Tujuan dan Langkah Menuju Keselamatan Pasien Patient Safety
Pertanggungjawaban atas kerugian akibat perbuatan melawan hukum menurut Pasal 1365 KUHPdt diartikan sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum yang
dilakukan oleh seseorang yang karena kesalahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila memenuhi
empat unsur berikut ini, yaitu:
39
a. Perbuatan itu harus melawan hukum onrechtmatig.
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan.
d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
Menurut Abdulkadir Muhammad, tanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum dibagi menjadi beberapa teori, yaitu:
40
a. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja intertional tort liability, tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa
yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian. b.
Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian negligence tort lilability, didasarkan pada konsep kesalahan
concept of fault yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur interminglend.
c. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan kesalahan stirck liability, didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan
39
Ibid., hlm. 252.
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 535.
kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
Pertanggungjawaban atas kerugian karena wanprestasi lebih disebabkan adanya
pelanggaran perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak. Wanprestasi dalam KUHPdt memiliki arti yaitu suatu keadaaan dimana seseorang debitur tidak
memenuhi kewajibannya yang didasarkan pada suatu perjanjian atau kontrak. Wanprestasi itu sendiri dapat berupa, yaitu:
a. Tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan Pasal 1239 KUHPdt.
b. Melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimanamestinya Pasal 1248
KUHPdt. c.
Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat Pasal 1243 KUHPdt. d.
Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan Pasal 1242 KUHPdt.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah hukuman
atau sanksi hukum, yakni:
41
a. Debitur diwajibkan membayar ganti kerugian yang telah diderita oleh kreditur
Pasal 1243 KUHPdt. b.
Apabila perikatan itu timbal balik, kreditur dapat menuntut pemutusanpembatalan perikatan melalui hakim Pasal 1266 KUHPdt.
c. Dalam perikatan untuk memberikan sesuatu, resiko beralih kepada debitur
sejak terjadi wanprestasi Pasal 1237 Ayat 2 KUHPdt.
41
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 204.
d. Debitur diwajibkan memenuhi perikatan jika masih dapat dilakukan, atau
pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian Pasal 1267 KUHPdt. e.
Debitur wajib membayar biaya perkara jika diperkarakan di muka Pengadilan Negeri, dan debitur dinyatakan bersalah.
Kerugian yang timbul dalam wanprestasi wajib diganti oleh debitur sejak ia dinyatakan lalai. Ganti kerugian itu sendiri terdiri dari tiga unsur, yaitu:
42
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.
b. Kerugian sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur
akibat kelalaian debitur. c.
Bunga atau ongkos yang diharapkan. Ganti kerugian harus berupa uang bukan barang, kecuali jika diperjanjikan lain.
Dalam ganti kerugian itu tidak selalu ketiga unsur itu harus ada. Yang ada itu mungkin hanya kerugian yang sesungguhnya, mungkin hanya ongkos-ongkos atau
biaya, atau mungkin kerugian sesungguhnya ditambah ongkos dan biaya. Berdasarkan Pasal 1246-1248 KUHPdt mengenai ganti kerugian dalam
wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung pada perbuatan melawan hukum, melainkan dibuka kemungkinan penerapan secara analogis. Kerugian
yang ditimbulkan dalam perbuatan melawan hukum dapat bersifat materiil dan kerugian immateriil.
Kerugian materiil dapat berupa kerugian yang nyata dan dapat ditaksir besarnya
kerugian yang diderita, sedangkan kerugian immateriil merupakan kerugian yang
42
Ibid., hlm. 207.
menyebabkan seseorang mendapatkan tekanan mental akibat tindakan yang sudah merugikan dirinya. Jadi dimungkinkan kerugian yang timbul dalam perbuatan
melawan hukum tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi dapat berupa kerugian yang terjadi setelah perbuatan melawan hukum itu terjadi.
Berdasarkan hal tersebut dasar pertanggungjawaban dalam hukum perdata itu ada
dua macam yaitu kesalahan dan risiko. Dengan demikian dikenal pertanggungjawaban atas dasar kesalahan liability without based on fault dan
pertanggungjawaban tanpa kesalahan liability without fault yang dikenal dengan tanggung jawab risiko risk liability atau tanggung jawab mutlak strict liability.
Prinsip dasar pertanggungjawaban atas dasar kesalahan mengandung arti bahwa seseorang harus bertanggung jawab karena seseorang tersebut telah bersalah
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain. Sebaliknya prinsip tanggung jawab risiko merupakan dasar pertanggungjawaban, maka pasien sebagai
penggugat tidak diwajibkan lagi membuktikan kesalahan dokter tenaga kesehatan sebagai tergugat sebab menurut prinsip ini dasar pertanggungjawaban
bukan lagi kesalahan melainkan dokter langsung bertanggung jawab sebagai risiko usahanya.
43
Pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan atau pelayanan medis yang
mana pihak pasien merasa dirugikan maka perlu untuk diketahui siapa yang terkait di dalam tenaga medis tersebut. Tenaga medis yang dimaksud adalah
dokter yang bekerjasama dengan tenaga profesional lain di dalam menyelenggarakan dan memberikan pelayanan medis kepada pasien. Apabila
43
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban Menurut Hukum Perdata, Raja Grafindo Perada, Jakarta, 2006, hlm. 125.
dalam tindakan medis terjadi kesalahan dan mengakibatkan kerugian terhadap pasien, maka tanggung jawab tidak langsung kepada pihak rumah sakit, terlebih
dahulu harus melihat apakah kesalahan tersebut dilakukan oleh dokter atau tenaga medis yang lain. Setiap masalah yang terjadi baik sengaja maupun tidak sengaja
perlu diteliti terlebih dahulu. Apabila kesalahan dilakukan oleh dokter, maka rumah sakit yang bertanggung jawab secara umumnya dan dokter sebagai
pelaksana tindakan medis dapat dikenakan sanksi.
44
Dengan demikian pertanggungjawaban dalam hal pelayanan kesehatan merupakan
pertanggungjawaban yang terjadi karena adanya unsur kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang merugikan pasien. Rumah sakit
sebagai pihak yang mempekerjakan tenaga kesehatannya harus ikut bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatannya tersebut.
2.
Upaya Hukum Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Perdata
Upaya hukum penyelesaian sengketa dalam hukum perdata selain melalui
pengadilan litigasi, dapat juga dilakukan di luar pengadilan non litigasi. Menurut Rachmadi Usman, bahwa selain melalui pengadilan litigasi,
penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan di luar pengadilan non litigasi, yang lazim dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution ADR atau
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
45
Penyelesaian sengketa dalam pelayanan kesehatan pun dibagi dua, yaitu mediasi non litigasi dan pengajuan gugatan
melalui pengadilan litigasi.
44
http:hukum.ub.ac.idwp-contentuploads201309354_JURNAL-INDRAWATI.pdf. diakses pada tanggal 26 Agustus 2014 pukul 20.00
45
Rachmadi Usman, Mediasi di Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 8.
a. Mediasi Non Litigasi
Para ahli mengungkapkan pengertian mediasi yaitu suatu proses penyelesaian
sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki kewenangan memutus. Pihak
netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial.
46
Mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa menjadi pilihan masyarakat
dalam mencari solusi untuk mendapatkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, disamping proses ini akan mengurangi penumpukan perkara perdata di
pengadilan. Langkah-langkah yang diambil dalam mediasi mengutamakan win- win solution dan berfikir ke masa depan yang lebih baik.
47
Penyelesaian sengketa dalam pelayanan kesehatan diharuskan terlebih dahulu
melalui proses mediasi. Hal tersebut ditekankan dalam Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 yang berisi, “dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”.
Beberapa alasan penting memilih mediasi dibandingkan penyelesaian sengketa
melalui pengadilan antara lain:
48
1 Mediasi sebagai jalan untuk menyelesaikan perbedaan maupun pengertian
serta tuntutan yang dipersoalkan oleh para pihak, dengan alasan bahwa
46
Cecep Triwibowo, Op.Cit., hlm. 292.
47
Ibid., hlm. 293.
48
Ibid., hlm. 294-295.
mediasi membutuhkan waktu jauh lebih sedikit dibandingkan melalui jalur secara hukum yang umum.
2 Proses mediasi bersifat rahasia, artinya bahwa pasien dan keluarganya serta
tenaga kesehatan dijaga kerahasiannya, apapun yang terjadi dalam proses mediasi tetap rahasia.
3 Dalam sengketa medis, mediasi menawarkan beberapa kemungkinan dan
fleksibilitas untuk menyelesaikan sengketa dan sebagai kontrol para pihak menyelesaikan lebih baik.
4 Alasan lain dalam memilih mediasi sebagai penyelesaian sengketa medis,
merupakan usaha yang dilakukan atas usaha bersama para pihak. Dengan demikian mediasi melalui jalur non litigasi dalam penyelesaian sengketa
pelayanan kesehatan merupakan penyelesaian yang wajib dilakukan terlebih dahulu. Selain itu, penyelesaian sengketa melalui mediasi akan lebih cepat
ditemukan solusinya dan solusi yang tercapai pun akan saling menguntungkan kedua belah pihak.
b. Pengajuan Gugatan melalui Pengadilan Litigasi
Pasien yang merasa dirugikan akibat perbuatan tenaga kesehatan dapat
menyelesaikannya melalui peradilan secara perdata dengan cara mengajukan gugatan. Pada umumnya tata cara penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan
melalui peradilan perdata diatur dan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata. Pengajuan gugatan ini dilakukan apabila pihak terkait tidak mencapai
kata sepakat dalam proses mediasi yang dilakukan antara pasien dengan rumah sakit ataupun tenaga kesehatannya.
Dasar hukum seorang pasien boleh melalui jalur peradilan perdata terdapat dalam Pasal 32 huruf q UU No. 44 Tahun 2009 menyatakan, “setiap pasien mempunyai
hak menggugat danatau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata
ataupun pidana”. Tidak hanya itu di dalam Pasal 66 Ayat 3 UU No. 29 Tahun 2004 menjelaskan “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2
tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang danatau menggugat kerugian perdata ke
pengadilan”. Berdasarkan hal tersebut pengajuan gugatan melalui pengadilan diperbolehkan dan menjadi hak pasien apabila merasa dirugikan oleh tindakan
medis yang diberikan, akan tetapi pengajuan gugatan ini dilakukan apabila proses mediasi yang dilakukan tidak menghasilkan kesepakatan yang diinginkan.