SEBAMBANGAN (KAWIN LARI) DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DI KECAMATAN SUNGKAI UTARA KABUPATEN LAMPUNG UTARA

(1)

ABSTRAK

SEBAMBANGAN (KAWIN LARI) DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA

PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DI KECAMATAN SUNGKAI UTARA KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh RIKY FARIZAL

Sebambangan merupakan proses menuju perkawinan yang menjadi awal terbentuknya keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan antara muli (gadis) dan mekhanai (bujang) Lampung sesuai dengan kesepakatan keduanya. Pada dasarnya sebambangan merupakan adat-istiadat masyarakat adat Lampung yang memiliki tata tertib penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana penyelesaian hukum sebambangan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung.

Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif empiris, dengan tipe penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan cara wawancara kepada tokoh adat, pemerintah desa dan menyebarkan kuisioner, data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif.

Hasil penelitian mengenai sebambangan dan penyelesaiannya pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara yang menunjukkan bahwa faktor penyebab terjadinya sebambangan yaitu faktor internal (suka sama suka, faktor usia, faktor pendidikan) dan faktor eksternal (mendapatkan restu, menghindari biaya yang besar, terpaksa, muli sudah hamil diluar perkawinan yang sah). Sebambangan dilakukan melalui tahap pra-sebambangan yaitu negosiasi antara muli dan mekhanai, pelaksanaan sebambangan yaitu muli meninggalkan surat dan uang peninggalan (tengepik) yang kemudian muli dilarikan kerumah keluarga atau saudara mekhanai, serta pasca sebambangan yaitu proses penyelesainnya. Setelah sebambangan terjadi, maka akan diselesaikan dengan cara musyawarah sesuai tata tertib masyarakat


(2)

adat Lampung Sungkai dengan melewati tujuh tahap penyelesaian yang semuanya harus dilakukan yaitu Ngantak Salah, Sujud Perlop, Ngantak Daw, Izin Nikah, Nguruk Maju, Sujud, dan Ngantak Sansan. Adapun akibat hukum dari sebambangan terjadi pada subjek, berupa perubahan status anak bagi muli dan berubahnya status mekhanai dan muli dalam hukum adat, serta terjadi peralihan kekerabatan adat.

Kata Kunci : Sebambangan (Kawin Lari), Penyelesaian, Masyarakat adat Lampung Sungkai


(3)

SEBAMBANGAN (KAWIN LARI ) DAN PENYELESAIAN HUKUMNYA PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG DI KECAMATAN

SUNGKAI UTARA KABUPATEN LAMPUNG UTARA

Oleh Riky Farizal

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Riky Farizal, penulis dilahirkan pada tanggal 15 Mei 1994 di Gedung Batin. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara, dari pasangan A. Taruna dan Noverita.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Cindelaras pada tahun 1999, Sekolah Dasar di SDN 1 Gedung Batin pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Sungkai Utara pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Kotabumi pada tahun 2012.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2012 dan mendapatkan Beasiswa Bidik Misi. Selama menjadi mahasiswa penulis aktif mengikuti kegiatan seminar daerah maupun nasional dan organisasi yaitu Forum Silaturahim dan Studi Islam (FOSSI) sebagai Kepala Departemen Kaderisasi 2013/2014, Ketua Umum 2014/2015, Ketua BK BBQ 2015/2016, dan Ketua Bidang Kaderisasi HIMA PERDATA 2015/2016. Penulis pernah lulus seleksi Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Kepada Masyarakat pada tahun 2014/2015.


(7)

PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa puji dan syukur Kehadirat Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan kepada :

Kedua orangtuaku tercinta Bapak A. Taruna dan Ibu Noverita yang telah membesarkan dan mendidikku dengan penuh kesabaran, cinta dan kasih sayang,

yang setia mendengarkan keluh kesah seorang pejuang, serta selalu

mendo’akanku agar senantiasa diberikan kemudahan dan kelancaran dalam setiap langkahku dalam menggapai mimpi-mimpiku.

Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, barokah dan karunianya kepada kita semua di dunia dan akhirat. (Aamiin)


(8)

MOTO

“Berani Bermimpi-Man Jadda Wajada” (Riky Farizal)

“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar.

Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S Ali-Imran {3} : 104)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semuanya

itu akan diminta pertanggungjawabannya(Q.S Al-Isra’ {17} : 36)

“Wahai orang-orang yang beriman. Jika kamu menolong agama Allah, niscahya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”


(9)

SANWACANA

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah Barokallah, atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala keberkahan, nikmat, rahmat dan taufik serta hidayah-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul Sebambangan (Kawin Lari) dan Penyelesaian Hukumnya Pada Masyarakat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung

Utara” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan ilmu pengetahuan, bimbingan, dan masukan yang bersifat membangun dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H. M.Hum. Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

3. Ibu Aprilianti, S.H., M.H. Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;

4. Ibu Siti Nurhasanah, S.H., M.H. Dosen Pembimbing II yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan motivasi dan


(10)

5. Ibu Dr. Nunung Rodliyah, M.A. Dosen Pembahas I yang telah memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini;

6. Ibu Kasmawati, S.H., M.Hum. Dosen Pembahas II yang juga telah memberikan saran dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini;

7. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H. Pembimbing Akademik atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8. Bapak Dr. Hamzah, S.H., M.H., yang telah membimbing penulis dalam berorganisasi dan memotivasi penulis untuk mengikuti agenda tingkat nasional;

9. Ibu Dr. Yusnani Hasyimzum, S.H., M.Hum., yang telah memberikan banyak ilmu, masukan, motivasi, bimbingan dan nasihat kepada penulis dalam menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

10. Seluruh Bapak/Ibu dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, khusunya Bapak/Ibu Dosen Bagian Hukum Keperdataan Sumber Mata Air Ilmu yang penuh ketulusan, dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat dan motivasi bagi penulis, serta segala kemudahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi;

11. Seluruh guru TK Cindelaras, SDN 1 Gedung Batin, SMPN 3 Sungkai Utara, dan SMAN 2 Kotabumi. Terima kasih atas seluruh ilmu yang telah diberikan kepada penulis.


(11)

12. Bapak Prof. Jhon Hendri dan Ibu Aspitalaila, yang telah memberikan motivasi, dukungan, dan bantuannya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung;

13. Saudara-saudariku tercinta Ahmad Noventa dan Ana Faramita, yang selalu

memberikan dukungan, motivasi, dan do’a untuk kesuksesanku;

14. Ngator Sumbay, Gusti Tuan, Nenek Sri Kemala, Kakek Mansyur, Om Anuar Muhadad, S.Sos.dan Mami, Ayah Ratu dan Bunda, Pakcek dan Makcek, Paksu dan Maksu, Muda dan Manda, Biksu dan Pakcik, Papah Tuan, Tante, Bikcik, Lita, Pakminak, Umi, pakcek dan keluarga besarku yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan do’a dan dukungan serta motivasi untuk kesuksesanku;

15. Keponakanku tersayang Chika Prisilia Utama dan Adrian Nur Wahid serta saudara-saudaraku lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu memberikan do’a untuk kesuksesanku;

16. Adikku Ramadhani Lil Alamin, yang selalu memberikan do’a, dukungan, dan

motivasi untuk kesuksesanku serta selalu meluangkan waktu untuk senantiasa merajut ukhuwah Islamiyah dan memberikan banyak pelajaran tentang arti kasih sayang, ketulusan dan kesabaran;

17. Keluarga penulis di UKMF FOSSI Fakultas Hukum : Dwi Zaen Prasetyo, Kak Imam, Kak Didik, Mbak Fida, Mbak Nisa, Mbak Yuliana, Mbak Tria, Mbak Yunika, Ahmad Nur, Deka, Alfon, Sutiadi, Ocky, Gito, Raka, Diaz, Husen, Dewi, Utia, Bela, Ummu, Deska, Fauzul, Joko, Edius, Haves, Abdul, Riyadi, Ridwan, Supri, Mukti, Aria, Asta, Toha dan seluruh ADK FOSSI FH ikhwan dan akhwat yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih atas


(12)

18. Adik-adik Mujahid Muda Fossi 2015 : Hadiyan, Falamy, Kausar, Berliyansyah, Tauhid, Mujib, Sukma, Adriyansyah, Dikki, Abdul Ghani, Adit, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Adik-Adik praktikan BBQ Tahun 2013, 2014, serta 2015, terimakasih atas do’anya; 19. Keluarga penulis di FSLDK : Sholeh, Aang, Danu, Singgih, Rivaldi,

Al-Ayubi, Iqbal dan lainnya. HIMA PERDATA : Rahmi, Ratu, Listari, Nazyra, Desi, Fadil, Putu, Retno, Rohana, Avalisia, dan lainnya. Komunitas Pengusaha Kampus Writerpreuner Sumatera, Komunitas OASE Team, Komunitas Markaz Inspirasi, dan adik-adik Kosan, terimakasih atas kebersamaan selama ini;

20. Sahabat-sahabat terbaikku Heri Febriyanto (FP Unila), Febby Tri Ramadhanti (FKIP Unsri), Machfudzon Nurkholidzoh (FEB Unila), Wulantri (FKIP IAIN), Rahmawati Utami (FKIP UM Metro), Sadam Kusuma (Teknokrat), Deni Gustriani (Universitas Bakrie), yang terus memotivasi dan mendoakanku, semoga persahabatan kita akan kekal abadi;

21. Sahabat seperjuanganku di Fakultas Hukum : Rizki Ananda, Shabrina, Queen, Shinta, Oliv, Ratna dan seluruh sahabat angkatan 2012, serta sahabat seperjuangan Penerima Bidik Misi Angkatan III Fakultas Hukum Universitas Lampung;

22. Masyarakat Kampung Waytuba Kecamatan Gunung Labuhan Kabupaten Way Kanan dan teman-teman KKN : Kak Anjar, Kak Zain, Kak Akbar, Gilang, Adnan, Farid, Sunarti, Amanda, Mbak Fitri, Mbak Galuh, Mute,


(13)

Imah, Almira. Terimakasih atas kebersamaan selama 40 Hari semoga persaudaraan kita akan tetap terjaga;

23. Pak Marji, Pak Teguh, Pak Tarno, Babe, Bude Siti, Mas Jarwo dan seluruh Staf Fakultas Hukum Universitas Lampung khususnya staf bagian

keperdataan, terimakasih atas semua do’a, bantuan dan dukungannya;

24. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian skripsi ini : Perangkat Camat Sungkai Utara, Pemerintah Desa, Tokoh Adat, Bujang dan Gadis, serta Masyarakat Desa Gedung Batin, Kota Negara, dan Negara Batin, terimakasih atas seluruh bantuannya;

25. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua do’a, motivasi, bantuan, dan dukungannya;

26. Almamater Tercinta.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan Barokah, dunia dan akhirat khususnya bagi sumber mata air ilmuku, serta dilipat gandakan atas segala kebaikannya yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, 2016 Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ...v

MOTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

SANWACANA ... viii

DAFTAR ISI ... ix

I. PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang ...1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ...7

1. Permasalahan ...7

2. Ruang Lingkup ...7

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ...8

1. Tujuan Penelitian ...8

2. Kegunaan Penelitian ...9

II. TINJAUAN PUSTAKA ...10

A. Tinjauan Perkawinan Hukum Adat ...10

1. Tujuan Perkawinan ...11

2. Sahnya Perkawinan ...11

3. Asas Monogami dan Poligami ...12

4. Persetujuan ...13

5. Batas Usia ...13

6. Perjanjian Perkawinan ...14

7. Hak dan Kewajiban ...15


(15)

1. Perkawinan Jujur ...16

2. Perkawinan Semanda ...17

3. Perkawinan Bebas (Mandiri) ...18

4. Perkawinan Campuran ...19

5. Perkawinan Lari ...19

C. Hibal Muhibal dalam Adat Lampung Sungkai ...24

1. Nunggang (Hibal pengatu) ...25

2. Sebambangan ...26

3. Hibal Bambang Padang (Sebambangan Terang) ...26

4. Hibal Intar Padang ...27

5. Hibal Sereba atau Payu (Hibal Sereba Cukup) ...29

D. Masyarakat Hukum Adat ...30

1. Bentuk Masyarakat Hukum Adat ...31

a. Persekutuan Hukum Genealogis ...31

b. Persekutuan Hukum Teritorial ...32

c. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial ...33

d. Masyarakat Adat Keagamaan ...33

E. Konsep Penyelesaian ...34

1. Litigasi ...34

2. Non-Litigasi ...35

a. Arbitrase ...35

b. Mediasi ...36

c. Negosiasi ...37

d. Konsiliasi ...37

F. Akibat Hukum ...38

G. Gambaran Umum ...38

H. Kerangka Berpikir ...41

III. METODE PENELITIAN ...43

A. Jenis Penelitian ...43

B. Tipe Penelitian ...44


(16)

2. Sampel Penelitian ...45

E. Data dan Sumber Data ...46

F. Metode Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data ...46

G. Analisis Data ...47

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...49

A. Faktor Penyebab Terjadinya Sebambangan ...49

1. Faktor Internal ...50

a. Suka Sama Suka ...51

b. Faktor Usia ...52

c. Faktor Pendidikan ...57

2. Faktor Eksternal ...60

a. Memperoleh Restu ...60

b. Menghindari Biaya Yang Besar ...63

c. Terpaksa ...64

d. Muli Sudah Hamil Di Luar Perkawinan Yang Sah ...68

B. Proses Pelaksanaan Sebambangan...69

1. Pra-Sebambangan ...70

2. Pelaksanaan Sebambangan ...71

a. Muli Meninggalkan Surat Dan Uang Peninggalan ...71

b. Muli Dilarikan Ke Rumah Keluarga Bujang...73

3. Pasca Sebambangan ...73

C. Proses Penyelesaian Sebambangan ...74

1. Ngantak Salah (Pengundoran Senjata)...74

2. Sujud Perlop (Sujud Awal) ...77

3. Ngantak Daw (Nguperadu Daw) ...78

4. Izin Nikah (Suka Hukum) ...81

5. Nguruk Maju ...82

6. Sujud (Sungkem) ...83


(17)

D. Akibat hukum sebambangan ...88

1. Akibat Hukum Bagi Subjek (Bujang dan Gadis) ...88

2. Peralihan Kekerabatan ...92

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...93

A. Kesimpulan ...93

B. Saran ...95

DAFTAR PUSTAKA


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan gerbang terbentuknya keluarga dalam kehidupan masyarakat, bahkan kelangsungan hidup suatu masyarakat dijamin dalam dan oleh perkawinan.1 Setiap manusia memiliki hak untuk melangsungkan perkawinan sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 28B ayat (1) bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang selanjutnya disingkat UUP mendefinisikan Perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Pasal 2 ayat (1) UUP menentukan bahwa suatu perkawinan dianggap sah apabila perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Perkawinan adat adalah perkawinan yang bukan hanya sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan

1

Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Laksbang Yustitia, Surabaya, 2011, hlm. 14.


(19)

2

kekerabatan dan ketetanggaan.2 Jadi perkawinan dalam hukum adat bukan hanya sebatas hubungan keperdataan berupa hak dan kewajiban antara suami dan isteri, warisan, harta bersama, melainkan juga menyangkut hak-hak kekeluargaan, kekerabatan, hak dan kewajiban orangtua, ketetanggaan, dan hubungan-hubungan adat dan adat-istiadat kewarisan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Melihat suasana hukum di Indonesia sebagai negara yang kaya akan kebudayaan serta masih mengakui adanya hukum adat pasti memiliki keberagaman hukum adat yang masih dipertahankan dan terus dilestarikan, sebagaimana yang telah dijamin dalam Pasal 32 ayat (1) UUD 1945 bahwa negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya, maka masih terdapat masyarakat adat yang mempertahankan budaya atau hukumnya dalam segala aspek kehidupan termasuk pengaturan tentang hukum perkawinan. Setiap suku memiliki hukum adat perkawinan yang berbeda sesuai dengan ciri khas daerah dan sejarahnya masing-masing. Misalnya Suku Jawa, Papua, dan Batak yang memiliki tata cara atau hukum adat tersendiri dalam melaksanakan perkawinan, begitu pula dengan masyarakat adat Lampung.

Masyarakat adat Lampung merupakan masyarakat lingkungan hukum adat bagian wilayah Sumatera Selatan3 dengan kategori masyarakat hukum genealogis yaitu suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena

2

Ibid., hlm 8.

3

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 6.


(20)

hubungan darah atau secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat,4 dengan sistem Patrilinial yang merupakan sistem yang susunan masyarakatnya ditarik menurut garis keturunan bapak (garis laki-laki). Ini berarti dalam pelaksanaan hukum perkawinan pun harus mengikuti aturan dari garis bapak atau garis laki-laki yang biasanya disebut dengan mekhanai.5

Masyarakat adat Lampung yang terbagi dalam Lampung Saibatin dan Pepadun memiliki cara pelaksanaan hukum perkawinannya masing-masing, karena memang dalam adat Lampung pun masih memiliki keberagaman. Begitu pula dengan masyarakat hukum adat Lampung Sungkai yang memiliki hukum adat perkawinan sendiri. Akan tetapi, secara umum seluruh masyarakat adat Lampung memiliki suatu adat atau kebiasaan dalam perkawinan yang sudah ada sejak zaman dahulu yaitu hibal muhibal6 yang diantaranya adalah kawin lari atau biasa disebut dengan sebambangan.

Sebambangan merupakan salah satu adat masyarakat Lampung yang masih bertahan sampai saat ini. Sebambangan adalah awal atau cikal bakal terjadinya perkawinan antara gadis yang selanjutnya disebut muli7 dan bujang yang selanjutnya disebut mekhanai yang memiliki hubungan spesial dengan maksud ingin melangsungkan perkawinan, akan tetapi takut tidak mendapatkan restu dari orangtua serta keluarga dan adanya keinginan untuk mengikuti adat yang ada8 sehingga melaksanakan proses sebambangan. Proses sebambangan dilakukan

4

Ibid., hlm. 108.

5

Mekhanai adalah sebutan dalam Masyarakat adat Lampung terhadap laki-laki (Bujang).

6

Muhammad Hasan (Suntan Mangku Bumi), Makalah Hibal Muhibal Delom Adat Pernikahan Lampung Marga Bunga Mayang Sungkai, 2006, Bandar Lampung.

7

Muli adalah sebutan bagi seorang wanita (Gadis) dalam masyarakat adat Lampung.

8

Hasil dari kuisioner yang disebarkan kepada 50 Orang yang telah berkeluarga di Desa Gedung Batin pada hari Kamis, 18 Juni 2015.


(21)

4

dengan cara seorang mekhanai melarikan muli dan dibawa kerumah kediaman mekhanai atau kerumah sanak saudaranya yang dilakukan bukan dengan cara pemaksaan, melainkan atas persetujuan atau keinginan dari muli dan mekhanai dan diketahui oleh keluarga mekhanai.

Sebambangan dilakukan sesuai dengan janji antara muli dan mekhanai, saat sebambangan dilakukan muli meninggalkan surat dan uang peninggalan atau tengepik dengan jumlah sesuai permintaan dari muli, yang kemudian surat dan tengepik tersebut diletakkan di suatu tempat oleh si muli agar keluarganya dapat menemukan surat dan tengepik tersebut.

Setelah sebambangan dilakukan, untuk melaksanakan proses perkawinan maka harus melewati proses-proses tertentu yang telah diatur dalam hukum adat Lampung Sungkai. Dalam proses menuju perkawinan tersebut, tidak semuanya berjalan dengan lancar sesuai dengan keinginan. Misalnya seperti kasus yang terjadi pada masyarakat adat Lampung Sungkai, Pada Tahun 2010 seorang muli berinisial KS melakukan sebambangan dengan mekhanai pilihannya dengan meninggalkan surat dan uang peninggalan (tengepik) sebesar Rp1.200.000,00. Setelah pihak keluarga mengetahui bahwa KS telah melakukan sebambangan maka pihak keluarga menerima keputusan dari sang muli karena sebambangan merupakan adat dari keluarga (Masyarakat adat Lampung), beberapa tahapan penyelesaian pun sudah dilakukan, akan tetapi pada suatu malam kurang lebih dua minggu setelah sebambangan, si muli melarikan diri dari rumah mekhanai dan kembali ke rumah keluarganya (muli sampai dirumah keluarganya pada pagi hari). Pada saat itu, pihak keluarga muli langsung menerimanya. Namun, pihak


(22)

mekhanai menuntut dan ingin mengambil si muli tersebut untuk kembali ke rumah mekhanai. Akan tetapi si muli menolak dengan alasan orangtua mekhanai tidak setuju dan si muli memutuskan untuk tidak menikah dengan si mekhanai.

Sehingga perkawinan tidak dapat dilaksanakan”9

.

Apabila menemukan proses yang lancar seperti peristiwa yang mayoritas terjadi dalam masyarakat adat Lampung Sungkai yaitu pada tahun 2015, anak muli dari Bapak BD Gelar Raja Tunggal yang bernama PW (22 Tahun) melakukan sebambangan. Pada siang hari PW meminta izin kepada keluarga di rumah ingin pergi main bersama mekhanai atau kekasih hatinya (AD). Ternyata permohonan izin dari PW hanyalah alasan saja agar niatnya untuk sebambangan tidak diketahui oleh keluarga. Setelah sampai di rumah mekhanai, PW menghubungi istri dari kakaknya (RM) melalui pesan singkat untuk memberitahukan bahwa dirinya sudah sebambangan. Adapun surat dan uang peninggalannya sebesar Rp5.000.000,00 yang diletakkan PW di bawah kasur dalam kamarnya. Kemudian tiga hari setelah sebambangan proses penyelesaian mulai dilakukan, sehingga terhitung setengah bulan dari proses sebambangan, keduanya yaitu muli dan mekhanai dapat melangsungkan perkawinan seperti yang diharapkan (penyelesaian selesai dan sah menjadi suami istri).10

Berdasarkan gambaran kasus yang terjadi di lingkungan masyarakat tersebut, maka itu membuktikan bahwa hukum adat sebambangan masih dipertahankan oleh masyarakat, tanpa mempertimbangkan akan isu yang berkembang pada

9

Hasil wawancara dengan informan Bapak Suhendri Gelar Tuan Alamsyah Ratu selaku kakak kandung (wali) dari muli berinisial KS pada tanggal 18 Juni 2015 pukul 14.45 Wib.

10

Hasil wawancara dengan informan Bapak Badri Gelar Raja Tunggal selaku orangtua Purwanti pada tanggal 18 Juni 2015 pukul 17.40 Wib.


(23)

6

masyarakat pada umumnya yang seakan menegaskan bahwa sebambangan merupakan suatu hukum adat perkawinan yang tidak memiliki etika11 (nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat)12, dikarenakan sebambangan dilakukan semata untuk menghindari biaya yang mahal ketika melangsungkan perkawinan atau bahkan isu negatif bahwa sebambangan dilakukan karena gadis sudah hamil diluar pernikahan yang sah.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sungkai Utara yang terdiri dar 15 Desa13 dengan mengambil sampel tiga desa yaitu Desa Gedung Batin, Desa Negara Batin, dan Desa Kota Negara dengan jumlah 50 Pasang suami isteri atau kepala keluarga (KK). Pada desa-desa tersebut masih terjadi sebambangan yaitu sekitar sembilan puluh persen14 dengan rincian persentase terjadi sebambangan:

Nama Desa

KK yang melakukan

sebambangan

Sampel Persentase (%)

Gedung Batin 80 15 Pasang 30%

Negara Batin 81 15 Pasang 30%

Kota Negara 50 20 Pasang 40%

Sumber : Hasil wawancara kepada Tokoh Adat dan Sekretaris Desa pada Lokasi Penelitian pada 24-26 Oktober 2015.

11

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1998), etika dirumuskan dalam tiga arti yaitu (1) ilmu tentang apa yan baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak, (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. (Dikutip oleh Abdulkadir Muhammad, 2014, Etika Profesi Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 13).

12

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm. 119-120 13

Lampungutarakab.bps.go. id. LinkTabelStatis/view/id/3. Diakses pada hari Kamis, 11 Februari 2016, Pukul 20.00 Wib.

14

Hasil wawancara kepada tokoh adat dan sekretaris desa di lokasi penelitian pada tanggal 24-26 Oktober 2015.


(24)

Berdasarkan data di atas, bahwa pada tiga desa tersebut diatas memiliki latar belakang adat-istiadat yang masih cukup kental dan masyarakat setempat berusaha untuk melestarikannya dibandingkan desa lainnya. Pada Desa Gedung Batin terdiri dari delapan kepala keluarga yang melangsungkan sebambangan dan diambil lima belas pasang sebagai sampel dari lima puluh pasang sampel yaitu sebesar tiga puluh persen. Selanjutnya Desa Negara Batin terdiri atas delapan puluh satu kepala keluarga yang melakukan sebambangan dan dambil lima belas pasang sebagai sampel dar lima puluh pasang sampel yaitu tiga puluh persen. Sedangkan Desa Kota Negara terdiri dari lima puluh kepala keluarga yang melakukan sebambangan dan diambil dua puluh sampel yaitu empat puluh persen. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti hukum adat perkawinan masyarakat adat Lampung Sungkai dengan judul

Sebambangan (Kawin Lari) dan Penyelesaian Hukumnya Pada Masyarakat Adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah :

Bagaimanakah penyelesaian hukum sebambangan (kawin lari) pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu dalam penelitian ini adalah hukum keperdataan dengan spesifikasi hukum adat. Lingkup penelitian ini adalah hukum adat dalam


(25)

8

hukum keluarga yang di dalamnya membahas tentang hukum perkawinan masyarakat Lampung khususnya di Desa Gedung Batin, Negara Batin, dan Kota Negara yang dikenal dengan istilah sebambangan dengan pokok bahasan yaitu faktor penyebab terjadinya sebambangan, proses pelaksanaan sebambangan, proses penyelesaian sebambangan, dan akibat hukum sebambangan.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

a. Memahami dan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya sebambangan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara.

b. Memahami proses pelaksanaan sebambangan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara.

c. Memahami proses penyelesaiannya sebambangan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara.

d. Memahami dan menganalisis akibat hukum sebambangan pada masyarakat adat Lampung di Kecamatan Sungkai Utara Kabupaten Lampung Utara.


(26)

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan teoritis karya tulis atau skripsi ini dapat digunakan sebagai bahan kajian dan acuan untuk mengembangkan wawasan terutama hukum adat lebih khususnya hukum adat perkawinan masyarakat adat Lampung Sungkai.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis karya tulis atau skripsi ini adalah untuk :

1. memperluas wawasan penulis dalam lingkup hukum adat khususnya hukum adat Lampung Sungkai dalam bidang hukum keluarga yaitu hukum perkawinan masyarakat adat Lampung Sungkai;

2. sebagai bahan informasi bagi masyarakat, akademisi, dan kalangan birokrat pemerintahan yang ada kaitannya dengan hukum adat;

3. referensi bahan bacaan dan sebagai sumber data atau acuan bagi peneliti yang berhubungan dengan hukum adat, khususnya hukum adat perkawinan masyarakat adat Lampung Sungkai.


(27)

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Perkawinan Hukum Adat

Perkawinan menurut Ter Haar1 adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi. Hal ini berarti bahwa perihal perkawinan merupakan urusan yang memiliki ikatan atau hubungan dengan masyarakat, martabat serta urusan pribadi, bukan hanya sebatas urusan antar pribadi yang saling mengikatkan diri dalam hubungan yang sah yaitu perkawinan. Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku bagi masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan

adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan

anak-anak, bujang-muli) dan “rasan tuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami, istri)2. Dengan demikian, menurut hukum adat perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata-susunan masyarakat yang bersangkutan.3

Proses pelaksanaan perkawinan harus sesuai dengan rukun dan syarat yang telah diatur menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Akan tetapi dalam hukum

1

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Alumni, Bandung 1983. hlm. 22.

2

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 8.

3


(28)

adat terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip dalam perkawinan yang merupakan hukum dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.4 Adapun asas perkawinan adat yaitu :

1. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan.5 Sedangkan menurut UUP tujuan perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.6

Dengan demikian, tujuan perkawinan menurut hukum adat bukan hanya semata untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia yang merupakan tujuan pribadi antara laki-laki dan, akan tetapi untuk kebahagian dua keluarga besar dan bahkan tetangga serta untuk mempertahankan hukum adat keluarga. Oleh karena itu, tujuan perkawinan adat sangatlah kompleks karena tidak hanya mengedepankan kebahagiaan saja, akan tetapi untuk mempertahankan hukum adat dalam keluarga.

2. Sahnya Perkawinan

Sahnya perkawinan menurut hukum adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang

4

Sudarsono, Op.Cit, hlm. 37.

5

Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm. 22.

6

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,


(29)

12

dianut masyarakat adat bersangkutan.7 Hanya saja meskipun sudah sah menurut agama yang dianut masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari masyarakat adat bersangkutan.

Hal ini sesuai dengan ketentuan UUD yang memberikan kebebasan untuk melanjutkan keluarga yang sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing serta sesuai dengan ketentuan UUP yang mengaskan bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila sesuai dengan ketentuan agama dan kepercayaan. Dengan demikian sahnya perkawinan menurut agama atau kepercayaan tetap menjadi tolok ukur yang utama.

3. Asas Monogami dan Poligami

Pada dasarnya, dalam masyarakat adat secara umum mengenal adanya asas monogami yaitu seorang laki-laki hanya menikah dengan satu perempuan. Akan tetapi dalam hukum adat dikenal adanya poligami yang terjadi pada raja-raja adat dahulu. Menurut hukum adat lokal di kalangan orang-orang pepadun di Lampung, yang juga nampak di daerah-daerah lain di Indonesia, para isteri raja adat itu mempunyai kedudukan yang berbeda-beda, tergantung asal-usul dari mana wanita yang diperisteri itu.8

Meskipun dalam hukum adat mengenal adanya poligami sebagaimana yang terjadi pada raja terdahulu, akan tetapi hal tersebut tidak terjadi pada masyarakat adat Lampung saat ini. Saat ini masyarakat adat sudah mengedepankan asas monogami sebagaimana yang diatur di dalam UUP yaitu bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri.

7

Ibid., hlm. 26.

8


(30)

Dengan demikian, dalam hukum adat tetap mengedepankan asas monogami dengan poligami sebagai pengecualian sesuai dengan ketentuan peraturan nasional yang berlaku.

4. Persetujuan

Menurut hukum adat, setiap pribadi sudah dewasa tidak bebas menyatakan kehendaknya untuk melakukan perkawinan, tanpa persetujuan orang tua atau kerabatnya.9 Hal tersebut sejalan dengan ketentuan UUP yang mengatur bahwa setiap perkawinan yang dilakukan harus berdasarkan atas persetujuan calon mempelai. Di lingkungan masyarakat adat perkawinan yang akan dilangsungkan dapat terjadi berdasarkan peminangan dan persetujuan orang tua/wali/kerabat kedua pihak (Lampung, rasan tua), dan atau terjadi berdasarkan pacaran (Lampung, bekehaga) dan persetujuan bujang muli (Lampung, rasan sanak), dan atau dari rasan sanak meningkat pada rasan tua.

Dengan demikian, dalam pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat harus mendapatkan persetujuan dari orangtua serta keluarga besar. Karena pada dasarnya perkawinan bukan hanya perikatan antara laki-laki dan perempuan melainkan perikatan dua keluarga.

5. Batas Usia

Hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas usia untuk melangsungkan perkawinan.10 Hal mana berarti hukum adat membolehkan perkawinan semua umur. Akan tetapi, hal tersebut tidak menutup kemungkinan menimbulkan perbedaan antara masyarakat adat patrilinial,

9

Ibid., hlm. 43.

10


(31)

14

matrilinial, dan parental. Hal tersbut terjadi dikarenakan laki-laki dan perempuan yang memiliki status sebagai seorang anak tidak memiliki wewenang untuk menentukan jodoh atau pendamping hidupnya.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan hukum adat bahwa batas usia bukanlah menjadi asas mutlak sebagai syarat melangsungkan perkawinan. Adapun yang menjadi tolok ukur melangsungkan perkawinan adalah baligh secara biologis. Oleh karena itu, bukanlah suatu hal yang aneh apabila zaman dahulu banyak masyarakat adat yang menikah ada usia yang terbilang sangat dini. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan UUP yang menentukan batas usia minimal untuk melangsungkan perkawinan yaitu bagi pria yang telah mencapai usia 19 tahun dan wanita berusia 16 tahun.

6. Perjanjian Perkawinan

Perjanjian yang dilakukan sebelum atau pada waktu perkawinan berlaku dalam hukum adat, bukan saja antara kedua calon mempelai tetapi juga termasuk keluarga/kerabat mereka.11 Hal ini menegaskan bahwa dalam hukum adat terdapat kebebasan kepada siapa pun untuk melakukan perjanjian dalam perkawinan. Pada umumnya, perjanjian yang dibuat dalam hukum adat merupakan perjanjian lisan atau tidak tertulis, tetapi diumumkan di hadapan para anggota kerabat tetangga yang hadir dalam upacara perkawinan.12 Dengan demikian perjanjian dalam hukum adat dibuat berdasarkan asas kepercayaan.

11

Ibid., hlm. 54.

12


(32)

7. Hak dan Kewajiban

Menurut hukum adat pada umumnya yang berlaku dalam masyarakat bangsa Indonesia, baik dalam masyarakat kekerabatan bilateral maupun multilateral (patrilinial dan matrilinial) ataupun yang beralih-alih, kewajiban untuk menegakkan keluarga atau rumah tangga (suami-isteri) bukan semata-mata menjadi kewajiban dan tanggungjawab dari suami isteri itu sendiri.13 Hal tersebut dikarenakan masih terdapat tanggung jawab dan kewajiban moral orang tua dan kerabat, walaupun sifatnya immaterial dan tidak langsung berupa perhatian dan pengawasan.14

Dengan demikian hak dan kewajiban dalam membangun rumah tangga yang sesuai dengan tujuan hukum adat maupun hukum nasional bukan semata tanggung jawab suami dan isteri melainkan tanggung jawab dua keluarga. Selain itu, sebagai suami dan isteri keduanya memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk saling menghormati, cinta mencintai, setia dan memberi bantuan lahir dan batin. Oleh karena itu, suami dan isteri sejatinya memiliki hak dan kewajiban yang sama atau kedudukan keduanya adalah sama, tidak ada diskriminasi diantara keduanya.

B. Bentuk dan Tujuan Perkawinan Hukum Adat

Menurut hukum adat di Indonesia, perkawinan itu dapat berbentuk dan bersistem perkawinan jujur, perkawinan semanda, perkawinan bebas ataupun bentuk perkawinan lainnya. Perkawinan adat merupakan perihal yang tidak terlepas dari hukum perkawinan adat, dimana hukum perkawinan adat diartikan sebagai

13

Ibid., hlm. 104.

14


(33)

16

aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.

Terdapat banyak aturan-aturan perkawinan adat di Indonesia yang sesuai dengan latar belakang masyarakat dan daerahnya masing-masing. Di Indonesia sudah terdapat pengaturan tentang perkawinan secara Nasional yaitu UUP. Akan tetapi dalam perkembangannya, di berbagai daerah masih memberlakukan hukum adat perkawinan, karena memang dalam UUP hanya diatur masalah perkawinan secara umum saja. Melihat suasana hukum adat di Indonesia, yaitu dalam masyarakat adat Patrilinial, Matrilinial, dan Parental terdapat bentuk-bentuk perkawinan adat yang masih berlaku dan dipertahankan, diantaranya adalah :15

1. Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur atau jelasnya perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang (barang) jujur, pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat yang mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki) seperti masyarakat Bayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan Maluku. Pemberian uang atau barang jujur (Bayo : unjuk, Batak : boli, tuhor, paranjuk, pangoli, Nias : beuli niha, Lampung : segreh, seroh, daw adat, Timor-Sawu : belis, wellie, Maluku : beli, wilin) dilakukan oleh pihak kerabat (marga, suku) calon suami kepada pihak kerabat calon isteri, sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum suaminya. Hal ini berarti setelah dilakukannya perkawinan

15

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 183-190.


(34)

maka isteri tunduk dan patuh terhadap aturan hukum adat suaminya. Ini berarti dalam konsep perkawinan jujur yaitu adanya suatu perpindahan kewargaan adat.

Pada umumnya, dalam perkawinan jujur berlaku adat “pantang-cerai”, sehingga

senang atau susah selama hidupnya isteri dalam menjalani rumah tangga harus menahan dan tidak boleh melakukan perceraian, hal ini sejalan dengan asas yang terdapat di dalam UUP sehingga tujuan perkawinan dapat tercapai. Akan tetapi ada yang harus dipahami dalam konteks perkawinan jujur, bahwa perkawinan jujur bukanlah mas kawin menurut hukum Islam, karena uang jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan kepada tua-tua kerabat (marga/suku) pihak wanita, sedangkan mas kawin adalah kewajiban agama ketika dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk mempelai wanita (pribadi). 2. Perkawinan Semanda

Perkawinan semanda pada umunya berlaku di lingkungan masyarakat adat matrilinial yaitu mengambil garis ibu sedangkan garis ayah dikesampingkan. Perkawinan semanda merupakan kebalikan dari perkawinan jujur, dimana calon mempelai pria dan kerabatnya tidak memberikan uang jujur kepada pihak wanita, melainkan pihak wanita melakukan pelamaran kepada pihak pria. Oleh karena itu, dalam perkawinan semanda setelah perkawinan berlangsung maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda yang berlaku, apakah perkawinan semanda dalam


(35)

18

bentuk “semanda raja-raja”, “semanda lepas”, “semanda bebas”, “semanda nunggu”, “semanda ngangkit”, “Semanda anak dagang”.16

Pada umumnya, dalam perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri yang lebih

berperan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah “nginjam jago

(meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung jawab dalam keluarga atau rumah tangga.

3. Perkawinan Bebas (Mandiri)

Pada umumnya bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri berlaku di lingkungan masyarakat adat yang bersifat parental (orang tua), seperti pada masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi. Dimana keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga atau rumah tangga.

Bentuk perkawinan mandiri ini merupakan perkawinan yang dikehendaki oleh peraturan nasional yang berlaku di Indonesia yaitu UUP bahwa kedudukan dan hak suami dan isteri berimbang atau sama, suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Perkawinan adat dalam bentuk mandiri ini, setelah berlangsungnya perkawinan maka suami dan isteri akan memisahkan diri dari keluarga atau kerabat masing-masing, serta membangun keluarga atau rumah tangga masing-masing. Sedangkan orang tua atau kerabat hanya memberikan bekal (sangu) untuk kelanjutan rumah tangga mereka.

16


(36)

4. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran dalam arti hukum adat adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan isteri yang berbeda suku bangsa, adat budaya, dan/atau berbeda agama yang dianut. Sedangkan dalam UUP yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan kewarganegaraan. Terjadinya perkawinan campuran ini akan menyebabkan masalah hukum antara tata hukum adat dan/atau hukum agama, yaitu hukum mana dan hukum apa yang akan diperlakukan dalam pelaksanaan perkawinan itu. Akan tetapi dalam perkembangannya hukum adat setempat memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga perkawinan campuran dapat dilaksanakan. Pada dasarnya perkawinan campuran bukan hanya sebatas perbedaan kewarganegaraan sebagaimana yang didefiniskan dalam UUP, karena perbedaan suku pun menjadi perkawinan campuran seperti suku Lampung menikah dengan suku Jawa, dengan catatan memiliki kepercayaan yang sama baik sejak lahir maupun sebelum perkawinan dilakukan (mualaf).

5. Perkawinan Lari

Perkawinan lari sering terjadi pada tatanan garis keturunan ayah pada umumnya dan wilayah-wilayah parental17 seperti masyarakat adat Lampung, Batak, Bali, Bugis/Makasar, dan Maluku. Meskipun perkawinan lari merupakan pelanggaran adat, akan tetapi dalam lingkungan masyarakat adat tersebut terdapat tata-tertib cara menyelesaikannya. Sesungguhnya perkawinan lari bukanlah bentuk

17

Mr. B. Ter Haar Baz (Disunting oleh Bambang Danu Nugroho), Asas-asas dan Tatanan Hukum Adat, Mandar Maju, bandung, 2011, hlm. 140.


(37)

20

perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran.18 Oleh karena dari kejadian perkawinan lari itu dapat berlaku bentuk perkawinan jujur, semanda atau bebas (mandiri), tergantung pada keadaan dan perundingan kedua pihak.

Sistem perkawinan lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari paksaan. Perkawinan lari bersama yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah vlucht-huwelijk, wegloop-luwelijk, Batak : mangalawa, Sumatera Selatan : belarian, Bengkulu : selarian, Lampung : Sebambangan, metudau, nakat, cakak lakei, Bali : ngerorod, merangkat, Bugis : silariang, Ambon : lari bini19 yaitu perbuatan berlarian untuk melaksanakan perkawinan atas persetujuan si muli. Cara melakukan berlarian tersebut ialah bujang muli sepakat melakukan kawin lari dan pada waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama, atau si muli secara diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau si muli datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang yang segala sesuatunya berjalan menurut tata-tertib adat berlarian. Akan tetapi, pada masyarakat adat Lampung sangat jarang terjadi seorang muli yang datang sendiri ke rumah pria, jika hal tersebut terjadi maka terdapat keadaan yang tidak baik bagi si muli (hamil di luar perkawinan yang sah).

Pada dasarnya perkawinan lari terjadi atas kesepakatan antara bujang dan muli, akan tetapi terdapat pengecualian bagi perkawinan lari paksaan (Belanda : Schaak-huwelijk, Lampung : Dibembangkan, ditekep, ditenggang, ditunggang, Bali : Melegandang) adalah perbuatan melarikan muli dengan akal tipu, atau

18

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Op.Cit., hlm. 189.

19


(38)

dengan paksaan atau kekerasan, tidak atas persetujuan si muli dan tidak menurut tata tertib adat berlarian.20

Pada masyarakat Ambon kawin lari adalah cara untuk melangsungkan perkawinan yang lazim. Hal ini disebabkan terutama karena Ambon umumnya lebih suka menempuh jalan pintas, suatu cara untuk menghadapi prosedur perundngan dan upacara. Proses kawin lari pada masyarakat Ambon dilakukan dengan cara pemuda dengan teman atau saudaranya membawa lari si gadis dari kamarnya pada malam hari dengan membawa pakaian dan perlengkapannnya. Biasanya diatas tempat tidur si gadis diletakkan sebuah amplop putih panjang yang berisi surat untuk orang tua si gadis yang memberitahukan bahwa anak gadisnya dilarikan.21

Sedangkan pada masyarakat Batak dikenal adanya kawin lari yang disebut mangalawa. Hal ini terjadi karena misalnya tidak ada persesuaian antara salah satu atau kedua belah pihak kaum kerabat. Pada kawin lari seperti ini, dalam waktu kurang dari satu hari, kaum kerabat laki-laki harus mengirimkan delegasi ke rumah orang tua si gadis untuk memberitahukan bahwa anak gadisnya telah dibawa dengan maksud untuk dikawini (Toba : dipraja). Selang beberapa waktu lamanya, akan diadakan upacara manuruk-nuruk untuk meminta maaf. Setelah upacara menuruk-nuruk dilakukan, barulah disusul oleh upacara perkawinan.22

Koentjaraningrat menyatakan bahwa pada masyarakat flores khususnya masyarakat Manggarai dikenal pula istilah kawin lari atau biasa disebut kawin

20

Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm. 183.

21

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, RajaGrafindo Persada, jakarta, 2012, hlm. 227-228.

22


(39)

22

rok. Perkawinan ini sering dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tidak mau atau tidak mampu membayar mas kawin (Pacca) yang tinggi.23

Sayuti Thalib24 menegaskan bahwa perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu :

a. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Dipandang dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian dengan alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu perjanjian ialah karena adanya :

1) Cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. 2) Cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah

diatur sebelumnya yaitu dengan prosedur talaq, kemungkinan fasakh, syiqaq dan sebagainya.

b. Segi sosial dari suatu perkawinan

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum ialah bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

c. Pandangan perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting. Dalam agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.

Menurut agama secara umum25, perkawinan diartikan sebagai perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi

23

Ibid., hlm. 228.

24


(40)

perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Berdasarkan pengertian perkawinan tersebut, maka terdapat penggabungan antara pengertian perkawinan menurut UUP dan hukum adat yaitu perkawinan merupakan perikatan (ikatan keluarga, ikatan ketetanggaan, ikatan lahir batin) yang dibuat oleh pria dan wanita untuk mencapai kebahagiaan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan berdasarkan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing.

Setiap perbuatan yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai, begitu pula dengan perkawinan yang dilakukan memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai. Pasal 1 UUP menyatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawadah, dan warohmah.

Bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan, tujuan perkawinan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, serta untuk mempertahankan kewarisan.26 Dengan demikian maka tujuan perkawinan menurut hukum adat pastilah berbeda-beda antar suku bangsa satu dengan suku lainnya.

25

Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm. 10.

26


(41)

24

Pada masyarakat kekerabatan patrilinial, perkawinan dilakukan dengan tujuan mempertahankan garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan membayar uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut (masuk) dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam suasana kekerabatan bapaknya. Hal ini berbeda dengan masyarakat yang menganut kekerabatan matrilinial, dimana perkawinan bertujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil suami (semanda) dimana setelah terjadinya perkawinan suami ikut (masuk) dalam kekerabatan isteri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.27 Tujuan perkawinan untuk mempertahankan keturunan itu masih bertahan sampai saat ini, kecuali masyarakat adat dengan kekerabatan parental, dimana ikatan kekerabatannya sudah lemah. Oleh karena itu, secara keseluruhan perkawinan dilakukan semata-mata untuk mencapai kebahagiaan yang kekal dan abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mempertimbangkan kelestarian hukum adat.

C. Hibal Muhibal Dalam Adat Lampung Sungkai

Hibal Muhibal adalah proses atau tata cara yang pertama kali dilakukan pada saat akan melangsungkan perkawinan dengan konsep diambil-mengambil atau hibal muhibal dapat disamakan dengan proses pelamaran. Konsep ambil-mengambil merupakan konsep dasar dalam hibal muhibal, diambil berlaku bagi muli dan mengambil berlaku bagi mekhanai.

27


(42)

Acara adat mengambil (ngakuk) muli dapat dibedakan berdasarkan proses awal kejadian dan tingkatan upacara, yaitu : 28

1. Menurut Suntan Raja Hukum (Hi. Umar Jaya) hibal muhibal dibagi menjadi lima, yaitu :

a. Nunggang (Hibal Pengatu)

Nunggang atau kadang disebut dengan istilah hibal pengatu (mengambil muli secara paksa) merupakan salah satu cara masyarakat adat Lampung untuk melangsungan perkawinan yang biasanya terjadi dikarenakan muli makkung haga baibai atau muli sangun mak suka jama mekhanai sina (Gadis belum menginginkan untuk menikah atau muli memang tidak menyukai mekhanai tersebut). Nunggang atau hibal pengatu dalam masyarakat adat Lampung Sungkai merupakan salah satu pelanggaran yang dikenal dengan istilah ILA-ILA 4 dan harus dihindari atau apabila nunggang terjadi maka akan dikenakan denda, karena pada dasarnya nunggang merupakan suatu proses pemaksaan terhadap muli untuk menikah dengan mekhanai yang tidak disukainya akan tetapi mekhanai sangat berharap menikah dengan muli dan orangtua mekhanai setuju29 sehingga dilakukan pemaksaan. Hal ini merupakan suatu perbuatan yang dapat mengarah ke jalaur hukum, akan tetapi dalam masyarakat adat Lampung setiap pelanggaran adat memiliki tata tertib penyelesaiannya tersendiri dengan mengedepankan musyawarah dan mufakat.

28

Panduan Masyarakat Adat Lampung Sungkai (Muhammad Hasan (Suntan Mangku Bumi), Hibal Muhibal Delom Adat Pernikahan Lampung Marga Bunga Mayang Sungkai, 2006, Bandar Lampung.

29

Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh adat (Imam Sumantri, Gelar Suntan Ria Pengulihan) Pada Hari Sabtu, tanggal 24 Oktober 2015.


(43)

26

Setelah muli ditunggang dan dibawa ke rumah mekhanai atau kerabat pihak laki-laki maka keluarga besar mekhanai akan bermusyawarah untuk menyelesaikannya dengan tujuan mencari solusi terbaik. Adapun penyelesaiannya sama dengan proses penyelesaian pada sebambangan dan hibal bambang padang.

b. Sebambangan

Sebambangan merupakan pokok bahasan dalam penelitian ini. dimana sebambangan adalah suatu proses mekhanai dan muli untuk melakukan perkawinan. Sebambangan dilakukan oleh mekhanai dan muli yang sudah memiliki hubungan spesial dan memiliki janji sebelumnya untuk melakukan sebambangan dengan cara gadis meninggalkan surat dan uang peninggalan sebagai tanda bahwa si muli telah melakukan sebambangan. Sama halnya dengan nunggang, sebambangan juga memiliki tata cara atau tata tertib penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di masyarakat.

c. Hibal Bambang Padang (SebambanganTerang)

Hibal bambang padang atau lebih dikenal dengan istilah intar terang merupakan proses menuju perkawinan yang dilakukan dengan cara dan syarat sebagai berikut :30

1. Ngantak sarana nginum yaitu proses mengantarkan sarana minum kepada pihak wanita.

30


(44)

2. Keluarga ridik mekhanai (hulun tuha, nakbai, kelama) nyungsung anak muli tian sai pelaksanaanni dibingi, ini berarti bahwa keluarga bujang menjemput gadis di kediamannya pada waktu malam hari. 3. Pelaksanaan hibal, yaitu poses pelaksanaan hibal bambang padang. Adapun yang menjadi penyebab terjadinya hibal bambang padang adalah :31

1. Urung ninjuk pelaksanaanni diganti jama intar terang, yaitu suatu peristiwa dimana tidak jadi sebambangan dan diganti dengan sebambangan terang.

2. Pertimbangan biaya, yaitu pertimbangan biaya yang menjadi salah satu faktor pelaksanaan sebambangan terang.

Pada hakikatnya sebambangan terang hampir sama dengan sebambangan, akan tetapi yang membedakannya adalah pada sebambangan keluarga muli tidak mengetahui bahwa muli telah melakukan sebambangan, sedangkan sebambangan terang muli dilepas oleh keluarga ketika melakukan sebambangan. Hal itulah yang menyebabkan istilah yang digunakan adalah sebambangan terang yang berarti muli melakukan sebambangan dengan dilepas atau disaksikan langsung oleh orang tua dan keluarga muli.

d. Hibal Intar Padang

Hibal intar padang merupakan proses yang diawali dengan izin keluarga kedua belah pihak yang dijodohkan oleh keluarga. Selain itu, terdapat

31


(45)

28

pula yang disebut dengan balin intar yaitu muli yang sudah melakukan sebambangan kemudian dikembalikan kembali dan saat itu belum menjadi intar padang, secara umum pelaksanaan perkawinan melalui proses intar padang selalu dilakukan di tempat muli (di kediaman gadis). Adapun syarat pelaksanaan intar padang yaitu :

1. Mak ngedok ya zat menyangkut kebatinan, sapa juga jak Lampung dapok Intar Padang (tidak ada hal yang menyangkut kebatinan, siapa saja orang Lampung dapat melakukan intar padang). Ini menekankan bahwa dalam pelaksanaan intar padang bukan untuk golongan atau tingkatan tahta tertentu, melainkan siapa saja (masyarakat Lampung) dapat melakukan intar padang.

2. Atas persetujuan kedua belah pihak, yang merupakan bagian terpenting dalam setiap perbuatan hukum yaitu adanya kesepakatan antara kedua belah pihak.

3. Masalah sua mengan mak makai kerbau dapok (Masalah lauk makan tidak menggunakan kerbaupun bisa). ini berarti bahwa intar padang dapat dilakukan meskipun dengan tidak memotong kerbau.

Pada dasarnya, intar padang merupakan suatu proses lamaran yang langsung melibatkan orang tua kedua belah pihak, sehingga memungkinkan adanya persyaratan yang diajukan oleh orang tua gadis kepada orang tua bujang. Dengan demikian, kesepakatan melakukan intar padang bukan semata atas kesepakatan bujang dan gadis, malainkan kesepakatan dua keluarga. Sehingga biaya yang dibutuhkan lebih besar dibandingkan dengan sebambangan (ninjuk).


(46)

e. Hibal Sereba atau Payu (Hibal Serba Cukup)

Hibal sereba atau payu merupakan hibal yang paling tinggi tingkatannya diantara semua hibal, dikarenakan proses gawi dilakukan di dua tempat yaitu di kediaman bujang dan gadis. Secara harfiah, sereba memiliki makna serba yang menekankan bahwa hibal sereba menggambarkan suatu keadaan yang serba ada atau berkecukupan sehingga dapat melakukan gawi di dua tempat. Dibandingkan dengan hibal muhibal lainnya, hibal sereba atau payu adalah hibal yang memakan biaya paling tinggi.

Adapun syarat-syarat hibal payu, yaitu :

1. Hulun tuha muli paling cutik radu gawi Ngini Padu Bicara, lebih helau amun kak radu nyuntan, mesol kerbau hurik.(Orang tua gadis paling tidak sudah melaksanakan gawi, lebih baik lagi kalau sudah bergelar suntan dan memotong kerbau hidup)

2. Muli ni, hejong suku muli, (anak penyambut) helau ni tuha muli (anak punyimbang). (Gadisnya duduk suku gadis (anak penyambut), lebih bagus anak gadis tertua).

3. Sai ragah radu gawi Ngeruyang-ruyang, sai sebai radu serak-sepi (Kedudukan bujang dan gadis sudah melakukan gawi sanak-sanak (anak-anak) yang ditentukan dalam hukum adat).

4. Negak Kayuwara yaitu batang pinang yang memiliki buah berupa alat perlengkapan rumah tangga yang sederhana ataupun lainnya sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat adat Lampung Sungkai.


(47)

30

5. Turun-temurun mak pernah ngulanggar ILA-ILA, atau turun hibal bakbai yang memiliki makna bahwa dalam garis keturunan tidak pernah mendapatkan sanksi adat.

2. Menurut Suntan Mangku Alam (Akhmad Sufinur), hibal muhibal dibagi menjadi empat, yaitu :32

a. Sebambangan

b. Hibal Bambang Padang (Sebambangan terang diwaktu dibingi) c. Hibal Intar Padang

d. Hibal Sereba atau Payu (Hibal serba cukup)

D. Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok masyarakat yang tetap dan teratur dengan mempunyai kekuasaan sendiri dan kekayaan sendiri baik yang berwujud maupun tidak berwujud.33 Susunan dan bentuk seluruh anggota persekutuan masyarakat tersebut terikat atas faktor yang bersifat territorial dan genealogis.

Secara teoritis pembentukan masyarakat hukum adat disebabkan adanya faktor ikatan yang mengikat masing-masing anggota masyarakat hukum adat tersebut. Faktor ikatan yang membentuk masyarakat hukum adat secara teoritis adalah faktor genealogis (keturunan) dan faktor territorial (wilayah).34

32

Panduan Masyarakat Adat Lampung Sungkai (Muhammad Hasan (Suntan Mangku Bumi), Op.Cit.

33

Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm.105

34

Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT. Refika Aditama, Bandung, 2012, hlm. 25.


(48)

1. Bentuk Masyarakat Hukum Adat a. Persekutuan Hukum Genealogis

Persekutuan hukum genealogis atau masyarakat adat genealogis memiliki suatu pengikat antara satu sama lain yaitu berupa kesamaan dalam garis keturunan, artinya setiap anggota kelompok masyarakatnya terikat karena berasal dari nenek moyang yang sama. Menurut para ahli hukum adat Hindia – Belanda masyarakat hukum genealogis ini dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu bersifat patrilinial, matrilinial dan parental atau bilateral.

1) Masyarakat Patrilinial

Masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang susunan masyarakatnya ditarik berdasarkan garis keturunan bapak, sedangkan garis keturunan ibu disingkirkan. Adapun yang termasuk kedalam masyarakat patrilinial adalah masyarakat adat Lampung, Sumatera Utara, Irian, Maluku, dan Nusa Tenggara.

2) Masyarakat Matrilinial

Masyarakat yang matrilinial merupakan kebalikan dari masyarakat yang patrilinial, dimana susunan masyarakatnya ditarik berdasarkan garis Ibu sedangkan garis keturunan bapak disingkirkan. Adapun masyarakat yang termasuk kedalam masyarakat matrilinial adalah Minangkabau, Semendo di Sumatera Selatan, Kerinci dan beberapa suku kecil di Timor. Masyarakat matrilinial ini tidak mudah dikenali, karena masyarakat matrilinial jarang menggunakan nama-nama sukunya meskipun ada.


(49)

32

3) Masyarakat Parental atau Bilateral

Masyarakat parental atau bilateral adalah gabungan antara masyarakat patrilinial dan masyarakat matrilinial, sehingga masyarakat parental ini lebih dikenal dengan masyarakat yang mengambil jalur tengah (seimbang), dimana masyarakat parental atau bilateral dalam susunan masyarakatnya diambil dari garis orangtuanya yaitu garis bapak dan garis ibu. Adapun yang termasuk kedalam masyarakat parental atau bilateral adalah masyarakat adat Jawa, Aceh, Melayu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada dasarnya asas perkawinan dalam UUP bertujuan membentuk keluarga yang memiliki persekutuan parental yaitu tidak ada garis yang menjadi prioritas, melainkan antara suami dan isteri memiliki kedudukan yang sama.

b. Persekutuan Hukum Teritorial

Persekutuan masyarakat hukum teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu. Hal ini berarti dalam persekutuan masyarakat teritorial anggotanya terikat satu sama lain berdasarkan persamaan tempat tinggal. Menurut R. Van Dijk persekutuan hukum teritorial dapat dibedakan kedalam tiga macam, yaitu :35

1) Persekutuan Desa, seperti desa orang jawa yang merupakan suatu tempat kediaman bersama di dalam daerahnya sendiri termasuk beberapa pendukuhan yang terletak di sekitarnya yang tunduk pada perangkat desa yang berkediaman di pusat desa.

35


(50)

2) Persekutuan Daerah, seperti kesatuan masyarakat “nagari” di Minangkabau, “Marga” di Sumatera Selatan dan Lampung, “negorij” di Minahasa dan Maluku.

3) Perserikatan dari beberapa Desa, yaitu apabila diantara beberapa desa atau marga yang terletak berdampingan yang masing-masing berdiri sendiri mengadakan perjanjian kerja sama untuk mengatur kepentingan bersama.

c. Persekutuan Hukum Genealogis-Teritorial

Dalam persekutuan hukum Genealogis-Teritorial anggotanya bukan hanya terikat pada tempat kediaman daerah tertentu saja, melainkan juga terikat pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah dan/atau kekerabatan. Pada suatu daerah yang terdapat masyarakat hukum genealogis-teritorial akan berlaku dualisme atau pluralisme hukum yaitu hukum administrasi pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, hukum adat yang berlaku bagi semua anggota kesatuan masyarakat desa yang bersangkutan, dan hukum adat yang tradisional bagi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum tertentu menurut daerah asalnya masing-masing dan tentu saja berlaku pula hukum antar adat yang berbeda dalam pergaulan masyarakat campuran. Jadi yang dimaksud dengan masyarakat parental atau bilateral adalah kesatuan masyarakat hukum yang patrilinial genealogis dimana para anggotanya bukan hanya terikat pada tempat kediaman melainkan juga terikat pada garis keturunan.

d. Masyarakat Adat keagamaan

Diantara berbagai kesatuan masyarakat adat terdapat juga kesatuan masyarakat adat yang khusus bersifat keagaman di beberapa daerah tertentu. Ada kesatuan


(51)

34

masyarakat adat-keagamaan menurut kepercayaan lama ada kesatuan masyarakat yang khusus beragam Hindu, Islam, Kristen atau Katholik, dan ada yang bersifat campuran.36

Pada lingkungan masyarakat yang didominasi kepercayaan dan agama tertentu, maka para anggotanya selain merupakan warga kesatuan desa menurut perundangan, tetapi juga merupakan warga adat yang tradisional dan warga keagamaan yang dianutnya masing-masing.37 Hal ini sejalan dengan konsep hukum adat bersanding dengan syariah dan syariah berbading lurus dengan Al-Quran dan hadist. Ini menegaskan bahwa antara agama dan adat merupakan suatu kesatuan yang dapat hidup berdampingan.

E. Konsep Penyelesaian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyelesaian memiliki arti proses, cara, perbuatan, menyelesaikan.38 Hal ini berarti penyelesaian merupakan suatu upaya atau proses menyelesaikan suatu permasalahan yang terjadi. Dalam suasana hukum di Indonesia, dalam menyelesaikan suatu sengketa dapat diselesaikan dengan dua cara, yaitu :

1. Litigasi

Litigasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui jalur hukum yaitu segala permasalahan yang terjadi akan diselesaikan dengan menggunakan aturan-aturan hukum nasional yang berlaku melalui lembaga peradilan (Pengadilan) dengan memenangkan salah satu pihak dan pihak lainnya dinyatakan kalah atau bersalah

36

Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hlm. 111.

37

Ibid., hlm. 112.

38


(52)

(win-lose). Litigasi39 merupakan metode penyelesaian sengketa paling lama dan lazim digunakan dalam menyelesaikan sengketa, baik sengketa yang bersifat publik maupun yang bersifat privat.

2. Non-Litigasi

Non-litigasi adalah sebuah upaya penyelesaian sengketa tanpa melalui jalur hukum yaitu dengan memilih cara lain yang menjadi alternatif, sehingga semua permasalahan dapat diselesaikan tanpa harus merugikan salah satu pihak (win-win). Ada beberapa cara penyelesaian sengketa melalui jalan alternatif, yaitu :

a. Arbitrase

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase diartikan sebagai cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Akan tetapi, dalam pengertian lainnya arbitrase juga dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa dengan cara melibatkan orang ketiga sebagai arbiter atau penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak litigasi yang netral yang mengeluarkan putusan bersifat final dan mengikat (binding).40

Menurut Kamus istilah hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, bahwa arbitrage adalah penyelesaian suatu perselisihan oleh seorang atau lebih juru

39

Nurnaningsih Amriani, Mediasi Altrnatif Penyelesaian Sengketa Perdata di pengadilan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 19.

40

Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Garfika, Bandung, 2012, hlm. 23.


(53)

36

pisah yang harus memutus menurut hukum yang berlaku atau berdasarkan keadilan.41

b. Mediasi

Menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Pada dasarnya mediasi adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang efektif, dapat membantu dalam situasi konflik untuk mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga lebih efektif dalam proses tawar-menawar.42

Konsep penyelesaian sengketa melalui mediasi yang menggunakan win-win solution atau penyelesaian menang sama menang telah lama dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep penyelesaian sengketa melalui musyawarah antara para pihak telah lama dikenal oleh masyarakat hukum adat, jauh sebelum sistem litigasi diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.43 Pada dasarnya konsep mediasi merupakan konsep penyelesaian yang digunakan dalam menyelesaikan kasus sebambangan dalam masyarakat adat Lampung yaitu perundingan antara dua keluarga yang dibantu oleh tokoh adat yang memahami mengenai tata tertib penyelesaian sebambangan.

41

N.E. Algre, et.al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae: belanda-Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hlm. 33-34.

42

Mahkamah Agung,R.I., Mediasi dan perdamaian, MA-RI, Jakarta, 2004, hlm. 61

43


(54)

c. Negosiasi

Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan yang paling tua digunakan oleh umat manusia. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi adalah penyelesaian dengan cara berunding antara kedua belah pihak

tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan “fact of life” atau

keseharian, karena setiap orang melakukan negosiasi dalam kehidupan sehari-hari serta cara penyelesaian yang paling sederhana dan murah.44

Sama halnya dengan mediasi, negosiasi merupakan salah satu cara yang dilakukan dalam sebambangan. Karena sebambangan tidak akan pernah terjadi tanpa diawali dari negosiasi antara pria dan wanita yang pada akhirnya bersepakat untuk melakukan sebambangan dengan segala faktor yang menjadi pertimbangannya.

d. Konsiliasi

Konsiliasi adalah cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yaitu konsoliator. Cara ini sifatya hampir sama dengan mediasi, akan tetapi konsiliasi lebih formal. Konsiliasi juga dapat diartikan sebagai cara penyelesaian sengketa oleh pihak ketiga atau oleh suatu komisi yang dibentuk oleh para pihak.45 Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi, dimana mediator berubah fungsi menjadi konsiliator dan berwenang menyusun dan merumuskan penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak. Jika para

44

Ibid., hlm. 23-24.

45


(55)

38

pihak dapat menyetujui solusi yang dibuat konsoliator menjadi resolution. Kesepakatan ini juga bersifat final dan mengikat para pihak.46

F. Akibat Hukum

Akibat hukum merupakan suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga apabila dilanggar akan menimbulkan suatu akibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan persahabatan biasa seperti ingkar janji untuk menonton bioskop bersama tidak membawa akibat hukum. Namun secara non-hukum misalnya ganjalan dan tidak enak dari yang dijanjikan bisa terjadi.47 Hal ini menegaskan bagaimana dampak dari adanya suatu akibat hukum dari suatu peristiwa hukum. Menurut kamus hukum, akibat hukum adalah akibat yang timbul dari hubungan hukum. Dimana akibat memiliki arti sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil dari pekerjaan, keputusan, persyaratan atau keadaan yang mendahuluinya.

G. Gambaran Umum

Secara umum masyarakat adat Lampung dibagi menjadu dua, yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan Masyarakat adat Pepadun. Masyarakat Lampung Pesisir merupakan masyarakat adat Lampung yang menggunakan dialek A (Api) sedangkan masyarakat adat Lampung Pepadun menggunakan dialek O (Nyow), akan tetapi ada juga masyarakat adat Lampung Pepadun yang menggunakan dialek A (Api) misalnya masyarakat adat Lampung Sungkai.

46

Ibid., hlm. 34.

47

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 131-132.


(56)

Pada umumnya masyarakat adat Lampung Pesisir atau saibatin bermukim di daerah sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalu, Liwa, Pesisir Raja Basa, Melinting, dan Kalianda. Sedangkan masyarakat adat Lampung pepadun bermukim di daerah-daerah pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang, serta Pubiyan.48

Masyarakat adat Lampung yang merupakan salah satu masyarakat adat dengan garis kekerabatan patrilinial yaitu menarik dari garis ayah sedangkan garis ibu dikesampingkan merupakan masyarakat adat yang memiliki keberagaman akan budaya. Salah satu budaya masyarakat adat lampung adalah dalam hal perkawinan yang biasa disebut dengan istilah sebambangan49

Desa Gedung Batin, Negara Batin dan Kota Negara merupakan desa yang berada di Kecamatan Sungkai Utara, Kabupaten Lampung Utara yang masih mempertahankan hukum adat perkawinan sebambangan yaitu sekitar sembilan puluh persen, dengan rincan sebagai berikut :

Desa Jumlah KK Jumlah yang melakukan

sebambangan (KK)

Gedung Batin50 442 80 KK

Negara Batin51 422 81 KK

Kota Negara52 865 50 KK

48

Hilman Hadikusuma, Masyarakat Adat danBudaya Lampung, Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100.

49

Istilah Sebambangan tidak dikenal dalam masyarakat adat Lampung Pesisir,

Sebambangan hanya dikenal dalam masyarakat adat Lampung Pepadun.

50

Berdasarkan Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa (Bapak Toto Sunarto) pada Hari Minggu tanggal 25 Oktober 2015.

51

Berdasarkan Hasil wawancara dengan Sekretaris Desa (Bapak H.M. Suparno) pada Hari Minggu tanggal 25 Oktober 2015.


(1)

Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam angka atau persentase dan kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis. Adapun rumus persentasenya yaitu : n (persentase) = x 100%. Sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif yaitu penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata yang sifatnya khusus dan telah diakui kebenarannya secara ilmiah menjadi sebuah kesimpulan yang bersifat umum sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.


(2)

93

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor penyebab terjadinya sebambangan disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu suka sama suka, faktor usia, dan faktor pendidikan. Sedangkan faktor eksternal yaitu memperoleh restu, menghindari biaya yang besar, terpaksa, dan gadis sudah hamil di luar pernikahan yang sah.

2. Sebambangan yang merupakan hukum adat perkawinan masyarakat adat

Lampung Sungkai dilakukan dengan proses pra sebambangan yaitu negosiasi antara mekhanai dan muli mengenai uang peninggalan serta tanggal pelaksanaan. Proses sebambangan yaitu muli meninggalkan surat dan uang peninggalan (Muli ninggal ko surat jama tengepik), kemudian muli dilarikan ke rumah keluarga Bujang (Muli dibambang ko haguk nua keluarga

mekhanai), sedangkan pasca sebambangan merupakan proses

penyelesaiannya.

3. Penyelesaian sebambangan dilakukan secara musyawarah dengan tahapan yaitu Ngantak Salah (Pengundoron Senjata), Sujud Perlop (Sujud awal), Ngantak Daw (Nguperadu daw), Izin Nikah (Suka hukum), Nguruk Maju,


(3)

Sujud (Sungkem), dan Ngantak Sansan. Seluruh tahapan proses penyelesaian harus dilakukan, meskipun terdapat penggabungan beberapa tahap dalam satu acara sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat Lampung Sungkai.

4. Pada dasarnya akibat hukum bukan hanya sebagai akibat hukum

sebambangan, melainkan akibat hukum perkawinan yang dilakukan oleh

masyarakat adat Lampung Sungkai (baik yang melalui proses sebambangan maupun tidak). Adapun akibat hukum tersebut, adalah :

a. Akibat hukum bagi subjek (mekhanai dan muli). Perubahan kedudukan dalam hukum adat, yaitu semenjak perkawinan dilakukan maka kedudukan anak muli dalam hukum adat bukan lagi anak dari orangtuanya melainkan sudah menjadi anak dari orangtua mekhanai (anak mantu) dan kedudukan muli dalam hukum adat orangtuanya menjadi anak pirul. Perubahan status dalam hukum adat, yaitu perubahan status sebanyak dua kali. Setelah proses sebambangan dilakukan maka mekhanai dan muli berubah status menjadi kebayan dan setelah perkawinan terjadi maka status muli menjadi bakbai atau maju sedangkan mekhanai berubah menjadi penggawa atau ngumiyan.

b. Peralihan kekerabatan adat. Peralihan hukum kekerabatan, yaitu semenjak perkawinan terjadi maka beralih semua tanggung jawab orang tua muli kepada suami dan keluarga besar mekhanai. Sebagai masyarakat adat

patrilinial maka muli berpindah dari hukum adat kekerabatan keluarga

orangtuanya pindah atau masuk kedalam hukum adat kekerabatan suami (bujang atau keluarga laki-laki)


(4)

95

B. Saran

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis memiliki beberapa saran yang ditujukan kepada beberapa pihak, yaitu :

1. Tokoh adat, yaitu agar tetap berpegang teguh kepada pedoman hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan sebambangan maupun proses menuju perkawinan lainnya (hibal muhibal) agar penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang ada.

2. Pemerintah Desa, yaitu agar dapat membuat peraturan desa yang mengatur mengenai penyelesaian sebambangan untuk memberikan kedudukan hukum bagi hukum adat dalam hirarki peraturan perundang-undangan nasional.

3. Masyarakat Adat Lampung, yaitu agar terus menjaga dan melestarikan hukum adat dalam perkawinan yaitu sebambangan sebagai ciri khas dari masyarakat adat Lampung sehingga hukum adat perkawinan sebambangan akan terus terlestarikan.

4. Akademisi, yaitu agar turut serta melestarikan hukum adat dengan melakukan penelitian hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat dan dijadikan dalam bentuk karya ilmiah atau referensi yang dapat membantu masyarakat untuk memahami hukum adat khususnya hukum adat perkawinan masyarakat adat Lampung, sehingga memudahkan bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang hukum adat Lampung.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Adolf, Huala . 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Sinar Garfika : Bandung.

Algre, N.E. et.al. 1983. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae:

Belanda-Indonesia. Binacipta : Jakarta.

Amriani, Nurnaningsih. 2012. Mediasi Altrnatif Penyelesaian Sengketa Perdata

di pengadilan, RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengantar Ilmu Hukum, PT RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Haar Baz, Mr. B. Ter (Disunting oleh Bambang Danu Nugroho). 2011. Asas-asas

dan Tatanan Hukum Adat. Mandar Maju : Bandung.

Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Perkawinan Adat. Alumni : Bandung.

_________________. 1989. Masyarakat Adat dan Budaya Lampung. Mandar Maju : Bandung.

_________________. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Mandar Maju : Bandung.

_________________. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju : Bandung.

__________________. 2014. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia Edisi Revisi. Mandar Maju : Bandung.

Hasan, Muhammad (Suntan Mangku Bumi). 2006. Makalah Hibal Muhibal

Delom Adat Pernikahan Lampung Marga Bunga Mayang Sungkai. Bandar

Lampung.


(6)

Muhammad, Abdulkadir . 2000. Hukum Perdata Indonesia. Citra Aditya Bakti : Bandung.

__________________. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti : Bandung.

__________________. 2014. Etika Profesi Hukum. PT Citra Aditya Bakti : Bandung.

Rato, Dominikus. 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat. Laksbang Yustitia : Surabaya.

Soekanto, Soerjono. 2012. Hukum Adat Indonesia. RajaGrafindo Persada : Jakarta.

Sudarsono. 2012. Kamus Hukum. Rineka Cipta : Jakarta.

Sudiyat, Imam. 2007. Hukum Adat Sketsa Asas. Liberty : Yogyakarta. Thalib, Sayuti. 2009. Hukum Kekeluargaan Indonesia. UI-Press : Jakarta.

Wulansari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. PT. Refika Aditama : Bandung.

II. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

_______________. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan _______________. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa

III. SUMBER LAINNYA

http://kbbi.web.id/selesai