Analisis Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan

(1)

TESIS

Oleh

HENNY SUTANTO 127032021/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

THE ANALYSIS OF THE PATIENT SAFETY IMPLEMENTATION AT DELI GENERAL HOSPITAL MEDAN

THESIS

By

HENNY SUTANTO 127032021/IKM

MAGISTRATE IN PUBLIC HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA M E D A N


(3)

ANALISIS IMPLEMENTASI KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DELI MEDAN

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

OLEH

HENNY SUTANTO 127032021/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : ANALISIS IMPLEMENTASI KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DELI MEDAN

Nama Mahasiswa : Henny Sutanto Nomor Induk Mahasiswa : 127032021

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Ketua

) (dr. Fauzi, S.K.M

Anggota )

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 19 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. dr. Fauzi, S.K.M

2. dr. Arifin Siregar, M.S


(6)

PERNYATAAN

ANALISIS IMPLEMENTASI KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DELI MEDAN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2014

Henny Sutanto 127032021/IKM


(7)

ABSTRAK

Program Keselamatan Pasien diharapkan dapat mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan yang semestinya dapat dicegah. Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 yang menyebutkan bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program keselamatan pasien. Sejak tahun 2012, keselamatan pasien sudah menjadi indikator standar utama penilaian akreditasi rumah sakit. Namun dalam implementasinya masih ditemukan berbagai kendala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran implementasi, monitoring, dan faktor-faktor penyebab implementasi keselamatan pasien belum terlaksananya dengan baik di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penentuan informan menggunakan purposive sampling, yaitu sebanyak 11 orang. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Data yang diperoleh diolah secara kualitatif naratif. Proses analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Fokus penelitian ini lebih kepada pemenuhan dokumen Sasaran Keselamatan Pasien mengingat kebijakan tersebut masih tergolong baru di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan dokumen masih kurang dari 80%; sosialisasi pedoman, panduan, petunjuk pelaksanaan berkaitan dengan keselamatan pasien masih kurang dan belum dilakukan secara menyeluruh kepada semua unit; dan penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana yang belum memadai. Program ini mendapat dukungan dari Direktur akan tetapi dukungan tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu faktor penting dalam penentu implementasi keselamatan pasien adalah peranan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang belum maksimal.

Disarankan kepada Direktur agar meningkatkan perannya dalam penetapan berbagai kebijakan dan penyediaan fasilitas, sarana prasarana yang belum memadai. TKPRS berperan aktif melakukan sosialisasi, koordinasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien. Seluruh unit yang terlibat agar saling berkoordinasi dan melaksanakan Standar Prosedur Operasional berkaitan dengan implementasi keselamatan pasien dalam rangka menghadapi akreditasi versi 2012.


(8)

ABSTRACT

The Patient Safety Program is expected to be able to reduce the unexpected incidence that should be avoided. The policy of the Indonesian Minister of Health No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 stated that the hospital and health worker working for the hospital are required to implement the Patient Safety Program. Patient safety has become a major standard indicator of hospital accreditation evaluation since 2012, but in its implementation, many constraints are still found. The purpose of this study was to find out the description of the implementation, monitoring, and factors influencing the Patient Safety Program which has not been well implemented in Deli General Hospital Medan.

The 11 (eleven) informants of this qualitative study were selected through purposive sampling method. The data for this study were obtained through observation and in-depth interview. The data obtained were narratively and qualitatively processed. The data collection process and data analysis were simultaneously done. The focus of this study was more on the documents of the implementation of patient safety considering that the policy is still relatively new at Deli General Hospital Medan.

The result of this study showed that: the documents still less than 80%; the insufficient number of human resources; the still inadequately and totally well implemented of socialization of guidelines, instructions, and manual related to the implementation of patient safety in all units; and the inadequate provision of facilities and infrastructure. This program was supported by the director of Deli General Hospital Medan, but the support was not as expected. One of the important factors as the determinant of the implementation of patient safety was the less maximal role of the Hospital Patient Safety Team (TKPRS).

The director is suggested to improve his role in determining the various policies and inadequate of provision of facilities and infrastructures. TKPRS is not multitasking and does not play an active role in doing socialization, coordination, monitoring and evaluation of the implementation of patient safety. It is expected that all units involved mutually coordinate and implement the Standard Operational Procedures related to the implementation of patient safety in order to face 2012 version of accreditation.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan RahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Analisis Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D selaku Ketua Komisi Pembimbing dan dr. Fauzi, S.K.M. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan


(10)

kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. dr. Arifin Siregar, M.S dan Siti Khadijah Nasution, S.K.M, M.Kes sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

7. dr. Lie King Fuan selaku Direktur Rumah Sakit Umum Deli Medan yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Jajaran Komisaris, Direksi, Dokter, staf dan perawat Rumah Sakit Umum Deli Medan yang telah memberikan informasi dan data-data sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

9. Khusus buat Ayahanda tercinta Janto Sutanto (Alm), Ibunda Kimiaty Tjuatja, Abangda Franky Sutanto beserta keluarga yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan doa dalam penyelesaian tesis ini.

10.Teristimewa kepada sahabat terkasih dr. Leo Mery, dr. Elsa Christy Meliala, M.Kes beserta Midawaty Simamora yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.


(11)

11.Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2012, yang telah membantu penulis selama pendidikan dan proses penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini.

Akhirnya Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini dengan penuh harapan, semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Juli 2014 Penulis

Henny Sutanto 127032021/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Henny Sutanto dilahirkan pada tanggal 18 Agustus 1976 di Medan. Anak kedua dari 2 (dua) bersaudara, dari pasangan ayahanda Janto Sutanto (Alm) dan ibunda Kimiaty Tjuatja.

Pendidikan Sekolah Dasar dimulai tahun 1982-1988 di SD Perguruan Kristen Methodist Indonesia (PKMI) - 2 Medan, pendidikan SMP tahun 1988-1991 di SMP Perguruan Kristen Methodist Indonesia (PKMI) - 2 Medan, pendidikan SMA tahun 1991-1994 di SMA Perguruan Kristen Methodist Indonesia (PKMI) - 2 Medan, tahun 1994-1999 Pendidikan S1 Kedokteran Umum Fakultas Kedokteran Umum Universitas Tarumanagara Jakarta, tahun 1999-2002 Pendidikan Profesi Dokter Umum Fakultas Kedokteran Umum Universitas Tarumanagara Jakarta dan tahun 2012 sampai sekarang mengikuti pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Rumah Sakit Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Medan.

Sejak tahun 2003-2004 bekerja sebagai in-house doctor di Klinik Ernes Bintan Lagoon Hotel & Resort, Lagoi-Bintan, Kepulauan Riau; tahun 2004-2013 bekerja sebagai dokter poliklinik Yayasan Angsapura Medan; tahun 2005 sampai dengan sekarang sebagai dokter jaga Unit Gawat Darurat (UGD) Rumah Sakit Umum Deli Medan; tahun 2007-2011 sebagai Kepala Instalasi Rekam Medis Rumah Sakit Umum Deli Medan; tahun 2012-2013 sebagai Ketua Pokja Rekam Medis Rumah Sakit Umum Deli Medan; tahun 2013 sampai dengan sekarang sebagai Sekretaris


(13)

Tim Keselamatan Pasien merangkap Sekretaris Panitia Akreditasi Rumah Sakit Umum Deli Medan


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR MATRIKS ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 11

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 14

2.1. Kebijakan Publik ... 14

2.2. Kebijakan Kesehatan... 17

2.2.1. Segitiga Kebijakan Kesehatan ... 18

2.2.2. Faktor Kontekstual yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan ... 19

2.3. Analisis Kebijakan ... 20

2.4. Implementasi Kebijakan ... 22

2.5. Monitoring Kebijakan ... 34

2.6. Pengertian Keselamatan Pasien Rumah Sakit ... 39

2.7. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit ... 41

2.7.1. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit ... 41

2.7.2. Standar Keselamatan Pasien ... 43

2.7.3. Sasaran Keselamatan Pasien ... 43

2.7.4. Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit .... 53

2.7.5. Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien ... 54

2.8. Kewajiban dan Hak Rumah Sakit ... 55

2.9. Landasan Teori ... 58

2.10.Kerangka Berpikir ... 60

BAB 3. METODE PENELITIAN ... … 61


(15)

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 61

3.2.1. Lokasi ... 61

3.2.2. Waktu ... 62

3.3. Informan ... 62

3.4. Fokus Penelitian ... 64

3.5. Fenomena Penelitian ... 65

3.6. Jenis dan Sumber Data ... 69

3.7. Instrumen Penelitian ... 70

3.8. Metode Pengumpulan Data ... 70

3.9. Metode Analisis Data ... 71

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 75

4.1. Gambaran Rumah Sakit Umum DeliMedan ... 75

4.2. Rekapitulasi Kegiatan berkaitan Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... .... 78

4.3. Pemenuhan Dokumen Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) sesuai dalam Standar Akreditasi versi 2012 ... 83

4.4. Hasil Wawancara tentang Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 85

4.4.1. Pengertian Keselamatan Pasien menurut Pandangan Masing-masing ... 85

4.4.2. Rencana Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan... 88

4.4.3. Faktor yang Memengaruhi ... 92

4.4.3.1. Faktor Sumber Daya ... 93

4.4.3.2. Faktor Komunikasi ... 102

4.4.3.3. Faktor Diposisi ... 107

4.4.3.4. Faktor Struktur Birokrasi ... 113

BAB 5. PEMBAHASAN ... 125

5.1. Implementasi Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Deli ... 125

5.2. Monitoring Implementasi Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Deli ... 131

5.3. Faktor yang Memengaruhi ... 134

5.3.1. Faktor Sumber Daya ... 134

5.3.2. Faktor Komunikasi ... 141

5.3.3. Faktor Disposisi ... 143

5.3.4. Faktor Struktur Birokrasi ... 144

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 149

6.1. Kesimpulan ... 149


(16)

DAFTAR PUSTAKA ... 153 LAMPIRAN


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1.1. Segitiga Analisis Kebijakan ... 19

2.1. Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn ... 25

2.2. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier ... 27

2.3. Model Implementasi Kebijakan Grindle ... 29


(18)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 3.1. Pemilihan Unit Sebagai Informan terkait Sasaran Keselamatan

Pasien ... 63 4.1. Rekapitulasi Kegiatan Berkaitan Implementasi Keselamatan

Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 78 4.2. Pemenuhan Dokumen Sasaran Keselamatan Pasien sesuai


(19)

DAFTAR MATRIKS

No. Judul Halaman 4.1. Pengertian Keselamatan Pasien menurut Pandangan Masing-masing ... 86 4.2. Rencana Implementasi Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Deli

Medan ... 88 4.3. Sumber Daya Manusia dalam Implementasi Keselamatan Pasien

Berbasis Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 93 4.4. Penyediaan Fasilitas, Sarana dan Prasarana dalam Implementasi

Keselamatan Pasien Berbasis Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 96 4.5. Kesesuaian Pendanaan dalam Implementasi Keselamatan Pasien

Berbasis Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 100 4.6. Bentuk Komunikasi yang Dilakukan Tim Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (TKPRS) dalam Rangka Implementasi Keselamatan Pasien Berbasis Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan terhadap Petunjuk Pelaksanaan dan Pedoman Kerja ... 102 4.7. Sikap bila Terjadi Insiden Keselamatan Pasien ... 105 4.8. Sikap Direktur dalam Implementasi Keselamatan Pasien Berbasis

Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 108 4.9. Sikap Tenaga Pelaksana di Unit Saudara dalam Implementasi

Keselamatan Pasien Berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan... 111


(20)

4.10. Koordinasi TKPRS dengan Unit Kerja dalam Implementasi Keselamatan Pasien Berbasis Kebijakan Permenkes RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ... 114 4.11. Hubungan Kerja antar Tenaga dengan Unit dalam Implementasi

Keselamatan Pasien Berbasis Kebijakan Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli ... 116 4.12. Saran atau masukan dalam Implementasi Keselamatan Pasien

Berbasis Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan 118


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Pedoman Wawancara Mendalam ... 157 2. Struktur Organisasi Rumah Sakit Umum Deli Tahun 2014.. ... 161 3. Pembentukan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Deli.. . 163 4. Kebijakan Pelayanan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum

Deli.. ... 167 5. Surat Izin Penelitian.. ... 172 6. Surat Balasan Izin Penelitian.. ... 173


(22)

ABSTRAK

Program Keselamatan Pasien diharapkan dapat mengurangi Kejadian Tidak Diharapkan yang semestinya dapat dicegah. Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 yang menyebutkan bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program keselamatan pasien. Sejak tahun 2012, keselamatan pasien sudah menjadi indikator standar utama penilaian akreditasi rumah sakit. Namun dalam implementasinya masih ditemukan berbagai kendala. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran implementasi, monitoring, dan faktor-faktor penyebab implementasi keselamatan pasien belum terlaksananya dengan baik di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

Penelitian ini mengunakan pendekatan kualitatif. Penentuan informan menggunakan purposive sampling, yaitu sebanyak 11 orang. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Data yang diperoleh diolah secara kualitatif naratif. Proses analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data. Fokus penelitian ini lebih kepada pemenuhan dokumen Sasaran Keselamatan Pasien mengingat kebijakan tersebut masih tergolong baru di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan dokumen masih kurang dari 80%; sosialisasi pedoman, panduan, petunjuk pelaksanaan berkaitan dengan keselamatan pasien masih kurang dan belum dilakukan secara menyeluruh kepada semua unit; dan penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana yang belum memadai. Program ini mendapat dukungan dari Direktur akan tetapi dukungan tersebut belum sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu faktor penting dalam penentu implementasi keselamatan pasien adalah peranan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang belum maksimal.

Disarankan kepada Direktur agar meningkatkan perannya dalam penetapan berbagai kebijakan dan penyediaan fasilitas, sarana prasarana yang belum memadai. TKPRS berperan aktif melakukan sosialisasi, koordinasi, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan keselamatan pasien. Seluruh unit yang terlibat agar saling berkoordinasi dan melaksanakan Standar Prosedur Operasional berkaitan dengan implementasi keselamatan pasien dalam rangka menghadapi akreditasi versi 2012.


(23)

ABSTRACT

The Patient Safety Program is expected to be able to reduce the unexpected incidence that should be avoided. The policy of the Indonesian Minister of Health No. 1691/Menkes/Per/VIII/2011 stated that the hospital and health worker working for the hospital are required to implement the Patient Safety Program. Patient safety has become a major standard indicator of hospital accreditation evaluation since 2012, but in its implementation, many constraints are still found. The purpose of this study was to find out the description of the implementation, monitoring, and factors influencing the Patient Safety Program which has not been well implemented in Deli General Hospital Medan.

The 11 (eleven) informants of this qualitative study were selected through purposive sampling method. The data for this study were obtained through observation and in-depth interview. The data obtained were narratively and qualitatively processed. The data collection process and data analysis were simultaneously done. The focus of this study was more on the documents of the implementation of patient safety considering that the policy is still relatively new at Deli General Hospital Medan.

The result of this study showed that: the documents still less than 80%; the insufficient number of human resources; the still inadequately and totally well implemented of socialization of guidelines, instructions, and manual related to the implementation of patient safety in all units; and the inadequate provision of facilities and infrastructure. This program was supported by the director of Deli General Hospital Medan, but the support was not as expected. One of the important factors as the determinant of the implementation of patient safety was the less maximal role of the Hospital Patient Safety Team (TKPRS).

The director is suggested to improve his role in determining the various policies and inadequate of provision of facilities and infrastructures. TKPRS is not multitasking and does not play an active role in doing socialization, coordination, monitoring and evaluation of the implementation of patient safety. It is expected that all units involved mutually coordinate and implement the Standard Operational Procedures related to the implementation of patient safety in order to face 2012 version of accreditation.


(24)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelayanan kesehatan merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Undang Undang No. 44 Tahun 2009).

Dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan, institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga) elemen yaitu struktur, proses dan hasil dengan bermacam-macam konsep dasar, program regulasi yang berwenang misalnya antara lain penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, penerapan Quality Assurance, Total

Quality Management, Continuous Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi,

Kredensialing, Audit Medis, Indikator Klinis, Clinical Governance, International Organization for Standarization (ISO), dan lain sebagainya (Departemen Kesehatan


(25)

Program-program tersebut telah meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun keluaran dan hasil. Namun yang menjadi masalah, pada pelayanan yang telah berkualitas tersebut masih terjadi kejadian tidak diharapkan yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena kejadian tidak diharapkan sebagian dapat merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui rencana pelayanan yang komprehensif dengan melibatkan pasien berdasarkan haknya. Program tersebut yang kemudian dikenal dengan istilah Keselamatan Pasien (Patient Safety) (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Di dalam keselamatan pasien terdapat istilah insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden yaitu setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera, Kondisi Potensial Cedera dan Kejadian Sentinel (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011).

Definisi masing-masing istilah tersebut di atas menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 adalah sebagai berikut :

- Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien

- Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien


(26)

- Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera

- Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden

- Kejadian Sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius

Pada tahun 2000 Institute of Medicine di Amerika Serikat menerbitkan laporan yang mengagetkan banyak pihak : “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan itu mengemukakan penelitian di rumah sakit di Utah dan

Colorado serta New York. Di Utah dan Colorado ditemukan KTD (Adverse Event) sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York KTD adalah sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Angka kematian akibat KTD pada pasien rawat inap di seluruh Amerika yang berjumlah 33,6 juta per tahun berkisar 44.000 – 98.000 per tahun. Publikasi WHO pada tahun 2004, mengumpulkan angka-angka penelitian rumah sakit di berbagai Negara : Amerika, Inggris, Denmark, dan Australia, ditemukan KTD dengan rentang 3,2 – 16,6% (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Cronenwett (2002) dalam Ballard (2003) melaporkan bahwa bentuk KTD meliputi : 28 % merupakan reaksi dari pengobatan atau obat-obat yang diberikan, 42 % adalah kejadian yang mengancam kehidupan tetapi dapat dicegah, 20 % pelayanan di poliklinik, 10-30 % kesalahan di laboratorium. Sementara itu bentuk KTD lain yang dilaporkan oleh Mengis & Nicolini (2010) dalam Mustikawati (2011)


(27)

adalah berupa kesalahan dalam pemberian obat dan terkait intervensi pembedahan. Dengan data-data tersebut, berbagai negara segera melakukan penelitian dan mengembangkan Sistem Keselamatan Pasien.

Di Indonesia, Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) pada Juni 2005 sebagai hasil Rapat Kerja PERSI Maret 2005 di Surabaya, diikuti dengan pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit oleh Menteri Kesehatan, dr. Siti Fadillah Supari, Sp. JP pada tanggal 21 Agustus 2005 dalam Seminar Nasional PERSI di Jakarta. Inisiatif PERSI ini dilaksanakan dengan mengembangkan lebih lanjut panduan dan standar tentang keselamatan/ keamanan yang sudah ada, misalnya Standar Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana (K3), Standar Pengendalian Infeksi Nosokomial dan sebagainya yang diintegrasikan dalam suatu Sistem Keselamatan Pasien yang baru dan komprehensif (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Menurut Lumenta (2008) dalam Yulia (2010) laporan insiden keselamatan pasien di Indonesia berdasarkan Propinsi menemukan bahwa dari 145 insiden yang dilaporkan sebanyak 55 kasus (37,9%) terjadi di wilayah DKI Jakarta. Sedangkan berdasarkan jenisnya dari 145 insiden yang dilaporkan tersebut didapatkan KNC sebanyak 69 kasus (47,6%), KTD sebanyak 67 kasus (46,2%), dan lain-lain sebanyak 9 kasus (6,2%). Walaupun data ini ada secara umum di Indonesia, catatan kejadian yang berhubungan dengan keselamatan pasien di rumah sakit belum dikembangkan


(28)

secara menyeluruh oleh semua rumah sakit sehingga perhitungan kejadian yang berhubungan dengan keselamatan pasien masih sangat terbatas.

Terjadinya insiden keselamatan pasien di suatu rumah sakit, akan memberikan dampak yang merugikan bagi pihak rumah sakit, staf dan pada pasien khususnya karena sebagai penerima pelayanan. Adapun dampak yang ditimbulkan adalah peningkatan biaya pelayanan juga dapat membawa rumah sakit ke arena blaming, menimbulkan konflik antara dokter/ petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, tuntutan dan proses hukum, tuduhan malpraktik yang akhirnya menimbulkan opini negatif terhadap pelayanan rumah sakit. Dengan Sistem Keselamatan Pasien diharapkan dapat mengurangi KTD sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit dapat meningkat (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Mengingat keselamatan pasien sudah menjadi tuntutan masyarakat maka pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit perlu dilakukan. Hal tersebut jelas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bagian Kelima Pasal 43 yang menyatakan bahwa Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar tersebut dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan.

Pada tanggal 8 Agustus 2011 ditetapkan juga suatu regulasi yaitu Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Dalam Permenkes tersebut Bab II Pasal 5 disebutkan bahwa rumah sakit dan tenaga


(29)

kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program keselamatan pasien dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Bagian Ketiga Pasal 40 yang menyatakan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan rumah sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi Rumah Sakit yang dimaksud dapat dilakukan oleh suatu lembaga independen baik dalam maupun dari luar negeri berdasarkan standar akreditasi yang berlaku. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 012 Tahun 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit Bab II Pasal 3 butir ketiga menyatakan bahwa Rumah Sakit wajib mengikuti Akreditasi nasional.

Sejak tahun 2012, akreditasi rumah sakit mulai beralih dan berorientasi pada paradigma baru dimana penilaian akreditasi didasarkan pada pelayanan berfokus pada pasien. Keselamatan pasien menjadi indikator standar utama penilaian akreditasi baru yang dikenal dengan Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 ini. Dalam standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 mencakup standar pelayanan berfokus pada pasien, standar manajemen rumah sakit, sasaran keselamatan pasien di rumah sakit dan standar program MDGs (Kementerian Kesehatan, 2012).

Dalam Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 Bab IV Pasal 8 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan Sasaran Keselamatan Pasien. Sasaran Keselamatan Pasien meliputi tercapainya hal-hal sebagai berikut :


(30)

- Ketetapan identifikasi pasien;

- Peningkatan komunikasi yang efektif;

- Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai;

- Kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; - Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan; - Pengurangan risiko pasien jatuh.

Pemenuhan Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang dimaksud di atas merupakan syarat yang harus diterapkan di semua rumah sakit yang akan diakreditasi dengan penilaian Standar Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Kelompok Kerja (Pokja) Sasaran Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam penilaian termasuk golongan major yang artinya pada kelompok tersebut harus mencapai nilai minimum 80 (delapan puluh) % sebagai syarat kelulusan Akreditasi Rumah Sakit versi 2012 (Kemenkes 2011).

Rumah Sakit Umum Deli Medan merupakan salah satu institusi pelayanan kesehatan swasta dengan klasifikasi Rumah Sakit Kelas “C” yang ada di Kota Medan – Sumatera Utara, yang didirikan oleh suatu badan hukum yaitu Yayasan Deli, pada tahun 1965 berupa klinik bersalin dan mengalami perkembangan di tahun 1973 menjadi sebuah Rumah Sakit Umum. Dari Badan Hukum Yayasan Deli mengalami perubahan menjadi Badan Hukum PT. Cinta Damai di tahun 2008. Seiring dengan perkembangan zaman, Rumah Sakit Umum Deli Medan terus melakukan pembenahan diri dengan menambah fasilitas ruang rawat inap, rawat jalan, peralatan


(31)

medis dan non medis yang memadai dan sumber daya manusia di bidang medis maupun non medis. Komitmen Rumah Sakit Umum Deli Medan yaitu senantiasa berusaha membenahi diri dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada seluruh lapisan masyarakat. Salah satu wujud pembenahan diri dalam upaya peningkatan mutu adalah terlaksananya akreditasi versi 2007 pada tanggal 11-13 Juni 2012 dengan predikat lulus tingkat dasar 5 (lima) pelayanan.

Upaya peningkatan pelayanan juga diwujudkan dalam pelaksanaan program keselamatan pasien. Awal pelaksanaan program tersebut adalah pengiriman 3 (tiga) orang dokter untuk mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) di Jakarta dalam kurun waktu tahun 2006-2009. Modul pelatihan tersebut kemudian disosialisasikan dan diimplementasikan sesuai dengan kondisi fisik dan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

Berdasarkan wawancara singkat dengan Ka. Bidang Keperawatan yang merupakan salah satu anggota Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit pada bulan Pebruari 2013, bahwa insiden yang dilaporkan di Rumah Sakit Umum Deli Medan adalah tahun 2007 terjadi insiden sebanyak 12 kasus, tahun 2008 sebanyak 1 kasus, tahun 2009 sebanyak 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 19 kasus, tahun 2011 sebanyak 9 kasus, tahun 2012 sebanyak 11 kasus. Total semua insiden yang dilaporkan dalam kurun waktu tahun 2007 hingga 2012 adalah sebanyak 69 kasus. Dari laporan tersebut, terdapat 41 kasus (59,4%) adalah Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), 26 kasus (37,7 %) adalah Kejadian Nyaris Cedera (KNC) dan 2 kasus (2,9 %) adalah


(32)

Kejadian Potensial Cedera (KPC). Bila dikaji terlihat bahwa dari tahun ke tahun angka tersebut berfluktuatif dan cukup signifikan dapat terjadi konflik antara rumah sakit dan pasien, sengketa medis, bahkan tuntutan maupun proses hukum.

Pelaksanaan sosialisasi Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 dilakukan pada acara Workshop Akreditasi tentang Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien untuk Direktur dan Ketua Tim Akreditasi pada tanggal 29 Mei 2013 di Medan. Kemudian Rumah Sakit Umum Deli Medan melakukan sosialisasi Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 kepada ketua dan anggota Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) pada tanggal 4 Juni 2013 oleh Ketua Panitia Akreditasi berdasarkan Surat Edaran Direktur No. 083a/ RSUD/ VI/ 2013. Setelah sosialisasi tersebut, maka dilakukan rapat di antara Direktur dengan Tim KPRS Rumah Sakit Umum Deli Medan untuk pelaksanaan keselamatan pasien rumah sakit dalam rangka menghadapi akreditasi versi 2012 yang akan datang. Pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 di Rumah Sakit Umum Deli Medan ditegaskan dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur No. 551/ SK/ DIR/ VII/ 2013 tanggal 10 Juli 2013 tentang Kebijakan Pelayanan Keselamatan Pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan. Dengan dilaksanakannya sosialisasi ini, diharapkan semua personal TKPRS memahami isi Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011.

Kegiatan yang berkaitan dengan program keselamatan pasien berbasis Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 juga dilakukan oleh TKPRS kepada tenaga kesehatan lain di luar TKPRS dalam rangka persiapan menghadapi akreditasi versi 2012. Kegiatan yang dilakukan berupa sosialisasi pemenuhan sasaran


(33)

keselamatan pasien berbasis Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 sebagai standar yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan akreditasi. Kegiatan tersebut dilaksanakan setelah berkoordinasi dengan kelompok kerja (pokja) Sasaran Keselamatan Pasien dalam Panitia Akreditasi Rumah Sakit Umum Deli Medan pada bulan Oktober 2013.

Adapun kondisi dan kemungkinan permasalahan dari pengorganisasian TKPRS Rumah Sakit Umum Deli Medan adalah : a) TKPRS sudah ada, namun tugas dari TKPRS belum optimal karena personal yang duduk di dalamnya masih merangkap tugas lain; b) Arah kegiatan TKPRS masih kurang jelas yang disebabkan karena kurang koordinasi dari ketua TKPRS; c) Pengorganisasian TKPRS yang sesuai dengan Permenkes 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 relatif masih baru, sehingga personal yang duduk di TKPRS belum memahami tugas masing-masing dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan; d) Keanggotaan TKPRS belum melibatkan tenaga non kesehatan.

Masalah pelaksanaan program keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan juga terlihat dari hasil pengamatan awal, yaitu : 1) Sosialisasi kebijakan dan prosedur terkait dengan pemenuhan sasaran keselamatan pasien masih terbatas pada tenaga kesehatan, akan tetapi intensitasnya masih kurang sehingga sebagian besar tenaga kesehatan belum memahaminya; 2) Sosialisasi kepada tenaga non kesehatan belum dilakukan; 3) Kesadaran akan nilai keselamatan pasien masih kurang, hal ini dapat terlihat dari kurang berjalannya budaya pelaporan dan belajar


(34)

dari insiden karena takut disalahkan; 4) Ketersediaan sarana dan prasarana sebagai pendukung program masih kurang; 5) Program keselamatan pasien belum menjadi prioritas dan masih terbatas karena pengadaan/ pelaksanaan pelatihannya masih dilakukan di Jakarta.

Proses implementasi suatu kebijakan memang kerap menghadapi berbagai masalah, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang memengaruhi implementasi kebijakan tersebut. George C. Edwards III (1980) mengemukakan bahwa ada 4 faktor yang memengaruhi kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu : komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Dengan menganalisa faktor-faktor tersebut diharapkan dapat diketahui penyebab permasalahan sehingga dapat diperoleh pemecahan masalah.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk menganalisa lebih lanjut tentang Analisis Implementasi Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah : 1. Bagaimana implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor

1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit terhadap pelaksanaan keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan.


(35)

2. Bagaimana monitoring implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit terhadap pelaksanaan keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan.

3. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan implementasi keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan belum berjalan sesuai dengan Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengetahui gambaran implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 terhadap pelaksanaan keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan.

2. Mengetahui monitoring implementasi Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 terhadap pelaksanaan keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan.

3. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan implementasi keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan belum sesuai dengan Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011.


(36)

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan dan pertimbangan bagi pihak rumah sakit agar program keselamatan pasien rumah sakit dapat berjalan dengan baik dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan.

2. Sebagai masukan bagi pihak rumah sakit agar program Akreditasi versi 2012 dapat terlaksana.

3. Sebagai bahan masukan untuk memperkaya pengetahuan dan pembahasan implementasi kebijakan kesehatan supaya dapat dikembangkan oleh peneliti- peneliti selanjutnya.


(37)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Publik

Para pakar dalam memberi definisi kebijakan publik sering berbeda sesuai dengan pendekatan masing-masing, bahkan cenderung berselisih pendapat satu sama lain. James Anderson (1979) yang dikutip oleh Subarsono (2009) mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Dye (1995) dalam bukunya yang berjudul Understanding Public Policy memberikan definisi kebijakan publik sebagai What ever government choose to do or not to do (apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan/

mendiamkan). Selanjutnya Dye juga mengatakan bahwa apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya. Kebijakan publik harus meliputi semua tindakan pemerintah jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Hal yang tidak dilakukan pemerintah juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai dampak yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan. Baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan pasti terkait dengan satu tujuan sebagai komponen penting dari kebijakan.

Definisi lain diungkapkan oleh Winarno (2007) yang mengatakan bahwa kebijakan publik secara garis besar mencakup tahap-tahap perumusan masalah


(38)

kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan. Sementara itu, analisis kebijakan berhubungan dengan penyelidikan dan deskripsi sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan publik.

Sementara menurut Dunn (2003) kebijakan publik adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya. Kebijakan publik muncul dari adanya permasalahan publik dan kebijakan yang dihasilkan merupakan upaya penyelesaian masalah tersebut. Namun tidak semua permasalahan menjadi permasalahan publik yang dianggap membutuhkan suatu kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan akan melalui suatu proses yang disebut siklus kebijakan publik.

Adapun siklus pembuatan kebijakan publik dibagi menjadi 5 tahap yaitu : 1. Penyusunan agenda (agenda setting), yaitu suatu proses agar suatu masalah bisa

mendapatkan perhatian dari pemerintah.

2. Formulasi kebijakan (policy formulation), yaitu proses perumusan pilihan-pilihan kebijakan oleh pemerintah.

3. Pembuatan kebijakan (decision making), merupakan proses ketika pemerintah membuat pilihan untuk melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan. 4. Implementasi kebijakan (policy implementation), yakni proses untuk

melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil.

5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yaitu proses untuk menilai hasil atau kinerja kebijakan yang telah dibuat.


(39)

Anderson (1979) sebagai pakar kebijakan publik menetapkan bahwa proses kebijakan publik mempunyai 5 tahapan antara lain :

1. Formulasi masalah (problem formulation) : Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat menjadi agenda pemerintah?

2. Formulasi kebijakan (formulation) : Bagaimana mengembangkan alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (adoption) : Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?

4. Implementasi (implementation) : Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (evaluation) : Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa suatu kebijakan dapat dihasilkan melalui suatu proses yang kompleks dan saling berkaitan dan saling memengaruhi.


(40)

2.2. Kebijakan Kesehatan

Sektor kesehatan merupakan bagian dari ekonomi karena sektor kesehatan ibarat suatu sponge yang mengabsorpsi banyak anggaran belanja negara untuk membayar sumber daya kesehatan. Ada yang mengatakan bahwa kebijakan kesehatan merupakan driver dari ekonomi, itu disebabkan karena adanya inovasi dan investasi dalam bidang teknologi kesehatan, baik itu bio-medical maupun produksi, termasuk usaha dagang yang ada pada bidang farmasi. Namun yang lebih penting lagi adalah keputusan kebijakan kesehatan melibatkan persoalan hidup dan mati manusia (Buse, 2009).

Kebijakan kesehatan itu adalah tujuan dan sasaran, sebagai instrumen, proses dan gaya dari suatu keputusan oleh pengambil keputusan, termasuk implementasi serta penilaian (Lee, 2002). Kebijakan kesehatan adalah bagian dari institusi, kekuatan dari aspek politik yang memengaruhi masyarakat pada tingkat lokal, nasional dan dunia (Leppo, 1997).

Sama halnya dengan beragam definisi kebijakan publik, ada banyak gagasan mengenai pengkajian kebijakan kesehatan beserta penekanannya: seorang ahli ekonomi mungkin berpendapat bahwa kebijakan kesehatan adalah segala sesuatu tentang pengalokasian sumber daya yang langka bagi kesehatan; seorang perencana melihatnya sebagai cara untuk memengaruhi faktor-faktor penentu di sektor kesehatan agar dapat meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat; dan bagi seorang dokter, kebijakan merupakan segala ssuatu yang berhubungan dengan layanan kesehatan (Walt, 1994).


(41)

Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal, menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan pembangunan kesehatan (Buse, 2009). 2.2.1. Segitiga Kebijakan Kesehatan

Kerangka yang digunakan untuk memahami pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan kesehatan adalah yang dikenal sebagai segitiga kebijakan kesehatan. Kerangka tersebut berfokus pada faktor isi, konteks, proses dan pelaku dimana segitiga kebijakan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang disederhanakan untuk suatu tatanan hubungan yang kompleks, dan segitiga ini menunjukkan kesan bahwa keempat faktor dapat dipertimbangkan secara terpisah (Buse, 2009).

Akan tetapi pada kenyataannya para pelaku dapat dipengaruhi dalam konteks dimana mereka tinggal dan bekerja; konteks dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti : ketidakstabilan atau ideologi, dalam hal sejarah dan budaya; serta proses penyusunan kebijakan – bagaimana isu dapat menjadi suatu agenda kebijakan, dan bagaimana isu tersebut dapat berharga – dipengaruhi oleh pelaksana, kedudukan mereka dalam struktur kekuatan, norma dan harapan mereka sendiri yang dimana isi dari kebijakan menunjukkan sebagian atau seluruh bagian ini (Buse, 2009).


(42)

Konteks

Gambar 1.1 Segitiga Analisis Kebijakan

Melalui analisis kebijakan dapat diketahui mengenai apa dan bagaimana hasil (outcome) kebijakan dan sekaligus sebagai piranti untuk membuat model kebijakan yang akan datang dan mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan lebih efektif (Buse, 2009).

2.2.2. Faktor Kontekstual yang Memengaruhi Kebijakan Kesehatan

Leichter (1979) mengelompokkan faktor-faktor yang mungkin memiliki pengaruh pada kebijakan kesehatan antara lain :

1. Faktor situasional

Faktor situasional merupakan kondisi yang tidak permanen atau khusus yang dapat berdampak pada kebijakan.

Aktor

• Individu

• Grup

• Organisasi

Isi Proses


(43)

2. Faktor struktural

Faktor struktural merupakan bagian dari masyarakat yang relatif tidak berubah. Faktor ini meliputi sistem politik, mencakup pula keterbukaan sistem tersebut dan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembahasan dan keputusan kebijakan.

3. Faktor budaya

Faktor budaya dapat memengaruhi kebijakan kesehatan. Dalam masyarakat dimana hirarki menduduki tempat penting, akan sangat sulit untuk bertanya atau menantang pejabat tinggi atau pejabat senior.

4. Faktor internasional atau exogenous

Faktor internasional yang menyebabkan meningkatnya ketergantungan antar negara dan memengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam kesehatan. Meskipun banyak masalah kesehatan berhubungan dengan pemerintahan nasional, sebagian dari masalah itu memerlukan kerjasama organisasi tingkat nasional, regional atau multilateral.

2.3. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode pengkajian multipel dalam konteks


(44)

argumentasi dan debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan (Dunn, 2004).

Menurut Nugroho (2012) yang mengutip pernyataan Dunn (1988) mengemukakan analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin ilmu dengan tujuan memberikan informasi yang bersifat : deskriptif, evaluatif, dan /atau preskriptif. Analisis kebijakan menjawab 3 (tiga) macam pertanyaan, yaitu :

1. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk menilai apakah suatu masalah sudah teratasi?

2. Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai.

3. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Proses analisis kebijakan antara lain :

1. Merumuskan masalah

Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan, atau kesempatan yang belum terpenuhi, yang dapat diidentifikasi, untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Dalam perumusan masalah ada fase-fase yang harus disusun sebagai berikut : 1) pencarian masalah; 2) pendefinisian masalah; 3) spesifikasi masalah; 4) pengenalan masalah.

2. Peramalan masa depan kebijakan

Peramalan atau forecasting adalah prosedur membuat informasi aktual tentang situasi sosial di masa depan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan.


(45)

3. Rekomendasi kebijakan

Tugas membuat rekomendasi kebijakan mengharuskan analisis kebijakan menentukan alternatif yang terbaik dan alasannya karena prosedur analisis kebijakan berkaitan dengan masalah etika dan moral. Kriteria utama yang ada pada suatu rekomendasi kebijakan adalah : efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan (equity), responsivitas dan kelayakan.

4. Pemantauan hasil kebijakan

Pemantauan atau monitoring merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat kebijakan publik. Pemantauan, setidaknya memainkan 4 (empat) fungsi dalam analisis kebijakan, yaitu eksplanasi, akuntansi, pemeriksaan dan kepatuhan (compliance). 5. Evaluasi kinerja kebijakan

Jika pemantauan menekankan pada pembentukan premis-premis faktual mengenai kebijakan publik, evaluasi menekankan pada penciptaan premis-premis nilai dengan kebutuhan.

2.4. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan Undang-Undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan Undang-Undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk


(46)

menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program (Winarno, 2007).

Menurut Nugroho (2012) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang-Undang atau Peraturan Daerah adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering diistilahkan sebagai peraturan pelaksana. Kebijakan publik yang bisa langsung operasional antara lain: Keppres, Inpres, Kepmen, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain-lain.

Sedangkan Edwards III (1980) mengemukakan bahwa implementasi kebijakan merupakan proses yang krusial karena seberapa baiknya suatu kebijakan kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan dengan baik dalam implementasinya maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan bisa diwujudkan. Begitu pula sebaliknya bagaimanapun baiknya persiapan dan perencanaan implementasi kebijakan. Kalau kebijakannya tidak dirumuskan dengan baik maka apa yang menjadi tujuan kebijakan juga tidak akan bisa dicapai. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan kebijakan, perumusan kebijakan dan implementasi harus dipersiapkan dan direncanakan dengan baik.

Hogwood dan Gun dalam Nugroho (2012), menyebutkan bahwa secara umum ada tiga faktor yang menyebabkan kegagalan implementasi. Pertama, karena


(47)

kebijakan yang buruk. Sejak awal perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara sembrono, tidak lengkap informasi yang diperlukan dalam perumusan kebijakan, salah memilih masalah, tujuan dan target yang tidak jelas. Kedua, karena pelaksanaannya yang memang buruk, misalnya kurang koordinasi antara pelaksana, tidak cukup sarana dan sarana penunjang. Ketiga, adanya faktor nasib yang tidak menguntungkan. Semua syarat untuk keberhasilan implementasi sudah terpenuhi, tetapi ada hambatan-hambatan yang tidak dapat ditanggulangi dengan cara rasional sekalipun.

Tiga kegiatan utama yang paling penting dalam implementasi kebijakan adalah (Tangkilisan, 2005) :

1. Penafsiran, yaitu merupakan kegiatan yang menerjemahkan makna program ke dalam pengaturan yang dapat diterima dan dapat dijalankan.

2. Organisasi yaitu merupakan unit atau wadah untuk menempatkan program ke dalam tujuan kebijakan.

3. Penerapan yang berhubungan dengan perlengkapan rutin bagi pelayanan, upah, dan lain-lainnya.

Menurut Wibawa (1994), secara sederhana tujuan implementasi kebijakan adalah untuk menetapkan arah agar tujuan kebijakan publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, dikenal beberapa model, antara lain:


(48)

1. Model Van Meter dan Van Horn

Menurut Nugroho (2012) model Van Meter dan Van Horn adalah model yang paling klasik dan model pertama. Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang memengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut : 1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi; 2) Karakteristik agen pelaksana/ implementor; 3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik; 4) Kecenderungan (disposition) pelaksana/ implementor.

Gambar 2.1. Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn

Sumber : Wibawa, 1994

2. Model Mazmanian dan Sabatier

Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Nugroho (2012) mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan sehingga model Mazmanian dan Sabatier disebut model Kerangka Analisis Implementasi (A

Kebijakan publik Standar dan tujuan Sumber Daya Aktivitas pelaksanaan dan komunikasi Karakteristik dari agen pelaksana Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

Kecenderungan

dari pelaksana Kinerja kebijakan


(49)

Framework for Implementation Analysis). Duet Mazmanian Sabatier

mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam 3 (tiga) variabel yaitu :

a. Variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

b. Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang memengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

c. Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan 5 (lima) tahapan antara lain: 1) pemahaman dari lembaga/ badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana; 2) kepatuhan objek; 3) hasil nyata; 4) penerimaan atas hasil nyata tersebut; 5) akhirnya mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.


(50)

Gambar 2.2. Model Implementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier

Sumber : Wibawa, 1994

3. Model Goggin

Menurut Goggin (1990), proses implementasi kebijakan sebagai upaya transfer informasi atau pesan dari institusi yang lebih tinggi ke institusi yang lebih

Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses

implementasi

− Kejelasan dan konsistensi

− Digunakan teori kausal yang memadai

− Ketepatan alokasi sumber dana

− Keterpaduan hierarki di antara lembaga pelaksana

− Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana

Variabel di luar kebijakan yang

memengaruhi proses implementasi

− Kondisi sosial, ekonomi, Dan teknologi

− Dukungan publik

− Sikap dari sumber-sumber yang dimiliki kelompok

− Dukungan dari pejabat atasan

− Komitmen dan kemampuan

Tahapan-tahapan dalam proses implementasi kebijakan

Output kebijakan Badan-badan pelaksana Kesediaan kelompok Sasaran memenuhi Output kebijakan Dampak nyata output kebijakan Dampak output kebijakan dipersepsi Perbaikan mendasar dalam undang-undang

Mudah tidaknya masalah dikendalikan

− Kesukaran-kesukaran teknis

− Keseragaman perilaku kelompok sasaran

− Persentase kelompok sasaran


(51)

rendah dapat diukur keberhasilan kinerjanya berdasarkan variabel: l) dorongan dan paksaan pada tingkat federal, 2) kapasitas pusat/ negara, dan 3) dorongan dan paksaan pada tingkat pusat dan daerah. Variabel dorongan dan paksaan pada tingkat pusat ditentukan oleh legitimasi dan kredibilitas, yaitu semakin sahih kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat di mata daerah maka semakin besar kredibilitasnya, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk mengukur kekuatan isi atau substansi dan pesan kebijakan dapat dilihat rnelalui: a) besarnya dana yang dialokasikan, dengan asumsi bahwa semakin besar dana yang dialokasikan, semakin serius kebijakan tersebut dilaksanakan, dan b) bentuk kebijakan yang memuat antara lain, kejelasan kebijakan, konsistensi pelaksanaan, frekuensi pelaksanaan dan diterimanya pesan secara benar. Sementara itu, untuk mengetahui variabel kapasitas pusat, atau kapasitas organisasi dapat dilihat melalui seberapa jauh organisasi pelaksana kebijakan mampu memanfaatkan kewenangan yang dimiliki, bagaimana hubungan antara pelaksana dengan struktur birokrasi yang ada, dan bagaimana mengkoordinasikan berbagai sumber daya yang tersedia dalam organisasi dan dalam masyarakat.

4. Model Grindle

Grindle (1980) mengharapkan bahwa agar dapat ditunjukkan konfigurasi dan sinergi dari 3 (tiga) variabel yang dapat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan yakni hubungan segi tiga variabel kebijakan, organisasi, dan lingkungan kebijakan. Harapan itu perlu diwujudkan agar melalui pemilihan kebijakan yang tepat masyarakat dapat berpartisipasi dalam memberikan


(52)

kontribusi yang optimal untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya, ketika sudah ditemukan kebijakan yang terpilih perlu diwadahi oleh organisasi pelaksana, karena di dalam organisasi terdapat kewenangan dan berbagai jenis sumber daya yang mendukung pelaksanaan kebijakan atau program. Sedangkan penciptaan situasi dan kondisi lingkungan kebijakan diperlukan.

Gambar 2.3. Model Implementasi Kebijakan Grindle

Sumber : Wibawa, 1994

5. Model Edwards III

George Edwards III (1980) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah kurangnya perhatian terhadap implementasi kebijakan.

Tujuan Kebijakan

Tujuan yang ingin dicapai

Program aksi dan proyek individu yang didesain

dan dibiayai

Program yang dijalankan seperti yang direncanakan

Mengukur Keberhasilan

Melaksanakan kegiatan dipengaruhi oleh :

(a) Isi kebijakan

1. Kepentingan yang dipengaruhi

2. Tipe manfaat

3. Derajat perubahan yang

diharapkan

4. Letak pengambilan keputusan

5. Pelaksana Program

6. Sumber daya yang dilibatkan

(b) Konteks Implementasi

1. Kekuasaan, kepentingan, dan

strategi aktor yang terlibat

2. Karakteristik lembaga dan

penguasa

3. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil Kebijakan

a. Dampak pada

masyarakat, individu, dan kelompok

b.Perubahan dan

penerimaan oleh masyarakat


(53)

Dikatakannya, tanpa implementasi yang efektif keputusan dari pembuat kebijakan tidak akan berhasil dijalankan. Wibawa (1994) menyatakan bahwa model Edwards III mengajukan 4 (empat) faktor atau variabel yang berpengaruh terhadap keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan. Empat variabel atau faktor tadi antara lain meliputi variabel atau faktor communication, resources, dispositions, dan bureaucratic structure.

a) Faktor Komunikasi

Komunikasi kebijakan memiliki beberapa macam dimensi, antara lain dimensi transformasi, kejelasan, dan konsistensi. Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan publik dapat ditransformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan menghendaki agar kebijakan yang ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga di antara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan publik tersebut.

b) Sumber Daya

1) Sumber Daya Manusia

Efektifitas pelaksanaan kebijakan sangat tergantung kepada sumber daya manusia (aparatur) yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan. Sumber daya manusia ini harus cukup (jumlah) dan cakap (ahli). Selain itu sumber daya manusia tersebut harus mengetahui apa yang harus


(54)

dilakukan. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan tersebut juga membutuhkan informasi yang tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting (esensi) data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat terhadap peraturan dan pengaturan berlaku. Tidak cukupnya sumber daya berarti peraturan (law) tidak akan bisa ditegakkan (enforced), pelayanan tidak disediakan, dan peraturan yang digunakan tidak bisa dikembangkan. 2) Sumber Daya Anggaran

Sumber daya anggaran memengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, selain sumber daya manusia adalah dana (anggaran) dan peralatan yang diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan pada publik yang harus diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Karena kurangnya insentif yang diberikan kepada pelaksana kebijakan dapat menyebabkan para pelaku kebijakan tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Terbatasnya insentif tersebut tidak akan mampu mengubah sikap dan perilaku (disposisi) para pelaku kebijakan. Oleh karena itu, agar para pelaku kebijakan memiliki disposisi (sikap dan perilaku) tinggi dalam melaksanakan kebijakan diperlukan insentif yang cukup. Besar kecilnya insentif tersebut dapat memengaruhi sikap dan perilaku (disposisi) pelaku kebijakan. Insentif tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk rewards and punishment.


(55)

3) Sumber Daya Peralatan

Sumber daya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan.

4) Sumber Daya Informasi dan Kewenangan

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa sumber daya informasi juga menjadi faktor penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup tentang berkaitan dengan bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan. Kewenangan juga merupakan sumber daya lain yang memengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan. Kewenangan sangat diperlukan terutama untuk menjamin dan meyakinkan bahwa kebijakan yang akan dilaksanakan adalah sesuai dengan yang mereka kehendaki.

c) Disposisi

Keberhasilan implementasi kebijakan bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana pelaku kebijakan mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya, tetapi juga ditentukan oleh kemauan para pelaku kebijakan tadi memiliki disposisi yang kuat terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Mereka akan tahu bahwa kebijakan akan menguntungkan


(56)

organisasi dan dirinya, manakala mereka cukup pengetahuan (cognitive), dan mereka sangat mendalami dan memahaminya (comprehension and understanding). Pengetahuan, pendalaman, dan pemahaman kebijakan ini

akan menimbulkan sikap menerima (acceptance), acuh tak acuh (neutrality), dan menolak (rejection) terhadap kebijakan.

d) Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi ini mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi bersangkutan, dan hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi dan standar prosedur operasi yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya.

Menurut Friedman (2009), setidaknya ada 3 (tiga) kondisi yang harus dipenuhi sebelum suatu tindakan hukum, yakni peraturan atau norma, bisa memiliki dampak terhadap orang tertentu yang menjadi sasarannya.

a. Peraturan atau norma harus dikomunikasikan kepada subjek.

b. Subjek harus mampu melaksanakan atau, bila tidak, mereka tidak melaksanakannya.

c. Subjek harus memiliki dorongan untuk menjalankannya, berangkat dari keinginan, rasa takut, atau motif lainnya.


(57)

Syarat kedua merupakan syarat yang lemah, yang mudah ditemui dalam kasus biasa. Suatu hukum yang memerintahkan orang untuk terbang tentu saja akan sia-sia saja. Selain itu, peraturan atau hukum harus dikomunikasikan karena sangat vital bagi sistem hukum manapun. Sudah menjadi aksinoma bahwa tidak seorangpun yang bisa mengarahkan perilakunya menurut hukum kecuali ia mengetahui hukum itu.

2.5. Monitoring Kebijakan

Monitoring (pemantauan) merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan untuk memberikan informasi tentang sebab dan akibat dari kebijakan publik. Monitoring juga merupakan sumber informasi utama tentang implementasi kebijakan. Jadi, monitoring merupakan cara untuk membuat pernyataan yang sifatnya penjelasan tentang kebijakan di waktu lampau maupun sekarang. Monitoring menghasilkan kesimpulan yang jelas selama dan setelah kebijakan diadopsi serta diimplementasikan. Sedangkan tindakan evaluasi merupakan analisa penilaiannya terhadap informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring tersebut (Badjuri, 2002).

Koenarjo (1991) mengemukakan bahwa monitoring atau pemantauan adalah usaha secara terus menerus untuk memahami perkembangan bidang-bidang tertentu dari pelaksanaan tugas atau proyek yang sedang dilaksanakan. Ada 2 (dua) jenis teknik monitoring, yaitu on desk, dengan mencermati laporan-laporan perkembangan, dan on site, dengan cara turun ke lapangan memeriksa secara langsung. Cara ketiga


(58)

adalah melakukan keduanya, yaitu on site dan on desk. Tujuan dari monitoring kebijakan adalah :

1) Menghindarkan terjadinya penyimpangan/ kesalahan/ keterlambatan sehingga dapat diluruskan

2) Memastikan proses implementasi sesuai dengan model implementasi yang sesuai 3) Memastikan bahwa implementasi kebijakan menuju arah kinerja kebijakan yang

dikehendaki

Monitoring memainkan peran metodologis yang penting dalam analisis kebijakan. Ketika situasi masalah timbul saat transformasi tindakan kebijakan menjadi informasi tentang hasil kebijakan melalui monitoring, situasi masalah (sistem dari berbagai masalah yang saling tergantung) tersebut ditransformasikan melalui perumusan masalah ke dalam suatu masalah kebijakan (Badjuri, 2002).

Informasi yang dibutuhkan untuk memantau kebijakan publik harus relevan, dapat diandalkan dan valid. Dapat diandalkan mengandung arti bahwa observasi dalam memperoleh informasi harus dilakukan secara cermat. Valid atau sahih maksudnya informasi tersebut benar-benar memberitahu kita tentang apa yang memang kita maksudkan. Informasi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Pada umumnya informasi diperoleh dari arsip pada instansi atau badan terkait berupa buku, monograf, artikel, dan laporan tertulis dari para peneliti. Bila data dan informasi tidak tersedia pada sumber di atas, monitoring perlu dilakukan dengan kuisioner, wawancara, dan observasi lapangan (Laver, 1986).


(59)

Dalam memantau hasil kebijakan, harus dibedakan dua jenis hasil kebijakan, yaitu : keluaran (outputs), dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau sumber daya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok penerima. Sebaliknya dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan tersebut. Dalam memantau keluaran serta dampak kebijakan harus diingat bahwa kelompok sasaran tidak selalu merupakan kelompok penerima. Kelompok sasaran merupakan individu, masyarakat atau organisasi yang hendak dipengaruhi oleh suatu kebijakan dan program. Sedangkan penerima adalah kelompok yang menerima manfaat atau nilai dari kebijakan tersebut (Badjuri, 2002).

Untuk menghitung secara baik keluaran dan dampak kebijakan, perlu melihat kembali tindakan kebijakan yang dilakukan sebelumnya. Secara umum tindakan kebijakan mempunyai dua tujuan utama, yaitu regulasi dan alokasi. Tindakan regulatif adalah tindakan yang dirancang untuk menjamin kepatuhan terhadap standar atau prosedur tertentu. Sebaliknya tindakan alokatif adalah tindakan yang membutuhkan masukan yang berupa uang, waktu, personil dan alat (Badjuri, 2002).

Tindakan kebijakan dapat pula dipilah lebih lanjut menjadi masukan (input) kebijakan dan proses kebijakan. Masukan kebijakan adalah sumber daya (waktu, uang, personil, alat, material) yang dipakai untuk menghasilkan keluaran dan dampak. Proses kebijakan adalah tindakan organisasional dan politis yang menentukan transformasi dari masukan kebijakan menjadi keluaran dan dampak kebijakan (Badjuri, 2002).


(60)

Monitoring dapat dipilah menjadi beberapa pendekatan: akuntansi sistem sosial, eksperimentasi sosial, auditing sosial, dan sintesis riset-praktek. Namun demikian, setiap pendekatan tersebut memiliki sifat yang sama, antara lain (Badjuri, 2002) :

1. Berusaha memantau hasil kebijakan yang relevan setiap pendekatan mencermati variabel-variabel yang relevan bagi pembuat kebijakan karena variabel-variabel tersebut merupakan indikator dari keluaran dan/atau dampak kebijakan.

2. Terfokus pada tujuan hasil kebijakan dipantau karena diyakini akan meningkatkan kepuasan atas beberapa kebutuhan, nilai dan kesempatan. Dengan kata lain, hasil kebijakan dipandang sebagai cara memecahkan masalah kebijakan.

3. Berorientasi pada perubahan (change oriented). Setiap pendekatan berupaya untuk memantau perubahan, baik dengan menganalisis perubahan dalam hasil antar waktu (time series); dengan membandingkan perubahan antar program, proyek atau wilayah; atau dengan kombinasi kedua cara ini.

4. Memungkinkan klasifikasi silang atas keluaran dan dampak dengan variabel lain, termasuk variabel yang dipakai untuk memantau masukan serta proses kebijakan. 5. Mengukur tindakan dan hasil kebijakan secara objektif maupun subyektif.

Indikator yang objektif biasanya didasarkan pada data yang tersedia, sedangkan indikator subjektif didasarkan pada data baru yang diperoleh melalui survei atau studi lapangan:


(61)

a. Akuntansi Sistem Sosial; b. Eksperimentasi Sosial; c. Pemeriksaan Sosial; d. Sintesis Riset dan Praktek.

Monitoring terhadap suatu kebijakan baru dapat dilakukan setelah adanya tindakan dari para pelaku kebijakan terhadap objek atau kelompok sasaran. Dengan kata lain rencana kebijakan tersebut telah diimplementasikan menjadi kebijakan publik. Sehingga minimal analis dapat melihat adanya perubahan atau hasil yang signifikan dari tindakan kebijakan tersebut baik berupa data-data kuantitatif maupun data kualitatif berdasarkan hasil pengamatan.

Pelaksanaan monitoring yang bersifat ex post facto atau pasca penerapan kebijakan ini sama halnya dengan prinsip evaluasi. Bedanya dalam monitoring intinya analis hanya mengumpulkan informasi seputar pelaksanaan kebijakan, baik berupa data objektif maupun subjektif, berdasarkan indikator-indikator yang telah dipilih. Sedangkan dalam evaluasi, analis memasukkan penilaiannya terhadap informasi yang telah dikumpulkan dalam proses monitoring tersebut. Jadi dari suatu hasil evaluasi analis dapat menilai apakah suatu proses atau keluaran kebijakan berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan pembuat kebijakan atau tidak, sedangkan dalam monitoring hal tersebut tidak dapat dilakukan. Bagaimanapun seharusnya kegiatan monitoring dan evaluasi tidak dapat dipisahkan dan mampu berjalan seiring dengan diterapkannya suatu kebijakan publik (Badjuri, 2002).


(62)

2.6. Pengertian Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada 5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu : keselamatan pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran lingkungan dan keselamatan

“bisnis” rumah sakit yang terkait kelangsungan hidup rumah sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan isu mutu dan citra perumahsakitan (Departeman Kesehatan RI, 2008).

The Institute of Medicine (IOM) mendefinisikan keselamatan sebagai freedom

from accidental injury. Keselamatan dinyatakan sebagai ranah pertama dari mutu dan

definisi dari keselamatan ini merupakan pernyataan dari perspektif pasien (Kohn, 2000). Pengertian lain menurut Hughes (2008) menyatakan bahwa keselamatan pasien merupakan pencegahan cedera terhadap pasien. Pencegahan cedera didefinisikan sebagai bebas dari bahaya yang terjadi dengan tidak sengaja atau dapat dicegah sebagai hasil perawatan medis. Sedangkan praktek keselamatan pasien diartikan sebagai menurunkan risiko kejadian yang tidak diinginkan yang berhubungan dengan paparan terhadap lingkup diagnosis atau kondisi perawatan medis.


(63)

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit/ KKP-RS (2008) mendefinisikan bahwa keselamatan (safety) adalah bebas dari bahaya atau risiko (hazard). Keselamatan pasien (patient safety) adalah pasien bebas dari harm/ cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik/ sosial/ psikologis, cacat, kematian dan lain lain), terkait dengan pelayanan kesehatan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Harus diakui, pelayanan kesehatan pada dasarnya adalah untuk menyelamatkan pasien sesuai dengan yang diucapkan Hippocrates kira-kira 2400 tahun yang lalu yaitu Primum, non nocere (First, do no harm). Namun diakui dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit menjadi semakin kompleks dan berpotensi terjadinya Kejadian Tidak Diharapkan-KTD (Adverse Event) apabila tidak dilakukan dengan hati-hati karena di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan tes dan prosedur, banyak alat dengan teknologinya, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi yang siap


(64)

memberikan pelayanan pasien 24 jam terus menerus. Keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat terjadi KTD (Departemen Kesehatan RI, 2008).

Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari Kejadian Tidak Diharapkan, Kejadian Nyaris Cedera, Kejadian Tidak Cedera dan Kejadian Potensial Cedera. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius (Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011).

2.7. Pelaksanaan Keselamatan Pasien Rumah Sakit 2.7.1. Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit

Menurut Permenkes Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah


(1)

154

____________, (edited), 1984, Public Policy Implementing, London-England : Jai Press Inc.

Friedman, Lawrence M., 2009. Sistem Hukum : Perspektif Ilmu Sosial, Bandung : Penerbit Nusa Media.

Goggin, Malcolm L., Ann O’M Bowman, James P. Lester, Lawrence J. O’ Toole Jr., 1990, Implementation Theory and Practice : Toward A Third Generation, Glenview : Scott, Forestman/ Little Brown Higher Education.

Grindle, Merilee S., 1980, Politics and Policy Implementation in the Third World, New Jersey : Princetown University Press.

Hughes, R. G., 2008, Patient safety and quality : an evidence-based handbook for nurses, Rockville MD : Agency for Healthcare Research and Quality

Publications.

diakses

pada tanggal 16 Desember 2013

Kementerian Kesehatan RI dan Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS), 2011, Standar Akreditasi Rumah Sakit, Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan.

____________, 2012, Buletin BUK : Bimbingan Teknis Akreditasi Rumah Sakit Standar Internasional, Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1197/ Menkes/ SK/ X/ 2004

tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Koenarjo, 1991, Glosari Pembiayaan Pembangunan, Jakarta : Bappenas.

Kohn, L. T., Corrigan, J. M., Donaldson, MS., 2000, To Err is Human : Building a Safer Health System, Washington DC : National Academy Press. Desember 2013

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS), 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety Incident Report), Jakarta : PERSI, KKP-RS.


(2)

155

Lee, K., Buse, K., Fustukian, S., 2002, Health Policy in a Globalising World, UK : Cambridge University Press.

Leichter, H., 1979, A Comparative Approach to Policy Analysis: Health Care Policy in Four Nation, Cambridge: Cambridge University Press.

Leppo, K., 2001, Strengthening Capacities For Policy Development and Strategic Management in National Health Systems, Geneva : WHO.

Mustikawati, Yully Harta , 2011, Analisis Determinan Kejadian Nyaris Cedera dan Kejadian Tidak Diharapkan di Unit Perawatan Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta, Tesis Program Magister Ilmu keperawatan, Fakultas Ilmu

Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo, 2007, Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni, Jakarta : Rineka Cipta

Nugroho, Riant, 2012, Public Policy, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ PER/ VIII/ 2011 tanggal 8 Agustus 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

___________ Nomor 012 Tahun 2012 tanggal 15 Maret 2012 tentang Akreditasi Rumah Sakit.

Pohan, Imbalo, S., 2007, Jaminan Mutu Layanan Kesehatan Dasar-dasar Pengertian dan Penerapan, Jakarta : EGC

Rahardjo, Mudjia, 2010. Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif, dalam

Rahmat, Pupu Saeful, 2009, Penelitian Kualitatif, Equilbrium, Vol.5, No.9, Januari-Juni 2009 : 1-8, dalam yusuf.staff.ub.ac.id/files/2012/11/Jurnal-Penelitian-Kualitatif.pdf diakses pada tanggal 4 Februari 2014.

Subarsono, A. G., 2009, Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi,Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta.

Tangkilisan, Hessel, 2005, Implementasi Kebijakan Publik, Yogyakarta : YPAPI. Undang Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.


(3)

156

Walt G dan Gilson L., 1994, Reforming the Health Sector In Developing Countries: The Central Role Of Policy Analysis. Health Policy and Planning 9: 353-70. Wibawa, Samoedra, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta : Raja Grafindo Offset. Winarno, Budi, 2007, Kebijakan Publik: Konsep, Teori Dan Aplikasi, Edisi Revisi,

Jakarta: PT. Buku Kita.

World Health Organization (WHO) Patient Safety, 2009, WHO Guidelines for Safety Surgery : Safe Surgery Saves Lives, Switzerland.

Yulia, Sri, 2010, Pengaruh Pelatihan Keselamatan Pasien terhadap Pemahaman Perawat Pelaksana mengenai Penerapan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit Tugu Ibu Depok, Tesis Program Magister Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia, Depok.


(4)

Pedoman Wawancara Mendalam

ANALISIS IMPLEMENTASI KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT UMUM DELI MEDAN

I. Karakteristik Informan

Nama :

Umur :

Pendidikan :

Jabatan :

Lama Jabatan :

Tanggal/Waktu Wawancara : II. Perencanaan

1. Apa pengertian keselamatan pasien menurut pandangan saudara?

2. Bagaimana rencana implementasi keselamatan pasien Rumah Sakit Umum Deli Medan di unit kerja Saudara?

III. Implementasi Faktor sumber daya:

1. Dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan bagaimana sumber daya manusianya di unit Saudara? Dari segi jumlahnya


(5)

maupun kualitasnya? Apakah ada dilakukan pendidikan dan pelatihan di unit Saudara untuk hal tersebut?

2. Bagaimana menurut Saudara penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana di unit Saudara dalam implementasi keselamatan pasien di Rumah Sakit Umum Deli Medan?

3. Bagaimana menurut Saudara kesesuaian pendanaan di unit Saudara dalam implementasi keselamatan pasien berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan?

Faktor komunikasi

4. Bagaimana bentuk komunikasi yang dilakukan Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) kepada unit kerja Saudara dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan? (apakah ada dilakukan sosialisasi? Dan apakah ada petunjuk pelaksanaan dan pedoman kerja?)

5. Apa yang Saudara lakukan bila terjadi insiden keselamatan pasien? Faktor disposisi

6. Bagaimana sikap Direktur dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit


(6)

Umum Deli Medan ? mendukung atau tidak? Apabila mendukung, bentuk dukungannya seperti apa?

7. Bagaimana sikap tenaga yang ada di unit Saudara dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan ?

Faktor struktur birokrasi

8. Bagaimana koordinasi TKPRS dengan unit kerja Saudara rangka implementasi keselamatan pasien berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 /Menkes/ Per/ VIII / 2011 di Rumah Sakit Umum Deli Medan?

9. Bagaimana menurut Saudara hubungan kerja antar tenaga kerja dari unit Saudara dengan unit lain dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis Kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691 /Menkes/ Per/ VIII / 2011 ?

10.Apa saran atau masukan dari Saudara dalam rangka implementasi keselamatan pasien berbasis kebijakan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Deli Medan saat ini agar berjalan dengan baik ?