Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DWI WIDIANIS

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pola Konsumsi Pangan
Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2014
Dwi Widianis
NIM H151114114

RINGKASAN
DWI WIDIANIS. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh R. NUNUNG NURYARTONO dan TONI
BAKHTIAR.
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap
waktu merupakan hak asasi yang layak dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan pangan
bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah menjadi sasaran utama
kebijakan pangan bagi pemerintah pusat maupun daerah.
Pola konsumsi pangan sangat penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan
rumah tangga miskin di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat skor
Pola Pangan Harapan (PPH) NTT yang rendah dengan menduduki peringkat 32
dari 33 provinsi di Indonesia pada tahun 2012. Pola konsumsi pangan
menggambarkan kombinasi pilihan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga
miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar sekaligus memenuhi asupan gizi yang
cukup dan berimbang.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) periode Maret tahun 2008-2010 yang bersumber dari
Badan Pusat Statistik (BPS) dengan melakukan analisis terhadap 988 sampel
rumah tangga miskin. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis
deskriptif serta analisis ekonometrika dengan model Linear ApproximationAlmost Ideal Demand System (LA-AIDS). Variabel-variabel yang digunakan
untuk mengestimasi pangsa pengeluaran pangan antara lain: harga komoditas,
pendapatan riil, jumlah anggota rumah tangga, wilayah tempat tinggal
(perdesaan/perkotaan), tingkat pendidikan kepala rumah tangga, dan tren tahun.
Secara umum, pola konsumsi dipengaruhi oleh harga sendiri, harga
komoditas lain, pendapatan, wilayah tempat tinggal (perdesaan/perkotaan), dan
tingkat pendidikan kepala rumah tangga pada taraf nyata 5%. Nilai elastisitas
harga sendiri menunjukkan permintaan seluruh komoditas bersifat inelastis.
Komoditas jagung dan singkong merupakan barang substitusi bagi beras,
selanjutnya jagung, singkong, sayur, dan buah termasuk barang normal.
Sedangkan komoditas beras, ikan, daging, telur, dan rokok termasuk barang
mewah.
Simulasi 1 terkait program raskin dianggap mampu meningkatkan konsumsi
beras, ikan, daging, telur, sayur, dan rokok. Simulasi 2 menunjukkan bahwa
program pemerintah terkait pemberian BLT kepada rumah tangga miskin
dianggap mampu meningkatkan konsumsi beras, ikan, daging, telur, sayur, dan

rokok secara signifikan, sedangkan komoditas makanan lainnya juga mengalami
peningkatan yang relatif kecil. Adapun simulasi 3 yang merupakan kombinasi
program raskin dan BLT menunjukkan peningkatan permintaan komoditas
makanan yang sangat signifikan, sehingga simulasi 3 ini dinilai sebagai simulasi
kebijakan yang paling efektif untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga miskin
di Provinsi NTT.
Implikasi kebijakan yang disarankan bagi pemerintah daerah guna
meningkatkan kesejahteraan rumah tangga miskin melalui pemenuhan konsumsi
pangan yang bergizi dan berimbang antara lain: (1) Perlu adanya program

diversifikasi pangan di Provinsi NTT. Jagung dan singkong dapat dijadikan
makanan pokok alternatif pengganti beras. Hal ini untuk mengurangi
ketergantungan impor beras dari daerah lain; (2) Pemerintah NTT diharapkan
menyusun aturan nyata terkait program penganekaragaman pangan yang semakin
mengedepankan potensi pangan pokok lokal.
Kata kunci: pola konsumsi, diversifikasi, NTT, LA-AIDS

SUMMARY
DWI WIDIANIS. Food Consumption Pattern of the Poor Household in Nusa
Tenggara Timur Province. Supervised by R. NUNUNG NURYARTONO and

TONI BAKHTIAR.
Food is a basic need for humans to be able to sustain life, so that adequate
food for all people at all times an adequate rights fulfilled. Food needs for the
entire population at any time in an area of food policy became the main target for
the central and local governments.
Patterns of food consumption is very important to measure the level of
welfare of poor households in Nusa Tenggara Timur (NTT) Province recall score
of Hope Food Pattern NTT was ranked low with 32 of the 33 provinces in
Indonesia in 2012. Food consumption patterns describe the combination of
commodities consumed choice of poor households to meet basic needs as well as
fulfill adequate nutrition and balanced.
This study used the data of the National Socio Economic Survey (Susenas)
in March period 2008-2010 are sourced from the Central Statistics Agency (BPS)
to conduct an analysis of 988 samples of poor households. The analytical method
used is descriptive analysis method and analysis of econometric model Linear
Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS). The variables used to
estimate the share of food expenditure include: commodity prices, real income,
household size, region of residence (rural/urban), education level of the household
head , and the trend of the year .
In general, the pattern of consumption is affected by its own price, prices of

other commodities, income, region of residence (rural/urban), and level of
education of household head at the 5% significance level. Own price elasticity
shows demand for all commodities is inelastic. Maize and cassava are substitutes
for rice, then maize, cassava, vegetables, and fruits are normal goods. Meanwhile,
rice, fish, meat, eggs, and cigarettes are a luxury item.
Simulation 1 related programs are considered Raskin able to increase the
consumption of rice, fish, meat, eggs, vegetables, and cigarettes. Simulation 2
shows that the BLT government programs related to poor households were
considered to improve the consumption of rice, fish, meat, eggs, vegetables, and
smoking significantly, while other food commodities also increased relatively
small. Simulation 3 which is a combination of Raskin and BLT program showed
an increase in demand for food commodities significantly, thus simulation 3 is
considered as the most effective policy simulations to increase the consumption of
poor households in NTT.
Suggested policy implications for local government to improve the welfare
of poor households through the fulfillment of the consumption of nutritious food
and balanced among others: (1) It needs food diversification program in NTT.
Maize and cassava can be used as an alternative staple food rice. This reduces the
dependence on rice imports from other regions; (2) The Government of NTT is
expected to draw up rules related to real food diversification program which

increasingly emphasizes the potential of the local staple food.
Keywords: consumption pattern, diversification, NTT, LA-AIDS

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

POLA KONSUMSI PANGAN RUMAH TANGGA MISKIN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

DWI WIDIANIS

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sri Hartoyo, MS

Judul Tesis : Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin
di Provinsi Nusa Tenggara Timur
Nama
: Dwi Widianis
NIM
: H151114114

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing


Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi
Ketua

Dr Toni Bakhtiar, SSi MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 28 April 2014


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini
berjudul “Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Provinsi Nusa
Tenggara Timur”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi dan
Dr Toni Bakhtiar, SSi MSc selaku komisi pembimbing yang dalam kesibukannya
masih meluangkan waktu dan dengan penuh kesabaran untuk memberikan
bimbingan, arahan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan tesis
ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku penguji
di luar komisi dan Dr Ir Sri Mulatsih, MscAgr selaku perwakilan dari Program
Studi Ilmu Ekonomi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia, Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur
serta Kepala Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai yang telah memberikan
kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB. Ucapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi beserta

jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPS IPB, semua dosen
yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan BPS Batch 4 yang senantiasa
membantu penulis dalam perkuliahan dan penyelesaian tesis ini. Terima kasih dan
perhargaan penulis juga sampaikan kepada Badan Pusat Statistik (BPS) atas
ramahnya pelayanan serta data-data yang disediakan untuk tesis ini.
Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Tri
Mulyani serta dua buah hatiku tersayang Naufal Shalih dan Farah Shalihah,
kepada orang tua serta keluarga besar di Surabaya dan Jakarta atas dukungan, doa
dan kasih sayangnya.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna
karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan penulis. Kesalahan yang terjadi
merupakan tanggung jawab penulis sedangkan kebenaran yang ada merupakan
karunia dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memberikan balasan dengan kebaikan-kebaikan kepada seluruh pihak yang telah
membantu penulis. Harapan penulis semoga tesis ini dapat memberikan kontribusi
positif dalam proses pembangunan dan bermanfaat bagi para pembaca sekalian.

Bogor, April 2014
Dwi Widianis


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xv

DAFTAR GAMBAR

xv

DAFTAR LAMPIRAN

xv

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Pola Konsumsi Rumah Tangga
Tinjauan Teoritis
Teori Permintaan
Efek Substitusi dan Pendapatan
Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Demografi
Tinjauan Empiris
Kerangka Pikir
Hipotesis Penelitian

5
5
5
6
6
9
10
10
11
12

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis
Analisis Deskriptif
Analisis Model LA-AIDS
Spesifikasi Model Penelitian
Definisi Variabel Operasional

13
13
16
16
16
19
21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Rumah Tangga Miskin
Elastisitas Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin
Elastisitas Harga Sendiri
Elastisitas Harga Silang
Elastisitas Pendapatan
Elastisitas Jumlah Anggota Rumah Tangga
Dampak Subsidi Raskin dan BLT terhadap Konsumsi Pangan

22
22
26
27
27
28
29
30
31

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

33
33
33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

36

RIWAYAT HIDUP

51

DAFTAR TABEL
1 Pangsa pengeluaran perkapita perbulan rumah tangga miskin menurut
tipe wilayah dan kelompok komoditas di NTT tahun 2008-2010 (%)
2 Tingkat kemiskinan di Indonesia dan NTT tahun 2008-2013 (%)
3 Garis kemiskinan menurut wilayah tempat tinggal di Provinsi NTT
tahun 2008-2010 (rupiah perkapita perbulan)
4 Pembagian rumah tangga sampel tahun 2008-2010
5 Daftar dan jenis variabel yang digunakan dalam penelitian
6 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi makanan rumah tangga
miskin perkapita perbulan menurut komoditas tahun 2008-2010 (kg)
7 Pangsa pengeluaran rumah tangga miskin terhadap total pengeluaran
perbulan tahun 2008-2010 (%)
8 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut
wilayah tempat tinggal tahun 2008-2010 (rupiah)
9 Pengeluaran makanan perbulan rumah tangga miskin menurut tingkat
pendidikan kepala rumah tangga tahun 2008-2010 (rupiah)
10 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi NTT
11 Elastisitas harga sendiri komoditas makanan rumah tangga miskin
menurut wilayah dan pendidikan KRT di Provinsi NTT tahun 20082010 (%)
12 Elastisitas harga silang komoditas makanan rumah tangga miskin
di Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%)
13 Elastisitas pendapatan komoditas makanan rumah tangga miskin
menurut wilayah dan pendidikan KRT di NTT tahun 2008-2010 (%)
14 Elastisitas jumlah anggota rumah tangga pada komoditas makanan
rumah tangga miskin di Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%)
15 Perubahan permintaan komoditas berdasarkan hasil simulasi di
Provinsi NTT tahun 2008-2010 (%)

2
3
13
14
15
23
23
24
25
26
28
29
29
30
32

DAFTAR GAMBAR
1 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga komoditas A
2 Alur kerangka pikir

9
12

DAFTAR LAMPIRAN
1 Output pengolahan program SAS
2 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan
dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan tahun
3 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan
dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan wilayah dan
tahun

36
41

43

4 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan
dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan pendidikan
KRT dan tahun
5 Elastisitas harga sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan
dan elastisitas jumlah anggota rumah tangga berdasarkan wilayah dan
pendidikan KRT

46

49

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat
mempertahankan hidup, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang pada setiap
waktu merupakan hak asasi yang layak dipenuhi. Pangan seringkali dianggap
sebagai komoditas yang strategis dan mencakup hal-hal yang bersifat ekonomi,
sosial, bahkan politik (Amang 1995). Berdasarkan kenyataan tersebut masalah
pemenuhan kebutuhan pangan bagi seluruh penduduk setiap saat di suatu wilayah
menjadi sasaran utama kebijakan pangan bagi pemerintah pusat maupun daerah.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi
tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan
penduduknya. Oleh karena itu kebijakan pemantapan ketahanan pangan menjadi
isu sentral dalam pembangunan serta merupakan fokus utama dalam
pembangunan pertanian. Kebijakan pemantapan ketahanan pangan dalam hal ini
termasuk di dalamnya adalah terwujudnya stabilitas pangan nasional. Provinsi
Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu provinsi di Indonesia juga
menghadapi tantangan yang sama dalam menghadapi pemenuhan kebutuhan
pangan secara regional.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 yang diperbarui dengan UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan pangan dalam arti
luas mencakup makanan dari hasil-hasil tanaman dan ternak serta ikan baik
produk primer maupun olahan. Tingkat ketersediaan pangan untuk konsumsi
energi dan protein diukur dalam satuan kilokalori dan gram. Konsumsi energi dan
protein di tingkat nasional pada tahun 2010 sebesar 1925.61 kilokalori perkapita
perhari dan 55.01 gram perkapita perhari, sedangkan pada level Provinsi NTT
sebesar 1960.28 kilo kalori perkapita perhari dan 54 gram perkapita perhari
(Badan Pusat Statistik 2011). Angka tersebut telah melebihi standar kecukupan
protein tetapi kurang memenuhi standar kecukupan energi yang direkomendasikan
dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 masingmasing sebesar 2000 kilokalori untuk standar kecukupan energi dan 52 gram
untuk standar kecukupan protein. Hal ini mengindikasikan pemenuhan asupan gizi
masyarakat belum optimal dalam kerangka mewujudkan stabilitas pangan
nasional dan regional.
Konsumsi pangan merupakan kegiatan mendasar dan perilaku utama bagi
pemenuhan kebutuhan dasar individu dan rumah tangga. Konsumsi pangan
sebagai bentuk kegiatan sehari-hari yang akan mencerminkan gambaran pola
konsumsi pangan dalam memenuhi kecukupan pangan baik jumlah maupun
kualitas pangan. Pola konsumsi dapat dijadikan acuan dalam mengukur indikator
kesejahteraan penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi penduduk,
dan status kemiskinan penduduk.
Kemiskinan berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik pangan
maupun nonpangan. Besarnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi pangan
terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan sebagai indikator
kemiskinan (Nicholson 1995). Rumah tangga yang memiliki proporsi pengeluaran
yang lebih besar untuk konsumsi pangan mengindikasikan rumah tangga tersebut

2

adalah rumah tangga miskin (Seale et al. 2003). Rumah tangga miskin dapat
dikatakan sebagai rumah tangga yang memiliki pendapatan rendah. Pendapatan
yang rendah menyebabkan daya beli juga rendah, sehingga rumah tangga miskin
melakukan pilihan dalam membelanjakan pendapatannya bahkan mungkin harus
meniadakan beberapa kebutuhan dasar lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar
tertentu (Sengul dan Tuncer 2005).
Tabel 1 Pangsa pengeluaran perkapita perbulan rumah tangga miskin menurut
tipe wilayah dan kelompok komoditas di NTT tahun 2008-2010 (%)
Pangan
Nonpangan
Tahun
Desa
Kota
Desa+Kota
Desa
Kota Desa+Kota
2008
72.69 63.30
67.00
27.31
36.70
33.00
2009
70.49 66.76
68.58
29.51
33.24
31.42
2010
71.19 62.61
66.07
28.81
37.39
33.93
Sumber: BPS (2008-2010)
Pola konsumsi rumah tangga menggambarkan alokasi pengeluaran
komoditas pangan dan nonpangan. Tabel 1 menunjukkan bahwa pangsa
pengeluaran pangan lebih besar daripada pengeluaran nonpangan baik di desa
maupun kota di NTT. Secara umum pengeluaran pangan rumah tangga miskin
mencapai lebih dari 60%, sedangkan pengeluaran nonpangan di kisaran 30% dari
total pengeluaran rumah tangga miskin.
Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan
ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju
maupun negara berkembang. Kemiskinan menjadi permasalahan dunia yang
menarik perhatian bagi banyak negara untuk segera mencari solusi
penanggulangannya. Kepedulian dunia dalam upaya menanggulangi kemiskinan
diwujudkan dengan diselenggarakannya Deklarasi Millenium (Millenium
Declaration) pada bulan September tahun 2000 yang diikuti oleh 189 negara
anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) termasuk Indonesia. Deklarasi
Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan pengentasan kemiskinan
dan kelaparan sebagai tujuan pertama dari 8 butir kesepakatan dalam deklarasi
(UNDP 2003).
Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam perekonomian. Masih
tingginya angka kemiskinan mengindikasikan bahwa kegiatan pembangunan
belum berhasil sepenuhnya, karena salah satu tujuan dari pembangunan adalah
memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Kegiatan pembangunan yang tidak
mengubah kondisi kemiskinan akan menyisakan masalah yang memicu
permasalahan sosial. Oleh karena itu kemiskinan selalu menjadi agenda
pembangunan, seperti yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) periode 2004-2009.
Provinsi NTT merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki
tingkat kemiskinan masih tergolong tinggi meskipun program pengentasan
kemiskinan telah diupayakan oleh berbagai pihak baik pemerintah pusat, daerah
maupun masyarakat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat
kemiskinan di Provinsi NTT pada tahun 2008 sebesar 25.65% dan menurun
menjadi 20.03% pada tahun 2013 seperti yang disajikan Tabel 2. Tingkat

3

kemiskinan tersebut masih tergolong tinggi apabila dibandingkan dengan provinsi
lain di Indonesia yakni Provinsi NTT masih berada pada peringkat keempat
provinsi termiskin di Indonesia sepanjang tahun 2008 hingga 2013. Angka
kemiskinan NTT juga lebih tinggi dari rata-rata angka nasional selama kurun
waktu 2008-2013, meskipun ada kecenderungan menurun.
Tabel 2 Tingkat kemiskinan di Indonesia dan NTT tahun 2008-2013 (%)
Tahun

Indonesia

NTT

2008
2009
2010
2011
2012
2013

15.42
14.15
13.33
12.49
11.96
11.37

25.65
23.31
23.03
21.23
20.88
20.03

Peringkat
termiskina
4
4
4
4
4
4

Keterangan: a dibandingkan dengan 33 provinsi di Indonesia
Sumber: BPS (2008-2013)
Pola konsumsi dapat mengalami perubahan yang disebabkan oleh faktor
internal maupun faktor eksternal. Pola konsumsi rumah tangga miskin sangat
dipengaruhi oleh faktor internal yaitu adanya perubahan harga dan pendapatan.
Teorema Engel menyatakan pangsa pengeluaran pangan akan menurun seiring
dengan peningkatan pendapatan. Pendapatan yang meningkat berarti daya beli
juga meningkat sehingga mempengaruhi perubahan pola konsumsi baik konsumsi
pangan maupun nonpangan. Peningkatan pendapatan memberikan kesempatan
besar untuk asupan makanan yang lebih banyak dan kualitas makanan yang lebih
baik. Dari hasil penelitian di 114 negara di dunia didapatkan bahwa negara miskin
menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan seperti
makanan, minuman dan tembakau serta lebih responsif terhadap perubahan harga
dan pendapatan. Penyesuaian besar terhadap pola konsumsi pangan dilakukan
ketika terjadi perubahan harga dan pendapatan (Seale et al. 2003; Sengul dan
Tuncer 2005; Haq et al. 2008).
Berdasarkan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan
keanekaragaman konsumsi pangan lokal di NTT, maka pola konsumsi berbasis
pangan pokok lokal perlu diubah secara bertahap dengan mempertimbangkan
ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat. Hal ini sesuai
dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program
Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan ketahanan
pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem produksi juga
subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suryana 2001).
Pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal dibuktikan pada penelitian
Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2005
mayoritas masyarakat, di kota atau desa, kaya maupun miskin memiliki satu
pangan pokok yaitu beras. Konsumsi pangan masyarakat belum beragam dan
seimbang sehingga keanekaraagaman konsumsi dan gizi yang sesuai dengan
kaidah nutrisi seimbang belum terwujud. BPS NTT (2010) menyebutkan bahwa

4

persentase pengeluaran rumah tangga terhadap permintaan beras di Provinsi NTT
mencapai kisaran 33% dengan tren yang meningkat.
Perumusan Masalah
Konsumsi pangan merupakan hal penting dalam menunjang pemenuhan gizi
masyarakat maupun rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga miskin
dipengaruhi berbagai faktor antara lain harga, pendapatan, dan karakteristik sosial
demografi. Pola konsumsi rumah tangga miskin menggambarkan alokasi
pengeluaran untuk pangan dan nonpangan pada rumah tangga miskin. Konsumsi
pangan di rumah tangga miskin lebih besar dibandingkan dengan konsumsi non
pangan. Kebutuhan akan konsumsi non pangan kadang terpinggirkan guna
memenuhi konsumsi pangan.
Sumarwan dan Sukandar (1998) menyatakan bahwa besar kecilnya
pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu
rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola
konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat
di wilayah perdesaan dan perkotaan berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan
aksesibilitas suatu wilayah.
Respon perubahan konsumsi pangan akibat perubahan harga, pendapatan,
dan jumlah anggota rumah tangga sebagai karakteristik sosial demografi dapat
dilihat dari besaran elastisitas. Ukuran elastisitas ini meliputi elastisitas harga
sendiri, elastisitas harga silang, elastisitas pendapatan (pengeluaran) maupun
elastisitas jumlah anggota rumah tangga merupakan ukuran yang penting untuk
melihat pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi
fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana gambaran pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT?
2.
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi pola konsumsi pangan rumah
tangga miskin di NTT?
3.
Bagaimana respon perubahan konsumsi pangan rumah tangga miskin akibat
perubahan harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi di NTT?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1.
Mendeskripsikan pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di NTT;
2.
Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan
rumah tangga miskin di NTT;
3.
Menganalisis perubahan konsumsi pangan rumah tangga miskin akibat
perubahan harga, pendapatan, dan karakteristik sosial demografi di NTT.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan pemerintah dalam
membantu perencanaan dan evaluasi penyediaan pangan bagi pemenuhan
kebutuhan konsumsi suatu daerah. Bagi pembaca diharapkan dapat digunakan
untuk menambah wawasan dan sebagai salah satu bahan acuan untuk melakukan

5

penelitian lebih lanjut. Selanjutnya bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana
untuk mendalami ilmu di bidang ekonomi terkait konsumsi rumah tangga miskin.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Kemiskinan memiliki pengertian yang luas. Secara umum definisi
kemiskinan meliputi kemiskinan secara relatif dan absolut. Kemiskinan relatif
merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan (Damanhuri 2010). Sedangkan Ravallion
(1992) menyatakan kemiskinan relatif mengacu pada posisi tingkat pendapatan
seseorang atau rumah tangga dibandingkan dengan pendapatan rata-rata di suatu
negara. Adapun kemiskinan absolut merupakan kondisi miskin yang ditentukan
berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan dasar minimum seperti
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk
bisa hidup dan bekerja dengan menghitung jumlah penduduk miskin yang berada
di bawah garis kemiskinan (BPS 2009a).
Chambers (1995) menegaskan bahwa kemiskinan absolut merupakan
kondisi seseorang yang mengalami kekurangan akan kebutuhan fisik, aset, dan
pendapatan untuk dapat hidup sejahtera. Todaro dan Smith (2006) menyatakan
kemiskinan absolut adalah kondisi seseorang yang pendapatannya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan minimum. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan
absolut sebagai orang yang pendapatannya di bawah US$ 1 perhari.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam mengukur kemiskinan menggunakan
konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
Kebutuhan dasar ini merupakan kebutuhan minimum seseorang dapat hidup
dengan layak. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Berdasarkan konsep ini,
penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita
di bawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan terdiri dari dua komponen yaitu garis kemiskinan
makanan dan garis kemiskinan non makanan dan penghitungannya dilakukan
secara terpisah antara daerah perkotaan dan perdesaan. Garis kemiskinan makanan
adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan
nilai 2100 kilokalori perkapita perhari. Sedangkan garis kemiskinan nonmakanan
adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan.
Pola Konsumsi Rumah Tangga
Pola konsumsi merupakan suatu cara mengkombinasikan komoditas unsur
konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Permintaan/konsumsi
pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang/jasa
tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah
tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang
dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah.

6

Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini
menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang.
Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat
konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi
yang berbeda antar rumah tangga.
Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan
menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan
mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar
bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait
ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal.
Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi NTT mencatat skor Pola Pangan
Harapan (PPH) Provinsi NTT mencapai 67.8 (menduduki peringkat 32 dari 33
provinsi) pada tahun 2012. Capaian ini mengindikasikan konsumsi pangan
masyarakat NTT belum beragam dan seimbang menurut asupan gizi yang
dianjurkan. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan
kemandirian pangan tinggi mempunyai skor PPH yang lebih baik dibandingkan
lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan
kemandirian pangan daerah.
Rumah tangga didefinisikan sebagai seorang atau sekelompok orang yang
mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus, dan
biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Rumah tangga umumnya
terdiri dari bapak, ibu, dan anak disebut sebagai rumah tangga biasa. Anggota
rumah tangga adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu rumah
tangga (BPS 2009b).
Setiap anggota rumah tangga membutuhkan berbagai komoditas baik
makanan maupun nonmakanan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan kata
lain, setiap anggota rumah tangga akan mengkonsumsi berbagai komoditas
makanan maupun nonmakanan setiap hari. Hal ini mendorong terjadinya aktivitas
ekonomi berupa permintaan dan penawaran suatu barang atau jasa.
Permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk
mengkonsumsi barang atau jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan
terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki.
Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang
yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang
dikehendaki berubah maka jumlah permintaan terhadap barang tersebut juga
berubah. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat
tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola
konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.
Tinjauan Teoritis
Teori Permintaan
Teori permintaan menjelaskan sifat pemintaan konsumen terhadap suatu
komoditas dan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga.
Permintaan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain harga barang
itu sendiri, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera, jumlah penduduk,
dan ekspektasi keadaan di masa mendatang (Nicholson 1995).

7

Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan
memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau
anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi
sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen V
yang disesuaikan dengan kendala anggaran ߣ dituliskan secara matematis sebagai
berikut:
ܸ௜ = ݂(‫ݍ‬ଵ ‫ݍ‬ଶ … . ‫ݍ‬௡ ) + ߣ(‫ ݕ‬− ∑௡௜ୀଵ ‫݌‬௜ ‫ݍ‬௜ ) ,
(2.1)
dengan y adalah pendapatan (tetap), ‫݌‬௜ adalah harga barang ke-i, qi adalah kuantitas
barang ke-i, dan λ adalah marjinal utilitas dari pendapatan.
Fungsi permintaan ini disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian
(Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand
function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan
komoditas oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditas
tersebut, harga komoditas lain, dan pendapatan. Bentuk yang lain adalah fungsi
permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi
pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan).
Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan
terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan
pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan
pendapatan di mana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi
yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah
(Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum
dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of
Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua
menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n
barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang
komoditas.
Dalam model permintaan untuk n komoditas maka elastisitas yang
dihasilkan harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980):
1. Homogenitas
Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah
dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak
akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang
homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya
adalah sebagai berikut:
(2.2)
‫ܧ‬௜௜ + ∑௡௝ୀଵ ‫ܧ‬௜௝ + ‫ܧ‬௬ = 0݅, ݆, ‫ = ݕ‬1,2, … , ݊ ,
dengan Eii adalah elastisitas harga sendiri, Eij adalah elastisitas harga silang
dan Ey adalah elastisitas pendapatan.
2. Agregasi Cournot
Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri
dan elastisitas harga silang sebuah komoditas dengan penimbang rata-rata
pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total
pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut,
sebagai berikut :
∑௡௜ୀଵ ‫ݓ‬
(2.3)
ෝ ௜ ‫ܧ‬௜௝ = −‫ݓ‬
ෝ௝ ݅, ݆ = 1,2, … , ݊ ,
dengan ‫ݓ‬
ෝ ௜ adalah penduga proporsi pengeluaran komoditas ke-i terhadap total
pengeluaran, ‫ݓ‬
ෝ௝ adalah penduga proporsi pengeluaran komoditas ke-j terhadap
total pengeluaran, Eii adalah elastisitas harga sendiri, dan Eij adalah elastisitas

8

harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand
Function) maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan
dengan rumus :
∑௡௜ୀଵ ‫ݓ‬
ෝ ௜ ξ ௜௝ = 0 ݅, ݆ = 1,2, … , ݊ ,
(2.4)
di mana ξ ௜௝ adalah elatisitas harga silang terkompensasi.
3. Agregasi Engel
Agregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan
berbagai komoditas yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas
pendapatan tertimbang semua komoditas yang dibelanjakan konsumen sama
dengan satu. Dinotasikan dengan rumus:
∑௡௜ୀଵ ‫ݓ‬
ෝ ௜ ‫ܧ‬௜௬ = 1 ,
(2.5)
di mana ‫ܧ‬௜௬ adalah elastisitas pendapatan.
4. Negativitas dan Slutsky Condition
Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak
perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan
pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa
nilai elastisitas harga sendiri dari uncompensated demand akan sama nilainya
dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan
elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran
komoditas ke-i. Persamaan Slutsky dirumuskan sebagai berikut:
‫ܧ‬௜௜ = ∑୬୧ୀଵ ξ ௜௜ −  ‫ݓ‬
ෝ ௜ ‫ܧ‬௜௬ ݅ = 1,2, … , ݊ ,
(2.6)
di mana Eii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ ௜௜ adalah
elatisitas harga sendiri compensated, dan ‫ܧ‬௜௬ adalah elastisitas pendapatan.
Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat
negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutsky menyatakan bahwa apabila
pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas
ke-j terhadap permintaan komoditas ke-i sama dengan pengaruh substitusi
akibat perubahan harga komoditas ke-i terhadap permintaan komoditas ke-j.
Efek substitusi dari komoditas ke-i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi
simetri dapat ditulis sebagai berikut:
‫ݓ‬
ෝ ௜ (‫ܧ‬௜௝ + ‫ݓ‬
ෝ௝ ‫ܧ‬௜௬ ) = ‫ݓ‬
ෝ௝ (‫ܧ‬௝௜ + ‫ݓ‬
ෝ ௜ ‫ܧ‬௝௬ ).
(2.7)
Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu
variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain.
Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang
diminta akibat perubahan satu persen variabel yang memengaruhinya, sementara
kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah (ceteris paribus). Jika dilihat dari
penyebab perubahan permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas
harga sendiri, elastisitas harga silang, dan elastisitas pendapatan (Salvatore 1997).
Dalam penelitian ini ditambahkan elastisitas jumlah anggota rumah tangga
sebagai pendekatan variabel sosial demografi.
Elastisitas harga sendiri merupakan persentase perubahan jumlah barang
yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hukum
permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta.
Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan jumlah
barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga sendiri mempunyai tanda negatif.
Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi beberapa sifat antara lain:
nilai |ε| < 1 (barang inelastis), |ε| = 1 (barang elastis unit), dan |ε| > 1 (barang

9

elastis). Elastisitas harga silang menunjukkan persentase perubahan jumlah barang
yang diminta disebabkan oleh perubahan harga barang lain. Nilai elastisitas harga
silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, yakni memiliki sifat
barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti
(substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada
kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas harga silangnya = 0.
Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen
terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai
elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang
apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai
elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0 (barang tersebut termasuk barang
inferior), 0 < ε 1
(barang tersebut termasuk barang mewah). Elastisitas jumlah anggota rumah
tangga merupakan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas
akibat adanya perubahan jumlah anggota rumah tangga sebagai salah satu
karakteristik sosial demografi.
.
Efek Substitusi dan Pendapatan
Pengaruh perubahan harga terhadap permintaan akan menimbulkan dua efek,
yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi
barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang
yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi menyebabkan jumlah barang yang
dibeli akan lebih banyak sehingga utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva
indiferen dan efek pendapatan menyebabkan jumlah barang yang dibeli lebih
banyak karena harga menurun sehingga meningkatkan daya beli. Sehingga utilitas
konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi (Nicholson 1995).
Komoditas B

E2

Y2
E1

Y1

F

D

U2
U1

X1

C

Efek
Substitusi

X2

Komoditas A

Efek
Pendapatan

Efek Total

Sumber: Nicholson (1995)
Gambar 1 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga komoditas A

10

Gambar 1 memperlihatkan bahwa awalnya konsumen memperoleh utilitas
maksimum dengan mengkonsumsi komoditas A sebanyak X1 dan komoditas B
sebanyak Y1. Saat terjadi penurunan harga komoditas A sementara harga
komoditas B tetap, maka terjadi pergeseran utilitas (E1→F) di mana konsumen
akan mengkonsumsi lebih banyak komoditas A yaitu di titik C dan mengurangi
konsumsi komoditas B (Y1→D). Efek ini disebut efek substitusi di mana terjadi
penggantian/substitusi antara komoditas A dan komoditas B.
Penurunan harga komoditas A akan menyebabkan seolah-olah pendapatan
konsumen meningkat, sehingga konsumen mampu membeli lebih banyak
komoditas dan mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi. Konsumsi komoditas A
dan komoditas B masing-masing meningkat menjadi X1 dan X2. Efek inilah yang
disebut dengan efek pendapatan. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek
total permintaan suatu komoditas karena terjadi perubahan harga.
Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan
tipe/jenis komoditas. Efek pendapatan mampu menjelaskan sifat suatu komoditas
sebagai barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek
pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila
efek pendapatan negatif lebih besar daripada nilai absolut dari efek substitusi
maka barang ini disebut barang giffen.
Dua komoditas dikatakan bersifat substitusi bila peningkatan harga salah
satu komoditas menyebabkan peningkatan permintaan komoditas lainnya.
Sedangkan kedua komoditas dikatakan bersifat komplementer bila peningkatan
harga salah satu komoditas mengakibatkan penurunan permintaan komoditas
lainnya.
Fungsi Permintaan dengan Variabel Sosial Demografi
Besarnya konsumsi komoditas selain dipengaruhi oleh harga dan
pendapatan, juga dipengaruhi oleh karakteristik sosial demografi. Perbedaan
karakteristik sosial demografi dapat menyebabkan perbedaan preferensi terhadap
suatu komoditas yang berakibat pada perbedaan pola konsumsi. Karakteristik
sosial demografi di antaranya tingkat pendidikan kepala rumah tangga, lokasi
tempat tinggal, jumlah anggota rumah tangga, dan sebagainya.
Kahar (2010) menyimpulkan adanya perbedaan pola konsumsi antara rumah
tangga yang tinggal di perdesaan dengan rumah tangga yang tinggal di perkotaan.
Penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa semakin besar jumlah anggota
rumah tangga dan semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, maka
jumlah permintaan terhadap komoditas ikan/daging/telur/susu di daerah perkotaan
cenderung lebih tinggi dibandingkan di perdesaan.
Triana (2011) juga menyimpulkan bahwa karakteristik sosial demografi
seperti jumlah anggota rumah tangga, tingkat pendidikan kepala rumah tangga dan
wilayah tempat tinggal berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga miskin.
Sementara itu, rumah tangga dengan pendidikan kepala rumah tangga yang lebih
tinggi memiliki total pengeluaran yang lebih tinggi pula.
Tinjauan Empiris
Sengul dan Tuncer (2005) menggunakan model Linear ApproximationAlmost Ideal Demand System (LA-AIDS) meneliti tentang fungsi permintaan

11

makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan
kesimpulan bahwa respon permintaan antarkelompok makanan bervariasi antara
rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditas roti, padipadian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak
sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Ketersediaan pangan pada
rumah tangga sangat miskin sangat responsif terhadap perubahan harga dan
pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin.
Seale et al. (2003) menggunakan model LA-AIDS meneliti pola konsumsi
makanan di 114 negara meliputi negara berpendapatan rendah, sedang, dan tinggi.
Hasil penelitiannya adalah negara berpendapatan rendah lebih responsif terhadap
perubahan harga dan pendapatan. Negara-negara berpenghasilan rendah/miskin
menghabiskan sebagian besar anggarannya pada kebutuhan makanan terutama
makanan pokok (sereal).
Ariningsih (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang
perbedaan dan besarnya konsumsi pangan hewani seperti telur, daging antara
daerah perkotaan dan perdesaan di Jawa. Hasil penelitian memberikan kesimpulan
bahwa pangsa pengeluaran untuk pangan sumber protein hewani sangat rendah
tetapi sangat tinggi untuk pangan sumber protein nabati. Pola pengeluaran rumah
tangga untuk komoditas telur, daging, ikan pada daerah perkotaan jauh lebih
tinggi dibandingkan daerah perdesaan.
Busch et al. (2004) menggunakan model LA-AIDS meneliti pengeluaran
tembakau terhadap pola konsumsi rumah tangga di Amerika Serikat. Hasil
penelitiannya adalah variabel harga rokok berpengaruh positif terhadap
permintaan makanan pada rumah tangga, untuk beberapa amatan berpengaruh
negatif pada pengeluaran untuk pakaian dan perumahan.
Kerangka Pikir
Kemiskinan merupakan indikator yang terkait dengan kemampuan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rumah tangga miskin
merupakan rumah tangga dengan pendapatan perkapita perbulan lebih rendah dari
standar kebutuhan minimum yang digambarkan dengan garis kemiskinan.
Rumah tangga miskin dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari memiliki
perilaku atau kebiasaan konsumsi yang disebut dengan pola konsumsi. Pola
konsumsi rumah tangga miskin terhadap suatu komoditas dipengaruhi oleh
berbagai faktor di antaranya harga komoditas, harga komoditas lainnya, besarnya
pendapatan serta karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin seperti
pendidikan kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, dan
lokasi/wilayah tempat tinggal rumah tangga miskin tersebut.
Pola konsumsi rumah tangga miskin akan dianalisis dengan menggunakan
analisis deskriptif berupa tabel atau grafik sedangkan pengaruh variabel-variabel
harga, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan kepala rumah tangga, jumlah
anggota rumah tangga dan lokasi/wilayah tempat tinggal rumah tangga terhadap
pola konsumsi rumah tangga miskin akan diestimasi dengan menggunakan model
LA-AIDS seperti yang disajikan pada Gambar 2.

12

Harga komoditas
Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin
Harga komoditas
lain
Analisis
Deskriptif

Fungsi Permintaan
(LA-AIDS)

Pendapatan

Jumlah Anggota
Rumah Tangga
Lokasi/Wilayah

Pendidikan
Kepala Rumah

Implikasi
Kebijakan

Gambar 2 Alur kerangka pikir
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori dan literatur, dapat disusun hipotesis penelitian
sebagai berikut:
1.
Harga dan pendapatan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga miskin
di NTT;
2.
Terdapat perbedaan pola konsumsi antara rumah tangga miskin yang
tinggal di daerah perdesaan dengan perkotaan di NTT;
3.
Tingkat pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi pola konsumsi
rumah tangga miskin di NTT;
4.
Jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga
miskin di NTT.

13

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari Survei Sosial
Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2010 periode Maret. Data yang digunakan
adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga dan karakteristiknya dengan cakupan
Provinsi NTT. Jumlah sampel rumah tangga Susenas di Provinsi Nusa Tenggara
Timur dari tahun 2008-2010 masing-masing sebesar 1656, 1674, dan 1740 rumah
tangga.
Konsep kemiskinan diukur dengan menggunakan garis kemiskinan menurut
wilayah perdesaan maupun perkotaan di Provinsi NTT yang ditentukan
berdasarkan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach).
BPS (2011) mencatat besaran garis kemiskinan perdesaan di Provinsi NTT pada
tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut sebesar 126746, 142478, dan 160743
rupiah perkapita perbulan, sedangkan garis kemiskinan perkotaan di Provinsi NTT
pada tahun 2008, 2009, dan 2010 berturut-turut sebesar 199006, 218796, dan
241807 rupiah perkapita perbulan seperti yang disajikan Tabel 3.
Tabel 3 Garis kemiskinan menurut wilayah tempat tinggal di Provinsi NTT
tahun 2008-2010 (rupiah perkapita perbulan)
Tahun
2008
2009
2010

Garis kemiskinan
Perdesaan
126 746
142 478
160 743

Perkotaan
199 006
218 796
241 807

Sumber: BPS (2011)
Proses pengkategorian sampel rumah tangga Susenas menjadi rumah tangga
miskin dan rumah tangga tidak miskin dengan cara sebagai berikut:
1.
Membuat garis kemiskinan baik garis kemiskinan perdesaan maupun garis
kemiskinan perkotaan;
2.
Menghitung total pengeluaran rumah tangga sampel Susenas sebagai proksi
terhadap tingkat pendapatan rumah tangga;
3.
Membagi total pengeluaran rumah tangga dengan jumlah anggota rumah
tangga untuk mendapatkan pengeluaran perkapita;
4.
Mengkategorikan rumah tangga yang memiliki pengeluaran perkapita lebih
kecil dari garis kemiskinan menjadi rumah tangga miskin sedangkan rumah
tangga dengan pengeluaran perkapita di atas garis kemiskinan disebut
rumah tangga tidak miskin;
5.
Menjadikan rumah tangga miskin menjadi unit analisis.
Berdasarkan langkah-langkah di atas, dari 5070 rumah tangga sampel
Susenas tahun 2008-2010 didapatkan sebanyak 988 rumah tangga sampel
merupakan rumah tangga miskin yang terdiri dari 353 sampel rumah tangga

14

miskin di tahun 2008, 296 rumah tangga miskin tahun 2009 dan 339 rumah tangga
miskin di tahun 2010 seperti yang disajikan Tabel 4.
Tabel 4 Pembagian rumah tangga sampel tahun 2008-2010
Jumlah sampel

2008

2009

2010

Total

Rumah tangga
1 656
1 674
Rumah tangga
353
296
miskin
Sumber: Susenas Panel (2008-2010), diolah.

1 740

5 070

339

988

Susenas mengumpulkan data kor dan data modul konsumsi/pengeluaran dan
pendapatan rumah tangga. Data yang dikumpulkan dalam kor antara lain
keterangan anggota rumah tangga, kesehatan, pendidikan, perumahan, dan sosial
ekonomi lainnya. Sedangkan susenas modul konsumsi berisi tentang kuantitas dan
nilai konsumsi makanan yang mencakup 215 komoditas dengan 14 subkelompok
komoditas. Ke-14 subkelompok komoditas tersebut adalah: padi-padian, umbiumbian, ikan/udang/kerang, daging, telur dan susu, sayur-sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman, bumbu-bumbuan,
konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih.
Pengeluaran/ko