Evaluasi kualita ecological aesthetics lanskap kota (Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)

(1)

EVALUASI KUALITAS

ECOLOGICAL AESTHETICS

LANSKAP KOTA

(Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)

KANIA PARWATI

A 352020061

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

KANIA PARWATI. Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics Lanskap Kota (Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok). (Di bawah bimbingan ANDI GUNAWANdan ARIS MUNANDAR)

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas lanskap kota melalui unsur ecological aesthetics, yaitu vision, sound, smell dan tactility. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan acuan untuk menyusun master plan lanskap Kota Depok yang memperhatikan keindahan kawasan dan tetap melindungi fungsi ekologis kawasan.

Dalam penelitian ini dilakukan survey dan analisis ecological aesthetics menggunakan metoda Scenic Beauty Estimation (SBE) dan semantic differential (SD) melalui evaluasi slide dan lapangan. Penelitian diawali dengan penentuan tipe lanskap Kecamatan Beji, kemudian dilanjutkan dengan evaluasi kualitas estetika dengan menggunakan metode SBE.

Pada hasil evaluasi survey lapangan terseleksi 24 vantages point yang mewakili 3 tipe lanskap serta menghasilkan 12 unit lanskap, yaitu ruang terbuka (7 slide, 6 unit), perumahan (10 slide, 2 unit) dan area komersil (7 slide, 4 unit). Hasil dari evaluasi slide diperoleh 8 slide yang mempunyai nilai SBE positif. Kedelapan lanskap kemudian dievaluasi menggunakan SBE di ruangan dan di lapangan. Hasil evaluasi dikelompokan kualitas lanskapnya menjadi kualitas estetik, tinggi, sedang dan rendah.

Pada kedelapan lanskap dilakukan pula pengumpulan data ekologi dengan mengukur tujuh parameter yaitu : debu, hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO), kebisingan, suhu dan kelembaban. Hasil pengujian tujuh parameter kualitas ekologis delapan lanskap masih relatif baik.

Penelitian dilanjutkan dengan penilaian kedelapan lanskap menggunakan (SD) di ruangan dan di lapangan. Hasil penyederhanaan dari 25 kriteria SD diperoleh kriteria untuk faktor ekologi (kering-basah, ramai-tenang, padat-renggang, bising-sunyi, macet-lancar, gaduh-sepi, terasa sesak-terasa segar) dan faktor estetika (tidak teratur-teratur, sembrawut-tertib, tidak terpelihara-terpelihara, kumuh-tertata, suram-jelas). Sama halnya dengan penilaian menggunakan metode SBE, penilaian kedelapan lanskap dengan metode SD di ruangan digunakan responden mahasiswa lanskap sedangkan di lapangan dilakukan responden aparat Pemerintah Kota Depok.

Berdasarkan hasil pengolahan, nilai SBE di lapangan yang diperoleh berkisar -39 hingga 158. Nilai SBE paling tinggi dimiliki oleh lanskap hutan kota dan yang paling rendah dimiliki oleh lanskap Danau Pladen. Lanskap dikelompokan menggunakan metode kuartil. Berdasarkan analisis korelasi diperoleh tidak ada perbedaan yang nyata antara hasil analisis SBE di ruangan dengan di lapangan. Namun pada pengelompokan melalui metode kuartil ternyata


(3)

kualitas estetika tinggi hasil penilaian di ruangan dan di lapangan memiliki kesamaan yaitu lanskap hutan kota UI.

Hasil penilaian menggunakan metode SD di ruangan dan di lapangan kedelapan lanskap menunjukkan kualitas estetika yang tidak berbeda. Namun untuk kualitas ekologis lanskap kebun tanaman hias dan lanskap komersil Margonda mempunyai nilai ekologis yang berbeda dari hasil penilaian di ruangan dan di lapangan. Secara umum persepsi kualitas ekologis pada lanskap Kecamatan Beji memiliki kecenderungan ke arah kriteria baik. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kualitas ekologi kecamatan Beji yang memenuhi Baku Mutu Lingkungan (BML), kecuali kebisingan.

Tidak ada korelasi antara kualitas estetik dan pengukuran kualitas ekologi kedelapan lanskap (HC, NO2, CO, partikel, bising, temperatur dan kelembaban). Hasil metode SD menunjukkan evaluasi langsung di lapangan memberikan korelasi yang lebih baik antara kualitas estetik dan ekologi pada penelitian lapang. Berdasarkan hal tersebut penilaian kualitas estetika dapat dilakukan melalui slide namun penilaian ekologi lebih tepat dilakukan di lapangan. Begitu pula dengan evaluasi ecological aesthetics lanskap kota akan lebih baik dan lebih tepat apabila dilakukan di lapangan.

Lanskap hutan kota UI memiliki kecenderungan kualitas ecological aesthetics terbaik di antara lanskap lainnya. Lanskap tersebut diindikasikan dengan dominansi vegetasi yang tertata serta elemen air yang bersih.


(4)

EVALUASI KUALITAS

ECOLOGICAL AESTHETICS

LANSKAP KOTA

(Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)

KANIA PARWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk semperoleh gelar Magister Sains Arsitektur Lanskap pada

Sekolah Pasca Sarjana

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(5)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

EVALUASI KUALITAS ECOLOGICAL AESTHETICS LANSKAP KOTA Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan telah dinyatakan secara

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya

Bogor, Januari 2007

Kania Parwati NRP. A352020061/ARL


(6)

Judul : Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics lanskap Kota (Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok)

Nama : Kania Parwati NRP : A.352020061

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Andi Gunawan, M.Sc Dr.Ir. Aris Munandar, MS Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 2 Mei 1968 dari pasangan Prof. Ir. Ridwan Setiamihardja, PhD dan Dr. Kustiwi Tanudimadja. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Penulis lulus SD Santa Maria Bandung pada tahun 1980. Tahun 1980 hingga 1983 penulis melanjutkan pendidikan di SMP Taruna Bakti Bandung. Tahun 1983 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Taruna Bakti Bandung dan lulus pada tahun 1986. Pada tahun 1986 penulis diterima di Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Padjajaran Melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Tahun 2002 diterima di Sekolah Pasca Sarjana IPB pada Program Studi Arsitektur Lanskap.

Setelah menyelesaikan kuliah pada akhir tahun 1991, pada awal tahun 1992 penulis bekerja di Biro Penelitian dan Pengembangan Perusahaan Daerah Kerta Karkim, BUMN Propinsi Jawa Barat yang bergerak dalam bidang industri pengolahan karet. Pada tahun 1993 penulis menjabat sebagai Pj. Kabag Andal Biro Pemasaran perusahaan daerag tersebut. Jabatan terakhir di BUMN Propinsi Jawa Barat adalah Kabag. Riset dan Pengembangan pada tahun 1996.

Pada awal tahun 1996 diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Kota Bandung dan ditempatkan sebagai staf Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kotamadya Bandung. Pada tahun tersebut penulis ditugaskan mengikuti Indonesia-Netherland Workshop Implementing the Basel Conventions.

Pada akhir tahun 1998 pindah bekerja menjadi PNS Kota Administratif Depok. Saat terbentuk Kotamadya Depok awal tahun 1999 ditempatkan sebagai Kasubag Analisa Dampak Lingkungan Bagian Lingkungan Hidup sampai instansi pengelola lingkungan hidup Kota Depok tersebut berubah menjadi Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup pada tahun 2005. Pada Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup kembali mendapat tugas pokok yang sama dengan sebelumnya sebagai Kasi Pencegahan Kerusakan Lingkungan sampai sekarang. Adapun tugas


(8)

Kota Depok pada aspek minimalisasi dampak lingkungan yang ditimbulkan pelaksanaan pembangunan. Saat menjabat sebagai Kasubag Lingkungan Hidup, penulis ditugaskan mengikuti pelatihan Urban Environmental Management di Singapura pada akhir 2003. Saat menjabat sebagai Kasi di Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup penulis mendapat kesempatan mengikuti International Workshop on Laboratory Quality Standar Toward Global Competitiveness di Filipina pada akhir tahun 2006.


(9)

KATA PENGANTAR

Assalamu’laikum Wr. Wb.

Segala puji penulis panjatan kehadirat Allah SWT yang berkenan memberikan petunjuk dan kasih sayangNya, sehingga tesis yang berjudul

Evaluasi Kualitas Ecological Aesthetics Lanskap Kota (Studi Kasus Kecamatan Beji Kota Depok) ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains Arsitektur Lanskap Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama melakukan penelitian hingga penuisan tesis ini, penulis mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dengan penuh ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Andi Gunawan, MSc., selaku Ketua komisi pembimbing bersama Bapak Dr. Ir. Aris Munandar, MS atas saran, bimbingan dan pengarahannya dari awal pelaksanaan penelitian hingga selesainya tesis ini. 2. Bapak Dr. Ir. Nizar Nasrullah, M.Agr beserta Dr. Hadi Susilo Arifin, MS

selaku Ketua Program Studi Arsitektur Lanskap selama penulis menyelesaikan studi, yang telah memberikan dukungan dan pengarahan 3. Seluruh keluarga besar atas doa dan semangat yang diberikan setiap saat. 4. Pimpinan beserta rekan-rekan di Lingkungan Hidup dan Pemerintahan Daerah

Kota Depok atas dukungan dan perhatiannya.

5. Sahabat-sahabat tercinta dan rekan-rekan arsitektur lanskap atas persahabatan dan semangat yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ……….. i

DAFTAR TABEL ……….. iii

DAFTAR GAMBAR ………. iv

DAFTAR LAMPIRAN ………. vi

PENDAHULUAN ………. 1

Latar Belakang ……….. 1

Tujuan Penelitian ……….. 2

Manfaat Penelitian ……… 3

Kerangka Pikir Penelitian ………. 3

TINJAUAN PUSTAKA ……… 5

Perkotaan ……….. 5

Estetika ………. 6

Persepsi dan Preferensi ………. 9

Ekologi ………. 11

Pencemaran Udara ……… 13

Suhu dan Kelembaban ……….. 16

Kebijakan Pembangunan Tata Ruang Kota Depok ……….. 17

Perbedaan Rencana & Realisasi Penggunaan Lahan di Kota Depok ………... 22

Rencana Penataan Ruang Bagian Wilayah Kota Beji ... 29

KEADAAN UMUM ... 33

Gambaran Umum Kota Depok ... 33

Kondisi Fisik Alami ... 36

Pelaksanaan Program Kerja ... 37

METODE PENELITIAN ... 39

Waktu dan Tempat... 39

Metode Penelitian ... 40

Persiapan ... 40

Pelaksanaan ... 42

Analisis Korelasi ... 53

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

Penentuan Tipe Lanskap ... 56

Kualitas Estetik ... 57


(11)

Penilaian Persepsi Kualitas Estetika dan Ekologis ... 85

Aplikasi dalam Pembangunan dan Pengelolaan Wilayah Perkotaan ... 102

KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

Simpulan ... 107

Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Depok Tahun 2000-2010 ... 24 2. Luasan Kota Depok ... 25 3. Lanskap Kecamatan Beji Berdasarkan Kelompok Kualitas Estetika ... 59 4. Nilai SBE dengan Z Rata-rata sama dengan Nol untuk Ketiga

Penilaian... 68 5. Kelompok Kualitas Estetika Lanskap ... 69 6. Data Nilai SBE dan Hasil Pemeriksaan Udara Embien Kecamatan

Beji Tahun 2004 ……….…… 72

7. Kelompok Koalitas Estética dan Kualitas Ekologis ……….. 82 8. Kriteria-kriteria yang Mewakili Kualitas Estética dan Ekologi ………. 86 9. Kualitas Estética dan Ekologis Hasil Penilaian Semantic Differential


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur Penelitian ... 4

2. Studio Alam TVRI-Sukmajaya ... 20

3. Pembangunan Aquatic Centre ... 21

4. Perubahan Kawasan Terbangun dan Ruang Terbuka Hijau Tahun 2000 dan 2004 ... 27

5. Selisih Perubahan Pemanfaatan Lahan dan Ruang di Kota Depok tahun 2000-2004 ... 30

6. Peta Wilayah Depok ………. 34

7. Peta Lokasi Penelitian ……….. 39

8. Bagan Alir Penelitian ……… 41

9. Peta Tipe Lanskap Kecamatan Beji Secara Umum ………... 56

10. Peta Tipe Lanskap Khusus Kecamatan Beji ………. 57

11. Nilai SBE ... 58

12. Lanskap dengan Kualitas Estetik Tinggi ... 60

13. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi Hasil Penilaian di Ruangan... 64

14. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penilaian di Ruangan... 66

15. Nilai SBE Penilaian di Ruangan dan Lapangan ... 67

16. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi pada Penelitian di Lapangan... 70

17. Kualitas Udara Tiap Lanskap ... 73

18. Kebisingan Rata-rata Tiap Lanskap ... 76


(14)

21. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Kebun Tanaman Hias Margonda.. 93 22. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman Mewah Teratur

Pesona Kayangan Margonda (B) ... 95 23. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Kawasan Komersial Margonda ... 96 24. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman Menengah Tidak

Teratur D (Kukusan) ... 97 25. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Hutan Kota UI ... 98 26. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Danau Pladen ... 99 27. Kualitas Estetika Ekologis Pemukiman Menengah Tidak Teratur

(Kukusan) ... 100 28. Kualitas Estetika Ekologis Lanskap Pemukiman A (Daerah


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Nilai SBE Penelitian Awal ... 114

2. Lanskap dengan Nilai SBE positif pada Penelitian Awal ... 123

3. Lanskap dengan Kualitas Estetika Sedang pada Penelitian Tahap Awal... 124

4. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penelitian Tahap Awal ... 125

5. Lanskap dengan Kualitas Estetika Tinggi pada Penelitian Ruangan .... 126

6. Lanskap dengan Kualitas Estetika Sedang pada Penelitian Ruangan ... 127

7. Lanskap dengan Kualitas Estetika Rendah pada Penelitian Ruangan ... 128

8. Grafik Gabungan 8 Lanskap Penelitian Kualitas Estética dan Ekologis di ruangan ... 129

9. Kuestioner ………. 130

10. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata antara Nilai SBE Penelitian di Ruangan dan di Lapangan ... 132

11. Data Hasil Analisis Korelasi ... 133

12. Data Penilaian SD di Ruangan ... 134


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan di daerah baik regional maupun lokal dilaksanakan di segala sektor berdasarkan strategi program jangka panjang dan jangka menengah dengan tujuan mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Namun seringkali pembangunan cenderung berorientasi kepada ekonomi sehingga tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal tersebut mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan keindahan dan kenyamanan.

Pembangunan Kota Depok yang pesat dan merupakan daerah penyangga ibu kota menjadikannya kota besar di usianya yang masih sangat muda (enam tahun). Populasi penduduk setiap tahun berkembang dengan pesat hingga mencapai 3,62%. Total penduduk pada tahun 1997 tercatat 721.556 jiwa dan pada tahun 2004 tercatat sebanyak 1.369.461 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun total jumlah penduduk Kota Depok berkembang hampir mencapai dua kali lipat, dengan kepadatan penduduk 6.837 jiwa/km2 pada tahun 2004. Kepadatan penduduk yang melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan fisik perkotaan dapat berdampak pada kualitas estética dan ekologis kota secara keseluruhan.

Secara estetik, banyaknya lahan terbangun seringkali kurang memperhatikan keserasian dengan lingkungan sekitar serta menimbulkan pemandangan yang kurang baik. Luasan lahan terbangun Kota Depok pada tahun 2002 adalah 6.055 ha sedangkan pada tahun 2004 menjadi 8.197 ha. Visi Kota Depok pada awal terbentuknya pada tahun 1999 sebagai kota pendidikan, pemukiman, serta perdagangan dan jasa menyebabkan pertumbuhan pembangunan dilakukan dengan mengkonversi ruang terbuka hijau. Banyaknya lahan bervegetasi yang beralih fungsi menjadi lahan terbangun menimbulkan berbagai perubahan dan mengakibatkan penurunan kualitas ekologis, seperti terjadinya peningkatan suhu, pencemaran udara dan sebagainya (George dan McKinley, 1974). Penurunan


(17)

seperti suhu udara yang meningkat, pencemaran udara, kebisingan, kemacetan dan pemukiman yang sangat padat (Saputra, 2000).

Penurunan kualitas lingkungan perkotaan secara estetik dan ekologis menyebabkan berbagai masalah fisik dan psikologis, seperti ketidaknyamanan dan penurunan keindahan kota sehingga kota tidak lagi mempunyai karakter dan menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali bahkan dapat menyebabkan stress bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Penurunan kualitas lingkungan dapat diamati antara lain melalui kualitas kekeruhan beberapa sungai sudah melampaui baku mutu air bersih yang ditetapkan Permenkes 416 tahun 1990. Kualitas kebisingan pada beberapa lokasi di Kota Depok menunjukkan pula tingkat kebisingan di atas nilai ambang batas. Guna meningkatkan kualitas lingkungan fisik dan kesehatan manusia serta menjamin kelangsungan hidup kota diperlukan lingkungan yang indah, nyaman dan sehat.

Dalam rangkat merealisasikan peningkatan kualitas lingkungan terutama dalam hubungannya dengan estetika dan ekologis perlu dilakukan evaluasi estetika dan ekologis lanskap kota melalui empat unsur (Porteous, 1996) tersebut di atas. Pendugaan estetik dan ekologis melalui keempat unsur dilakukan melalui metode semantic diffierential (SD) dilengkapi metode scenic beauty estimation (SBE).

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Beji Kota Depok. Hal ini berdasarkan Peraturan Daerah Kota Depok no. 12 tahun 2001 bahwa Kecamatan Beji merupakan pusat kota dari Kota Depok yang memiliki pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota yang pesat dengan tipe lanskap yang lengkap.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengevaluasi ecological aesthetics lanskap kota dengan studi kasus Kecamatan Beji Kota Depok. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengevaluasi kualitas ekologis melalui pengukuran parameter yang memiliki baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 41 tahun 1999 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no. 48 tahun 1996.


(18)

2. Mengevaluasi kualitas estetika lanskap melalui penilaian persepsi slide dan lapangan

3. Mengevaluasi kualitas ecological aesthetics berbasis persepsi.

Manfaat Penelitian

Penelitian dimaksudkan menjadi masukan bagi kebijakan pembangunan kota umumnya. Selain itu juga dapat digunakan dalam kegiatan perencanaan kota yang memperhatikan nilai estetika serta mempertahankan fungsi ekologis.

Kerangka Pikir Penelitian

Alur pemikiran penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Kualitas ecological easthetics suatu lanskap dipengaruhi oleh kondisi biofisik dan estetika. Parameter kondisi biofisik yang dapat diukur serta diatur oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah kualitas udara dan kebisingan. Kualitas udara yang dominan dan umum mempengaruhi kondisi biofisik lanskap kota bersumber dari kendaraan bermotor dengan menghasilkan CO, HC dan NOx, serta

debu yang selain ditimbulkan oleh kendaraan bermotor juga oleh aktivitas masyarakat kota. Faktor lain yang dapat diukur, sangat umum dan mudah dirasakan oleh manusia adalah suhu dan kelembaban. Adapun estetika suatu lanskap dipengaruhi oleh persepsi baik persepsi perencana maupun persepsi pengguna lanskap. Umumnya perencana didominasi oleh pemerintah, sedangkan perwakilan masyarakat yang memiliki pengetahuan mengenai estetika antara lain adalah mahasiswa yang mempelajari estetika.

Parameter pada kondisi biofisik tersebut di atas, begitu pula persepsi masyarakat terhadap estetika suatu lanskap dipengaruhi oleh keberadaan bangunan, vegetasi dan sirkulasi. Kualitas ecological aesthetics yang baik tidak hanya dipengaruhi dengan keberadaan vegetasi tetapi juga diperlukan adanya penataan dan pemeliharaan. Kualitas ecological easthetics dapat ditingkatkan ataupun dipertahankan dengan penataan dan pemeliharaan bangunan dan vegetasi serta penataan sirkulasi. Pemeliharaan dan penataan diatur dengan keberadaan


(19)

Gambar 1. Alur Penelitian - Bangunan

- Vegetasi - Sirkulasi

- Perencana (pemerintah) - Pengguna

(masyarakat: mahasiswa)

- Suhu - Kelembaban - Kualitas udara

(HC, NO2, CO,

debu - Kebisingan

Biofisik - Penataan

- Pemeliharaan Estetika

Ecological Aesthetics Regulasi


(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Perkotaan

Kawasan perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang).

Kota dapat berfungsi sebagai tempat pelayanan, pemasaran, kegiatan industri, peribadatan, pendidikan dan sebagainya. Beberapa kota di Indonesia menampakkan fungsi yang jelas tetapi sebagian besar masih belum demikian. Pada umumnya kota-kota dengan laju pertumbuhan penduduk tinggi memiliki lebih dari satu fungsi. (Salim, 1979). Pada mulanya kota lahir di Indonesia sebagai pusat pemerintahan untuk daerah sekitar (Marbun, 1979). Jika kota ini terletak di jalur angkutan dan perdagangan yang ramai maka fungsi perdagangan kota juga menarik pertambahan penduduk. Sehingga pertumbuhan kota ditarik oleh berkembangnya kegiatan yang berasal dari fungsi kota sebagai pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat industri, yang disusul dengan fungsi jasa lainnya seperti perbankan, keuangan, pendididkan dan lain-lain.

Proses pertumbuhan kota ini lebih diperkuat apabila wilayah belakang (hinterland) kota ini padat penduduk, sehingga terjadi proses pengepingan tanah dalam jumlah yang semakin kecil. Dalam keadaan seperti itu maka mutu lingkungan menjadi rendah. Berdasarkan pola tata guna tanah perkotaan yang berhubungan dengan nilai ekonomi terdapat beberapa teori, yaitu Teori Jalur Sepusat, Teori Sector dan Teori Pusat Lipatganda.

Adapun berdasarkan pola perkembangannya yang disebabkan oleh keadaan topografi tertentu atau karena perkembangan sosial ekonominya, terdapat beberapa pola yaitu pola menyebar, pola sejajar, dan pola merumpun

Kota merupakan cerminan sejarah dari warganya (Budihardjo, 1997) serta merupakan hasil karya seni sosial. Oleh karena itu, mengingat adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi dan lain-lain, maka tidak ada wajah kota yang sama satu dengan lainnya.


(21)

Kualitas ruang ditentukan oleh terwujudnya keserasian, keselarasan dan keseimbangan pemanfataan ruang yang mengindahkan faktor-faktor daya dukung lingkungan, fungsi lingkungan serta estetika lingkungan. Estetika lingkungan meliputi bentang alam, pertamanan, arsitektur bangunan lokasi dan struktur.

Lanskap kota merupakan suatu lanskap buatan manusia yang terbentuk akibat aktivitas manusia dalam mengelola kepentingan hidupnya (Simonds, 1983). Menurut Kaplan (1998), perencanaan kawasan kota membagi kawasan kota menjadi dua untuk alasan keindahan. Kawasan depan (front area) ditujukan untuk kawasan yang visualisasinya menarik dan indah seperti pertokoan, perkantoran, mal, dan komplek perumahan dan sentra bisnis lainnya. Kawasan ini cenderung ditata sebaik mungkin sehingga selain bersifat fungsional juga memiliki nilai estetika yang tinggi. Kawasan depan juga ditujukan untuk menutupi kawasan belakang (backstage area) yang cenderung lebih padat dan tidak nyaman. Kawasan belakang digunakan untuk perindustrian, pemukiman padat dan daerah belakang (hinterland).

Guna meningkatkan kualitas estetika dan ekologis kota di Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup menyelenggarakan progam Bangun Praja. Program Bangun Praja adalah program penilaian estetika dan ekologi kota melalui penilaian keindahan (taman, penghijauan) dan kebersihan (pengelolaan sampah, badan perairan) kota. Kota dengan peringkat kualitas estetika dan ekologis tertinggi memperoleh penghargaan Adipura.

Estetika

Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap keadaan lingkungannya yang menurut Porteous (1977) dipengaruhi oleh empat unsur, yaitu vision (pandangan), sound (suara), smell (bau), dan tactility (rasa).

Vision merupakan hal yang dapat dilihat dengan mata dan merupakan sense yang dominan jika dibandingkan dengan sense lainnya. Preferensi visual dipengaruhi oleh ruang, jarak, kualitas cahaya, warna, bentuk, gradien tekstur dan kontras. Pada kawasan perkotaan preferensi visual ditampakkan pada ketertiban, keteraturan, keterpeliharaan, ketertataan dan keindahan. Menurut Porteous (1977),


(22)

secara visual seseorang dapat melakukan penilaian terhadap apa yang dilihatnya secara langsung tanpa harus menimbulkan respon secara emosional. Bila dibandingkan dengan binatang yang lebih mengandalkan penciuman dan pendengaran, manusia lebih banyak mengandalkan penglihatan dalam menilai suatu lanskap. Penilaian yang dilakukan secara visual adalah proses gabungan dari proses fisik dan psikis.

Berdasarkan analisis faktor, variabel atau kriteria-kriteria yang ada pada faktor`ekologi (kering-basah, ramai-tenang, padat-renggang, bising-sunyi, macet-lancar, gaduh- sepi, terasa sesak-terasa segar) dan faktor estetika (tidak teratur-teratur, semrawut-tertib, tidak terpelihara-terpelihara, kumuh-tertata, suram-jelas) pada penelitian Priharyaningsih, 2005, dapat mewakili gambaran kesan atau efek psikologi yang dapat ditimbulkan secara visual dari suatu lanskap. Menurut Nasar (1988) kompleksitas merupakan banyaknya bentuk, warna dan garis yang dapat diamati pada suatu lanskap. Semakin kompleks suatu pemandangan dapat menimbulkan ketidakteraturan dan ketidaknyamanan bagi pengamat. Pada dasarnya manusia menyukai segala sesuatu yang tertata dan teratur baik. Pada penelitian Rahmafitria (2004) kesatuan obyek dengan lingkungan di sekitarnya (unity) merupakan peubah penentu nilai SBE. Semakin tinggi nilai unity-nya maka nilai SBE pun akan semakin tinggi. Unity atau kesatuan antar elemen dengan lingkungan di sekitarnya menunjukkan adanya keteraturan hubungan yang saling mengikat dalam menghadirkan pemandangan dengan karakter tertentu. Pemandangan dengan unity tinggi membuat pengamat lebih mudah mengidentifikasi dan mengenalnya sehingga menghasilkan persepsi yang baik.

Menurut Eckbo (1964) suatu lanskap memiliki kualitas keindahan. Kualitas lanskap ini ditentukan oleh reaksi dari manusia yang berlaku sebagai pengamat. Reaksi dari pengamat ini dipengaruhi oleh latar belakang si pengamat seperti masa kecilnya, pendidikan, latihan dan pengalaman. Tanpa adanya reaksi yang diberikan manusia maka kualitas dalam lanskap tidak dapat ditentukan. Hal-hal seperti pengalaman dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh seseorang dapat mempengaruhi penilaian terhadap apa yang dilihatnya. Disamping itu masih ada


(23)

variabel lainnya yang juga dapat mempengaruhi penilaian seperti faktor usia dan tingkat sosial-ekonomi (Laurie, 1990).

Sound dipelajari dalam istilah lingkungan sebagai soundscape yang menjadi komponen penting dari lingkungan sensor kita. Sound di wilayah perkotaan dapat berupa kebisingan tetapi secara perlahan manusia dapat beradaptasi. Preferensi sound seseorang dengan yang lainnya dapat berlainan. Namun kualitas kebisingan yang aman untuk manusia di Indonesia dapat diketahui dari pengukuran kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sumber kebisingan di perkotaan adalah kendaraan, mesin pabrik, alat pembangunan gedung dan lain-lain. Penanaman pohon dan semak dapat mengurangi tingkat kebisingan (Laurie, 1990) Kualitas penyerapan bunyi pada beberapa jenis berbeda-beda menurut ukuran dan kepadatan daun

Smell merupakan komponen penting yang dapat memuaskan kebutuhan, kemanan dan afiliasi. Dalam lingkungan smellscape berupa slum area, pabrik, perumahan dan sebagainya. Penelitian mengenai smellscape lebih mengarah kepada polusi udara, tidak kepada pemanfaatan aroma bagi pengguna lingkungan. Walaupun preferensi smell seseorang dengan yang lainnya mungkin berbeda namun preferensi untuk bau yang ditimbulkan akibat pencemaran seperti dari Tempat Pembuangan Sampah cenderung sama.

Tactility menghasilkan touchscape yang berkaitan dengan suhu dan

kelembaman. Suhu dan kelembaman pada kawasan perkotaan dapat ditata melalui penataan hardmaterial dan softmaterial.

Estetika lingkungan merupakan bagian atau komponen yang penting serta merupakan aspek yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro. Masalah estetika lingkungan dipengaruhi juga oleh kesukaan terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Oleh karena itu pada penataan kota seperti diamanatkan oleh ndang-undang perlu melibatkan masyarakat secara langsung atau setidaknya didahului dengan penelitian dan kajian sehingga mampu mewadahi perubahan fungsi dan tuntutan kebutuhan serta perilaku penduduk kotanya (Budihardjo, 1997). Porteous (1977) menyatakan teorinya tentang perencanaan yang turut melibatkan masyarakat dalam prosesnya. Hal ini dimaksudkan agar didapatkan


(24)

hasil perencanaan yang mencapai sasarannya dan berguna bagi masyarakat yang ada di dalamnya.

Persepsi dan Preferensi

Persepsi adalah bagian dari kognisi masnusia yang merupakan proses yang terjadi sebagai akibat rangsangan terhadap panca indra. Manusia dikarunia beberapa indera yang penting bagi kehidupannya seperti penglihatan (vision), pendengaran (sound), penciuman (smell) dan sentuhan (tactility). Persepsi dari individu tergantung pada keadaan psikologisnya yang mempengaruhi kemampuan penglihatan, rasa, penciuman, pendengaran dan sentuhan (Porteous, 1977). Persepsi manusia dipengaruhi juga oleh berbagai faktor antara lain usia dan tingkat kehidupan sosial ekonomi (Laurie, 1990), latar belakang intelektual dan pengalaman emosional, pergaulan dan sikap seseorang (Eckbo, 1964). Sedangkan Nasar (1988) menyatakan bahwa persepsi seseorang terhadap kualitas suatu lanskap ditentukan oleh interaksi yang kuat antara variabel lanskap dan pengetahuan seseorang terhadap lanskap tersebut.

Preferensi didefinisikan sebagai tindakan untuk memilih ditentukan oleh banyak faktor. Preferensi seseorang terhadap sesuatu didasarkan atas persepsi. Apabila seseorang merasa puas melihat obyek maka ia akan menilai obyek tersebut bagus sedangkan perasaan tidak puas dalam menilai suatu obyek akan membuat obyek tersebut bernilai tidak bagus dan manusia cenderung untuk menghindari obyek seperti ini (Nasar, 1988).

Faktor-faktor yang mempengaruhi preferensi masyarakat antara lain adalah usia, jenis kelamin, tingkat sosial, tingkat pendidikan dan budaya. Preferensi juga dipengaruhi oleh rasa keterkaitan sesorang terhadap suatu tempat dimana ia biasa hidup atau tinggal lama di dalamnya. Dengan kata lain preferensi seseorang dipengaruhi juga oleh rasa familiaritas (Nasar, 1988). Whitmore et al (1995) dan Gunawan (1994) menyatakan bahwa dasar pendidikan dan pelatihan khusus di bidang lingkungan dapat mempengaruhi persepsi masyarakat dalam memberikan penilaian visual. Namun penilaian berdasarkan jenis kelamin, usia, tingkat


(25)

pendidikan, dan jenis pekerjaan dalam hasil penelitian Faisal (1997) secara keseluruhan memiliki kecenderungan yang sama.

Preferensi masyarakat seringkali bertentangan dengan prinsip sustainable lanskap. Lingkungan alam yang sustainable pada umumnya menampilkan lanskap hutan dengan biodiversitas tinggi tetapi tidak teratur. Menurut Nasar (1988) masyarakat lebih menyukai lanskap dengan campur tangan manusia yang tinggi. Selanjutnya Gunawan (1998) menyatakan bahwa masyarakat biasa dan kalangan perencana memberikan penilaian yang lebih rendah terhadap lanskap hutan dibandingkan dengan kelompok yang berorientasi lingkungan, sedangkan Daniel (1976) menyatakan bahwa masyarakat tidak menyukai lanskap alami.

Daniel (1976) menyatakan bahwa kualitas estetika dari suatu ruang merupakan hasil dari kombinasi penampilan lanskap itu sendiri dengan proses psikologis (tanggapan, pemahaman dan emosi) dari pengamat lanskap tersebut. Keindahan suatu lanskap dapat dinikmati dengan mengamati pemandangannya melalui indera penglihatan. Mengamati suatu lanskap dapat memberikan persepsi dan perasaan psikologis yang berbeda-beda serta menghadirkan nilai simbolik.

Banyak metode estetika lanskap kuantitatif yang telah dikembangkan di antaranya adalah metode preferensi lanskap. Guna menemukan apa yang diinginkan masyarakat terhadap estetika lanskap, perencana harus menanyakan dan mengamati perilaku mereka. Metode pengamatan perilaku adalah matang, diasumsikan bahwa perilaku mencerminkan preferensi.

Pendekatan preferensi persepsi hampir sama dalam beberapa hal dengan cara kerja kuesioner dan survey. Keduanya mengevaluasi lanskap melalui pendapat observasi manusia. Foto dan slide berwarna biasanya digunakan untuk menggambarkan lanskap. Agak jarang lanskap yang sesungguhnya dikunjungi untuk evaluasi. Pada dasarnya penilaian visual melibatkan individu sebagai subyek, maka penilaian visual tersebut akan dipengaruhi oleh persepsi individu terhadap obyek. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa nilai-nilai dalam diri seseorang yang dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera pada proses melihat, merasakan, mencium aroma, meraba dan mendengar. Faktor internal tersebut


(26)

kemudian dikombinasikan dengan faktor eksternal yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial yang kemudian menjadi suatu respon dalam suatu bentuk tindakan (Porteous, 1977).

Masyarakat cenderung memiliki kesan psikologi yang baik pada lanskap yang memiliki nilai SBE tinggi sehingga cenderung menilai ke arah positif. Sebaliknya lanskap yang memiliki nilai SBE rendah cenderung dinilai oleh masyarakat ke arah negatif. Namun pada penilaian persepsi kualitas ekologi lanskap, lanskap yang memiliki nilai kualitas estetika tinggi tidak dapat menggambarkan kualitas ekologi yang baik pula hal ini dapat dilihat dari persepsi kualitas ekologi yang berbeda pada tiap lanskapnya. (Priharyaningsih, 2005).

Ekologi

Masalah lingkungan merupakan isu yang semakin menonjol dan kompleks sejalan dengan semakin intensifnya intervensi manusia terhadap lingkungan. Lingkungan dapat didefinisikan sebagai jumlah total suatu kondisi dalam mahluk hidup. Di dalamnya terdapat interaksi antara komponen non hidup seperti kimia, fisik dengan komponen hidup (hayati). Ilmu yang mempelajari hubungan antara organisme dengan organisme dan organisme dengan lingkungan disebut ekologi

Iverson et al (1993) menyatakan bahwa kualitas visual dari suatu lingkungan yang alami menjadi rendah karena kehadiran lingkungan terbangun atau adanya unsur buatan manusia (man-made). Dalam penelitian Faisal 1997 struktur bangunan yang secara visual dinilai padat menimbulkan penilaian bahwa lingkungan seperti ini memberi kesan sempit, sulit dipelihara dan tidak tertata dengan baik. Menurut Whitmore et al (1995) area yang relatif dinilai memiliki kualitas visual rendah dikarenakan adanya gangguan budaya (cultural) seperti kehadiran manusia dengan pemukimannya. Sehingga Iverson et. al. (1993) mengatakan, beberapa studi tentang penilaian visual yang dilakukan dengan metode yang berbeda mencapai kesimpulan yang sama bahwa unsur buatan manusia mempengaruhi kualitas lingkungan. Menurut Sommer et. al. (1993) dalam menilai suatu lanskap orang akan cenderung lebih menyukai lanskap dengan elemen alami seperti pohon dan air daripada elemen buatan.


(27)

Semua mahluk hidup merupakan komponen biotik lingkungan, sedangkan semua faktor fisik lingkungan dan karakteristiknya misalnya tanah, air, udara, suhu dan kelembaban merupakan komponen abiotik lingkungan. Komponen biotik suatu lingkungan saling berinteraksi dengan sesama dan dengan komponen abiotik membentuk lingkungan hidup hayati. Komponen abiotik lingkungan berinteraksi dengan sesamanya dan dengan komponen biotik, membentuk lingkungan hidup non hayati.

Daya dukung lingkungan adalah jumlah optimum individu suatu jenis yang dapat bertahan hidup di daerah tersebut pada suatu rentang waktu dan tertentu pada suatu daerah. Pada hakekatnya pembangunan telah mengubah lingkungan yang dimaksudkan untuk mengurangi resiko lingkungan dan atau memperbesar manfaat lingkungan. Upaya-upaya tersebut merupakan salah satu bentuk dari peningkatan daya dukung lingkungan untuk kecukupan manusia, tetapi perubahan-perubahan tersebut telah memicu terganggunya suatu keseimbangan lingkungan.

Dalam pengelolaan lingkungan telah banyak digunakan berbagai pendekatan ilmiah seperti misalnya pendekatan ekosistem, pendekatan ekonomi politik dan ekologi politik pendekatan ekologi manusia dsb. Pendekatan-pendekatan tersebut mengacu kepada prinsip dan konsep dari ilmu-ilmu yang mendasarinya seperti ilmu sosial, politik, ekonomi dan ekologi. Apabila diamati dalam sejarah perkembangannya ilmu pengelolaan lingkungan yang berkembang pesat adalah ekologi. Konsep-konsep ekologi banyak melandasi pengertian, karakteristik dan tujuan dari pengelolaan lingkungan. Namun yang seringkali menjadi masalah yang sangat mendasar adalah ekologi seringkali tidak mampu untuk melakukan prediksi dan kadang-kadang dalam pengelolaan lingkungan dilakukan simplifikasi dalam memahami fenomena lingkungan yang menjadi perdebatan di kalangan ahli ekologi.

Ekologi yang membahas mengenai struktur dan fungsi dari ekosistem merupakan dasar dari pengelolaan lingkungan dalam konteks pembangunan. Perspektif ekologi dalam pembangunan berkelanjutan memberikan wawasan yang lebih luas kepada para pelaku pembangunan tentang bagaimana pembangunan


(28)

harus dilaksanakan agar kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang dapat dicapai, dan perlindungan lingkungan dapat dilaksanakan pada saat bersamaan. Kualitas ekologis lanskap kota dapat dilihat dari parameter kualitas udara, suhu, kelembaban dan kebisingan.

Gobster (1999) membagi elemen ecological aesthetics sebagai individu, lanskap, interaksi manusia dan lanskap dan manfaat yang diperoleh. Pada bagian individu, penilaian kualitas estetik dikembangkan dari tingkatan preferensi visual menjadi konsep yang lebih holistik seperti apresiasi estetik dengan mengeksplorasi semua sense. Pada bagian lanskap, kenyamanan dikembangkan dengan mengetahui bagaimana bagian dari suatu lanskap berhubungan dengan keseluruhan lanskap, contohnya bagaimana sensitif tanaman atau hewan agar bertahan dalam suatu ekosistem. Pada kedua tahap terakhir yaitu interaksi dan keuntungan diperlukan pengalaman dengan lanskap sebagai partisipan aktif tidak hanya pasif mengamati sebagai gambar atau objek tapi dihubungkan sebagai lanskap kehidupan. Kebijakan publik pada tahun-tahun terakhir mensosialisasikan kesehatan dan keberlanjutan ekologi dalam lanskap dan ekosistem. Sepänmaa (1993) mengemukakan ecological aesthetics sebagai bentuk baru dari normatif estetika yang memiliki norma dasar memperhatikan alam. Menurut Gobster (1999) ecological aesthetics memadukan konsep biological dan ecological dari keberlanjutan dengan apresiasi estetik. Pengalaman merupakan komponen kunci dari estetika, agar intelektual dan kapasitas individu mengerti, menghargai dan melaksanakan pencapaian tujuan dengan memperhatikan lingkungan.

Pencemaran Udara

Pencemaran udara seringkali didefinisikan sebagai adanya emisi dari pengotor udara ke dalam atmosfer baik akibat dari buatan manusia maupun dari alam. Pengotor udara adalah zat yang tidak normal ada di atmosfer atau ada dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari level normal. Polusi udara utama adalah partikel, SO2, CO, NO, Pb, HC dan ozon. Polutan diklasifikasikan menjadi

polutan primer dan polutan sekunder. Polutan primer adalah polutan yang langsung dari sumbernya sedangkan polutan sekunder adalah polutan yang


(29)

terbentuk dari polutan primer. SO2, NO, CO, Pb, HC dan partikel adalah polutan

primer. Ozon adalah polutan sekunder yang terbentuk dari reaksi kompleks NO dan HC dengan adanya cahaya matahari yang kuat.

Secara umum, terdapat 2 sumber pencemaran udara, yaitu pencemaran akibat sumber alamiah (natural sources), seperti letusan gunung berapi, dan yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), seperti yang berasal dari transportasi, emisi pabrik, dan lain-lain. Di dunia, dikenal 6 jenis zat pencemar udara utama yang berasal dari kegiatan manusia (anthropogenic sources), yaitu karbon monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), oksida nitrogen (NOx), partikulat, hidrokarbon (HC), dan oksida fotokimia, termasuk ozon.

Menurut Driejana (2004) pencemaran udara daerah perkotaan disebabkan oleh partikel, NOx, CO, SO2, NH3, O3, HC, Pb. Emisi dari kendaraan bermotor di

perkotaan merupakan sumber yang signifikan dari polusi udara, dengan menghasilkan CO, HC dan NOx. Adapun industri mengkontribusikan SO2 dan

NOx. Pencemaran udara di lintas batas adalah hujan asam, ozon troposferik dan eutrofikasi.

Emisi dari kendaraan bermotor yang meberikan kontribusi pada konsentrasi polusi adalah karbon monoksida (CO), nitrogen oksida, sulfur serta partikel. Pada konsentrasi yang tinggi polutan tersebut menjadi masalah bagi kesehatan.

Setiap proses pembakaran menghasilkan karbon monoksida (CO) termasuk memasak dan merokok. Sumber terbesar dari CO adalah kendaraan bermotor. Bahan bakar kendaraan bermotor mengandung karbon yang menghasilkan karbon monoksida. Gas beracun ini akan mempengaruhi oksigen dalam darah karena CO mengikat darah lebih cepat dari oksigen. Hal tersebut akan mengakibatkan pengiriman oksigen ke seluruh tubuh berkurang begitu pula pengiriman oksigen ke otak dan organ tubuh lainnya. Sekitar 90 % dari emisi CO di Inggris menurut Jeremy Colls (2004) berasal dari kendaraan bermotor.

Tahun 1990, NO2 menggantikan asap dan SO2 sebagai indikator utama pada

kualitas udara kota terbelakang. NO dan NO2 terkumpul dalam NOx, yang


(30)

kendaraan bermotor adalah NO, namun NO berpotensi bergabung dengan NO2,

sehingga sering digambarkan sebagai NOx.

Di Indonesia, kurang lebih 70% pencemaran udara disebabkan oleh emisi kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor mengeluarkan zat-zat berbahaya yang dapat menimbulkan dampak negatif, baik terhadap kesehatan manusia maupun terhadap lingkungan, seperti timbal/timah hitam (Pb), suspended particulate

matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon (HC), karbon monoksida

(CO), dan oksida fotokimia (Ox). Kendaraan bermotor menyumbang hampir 100% timbal, 13-44% suspended particulate matter (SPM), 71-89% hidrokarbon, 34-73% NOx, dan hampir seluruh karbon monoksida (CO) ke udara Jakarta. Sumber utama debu berasal dari pembakaran sampah rumah tangga, di mana mencakup 41% dari sumber debu di Jakarta. Sektor industri merupakan sumber utama dari sulfur dioksida. Di tempat-tempat padat di Jakarta konsentrasi timbal bisa 100 kali dari ambang batas.

Sementara itu, laju pertambahan kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 15% per tahun sehingga pada tahun 2005 diperkirakan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta mencapai 2,8 juta kendaraan. Seiring dengan laju pertambahan kendaraan bermotor, maka konsumsi bahan bakar juga akan mengalami peningkatan dan berujung pada bertambahnya jumlah pencemar yang dilepaskan ke udara.

Tahun 1999, konsumsi premium untuk transportasi mencapai 11.515.401 kilo liter [Statistik Perminyakan Indonesia, Laporan Tahunan 1999 Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi]. Dalam setiap liter premium yang diproduksi, terkandung timbal (Pb) sebesar 0,45 gram sehingga jumlah Pb yang terlepas ke udara total sebesar 5.181,930 ton. Dengan pertumbuhan penjualan mobil dan sepeda motor sebesar 300% dan 50% diperkirakan tahun 2001 polusi akibat timbal (Pb) meningkat.

Menurut penelitian Jakarta Urban Development Project, konsentrasi timbal di Jakarta akan mencapai 1,7-3,5 mikrogram/meter kubik (μg/m3) pada tahun 2000. Menurut Bapedalda Bandung (2001), konsentrasi hidrokarbon mencapai


(31)

4,57 ppm (baku mutu PP 41/1999: 0,24 ppm), NOx mencapai 0,076 ppm (baku mutu: 0,05 ppm), dan debu mencapai 172 mg/m3 (baku mutu: 150 mg/m3).

Suhu dan kelembaban

Atmosfer berasal dari kata Yunani yaitu atmos berarti uap dan saphaira berarti bulatan. Jadi atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bulatan bumi Atmosfer selalu dikotori oleh debu. Debu ialah istilah yang dipakai untuk benda-benda yang sangat kecil sehingga sebagian tidak tampak kecuali dengan mikroskop. Jumlah debu hanya beberapa ratus partikel tiap cm3, tetapi di kota-kota besar, daerah industri dan daerah kering, jumlah debu dapat mencapai 5 juta partikel tiap cm3. Konsentrasi debu pada umumnya berkurang dengan ketinggian, meskipun debu motorik dapat dijumpai pada lapisan atmosfer atas. Sumber debu beraneka ragam yaitu asap, abu vulkanik, pembakaran bahan bakar, serbuk dari tanah yang terhembus ke atas dan lain-lain.

Temperatur udara merupakan unsur iklim yang sangat penting. Temperatur udara berubah dengan tempat dan waktu. Pada umumnya temperatur maksimum terjadi sesudah tengah hari, biasanya sekitar jam 14.00 dan temperatur minimum terjadi jam 06.00 atau sekitar matahari terbit.

Kelembaban nisbi merupakan salah satu besaran untuk menyatakan jumlah uap air di atmosfer. Kelembaban nisbi dinyatakan dengan perbandingan jenuh dikalikan dengan 100 persen atau dalam bentuk rumus dapat ditulis sebagai : RH = e x 100 %

es RH : kelembaban relatif e/es : perbandingan jenuh e : tekanan uap

es : tekanan uap maksimum atau tekanan uap jenuh

Kelembaban nisbi berubah dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari kelembaban nisbi berangsur-angsur menjadi turun kemudian pada sore hari menjelang pagi kelembaban nisbi menjadi bertambah besar.


(32)

Kota yang berada di pebukitan, di lembah atau di pantai mengalami cuaca lokal berbeda. Temperatur dan kelembaban berbeda di jalanan, di tanah lapang, di kebun atau di taman.

Perkembangan kota menyebabkan lapisan atmosfer di atasnya menjadi kotor oleh partikel debu atau asap disebabkan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor. Partikel ini akan meningkat konsentrasinya pada musim kemarau dan menurun pada musim hujan. Kenaikan konsentrasi debu dan asap menyebabkan kenaikan temperatur udara kota dan pencemaran udara dibandingkan dengan udara sekitarnya.

Temperatur dan kelembaban berpengaruh pada salah satu sense yang dikemukakan Porteous (1977) yaitu tactility. Tingginya temperatur atau rendahnya kelembaban akan menyebabkan ketidaknyamanan. Sedangkan persepsi pada keadaan rendahnya temperatur atau tingginya kelembaban akan berbeda antara yang satu dengan lainnya. Pada seseorang yang dibesarkan pada lingkungan dengan temperatur yang rendah atau kelembaman tinggi akan terbiasa dengan kondisi tersebut.

Kebijakan Pembangunan Tata Ruang Kota Depok

Struktur tata ruang Kota Depok direalisasikan dengan melihat kepada aspek persebaran penduduk, arahan pengembangan utama pembentukkan ruang dan arahan intensitas ruang yang diarahkan untuk membentuk sistem pelayanan dan interaksi sistem kegiatan kota agar dapat berdaya guna. Konsep struktur ruang Kota Depok dikembangkan melalui pengenalan potensi pengembangan infrastruktur, luasan wilayah dan jenis kegiatan yang akan berkembang sesuai dengan fungsi kota yang direncanakan. (Perda RTRW Kota Depok tahun 2002-2010)

Berdasarkan pertimbangan pola sebaran kegiatan dan fungsi, secara makro konsep wilayah pengembangan Kota Depok memiliki ciri sebagai berikut:

1. Wilayah barat : fungsi jasa perdagangan/agribisnis dan pergudangan, wisata, permukiman kepadatan rendah sampai sedang.


(33)

2. Wilayah tengah : fungsi perdagangan dan jasa perkantoran, pergudangan, pendidikan, wisata dan permukiman kepadatan sedang sampai tinggi.

3. Wilayah timur : fungsi permukiman kepadatan rendah, sedang dan tinggi, perdagangan dan jasa pergudangan, perkantoran, wisata dan industri yang ramah lingkungan.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kota Depok, untuk pemanfaatan ruang dibagi dalam 9 (sembilan) kawasan fungsional yaitu :

1. Kawasan Perumahan

Kawasan perumahan dijumpai diseluruh kawasan kecamatan di Kota Depok, dengan peran serta swasta dalam pembangunannya, karena pengembang merasakan kebutuhan tempat tinggal di Kota Depok sebagai peluang bisnis. Untuk pembangunan perumahan ke depan perlu dilakukan hati-hati terutama pada kawasan lahan basah. Peraturan untuk tidak mengijinkan pembangunan perumahan di lahan basah perlu diimplementasikan.

2. Kawasan Perdagangan dan Jasa

Kawasan perdagangan dan jasa dapat dilihat di sepanjang jalan. Untuk di daerah pinggiran kota seperti di Kecamatan Limo yang berbatasan dengan DKI Jakarta tumbuh kawasan perdagangan dan jasa karena kawasan pinggir Jakarta sudah jenuh. Disamping itu pedagang informal tumbuh di kawasan pendidikan, kawasan pemukiman sehingga pada saat ini perlu diantisipasi kebutuhan sarana dan prasarananya.

3.

Kawasan Industri

Konsentrasi kawasan industri berada di Kecamatan Sukmajaya dan Kecamatan Cimanggis di sekitar Jalan Raya Jakarta Bogor, karena akses ke Jalan Raya Jakarta Bogor relatif mudah. Keberadaan industri kecil dan menengah di daerah Kecamatan Cimanggis berpotensi menimbulkan dempak negatif terhadap lingkungan karena pemanfaatan air tanah dan pembuangan limbah cair hasil kegiatan. Cimanggis termasuk daerah


(34)

konservasi maka perluasan industri bersifat mengisi lahan yang belum terisi dan tidak diperkenankan untuk diperluas, sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 114 tahun 1999.

4. Kawasan Hijau

Kawasan yang perlu dilestarikan meliputi :

a. Kawasan disepanjang Sungai Ciliwung dengan bentuk meander dan rawan erosi, perlu dipelihara beberapa anak sungai/sumber air yang bermuara ke Sungai Ciliwung.

b. Kawasan situ dapat mengamankan ketersediaan air tanah.

c. Kawasan lereng di Kota Depok dalam melestarikan kondisi fisik kota, sehingga terhindar dari bencana longsor.

d. Kawasan taman kota yang berfungsi sebagai paru-paru kota perlu dilestarikan termasuk kawasan “Welcome Area” masuk ke Kota Depok.

5. Kawasan Khusus

Terdapat beberapa kawasan khusus antara lain Taman Hutan Raya Pancoran Mas, Studio Alam TVRI, Kawasan Pemancar RRI, Kawasan Divif I Kostrad, Kawasan Brigade Mobil

6. Kawasan Pendidikan

Kawasan pendidikan di Kota Depok, meliputi kawasan Universitas Indonesia – Beji, Universitas Gunadarma Beji – Cimanggis, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” – Limo, Universitas Jayabaya - Cimanggis, STIK Purnama – Depok, Fajal – Depok, STIAMI Depok, STIK Arramiyah – Sawangan, STAI – Alhamidiyah – Pancoran Mas.

7. Kawasan Potensial untuk Pariwisata.

Kawasan pariwisata/rekreasi yang perlu dikembangkan adalah : Lapangan Golf Emeralda, Lapangan Golf Sawangan, Kolam Renang Tirta Maya dan Tirta Sari I di Kecamatan Sawangan, THR Pancoran Mas, Studio Alam TVRI, Situ-Situ dan Arboretum Wiladatika Cibubur.


(35)

Ket. : Salah satu kawasan khusus berfungsi sebagai daerah resapan air dan daerah hijau kota serta dapat dijadikan obyek pariwisata alam serta ruang publik.

Gambar 2. Studio Alam TVRI – Sukmajaya

8. Kawasan Strategis Potensial

Kawasan yang mempunyai keunggulan kompetitif untuk perdagangan dan jasa. Identifikasi kawasan strategis potensial diidentifikasi 2 (dua) bagian yaitu Bagian Utara dan Bagian Tengah.

1. Bagian Utara, dibagi 3 (tiga) Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu : a BWK Barat Laut di sebagian Kecamatan Sawangan batas

Kabupaten Tangerang.

b BWK Utara terletak di Kecamatan Beji berbatasan dengan DKI Jakarta.

c BWK Timur Laut terletak di Kecamatan Cimanggis berbatasan dengan DKI Jakarta.

2. Bagian Tengah, meliputi Bagian Wilayah Kota Pusat Kota sebagian di Kecamatan Pancoran Mas dan sebagian Kecamatan Cimanggis.


(36)

Ket. : Telaga Golf Sawangan dapat berfungsi sebagai obyek pariwisata

Gambar 3. Pembangunan Aquatic Centre

Pada kawasan strategis potensial ini diidentifikasi pertumbuhannya akan cepat (fast growing areas) pada kurun waktu 5 (lima) tahun mendatang, karena di kawasan tersebut akan tumbuh pemukiman baru. 9. Kawasan Andalan sebagai Pusat Pertumbuhan

Kawasan andalan yang dipakai sebagai pusat pertumbuhan agar tidak terjadi kesenjangan pertumbuhan diidentifikasi sebagai berikut:

a. BWK Utara di Kelurahan Kukusan.

b. BWK Barat Laut di Kelurahan Limo dan Kelurahan Kedaung sebagai sub pusat pertumbuhan..

c. BWK Timur Laut di Kelurahan Harjamukti. d. BWK Pusat Kota di Kelurahan Depok.

e. BWK Tenggara di Kelurahan Tapos dan Kelurahan Cilangkap sebagai sub pusat pertumbuhan.

f. BWK Selatan di Kelurahan Cilodong dan Kelurahan Bojong Pondok Terong sebagai sub pusat pertumbuhan.


(37)

g. BWK Barat di Kelurahan Sawangan dan Kelurahan Pasir Putih sebagai sub pusat pertumbuhan.

Perbedaan Rencana dan Realisasi Penggunaan Lahan di Kota Depok

Berdasarkan kepada Undang-undang Nomor 15 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon ditegaskan bahwa Pemerintah Kota Depok harus menetapkan tata ruang wilayahnya secara terpadu dan tidak terpisahkan dengan penataan ruang nasional, wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat dan wilayah Kabupaten/Kota disekitarnya. Menindaklanjuti kondisi tersebut dirasakan perlunya penyusunan suatu rencana kota yang strategis guna mewujudkan perencanaan Kota Depok yang terpadu dan terarah.

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional serta Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat maka strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan propinsi perlu dijabarkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok.

Penyusunan RTRW Kota Depok mengacu kepada azas pemanfaatan ruang bagi seluruh kepentingan secara terarah dan terpadu, berdayaguna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan serta mengandung nilai-nilai transparansi, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum.

Dalam peninjauan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tahun 2002 telah ditetapkan bahwa di Propinsi Jawa Barat terdapat 8 (delapan) Kawasan Andalan. Review RTRWN menyatakan bahwa Kota Depok termasuk dalam kawasan Penyangga (buffer cities) Daerah Khusus Ibukota dan termasuk juga dalam Kawasan Bopunjur dan sekitarnya yang berfungsi sebagai kawasan resapan air.

Namun demikian arahan Kota Depok menjadi kota penyangga tetap harus memperhatikan dan mempertimbangkan semangat otonomi daerah dan kemandirian kota menuju kota yang mampu berkembang secara mandiri dan mengimbangi fungsi Jabotabek sebagai kota counter magnet. Hal ini sebagai dasar


(38)

pengembangan Kota Depok untuk diarahkan sebagai kota yang memiliki fungsi penyeimbang dengan menekankan pelayanan kota baik internal maupun antar wilayah. Kondisi tersebut diharapkan akan memacu terciptanya ketergantungan yang saling menguntungkan untuk Kota Depok dan wilayah yang berada disekitarnya.

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2000-2010 adalah penjabaran dan strategi dari arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan propinsi ke dalam strategi dan struktur pemanfaatan ruang wilayah yang meliputi: 1. Kebijakan, pendekatan dan strategi pengembangan tata ruang untuk

tercapainya tujuan pemanfaatan ruang yang berkualitas ;

2. Tujuan pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat;

3. Struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok; 4. Pedoman pengedalian pemanfaatan ruang wilayah Kota Depok.

Adapun Rencana pemanfaatan ruang Kota Depok hingga tahun 2010 ditentukan berdasarkan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 seperti terlihat dalam Tabel 1.

Perencanaan pemanfaatan ruang dan lahan berdasarkan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 merupakan rencana yang memuat penjabaran strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan propinsi (Propinsi Jawa Barat dan Propinsi DKI Jakarta). RTRW Kota Depok berfungsi sebagai pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang wilayah dan pengendalian pemanfaatan ruang dalam wilayah Kota Depok Sampai Tahun 2010. Tujuan dari penyusunan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar wilayah serta keserasian pembangunan antar sektor melalui pemanfaatan ruang kawasan secara serasi, selaras dan seimbangan serta berkelanjutan.

2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.


(39)

3. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanannya.

4. Memuat kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang serta pengendalian pemanfaatan ruang dan wilayah.

Tabel 1. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Depok tahun 2000-2010

2000 2005 2010

Jenis Penggunaan

ha % ha % ha %

A. Kawasan Terbangun 8.640 43,14 9.300 46,43 9.990 49,88

1. Perumahan + Kampung 7.084 35,37 7.455 37,22 7.919 39,54

2. Pendidikan Tinggi 224 1,12 336 1,68 448 2,24

3. Jasa dan Perdagangan 125 0,63 241 1,20 296 1,48

4. Industri 980 4,89 1.040 5,19 1.100 5,49

5. Kawasan Tertentu (Gandul, Brimob 227 1,13 227 1,13 227 1,13

Depo KRL, Radar AURI)

B. Ruang Terbuka Hijau 11.389 56,86 10.730 53,57 10.040 50,12

1. Sawah Teknis & Non Teknis 1.313 6,56 1.313 6,56 1.313 6,56

2. Tegalan /Ladang 4.630 23,11 3.808 19,01 3.360 16,78

3. Kebun 3.131 15,63 2.826 14,11 2.507 12,52

4. Rumput/Tanah Kosong 1.635 8,16 457 2,28 457 2,28

5. Situ & Danau 119 0,60 131 0,65 139 0,69

6. Pariwisata dan Lap.Olahraga 311 1,55 767 3,83 836 4,18

7. Hutan Kota 7 0,04 7 0,04 7 0,04

8. Kawasan Tertentu (TVRI,RRI) 242 1,21 242 1,21 242 1,21

TOTAL 20.029 100 20.029 100 20.028 100,00

Sumber : RTRW KOTA DEPOK 2000-2010

Berdasarkan Peraturan Daerah No.12 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2000-2010 disebutkan bahwa luas Kota Depok adalah 20.029 ha sedangkan menurut hasil kegiatan Identifikasi Pemanfaatan Ruang Kota Depok per Desember tahun 2004 dinyatakan bahwa luas Kota Depok adalah 20.271 ha seperti terlihat pada Tabel 2.


(40)

Perbedaan luas wilayah Kota Depok berdasarkan hasil pengujian dan RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 adalah sebesar 242 ha. Adanya perbedaan jumlah luasan ini menurut metoda dan teknik penghitungan yang dilakukan teridentifikasi sebagai luasan badan perairan (sungai dan kali).

Tabel 2. Luasan Kota Depok

Luas Pemanfaatan Ruang Kota Depok

Jenis Pemanfaatan Ruang

RTRW Identifikasi 2004

Luas (ha)* % Luas (ha)** %

A. Kawasan Terbangun 8,640.00 43.14 11,924.21 58.82

1. Perumahan + Kampung 7,084.00 35.37 10,305.02 50.84

2. Pendidikan Tinggi 224.00 1.12 228.26 1.13

3. Jasa dan Perdagangan 125.00 0.62 171.18 0.84

4. Industri 980.00 4.89 992.44 4.90

5.Kawasan Tertentu (Gandul,

Brimob, Depo KRL, Radar AURI) 227.00 1.13 227.31 1.12

B. Ruang Terbuka Hijau 11,389.00 56.86 8,346.70 41.18

1. Sawah Teknis & Non Teknis 1,313.00 6.56 917.47 4.53

2. Tegalan /Ladang 4,631.00 23.12 4,051.31 19.99

3. Kebun 3,131.00 15.63 2,062.64 10.18

4. Rumput/Tanah Kosong 1,635.00 8.16 522.79 2.58

5. Situ & Danau 119.00 0.59 163.85 0.81

6. Pariwisata dan Lap.Olahraga 311.00 1.55 379.04 1.87

7.Hutan Kota 7.00 0.03 7.20 0.04

8. Kawasan Tertentu (TVRI,RRI) 242.00 1.21 242.40 1.20

9. Luasan Lainnya 0.00

TOTAL 20,029.00 100.00 20,270.91 100.00

Sumber: * RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010, 2001

** Identifikasi Pemanfaatan Ruang Kota Depok Tahun 2004

Perbedaan tersebut tampak pada luasan badan air sebagai berikut : 1. Sungai Ciliwung (dengan variasi lebar antara sungai 10-20 m)

2. Kali Pesanggrahan (dengan variasi lebar sungai antara 10-20 m) berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang.


(41)

3. Sungai Cikeas (dengan variasi lebar sungai antara 10-20 m), berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor.

4. Kali Angke (lebar rata-rata sungai 6 m) berbatasan langsung dengan Kabupaten Bogor.

Seiring dengan perkembangan dan pembangunan wilayah di Kota Depok dari tahun 2000 hingga tahun 2004 yang tumbuh dengan pesat maka pemanfaatan sumber daya alam terutama lahan dan air menjadi sangat tinggi. Kondisi ini kemudian memicu atas terjadinya alih fungsi pemanfaatan ruang seperti terlihat dalam Tabel 2 dan Gambar 4 Perbandingan Perubahan pemanfaatan ruang di Kota Depok Tahun 2000-2004.

Luasan penggunaan tanah sebagai kawasan terbangun mengacu kepada RTRW Kota Depok Tahun 2000-2010 dinyatakan sebesar 8.640 ha atau sekitar 43,14 % dari luas Kota Depok . Dengan membandingkan kepada hasil penghitungan terakhir pada bulan Desember tahun 2004 dimana luasan penggunaan tanah sebagai kawasan terbangun telah mencapai 11.924,41 atau sekitar 59,53 % dari luasan Kota Depok didapatkan pertambahan luas sekitar 16 %. Sehingga dapat diasumsikan terjadi pertambahan luasan kawasan terbangun sebesar 4 % tiap tahunnya. Pertambahan jumlah luasan kawasan terbangun berakibat terhadap pengurangan jumlah luasan ruang kawasan terbuka hijau/ ruang terbuka terhijau (RTH), hal ini diindikasikan dengan berkurangnya jumlah RTH pada tahun 2000 dari 11.389 ha (56,86 %) menjadi 8.588,70 ha (40,69 %) pada tahun 2004. Sehingga pengurangan kawasan terbuka hijau menjadi kawasan terbangun dari tahun 2000 hingga 2004 mencapai luasan sekitar 16 % seperti terlihat dalam Gambar 5.

Secara lebih jelas detil perubahan luasan pemanfaatan ruang dari Tahun 2000 hingga 2004 di Kota Depok dapat terlihat pada gambar 6. Pertambahan luasan kawasan terbangun selama 4 tahun terakhir di dominasi oleh pemanfaatan ruang untuk permukiman yang teratur (perumahan yang terencana) dan permukiman tidak teratur sebesar 3.221 ha atau sekitar 16 % dari total luas Kota Depok. Perubahan pemanfaatan ruang selama empat tahun hingga tahun 2004 menyebabkan berkurangnya luasan kawasan terbuka hijau, terutama berkurangnya


(42)

pemanfaatan ruang dalam kategori kebun (1.068 ha atau 5,58 %), tegalan/ladang (579 ha atau 3,37 %) dan lahan sawah (395,53 ha atau 2,08).

2000 2004

58.82

43.14 41.18

56.86

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1 TAHUN 2

P

E

R

S

E

N

T

A

S

E

(

%

)

KAWASAN TERBANGUN KAWASAN TERBUKA HIJAU

Gambar 4. Perubahan Kawasan Terbangun dan Ruang Terbuka Hijau tahun 2000 dan 2004


(43)

Distribusi pertambahan pemanfaatan ruang menjadi permukiman teratur dan tidak teratur pada 9 (sembilan) Bagian Wilayah Kota di Kota Depok adalah sebagai berikut:

1. BWK Tugu seluas 192,06 ha 2. BWK Mekarsari seluas 230,42 ha 3. BWK Sukatani seluas 455,24 ha 4. BWK Mekarjaya seluas 138,25 ha 5. BWK Jatijajar seluas 475,02 ha 6. BWK Sukmajaya seluas 428,32 ha 7. BWK Pancoran Mas seluas 398,85 ha 8. BWK Sawangan seluas 310,31 ha 9. BWK Bojongsari seluas 426,85 ha

Faktor penyebab (pressure) perbedaan eksisting penggunaan lahan/ pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Depok disebabkan oleh beberapa hal , antara lain ;.

1. Keterbatasan data base pemanfaatan ruang dan wilayah Kota Depok yang paling akhir seperti foto udara dan foto penginderaan jarak jauh (ICONOS). Hal ini menyebabkan proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Depok belum mencapai hasil yang maksimal.

2. Belum tersosialisasinya materi RTRW Kota Depok dengan baik kepada seluruh stakeholder (pemerintahan, swasta dan masyarakat), terutama dalam konteks pemanfaatan ruang dan lahan untuk pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

3. Tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap RTRW Kota Depok masih perlu diupayakan untuk ditingkatkan

4. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dari pelaku pembangunan dengan maksud mengambil keuntungan pribadi dalam pemanfaatan ruang dan lahan. Hal ini diindikasikan dengan adanya kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) yang diajukan.


(44)

5. Penyalahgunaan Pemanfaatan kawasan konservasi seperti (sempadan sungai, kali, situ) oleh masyarakat dan swasta (pelaku bisnis) sebagai kawasan permukiman dan usaha.

6. Upaya pengendalian pemanfaatan ruang dan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran pemanfaatan ruang masih perlu ditingkatkan di masa depan.

Adanya Konflik kepentingan pemanfaatan ruang pada suatu lokasi tertentu, sehingga menimbulkan ketidakserasian di dalam pemanfaatan lahan.

Rencana Penataan Ruang Bagian Wilayah Kota Beji

Permasalahan pengembangan yang ada di BWK Beji merupakan dasar dalam proses penganalisisan dan perumusan rencana. Berikut ini merupakan isu pokok yang berada dalam lingkup perencanaan BWK Beji yang harus diselaraskan fungsinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Isu-isu pokok tersebut di antaranya :

1. Pemanfaatan lahan

Perkembangan komersil jasa Kota Depok terkonsentrasi dan berkembang di sepanjang jalan Margonda. Namun belum ada pengaturan yang jelas untuk pengalokasian fungsi kegiatan. Keadaan ini disebabkan adanya strata ekonomi dualistik.

Gagasan penanganan diarahkan untuk mewujudkan dualistik ekonomi secara berdampingan dan berkembang dalam ruang kota.

2. Fungsi dan Penggunaan Bangunan

Perkembangan yang ada cenderung terjadi pengkaplingan untuk tiap penggunaan lahan. Keadaan ini akan menyebabkan sulitnya terbentuk blok kegiatan yang padu.

Gagasan penataan diarahkan untuk membuat klarifikasi jenis kegiatan yang memang tidak boleh berada di pusat kota serta bertentangan dengan kegiatan yang dibolehkan.


(45)

3.221 4,26 46,18 12,44 0.31 - 395,53 - 579,69 -1.068 -1.112 45,85 68,04 0.20 0.40 -1.7 00 -0.7 00 0.3 00 1.3 00 2.3 00 3.3 00 Luas (Ha)

1. P eru

mah

an +

Kam

pung

2. P

endi

dika

n T

ingg

i

3. J asa

dan

Per

daga

ngan

4. I

ndus

tri

5. K

awas

an T

erten

tu (G

andu

l, B rim

ob

6. S aw

ah T

ekni

s &

Non

Tek

nis

7. T egal

an /L

adan

g 8. K

ebun

9. R

um

put/T

anah

Kos

ong 10. S

itu &

Dan

au

11. P

ariw

isat

a da

n L

ap.O lahra ga 12.H utan Kot a

13. K

awas

an T

erten

tu (T

VR I,R RI) L a n d u s e


(46)

3. Tata Bangunan Lingkungan dan Intensitas Penggunaan Lahan

BWK Beji memiliki kepadatan relatif rendah (75 jiwa/ha) dan akan terus bertambah di masa mendatang. Namun demikian sejalan dengan strategi arahan intensitas bangunan perlu diupayakan penanganan blok-blok lingkungan yang pembangunannya vertikal. Ini ditujukan untuk menampung peningkatan kepadatan sekaligus memperbesar ruang hijau yang semestinya ada.

4. Kegiatan Pendidikan Tinggi

Pendidikan tinggi diarahkan akan menjadi ciri Kota Depok sesuai dengan visi pembangunan kota. Pada BWK Beji terdapat dua pendidikan tinggi Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma. Universitas Gunadarma berkembang pada kawasan komersial dan jasa sehingga memberikan dampak perlambatan arus kendaraan.

Mendatang perlu dipikirkan pembatasan kegiatan pendidikan baru di jalur utama pusat kota.

5. Transportasi

Persoalan transportasi di Kota Depok adalah rendahnya kapasitas jalan yang ada. Hal ini terlihat pada adanya titik macet sekitar jalan Margonda, Nusantara dan Arief Rahman Hakim di Kecamatan Beji.

Karakter pola transportasi Kota Depok didominasi oleh pergerakan komuter Jakarta dan hinterlandnya.

6. Situ dan pola drainase

Keberadaan situ terutama di BWK Beji merupakan aset kota. Secara alami situ-situ tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengendalian banjir dan drainase selain sebagai keindahan kota.

7. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan

Keberhasilan pembangunan yang telah direncanakan akan sangat tergantung peran serta masyarakat. Beberapa hal signifikan yang perlu diangkat adalah menggali potensi dan keinginan masyarakat dan pelaku pembangunan agar memiliki persepsi yang sama dengan pembuat keputusan (pemerintah).


(47)

BWK Beji meliputi 6 kelurahan di Kecamatan Beji yaitu Tanah Baru, Kukusan, Pondok Cina, Kemiri Muka, Beji Timur dan Beji ditambah dengan 1 kelurahan dari Kecamatan Pancoran Mas yaitu Depok Jaya dan sebagian dari kelurahan Pancoran Mas dan Depok. BWK Beji memiliki penduduk eksisting 167.511 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk mencapai 5,34 %.

Lestari (2004) membagi Lanskap Kecamatan Beji menjadi sembilan tipe lanskap yang meliputi lanskap pemukiman padat dan sangat padat, hutan kota, sungai, komersial, lahan kosong, lahan pertanian, kebun tanaman hias dan danau. Perkembangan BWK Beji saat ini berorientasi ke akses utama jl. Margonda, Jl. Dewi Sartika dan Jl. Arief Rahman Hakim yang secara geografis terletak dalam satu kawasan dengan pola linier. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pemusatan kegiatan di kawasan tersebut sekaligus menimbulkan akumulasi beban kegiatan perkotaan Kota Depok. Oleh karenanya untuk membentuk sistem struktur pelayanan yang dapat mengakomodir potensi dan menjadi pendekatan penyelesaian masalah sekaligus mengintegrasikan perkembangan yang ada, perlu dibentuk pusat-pusat pelayanan dengan masing-masing kawasan pelayanannya. Pusat pusat tersebut adalah:

1. Pusat primer, merupakan pusat pelayanan dengan kegiatan yang berorientasi kota dan BWK. Kegiatan mempunyai intensitas yang tinggi dan mampu dikembangkan dengan tingkat efisiensi lahan yang tinggi. Kegiatan tersebut antara lain komersial, perdagangan, perkantoran, wisata dengan skala kota dan BWK. Pusat primer mengembangkan pusat yang sudah ada di koridor Margonda.

2. Pusat sekunder, merupakan pusat pelayanan dengan kegiatan yang berorientasi blok. Pusat sekunder dapat berupa kegiatan pemerintahan, rekreasi dan olahraga ataupun perdagangan dan komersial skala kawasan. 3. Pusat tersier, diarahkan untuk memberikan pelayanan bagi kawasan

fungsional lingkungan atau sub blok. Kegiatan yang dikembangkan di pusat tersier adalah kegiatan sosial, rekreasi dan olahraga ataupun perdagangan dan komersil skala lingkungan.


(48)

KEADAAN UMUM

Gambaran Umum Kota Depok

Kota Depok pada mulanya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bogor, mengingat perkembangannya yang relatif pesat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1981 ditetapkan menjadi Kota Administratif (Kotif) meliputi tiga Kecamatan, yaitu Kecamatan Beji, Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Sukmajaya. Kemudian seiring dengan timbulnya aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Kab. Daerah Tingkat II Bogor tanggal 16 Mei 1994 Nomor:135/SK.DPRD/03/1994 tentang Persetujuan atas Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok Persetujuan Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat tentang Persetujuan atas Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok maka dibentuklah Kotamadya Depok.

Berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1999 dan untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk lebih meningkatkan peran aktif masyarakat pada tanggal 27 April 1999 dibentuklah Kota Depok dengan luas wilayah 20.029 ha, meliputi :

1. Kecamatan Cimanggis, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Kelurahan Cimanggis terdiri dari 13 Kelurahan dengan luas wilayah 5077ha.

2. Kecamatan Sawangan, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Kelurahan Sawangan terdiri dari 14 Kelurahan dengan luas wilayah 4.673ha. 3. Kecamatan Pancoran Mas, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di

Kelurahan Depok terdiri dari 11 Kelurahan dengan luas wilayah 2.671 ha. 4. Kecamatan Limo, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Kelurahan


(49)

5. Kecamatan Beji, dengan pusat pemerintahan berkedudukan di Kelurahan Beji terdiri dari 6 Kelurahan dengan luas wilayah 1.614 ha.

Kota Depok dengan posisi wilayah yang strategis karena berbatasan langsung dengan Ibu Kota Negara Republik Indonesia (DKI Jakarta) harus mampu memerankan fungsinya sebagai daerah penyangga dan penyeimbang DKI Jakarta, kondisi ini secara langsung dan tak langsung telah mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sangat pesat dalam pertumbuhan penduduk dan peningkatan perekonomian di Kota Depok.

Gambar 6. Peta Wilayah Kota Depok

Potensi pengembangan wilayah Kota Depok telah menarik minat calon investor untuk menanamkan investasinya dalam bentuk kegiatan ekonomi / pembangunan di segala bidang. Namun demikian sangat dipahami bahwa dalam proses realisasi pembangunan tersebut akan memberikan dampak positif dan dampak negative bagi lingkungan hidup di sekitarnya.


(50)

Dampak-dampak penting akibat kegiatan-kegiatan pembangunan di seluruh bidang kehidupan dan relative masih lemahnya penegakan hukum (law enforcement) telah menyebabkan pemanfaatan sumber daya alam oleh pelaku pembangunan yang sulit dikendalikan, menurunnya tingkat ketersediaan sumber daya alam yang dimiliki serta meningkatnya pencemaran dan degradasi lingkungan hidup di Kota Depok.

Bertambahnya jumlah penduduk kota sebagai akibat dari pertumbuhan pembangunan yang pesat menyebabkan kebutuhan penduduk untuk meningkatkan standar kesejahteraan hidupnya semakin bertambah secara kuantitas dan kualitas. Hal di atas mendorong terjadinya eksploitasi penduduk terhadap lingkungan semakin besar yang pada akhirnya kegiatan tersebut secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan perubahan terhadap lingkungan alam dan organisme yang hidup bersamanya (Status Lingkungan Hidup Daerah/SLHD Kota Depok Tahun 2002).

Menurut data dari Dinas Kependudukan Kota Depok, jumlah penduduk kota Depok sampai dengan Desember 2003 sebesar 977.095 jiwa yang tersebar di 6 Kecamatan., sedangkan menurut BPS Kota Depok jumlah penduduk tahun 2003 adalah sebesar 1.335.734. Menurut RTRW Kota Depok 2010 Kecamatan Beji merupakan kecamatan yang paling pesat pertumbuhan penduduknya yakni 4,26 % hal ini banyak dipengaruhi keberadaan Kampus Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma. Arah perkembangan daerah terbangun di Kota Depok adalah berpusat dari Jalan Margonda Raya yang kemudian menyebar ke arah sekitarnya. (KDLES WJEMP 2004).

Kota Depok sesuai dengan kondisi dan potensi wilayahnya serta kebutuhan pada masa-masa mendatang, pengembangan wilayahnya direncanakan ke arah sektor pemukiman, sektor jasa, sektor perdagangan dan sektor pendidikan. Untuk itu aspek perencanaan, aspek pelaksanaan, aspek pengawasan, dan pengendalian pengelolaan lingkungan hidup perlu mendapat perhatian, agar pembangunan yang berwawasan lingkungan dan terkendalinya pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, dapat terwujud.


(51)

kebijakan pembangunan wilayah tersebut, sektor lingkungan hidup memegang fungsi dan peranan yang sangat penting dan menentukan bagi terselenggaranya pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan pada masa kini dan masa-masa mendatang yang efektif dan efisien.

Visi Kota Depok adalah “Depok Kota Pendidikan, Permukiman, Perdagangan dan Jasa, Yang Religius dan Berwawasan Lingkungan”.

Misi Kota Depok adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2. Meningkatkan pelayanan dalam bidang pendidikan, permukiman, perdagangan dan jasa, dan sarana prasarana perkotaan

3. Meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. 4. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan kota.

5. Meningkatkan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Kondisi Fisik Alami

Secara geografis Kota Depok terletak pada posisi 106o43’BT-106o43’BT dan 6o18’30’’ LS-6o27’30’’LS, secara relatif terletak sebelah utara berbatasan dengan DKI Jakarta, selatan dengan Kabupaten Bogor, timur dengan Kabupaten Bekasi dan barat dengan Kabupaten Tangerang.

Wilayah Depok termasuk daerah beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan yang cukup kecil dan dipengaruhi oleh iklim muson, secara umum musim kemarau terjadi antara bulan April-September dan musim hujan antara bulan Oktober-Maret.

Berdasarkan data klimatologi Kabupaten Bogor, Stasiun Klimatologi Klas I Dermaga, Stasiun Pemeriksaan Pondok Betung, tahun 1998, kondisi iklim di Kota


(1)

130 Lampiran 9. Kuistioner

Kuestioner SBE

Jenis Kelamin :

Usia :

Pendidikan : SD / SMP / SMA / S 1 / S 2 / S 3

Tidak suka Suka

Gambar no 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

1. Kawasan Komersil Margonda 2. Danau di rektorat UI

3. Perum Bertingkat di Kukusan 4. Perum Pesona Kayangan 5. Perum Kukusan

6. Situ Pladen

7. Kebun Hias H. Mubin 8. Perum Kembang

Unsur yang menarik pada gambar :

……… ………

Komentar bebas tentang gambar :

……… ……… ………


(2)

Lampiran 9. Lanjutan

Kuestioner SD

Gambar no.1. Kawasan Komersil Margonda Gambar no.2. Danau dekat Rektorat UI

Kering 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Basah

Ramai Tenang

Padat Reng

gang

Bising Sunyi

Macet Lancar

Gaduh Sepi

Terasa Sesak Terasa Segar Tidak Teratur Teratur Semera wut Tertib Tidak Terpeli hara Terpeli hara

Kumuh Tertata

Suram Jelas

Gambar no.3. Perumahan Kukusan Gambar no.4. Perumahan Pesona Kayangan

Kering 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Basah

Ramai Tenang

Padat Reng

gang

Bising Sunyi

Macet Lancar

Gaduh Sepi

Terasa Sesak Terasa Segar Tidak Teratur Teratur Semera wut Tertib Tidak Terpeli hara Terpeli hara

Kumuh Tertata

Suram Jelas

Tabel di atas dibuat juga untuk gambar no : 5. Perumahan Bertingkat Kukusan

6. Situ Pladen

7. Kebun Hias H. Mubin 8. Perumahan Kemang

Kering 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Basah

Ramai Tenang

Padat Reng

gang

Bising Sunyi

Macet Lancar

Gaduh Sepi

Terasa Sesak Terasa Segar Tidak Teratur Teratur Semera wut Tertib Tidak Terpeli hara Terpeli hara

Kumuh Tertata

Suram Jelas

Kering 4 3 2 1 0 1 2 3 4 Basah

Ramai Tenang

Padat Reng

gang

Bising Sunyi

Macet Lancar

Gaduh Sepi

Terasa Sesak Terasa Segar Tidak Teratur Teratur Semera wut Tertib Tidak Terpeli hara Terpeli hara

Kumuh Tertata


(3)

132 Lampiran 10. Hasil Uji Lanjut Beda Nyata antara Nilai SBE Penelitian di Ruangan dan di Lapangan

Paired Samples Statistics

43.3125 8 60.98467 21.56134 47.7050 8 72.21323 25.53123 B

C Pair 1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Correlations

8 .497 .210

B & C Pair 1

N Correlation Sig.

Tingkat kekuatan hubungan : 0.497 (r mendekati 1) Arah Korelasi : positif

Angka sig 2 tailed : 0.859 > α 0.05, maka tidak ada perbedaan nyata antara nilai SBE pada penelitian di ruangan (B) dengan nilai SBE di lapangan (C)


(4)

Lampiran 11. Data Hasil Analisis Korelasi

Kualitas Ekologi

Kualitas Estetika

NO2

HC

DEBU

CO

BD

RH

SUHU

PearsonCorelation

-.216

.252 .544

.117

.704

.371

.172

SBE

Sig (2-tailed)

.065

.547

.163

.826

.052

.365

.683


(5)

134 Lampiran 12. Data Penilaian SD di Ruangan

1 2 3 4 5 6 7 8

Kering-Basah 7,33 3,55 2,32 4,53 6,63 6,88 5,17 3,83 Padat-Renggang 4,83 3,40 2,27 6,17 7,28 6,73 4,73 6,22 Ramai-Tenang 7,62 5,20 1,42 7,20 7,37 7,40 6,83 3,73 Gaduh-Sepi 7,70 5,77 1,93 6,93 7,40 7,47 6,93 4,78 Bising-Sunyi 7,30 5,23 1,62 6,78 7,22 7,20 6,93 5,00 Macet-Lancar 7,58 6,82 2,35 7,68 7,78 7,38 7,05 6,67 Terasa Sesak-Terasa Segar 7,20 5,77 3,18 6,80 8,33 6,42 5,93 4,90 Tidak Teratur-Teratur 3,52 7,08 5,32 6,77 7,40 4,50 5,02 4,07 Semrawut-Tertib 4,57 7,38 5,47 6,87 7,58 5,00 5,90 4,92 Tidak

Terpelihara-Terpelihara 3,60 7,72 6,13 7,12 7,18 3,12 6,27 5,17 Kumuh-Tertata 4,70 7,53 7,12 6,95 7,50 4,47 6,02 4,88 Suram-Jelas 4,95 7,30 6,83 6,73 7,45 5,47 6,03 5,25

Keterangan :

1 : Lanskap Kebun Tanaman Hias 2 : Lanskap pemukiman Margonda B 3 : Lanskap Komersil Margonda 4 : Lanskap Pemukiman D Kukusan 5 : Lanskap Hutan Kota UI

6 : Lanskap Danau Pladen

7 : Lanskap Pemukiman Kukusan C 8 : Lanskap Pemukiman Kembang A


(6)

Lampiran 13. Data Penilaian SD di Lapangan

1 2 3 4 5 6 7 8

Kering-Basah 2,57 8,57 6,13 6,27 6,90 8,00 8,00 4,80

Padat-Renggang 1,60 8,60 6,63 6,97 6,77 6,57 7,43 3,97 Ramai-Tenang 1,50 8,67 7,30 7,83 6,87 6,97 7,47 4,73 Gaduh-Sepi 2,17 8,23 6,97 7,73 7,33 7,17 7,60 5,30 Bising-Sunyi 1,73 8,47 6,83 7,50 7,40 7,33 7,50 4,87 Macet-Lancar 1,47 8,80 7,47 8,13 7,63 7,00 7,57 6,00 Terasa

Sesak-Terasa Segar 2,17 8,60 7,13 7,87 7,00 6,57 8,13 5,33 Tidak

Teratur-Teratur 3,17 8,40 7,00 8,23 5,67 4,67 5,83 4,53

Semrawut-Tertib 3,00 8,23 6,97 8,33 6,13 4,67 5,97 4,70 Tidak

Terpelihara-Terpelihara 3,97 8,10 7,23 8,47 6,20 3,90 6,17 5,07 Kumuh-Tertata 4,73 8,27 6,93 8,50 6,50 4,30 5,80 4,57 Suram-Jelas 5,63 8,27 7,30 8,30 6,70 4,97 6,37 5,13

Keterangan :

1. : Lanskap Kebun Tanaman Hias 2. : Lanskap pemukiman Margonda B 3. : Lanskap Komersil Margonda 4. : Lanskap Pemukiman D Kukusan 5. : Lanskap Hutan Kota UI

6. : Lanskap Danau Pladen

7. : Lanskap Pemukiman Kukusan C 8. : Lanskap Pemukiman Kembang A