Pelestarian lanskap sejarah kawasan Depok Lama, Kota Depok

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH
KAWASAN DEPOK LAMA,
KOTA DEPOK

ARI BUDIYANTO

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pelestarian Lanskap
Sejarah Kawasan Depok Lama, Kota Depok adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguran tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Ari Budiyanto
NIM A44100031



Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

vi

ABSTRAK
ARI BUDIYANTO. Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan Depok Lama, Kota
Depok. Dibimbing oleh NURHAYATI H.S. ARIFIN.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakter lanskap sejarah,
menganalisis nilai signifikansi, dan menyusun konsep pelestarian bagi lanskap
sejarah kawasan Depok Lama. Metode yang digunakan dalam peneltian ini adalah

pendekatan Goodchild (1990), dengan tahapan penelitian meliputi inventarisasi
data, analisis, dan sintesis. Depok Lama merupakan lanskap sejarah bertipe
pemukiman kolonial yang dapat dirinci ke dalam 3 zona (I, II, III) didasarkan pada
penggunaan lahan oleh masyarakat dimasa kolonial yang mengacu pada peta Depok
Lama tahun 1924. Zona I adalah area pusat pemerintahan dan awal pemukiman di
Depok Lama, memiliki nilai signifikansi tinggi. Zona II atau area perkembangan
pemukiman memiliki nilai signifikansi sedang. Zona III yaitu area yang awalnya
berupa cagar alam, rawa, dan semak, saat ini didominasi oleh pemukiman sehingga
nilai signifikansinya rendah. Konsep pelestarian yang diusulkan adalah “keep the
remaining”. Tindakan pelestarian yang diterapkan pada zona I (zona inti) adalah
revitalisasi, zona II (zona penyangga) diupayakan untuk penggunaan adaptif, dan
zona III (zona penyangga) yaitu konservasi untuk elemen lanskap sejarah berupa
Tahura Depok, Sumur dan Situ Pancoran Mas, dan penggunaan adaptif untuk area
di luar ke 3 elemen lanskap sejarah tersebut.
Kata kunci: Lanskap sejarah, pelestarian Depok Lama, pemukiman kolonial,
rekomendasi pelestarian, zonasi Depok Lama.

ABSTRACT
ARI BUDIYANTO. Historical landscape conservation of Old Depok region, Depok
City. Supervised by NURHAYATI H.S. ARIFIN.

The objectives of this study is to determine the historical landscape character,
analyse the significance value, and make a concept for historical landscape
conservation in Old Depok. The method used in this study was Goodchild (1990)
approach, which included the stages of data inventory, analysis, and synthesis. Old
Depok is a historical landcape colonial settlement type, which can be divided into
3 zones (I, II, III) based on its landuse by people in colonial era according to Depok
map 1924. Zone I is the center of government area and early settlement in Old
Depok, has a high significance value. Zone II is a residential development in Old
Depok, has an average significance value. Zone III is an area that originally was
nature reserve, swamps, and bush, which is currently dominated by setllement, has
low significance value. The selected conservation concept is “keep the remaining”.
Conservation strategy can be applied into zona I (core zone) is revitalization, while
zone II (buffer zone) is adaptive use, and zone III (buffer zone) is conservation for
its historical landscape element such as Tahura Depok, Pancoran Mas Lakes and
Wells, and adaptive use for the area outside the 3 historical landscape elements.
Key words: colonial settlement, conservation strategy, historical landscape, Old
Depok Conservation, Old Depok zoning.

PELESTARIAN LANSKAP SEJARAH
KAWASAN DEPOK LAMA,

KOTA DEPOK

ARI BUDIYANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

Judul Skripsi : Pelestarian lanskap sejarah kawasan Depok Lama, Kota Depok
Nama

: Ari Budiyanto
NIM
: A44100031

Disetujui oleh

Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari sampai Juni
2014 ini ialah lanskap sejarah dengan judul Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan
Depok Lama, Kota Depok.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah membantu
dalam penyusunan skripsi ini:
1. Dr Ir Nurhayati H.S. Arifin, MSc, selaku pembimbing skripsi yang telah
memberikan saran dan beragam pengarahan selama kegiatan penyusunan
skripsi ini,
2. Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr, selaku pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak arahan selama mengikuti pendidikan di IPB,
3. Ibu dan Kakak yang selalu memberikan semangat dan dukungan,
4. Bapak Yano Jonathans dan staf Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein yang
telah memberikan banyak referensi mengenai sejarah Depok Lama,
5. Ermanila, MMpd dan staf Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata Seni dan
Budaya Kota Depok, serta staf Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Kota
Depok,
6. masyarakat dari dalam dan luar kawasan Depok Lama yang telah bersedia
menjadi responden untuk pengisian kuisioner,
7. Dr Kaswanto yang telah banyak memberi masukan dalam kolokium dan

seminar. Dr Aris Munandar dan Fitriyah Nurul H Utami ST, MT yang telah
berkenan menjadi dosen penguji skripsi,
8. Morita dan Aya, rekan penelitian satu Kota Depok yang telah banyak
membantu dalam pengumpulan data,
9. sahabat baik selama di TPB dan Lanskap 47 yang selalu memberikan
semangat.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan bagi
pihak yang membutuhkan.

Bogor, Oktober 2014

Ari Budiyanto

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

xi

DAFTAR TABEL


xiii

DAFTAR GAMBAR

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

xiv

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan


2

Manfaat

2

Kerangka Pikir

2

TINJAUAN PUSTAKA

4

Lanskap Sejarah

4

Tanah Partikelir


5

Arsitektur Rumah Tinggal Kolonial

5

Cagar Budaya

6

Pelestarian Lanskap Sejarah

7

METODOLOGI

10

Tempat dan Waktu Penelitian


10

Batasan Studi

11

Metode Penelitian

11

KONDISI UMUM

16

Kota Depok dan Pancoran Mas

16

Asal Mula Nama Depok

19

Sejarah Kota Depok

19

Kehidupan Masyarakat Depok Lama

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

29

Karakteristik Lanskap Sejarah Depok Lama

29

Elemen Lanskap Sejarah Depok Lama

30

Kebijakan Pelestarian Lanskap Sejarah Kawasan Depok Lama

50

Assesment Lanskap Sejarah Depok Lama

51

Persepsi dan Dukungan Masyarakat

61

Rekomendasi Pelestarian

64

KESIMPULAN DAN SARAN

70

xii

Kesimpulan

70

Saran

71

DAFTAR PUSTAKA

72

LAMPIRAN

74

RIWAYAT HIDUP

80

DAFTAR TABEL
1 Jenis, bentuk, dan sumber data yang diperlukan dalam inventarisasi
2 Kriteria penilaian keaslian (originality)
3 Kriteria penilaian keunikan (uniqueness)
4 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian
5 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan
6 Jumlah penduduk menurut agama
7 Nama jalan di Depok Lama tempo dulu
8 Sebaran elemen lanskap sejarah berdasarkan karakteristik lanskapnya
9 Rumah tinggal bergaya kolonial di kawasan Depok Lama
10 Penilaian keaslian lanskap sejarah kawasan Depok Lama
11 Penilaian keunikan lankap sejarah kawasan Depok Lama
12 Penilaian signifikansi lanskap sejarah kawasan Depok Lama
13 Pendapat masyarakat Depok Lama mengenai eksistensi bangunan tua di
kawasan Depok Lama
14 Pendapat masyarakat di luar Depok Lama mengenai eksistensi bangunan
tua di kawasan Depok Lama
15 Pembagian zonasi pelesatarian

11
13
13
17
18
18
30
31
44
53
55
58
62
64
65

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir
2 Peta Kelurahan Depok dan Pancoran Mas
3 Tahapan penelitian
4 Peta Kecamatan Pancoran Mas
5 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Pancoran Mas
6 (a) Sumur 7 Beji, (b) Makam Ratu Anti
7 Peta Depok tahun 1917
8 Proses pemungutan tjoeke
9 Perlawanan di Depok
10 Murid-murid di Sekolah Depok tahun 1930
11 (a) Sinterklas 1930, (b) Cornelis Chastelein Dag,
(c) Pawai Obor 2014, (d) Ibadah Misa
12 Peta rute dan lokasi perayaan serta mitos dan legenda di Depok Lama
13 Peta Depok Lama tahun 1924
14 Peta persebaran lanskap sejarah di kawasan Depok Lama
15 (a) YLCC tahun 1978, (b) YLCC tahun 2014,
(c) Jendela di samping kiri, dan (d) Pintu belakang YLCC
16 (a) Gereja Immanuel tahun 1980, (b) Gereja Immanuel tahun 2014,
17 (a) Gemeente Huis dan Tugu Chastelein, (b) Tampak depan R.S Harapan
Depok, (c) Tampak samping kiri, dan (d) Plafon yang sedikir rusak
18 (a) Eben Haezer, (b) Tampak depan SMA Kasih 2014
(c) Selasar dan pilar di depan gedung, (d) Gedung baru dan parkiran
19 (a) Europeesche School, (b) SDN 02 Pancoran Mas 2014

3
10
15
16
17
20
21
23
24
26
27
28
29
32
33
34
35
36

xiv

(c) Bagian belakang SD, dan (d) Ruang kelas baru
20 (a) Makam Johanna Maria Karts, (b) Makam Adolf Van der Capellen
21 (a) Signage Lapangan Olahraga YLCC, (b) Rumput lapangan
22 (a) Sumur Pancoran Mas, (b) Situ Pancoran Mas
23 (a) Pintu masuk Tahura Depok, (b) Reklame di area tahura
24 (a) Alat pengukur ketinggian air pada kaki jembatan,
(b) Ilalang di Jembatan Panus
25 (a) Seminari lama, (b) Gereja Pasundan 2014
26 Tiang telepon di Jalan Kartini
27 Depo PLN
28 Gedung Kantor Pos Depok
29 (a) Stasiun Depok 1939, (b) Stasiun Depok 2014
30 Peta pembagian zona penilaian lanskap sejarah kawasan Depok Lama
31 Peta keaslian lanskap sejarah di kawasan Depok Lama
32 Peta keunikan lanskap sejarah di kawasan Depok Lama
33 Peta signifikansi lanskap sejarah di kawasan Depok Lama
34 Peta penggunaan lahan di kawasan Depok Lama 2009
35 Peta komposit signifikansi lanskap sejarah dan penggunaan lahan di
kawasan Depok Lama
36 Peta zona dan tindakan pelestarian lanskap sejarah kawasan Depok Lama

37
37
38
39
39
40
41
41
42
42
43
52
54
56
59
60
61
68

DAFTAR LAMPIRAN
1 Persepsi masyarakat di luar kawasan Depok Lama
2 Persepsi masyarakat di dalam kawasan Depok Lama

74
77

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Depok sebagai salah satu kota historis yang terletak diantara kota-kota
penting dimasa lalu yaitu Batavia dan Buitenzorg, tentunya tidak dapat dipisahkan
dari sejarah perjalanannya. Peristiwa demi peristiwa yang terangkum bergantian
mengikuti alur zaman dan baik langsung atau pun tidak langsung telah
mempengaruhi bentuk tampilan Kota Depok saat ini. Bukti-bukti arkeologis yang
telah ditemukan menunjukkan bahwa Depok terbagi ke dalam beberapa
pembabakan sejarah, dimulai dari zaman prasejarah hingga pada pembentukan
Kota Depok sekarang, yang membuat budaya Depok kian beragam. Hal tersebut
dapat terjadi karena pada setiap masanya, masyarakat mempunyai sistem pemikiran
tersendiri yang disesuaikan dengan teknologi yang ada dan berkembang saat itu.
Kekhasan dan keberagaman budaya Depok dapat terlihat dari beragam sisa
peninggalan yang cukup berbeda antara satu zaman dengan yang lainnya, antara
satu komunitas masyarakat dengan komunitas lainnya, meskipun seringkali
ditemukan perpaduan diantara keduanya (Disporaparsenbud 2013).
Sejarah berdirinya Kota Depok diawali pada zaman prasejarah tepatnya di
masa megalitikum, dilanjutkan dengan zaman Pajajaran diakhir abad ke-15, hingga
kemudian Depok dikuasai oleh kolonial Belanda. Pada masa kolonial inilah dikenal
adanya Depok Lama, tanah partikelir yang didirikan oleh Cornelis Chastelein,
mantan pejabat di Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kongsi
Perdagangan Hindia Timur, untuk usaha pertaniannya. Chastelein mendatangkan
150 orang budak dari berbagai wilayah seperti Jawa, Bali, dan Sulawesi untuk
mengolah lahannya di Depok. Para budak inilah yang menjadi cikal bakal dari 12
marga Depok atau yang sering disebut sebagai “Belanda Depok”. Mereka terdiri
dari Bacas, Isakh, Jonathans, Joseph, Laurentz, Leander, Loen, Samuel, Soedira,
Tholense, Jacob, dan Zadokh (Soedira 2013).
Depok Lama sebagai kawasan bersejarah memiliki peninggalan berupa
lanskap sejarah dengan elemen-elemen yang ada di dalamnya, yang menjadi bukti
nyata bagimana kehidupan masyarakat saat itu. Depok Lama yang sekarang identik
dengan Kelurahan Depok merupakan tempat bermukimnya komunitas “Belanda
Depok”. Rumah tinggal bergaya kolonial, gereja, sekolah, pemakaman, dan
jembatan tua masih dapat ditemui di kawasan ini. Namun, modernisasi dan
pembangunan kota yang begitu pesat, disertai lokasi Depok Lama yang berada
dekat dengan pusat pemerintahan Depok di Jalan Margonda membuat keberadaan
kawasan ini cukup terancam. Upaya pelestarian dan perhatian pemerintah yang
selama ini minim dengan masih belum ditetapkannya kawasan Depok Lama beserta
elemen lanskap sejarah di dalamnya sebagai kawasan, benda, atau bangunan cagar
budaya, membuat pemilik dapat dengan mudah memperjualbelikan bangunan
tersebut tanpa peduli dengan maksud dan tujuan selanjutnya. Akibatnya, cukup
banyak bangunan bersejarah yang hancur karena pengalihgunaan lahan untuk
pendirian gedung baru seperti kompleks pertokoan, rumah sakit, stasiun pengisian
bahan bakar (SPBU), dan lainnya.
Kondisi seperti ini sejalan dengan pemikiran yang diungkapkan oleh
Catanese dan Snyder (1986), yang menyatakan bahwa pelestarian sejarah seringkali

2

menemui kendala atau pertentangan terkait hak-hak kepemilikan dari pemilik benda
peninggalan sejarah yang cenderung berkuasa atas apa yang dimiliknya. Kurangnya
pemahaman akan pentingnya menjaga benda tersebut, adanya beban dan tuntutan
ekonomi yang kian mendesak, serta harga jual bangunan tua yang cukup tinggi,
seringkali membuat para pemilik rumah tua di Depok Lama lebih senang untuk
menjualnya. Kemudian, para pemilik yang umumnya orang asli Depok berpindah
ke daerah lain di sekitar Depok, sedangkan Depok Lama lambat laun diisi oleh para
pendatang yang sebetulnya kurang mengerti seluk beluk sejarah tempat itu.
Keadaan seperti ini dikhawatirkan akan semakin menurunkan dan mengaburkan
nilai sejarah kawasan beserta elemen lanskap sejarah di dalamnya.
Dilatarbelakangi hal itulah, penelitian mengenai lanskap sejarah ini menjadi
perlu untuk dilakukan agar dapat mengetahui karakter, kondisi, dan signifkansi
lanskap sejarah di Depok Lama. Selanjutnya hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi usulan konsep pelestarian bagi kawasan Depok Lama dan bahan
masukan bagi pemerintah Kota Depok dalam melestarikan kawasan tersebut.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi karakter dan kondisi
lanskap sejarah Depok Lama, (2) menganalisis nilai keaslian, keunikan, dan
sigifikansi lanskap sejarah Depok Lama, dan (3) memberikan sintesis berupa
rekomendasi pelestarian bagi kawasan Depok Lama.
Manfaat
Manfaat dilakukannya penelitian adalah (1) memberikan informasi mengenai
karakter dan kondisi lanskap sejarah di kawasan Depok Lama, (2) mengetahui nilai
keaslian, keunikan, dan signifikansi lanskap sejarah Depok Lama, (3) memberikan
usulan rekomendasi pelestarian bagi kawasan Depok Lama yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan masukan untuk pemerintah Kota Depok, dan (4)
menambah pengetahuan bagi penulis terkait pelestarian lanskap sejarah.
Kerangka Pikir
Depok sebagai salah satu kota dengan sejarah yang cukup panjang memiliki
beragam bentuk peninggalan masa lalu dan salah satunya adalah kawasan lanskap
sejarah di Depok Lama. Sayangnya, perhatian pemerintah kota yang kurang, serta
kepedulian masyarakat yang masih rendah akan pentingnya menjaga kelestarian
obyek bernilai sejarah tersebut dapat menjadi ancaman sendiri bagi eksistensinya.
Upaya pelestarian kawasan lanskap sejarah melalui penyusunan rekomendasi
berupa konsep, tindakan, dan zonasi pelestarian, diputuskan setelah mempertimbangkan beberapa hal seperti kondisi lanskap sejarah dan penggunaan lahan
yang ada, kebijakan pemerintah, serta persepsi dan dukungan masyarakat di sekitar
kawasan. Kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

3

Kawasan Depok Lama

Pengalihgunaan lahan
di sekitar kawasan
kurang sesuai

Elemen lanskap
sejarah sebagian
rusak dan hilang

Perhatian pemerintah
kurang, kepedulian
masyarakat rendah

Karakter lanskap sejarah kawasan
Depok Lama menurun

Kondisi lanskap
sejarah dan
signifikansi sejarah

Kebijakan
pemerintah Kota
Depok
Pelestarian kawasan
Depok Lama

Persepsi dan
dukungan
masyarakat

Penggunaan lahan
dan rencana strategis
kawasan

Rekomendasi pelestarian berupa
usulan konsep, tindakan
pelestarian, dan zonasi pelestarian
Gambar 1 Kerangka pikir

4

TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Sejarah
Simonds dan Starke (2003) mendeskripsikan bahwa lanskap merupakan
bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya
melalui panca indera yang dimiliki manusia. Lanskap biasanya tersusun oleh
elemen-elemen pembentuk yang terdiri atas elemen mayor yang sulit untuk
dimodifikasi, dan elemen minor yang mudah untuk diubah bentuknya. Elemen ini
juga dapat dikelompokkan kedalam natural landscape atau man made landscape.
Menurut Harris dan Dines (1988), lanskap sejarah didefinisikan sebagai lanskap
dari masa lalu dan merupakan bentuk fisik dari keberadaan manusia diatas bumi.
Nurisyah dan Pramukanto (2001), menjelaskan bahwa suatu lanskap dikatakan
memiliki nilai sejarah apabila mengandung satu atau beberapa kriteria:
1. kriteria umum:
a. etnografis, merupakan produk khas sistem ekonomi dan sosial suatu
kelompok masyarakat, contohnya rural landscape dan urban
landscape,
b. associative, lanskap berhubungan dengan suatu peristiwa, legenda
masyarakat, tokoh, dan sebagainya,
c. adjoining, lanskap sebagai bagian dari unit, monumen, atau struktur
bangunan tertentu,
2. kriteria khusus:
a. lanskap merupakan suatu contoh penting yang harus dihargai,
b. mengandung bukti sejarah, baik yang tampak di atas maupun di bawah
permukaan tanah dan menarik untuk dikaji lebih lanjut,
3. memiliki kaitan dengan masyarakat atau peristiwa sejarah yang penting,
dengan alasan atau latar belakang:
a. peranan sejarah, suatu tempat menjadi lokasi bagi peristiwa penting
yang membentuk ikatan simbolis antara peristiwa dahulu dan sekarang,
b. kejamakan, lanskap merupakan wakil, contoh, atau tipe dari suatu
lanskap tertentu,
c. kelangkaan, lanskap menjadi satu-satunya contoh yang masih tersisa,
d. keistimewaan, lanskap termasuk istimewa karena tertua, terbesar, dan
sebagainya,
e. estetik, pelestarian dilakukan karena memiliki prestasi khusus dari
suatu gaya tertentu,
4. mengandung nilai-nilai yang terkait bangunan bersejarah, monumen,
taman, dan sebagainya.
Setiap lanskap yang ada baik alami maupun buatan, masing-masing
mempunyai karakter tersendiri yang membuatnya unik dan bernilai. Menurut
Waterman (2009), karakter lanskap merupakan pengaturan dari atribut, baik
tangible maupun intangible, yang mendefinisikan suatu lanskap. Karakter lanskap
sering kali merupakan penggabungan dari beberapa pengaruh sosial, budaya,
ekonomi. Nurisyah dan Pramukanto (2001), menyatakan bahwa lanskap sejarah
memiliki karakter yang dapat diamati dari situs dan berhubungan dengan tapak.
Kedua hal tersebut dibentuk oleh 2 faktor:

5

1. historic atau prehistoric feature yang berada baik di atas tanah atau bawah
permukaan air,
2. informasi sejarah yang berhubungan dengan tapak seperti legenda, cerita
rakyat, dan lainnya.
Tanah Partikelir
Berdasarkan Kanbali (1990), tanah partikelir (particuliere landerijen)
dibentuk pertama kali pada masa Gubernur Jendral Pieter de Carpentier pada tahun
1623-1627. Tanah ini adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh orang-orang partikelir
(swasta) yaitu orang Belanda, Inggris, Arab, Tiongkok, yang diperoleh dengan cara
membeli dari pemerintah. Awalnya, pemerintah kolonial hanya memberikan tanah
partikelir kepada orang-orang yang dipercayainya saja seperti kepala kampung atau
komandan pribumi. Namun, keberadaan tanah partikelir kemudian dikomersilkan
untuk menambah pemasukan kas negara. Menurut UU No. 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah Partikelir, disebutkan bahwa tanah partikelir memiliki hak-hak
pertuanan (heerlijke rechten) yang dapat mengatur hubungan antara pemilik dan
penduduk didalamnya. Penduduk umumnya adalah penggarap lahan yang telah
mendapat izin untuk mengolah tanah-tanah yang ada dan mendapatkan bagi hasil
dari pemiliknya. Tuan tanah memiliki kewenangan untuk mengangkat atau
memberhentikan kepala desa, menuntut kerja paksa, menarik pungutan uang atau
hasil tanah, mendirikan pasar dan membuat peraturan desa. Keadaan ini
memunculkan istilah staaties binnen de staat yaitu adanya negara kecil di dalam
negara.
Keberadaan tanah partikelir diakui secara resmi pada tahun 1705 dimasa
Cornelis Chastelein yang memiliki tanah partikelir cukup luas di selatan Batavia
dari Weltreveden (Jakarta Pusat) sampai Depok. Penjualan tanah partikelir setelah
1829 ditiadakan dan pada awal abad 19 untuk meminimalisir adanya bahaya
keamanan dan ketertiban atas banyaknya tanah partikelir tersebut, terpaksa
membuat pemerintah kolonial memutuskan untuk membeli kembali tanah-tanah itu.
Namun, proses pembelian banyak terhambat karena para tuan tanah enggan menjual
tanah miliknya dengan harga murah. Tanah partikelir secara resmi dihapuskan oleh
pemerintah Indonesia setelah dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1958 pada masa
kemerdekaan.
Arsitektur Rumah Tinggal Kolonial
Berdasarkan Trihayati (2005), Belanda pada awalnya mendirikan bangunanbangunan berupa gudang, benteng, dan rumah tinggal yang dibangun dengan
menggunakan bambu dan atap daun kelapa. Pada masa selanjutnya, rumah-rumah
tinggal dibangun permanen dengan dinding batu bata. Bentuk rumah tinggal
tersebut terbagi dalam 3 gaya arsitektur yaitu:
1. gaya Belanda (Nederlands stijl) yaitu gaya arsitektur rumah tinggal
kolonial yang masih mengikuti bentuk rumah di negara Belanda yang
umumnya bergandengan, berderet mengikuti pinggir jalan atau sungai.
Denah rumah dibuat memanjang dan terdiri atas 2 lantai. Selain itu, atap

6

bangunan umumnya sejajar tembok tanpa overstek. Gaya ini tidak cocok
diterapkan di iklim tropis,
2. gaya Hindia-Belanda (Nederlands-Indisch stijl) yaitu gaya arsitektur
dimana bangunan rumah tinggal mulai disesuaikan dengan iklim dan
lingkungan tropis. Bangunan umumnya dilengkapi overstek yang
membuat atap bangunan lebih lebar dari tembok. Bentuk bangunan 2
lantai dengan pintu dan jendela yang dibuat lebih tinggi dan lebar serta
simetris pada fasad bangunan,
3. gaya Indis (Indischhe stijl) yaitu gaya arsitektur rumah tinggal kolonial
yang seluruhnya beradaptasi dengan iklim tropis dan mengadopsi bentuk
rumah tradisional Jawa. Bangunan rumah dibuat dengan ukuran besar, 1
lantai, teras lebar dengan atap bangunan tinggi dan lebar.
Ketiga gaya arsitektur tersebut berkembang pada periode 1700-1820.
Selanjutnya pada akhir abad 19 muncul gaya baru dalam arsitektur kolonial di
Hindia Belanda, yaitu Neo-Klasik dengan denah simetris, atap perisai, dan pilarpilar di teras depan dan belakang. Pada awal abad ke-20 terdapat beberapa gaya
dalam arsitektur modern yang terdiri dari: Rasionalisme, Amsterdam School,
Nieuwe Bouwen.
Cagar Budaya
Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yang dimaksud
dengan cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda,
bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya baik di darat dan/atau di air
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses
penetapan. Benda cagar budaya dapat didefinisikan sebagai benda alam dan/atau
benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau
kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat
dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Bangunan cagar budaya
adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia
untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan beratap. Struktur cagar budaya
yaitu susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau buatan manusia untuk
memenuhi kebutuhan ruang kegiatan menyatu dengan alam, sarana dan prasarana
untuk menampung kebutuhan manusia. Sedangkan kawasan cagar budaya berarti
satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar budaya atau lebih yang
letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai cagar budaya apabila
memenuhi kriteria:
1. berusia 50 tahun atau lebih,
2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun,
3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan kebudayaan,
4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Benda cagar budaya dapat dimiliki oleh setiap orang melalui pewarisan,
hibah, tukar-menukar, pembelian, putusan atau penetapan pengadilan. Kawasan
cagar budaya hanya dapat dimiliki atau dikuasai oleh negara, kecuali jika telah
dimiliki oleh masyarakat hukum adat. Warga negara asing atau badan hukum asing

7

tidak dapat memiliki cagar budaya kecuali jika telah tinggal dan menetap di
Indonesia.
Mekanisme register nasional cagar budaya didahului dengan pendaftaran oleh
para pemilik kepada pemerintah kabupaten atau kota yang dilengkapi dengan
deskripsi dan dokumentasi. Hasil pendaftaran yang didapat kemudian dikaji oleh
tim ahli cagar budaya, tujuannya untuk melakukan identifikasi dan klasifikasi
terhadap benda, bangunan, struktur, atau lokasi untuk ditetapkan sebagai cagar
budaya. Selanjutnya, bupati atau walikota akan mengeluarkan penetapan status
cagar budaya paling lama 30 hari setelah rekomendasi diterima dari tim ahli. Surat
keterangan status dan kepemilikan akan dikeluarkan setelah cagar budaya tercatat
dalam register nasional.
Pelestarian Lanskap Sejarah
Menurut Nurisyah dan Pramukanto (2001), pelestarian lanskap sejarah
didefinisikan sebagai usaha manusia untuk melindungi peninggalan atau sisa-sisa
budaya dan sejarah terdahulu yang bernilai dari berbagai perubahan negatif atau
yang merusak keberadaan dan nilai yang dimilikinya. Pelestarian ini bertujuan
untuk memberikan kualitas yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat berdasarkan
kekuatan aset-aset budaya lama, melalui pengadopsian program-program yang
menarik dan kreatif, berkelanjutan, partisipatif dengan memperhitungkan estimasi
ekonomi.
Secara lebih spesifik, Nurisyah dan Pramukanto (2001) menyatakan bahwa
pentingnya pelestarian lanskap yang terkait dengan aspek budaya dan sejarah,
adalah untuk:
1. mempertahankan warisan budaya atau sejarah yang memiliki karakter
spesifik suatu kawasan, seperti pada kawasan Pecinan dan kota lama
Jakarta,
2. menjamin terwujudnya ragam dan kontras yang menarik dari suatu areal
atau kawasan, misalnya keberadaan areal sejarah di suatu kawasan modern
akan memiliki kesan visual dan sosial yang berbeda,
3. memenuhi kebutuhan psikis manusia, untuk melihat dan merasakan
eksistensi dalam alur kesinambungan masa lampau, masa kini dan masa
depan yang tercermin dalam obyek atau lanskap untuk selanjutnya dikaitkan
dengan harga diri, percaya diri dan sebagai identitas diri suatu kelompok
masyarakat tertentu,
4. memberikan motivasi ekonomi, karena suatu peninggalan sejarah atau
budaya akan memiliki nilai yang tinggi apabila dipelihara baik, dan dapat
mendukung perekonomian kota dan daerah jika dapat dikembangkan
sebagai kawasan tujuan wisata,
5. menciptakan simbolisme sebagai manifestasi fisik dari identitas suatu
kelompok masyarakat tertentu, contohnya pada kawasan Pecinan dan
Kampung Bugis.
Harris dan Dines (1988) menyatakan bahwa tujuan dilakukannya pelestarian
lanskap sejarah antara lain untuk:
1. mempertahankan karakter estetik dari suatu properti atau area yang nantinya
dapat menginterpretasikan kehidupan kesejarahan dari seseorang, kejadian
atau tempat,

8

2. mengkonservasi sumberdaya, misalnya untuk menyelamatkan pohon,
semak dan jenis tanaman lainnya, serta memperpanjang kehidupan suatu
fitur dari sebuah tapak,
3. memfasilitasi pendidikan lingkungan, misalnya untuk mengilustrasikan
suatu proses atau teknologi masa lampau,
4. mengakomodasi perubahan kebutuhan kawasan kota, tepi kota, ataupun
pedesaan.
Sementara, Goodchild (1990) dalam Anggraeni (2011) menyatakan bahwa
pelestarian lanskap bersejarah perlu dilakukan atas sebuah lanskap dikarenakan
adanya beberapa alasan seperti:
1. lanskap bersejarah merupakan bagian penting dari warisan budaya (cultural
heritage) yang keberadaannya dapat dijadikan sebagai referensi atau
landmark yang dapat dimengerti dan bernilai penting,
2. merupakan bagian dari bukti fisik atau arkeologi dari sejarah suatu warisan
budaya,
3. lanskap memberi kontribusi bagi keberlanjutan dalam pembangunan
kehidupan berbudaya. Lanskap dapat dimanfaatkan sebagai suatu obyek
yang dapat dikunjungi dan dipelajari untuk keperluan edukasi,
4. lanskap bersejarah dapat memberikan suatu kenyamanan publik (public
amenity),
5. mempunyai nilai ekonomis yang dapat memberikan keuntungan apabila
dapat memanfaatkannya sebagai tempat wisata ataupun tempat aktivitas
ekonomi lainnya.
Adapun berdasarkan Nurisyah dan Pramukanto (2001), tindakan teknis yang
dapat dilakukan untuk mengelola lanskap seperti:
1. adaptative use atau penggunaan adatif yaitu mempertahankan dan
memperkuat lanskap melalui pengakomodasian penggunaan, kebutuhan
dan kondisi yang ada pada masa kini,
2. rekonstruksi atau pembangunan ulang suatu bentuk lanskap, baik sebagian
ataupun keseluruhan dari tapak asli dikarenakan:
a. tapak tidak dapat bertahan lama pada kondisi aslinya dan
menampakan tandak-tanda kerusakan karena faktor alam,
b. suatu babakan sejarah tertentu yang perlu untuk ditampilkan,
c. lanskap yang telah hancur sehingga tidak dapat terlihat seperti apa
kondisi awalnya,
d. adanya alasan kesejarahan yang harus ditampilkan seperti arti,
simbolis,
3. rehabilitasi yaitu tindakan memperbaiki utilitas, fungsi atau visual suatu
lanskap bersejarah dengan mempertahankan keutuhan lanskap baik struktur
fisik dan visual, serta mempertimbangkan kenyamanan, lingkungan, sumber
daya alam serta administratif,
4. restorasi yaitu tindakan pengembalian penampilan lanskap pada kondisi
aslinya yang dilakukan dengan cara mengganti elemen yang hilang atau
menghilangkan elemen tambahan yang dianggap mengganggu,
5. stabilisasi adalah tindakan atau strategi pelestarian obyek lanskap sejarah
yang ada dengan memperkecil pengaruh negatif pada tapak seperti
gangguan iklim, deterioration, dan suksesi alami,

9

6. konservasi adalah upaya pasif dalam pelestarian untuk melindungi suatu
lanskap sejarah dari pengaruh yang tidak tepat seperti penggunaan lahan
yang tidak sesuai, untuk memperkuat karakter spesifik yang menjiwai
lingkungan serta menjaga keselarasan antara lingkungan lama dan baru,
7. interpretasi yaitu usaha pelestarian untuk mempertahankan lanskap asli
secara terpadu melalui usaha yang mampu menampung kebutuhan dan
kepentingan baru serta berbagai kondisi yang akan dihadapi masa ini dan
yang akan datang, misalnya dengan pemugaran,
8. period setting, replikasi dan imitasi, adalah tindakan penciptaan suatu tipe
lanskap pada tapak tertentu yang non orginial site. Tindakan inventaris data,
dokumentasi serta pengkajian akan sejarah tapak sangat diperlukan agar
pembangunan lanskap dapat sesuai dengan periode yang telah ditentukan
sebelumnya,
9. release, tindakan pengelolaan yang memperbolehkan adanya suksesi alami
seperti diperbolehkannya vegetasi tertentu untuk tumbuh secara alami pada
suatu lanskap dengan syarat tidak merusak keutuhan nilai historis yang ada,
10. replacement, merupakan tindakan substitusi atas suatu komunitas biotik
dengan yang lainnya.

10

METODOLOGI
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Januari sampai Juni 2014 di 2 kelurahan yaitu
Depok dan Pancoran Mas, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, Provinsi Jawa
Barat, seperti yang tertera pada Gambar 2. Pemilihan 2 lokasi ini didasarkan pada
sebaran elemen lanskap sejarah Depok Lama yang tersisa berada di 2 kelurahan ini.

Gambar 2 Peta Kelurahan Depok dan Pancoran Mas

11

Batasan Studi
Penelitian ini dibatasi hanya pada bahasan mengenai lanskap sejarah Depok
Lama saja yang pada mulanya merupakan bagian dari wilayah tanah partikelir
Depok dimasa kolonial Belanda.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan Goodchild (1990).
Tahapan penelitian ini dibagi menjadi 3 yaitu: inventarisasi data, analisis, dan
sintesis (Gambar 3).
1. Inventarisasi Data
Inventarisasi merupakan tahap pengambilan data yang terkait dengan
kondisi tapak, kesejarahan, dan sosial masyarakat. Secara rinci, data-data
yang diinventarisasi tertera pada Tabel 1. Inventarisasi data dilakukan
melalui survei lapang, wawancara, dan studi pustaka.
a. Survei lapang yaitu mendatangi langsung lokasi penelitian untuk
memperoleh informasi tentang kondisi eksisting tapak yang meliputi
karakter dan elemen lanskap sejarah, penggunaan lahan, aksesibilitas,
dan sarana prasarana yang tersedia pada lokasi.
b. Wawancara dan kuisioner. Wawancara dilakukan kepada pihak
Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC) dan Dinas Pemuda
Olahraga Pariwisata Seni dan Budaya Kota Depok (Disporaparsenbud),
untuk menghimpun data dan informasi terkait kondisi lanskap sejarah.
Kuisioner dilakukan dengan teknik non propability sampling dengan
cara pengambilan purposif yang berarti bahwa setiap anggota populasi
tidak memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sample.
Sample yang terpilih adalah masyarakat yang tinggal di dalam dan di
luar kawasan Depok Lama dengan jumlah masing-masing 30 orang
(Roscoe 1982 dalam Sugiono 2011).
c. Studi pustaka untuk mendapatkan informasi sekunder dan dilakukan
melalui kepustakaan atau dokumen dari Dinas Tata Ruang Kota dan
Pemukiman Kota Depok (Distarkim).
Tabel 1 Jenis, bentuk, dan sumber data yang diperlukan dalam inventarisasi
No
1

Jenis data
Kondisi umum lanskap Kota
Depok:
Letak geografis
Luas
Administratif
Demografi
Landuse
Iklim

Bentuk data

Sumber data

Koordinat dan batas
kota
Luas kawasan
Peta administratif
Jumlah, jenis
kelamin, dsb.
Peta tata guna lahan
Curah hujan, suhu
dsb

Distarkim Depok
Distarkim Depok
Distarkim Depok
Distarkim Depok
Kecamatan
Pancoran Mas
Distarkim Depok
Distarkim Depok

12

Lanjutan Tabel 1
No
2

3

4

5

Jenis data
Kesejarahan
Sejarah Kota Depok
Sejarah kota lama
Lanskap sejarah
Area (lanskap sejarah)

Bentuk data

Sumber data

Sejarah Kota Depok
Sejarah Depok Lama

Studi pustaka
YLCC, Wawancara,
Studi pustaka

Karakteristik lanskap
sejarah (mengacu pada
peta lama yang menunjukan jenis penggunaan
lahan oleh masyarakat di
masa lalu). Nilai penting
sejarah dari area (data
deskriptif dan spasial)
Elemen lanskap seja- Jenis, bentuk, kondisi,
rah
fungsi, filosofi, dan nilai
sejarah dari elemen yang
ada (data deskriptif dan
spasial)
Persepsi masyarakat
Keinginan masyarakat di
dalam dan luar kawasan
Depok Lama
Pelestarian:
Kebijakan
Kebijakan pengelolaan
pengelolaan
Peraturan
Peraturan daerah
Undang-undang
Program
Rencana pengembangan
pengembangan
dan pemanfaatan kawasan, RTRW

Studi pustaka,
Observasi lapang

Wawancara,
Observasi lapang,
Disporaparsenbud

Kuisioner,
Wawancara

Disporaparsenbud,
YLCC
Disporaparsenbud,
Studi pustaka
Disporaparsenbud,
Distarkim Depok

2. Analisis
Tahap analisis dilakukan melalui metode analisis deskriptif kualitatif,
deskriptif kuantitatif, dan analisis spasial.
a. Analisis deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk mendeskripsikan
karakteristik kawasan serta upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk
pelestariannya.
b. Analisis deskriptif kuantitatif yaitu analisis untuk menjelaskan kualitas
atau nilai lanskap sejarah berdasarkan penilaian keaslian, keunikan, dan
signifikansi melalui metode skoring seperti pada Tabel 2-3 (adaptasi
Harris and Dinnes, 1988). Depok Lama dinilai secara keseluruhan
kawasan dan tidak berdasarkan elemen per elemennya. Peta Depok
Lama tahun 1924 digunakan sebagai dasar pembanding dalam penilaian
ini untuk mengetahui perubahan-perubahan apa saja yang telah terjadi
di dalam kawasan Depok Lama. Penghitungan interval kelas (Slamet,
1983 dalam Anggraeni, 2011) dengan rumus:

13

Interval Kelas (IK) = Skor Maksimum (SMa) – Skor Minimum (SMi)
Jumlah Kategori
Tinggi = (SMi + 2IK + 1) sampai SMa
Sedang = (SMi + IK + 1) sampai (SMi + 2IK)
Rendah = SMi sampai (SMi + IK)
Tabel 2 Kriteria penilaian keaslian (originality)
Kriteria
Bangunan
(Elemen
Lanskap
sejarah)

Rendah (1)
Perubahan (fasad
bangunan) cukup
banyak sehingga
tidak lagi mewakili
karakter atau gaya
arsitektur masa
lalu. Jumlah
bangunan asli
50 tahun
pada kawasan.

Pola
pemukiman

Pola pemukiman
linear. Tidak ada
elemen lanskap
yang menjadi pusat
pemukiman.
Mengalami
perubahan
penggunaan lahan
>50%.

Pola
penggunaan
lahan

Jalur
sirkulasi

Jaringan jalan
mengalami
penambahan ruas
dan karakternya
berubah.

Sedang (2)
Bangunan
mengalami
perubahan pada
fasad, namun
masih mewakili
karakter atau gaya
arsitektur masa
lalu. Jumlah
bangunan asli 50%75%. Cukup
banyak bangunan
berumur >50 tahun
pada kawasan.
Pola pemukiman
linear. Ada elemen
lanskap yang
menjadi pusat
pemukiman.
Mengalami
perubahan
penggunaan lahan
25-50%.
Jaringan jalan
mengalami
penambahan ruas,
namun karakternya
masih
dipertahankan.

Tinggi (3)
Bangunan tidak
berubah atau
sedikit berubah
pada fasadnya,
sehingga sangat
mewakili masa
lalunya. Jumlah
bangunan asli
>75%. Terdapat
banyak bangunan
berumur >50 tahun
pada kawasan.
Pola pemukiman
konsentrik. Ada
elemen lanskap
yang menjadi pusat
pemukiman.
Tidak mengalami
perubahan
penggunaan lahan
atau perubahan