PENERAPAN STANDAR KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1691/Menkes/Per/VIII/2011)

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN STANDAR KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1691/Menkes/Per/VIII/2011)

Oleh:

ARDIYANSYAH ADI PUTRA

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang berfungsi memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau pasien yang membutuhkan pertolongan. Berdasarkan transaksi terapeutik untuk itu rumah sakit wajib memberikan pengobatan yang baik dan benar, sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety) yang diatur dalam Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUD.AM) sebagai rumah sakit milik pemerintah Provinsi Lampung wajib menerapkan patient safety tersebut. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas masalah yaitu apa saja yang termasuk dalam standar patient safety, bagaimana penerapan standar patient safety di RSUD.AM, dan bagaimana upaya hukum yang bisa dilakukan jika rumah sakit tidak melakukan tindakan medis yang sesuai dengan standar patient safety.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan adalah pendekatan masalah normatif terapan. Data yang digunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Pengumpulan data melalui studi kepustakaan, studi dokumen, dan wawancara. Pengelolaan data dilakukan dengan cara pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan sistematisasi data. Selanjutnya, dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan tujuh standar patient safety sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011yaitu hak pasien, mendidik pasien dan keluarga, keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan, penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien. Dalam penerapannya, RSUD.AM membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang bertugas melakukan pendidikan kepada tenaga kesehatan mengenai keselamatan pasien, melakukan investigasi,


(2)

dan evaluasi terhadap pelaksanaan keselamatan pasien. Jika terjadi masalah dalam penerapan dan pelaksanaannya, maka pasien dapat melakukan upaya hukum untuk menuntut ganti kerugian. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu melalui mediasi (non litigasi) dan pengajuan gugatan ke pengadilan (litigasi).


(3)

(4)

PENERAPAN STANDAR KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. H. ABDUL MOELOEK (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1691/Menkes/Per/VIII/2011)

(Skripsi)

Oleh

ARDIYANSYAH ADI PUTRA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

MOTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

SANWACANA ... x

DAFTAR ISI ... xiv

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Ruang Lingkup ... 8

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

A.Hukum Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan ... 11

1. Pengertian dan Sumber Hukum Kesehatan ... 11

2. Asas Hukum Kesehatan ... 13

3. Pihak-Pihak dalam Pelayanan Kesehatan ... 14

4. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan ... 23

B. Keselamatan Pasien (Patient Safety) dalam Pelayanan Kesehatan ... 28

1. Sejarah Keselamatan Pasien (Patient Safety) ... 28

2. Pengertian dan Dasar Hukum Keselamatan Pasien (Patient Safety) ... 29

3. Tujuan dan Langkah Menuju Keselamatan Pasien (Patient Safety) ... 31

C.Tanggung Jawab dan Upaya Hukum dalam Hukum Perdata ... 32

1. Tanggung Jawab Hukum dalam Hukum Perdata ... 32

2. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdata ... 38

D.Kerangka Pikir ... 42

III. METODE PENELITIAN ... 44


(6)

B. Tipe Penelitian ... 44

C. Pendekatan Masalah ... 45

D. Data dan Sumber Data ... 45

E. Metode Pengumpulan Data ... 46

F. Metode Pengolahan Data ... 47

G. Analisis Data ... 47

IV. PEMBAHASAN ... 48

A. Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit Berdasarkan Permenkes No.1691/Menkes/Per/VIII/2011 ... 48

1. Hak pasien ... 50

2. Mendidik pasien dan keluarga ... 53

3. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan ... 55

4. Penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien ... 56

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien .... 57

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien ... 58

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien ... 58

B. Penerapan Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek ... 59

C. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Apabila Rumah Sakit Tidak Menjalankan Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) dengan Benar ... 67

1. Mediasi (Non Litigasi) ... 69

2. Pengajuan Gugatan melalui Pengadilan (Litigasi) ... 70

V. PENUTUP ... 78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran ... 79


(7)

(8)

(9)

MOTO

“Jika pikiran saya bisa membayangkannya, hati saya bisa meyakininya, saya tahu saya akan mampu menggapainya”

(Jesse Jackson)

“Tahu bahwa kita tahu apa yang kita ketahui dan tahu bahwa kita tidak tahu apa yang tidak kita ketahui, itulah pengetahuan sejati”

(Copernicus)

“Seberapa besar kesuksesan anda bisa diukur dari seberapa kuat keinginan anda, setinggi apa mimpi-mimpi anda, dan bagaimana anda memperlakukan

kekecewaan dalam hidup anda” (Robert Kiyosaki)


(10)

PERSEMBAHAN

Bismillahirrahmanirrohim

Dengan penuh rasa puji dan syukur Kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia Nya, serta junjungan Nya Nabi Muhammad SAW, dengan segala

kerendahan hati kupersembahkan kepada:

Ayahku Basid (Alm) dan Bundaku Karlina yang telah memberikan kasih sayang kepadaku serta doa-doa yang mereka panjatkan untuk keberhasilanku. Kakakku Muhammad Lekat Wiraguna dan Mbakku Yusinar Utama tersayang

yang menjadi motivasiku untuk terus maju menggapai cita-citaku.

Serta teman-teman semua yang selalu dihatiku dan almamater tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Ardiyansyah Adi Putra. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara yang dilahirkan pada tanggal 20 April 1992 di Bandar Lampung, putra dari pasangan Basid (Alm) dan Karlina.

Jenjang pendidikan yang pernah ditempuh oleh penulis adalah Taman Kanak-Kanak Setia Kawan diselesaikan pada tahun 1998, Sekolah Dasar Negeri 1 Panjang Selatan diselesaikan pada tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama Negeri 25 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2010. Pada tahun 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Selama mencari ilmu di Fakultas Hukum Universitas Lampung tidak sepenuhnya penulis habiskan untuk mengikuti kuliah. Akan tetapi, penulis juga turut serta dalam lembaga kemahasiswaan. Pada tahun 2010 penulis bergabung dalam lembaga kemahasiswaan yaitu Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) dan tahun 2012 penulis bergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Lampung (BEM UNILA) menjabat sebagai staf ahli kementerian kebijakan publik. Selain itu penulis juga berpartisipasi sebagai panitia Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah


(12)

(13)

SANWACANA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Penerapan Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.1691/Menkes/Per/VIII/2011)” sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Hukum di Bagian Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Selama menjadi mahasiswa, penulis telah banyak menerima bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, sebagai wujud rasa hormat. penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak berikut ini:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. M. Fakih, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan masukan, motivasi, dan mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.


(14)

mengarahkan penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Lindati Dwiatin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.

6. Ibu Yulia Kusuma Wardani, S.H., L.L.M., selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran dan masukan yang bermanfaat dalam penulisan skripsi ini.

7. Ibu Widya Krulinasari, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjalankan studi di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu dengan tulus kepada Mahasiswa dan Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Seluruh Karyawan dan Karyawati Fakultas Hukum Universitas Lampung. 10.Bapak Heriyanto, S.H. selaku Kepala Bagian Hukum Rumah Sakit Umum

Daerah Dr. H. Abdul Moeloek yang telah menyediakan waktunya untuk memberikan data kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.

11.Ayahku Basid (Alm), Bundaku Karlina, Kakakku Muhammad Lekat Wiraguna dan Mbakku Yusinar Utama tercinta yang telah memberikan doa, perhatian dan dukungan untukku dalam penyelesaian skripsi ini.

12.Om Yuzar Akuan, S.H. yang telah memberikan ilmu, masukan, bantuan dan motivasi kepada penulis untuk kesempurnaan skripsi ini.


(15)

13.Mbak Wien dan Mbak Silvana yang sudah memberikan bantuan dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

14.Kawan-kawanku di rumah Pipit, Budi, Sutri, Wawan, Mirza, dan Aang yang telah memberikan semangat, doa, dan dukungannya bagi penulis.

15.Teman-teman seperjuangan Jefri, Rani, Chelsilia, Marullfa, Yuri, Abram, Wana, Gilang, Frederica, dan Ridho yang telah memberikan semangat, doa, dan dukungannya bagi penulis.

16.Semua teman-teman Fakultas Hukum Angkatan 2010: Tery, Ibnu, Ikbal, Aryo, Andi Kusnadi, Fadil, Andika Nafka, Andika Nafi, Haikal, Alif, Aji, Pundawa, Bryan, Denny, Dani, Ana, Bernadeta, Aldi, Cahaya Rama, Antoni, Alhuda, Linda, Amel, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa, dukungan, dan kerjasamanya.

17.Teman-teman Hukum Perdata Angkatan 2010: Zulkipli, Bella, Taufan, Melia, Devy, Crystal, Doni, Yomi, Jonathan, Saut, Rama, Itqoh, Wida, Dini, Almira, Lala, Titi, Ni Putu, Dendri, Kelvin, Wisnu, Dimas, Chandre, Osa, Ricko, Richard, Yomi, Ivander, Tammy, Ridwan, Muthia, Ghea, Bismar, Oddy, Sylvia, Obaw, Bryan Fernandes dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa, dukungan, dan kerjasamanya.

18.Teman-teman KKN Simpang Asam: Fatia, Galang, Gana, Gery, Imam, Lidya, Santi, Shella, Tina, dan Widya atas kebersamaan selama 40 hari dan doa dalam penulisan skripsi ini.

19.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semua doa, bantuan dan dukungannya.


(16)

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kemuliaan dan kebahagiaan yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun ada sedikit harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang berfungsi memberikan pelayanan pengobatan kepada masyarakat atau pasien yang membutuhkan pertolongan. Pelayanan kesehatan di rumah sakit biasanya dilakukan apabila di puskesmas ataupun balai pengobatan tidak mampu untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien. Hal ini disebabkan peralatan medis maupun tenaga kesehatan yang ada di tempat-tempat tersebut belum memadai dibandingkan dengan yang ada di rumah sakit. Oleh sebab itu rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan harus memperkerjakan tenaga kesehatan yang ahli dan profesional dibidangnya.

Semua lapisan masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan di rumah sakit, seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 28 H Ayat (1) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Setiap orang

berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”. Jadi untuk itu negara menjamin semua masyarakat Indonesia akan


(18)

kesehatan tersebut dapat diperoleh tanpa memperdulikan pengahasilan maupun status sosial yang ada pada setiap masyarakat.

Masyarakat atau pasien yang melakukan pengobatan di rumah sakit terikat pada perjanjian pelayanan medis atau transaksi terapeutik antara pasien itu sendiri dengan dokter sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit. Dengan adanya transaksi terapeutik ini, pihak rumah sakit sebelum melakukan pengobatan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pasien tersebut (Informed Consent). Selain itu, transaksi terapeutik memiliki arti yakni dokter akan mengupayakan penyembuhan pasien melalui upaya kesehatan yang paling tepat berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya.

Berdasarkan transaksi terapeutik tersebut rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan akan menjamin seluruh hak pasien, yaitu memperoleh pelayanan kesehatan dan menentukan sendiri pelayanan kesehatan untuk dirinya. Hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan (selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2009) yang berbunyi “(1)

Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan

yang diperlukan bagi dirinya”.

Rumah sakit dalam melakukan pelayanan kesehatan harus memberikan pengobatan dengan benar dan aman kepada pasien. Pengobatan yang benar dan aman ini, sama halnya dengan menjaga keselamatan pasien (patient safety)


(19)

3

tersebut. Hal ini sejalan dengan tujuan dibentuknya rumah sakit yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit

(selanjutnya disebut UU No. 44 Tahun 2009), yakni “Memberikan perlindungan

terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumber

daya manusia di rumah sakit”. Hal ini membuktikan bahwa keselamatan pasien

(patient safety) harus dijalankan dengan benar oleh pihak rumah sakit dan pemerintah juga harus ikut serta dalam mengawasi segala tindakan rumah sakit agar sesuai dengan peraturan yang ada.

Perlindungan terhadap keselamatan pasien (patient safety) tidak hanya dilakukan oleh pihak rumah sakit saja, tetapi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit pun ikut berperan melindungi keselamatan pasien (patient safety). Hal tersebut telah diatur di dalam Pasal 13 Ayat (3) UU No. 44 Tahun 2009 yang berbunyi

“Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit harus bekerja sesuai dengan

standar profesi, standar pelayanan rumah sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan

pasien”. Jadi tenaga kesehatan dalam melakukan pelayanan medis harus bekerja

secara maksimal dalam mengobati penyakit yang di derita oleh pasien dan juga selalu mengutamakan keselamatan pasien (patient safety) yang sedang melakukan pengobatan tersebut.

Keselamatan pasien (patient safety) secara lebih jelas telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit (selanjutnya disebut Permenkes No. 1691 Tahun 2011). Pasal 1 Permenkes tersebut menjelaskan bahwa keselamatan pasien (patient safety) adalah


(20)

“suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang

meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil”. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa setiap rumah sakit

harus memiliki standar keselamatan pasien (patient safety) untuk meminimalisir segala risiko tindakan medis yang tidak sesuai dengan prosedur dan cenderung dapat membahayakan pasien tersebut.

Pada kenyataannya di lapangan, peraturan perundang-undangan yang sudah ada tidaklah dijalankan sebagaimana mestinya, karena tidak sedikit masyarakat atau pasien yang berobat ke rumah sakit ditelantarkan dengan berbagai alasan bahkan ada pasien yang dibuang oleh tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Alasan-alasan yang disampaikan oleh pihak rumah sakit pun beragam, salah satu Alasan-alasan yang pasti adalah tidak cukupnya biaya rumah sakit yang diberikan oleh pasien.1 Padahal mengenai biaya rumah sakit sudah menjadi kewajiban negara memenuhi dan membantu masyarakat yang tidak mampu agar dapat memperoleh pengobatan yang layak sama halnya seperti masyarakat yang lain.

Kasus pembuangan pasien yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit belum lama ini terjadi di Lampung. Banyak media cetak maupun media elektronik yang memberitakan kasus ini. Kasus tersebut, yakni:

1

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/02/13/n0xakw-kasus-pembuangan-pasien-merupakan-kejahatan-kemanusiaan diakses pada tanggal 12 Agustus 2014 pukul 20.30


(21)

5

Seorang pasien yang bernama Kakek Darno alias Mbah Edy yang dibuang di sebuah gubuk pinggir jalan kawasan Sukadanaham, Bandar Lampung, oleh tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit Umum Dadi Tjokrodipo (Rumah Sakit Umum Daerah Bandar Lampung). Di tubuh kakek ini masih ada bekas jarum infus masih jelas terlihat di lengan dan kain kasa yang masih melilit di tubuh sang kakek. Warga yang melihat ini sebenarnya sempat membawa Kakek Darno ke Rumah Sakit Abdul Moeloek, Bandar Lampung, untuk mendapatkan perawatan. Akan tetapi, tidak lama berselang Kakek Darno menghembuskan napas terakhir walaupun sempat mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Abdul Moeloek. Menurut Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bandar Lampung, pihak mereka semula mau merujuk pasien ke rumah sakit yang lain karena RSUD sudah tidak mampu memberikan pengobatan yang maksimal kepada pasien tersebut, akan tetapi pada kenyataannya pihak rumah sakit menelantarkan dan membuang Kakek Darno dipinggir jalan.2

Kasus tersebut tentu berdampak terhadap menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit yang tidak melakukan pelayanan sesuai dengan standar yang sudah ada. Tidak hanya itu pemerintah juga dianggap ikut bertanggung jawab karena telah lalai dalam mengawasi jalannya peraturan yang mereka buat dan tetapkan sebelumnya, dalam hal memberikan perlindungan kepada pasien yang melakukan pengobatan di rumah sakit.

Hal yang dilakukan tenaga kesehatan dalam kasus tersebut menandakan adanya tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Selain itu, pembuangan maupun pembiaran pasien sangat bertentangan dengan perlindungan terhadap keselamatan pasien (patient safety) sebagaimana yang telah diatur di dalam UU No. 44 Tahun 2009 dan Permenkes No. 1691 Tahun 2011. Pihak rumah sakit yang semula menyanggupi melakukan tindakan pengobatan seharusnya tidak melakukan tindakan seperti kasus di atas, tetapi seharusnya melakukan tindakan medis semaksimal mungkin kepada pasien ketika berada di rumah sakit dan melindungi pasien dari tindakan tenaga kesehatan yang

2

http://news.liputan6.com/read/821401/video-buang-pasien-2-pejabat-rumah-sakit-jadi-tersangka diakses pada tanggal 9 April 2014 pukul 08.15


(22)

tidak sesuai. Tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medis yang tidak sesuai sudah sering terjadi, terutama yang menimpa pasien rawat inap di rumah sakit. Banyak pasien rawat inap yang tidak diberikan pelayanan kesehatan sebagaimanamestinya oleh rumah sakit.

Rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan apabila sudah tidak sanggup lagi untuk melakukan pengobatan terhadap pasien, maka sudah menjadi kewajiban pihak rumah sakit untuk melakukan tindakan rujukan terhadap pasien tersebut ke rumah sakit yang lain, seperti yang telah diatur di dalam Pasal 42 Ayat

(2) UU No. 44 Tahun 2009 yakni “Setiap rumah sakit mempunyai kewajiban

merujuk pasien yang memerlukan pelayanan di luar kemampuan pelayanan rumah

sakit”. Dengan demikian pihak rumah sakit yang semula melakukan pengobatan tidak bisa melepas kewajiban mereka begitu saja, tetapi harus tetap melayani dan memberikan pengobatan hingga pasien mendapatkan pengobatan di rumah sakit yang lain. Maka dari itu peran serta tenaga kesehatan di rumah sakit tersebut dalam memberikan pengobatan tetap diperlukan hingga pasien memperoleh pengobatan di rumah sakit lain.

Pelayanan kesehatan yang sesuai dengan peraturan yang ada, harus dilakukan oleh seluruh rumah sakit di Indonesia, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUD.AM) yang dimiliki oleh pemerintah Provinsi Lampung. RSUD.AM merupakan salah rumah sakit di Provinsi Lampung yang memiliki peralatan medis yang memadai, serta tenaga kesehatan yang berkualitas dibidangnya.


(23)

7

Pihak RSUD.AM serta tenaga kesehatannya harus selalu bekerja secara maksimal dalam mengobati pasien sesuai dengan perjanjian yang sudah mereka buat sebelumnya dengan pasien. Tidak hanya itu, rumah sakit wajib melindungi pasien dari tindakan medis yang membahayakan keselamatannya, sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety) yang diatur dalam Permenkes No. 1691 Tahun 2011.

Rumah sakit sebagai pihak yang mempekerjakan tenaga kesehatan harus ikut bertanggung jawab, apabila tenaga kesehatannya melakukan tindakan yang bertentangan dengan apa yang sudah diperjanjikan dengan pasien maupun tindakan yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Tanggung jawab itu sendiri terjadi karena adanya hak dan kewajiban dalam perjanjian antara pasien dengan rumah sakit yang tidak dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Tindakan yang membahayakan keselamatan pasien (patient safety) yang dilakukan tenaga kesehatan termasuk tindakan yang tidak memenuhi perjanjian yang sudah disepakati disebut wanprestasi. Selain itu, pihak rumah sakit yang tidak melakukan tindakan medis yang semestinya sebagaimana diatur dalam peraturan atau undang-undang dapat digolongkan telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Tindakan wanprestasi dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang dilakukan rumah sakit ataupun tenaga kesehatannya akan menimbulkan kerugian terhadap pasien tersebut. Dengan demikian pasien sebagai pihak yang dirugikan oleh rumah sakit melakukan upaya hukum, seperti halnya menuntut ganti kerugian kepada rumah sakit karena sudah melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dan cenderung membahayakan keselamatan pasien (patient safety).


(24)

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mendeskripsikan standar keselamatan pasien (patient safety), penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) di RSUD.AM, dan upaya pasien untuk mendapatkan ganti kerugian terhadap tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety). Oleh karena itu penulis tertarik membuat judul dalam penelitian ini adalah: “Penerapan Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (Berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka dalam penelitian ini ada beberapa masalah yang dirumuskan dan dicari penyelesainnya secara ilmiah. Beberapa masalah tersebut sebagai berikut :

a. Apa saja yang termasuk dalam standar keselamatan pasien (patient safety) berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011?

b. Bagaimana penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) di RSUD.AM?

c. Bagaimana upaya hukum yang bisa dilakukan jika rumah sakit tidak melakukan tindakan medis yang sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety)?

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian materi ini adalah standar keselamatan pasien (patient safety), penerapan standar keselamatan pasien di RSUD.AM, serta upaya hukum


(25)

9

yang dapat dilakukan apabila rumah sakit tidak melakukan tindakan medis sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety). Bidang ilmu ini adalah hukum keperdataan, khususnya hukum kesehatan.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Memperoleh deskripsi lengkap, rinci dan sistematis mengenai standar keselamatan pasien (patient safety).

2. Memperoleh deskripsi lengkap, rinci dan sistematis mengenai penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) di RSUD.AM.

3. Memperoleh deskripsi lengkap, rinci dan sistematis mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan jika rumah sakit tidak melakukan tindakan medis yang sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety).

E. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi dua yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menunjang pengembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum keperdataan dan lebih khususnya dalam lingkup hukum kesehatan. Serta memberi gambaran standar keselamatan pasien (patient safety) yang ada di rumah sakit.


(26)

2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis yang digunakan pada penelitian ini, yaitu:

a. Mendeskripsikan mengenai standar keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan masukan dan saran kepada RSUD.AM maupun pasien mengenai standar keselamatan pasien yang ada di rumah sakit.

c. Hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi kepada pembaca yang ingin mengetahui dan mempelajari penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) yang ada di RSUD.AM.

d. Memberikan informasi dan gambaran kepada pembaca mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien jika rumah sakit melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar keselamatan pasien (patient safety). e. Sebagai pemenuhan salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan

1. Pengertian dan Sumber Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan termasuk hukum “lex specialis”, melindungi secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan manusia

menuju ke arah tujuan deklarasi “health for all” dan perlindungan secara khusus

terhadap pasien “receiver” untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.3 Dengan sendirinya hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara pelayanan dan penerima pelayanan, baik sebagai perorangan (pasien) atau kelompok masyarakat.4

Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia dalam anggaran dasarnya menyatakan

“Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung

dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi; sarana pedoman medis nasional/internasional, hukum di bidang kedokteran, yurisprudensi serta ilmu pengetahuan bidang

3

Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Nuha Medika, Yogyakarta, 2014, hlm.16.

4

Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm.44.


(28)

kedokteran kesehatan. Yang dimaksud dengan hukum kedokteran ialah bagian

hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan medis”.5

Hukum kesehatan menurut H.J.J. Lennen adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan langsung dengan pelayanan kesehatan dan penerapan kaidah-kaidah hukum perdata, hukum administrasi negara, dan hukum pidana dalam kaitannya dengan hal tersebut.6 Hal yang sama juga disampaikan oleh Van Der Mijn, hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana, dan hukum administrasi negara.7 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum kesehatan adalah seluruh kumpulan peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan.

Sumber hukum kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis (undang-undang), namun juga pada jurisprudensi, traktat, konsensus, dan pendapat ahli hukum serta ahli kedokteran (termasuk doktrin).8 Hukum kesehatan dilihat dari objeknya mencakup segala aspek yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan (zorg voor de gezondheid).9 Dengan demikian dapat dibayangkan bahwa sumber hukum kesehatan cukup luas dan kompleks. Bentuk hukum tertulis atau undang-undang mengenai hukum kesehatan diatur dalam:

5

Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm. 11.

6

Ibid., hlm. 13. 7

Cecep Triwibowo, Op.Cit., hlm. 15. 8 Ta’adi,

Hukum Kesehatan: Sanksi dan Motivasi bagi Perawat, Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2013, hlm. 5.

9


(29)

13

a. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2009).

b. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (selanjutnya disebut UU No. 44 Tahun 2009).

c. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004).

2. Asas Hukum Kesehatan

Asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.10 Sedangkan menurut Eikema Hommes asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar hukum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.11

Ada beberapa asas hukum di dalam ilmu kesehatan, yaitu:12

a. “Sa science et sa conscience” artinya ya ilmunya dan ya hati nuraninya. Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

b. “Agroti Salus Lex Suprema” artinya keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

10

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm. 32. 11

Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2008, hlm. 166.

12


(30)

c. “Deminimis noncurat lex” artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.

d. “Res Ipsa liquitur” artinya faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.

Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa seorang tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan harus menggunakan ilmu dan hati nurani, serta keselamatan pasien (patient safety) harus selalu diperhatikan dan dilindungi. Tidak hanya itu pasien berhak menuntut ganti kerugian apabila tenaga kesehatan melakukan tindakan yang merugikan dirinya.

3. Pihak-Pihak dalam Pelayanan Kesehatan

Pemberian pelayanan kesehatan dilakukan untuk mengobati penyakit yang diderita oleh pasien. Dalam mengobati penyakit itu ada beberapa pihak yang terlibat didalamnya. Pihak-pihak yang terlibat di dalam pelayanan kesehatan tersebut, yaitu:

a. Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan lembaga pelayanan masyarakat yang bergerak dalam bidang kesehatan. Banyak pengertian mengenai arti rumah sakit itu. Pasal 1 angka 1 UU No. 44 Tahun 2009 menyatakan mengenai pengertian rumah sakit yaitu


(31)

15

perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,

dan gawat darurat”.

Menurut American Hospital Association, rumah sakit adalah suatu institusi yang fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan kepada pasien. Pelayanan tersebut merupakan diagnostik dan terapeutik untuk berbagai penyakit dan masalah kesehatan baik yang bersifat bedah maupun non bedah.13

Muninjaya mengatakan bahwa rumah sakit merupakan bagian dari sistem pelayanan publik kesehatan yang harus memenuhi kriteria availability, appropriateness, continuity sustainability, acceptability, affordable, dan quality14, sedangkan menurut Siregar rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya terkait bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan kesehatan yang baik.15

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa rumah sakit merupakan sebuah institusi pelayanan kesehatan yang memberikan pengobatan secara menyeluruh kepada semua masyarakat yang membutuhkan, dan mempunyai tenaga medis yang profesional dibidangnya masing-masing.

Rumah sakit sebagai pihak yang melakukan pelayanan kesehatan memiliki tugas dan fungsi secara jelas diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 44 Tahun 2009.

13

Ibid., hlm. 31-32. 14

A.A Gde Muninjaya, Manajemen Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta, 2004, hlm. 14.

15


(32)

Tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Sedangkan fungsi rumah sakit, yaitu:

1) Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit.

2) Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis. 3) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan 4) Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi

bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.

Rumah sakit menurut Cecep Triwibowo setidaknya memiliki 5 (lima) fungsi, yaitu:16

1) Menyediakan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan terapeutiknya. 2) Memiliki pelayanan rawat jalan.

3) Melakukan pendidikan dan pelatihan.

4) Melakukan penelitian dibidang kedokteran dan kesehatan.

5) Melaksanakan program pencegahan penyakit dan penyuluhan kesehatan bagi populasi disekitarnya.

Tugas dan fungsi rumah sakit inilah yang menjadi pegangan pihak rumah sakit untuk menjalankan pelayanan kesehatan semaksimal mungkin kepada masyarakat yang memerlukan pengobatan. Dengan demikian diharapkan akan tercipta

16

Cecep Triwibowo, Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit, Medika, Yogyakarta, 2012, hlm. 35.


(33)

17

hubungan yang baik antara rumah sakit dan pasien, dan juga dapat mencegah segala tindakan yang dapat merugikan rumah sakit maupun pasien.

Rumah sakit memiliki beberapa jenis dan klasifikasi. Berdasarkan Pasal 18 UU No. 44 Tahun 2009, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan dalam pada Pasal 19 dijelaskan rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit, sedangkan rumah sakit khusus yaitu rumah sakit yang memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Pada Pasal 20 UU No. 44 Tahun 2009, pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Sedangkan rumah sakit privat dalam Pasal 21 dijelaskan sebagai rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Pasal 24 UU No. 44 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit. Klasifikasi rumah sakit umum terdiri atas rumah sakit umum kelas A, rumah sakit umum kelas B, rumah sakit umum kelas C, dan rumah sakit umum kelas D.


(34)

Sedangkan klasifikasi rumah sakit khusus terdiri atas rumah sakit khusus kelas A, rumah sakit khusus kelas B, dan rumah sakit khusus kelas C.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit (selanjutnya disebut Permenkes No. 340 Tahun 2010), mengatur secara jelas bahwa klasifikasi rumah sakit tersebut ditetapkan berdasarkan pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarana, serta administrasi manajemen.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tidak semua rumah sakit memilki kemampuan pengobatan serta peralatan medis yang lengkap dan memadai. Jadi rumah sakit yang tidak mempunyai peralatan medis yang lengkap mempunyai kewajiban untuk merujuk pasien ke rumah sakit yang lebih baik, apabila rumah sakit merasa sudah tidak mampu lagi memberikan pengobatan yang maksimal kepada pasien.

Rumah sakit secara garis besar dibagi dua, yaitu rumah sakit swasta dan rumah sakit pemerintah. Rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta atau non pemerintah, yaitu beberapa orang (persoon) sepakat untuk mendirikan badan hukum (rechtspersoon) dan badan hukum ini melakukan kegiatan dalam bidang pendirian dalam menjalankan rumah sakit. Rumah sakit pemerintah memiliki arti yaitu rumah sakit yang didirikan oleh pemerintah yang peraturannya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.17 Adapun

17

Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hlm. 53.


(35)

19

bentuk badan hukum rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta lazimnya digunakan oleh yayasan (stichting).18

Pemberian pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah maupun rumah sakit swasta tidaklah berbeda. Kedua jenis rumah sakit ini juga mempunyai kewajiban untuk merujuk pasien, apabila mereka sudah tidak mampu memberikan pengobatan kepada pasien. Perbedaan antara ke dua jenis rumah sakit ini hanyalah pendirinya saja, rumah sakit pemerintah didirikan oleh pemerintah sedangkan rumah sakit swasta didirikan oleh beberapa orang atau pengusaha.

b. Pasien

Pasien adalah seseorang yang memerlukan suatu pengobatan baik di rumah sakit maupun balai pengobatan lainnya. Berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU No. 44 Tahun 2009, pasien memiliki pengertian yaitu setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit. Pasien di rumah sakit dalam praktiknya menurut Pasal 1 angka 1 dikelompokkan ke dalam berikut ini: a) Pasien opname

Yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan dengan cara menginap atau dirawat di rumah sakit atau disebut juga pasien rawat inap.

b) Pasien rawat jalan

Yaitu pasien yang memperoleh pelayanan kesehatan tanpa mengharuskan pasien tersebut dirawat inap.

18

Dalmy Iskandar, Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, 1998, hlm. 7.


(36)

Pasien adalah subjek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan hanya sekedar objek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum.19 Oleh karenanya harapan pasien dalam menerima pelayanan medis meliputi:20

(1) Pemberian pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan.

(2) Membantu dan memberikan pelayanan dengan tanggap tanpa membedakan unsur SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan).

(3) Jaminan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan (4) Komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pasien.

Berdasarkan hal tersebut, pasien merupakan seseorang yang membutuhkan pelayanan kesehatan atau pelayanan medis di rumah sakit. Kepuasan pasien harus menjadi pandangan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan, apabila pelayanan kesehatan yang diberikan memuaskan, maka rumah sakit itu pun akan dipandang baik oleh masyarakat. Sedangkan apabila pelayanan kesehatan yang diberikan tidak memuaskan dan cenderung merugikan pasien, maka pasien berhak menuntut ganti kerugian kepada rumah sakit.

c. Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan harus memiliki keahlian medis agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal kepada pasien. Dalam praktiknya tenaga kesehatan terdiri dari:

19

Titik Triwulan dan Shinta Febrina, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 27

20


(37)

21

(1) Dokter

Dokter adalah seorang tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan medis kepada pasien yang membutuhkan pengobatan. Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter adalah suatu pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.

Seorang dokter harus memahami ketentuan hukum yang berlaku dalam pelaksanaan profesinya termasuk didalamnya tentang pemahaman hak-hak dan kewajiban dalam menjalankan profesi sebagai dokter.21 Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya harus benar-benar dipahami dokter sebagai pengemban hak dan kewajiban.

Menurut Fuadi kewajiban hukum yang utama dari seorang dokter terdapat empat hal, yaitu:22

a. Kewajiban melakukan diagnosis penyakit. b. Kewajiban mengobati penyakit.

c. Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta atau tidak.

d. Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter setelah dokter memberikan informasi yang cukup dan dimengerti oleh pasien.

21

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hlm. 3.

22


(38)

Dengan demikian dokter dalam menjalankan profesinya harus besikap profesional dan lebih mementingkan penyembuhan penyakit yang diderita oleh pasien. Kewajiban seorang dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan atau pelayanan medis harus dijalankan sebagaimanamestinya, karena hal ini menyangkut keselamatan serta kesembuhan pasien tersebut.

(2) Perawat

Pengertian perawat diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan No. HK.02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat (selanjutnya disebut Permenkes No. HK.02.02 Tahun 2010) yang menyatakan bahwa, “perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundangan-undangan”. Perawat juga dapat diartikan suatu profesi yang sifat pekerjaannya selalu berada dalam situasi yang menyangkut hubungan antar manusia, terjadi proses interaksi serta saling memengaruhi dan dapat memberikan dampak terhadap tiap-tiap individu yang bersangkutan.23

Pasal 12 Ayat (1) Permenkes No. HK.02.02 Tahun 2010 menjelaskan tentang kewajiban perawat, yaitu:

a. Menghormati hak pasien. b. Melakukan rujukan.

c. Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

d. Memberikan informasi tentang masalah kesehatan pasien/klien dan pelayanan yang dibutuhkan.

23

Mimin Emi, Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktiknya, Kedokteran EGC, Jakarta, 2004, hlm. 4.


(39)

23

e. Meminta persetujuan tindakan keperawatan yang akan dilakukan. f. Melakukan pencatatan asuhan keperawatan secara sistematis. g. Mematuhi standar.

Dengan demikian dapat dijelaskan perawat merupakan suatu profesi di dalam pelayanan kesehatan dan berada dalam situasi yang menyangkut hubungan antara dirinya dengan pasien. Pada proses hubungan antara perawat dengan pasien, pasien mengutarakan masalahnya dalam rangka mendapatkan pertolongan yang artinya pasien mempercayakan dirinya terhadap asuhan keperawatan yang diberikan.

4. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan

Rumah sakit merupakan suatu badan yang memberikan pelayanan medis atau pelayanan kesehatan kepada semua kalangan masyarakat yang memerlukan pengobatan (pasien). Pelayanan medis yang diberikan oleh rumah sakit terhadap pasien akan mengakibatkan hubungan hukum antara kedua belah pihak, terutama dalam aspek hukum perdata akan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Hubungan hukum yang timbul antara rumah sakit dan pasien dalam hukum perdata menghasilkan dua macam perjanjian, yaitu:24

a. Perjanjian pelayanan medis, ketika terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara

24Ta’adi,


(40)

maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis (ispanning verbintenis).

b. Perjanjian perawatan, ketika terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan tempat tenaga perawat melakukan asuhan keperawatan.

Perjanjian dapat diartikan sebagai suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Selain itu merupakan suatu peristiwa hukum di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.25 Jadi, baik rumah sakit maupun pasien dituntut untuk memenuhi segala kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut, tidak hanya itu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis berlaku dari mulai pasien di rawat di rumah sakit hingga pasien ke luar dari rumah sakit.

Pihak rumah sakit dalam perjanjian perawatan berperan secara langsung untuk memenuhi keinginan pasien dalam hal ruang perawatan dan perlengkapan yang diperlukan pasien selama proses pelayanan medis berlangsung di rumah sakit. Dalam perjanjian pelayanan medis, rumah sakit tidak berperan secara langsung melakukan tindakan medis, tetapi yang berperan adalah dokter yang telah ditunjuk oleh rumah sakit untuk memberikan tindakan medis kepada pasien.

Perjanjian pelayanan medis tersebut sering disebut dengan istilah transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik merupakan hubungan hukum antara dua subjek hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan atas sikap saling percaya. Di

25


(41)

25

dalam transaksi terapeutik sikap saling percaya akan tumbuh apabila dokter dan pasien terjalin komunikasi yang saling terbuka, karena masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi terapeutik yaitu kesembuhan pasien.26

Transaksi terapeutik antara dokter dengan pasien, mengharuskan dokter sebagai tenaga kesehatan dalam melakukan pengobatan harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pasien tersebut (Informed Consent). Secara harfiah, Informed dapat diartikan telah diberitahukan, telah disampaikan, atau telah dikonfirmasikan. Sedangakan consent adalah persetujuan yang diberikan seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga kesehatan setelah diberikan penjelasan.27

Ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan informed consent agar transaksi terapeutik ini tidak cacat hukum, yaitu:28

(1) Tidak bersifat memperdaya (fraud). (2) Tidak berupaya menekan (force). (3) Tidak menciptakan ketakutan (fear).

Berdasarkan Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2004 terdapat beberapa prinsip yang harus ada berkaitan dengan informed consent tersebut, yaitu:

(1) Setiap tindakan medis harus mendapat persetujuan pasien.

26

Cecep Triwibowo, Op.Cit., hlm. 63-64. 27

Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, Op.Cit., hlm. 71. 28Ta’adi,


(42)

(2) Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap. (3) Penjelasan tersebut sekurang-kurangnya mencakup:

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis. b. tujuan tindakan medis yang dilakukan. c. alternatif tindakan lain dan risikonya. d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

(4) Persetujuan dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.

Menurut H.J.J. Lennen dalam kondisi tertentu dikenal istilah “fictie yuridis” atau fiksi hukum. Fiksi hukum menyatakan bahwa seseorang dalam kondisi tidak sadar akan menyutujui hal yang pada umumnya disetujui oleh pasien yang berada dalam kondisi sadar pada situasi dan kondisi sakit yang sama (presumed consent). Sedangkan menurut Van Der Mijn penanganan pasien yang dalam kondisi tidak sadar dapat dikaitkan pada Pasal 1354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPdt) yang mengatur “zaakwarneming” atau perwakilan sukarela, yaitu sikap/tindakan yang pada dasarnya merupakan pengambilalihan tanggung jawab dengan tindakan menolong pasien, dan bila pasien telah sadar, tenaga kesehatan dapat bertanya apakah perawatan dapat diteruskan atau ingin beralih ke tenaga kesehatan yang lain.29

29


(43)

27

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa terdapat dua unsur yang harus ada dalam informed consent yaitu pasien harus mendapatkan informasi mengenai tindakan medis yang akan dilakukan dan tindakan medis yang dilakukan harus mendapatkan persetujuan oleh pasien tersebut. Persetujuan dari pasien tersebut dapat diwakilkan oleh pihak lain apabila pasien dalam kondisi kritis dan memerlukan pengobatan secepat mungkin, akan tetapi setelah pasien sadar tenaga kesehatan wajib menjelaskan dan menanyakan persetujuan dari pasien tersebut.

Berdasarkan hal tersebut maka tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan harus sesuai dengan standar pelayanan atau tindakan medis yang telah ditetapkan. Selain itu, hal terpenting dan yang menjadi perioritas utama dalam melakukan tindakan medis adalah keselamatan pasien (patient safety) itu sendiri. Dokter dan perawat dituntut untuk melakukan tindakan medis semaksimal mungkin dan tidak melakukan tindakan yang dapat membahayakan keselamatan pasien (patient safety). Pelayanan atau tindakan medis dilakukan oleh dokter maupun perawat di rumah sakit yang dapat membahayakan keselamatan pasien (patient safety) merupakan tanggung jawab dokter ataupun perawat tersebut, jadi dokter ataupun perawat bertanggung jawab atas kerugian yang di derita oleh pasien.

Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan juga menanggung kewajiban untuk ikut bertanggung jawab apabila terjadi hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien (patient safety) di lingkungan rumah sakitnya. Hal ini sering dikenal dengan istilah vicarious liability. Hal ini disebabkan karena hubungan kontraktual antar rumah sakit dengan pihak dokter, perawat atau petugas


(44)

kesehatan lainnya. Dengan demikian meskipun rumah sakit itu merupakan badan swasta, tetap memiliki tanggung jawab sosial untuk memikul standar pelayanan publik karena yang dilayani adalah masyarakat luas. Selain itu juga memikul semua tanggung jawab orang-orang yang bekerja di bawah naungannya.30

B. Keselamatan Pasien (Patient Safety) dalam Pelayanan Kesehatan

1. Sejarah Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Program mengenai keselamatan pasien (patient safety) sudah ada sejak dulu, namun program tersebut masih dipandang sebelah mata dan tidak dijalankan dengan baik oleh rumah sakit maupun pemerintah. Ini membuat sistem pelayanan terhadap keselamatan pasien (patient safety) pun sangat buruk. Pada November 1999, the American Hospital Asosiation (AHA) Board of Trustees mengidentifikasikan bahwa keselamatan dan keamanan pasien (patient safety) merupakan sebuah prioritas strategis. Mereka juga menetapkan capaian-capaian peningkatan yang terukur untuk medication safety sebagai target utamanya. Tahun 2000, Institute of Medicine, Amerika Serikat dalam “To Err Is Human: Building a Safer Health System” melaporkan bahwa dalam pelayanan pasien rawat inap di rumah sakit ada sekitar 3-16% Kejadian Tidak Diharapkan (KTD/Adverse Event). Menindaklanjuti penemuan ini, tahun 2004 World Health Organization (WHO) mencanangkan World Alliance for Patient Safety, program bersama dengan berbagai negara untuk meningkatkan keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit.31

30

Alexandra Indriyanti Dewi, Op.Cit, hlm. 287. 31

http://marsenorhudy.wordpress.com/2011/01/07/patient-safetiy-keselamatan-pasien-rumah-sakit/ diakses pada tanggal 12 April 2014 pukul 19.00


(45)

29

Pada tahun 2005 di Indonesia telah dikeluarkan pula Keputusan Menteri No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, yang tujuan utamanya adalah untuk tercapainya pelayanan medis prima di rumah sakit yang jauh dari medical error dan memberikan keselamatan bagi pasien. Perkembangan ini diikuti oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) yang berinisiatif melakukan pertemuan dan mengajak semua stakeholder rumah sakit untuk lebih memperhatikan keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit.32

Hal ini yang menjadi awal mula kesadaran akan keselamatan pasien (patient safety) mulai terbentuk dan disadari juga bahwa keselamatan pasien (patient safety) itu sangat penting, karena ini sudah menyangkut nyawa seorang pasien. Semua pasien di rumah sakit tidak hanya diberikan pengobatan saja, tetapi mereka harus dilindungi dari tindakan pihak rumah sakit yang tidak sesuai dengan ketentuan dan dapat membahayakan keselamatan serta nyawa pasien tersebut.

2. Pengertian dan Dasar Hukum Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Rumah sakit sebagai pihak yang memberikan pengobatan harus lebih melindungi pasien dari tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan dan cenderung dapat membahayakan keselamatan pasien (patient safety). Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit (selanjutnya disebut Permenkes No. 1691 Tahun 2011), menyebutkan keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah

32


(46)

sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Dengan demikian keselamatan pasien (patient safety) memiliki arti yaitu rumah sakit membuat suatu aturan yang melindungi pasien dari tindakan medis yang tidak sesuai dan dapat membahayakan nyawa pasien itu, agar dapat membuat pasien merasa lebih nyaman dan aman dalam melakukan pengobatan di rumah sakit.

Keselamatan pasien (patient safety) dipandang perlu untuk dilakukan, agar dapat mencegah hal-hal yang dapat membahayakan nyawa pasien tersebut. Selain itu, dasar hukum terbentuknya keselamatan pasien ini diatur UU No. 44 Tahun 2009 yang intinya berbunyi bahwa keselamatan pasien (patient safety) harus selalu dilindungi oleh rumah sakit dan tenaga kesehatan yang ada didalamnya. Berdasarkan undang-undang tersebut, keselamatan pasien pun diatur secara lebih rinci dan jelas dalam Permenkes No. 1691 Tahun 2011. Hal ini menandakan bahwa rumah sakit sebagai pelayanan kesehatan harus selalu berusaha mengobati dan menjaga keselamatan pasien (patient safety) tersebut.


(47)

31

3. Tujuan dan Langkah Menuju Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Keselamatan pasien (patient safety) sudah merupakan salah satu program pemerintah yang memiliki beberapa tujuan, yaitu:33

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit.

b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat. c. Menurunnya Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) di Rumah Sakit.

d. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

Agar dapat mencapai tujuan keselamatan pasien (patient safety) tersebut, dalam Pasal 9 Permenkes No. 1691 Tahun 2011 menyebutkan beberapa langkah-langkah agar keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit tercapai, yaitu: a. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien.

b. Memimpin dan mendukung staf.

c. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. d. Mengembangkan sistem pelaporan.

e. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien.

f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien. g. Mencegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien.

Tujuan serta langkah-langkah ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat terutama tenaga kesehatan, agar dapat menjalani profesinya sebaik mungkin dan menjadikan keselamatan pasien (patient safety) sebagai perioritas

33

Tim Penyusun, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 20.


(48)

utama dalam memberikan pelayanan pengobatan di rumah sakit, yang akan membuat pasien merasa lebih aman dan nyaman selama dalam masa pengobatan.

C. Tanggung Jawab Hukum dalam Hukum Perdata

1. Tanggung Jawab Hukum

Tanggung jawab dalam kamus Bahasa Indonesia memiliki arti yaitu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkirakan, dan sebagainya).34 Tanggung jawab hukum itu terjadi karena adanya kewajiban yang tidak dipenuhi oleh salah satu pihak yang melakukan perjanjian, hal tersebut juga membuat pihak yang lain mengalami kerugian akibat haknya tidak dipenuhi oleh salah satu pihak tersebut.

Tanggung jawab hukum memiliki beberapa arti. Menurut Wahyu Sasongko, tanggung jawab hukum adalah kewajiban menanggung suatu akibat menurut ketentuan hukum yang berlaku dan di sini ada norma atau peraturan hukum yang mengatur tentang tanggung jawab. Ketika, ada perbuatan yang melanggar norma hukum itu, maka pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan norma hukum yang dilanggar.35

Ridwan Halim mendefinisikan tanggung jawab hukum sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan

34

Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, Apollo, Surabaya, 1997, hlm. 576. 35

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2007, hlm. 96.


(49)

33

sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berperilaku menurut cara tertentu tidak menyimpang dari peraturan yang telah ada.36

Dengan demikian tanggung jawab hukum diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang wajib menanggung segala akibat dari tindakannya yang sudah melanggar ketentuan yang diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan. Orang yang melanggar tersebut wajib bertanggung jawab dan mengganti kerugian yang telah diperbuatnya.

Prinsip tanggung jawab dalam hukum secara umum dibedakan sebagai berikut :37 a. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). b. Prinsip praduga untuk bertanggung jawab (presumption of liability).

c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability).

d. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability).

e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability).

Tanggung jawab hukum dalam hukum perdata digantungkan pada sifat hubungan hukum yang melahirkan hak-hak keperdataan. Tanggung jawab dalam hukum perdata dapat dimintakan berdasarkan pertanggungjawaban kerugian karena perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad) atau pertanggungjawaban atas kerugian karena wanprestasi.38

36

Khairunnisa, Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi, Pasca Sarjana, Medan 2008, hlm. 4.

37

Titik Triwulan Tutik dan Sinta Febriana, Op.Cit., hlm. 49. 38


(50)

Pertanggungjawaban atas kerugian akibat perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPdt diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena kesalahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi empat unsur berikut ini, yaitu:39

a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig). b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.

c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.

d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.

Menurut Abdulkadir Muhammad, tanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:40

a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.

b. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).

c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan

39

Ibid., hlm. 252. 40

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 535.


(51)

35

kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.

Pertanggungjawaban atas kerugian karena wanprestasi lebih disebabkan adanya pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak. Wanprestasi dalam KUHPdt memiliki arti yaitu suatu keadaaan dimana seseorang (debitur) tidak memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Wanprestasi itu sendiri dapat berupa, yaitu:

a. Tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan (Pasal 1239 KUHPdt).

b. Melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimanamestinya (Pasal 1248 KUHPdt).

c. Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat (Pasal 1243 KUHPdt). d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan (Pasal

1242 KUHPdt).

Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman atau sanksi hukum, yakni:41

a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUHPdt).

b. Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusan/pembatalan perikatan melalui hakim (Pasal 1266 KUHPdt).

c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur sejak terjadi wanprestasi (Pasal 1237 Ayat 2 KUHPdt).

41

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 204.


(52)

d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267 KUHPdt).

e. Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.

Kerugian yang timbul dalam wanprestasi wajib diganti oleh debitur sejak ia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu:42

a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.

b. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur.

c. Bunga atau ongkos yang diharapkan.

Ganti kerugian harus berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain. Dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu mungkin hanya kerugian yang sesungguhnya, mungkin hanya ongkos-ongkos atau biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah ongkos dan biaya.

Berdasarkan Pasal 1246-1248 KUHPdt mengenai ganti kerugian dalam wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung pada perbuatan melawan hukum, melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis. Kerugian yang ditimbulkan dalam perbuatan melawan hukum dapat bersifat materiil dan kerugian immateriil.

Kerugian materiil dapat berupa kerugian yang nyata dan dapat ditaksir besarnya kerugian yang diderita, sedangkan kerugian immateriil merupakan kerugian yang

42


(53)

37

menyebabkan seseorang mendapatkan tekanan mental akibat tindakan yang sudah merugikan dirinya. Jadi dimungkinkan kerugian yang timbul dalam perbuatan melawan hukum tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi dapat berupa kerugian yang terjadi setelah perbuatan melawan hukum itu terjadi.

Berdasarkan hal tersebut dasar pertanggungjawaban dalam hukum perdata itu ada dua macam yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal pertanggungjawaban atas dasar kesalahan (liability without based on fault) dan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability without fault) yang dikenal dengan tanggung jawab risiko (risk liability) atau tanggung jawab mutlak (strict liability). Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena seseorang tersebut telah bersalah melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko merupakan dasar pertanggungjawaban, maka pasien sebagai penggugat tidak diwajibkan lagi membuktikan kesalahan dokter (tenaga kesehatan) sebagai tergugat sebab menurut prinsip ini dasar pertanggungjawaban bukan lagi kesalahan melainkan dokter langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.43

Pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan atau pelayanan medis yang mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud adalah dokter yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien. Apabila

43

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban Menurut Hukum Perdata, Raja Grafindo Perada, Jakarta, 2006, hlm. 125.


(54)

dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit, terlebih dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja perlu diteliti terlebih dahulu. Apabila kesalahan dilakukan oleh dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi.44

Dengan demikian pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan merupakan pertanggungjawaban yang terjadi karena adanya unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merugikan pasien. Rumah sakit sebagai pihak yang mempekerjakan tenaga kesehatannya harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya tersebut.

2. Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdata

Upaya hukum penyelesaian sengketa dalam hukum perdata selain melalui pengadilan (litigasi), dapat juga dilakukan di luar pengadilan (non litigasi). Menurut Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan (litigasi), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan (non litigasi), yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau Alternatif Penyelesaian Sengketa.45 Penyelesaian sengketa dalam pelayanan kesehatan pun dibagi dua, yaitu mediasi (non litigasi) dan pengajuan gugatan melalui pengadilan (litigasi).

44

http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/354_JURNAL-INDRAWATI.pdf. diakses pada tanggal 26 Agustus 2014 pukul 20.00

45


(55)

39

a. Mediasi (Non Litigasi)

Para ahli mengungkapkan pengertian mediasi yaitu suatu proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.46

Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa menjadi pilihan masyarakat dalam mencari solusi untuk mendapatkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, disamping proses ini akan mengurangi penumpukan perkara perdata di pengadilan. Langkah-langkah yang diambil dalam mediasi mengutamakan win-win solution dan berfikir ke masa depan yang lebih baik.47

Penyelesaian sengketa dalam pelayanan kesehatan diharuskan terlebih dahulu melalui proses mediasi. Hal tersebut ditekankan dalam Pasal 29 UU No. 36 Tahun

2009 yang berisi, “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam

menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu

melalui mediasi”.

Beberapa alasan penting memilih mediasi dibandingkan penyelesaian sengketa melalui pengadilan antara lain:48

(1) Mediasi sebagai jalan untuk menyelesaikan perbedaan maupun pengertian serta tuntutan yang dipersoalkan oleh para pihak, dengan alasan bahwa

46

Cecep Triwibowo, Op.Cit., hlm. 292. 47

Ibid., hlm. 293. 48


(56)

mediasi membutuhkan waktu jauh lebih sedikit dibandingkan melalui jalur secara hukum yang umum.

(2) Proses mediasi bersifat rahasia, artinya bahwa pasien dan keluarganya serta tenaga kesehatan dijaga kerahasiannya, apapun yang terjadi dalam proses mediasi tetap rahasia.

(3) Dalam sengketa medis, mediasi menawarkan beberapa kemungkinan dan fleksibilitas untuk menyelesaikan sengketa dan sebagai kontrol para pihak menyelesaikan lebih baik.

(4) Alasan lain dalam memilih mediasi sebagai penyelesaian sengketa medis, merupakan usaha yang dilakukan atas usaha bersama para pihak.

Dengan demikian mediasi melalui jalur non litigasi dalam penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan merupakan penyelesaian yang wajib dilakukan terlebih dahulu. Selain itu, penyelesaian sengketa melalui mediasi akan lebih cepat ditemukan solusinya dan solusi yang tercapai pun akan saling menguntungkan kedua belah pihak.

b. Pengajuan Gugatan melalui Pengadilan (Litigasi)

Pasien yang merasa dirugikan akibat perbuatan tenaga kesehatan dapat menyelesaikannya melalui peradilan secara perdata dengan cara mengajukan gugatan. Pada umumnya tata cara penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan melalui peradilan perdata diatur dan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata. Pengajuan gugatan ini dilakukan apabila pihak terkait tidak mencapai kata sepakat dalam proses mediasi yang dilakukan antara pasien dengan rumah sakit ataupun tenaga kesehatannya.


(57)

41

Dasar hukum seorang pasien boleh melalui jalur peradilan perdata terdapat dalam

Pasal 32 huruf q UU No. 44 Tahun 2009 menyatakan, “setiap pasien mempunyai

hak menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata

ataupun pidana”. Tidak hanya itu di dalam Pasal 66 Ayat (3) UU No. 29 Tahun 2004 menjelaskan “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke

pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut pengajuan gugatan melalui pengadilan diperbolehkan dan menjadi hak pasien apabila merasa dirugikan oleh tindakan medis yang diberikan, akan tetapi pengajuan gugatan ini dilakukan apabila proses mediasi yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan yang diinginkan.


(58)

D. Kerangka Pikir

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah, maka dibuat kerangka pikir sebagai berikut:

Keterangan:

Pelayanan kesehatan merupakan salah satu program pemerintah untuk melayani dan mengobati masyarakat yang membutuhkan pengobatan. Semua masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan yang sama sebagaimana yang telah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009. Dalam UU No. 44 Tahun 2009 rumah sakit merupakan salah satu lembaga kesehatan yang menyelenggarakan dan menyediakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang memerlukan pengobatan (pasien). Selain itu, rumah sakit dituntut bekerja profesional dalam

Rumah Sakit Umum Daerah

Dr. H. Abdul Moeloek Pasien

Pelayanan Kesehatan

Standar Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Upaya hukum yang dapat dilakukan jika rumah sakit

tidak menerapkan standar keselamatan pasien (patient

safety) Penerapan standar

keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek


(59)

43

menjalankan pelayanan kesehatan dan bekerja semaksimal mungkin dalam melakukan perawatan terhadap pasien tersebut. Rumah sakit juga harus menjaga keselamatan pasien (patient safety) sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011. Salah satu rumah sakit tersebut yaitu Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUD.AM). RSUD.AM selain harus memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal, rumah sakit juga harus menerapkan standar keselamatan pasien (patient safety) sesuai dengan Permenkes. Keselamatan pasien (patient safety) harus selalu dilindungi oleh rumah sakit agar tidak terjadi suatu hal yang dapat membahayakan nyawa pasien tersebut.

Pada penelitian ini hal yang akan diteliti adalah mengenai keselamatan pasien (patient safety) di rumah sakit. Keselamatan pasien (patient safety) harus menjadi prioritas utama oleh pihak rumah sakit selama melakukan pelayanan kesehatan kepada pasien, karena keselamatan pasien (patient safety) merupakan salah satu hak pasien yang wajib dipenuhi oleh pihak rumah sakit. Apabila rumah sakit dalam melakukan tindakan medis tidak menerapkan standar keselamatan pasien (patient safety) sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011, maka pasien dapat melakukan upaya hukum terhadap tindakan medis yang telah membahayakan keselamatannya.

Penelitian ini akan mendeskripsikan standar keselamatan pasien (patient safety), serta penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) di RSUD.AM. Selain itu, menjelaskan upaya hukum apa saja yang dapat dilakukan jika rumah sakit tidak menerapkan standar keselamatan pasien (patient safety) sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011.


(1)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Setiap rumah sakit memiliki kewajiban untuk menerapkan standar keselamatan pasien (patient safety) berdasarkan Permenkes No. 1691 Tahun 2011. Terdapat tujuh standar keselamatan pasien (patient safety) tersebut yaitu hak pasien, mendidik pasien dan keluarga, keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan, penggunaan metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien, peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien, mendidik staf tentang keselamatan pasien, dan komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

2. Penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek (RSUD.AM) adalah dengan membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) sesuai dengan Kepdirut No. 420/7057/5.3/XI/2011. Tim tersebut bertugas untuk melaksanakan segala kegiatan yang bertujuan untuk menjaga keselamatan pasien (patient safety) sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011.


(2)

3. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien apabila rumah sakit tidak menjalankan standar keselamatan pasien sesuai dengan Permenkes No. 1691 Tahun 2011 yaitu dapat melalui mediasi (non litigasi) atau pengajuan gugatan melalui pengadilan (litigasi). Mediasi (non litigasi) merupakan upaya hukum yang harus dilakukan terlebih dahulu oleh pasien. Dalam proses ini baik pasien maupun rumah sakit dapat menemukan solusi terbaik yang dapat menguntungkan kedua pihak. Akan tetapi apabila tidak ditemukan solusi terbaik maka pasien dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan (litigasi).

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat disarankan sebagai berikut:

1. Semua rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja didalamnya wajib menjaga keselamatan pasien (patient safety), agar tindakan yang dapat membahayakan nyawa dan merugikan pasien tidak terjadi.

2. Pembentukan TKPRS merupakan kewajiban rumah sakit yang harus selalu diperhatikan, apabila terdapat anggota TKPRS yang sudah tidak bekerja lagi di sana maka sudah menjadi kewajiban rumah sakit untuk cepat mencari pengganti anggota tersebut, agar tugas TKPRS untuk menjaga keselamatan pasien tidak terganggu.

3. Penerapan standar keselamatan pasien (patient safety) merupakan kewajiban semua rumah sakit terutama RSUD.AM, akan tetapi dalam penerapannya RSUD.AM belum sepenuhnya menerapkan standar keselamatan pasien (patient safety). Seharusnya baik RSUD.AM maupun rumah sakit yang lain


(3)

80

wajib menerapkan sepenuhnya standar keselamatan pasien yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. Pasien harus lebih teliti dan cermat apabila melakukan pengobatan di rumah sakit agar mereka tidak mendapat kerugian dan apabila pasien mendapatkan kerugian akibat kelalaian pihak rumah sakit, maka pasien dapat menuntut hak-hak mereka untuk mendapatkan ganti kerugian akibat hal tersebut.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

Astuti, Endang Kusuma. 2009. Transaksi Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Daryanto. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap. Surabaya: Apollo.

Dewi, Alexandra Indriyanti. 2008. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.

Emi, Mimin. 2004. Etika Keperawatan Aplikasi Pada Praktiknya. Jakarta: Kedokteran EGC.

Fuady, Munir. 2002. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Iskandar, Dalmy. 1998. Hukum Rumah Sakit dan Tenaga Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika.

Isfandyarie, Anny. 2006. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Ikhsan, Arfan. 2010. Manajemen Rumah Sakit. Bandung: Graha Ilmu.

Junaidi, Eddi. 2011. Mediasi dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Jakarta: Rajawali Pers.

Komalawati, Veronica. 2002. Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Khairunnisa. 2008. Kedudukan, Peran dan Tanggung Jawab Hukum Direksi. Medan: Pasca Sarjana.

Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.

Muhammad, Abdulkadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.


(5)

82

Muninjaya, A.A Gde. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Muhammad, Abdulkadir. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Subekti. 1987. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Inermasa.

Sudiarto, H., Zaeni Asyhadie. 2004. Mengenal Arbitrase. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sidabalok, Janus. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sasongko, Wahyu. 2007. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Soekanto, Soerjono. 2009. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Rajawali Pers. Siswati, Sri. 2013. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif

Undang-Undang Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers.

Tim Penyusun. 2008. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Tutik, Titik Triwulan, Sinta Febriana. 2010. Perlindungan Hukum Bagi Pasien. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

Triwibowo, Cecep. 2012. Perizinan dan Akreditasi Rumah Sakit. Yogyakarta: Medika.

Ta’adi. 2013. Hukum Kesehatan: Sanksi dan Motivasi bagi Perawat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Triwibowo, Cecep. 2014. Etika dan Hukum Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Usman, Rachmadi. 2012. Mediasi di Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Waitzkin, Waterman. 1993. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Prima Aksara.


(6)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Keputusan Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung No. 420/7057/5.3/XI/2011 tentang Pembentukan Tim Keselamatan Pasien (Patient Safety) Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung.

Sumber Lain

Wawancara langsung dengan Heriyanto sebagai Kepala Bagian Hukum Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/14/02/13/n0xakw-kasus-pembuangan-pasien-merupakan-kejahatan-kemanusiaan

http://news.liputan6.com/read/821401/video-buang-pasien-2-pejabat-rumah-sakit-jadi-tersangka

http://marsenorhudy.wordpress.com/2011/01/07/patient-safetiy-keselamatan-pasien-rumah-sakit/

http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/354_JURNAL-INDRAWATI.pdf.