Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit).

(1)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)

SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES

PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : NUZUL FADLY

C34104049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2009

Nuzul Fadly C34104049


(3)

RINGKASAN

NUZUL FADLY. C34104049. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit). Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.

Ikan tuna merupakan komoditas ekspor kedua terbesar Indonesia setelah udang. Industri tuna dalam perkembangannya masih memiliki banyak permasalahan, antara lain semakin ketatnya persaingan dan merebaknya isu keamanan pangan, yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat. Dampak dari permasalahan ini adalah timbulnya hambatan ekspor produk ikan tuna Indonesia di pasaran dunia terutama Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya suatu upaya pendekatan risk assessment sesuai rekomendasi Food and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 1995 untuk menganalisis bahaya peningkatan kadar histamin pada tuna agar dapat dilakukan manajemen resikonya.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses penanganan ikan tuna saat pembongkaran (transit) sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan, tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi/transportasi) menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, serta tahap asesmen risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor.

Asesmen risiko bahaya histamin dilakukan dengan menggunakan konsep risk assessment secara semi kuantitatif yang terdiri dari hazard identification, exposure assessment atau dose respone, hazard characterization serta risk characterization dari risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor. Untuk mendukung hasil evaluasi risiko dilakukan analisis kimia kadar histamin dengan metode spektrofluorometri, dan analisis mikrobiologi menggunakan uji Total Plate Count (TPC) dan uji Niven agar (untuk mengetahui jumlah bakteri penghasil histamin)

Hasil evaluasi bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi (grade A memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm dan grade D 2,52 ppm). Perbedaan jumlah TPC seiring dengan perbedaan kualitas mutu ikan tuna. Total mikroba ikan grade A adalah 1,7 x102 CFU/ml, grade B sebesar 2,3 x102 CFU/ml dan grade C dan D adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 21,1 x102 CFU/ml. Jumlah bakteri penghasil histamin terendah didapatkan dari Ikan tuna dengan kualitas grade A yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 1,9 x102 CFU/ml dan 1,5x102 CFU/ml.

Hasil asesmen risiko bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin berdasarkan spreadsheet tool ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi.


(4)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)

SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES

PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Oleh : NUZUL FADLY

C34104049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(5)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Judul Skripsi :

Nama Mahasiswa : Nuzul Fadly Nomor pokok : C34104049

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin M.S NIP. 131 578 851 NIP. 130 422 706

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799


(6)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ayah Muhammad Hasan dan ibu Siti Mulyana tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin M.S atas bimbingan dan saran membangun yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih M.S atas kritik dan saran yang telah diberikan.

4. Bapak Dr. Ir. Djoko Santoso, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.

5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran, saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis.

6. Kakakku Fahmi Muhammad dan adikku Iksanudin tercinta atas kasih sayang yang diberikan serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 7. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan dan

Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan ibu Sri Hartati yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Karyawan LPPMHP : Mba Helma, mba Ayu, mas Adi, mas Kukuh, mas Ucup, mas Pur, mas Paijo, pak Kur, bu Yuli, Rifa, Bella, dll.

9. Ardilla Prameswarie Rahardjo, S.Pi. Terimakasih untuk dukungan moral, perhatian, cintakasih, senyuman, kebaikan dan kesabaran yang senantiasa diberikan untuk penulis.


(7)

10.Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis

11.Anang, Dani, Wisnu yang telah menjadi teman kostan terbaik.

12.Teman-teman seperjuangan penelitian dan diver: Dhias, Ima, Vera, Bayhaqi, Boby, Ika, Bojong, Wie, dan Deslina.

13.Teman-teman THP 41: Eka, Estrid, Ika, Nia, Serel, Ulfah, Yanti, Amel, Enif, Iis, Ranti, Tomi, Opick, Glory, Bojong, Sait, Yudha, Rijan, Andika dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa.

14.Anak-anak setia Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, An’im, Yugha, Hangga, Alif, Gilang, Bayhaqi, Windhyka, Tomi‘40).

15.Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2009


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Hasan dan Ibu Siti Mulyana. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN Parung IV Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor (1998-2001) dan SMA Negeri 5 Bogor (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM C), dan Fisheries Processing Club (FPC) dari 2006 hingga 2007, serta aktif dalam kegiatan kepanitiaan, diantaranya sebagai ketua acara masa perkenalan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun 2007. Bidang akademik, penulis perkuat dengan menjadi asisten dosen mata kuliah Diversifikasi Hasil Perikanan dan Teknologi Pengolahan Limbah Hasil Perikanan (2008). Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah Malang (2006).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu

Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) dibimbing oleh Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ... 5

2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna ... 5

2.3. Kemunduran Mutu Ikan ... 7

2.3.1. Perubahan pre-rigor ... 7

2.3.2. Perubahan rigor mortis ... 8

2.3.3. Perubahan karena aktivitas enzim ... 9

2.3.4. Perubahan karena aktivitas bakteri ... 9

2.4. Penanganan Ikan ... 12

2.5. Histamin. ... 13

2.6. Bakteri Pembentuk Histamin. ... 16

2.7. Sanitasi dan Higiene ... 18

2.8. Risk Assessment ... 19

3. METODOLOGI ... 22

3.1. Waktu dan Tempat ... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 22

3.4. Metode Penelitian ... 22

3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan ... 23

3.4.2. Tahap penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar... 23

3.4.3. Tahap evaluasi risiko histamin ... 23

a) Hazard identification ... 24

b) Exposure assessment ... 25

c) Hazard characterization ... 25


(10)

a) Kadar histamin berbagai

kualitas mutu tuna ... 51

b) Hasil pengujian kadar histamin pada LPPMHP ... 53

c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu ... 54

3.5. Pengujian sampel... ... 26

3.5.1. Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) ... 26

3.5.2. Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991) ... 27

3.5.3. Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991) ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit Pembongkaran ... 29

4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene, dan Kelayakan Dasar ... 37

4.2.1. Penilaian kapal pembekuan selama proses pembongkaran ... 38

4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan ... 41

4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan ... 45

4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahap Pembongkaran, Transit, dan Distribusi ke Perusahaan ... 47

4.3.1. Hazard identification ... 47

4.3.2. Exposure assessment ... 50

4.3.2.1. Informasi kandungan histamin ikan tuna hasil tangkapan ... 50

1. Total plate count ... 54

2. Bakteri penghasil histamin ... 55

4.3.3. Hazard characterization ... 59

4.3.4. Risk characterization ... 60

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(11)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)

SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES

PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

Oleh : NUZUL FADLY

C34104049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(12)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2009

Nuzul Fadly C34104049


(13)

RINGKASAN

NUZUL FADLY. C34104049. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit). Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.

Ikan tuna merupakan komoditas ekspor kedua terbesar Indonesia setelah udang. Industri tuna dalam perkembangannya masih memiliki banyak permasalahan, antara lain semakin ketatnya persaingan dan merebaknya isu keamanan pangan, yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat. Dampak dari permasalahan ini adalah timbulnya hambatan ekspor produk ikan tuna Indonesia di pasaran dunia terutama Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya suatu upaya pendekatan risk assessment sesuai rekomendasi Food and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 1995 untuk menganalisis bahaya peningkatan kadar histamin pada tuna agar dapat dilakukan manajemen resikonya.

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses penanganan ikan tuna saat pembongkaran (transit) sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan, tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi/transportasi) menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, serta tahap asesmen risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor.

Asesmen risiko bahaya histamin dilakukan dengan menggunakan konsep risk assessment secara semi kuantitatif yang terdiri dari hazard identification, exposure assessment atau dose respone, hazard characterization serta risk characterization dari risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor. Untuk mendukung hasil evaluasi risiko dilakukan analisis kimia kadar histamin dengan metode spektrofluorometri, dan analisis mikrobiologi menggunakan uji Total Plate Count (TPC) dan uji Niven agar (untuk mengetahui jumlah bakteri penghasil histamin)

Hasil evaluasi bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi (grade A memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm dan grade D 2,52 ppm). Perbedaan jumlah TPC seiring dengan perbedaan kualitas mutu ikan tuna. Total mikroba ikan grade A adalah 1,7 x102 CFU/ml, grade B sebesar 2,3 x102 CFU/ml dan grade C dan D adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 21,1 x102 CFU/ml. Jumlah bakteri penghasil histamin terendah didapatkan dari Ikan tuna dengan kualitas grade A yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 1,9 x102 CFU/ml dan 1,5x102 CFU/ml.

Hasil asesmen risiko bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin berdasarkan spreadsheet tool ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi.


(14)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.)

SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES

PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Oleh : NUZUL FADLY

C34104049

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2009


(15)

ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)

Judul Skripsi :

Nama Mahasiswa : Nuzul Fadly Nomor pokok : C34104049

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ir. Wini Trilaksani, M.Sc Ir. Winarti Zahiruddin M.S NIP. 131 578 851 NIP. 130 422 706

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799


(16)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) ini.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Ayah Muhammad Hasan dan ibu Siti Mulyana tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis.

2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin M.S atas bimbingan dan saran membangun yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih M.S atas kritik dan saran yang telah diberikan.

4. Bapak Dr. Ir. Djoko Santoso, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis.

5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran, saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis.

6. Kakakku Fahmi Muhammad dan adikku Iksanudin tercinta atas kasih sayang yang diberikan serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 7. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan dan

Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan ibu Sri Hartati yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Karyawan LPPMHP : Mba Helma, mba Ayu, mas Adi, mas Kukuh, mas Ucup, mas Pur, mas Paijo, pak Kur, bu Yuli, Rifa, Bella, dll.

9. Ardilla Prameswarie Rahardjo, S.Pi. Terimakasih untuk dukungan moral, perhatian, cintakasih, senyuman, kebaikan dan kesabaran yang senantiasa diberikan untuk penulis.


(17)

10.Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis

11.Anang, Dani, Wisnu yang telah menjadi teman kostan terbaik.

12.Teman-teman seperjuangan penelitian dan diver: Dhias, Ima, Vera, Bayhaqi, Boby, Ika, Bojong, Wie, dan Deslina.

13.Teman-teman THP 41: Eka, Estrid, Ika, Nia, Serel, Ulfah, Yanti, Amel, Enif, Iis, Ranti, Tomi, Opick, Glory, Bojong, Sait, Yudha, Rijan, Andika dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa.

14.Anak-anak setia Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, An’im, Yugha, Hangga, Alif, Gilang, Bayhaqi, Windhyka, Tomi‘40).

15.Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Bogor, Januari 2009


(18)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Hasan dan Ibu Siti Mulyana. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN Parung IV Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor (1998-2001) dan SMA Negeri 5 Bogor (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM C), dan Fisheries Processing Club (FPC) dari 2006 hingga 2007, serta aktif dalam kegiatan kepanitiaan, diantaranya sebagai ketua acara masa perkenalan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun 2007. Bidang akademik, penulis perkuat dengan menjadi asisten dosen mata kuliah Diversifikasi Hasil Perikanan dan Teknologi Pengolahan Limbah Hasil Perikanan (2008). Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah Malang (2006).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu

Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) dibimbing oleh Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS.


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ... 5

2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna ... 5

2.3. Kemunduran Mutu Ikan ... 7

2.3.1. Perubahan pre-rigor ... 7

2.3.2. Perubahan rigor mortis ... 8

2.3.3. Perubahan karena aktivitas enzim ... 9

2.3.4. Perubahan karena aktivitas bakteri ... 9

2.4. Penanganan Ikan ... 12

2.5. Histamin. ... 13

2.6. Bakteri Pembentuk Histamin. ... 16

2.7. Sanitasi dan Higiene ... 18

2.8. Risk Assessment ... 19

3. METODOLOGI ... 22

3.1. Waktu dan Tempat ... 22

3.2. Alat dan Bahan ... 22

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 22

3.4. Metode Penelitian ... 22

3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan ... 23

3.4.2. Tahap penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar... 23

3.4.3. Tahap evaluasi risiko histamin ... 23

a) Hazard identification ... 24

b) Exposure assessment ... 25

c) Hazard characterization ... 25


(20)

a) Kadar histamin berbagai

kualitas mutu tuna ... 51

b) Hasil pengujian kadar histamin pada LPPMHP ... 53

c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu ... 54

3.5. Pengujian sampel... ... 26

3.5.1. Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) ... 26

3.5.2. Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991) ... 27

3.5.3. Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991) ... 28

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit Pembongkaran ... 29

4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene, dan Kelayakan Dasar ... 37

4.2.1. Penilaian kapal pembekuan selama proses pembongkaran ... 38

4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan ... 41

4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan ... 45

4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahap Pembongkaran, Transit, dan Distribusi ke Perusahaan ... 47

4.3.1. Hazard identification ... 47

4.3.2. Exposure assessment ... 50

4.3.2.1. Informasi kandungan histamin ikan tuna hasil tangkapan ... 50

1. Total plate count ... 54

2. Bakteri penghasil histamin ... 55

4.3.3. Hazard characterization ... 59

4.3.4. Risk characterization ... 60

5. KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

5.1. Kesimpulan ... 64

5.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(21)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Karakteristik ikan segar secara organoleptik ... 7 2. Parameter tingkat kesegaran ikan berdasarkan karakteristik

sensori ... 10 3. Kadar histamin pada setiap bagian tubuh ikan tuna ... 16 4. Dosis dalam tubuh histamin dari ikan tuna segar berbagai

kualitas mutu ... 59 5. Penilaian risiko bahaya histamin secara semi kuantitatif pada


(22)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Jenis-jenis ikan tuna ... 6 2. Skema proses kemunduran mutu ikan ... 11 3. Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin ... 14 4. Perbedaan kandungan histamin pada bagian tubuh ikan tuna ... 15 5. Skema risk assessment ... 24 6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor 30 7. Daging ikan tuna grade A ... 32 8. Daging ikan tuna grade B ... 33 9. Daging ikan tuna grade C ... 34 10. Daging ikan tuna grade D ... 34 11. Tahap penimbangan ikan tuna ... 36 12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es... 36 13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran ... 38 14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan ... 40 15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup ... 42 16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna .... . 43 17. Kondisi tempat transit ikan tuna... 44 18. Kandungan histamin berbagai tingkat mutu tuna ... 51 19. Grafik nilai tengah histamin tahun 2008 ... 54 20. Histogram nilai log TPC dari ikan tuna dari berbagai

kualitas mutu ... 55 21. Histogram nilai log Nivens dari ikan tuna dari berbagai kualitas

mutu ... 56 22. Koloni bakteri penghasil histamin ... 57 23. Histogram nilai perbandingan log TPC dan log Nivens dari


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Daftar penilaian higiene tempat pembongkaran (transit) ... 69 2. Daftar penilaian distribusi/transportasi ... 71 3. Data kandungan histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ... 72 4. Contoh perhitungan kadar histamin ... 72 5. Foto pengujian TPC ... 74 6. Foto pengujian mikroba penghasil histamin ... 78


(24)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Produksi tuna Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2002 sebesar 148.439 ton hingga tahun 2005 mencapai 183.144 ton (dengan rataan kenaikan produksi setiap tahun sebesar 7,44 %) (DKP 2007). Pengembangan industri tuna di Indonesia sangat prospektif karena daerah penangkapan ikan tersedia, pasar sudah terjalin serta didukung adanya program revitalisasi sektor perikanan oleh pemerintah Indonesia.

Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang

merupakan sentra pendaratan tuna seperti Muara Baru – Jakarta, Pelabuhanratu – Jawa Barat, Cilacap – Jawa Tengah, Benoa – Bali, dan Bitung – Sulawesi Utara. Industri pengolahan pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted); loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna) (DKP 2005).

Ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa (termasuk Eropa Timur) pada tahun 2007 sebesar 82.462.139 kg dengan nilai US$ 296.096.624, sedangkan jumlah ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar 143.529.828 kg dengan nilai US$ 804.116.902, namun untuk ekspor ikan tuna segar khususnya ke Eropa mengalami penurunan akibat adanya penolakan . Penolakan ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat (Anonim 2005).

Laporan FDA (Food and Drug Administration) tahun 2001-2005 menunjukkan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus histamin dan logam berat. Tahun 2004 dalam laporan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) UE, terdapat 39 kasus histamin pada ikan ekspor, dengan 32 kasus terdapat pada tuna. RASFF merupakan salah satu kontrol sistem


(25)

terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa. Tuna Indonesia disebutkan dalam laporan tersebut mengandung timbal, karbon monoksida dan histamin.

Tindak lanjut dari laporan tersebut Uni Eropa menerapkan UE Commission Directive (CD) 236 tahun 2006 atau hambatan ekspor atas produk perikanan Indonesia. Commission Directive 236 adalah aturan dari Uni Eropa yang menyatakan bahwa terhadap setiap produk perikanan dari Indonesia harus dilakukan pemeriksaan di pelabuhan masuk. Commission Directive 236 telah

menyebabkan tambahan biaya dan waktu tunggu bagi produk perikanan di

pelabuhan masuk di Uni Eropa (Poernomo 2008).

Adanya hambatan ekspor tuna dari Uni Eropa tersebut mendorong Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melaksanakan perbaikan manajemen dan pengendalian mutu. Hasil Perbaikan manajemen mutu yang dilakukan DKP menunjukkan penurunan drastis kasus Rapid Alert System (RAS) yaitu dari 49 kasus pada tahun 2005, menurun menjadi 34 kasus pada tahun 2006 dan 17 kasus pada tahun 2007. Indonesia dinilai berhasil namun tetap harus waspada dan disiplin dalam memenuhi standar mutu yang telah ditentukan, terutama dalam pengawasan terhadap seluruh prosedur penanganan ikan tuna, dimulai dari penangkapan ikan, penanganan, pendaratan (pembongkaran dan transit) serta distribusi, yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kandungan histamin

(DKP 2008).

Sejak tahun 1970, kasus keracunan histamin sudah banyak terjadi, misalnya di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Inggris. Keer et al. (2002) menyatakan bahwa histamin merupakan amin biogenik yang dibentuk melalui reaksi dekarboksilasi asam amino histidin bebas pada saat fase post mortem akibat aktivitas bakteri. Taylor (1983) menyatakan bahwa reaksi dekarboksilasi disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme pembentuk histamin, seperti Morganella morganii, Klebsiella pneumoniae, dan Hafnia alvei. Kontaminasi dapat terjadi mulai dari kapal, pembongkaran, tempat pengolahan, atau pada saat rantai distribusi sampai ke konsumen. Kontaminasi dan aktivitas bakteri tersebut dapat dihambat jika ikan ditangani secara benar dengan memperhatikan sanitasi lingkungan serta senantiasa menerapkan prinsip


(26)

penanganan dengan suhu rendah. Kontaminasi mikroba sangat mungkin terjadi pada kondisi sanitasi yang buruk, karena kegiatan sanitasi yang dilakukan tidak mencegah terjadinya kontak antara makanan dengan serangga atau kontaminan lainnya dan biasanya berakhir dengan suatu masalah mikrobiologi.

Terkait dengan pemasaran ekspor, aspek mutu dan keamanan pangan

produk merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hazard Analysis

Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan sistem dalam penerapan konsep keamanan dan higiene bahan pangan sebagai upaya untuk memenuhi persyaratan standar mutu keamanan pangan perdagangan International. Pendekatan sistematik risk analysis telah digunakan oleh FAO dan WHO sejak 1955, ketika dilakukan evaluasi penggunaan bahan tambahan pada makanan. Seiring bertambahnya waktu, terus terjadi perkembangan sistem keamanan pangan. Pada awal 1960 diperkenalkan Good Manufacturing Practies (GMP), tahun 1971 diperkenalkan sistem formal Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan pada tahun 1995 dilakukan pengenalan formal quantitatif risk analysis. Sistem risk analysis ini telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) agar diterapkan di setiap negara dalam upaya pengawasan mutu dan keamanan produk pangan, termasuk hasil perikanan. Amerika dan Eropa telah menerapkan sistem risk analysis ini, pengawasan dilakukan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA)dan Europe Food Safety Authority (EFSA). Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hasil perikanan seharusnya juga menerapkan risk analysis ini, karena selain sebagai perlindungan konsumen akan keamanan pangan, juga penting dalam sistem perdagangan Internasional.

Risk analysis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu risk assessment, risk management, dan risk comunication. Risk assessment terdiri dari karakteristik bahaya, asesmen paparan/dose respone, Hazard Characterization dan Risk Characterization.

Hasil risk assesment ini sangat penting untuk diketahui, karena akan digunakan dalam penentuan risk management. Risk management merupakan pengembangan dan implementasi strategi, pelaksanaan keputusan manajemen, monitoring serta peninjauan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kebijakan atau keputusan perusahaan yang dapat mengontrol risiko histamin tersebut.


(27)

Mengantisipasi permasalahan tuna mengenai risiko bahaya peningkatan histamin yang begitu besar maka penelitian ” Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai kualitas mutu ekspor selama proses pembongkaran (transit)” perlu dilakukan.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi risiko histamin dan analisis mikrobiologi penghasil histamin serta melakukan penilaian Good Handling Practice (GHP) selama proses pasca tangkap ikan (pembongkaran, transit) sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan serta ingin membuktikan kebenaran isue food safety peningkatan histamin ikan tuna di Indonesia.


(28)

3. METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai mutu ekspor pada proses pembongkaran (transit) dilakukan pada bulan Agustus-November 2008, bertempat di Transit 20 (muara baru), PT X (Muara Baru) dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah spektrofotometri, labu erlenmeyer, gelas ukur, pisau, talenan, dan buret. Alat yang digunakan untuk menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah cawan petri, bunsen, water bath, glass woll, autoklaf, dan inkubator.

Bahan yang digunakan untuk analisis histamin adalah daging ikan tuna, metanol, aquadest, NaOH, HCL, OPT dan resin. Bahan yang digunakan untuk menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah

triptone, yeast extract, L-histidin.2HCL, NaCL, CaCO3, nutrient agar,

dan phenol red.

3.3. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperoleh dan dianalisis terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi langsung di lapangan, serta analisis kandungan histamin, Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) DKI Jakarta. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujian histamin di LPPMHP dari bulan Juni –September 2008, data konsumsi ikan tuna di Amerika Serikat, serta spreadsheet perhitungan risiko dengan menggunakan program risk ranger (Sumner et al. 2004).

3.4. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses penanganan tuna pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku oleh


(29)

perusahaan, tahap penilaian penanganan ikan tuna hasil tangkapan di kapal dan tempat transit kapal serta tahap analisis risiko bahaya histamin.

3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan

Proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan diamati berdasarkan tahapannya. Tahapan tersebut dituangkan dalam bentuk diagram alir proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan. Tujuan dari tahapan pengamatan ini adalah untuk mengetahui proses penanganan tuna dan menentukan tahap-tahap yang memiliki peluang terjadinya risiko kontaminasi bakteri penghasil histidin dekarboksilase, serta untuk menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar histamin. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melihat waktu, suhu, sanitasi dan higiene lingkungan serta aktivitas penanganan ikan. 3.4.2. Tahap Penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar

Tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi/transportasi). Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007 (KEP 011.P2HP. 2007) (DKP 2007). Daftar penilaian sanitasi, higiene, dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi) dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2.

3.4.3 Tahap evaluasi risiko histamin

Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep risk assessment. Risk assessment bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan peningkatan kadar histamin dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment atau dose response dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram alur evaluasi risiko histamin dapat dilihat pada Gambar 4.


(30)

Gambar 5. Skema risk assessment

(Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey dan Brown 2000)

a)Hazard identification

Hazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah khususnya bahaya histamin. Dasar penetapan ini disebabkan adanya isu global mengenai peningkatan kadar histamin selama proses penanganan mulai dari pasca penangkapan, transit kapal sampai penerimaan di perusahaan (penerimaan bahan baku). Proses Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan

Pernyataan maksud

Hazard identification Identifikasi agen yang dapat

merugikan kesehatan

Exposure assessment

Evaluasi tingkat penyerapan makanan yang mungkin terjadi

Hazard characterisation

Evaluasi sumber merugikan yang berhubungan dengan bahaya yang terdapat dalam makanan. Termasuk dose-responseassessment.

Risk characterisation

Pendugaan efek merugikan yang mungkin terdapat dalam populasi,

termasuk adanya ketidakpastian


(31)

dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan bakteri penghasil histamin.

b)Exposure assessment

Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level dari bahaya histamin di berbagai tahap penanganan ikan pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku, frekuensi, dan durasi dari konsumsi produk tersebut, serta level mikroorganisme penghasil histamin yang terdapat pada tuna.

Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan sampel ikan tuna pada proses penerimaan bahan baku untuk dianalisis kadar histamine, total mikroba dan mikroba penghasil histamin di laboratorium. Sampling dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 16 September, 19 September dan 3 November 2008.

c) Hazard characterization

Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif alami dari efek yang berhubungan dengan histamin dan agen mikrobiologi. Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan dose respone. Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin dan mikroba yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menghasilkan histamin sampai kadar yang menyebabkan keracunan dalam tubuh manusia. Hazard characterization dan dose reponse dapat dilihat dari studi literatur mengenai jumlah mikroba penghasil histamin dan bahaya histamin pada tubuh dan dibandingkan dengan kandungan mikroba dan jumlah histamin hasil analisis yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara.

d)Risk characterization

Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk menentukan risiko histamin berdasarkan hazard identificationi, hazard characterization dan exposure assessment. Hasil keluaran dari risk characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul


(32)

dari peningkatan mikroba dan kandungan histamin yang dihasilkan jika masuk ke dalam tubuh manusia. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger. 3.5 Pengujian Sampel

Analisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate count bahan baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin.

3.5.1 Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) • Tahap ekstraksi

Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer (blender) kurang lebih selama 1-2 menit. Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam water bath pada suhu 60oC selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer.

• Tahap clean up

Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja ion tersebut). Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N.

• Tahap pembentukan

Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCL 0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Selanjutnya ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan sebanyak 1 ml orto-ftalatdikarboksilaldehid (OPT), lalu dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca


(33)

dengan spektrofotoflourometer dengan eksitasi pada 350 nm dan pengukuran flourescence pada 444 nm.

• Perhitungan kadar histamin (ppm):

Histamin (mg/Kg) =

Keterangan : IU = Absorban sampel A dan B = Koefisien regresi linier Fp = Faktor pengenceran

3.5.2 Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991)

Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%.

Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril, kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukan dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya hingga pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10-2 sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media nutrient agar (dengan suhu ruang, + 30.5oC) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.


(34)

3.5.3 Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991)

Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan mengakibatkan perubahan warna pada media.

Larutan niven agar disiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan, yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO3, 2 %

NaCl, 2,5 % agar, 0,01 % phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 2 jam.

Sampel diencerkan sampai 105. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam cawan petri, lalu niven agar cair (dengan suhu ruang, + 30.5oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian diinkubasi pada suhu 35oC selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda dengan latar belakang kuning dan orange.


(35)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit Pembongkaran

Penanganan ikan tuna setelah penangkapan atau pascapanen memegang peranan sangat penting dalam memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan tuna adalah tingkat kesegaran. Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli atau konsumen maka harga jual ikan akan semakin tinggi. Kesegaran ikan tuna dapat dilihat dari penampakan, bau, warna daging, serta teksturnya. Pada dasarnya, untuk mendapatkan ikan yang memenuhi tujuan ekspor diperlukan penanganan yang baik saat operasi penangkapan, pembongkaran (penanganan di pelabuhan), serta proses transportasinya.

Penanganan saat operasi penangkapan merupakan penanganan awal. Batasan penanganan ini adalah sejak ikan tertangkap sampai didaratkan di pelabuhan. Perlakuan ikan tuna saat penanganan diharapkan tidak menimbulkan kerusakan fisik, perubahan komposisi kimia dan mikrobiologi sehingga dapat memperlambat proses pembusukan. Penanganan ikan yang baik sangat diperlukan dalam upaya menjaga kualitas serta kesegaran ikan yang diperoleh.

Penanganan saat di pelabuhan (pembongkaran dan transit) merupakan penanganan lanjutan setelah ikan tiba di pelabuhan. Batasan penanganan ini adalah ikan sejak didaratkan sampai didistribusikan, baik untuk keperluan ekspor maupun pemenuhan kebutuhan lokal. Penanganan ikan pada saat pembongkaran dan pemindahan ke tempat transit dilakukan secara hati-hati, bersih, cepat dan dingin. Hal ini mengingat ikan merupakan produk yang mudah dan cepat membusuk jika tidak ditangani secara benar.

Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor dapat dilihat pada Gambar 6.


(36)

Gambar 6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor Keterangan : = Awal proses dan proses akhir

= Tahapan proses

Tahapan proses penanganan ikan tuna yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Pembongkaran ikan tuna

Ikan tuna yang didaratkan pada lokasi transit 20 adalah ikan tuna jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan big eye tuna (Thunnus obessus). Ikan tuna didaratkan dalam bentuk ikan utuh yang sudah disiangi isi perut dan insangnya dengan menggunakan kapal berkapasitas sampai dengan 80 gross ton (GT). Daerah penangkapan ikan tuna meliputi perairan Samudra Indonesia, pantai utara Jawa, dan perairan selatan Jawa hingga mencapai

Pengujian laboratorium Pemindahan ke transit

Sortasi (seleksi)

Pembersihan sisa isi perut dan bagian insang

Pencucian

Penimbangan dan pencatatan

Penyimpanan dalam bak berisi es

Transportasi ke perusahaan

Pengiriman ekspor Pembongkaran


(37)

wilayah Sulawesi. Kapal penangkap tuna yang digunakan sudah dilengkapi dengan sistem pendingin refrigerated sea water (RSW). Waktu yang digunakan untuk melaut adalah 25 hari sampai dengan 6 bulan. Jumlah ikan yang berhasil didaratkan setiap kali operasi mencapai 100-600 ekor ikan tuna. Kualitas ikan tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang diterapkan di atas kapal dilakukan dengan hati-hati, bersih, cepat dan dingin. Ikan tuna yang didaratkan dalam keadaan dingin, dengan maksimal suhu ikan adalah 2oC (pengukuran menggunakan thermo cople).

2) Pembongkaran

Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke tempat pembongkaran. Proses pembongkaran fresh tuna dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan tuna dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali tambang. Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan dipindahkan ke bagian geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih. 3) Pemindahan ikan tuna ke transit

Ikan tuna yang sudah dibongkar dipindahkan ke tempat transit yang telah tersedia. Lokasi pendaratan ikan tuna di Muara Baru berjumlah 28 transit. Proses pemindahan ikan diperlukan fasilitas khusus, yaitu atap plastik dan papan peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga dengan tempat transit cukup jauh, yaitu + 100 meter. Ikan yang sudah dikeluarkan dari palka diangkat ke geladak, diangkut satu persatu ke papan peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua orang, satu orang bertugas menarik ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi mendorong ikan masuk ke dalam ruangan transit.

4) Sortasi (seleksi)

Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang memenuhi persyaratan kualitas ekspor. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian,


(38)

cara kematian, cara penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai dingin.

Proses sortasi dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata, tekstur dan kekenyalan daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik tekstur, kekenyalan, serta warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang diambil dari bagian ekor dan belakang sirip ventral, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan fisik terhadap ikan tuna yang akan di ekspor.

Kualitas mutu ikan tuna pada tempat transit dibedakan menjadi empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker) dengan menggunakan alat coring tube yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi. Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu daging ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, dan 10.

1) Mutu I (A)


(39)

Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut:

• Warna daging untuk yellowfin tuna adalah merah, seperti darah segar atau buah semangka, sedangkan bigeye tuna merahnya seperti bunga mawar yang berwarna merah tua, pelangi (ya ke) tidak ada

• Mata bersih, terang, dan menonjol

• Kulit normal, warna bersih, dan cerah

• Tekstur daging keras, kenyal dan elastis (yellow fin) sedangkan bigeye tekstur dagingnya lembut kenyal, dan elastis

• Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau utuh

2) Mutu II (B)

Gambar 8. Daging Ikan tuna grade B hasil checker Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut:

• Warna daging merah, terdapat pelangi (ya ke), otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah

• Mata bersih, terang dan menonjol

• Kulit normal, bersih, sedikit lendir


(40)

3) Mutu III (C)

Gambar 9. Daging ikan tuna grade C hasil checker Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut:

• Warna daging kurang merah, ada pelangi (ya ke)

• Kulit normal dan berlendir

• Otot daging kurang elastis

• Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya pada bagian punggung/dada

4) Mutu IV (D)


(41)

Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut :

• Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar

• Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi (ya ke)

• Teksturnya lunak, jaringan daging pecah

• Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (seperti: daging ikan yang sudah sobek, mata ikan hilang dan kulit terkelupas)

Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di ekspor dalam bentuk utuh dan fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu), sedangkan ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted), loin (frozen loin), steak (frozen steak), tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna). Negara tujuan ekspor produk fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa, sedangkan untuk produk olahan tuna adalah Amerika Serikat.

5) Tranportasi ikan ke perusahaan

Ikan yang telah disortasi kemudian diangkut menuju perusahaan untuk diproses lebih lanjut (pembentukan loin, saku, dan lain-lain). Hanya ikan-ikan yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan X yang akan dibeli yaitu ikan dengan grade B dan C. Ikan kemudian dimasukkan dalam truk berinsulasi dan langsung dibawa menuju perusahaan. 6) Pembersihan sisa isi perut, bagian insang dan pencucian

Ikan tuna yang memenuhi kualitas ekspor diproses selanjutnya dengan membersihkan sisa bagian isi perut dan insang. Pembuangan isi perut dan insang akan menyebabkan ikan kotor karena darah, oleh karena itu untuk menghilangkannya perlu dilakukan proses pencucian. Proses pencucian ini dilakukan dengan menyemprotkan air secukupnya menggunakan selang

hingga ikan bersih dari kotoran dan sisa darah yang masih menempel. 7) Penimbangan dan pencatatan

Tahap selanjutnya adalah penimbangan dan pencatatan. Penimbangan dilakukan dengan melihat bobot, jenis dan kualitas ikan tuna. Ikan tuna


(42)

ditimbang dan dicatat beratnya sebagai laporan perusahaan. Tahapan penimbangan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Tahap penimbangan ikan tuna 8) Penyimpanan dalam bak es

Penyimpanan ikan tuna dilakukan sebelum proses pengiriman (ekspor). Tujuannya adalah menjaga agar suhu tubuh ikan tuna tidak naik. Penyimpanan dilakukan dengan menyusun ikan tuna dalam wadah atau bak penampung yang besar yang telah berisi es dengan suhu 2 oC. Ikan tuna disimpan berdasarkan kualitas dan jenis ikan tuna. Penyimpanan ikan tuna dalam bak es dapat dilihat pada Gambar 12.


(43)

9) Pengujian laboratorium

Pengujian secara kimia dan mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui apakah ikan tuna yang akan diekspor sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pengujian ini dilakukan oleh Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia (uji histamin, TVB, kandungan logam berat) dan mikrobiologis (total Plate Count/TPC). Sampel ikan tuna yang telah lolos pengujian dan telah dinyatakan memenuhi persyaratan ekspor akan mendapatkan Sertifikat mutu Ekspor (SME). Hasil pengujian sampel memerlukan waktu minimal dua hari setelah sampel pertama kali diambil. 10) Pengemasan

Ikan tuna yang telah memenuhi hasil pengujiannya telah memenuhi persyaratan laboratorium, selanjutnya dikemas. Produk tuna segar dikeluarkan dari wadah/bak penyimpanan, lalu dikeringkan sebelum dikemas. Proses pengeringan ini menggunakan busa/spons sehingga menghasilkan ikan yang bersih dan kering.

Bahan pengemasan yang digunakan sesuai dengan SNI kemasan untuk produk ikan segar (fresh fish) khusus melalui sarana angkutan udara yaitu SNI 19-4858-1998 yang telah dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional, kemasan yang digunakan adalah kemasan tipe III dan V. Kemasan tipe III mempunyai ukuran 750x420x400 mm, kemasan ini digunakan untuk ikan berukuran besar (satu kemasan hanya untuk 1 ekor ikan dengan batas maksimal 35 kg). Kemasan tipe V dengan ukuran 1200x420x400 mm. Kemasan ini digunakan untuk ikan yang berukuran sedang, yaitu satu kemasan biasanya berisi 2-3 ekor ikan, dengan batas maksimal 80 kg kedalam kemasan dimasukan beberapa potong es kering, agar suhu dalam kemasan tetap rendah selama pengiriman.

4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene dan Kelayakan Dasar

Penilaian sanitasi, higiene serta kelayakan dasar dilakukan terhadap tiga tempat, yaitu penilaian terhadap kapal pembekuan selama proses pembongkaran, tempat pendaratan/pembongkaran ikan, serta selama distribusi/transportasi. Dasar


(44)

hukum penilaian adalah keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor : KEP.01/MEN/2007, tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi (DKP 2007).

4.2.1 Penilaian sanitasi selama proses pembongkaran

Penilaian dilakukan terhadap kapal penangkapan KM Jimmy Wijaya. Kapal tersebut merupakan salah satu unit operasional kapal penangkapan yang mendistribusikan ikan tuna pada tempat transit 20.

1) Kondisi sanitasi tempat penerimaan ikan

Kapal sudah memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan (lebar geladak kapal 5-6 meter), terdapat terpal yang menutupi bagian atas kapal pada saat proses pembongkaran dilakukan, akan tetapi kondisi sanitasi kapal dalam keadaan kurang baik, yaitu ikan diletakkan pada lantai yang tidak kedap air (maksimal dilakukan selama 10 menit), kondisi ini dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi ikan tuna hasil tangkapan selama dalam proses pembongkaran. Kondisi lantai kapal pada saat pembongkaran dapat dilihat pada Gambar 13.

Kapal penangkapan harus memiliki tempat penerimaan ikan dalam kondisi yang baik/bersih, memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan, terlindung dari lingkungan dan potensi kontaminasi, memiliki permukaan kapal yang mudah dibersihkan, tersedia air bersih, serta memiliki saluran pembuangan air yang memadai (DKP 2007).

.


(45)

2) Alat pengangkutan ikan dan kondisi lingkungan kerja

Kondisi kapal tidak memiliki sarana pencucian tangan berupa kran yang dioperasikan tidak dengan tangan (contoh: bisa dioperasikan dengan kaki), biasanya awak kapal atau pekerja menggunakan air langsung dari selang untuk mencuci tangan, terkadang tidak mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Kondisi ini tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang dikeluarkan oleh DKP.

Alat pengangkutan ikan dijaga agar tetap dalam kondisi higienis dan melindungi ikan secara keseluruhan. Kondisi lingkungan kerja harus dalam keadaan bersih sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang, bahan lantai tidak licin/kedap air dan mudah dibersihkan serta memiliki saluran pembuangan air yang efisien. Harus tersedia sarana pencucian tangan dan disinfektan (kran tidak dioperasikan dengan tangan, pengering sekali pakai, menggunakan sabun/desinfektan) (DKP 2007).

3) Bahan dan wadah pendinginan/penyimpanan beku

Proses penanganan ikan di kapal sudah memanfaatkan wadah yang hanya digunakan untuk menyimpan ikan tuna hasil tangkapan. Penyimpanan ikan tuna dilakukan dalam palka kapal. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan DKP.

Wadah penyimpanan hanya digunakan untuk menyimpan ikan, mudah dibersihkan dan cukup memadai, masing-masing produk disimpan terpisah, serta bahan pengemas disimpan dalam ruangan terpisah (jika langsung dilakukan pengemasan hasil tangkapan) (DKP 2007). Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 14.


(46)

Gambar 14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan 4) Ruang ganti dan toilet

Letak toilet di kapal terpisah dengan area kerja, namun tidak dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis. Hal ini akan mempengaruhi sanitasi toilet dan higiene pekerja kapal yang menggunakannya. Awak/pekerja kapal biasanya langsung membuang kotoran toilet ke laut.

Persyaratan toilet yang baik adalah tidak berhubungan langsung dengan area kerja. Toilet dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis, tersedia sabun dan desinfektan, serta memiiki kran untuk pencucian tangan yang tidak dioperasikan dengan tangan (DKP 2007).

5) Higiene peralatan

Ikan diangkat dari wadah penyimpanan untuk dinaikan ke bagian geladak kapal. Kondisi katrol masih dalam keadaan cukup baik dan layak digunakan, namun beberapa alat penangkapan yang digunakan kurang dirawat dan dijaga kebersihannya, sehingga banyak yang sudah berkarat.

Alat harus dijaga kebersihannya dan dirawat dengan baik, hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang pada produk melalui peralatan yang digunakan. Pembongkaran ikan dilakukan dengan menggunakan sistem katrol. 6) Higiene pekerja

Sanitasi kapal dan higiene pekerja kapal pada saat proses pembongkaran dalam keadaan yang buruk. Terlihat dari kondisi lantai yang digunakan untuk meletakan ikan dalam keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal jauh dari higienis.


(47)

Masih ada pekerja yang tidak menggunakan sepatu boat pada saat melakukan proses pembongkaran, tidak ada yang memakai penutup kepala, serta masih ada pekerja yang merokok di kapal pada saat proses pembongkaran ikan tuna. Higiene pekerja harus benar-benar diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pekerja yang menangani produk tidak menjadi sumber kontaminasi.

Persyaratan bagi pekerja yaitu harus menggunakan pakaian kerja yang lengkap dan bersih, rambut harus ditutup dengan penutup kepala yang rapat, bersih dan dalam kondisi yang baik, tangan dicuci setiap kali akan memulai kerja, serta pekerja dilarang merokok, meludah dan makan di area penyimpanan serta harus dilengkapi rambu-rambu tanda larangan tersebut (DKP 2007).

4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan

Penilaian dilakukan di tempat yang menjadi penampung ikan tuna PT X, yaitu Transit 20. Berikut merupakan penilaian tempat pembongkaran transit

tempat penelitian (transit 20). 1) Perlindungan terhadap produk

Selama proses pembongkaran dari palka di kapal dan selama pengangkutan dari kapal ke dalam transit 20, ikan terlindung dari kondisi cuaca (sinar matahari dan lainya), hal ini diupayakan agar ikan selalu terlindung dari sengatan matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu ikan sehingga menurunkan kualitasnya. Bagian atas palka kapal dilengkapi penutup dari terpal atau plastik untuk melindungi tempat pembongkaran tersebut, sedangkan sepanjang papan peluncur digunakan penutup semacam tenda seperti yang terlihat pada Gambar 14.


(48)

Gambar 15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup

Selama penanganan ikan tuna di kapal terdapat penyimpangan mayor, dan penyimpangan serius. Penyimpangan mayor terdapat pada aspek perlindungan terhadap produk ini, yaitu tidak ada perlindungan ikan pada saat pembongkaran dikapal dari debu dan gas dari mesin , hal ini penting karena debu dan gas dapat mengkontaminasi ikan. Hal ini juga diperburuk oleh banyaknya asap dari mobil yang digunakan untuk membawa ikan hasil tangkapan ke perusahaan.

Penyimpangan minor terjadi pada area perlindungan terhadap produk, karena tidak diberi pagar dengan sistem pengunci. Penguncian dimaksudkan untuk mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan, serta mencegah terdapatnya binatang di dalam area transit. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang terhadap produk ikan tuna yang didaratkan.

Penyimpangan serius terjadi pada saat pengangkutan ikan dari kapal menuju tempat transit menggunakan papan peluncur, yaitu membiarkan selama beberapa waktu ikan terkena sinar matahari secara langsung sekitar 3-5 menit, hal ini sangat berbahaya karena dapat meningkatkan suhu tubuh ikan (2-3oC). Peningkatan suhu tubuh sangat berpeluang untuk mengaktifkan enzim autolisis serta mikroorganisme yang telah diinaktifkan melalui proses pendinginan. Penyimpangan selama proses pengangkutan dapat dilihat pada Gambar 16.


(49)

Gambar 16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna

2) Konstruksi dan kondisi bangunan

Kontruksi dan kondisi bangunan tempat transit ikan sudah cukup baik. Bangunan mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang kedap air, mempunyai permukaan yang halus serta dirawat dengan baik.

Sanitasi ruangan tempat transit ikan kurang baik walaupun lantainya terbuat dari bahan yang kedap air. Hal ini terlihat dari adanya genangan air yang cukup banyak. Genangan air ini karena adanya sisa-sisa penyemprotan ikan untuk membersihkan darah dan kotoran pada ikan yang baru datang. Genangan tersebut merupakan sumber kontaminan mikroorganisme dari campuran air yang terdapat dalam darah dan kotoran, seharusnya dilakukan pembersihan genangan air yang terbentuk setiap kali proses pencucian dilakukan. Kondisi tempat transit dapat dilihat pada Gambar 17.


(50)

Gambar 17. Kondisi tempat transit ikan tuna 3) Es

Selama proses penanganan ikan tersedia es dalam jumlah yang cukup. Es diproduksi oleh perusahaan sendiri. Es yang digunakan adalah es curah. Penggunaan es sangat penting karena berfungsi menjaga stabilitas suhu ikan sehingga kualitas ikan tetap terjaga.

4) Penanganan limbah

Terdapat saluran air pembuangan limbah pada transit 20. Limbah berupa air hasil pencucian yang dilakukan terhadap ikan. Limbah pembuangan juga dapat berasal dari pembuangan daging ikan yang diambil oleh checker untuk penentuan kualitas mutu ikan yang didaratkan.

Pada aspek penanganan limbah terjadi penyimpangan minor, yaitu tidak tersedianya wadah limbah yang diberi tutup. Penggunaan tutup wadah limbah dimaksudkan untuk mencegah datangnya serangga ke area transit ikan.

5) Toilet dan tempat cuci tangan

Hasil penilaian, menunjukkan bahwa telah terjadi dua penyimpangan minor, satu penyimpangan mayor dan dua penyimpangan serius. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat pendaratan/transit ikan.


(51)

Penyimpangan serius terjadi pada aspek penilaian toilet dan tempat cuci tangan. Jumlah toilet dan tempat cuci tangan tidak cukup dan terkadang tidak dilengkapi dengan sabun dan pengering sekali pakai (tissue). Sabun berfungsi sebagai desinfektan untuk membersihkan kotoran. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tempat pendaratan/transit 20 termasuk ke dalam grade/nilai B (kriteria B didapat dari hasil penilaian kelayakan dasar dengan maksimal terjadi dua pelanggaran serius). Grade B adalah tingkat sertifikat menengah, dengan persyaratan maksimal terdapat dua kriteria penyimpangan serius. Suatu perusahaan unit pengolahan dengan grade B dapat melakukan ekspor ke negara yang menerapkan HACCP, kecuali ke Uni Eropa.

4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan

Ikan grade C dan D dari tempat transit dibawa ke PT. X dengan menggunakan truk pengangkut. Penilaian kondisi sanitasi yang berhubungan dengan kontruksi dan pelaksanaan higiene di truk pengangkut yang digunakan untuk membawa ikan ke PT. X sebagai berikut:

a) Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup

Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup pada truk pengangkut PT. X sudah memenuhi persyaratan, yaitu mudah dibersihkan (karena terbuat dari fiber glass), higienis dan layak digunakan serta mudah dirawat. Berbagai penyimpangan yang teridentifikasi, yaitu truk tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan air, serta keadaannya kurang bersih (banyak sisa kotoran dan lelehan es dari ikan yang diangkut). Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya kontaminasi bakteri dari kotoran tersebut. Seharusnya setelah boks digunakan untuk mengangkut ikan pertama kali langsung dibersihkan, disemprot dengan air bersih, didesinfeksi sebelum perlengkapan tersebut digunakan kembali.

b)Truk berpendingin

Truk yang digunakan oleh PT. X tidak memenuhi persyaratan, karena truk yang dipakai tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Kondisi ini sangat merugikan karena dapat meningkatkan suhu ikan yang dibawa sehingga memungkinkan terjadinya aktifitas bakteri pembusuk dan peningkatan kandungan histamin pada ikan. Perjalanan selama pengangkutan ke perusahaan dilakukan


(52)

selama 5-10 menit. Truk yang digunakan untuk mengangkut ikan hasil tangkapan ke perusahaan seharusnya memiliki sistem pendingin. Sistem pendingin tersebut mampu mencapai suhu -18oC dan suhunya tercatat serta mudah untuk dibaca dari luar.

c) Proses memuat dan membongkar

Proses memuat dan membongkar ikan harus dilakukan secara cepat dan higienis. Hal ini dimaksudkan agar mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme penyebab penyakit dan meminimalkan pertumbuhan mikroorganisme penyebab kebusukan. Karyawan PT. X sudah melakukan proses memuat dan membongkar ikan secara cepat. Ikan ditimbang dan langsung dimasukkan ke dalam truk pengangkut, segera setelah tempat penyimpanan di dalam truk penuh, ikan langsung dibawa ke pabrik. Waktu yang diperlukan untuk membawa ikan dari tempat transit menuju pabrik adalah + 5 menit. Proses ini kurang dilakukan secara higienis pada situasi saat memuat dan membongkar ikan. Banyak pekerja yang menggunakan peralatan dalam keadaan kotor seperti pakaian dan sepatu bot serta keadaan pekerja yang kurang bersih, selain itu ada beberapa tindakan pekerja yang merokok pada waktu melakukan pekerjaan, keadaan ini lebih lanjut dapat mengurangi tingkat kualitas ikan tuna.

d)Pengendalian sanitasi dan hygiene

Penyimpangan pada proses memuat dan membongkar yang dilakukan oleh pekerja PT. X, yaitu lori pengangkut tidak selalu dibersihkan setelah digunakan, serta tidak adanya pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan, serta tidak adanya pemeriksaan medical check up secara berkala.

Sanitasi sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan truk pengangkut, sedangkan higiene berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses memuat dan mengangkut ikan. Sanitasi dan higiene yang buruk tidak mampu untuk menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau kontaminan lainnya. Kontaminan tersebut akan menyebabkan semakin banyak peluang masuknya mikroba dalam ikan.

Pengendalian sanitasi dan higiene yang harus dilakukan pada proses memuat dan membongkar ikan dalam truk pengangkut, antara lain: pembersihan lori sebelum dan sesudah digunakan, pembersihan kendaraan secara berkala, oli


(53)

dan bahan bakar ditempatkan terpisah dari ikan, pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan, melakukan medical check up yang dijadwalkan, melakukan kebersihan secara umum, serta pengendalian suhu.

Berdasarkan penilaian tersebut, dapat diketahui bahwa truk/mobil pengangkut yang dipakai tidak layak untuk digunakan, sehingga harus dilakukan perbaikan (terutama sistem pendingin pada truk/mobil).

4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahapan Pembongkaran, Transit dan Distribusi ke Perusahaan yang Berisiko Terhadap Peningkatan Kadar Histamin

Histamin dapat berkembang jika penanganan tidak dilakukan secara hati-hati, dingin dan cepat. Perkiraan efek atau bahaya histamin ikan tuna yang timbul selama proses pembongkaran, transit dan transportasi ke perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan risk assessment yaitu dengan melihat hazard identification, exposure assessment, hazard characterization, dan risk characterization.

4.3.1 Hazard identification

Hazard identification merupakan tahap pertama dalam risk assessment. Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisika yang mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan yang mungkin terdapat pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai sumber pangan. Hal ini merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada bahan pangan tertentu, seperti bahaya histamin pada ikan golongan Scombroid, sehingga hazard identification merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumber-sumber bahaya (Sumner et al. 2004). Dalam bidang industri tuna pada penelitian ini dilakukan terhadap bahaya histamin, hal ini disebabkan ikan tuna memiliki kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya (15 g/kg) (Keer et al 2002).

Histamin merupakan senyawa kimia amin biogenik yang terbentuk melalui reaksi dekarboksilasi histidin oleh enzim histidin dekarboksilase (Pubchem 2005).

Histamin memiliki struktur molekul C5H11Cl2N3 dengan nama IUPAC


(54)

kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam mg/100gr, mg % atau ppm mg/1000 g) (Kimata 1961; Taylor 1983).

Keracunan histamin terhitung lebih dari 50 % dari insiden keracunan pangan yang berhubungan dengan konsumsi ikan dan makanan laut. Penyakit ini merupakan penyakit paling umum yang berhubungan dengan konsumsi ikan di UK. Ikan segar normal mengandung kurang dari 1 mg/100 g histamin, pada level 20 mg/100 g dalam beberapa spesies ikan dilaporkan dapat memproduksi simptom. Di USA, antara 1973 dan 1986, terlibat 178 kejangkitan keracunan scombrotoxin dari 1096 kasus dilaporkan CDC’s Food Disease Outbreak Surveillance System. Ikan laut yang paling umum menyebabkan terjadinya keracunan scombrotoxin adalah mahi-mahi, tuna dan bluefish.

Di Inggris, terjadi 100 kasus keracunan histamin pada rentang waktu tahun 1976 sampai 1982 akibat konsumsi ikan golongan Scombroid. Di Jepang dari tahun 1970 sampai tahun 1980 terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat konsumsi ikan golongan scombroid. Di Amerika Serikat , keracunan histamin dari tahun 1969 sampai 1979 terjadi 74 kasus akibat konsumsi ikan golongan Scombroid, dan dari 74 kasus keracunan histamin, 24 diantaranya disebabkan konsumsi ikan tuna (Taylor 1983).

Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin. Keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia, Kanada, Selandia Baru (New Zealand), dan Australia (Sumner et al. 2004). Pada periode tahun 1990 - 2000, jumlah yang menderita keracunan histamin dari ikan di Amerika Serikat sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 – 1999 jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32 orang, sedangkan periode tahun 1990 – 2000, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Australia sebanyak 31 orang (Sumner et al. 2004).

Laporan FDA tahun 2001-2005 menunjukan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus tingginya kadungan histamin dan logam berat. Laporan FDA pada bulan April-Desember 2007 menunjukan adanya 313 kasus penolakan ekspor produk perikanan asal Indonesia dan 14 diantaranya terjadi karena masalah histamin (Sugandhi 2007).


(55)

Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya tergantung pada kandungan histidin, jenis dan jumlah bakteri yang mengkontaminasi, suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba, pada cara penanganan dan penyimpanan ikan (Pan 1984). Kadar histamin tertinggi terdapat pada bagian depan tubuh ikan (depan perut), sedangkan terendah terdapat pada bagian ekor (Lerke et al. 1978). Suhu optimum pembentukan histamin adalah 25oC (Kim et al. 1999 diacu dalam Sumner et al. 2004). Dalam kondisi optimum, jumlah maksimum yang dihasilkan melalui autolisis tidak lebih dari 10-15 mg/100gr daging (Kimata 1961). Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin yang terikat dalam protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang dapat mengalami dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983).

Potensi pembentukan histamin meningkat ketika daging ikan secara langsung terekspos dengan bakteri pembentuk histamin. Ini terjadi ketika ikan diproses pada saat pemotongan/pemfilletan. Pembekuan selama beberapa waktu dapat menginaktifkan bakteri histidin dekarboksilase sehingga mampu mengeleminasi potensi untuk perkembangan histamin selanjutnya. Penelitian terbaru menyatakan, jika produksi histamin meningkat, pembentukan histamin dapat berlanjut bahkan dalam kondisi penyimpanan beku. Pemasakan dapat menginaktifkan enzim dan bakteri. Sekali toksin dibentuk, tidak dapat hilang dengan panas (termasuk retorting).

Kondisi optimum untuk aktifitas enzim histidin dekarboksilase tidak seutuhnya jelas, sebagian besar karena banyak faktor yang perlu ditafsirkan, termasuk propogasi sel bakteri, konsentrasi sel awal dan komposisi awal mikroflora. Substrat-spesifik enzim dekarboksilase dari mikroba dalam makanan menciptakan produksi amin dalam makanan, tapi kecepatan produksi tidak berpengaruh langsung dengan pertumbuhan bakteri.

Keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan yang mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan golongan scombroid. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia. Hal ini disebabkan karena sistem intestinal tubuh manusia mengandung enzim DAO dan HMT yang akan


(56)

mendegradasi histamin menjadi produk yang tidak berbahaya seperti imidazoleacetic, methylhistamin, methylimidazole acetic acid, imidazole acetic acid riboside dan acetylhistamin.

Histamin terutama dipecah oleh dua enzim, histamin metil transferase (HMT) dan diamin oksidase (DAO), membentuk N-metil histamin dan asam asetat imidazole. Monoamin oksidase kemudian mendegradasi N-metil histamin menjadi N-metil imidazole asam asetat sebagai metabolit primernya. Hanya kurang dari 50 % histamin yang direcovery dari manusia adalah dalam bentuk ini. Histamin metil transferase ditemukan di seluruh tubuh, termasuk dalam sel langerhans, sel alveolar dan ginjal. Histamin metil transferase juga merupakan enzim utama yang bekerja pada histamin dalam perut. Pemecahan histamin oleh DAO tidak hanya memproduksi imidazol asam asetat, tapi juga memproduksi hidrogen proksida, yang dapat membentuk radikal bebas dan menyebabkan peroksidase lipid. Aktifitas diamin oksidase telah ditemukan dalam aktifitas tinggi dan rendah dalam ileum, jejunum, caecum dan kolonticus.

4.3.2. Exposure assessment (penaksiran bahaya)

Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Exposure assessment adalah suatu proses untuk melihat atau memperkirakan bahaya histamin dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Exposure assessment dapat diketahui dari berbagai informasi mengenai perkembangan kadar histamine selama proses pembongkaran, selama di transit, dan transportasi menuju perusahaan, serta informasi tingkat konsumsi produk dan keadaan masyarakat atau populasi yang mengkonsumsi produk tersebut.

4.3.2.1. Informasi mengenai kandungan histamin tuna hasil tangkapan

Kadar histamin merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas mutu ikan tuna. Kadar histamin yang tinggi pada produk ikan tuna dapat berubah menjadi toksin, yang disebut dengan toksin scombroid penyebab scombroid poisoning. Pada penelitian ini, informasi kadar histamin dapat dilihat dari hasil analisis kadar histamin yang terbentuk dalam ikan tuna segar hasil tangkapan


(57)

K andung an

 

His tamin

 

2,52 2,64 1,77 1,11 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00

A B C D

K ua lita s m utu tuna

  K a ndun g a n   Hi s ta m in   (ppm )

pada berbagai kualitas mutu, serta dari data sekunder hasil pengujian histamin semua produk tuna yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Pluit, Jakarta Utara.

a) Kadar histamin berbagai kualitas mutu ikan tuna

Analisis histamin pada berbagai mutu ikan tuna, grade/kualitas A, B, C, dan D dilakukan pada penelitian ini. Grade A merupakan ikan tuna dengan kualitas terbaik yang memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B sebesar 1,77 ppm, grade C sebesar 2,64 ppm dan grade D sebesar 2,52 ppm. Hasil pengujian kadar histamin disajikan pada Gambar 18.

Gambar 18. Kandungan histamin daging ikan tuna berbagai tingkat mutu tuna Hasil analisis histamin menunjukan bahwa kandungan histamin semakin tinggi dengan semakin menurunnya mutu ikan tuna, kecuali pada nilai histamin grade D yang lebih rendah dari nilai histamin ikan tuna grade C. Hal ini karena pemisahan kualitas mutu ikan dilakukan secara subjektif dengan melihat penampakan organoleptik ikan tuna tersebut oleh checker. Kekeliruan dalam penentuan kualitas ikan tuna antara grade C dan grade D dapat saja terjadi, karena secara organoleptik kedua grade tersebut memiliki beberapa kesamaan, terutama pada penilaian penampakan dan warna daging ikan tuna. Secara penampakan, kedua jenis grade tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain: kondisi ikan sudah tidak utuh lagi atau cacat, serta warna daging agak kurang merah/pudar, cenderung berwarna coklat dan pudar.


(58)

Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap jenis ikan, tergantung kepada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba, serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH lingkungan. Histamin pada ikan akan terbentuk melalui proses dekarboksilasi histidin oleh enzim yang secara alami terdapat pada ikan. Pembentukan histamin oleh enzim ini berlangsung selama proses autolisis (Kimata 1961).

Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimiawi segera setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigor mortis enzim dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna, tekstur, bau dan penampakan ikan (Ilyas 1993).

Kadar histamin yang terbentuk pada tahap pendaratan ikan dipengaruhi oleh aktivitas dan kondisi penanganan ikan tuna di kapal. Informasi yang didapatkan dari awak kapal penangkap tuna menunjukan bahwa ikan tuna ini ditangkap dengan menggunakan sistem pancing (tuna long line). Ikan yang tertangkap akan segera dimatikan untuk mencegah penguraian ATP yang lebih cepat sehingga proses rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama.

Penanganan ikan di atas kapal penangkap diawali dengan sortasi jenis ikan, dan sortasi ukuran bila mungkin dilakukan penyiangan ikan dengan cara dibuang insang dan isi perutnya, hal ini dimaksudkan untuk mencegah proses pembusukan. Insang dan perut merupakan tempat berkumpulnya bakteri sehingga pembersihan insang dan isi perut dimaksudkan untuk menghambat kemunduran mutu ikan (Ilyas 1993). Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah menjaga agar ikan tetap dingin, bersih, tidak terluka, dan tidak terkena sinar matahari. Ikan kemudian harus disimpan pada suhu rendah (di bawah 5oC) dalam palka

atau peti-peti (sebaiknya berinsulasi) dengan menggunakan es atau direfrigerasi. Prinsip yang harus dipegang dalam penanganan dan transportasi ikan adalah cepat, bersih, hati-hati dan selalu pada suhu rendah, selama penanganan dan transportasi, ikan tidak boleh terkena sinar matahari dan sedapat mungkin dihindarkan dari kerusakan fisik.


(59)

Hasil pengamatan suhu ikan menunjukan bahwa kisaran suhu ikan pada saat dikeluarkan dari palka kapal rata-rata 2oC. Ikan tuna ini sebelumnya disimpan dalam palka kapal selama + 25 hari menggunakan refrigerated sea water (RSW) sebelum didaratkan di transit. Keuntungan cara ini adalah pendinginan lebih cepat dan merata, ikan selalu basah dan tidak tergencet atau terluka, tubuh ikan tidak mengalami gesekan dengan es, serta pembongkaran ikan dapat dilakukan dengan cepat.

b) Hasil pengujian kadar histamin pada Laboratorium Pengendali dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)

Hasil pengujian produk tuna ekspor dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil tersebut merupakan rata-rata kandungan histamin dari ikan-ikan yang diuji Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), DKI jakarta selama tahun 2008 (sampai dengan bulan Oktober). Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa kadar histamin dari ikan-ikan tuna pada bulan Juni-Oktober 2008 kadarnya masih dibawah 10 ppm. Terjadi penurunan kandungan histamin pada ikan-ikan yang duji selama tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Pada bulan Januari sampai Oktober 2006 terlihat kandungan histamin pada sampel rata-rata masih diatas 20 ppm (Syukur 2008). Penurunan ini diduga terjadi karena telah dilakukan perbaikan sistem manajemen mutu oleh pihak-pihak yang terkait (DKP, pengusaha, nelayan,dan lain-lain) hal ini dilakukan terkait dengan usaha untuk memenuhi persyaratan mutu yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor ikan tuna (Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa). Perbaikan tersebut meliputi perbaikan sistem penanganan, distribusi ataupun pengolahan ikan tuna.


(1)

b) Persamaan regresi standart histamin

IU A 188.95

0 190 B 1442.36

0.005 198 r 1.00 0.01 205 0.02 217 0.04 246 0.08 298 0.16 423

c) Contoh hasil pembacaan sampel

SAMPEL BOBOT IU Ppm

SAMPEL

GRADE A2 10.0371 192 1.05

B2 10.1930 192 1.04

d) Perhitungan :

Konstanta standart = μg/ml

Kadar histamin grade A =

= (192-188.95) μg x 5000 ml

1442.36 ml

10.0371 gr = 1.05 μg/gr

= 1.05 mg/Kg (ppm)

Kadar histamin grade A adalah 1,05 mg/Kg (1,05 ppm), berarti dalam 1 Kg ikan tuna grade A mengandung 1,05 mg histamin.


(2)

Lampiran 5. Foto pengujian TPC a). TPC ikan tuna grade A


(3)

(4)

(5)

(6)