat yang digunakan untuk memotong daun pisang dan memotong tali plastik. Seperti pada gambar 3.4


(61)

5. Mangkuk/ cawan/ baskom kecil

Yaitu alat yang digunakan sebagai tempat air untuk mencuci tangan. Seperti pada gambar 3.5

Gambar 3.5 Mangkuk/cawan/baskom kecil berisi air

6. Cangkir atau gelas

Yaitu alat yang digunakan sebagai tempat air minum. Sperti pada gambar 3.6


(62)

Gambar 3.6 Cangkir

7. Selimut

Yaitu selimut yang biasa dipakai oleh orang yang akan dipanggil pulang kembali ke kampung halamannya. Seperti pada gambar 3.7

Gambar 3.7 Selimut

8. Bantal

Yaitu bantal yang biasa dipakai oleh orang yang akan dipanggil pulang kembali ke kampung halamannya. Seperti pada gambar 3.8


(63)

Gambar 3.8 Bantal

9. Paku

Yaitu alat yang digunakan untuk menempelkan ikatan tali dengan tampi diatas pintu. Seperti pada gambar 3.9

Gambar 3.9 paku

3.3. Proses Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi ke atas Anduri (Tampi) Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk membuat sesajen

manghirap tondi yaitu sebagai berikut: pertama sediakan anduri (tampi) yang bersih dan kosong, kemudian beri lobang pada ke empat sisi anduri (tampi) tersebut sebagai tempat untuk pengikat tali. Kedua diikatkan tali pada lubang yang tersedia dengan kuat, kemudian diatas anduri (tampi) diberi daun pisang sebagai alas dengan ukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm. Selanjutnya nasi yang sudah dikepal sebanyak 7 kepalan tangan yang sudah diberi ikan (ihan batak) diletakkan diatas daun pisang tersebut, begitu juga dengan cangkir berisi air minum dan


(64)

mangkok berisi air bersih sebagai pencuci tangan. Setelah semua rampung maka anduri (tampi) yang sudah berisi sesajen diangkat dan digantung ke atas pintu dapur. Seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:

Langkah 1:

Gambar.3.10

Anduri (tampi) kosong yang bersih, sebagai tempat sesajen (makanan) diletakkan. Langkah 2:


(65)

Gambar 3.11

Anduri (tampi) yang sudah diloangi dan sudah diberi ikatan tali pada ke empat sisi anduri (tampi) tersebut.

Langkah 3:

Pembuatan daun pisang di atas anduri (tampi) sebagai alas dari nasi dan ikan yang akan di pakaisebagai sesajennya.


(66)

Langkah 4:

Gambar 3.13

Meletakkan kepalan nasi di atas daun pisang sebanyak 7 kepalan nasi.

Gambar 3.14


(67)

Gambar 3.15

Nasi diberi ikan (ihan Batak) sebagai laukknya.

Gambar 3.16

Langkah 6:

Kemudian diatas tampi diletakkan cangkir berisi air minum dan mangkok berisi air bersih sebagai pencuci tangan.


(68)

Gambar 3.17

Langkah 7:

Mengangkat anduri (tampi) yang sudah lengkap dengan sesajennya dan menggantung atau mengikatkannya di atas pintu dapur.

Gambar 3.18


(69)

Untuk melaksanakan proses manghirap tondi yang pertama dilakukan yaitu memegang ikatan anduri (tampi) yang sudah digantungkan di atas pintu dapur seperti pada gambar berikut.

Gambar 3.19

Pada saat anduri (tampi) dipegang pada saat itu juga dinyanyikan lagu atau andung-andung manghirap tondi. Hal ini dilakukan secara berulang-ulang selama 7 (tujuh) hari 7 malam. Setelah lagu trsebut selesai dinyanyikan maka proses selanjutnya yaitu melemparkan bantal dan selimutnya ke tempat tidurnya yang dilakukan di depan pintu mengarah ke tempat tidurnya seperti pada gambar di bawah ini:


(70)

Gambar 3.20

Pada saat melempar bantal kata yang diucapkan dalam bait lagu tersebut yaitu “ romaho inang, on do bantalmu...” (datanglah anakku sayang, inilah bantalmu). Begitu juga dengan selimut yang dilemparkan ke atas tempat tidurnya sambil mengucakpan lirik lagu “ ro maho inang, on do gobarmu. Modom ma dainang” (datanglah anakku sayang, inilah selimutmu tidurlah anakku). Seperti pada gambar dibawah ini:


(71)

Gambar 3.21

3.5 Waktu Pelaksanaan Manghirap Tondi

Dalam melakukan manghirap tondi ini dilaksanakan pada saat sore hari menjelang malam tepatnya pada pukul 06.30 – 07.00. Dilakukan setiap harinya selama 7 (Tujuh) hari 7 malam. Keadaan cuaca tidak terlalu berpengaruh terhadap proses manghirap tondi yang akan dilaksanakan. Proses mangirap tondi ini juga tidak harus menggunakan baju khusus atau peralatan khusus.

Pelaksanaan manghirap tondi ini dilakukan oleh ibu Rotua sendiri di rumahnya sendiri. Pada saat memanggil orang yang di perlukan untuk pulang kembali ke kampung halamannya Ibu Rotua sudah mendapatkan informasi


(72)

terlebih dahulu dari orang yang berkepentingan sehingga dalam memanggilnya Ibu Rotua sudah mengetahui untuk menyebutkannya dalam doa dan lagunya.

3.6 Alat Musik Yang Digunakan Dalam Ritual Manghirap Tondi

Dalam melaksanakan ritual manghirap tondi alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional batak toba yaitu Sordam Batak Toba seperti pada gambar berikut:

Gambar 3.22

Banyak masyarakat suku toba, yang mempercayai bahwa alat musik tersebut itu lebih cenderung bersifat sakral (magic) yang bisa memanggil arwah nenek moyang (leluhur), sehingga masyarakat tersebut meninggalkan kebudayaan ini. Hal ini yang membuat terjadinya perubahan kebudayaan, padahal kebudayaan


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Manghirap tondi adalah suatu ritual atau cara memanggil seseorang yang tidak tau alamat keberadaanya dan tidak pernah pulang ke kampung halamannya. Manghirap tondi dilakukan oleh Ibu Rotua Pardede yaitu seseorang yang dikenal sebagai salah seorang yang bisa melaksanakan ritual manghirap tondi ini di desa lintong nihuta bagasan, kecamatan Tampahan Balige. Manghirap Tondi dilakukan selama 7 hari 7 malam dengan menyajikan makanan yang biasa dimakan oleh anak yang akan dipanggil tersebut. Ritual manghirap tondi diiringi dengan sebuah alat musik tradisional Batak Toba yaitu Sordam yang disesuaikan dengan nada dari andung-andung manghirap tondi. Adapun eksistensi manghirap tondi saat ini

dimasyarakat Batak Toba khususnya di Desa Lintong Nihuta Bagasan Kecamatan

Tampahan Balige sudah mulai berkurang berhubung dengan adanya perkembangan alat dan tekhnologi saat ini. Ritual ini sudah sangat jarang dilaksanakan akan tetapi belum punah. Jika dilihat dari strukrur tekstual dan

musikal manghirap tondi bahwa dalam teks andung-andung tersebut terlihat

adanya sebuah harapan dan doa dari orang tua atau keluarga yang kehilangan anaknya. Dan dilihat dari struktur musikalnya yaitu bahwa musikal ritual ini termasuk jenis musik yang mengandung makna yang sangat mendalam terhadap kesedihan keluarganya yang merasakan kehilangan anaknya.


(2)

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwadalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, dengan rendah hati penulis menerima saran dan kritikan yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini. Untuk ritual manghirap tondi penulis menyarankan agar ritual tersebut dijaga dan dilestarikan karena sangat membantu masyarakat yang membutuhkannya. Serta dalam penggunaan alat musik yang digunakan supaya tetap dilestarikan karena alat musik sordam tersebut termasuk alat musik tradisional Batak

Toba yang sudah hampir punah. Penulis menyarankan kepada masyarakat

Batak Toba khususnya generasi muda untuk tetap mencintai budaya dan

tradisi yang ada dalam masyarakat Batak Toba serta memberikan perhatian


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Abdul Latiff Abu. 2006. Aplikasi Teori Semiotika dalam Seni Pertunjukan. Depdikbud, 2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta Balai Pustaka.

Departemen pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa

Erni Banjarnahor,. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Koentjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Mardalis. 2006. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi Aksara.

Malm. William P. 1977. Music Culture of the Pasific, the Near East, and Asia (terjemahan). Medan. Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (terjemahan Takari).

Masyarakat Batak Toba Di Desa Lintong Nihuta Bagasan Kecamatan Tampahan Mediana Hutasoit. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Nielson Sihombing.Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Kezia Purba. Skripsi Sarjana Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R&D. Bandung: www.ethnomusicology.org

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29774/4/Chapter%20II.pdf repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/41364/4/CHapter%20II.pdf


(4)

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Rotua Pardede

Umur : 72 tahun

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Pengalaman Seni : Penjahit, Guru, Tukang urut, Penyaji manghirap

Tondi

Alamat : Desa Lintongnihuta bagasan, Kec.Tampahan, Kab.

Tobasa

2. Nama : Amasohution Situmorang

Umur : 70 tahun

Pekerjan : Petani

Pengalaman Seni : Pemaian Sordam

Alamat : Desa Garantung, Kec. Simanindo, Kab. Samosir

3. Nama : Josua Siagian

Umur : 23 tahun

Pekerjaan : Mahasiswa

Pengalaman Seni : Pemain Band

Alamat : Jl.Patumbak Medan

4. Nama : Ganyong L. Simanjuntak

Umur : 43 tahun

Pekerjaan : Kontraktor

Pengalaman seni : Seni Beladiri

Alamat : Jakarta Timur

5. Nama : Purnama S. Sianturi S.E

Umur : 22 tahun

Pekerjaan : -

Pengalaman Seni : -


(5)

(6)

Lampiran Jumlah Tangga Nada Tangga Nada B

Tangga Nada C

Tangga Nada D

Tangga Nada E


Dokumen yang terkait

Analisis Tekstual Penyajian Andung Dalam Kematian Pada Masyarakat Toba Desa Sigumpar Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan

7 98 93

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

3 70 102

MAKNA TAMBAK BAGI ETNIS BATAK TOBA DI KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN.

1 5 24

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

2 2 11

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

0 0 1

Analisis Tekstual Dan Musikal Ende Marhaminjon Pada Masyarakat Batak Toba Di Desa Pandumaan Kecamatan Pollung Kabupaten Humbang Hasundutan

1 2 15

ANALISIS TEKSTUAL PENYAJIAN ANDUNG DALAM KEMATIAN PADA MASYARAKAT TOBA DESA SIGUMPAR KECAMATAN LINTONG NIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

0 0 84

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI ROTUA PARDEDE 2.1 Suku Batak Toba - Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

0 0 24

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

0 0 18

Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

0 0 12