Aksesibilitas Industri Agro Skala Mikro Kecil pada Sumber Pembiayaan dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Usaha di Kabupaten Bogor

AKSESIBILITAS INDUSTRI AGRO SKALA MIKRO KECIL
PADA SUMBER PEMBIAYAAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KINERJA USAHA DI KABUPATEN BOGOR

LILLAH WEDELIA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul aksesibilitas industri agro
skala mikro kecil pada sumber pembiayaan dan pengaruhnya terhadap kinerja
usaha di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya denganarahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Lillah Wedelia
H453120171

RINGKASAN
Lillah Wedelia. Aksesibilitas Industri Agro Skala Mikro Kecil pada Sumber
Pembiayaan dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Usaha di Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh PARULIAN HUTAGAOL dan ARIEF DARYANTO.
Industri agro merupakan salah satu sektor usaha mikro kecil bidang
pengolahan hasil pertanian dengan karakteristik sebagian besar usahanya berskala
kecil dan teknologi rendah. Industri agro mempunyai peran penting sebagai
sumber kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat. Namun pengembangan
industri agro masih dihadapkan dengan berbagai masalah, terutama rendahnya
aksesibilitas pada sumber pembiayaan formal. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
menganalisis aksesibilitas pada sumber pembiayaan formal, (2) menganalisis
pengaruh aksesibilitas industri agro skala mikro kecil pada berbagai sumber
pembiayaan terhadap kinerja usaha di Kabupaten Bogor.
Lokasi penelitian di Kabupaten Bogor dipilih secara purposive. Kabupten
Bogor merupakan daerah yang memiliki jumlah usaha mikro kecil yang besar di

Indonesia dan mampu menyerap tenaga kerja paling besar di Jawa Barat.
Pengambilan sampel didasarkan pada sentra industri mikro kecil yang terdapat di
Kabupaten Bogor. Pemilihan sampel dilakukan menggunakan metode snowball,
dengan jumlah sampel sebanyak 72 pengusaha. Model probit digunakan untuk
menjawab tujuan pertama, sedangkan metode dua tahap (two stage) digunakan
untuk menjawab tujuan kedua.
Aksesibilitas pada sumber pembiayaan formal dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan, jumlah aset dan posisi kepemilikan usaha. Akses kredit formal dan
semi formal mampu memberikan pengaruh positif terhadap kinerja usaha berupa
peningkatan aset, namun tidak berpengaruh terhadap peningkatan nilai produksi
dan pendapatan. Sedangkan kredit sumber pembiayaan informal tidak mampu
memberikan pengaruh terhadap kinerja usaha industri agro mikro kecil.
Sumber pembiayaan yang direkomendasikan bagi pengusaha mikro kecil
adalah sumber pembiayaan semi formal (PKBL). Bentuk pembiayaan semi formal
ditawarkan dengan bunga rendah, jadwal pembayaran yang tidak terlalu ketat
seperti bank, dan terdapat pembinaan atau monitoring terhadap usaha yang
dijalankan. Upaya peningkatan akses pada kredit dapat dilakukan dengan
meningkatkan karakter atau kemampuan pengusaha industri kecil, salah satunya
dengan peningkatan kemampuan inovasi produk melalui pelatihan atau
pembinaan baik dari segi manajemen usaha, informasi tentang akses kredit

maupun pasar.
Kata kunci: aksesibilitas, industri agro, pembiayaan, kinerja usaha

SUMMARY
LILLAH WEDELIA. Accessibility of Small and Micro Scale Agro Industries to
Sources of Financing and the Effect on Business Performances in Bogor Regency.
Supervised by PARULIAN HUTAGAOL and ARIEF DARYANTO

Agro industry is one of the small micro enterprises that process
agricultural product with the characteristic of the bussines is small and low
technology. Agro industry has an important role as a source of employment and
incomes. However, the development of agro industry is still faced with many
problems, especially the low accessibility to formal sources of finance. This study
aims to: (1) analyze the accessibility to formal sources of financing, (2) analyze
the effect of the accessibility of small micro-scale agro industries on a variety of
financing sources on the performance of business in Bogor Regency.
The study was conducted in Bogor Regency, West Java Province on
small micro-scale agro industry enterprises. The study location was selected
purposively with the consideration that the Bogor Regency is one of the areas that
have the largest number of small micro enterprises in Indonesia. The sampling

was based on a small micro industrial centers located in Bogor. Sample selection
is done by using the snowball method, with a total sample of 72 samples. Probit
model is used to answer the first aim, while the two-stage method is used to
answer the second aim.
Accessibility in formal sources of finance are influenced by the level of
education, the number of assets and business ownership position. Access to
formal and semi-formal credit is able to provide a positive influence on business
performance in the form of an increase in assets, but has no effect on the increase
in value of production and revenue. While informal credit sources of financing are
not able to give effect to the performance of small micro agro industrial business.
Semi-formal sources of financing (CSR) is recommended for
entrepreneurs. Semi formal forms of financing are offered at low interest rates,
payment schedules are not too tight as banks, and there is guidance or monitoring
of the business carried on. Efforts to improve access to credit can be done by
improving the character or the ability of small industrial entrepreneurs, one of
them with increased product innovation capabilities through training or coaching
both in terms of business management, information on access to credit and
markets.

Keywords: accessibility, agro industry, financing, bussines performace


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

AKSESIBILITAS INDUSTRI AGRO SKALA MIKRO KECIL
PADA SUMBER PEMBIAYAAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP KINERJA USAHA DI KABUPATEN BOGOR

LILLAH WEDELIA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Alla Asmara, SPt Msi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 ini ialah pembiayaan, dengan judul
Aksesibilitas Industri Agro Skala Mikro Kecil pada Sumber Pembiayaan dan
Pengaruhnya terhadap Kinerja Usaha di Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Parulian Hutagaol dan
Bapak Dr Ir Arief Daryanto, MEc selaku komisi pembimbing, yang telah banyak
memberikan arahan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan tesis. Ungkapan
terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, suami, serta seluruh keluarga, atas

segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memberikan wawasan baru bagi generasi
selanjutnya.

Bogor, September 2016

Lillah Wedelia

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Keseimbangan Pasar Kredit dan Assimetric Information
Akses Pengusaha Mikro Kecil terhadap Kredit

Industri Agro dan Usaha Mikro Kecil
Sumber Pembiayaan Usaha Mikro Kecil
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses pada Sumber Pembiayaan
Kinerja Usaha Industri Agro Mikro Kecil
Pengaruh Akses Kredit Terhadap Kinerja Usaha
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Penentuan Sampel
Analisis dan Pengolahan Data
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas Kredit
Formal oleh Industri Agro Mikro Kecil
Pengaruh Aksesibilitas Kredit terhadap Kinerja Usaha
Definisi Operasional
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Bogor
Analisis Sosial Ekonomi Sampel
Sumber Pembiayaan Industri Agro Mikro Kecil di Kabupaten Bogor

Aksesibilitas Industri Agro Mikro Kecil Pada Sumber Pembiayaan
Formal
Pengaruh Aksesibilitas Industri Agro Mikro Kecil Pada Sumber
Pembiayaan Terhadap Kinerja Usaha
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aksesibilitas Industri Agro
Mikro Kecil pada Berbagai Sumber Pembiayaan
Pengaruh Aksesibilitas terhadap Kinerja Usaha
5
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

xi
xi
xii
1
3
5

5
6
7
9
10
11
14
14
19
19
21
22
22
22
23
25
26
28
31
39

42
45
45
47
54
54
55
75

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Perkembangan jumlah, tingkat dan kontribusi UMK terhadap PDB
Indonesia tahun 2010-2012
Perkembangan posisi kredit bank umum dan kredit UMKM di Indonesia
dan Kabupaten Bogor tahun 2010-2012
Sentra-sentra industri kecil di Kabupaten Bogor tahun 2011
Rata-rata karakteristik usaha berdasarkan jenis industri mikro kecil di
Kabupaten Bogor
Rata-rata karakteristik usaha berdasarkan jenis sumber pembiayaan
yang diakses di Kabupaten Bogor
Distribusi sampel industri agro yang menggunakan sumber pembiayaan
formal di Kabupaten Bogor
Karakteristik berbagai sumber pembiayaan
Jumlah sampel yang diakses dan tidak diakses ke sumber pembiayaan di
Kabupaten Bogor
Hasil pendugaan parameter faktor-faktor yang mempengaruhi
aksesibilitas industri agro di Kabupaten Bogor
Hasil pendugaan persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
aksesibilitas industri kecil pada berbagai sumber pembiayaan
Hasil pendugaan parameter persamaan nilai aset tetap industri agro di
Kabupaten Bogor
Hasil pendugaan parameter nilai produksi industri agro mikro kecil di
Kabupaten Bogor
Hasil pendugaan parameter persamaan pendapatan usaha industri agro mikro
kecil di Kabupaten Bogor
Kriteria skim kredit yang diinginkan oleh pengusaha industri mikro kecil di
Kabupaten Bogor

1
4
30
36
38
39
40
43
44
46
48
50
52
53

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor tahun
2010-2013
Keseimbangan kredit dengan adanya credit rationing.
Pengaruh kredit terhadap penggunaan input dan penerimaan industri
agro skala mikro kecil
Hubungan input modal dengan marginal return
Kerangka pemikiran
Jenis kelamin pengusaha
Usia pengusaha
Tingkat pendidikan pengusaha
Jumlah tanggungan keluarga
Dummy posisi pemilik usaha
Dummy ikut organisasi
Dummy ikut pelatihan

3
7
16
17
21
32
33
33
34
35
35
36

DAFTAR LAMPIRAN
1

2

3

4

5

6

Program pendugaan persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
aksesibilitas industri agro skala mikro kecil pada sumber pembiayaan
formal menggunakan model probit dengan program SAS 9.1
Hasil pendugaan persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
aksesibilitas industri agro skala mikro kecil pada sumber pembiayaan
formal menggunakan model probit dengan program SAS 9.1
Hasil pendugaan persamaan faktor-faktor yang mempengaruhi
aksesibilitas industri agro mikro kecil pada berbagai sumber pembiayaan
menggunakan model multinomial logit (tahapan pertama dari Two Stage
model) dengan program SPSS.
Hasil pendugaan kinerja usaha (nilai aset) pengusaha industri agro skala
mikro kecil menggunakan program SPSS (tahapan kedua model two
stage)
Hasil pendugaan kinerja usaha (nilai produksi) pengusaha industri agro
skala mikro kecil menggunakan program SPSS (tahapan kedua model
two stage)
Hasil pendugaan kinerja usaha (pendapatan usaha) pengusaha industri
agro skala mikro kecil menggunakan program SPSS (tahapan kedua
model two stage)

63

64

66

70

71

73

1

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Usaha Mikro Kecil (UMK) mempunyai peran penting di dalam
pertumbuhan ekonomi terutama sebagai sumber kesempatan kerja dan pendapatan
masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS 2015), jumlah UMK terus
meningkat dimana terdapat lebih dari 56.2 juta unit usaha mikro kecil pada tahun
2014 dan mampu menyerap 97.2 persen tenaga kerja dari total angkatan kerja
yang ada dibanding usaha besar dan sedang yang hanya ada sekitar 600 ribu unit.
UMK dimasukkan sebagai elemen penting dari kebijakan nasional untuk
meningkatkan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan, terutama bagi
masyarakat miskin. Menurut Undang Undang No 6 tahun 2007 tentang kebijakan
pembangunan sektor riil dan program percepatan pembangunan infrastruktur serta
pemberdayaan usaha kecil menyatakan bahwa UMK telah menjadi fokus
pemerintah dalam mengembangkan sektor riil pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Indonesia. Fakta bahwa UMK merupakan sektor usaha yang mempunyai
daya tahan tangguh menghadapi goncangan ekonomi dan penyedia lapangan
kerja, (Tabel 1).
Tabel 1 Perkembangan jumlah, tenaga kerja dan kontribusi UMK terhadap PDB
Indonesia Tahun 2010-2012
Tahun
2010
No
1

Indikator

3

Persen

Jumlah

2012
Persen

Jumlah

Persen

Unit usaha (A+B)

54 397 324

100

55 162 164

100

56 485 594

100

A. Usaha mikro

53 823 723

98.95

54 559 969

98.91

55 856 176

98.89

573 601

1.05

602 195

1.09

629 418

1.11

Tenaga kerja (A+B)

96 641 917

100

98 877 789

100

104 395 487

100

A. Usaha mikro

93 014 753

96.25

94 957 797

96.04

99 859 517

95.65

B. Usaha kecil

3 627 164

3.75

3 919 992

3.96

4 535 970

4.35

PDB (A+B)

2 608 428

100

3 319 659

100

3 749 242

100

A. Usaha mikro

2 011 544

77.12

2 579 388

77.7

2 951 120

78.71

596 884

22.88

740 271

22.3

798 122

21.29

B. Usaha kecil
2

Jumlah

2011

B. Usaha kecil

Sumber: Kementrian Koperasi dan UMKM 2013
Peran penting usaha mikro dan kecil dapat dilihat dari jumlah unit usaha
yang besar dalam perekonomian, kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja,
serta sumbangannya terhadap pendapatan nasional (Tabel 1). Jumlah pelaku UMK
pada tahun 2012 adalah sebesar 56.48 juta atau 99.9 persen dari pelaku
perekonomian secara keseluruhan. UMK mampu menyerap tenaga kerja sebanyak
104.39 juta pekerja atau 94.21 persen dan memberikan kontribusi terhadap Produk
Domestik Bruto Nasional sebesar 45.5 persen (Kementrian Koperasi dan UMKM,
2013). Salah satu sektor UMK yang memiliki kontribusi penting dalam
perekonomian adalah usaha pengolahan pertanian/ industri agro. Industri agro
adalah usaha industri pengolahan yang memproduksi barang dan bahan baku

2

utama yang berasal dari sektor pertanian yang umumnya didominasi oleh industri
skala kecil. Rauf (2011) menyatakan bahwa investasi di sektor industri
pengolahan hasil pertanian umumnya mampu menurunkan tingkat kemiskinan
seluruh kelompok rumahtangga baik di perdesaan maupun perkotaan.
Kabupaten Bogor merupakan kabupaten dengan jumlah UMK terbesar
kedua di Propinsi Jawa Barat setelah Kabupaten Sukabumi. Jumlah UMK di
Kabupaten Bogor mencapai 1 157 unit atau sekitar 7.71 persen dari total jumlah
UMK di Propinsi Jawa Barat. Jumlah tenaga kerja yang diserap UMK di
Kabupaten Bogor merupakan jumlah yang terbesar kedua di Propinsi Jawa Barat,
jumlahnya mencapai 21 172 orang atau 6.25 persen dari total tenaga kerja yang
diserap UMK di Propinsi Jawa Barat (BPS Propinsi Jawa Barat, 2013). Kabupaten
Bogor memiliki potensi dalam pengembangan sektor usaha kecil bidang
pengolahan (khususnya sektor industri agro). Industri agro menjadi sektor
unggulan yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk unggulan
daerah yang berbasis sumberdaya lokal.
Pemerintah Kabupaten Bogor menilai bahwa industri agro khususnya yang
berskala kecil adalah salah satu potensi strategis yang mampu memanfaatkan
sumberdaya alam dan manusia sehingga pengembangan sektor ini perlu ditempuh
melalui pengembangan sentra industri. Kelompok sentra industri ini mempunyai
peranan yang strategis dalam membantu peningkatan pendapatan, penyerapan
tenaga kerja, kesempatan berusaha serta mampu mengatasi kemiskinan
(Dikukmperindag Kab. Bogor, 2013). Pengembangan industri agro di Kabupaten
Bogor masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan. Kendala dan
masalah yang dihadapi oleh industri ini sangat terkait dengan karakteristik
pengusaha dan karakteristik usaha industri tersebut. Beberapa kendala dan
masalah yang masih dihadapi industri agro secara umum adalah keterbatasan
modal, rendahnya pemanfaatan teknologi, rendahnya keterampilan sumberdaya
manusia, kualitas produk, keterbatasan manajemen dan teknis produksi (Pemda
Kab. Bogor, 2011). Keterbatasan modal merupakan masalah utama yang dihadapi
oleh industri agro di Kabupaten Bogor.
Keterbatasan modal industri agro mikro kecil di Kabupaten Bogor dapat
dilihat dari pertumbuhan kredit UMKM di Kabupaten Bogor dari tahun 2010
sampai 2012 juga masih sangat kecil dibandingkan dengan pertumbuhan kredit
nasional, yaitu hanya 8.59 persen. Walaupun share kredit UMKM untuk industri
pengolahan di Kabupaten Bogor cukup besar yaitu 26.11 persen, namun share
kredit tersebut masih didominasi oleh sektor perdagangan, yaitu 39.55 persen.
Dari total penyaluran kredit UMKM tersebut, usaha industri menengah lebih
mendominasi kredit tersebut yaitu 58.12 persen dari kredit untuk UMKM tahun
2012, diikuti industri skala kecil sebesar 27.84 persen, dan industri berskala mikro
hanya 14.05 persen, padahal jumlah industri mikro dan kecil memiliki jumlah
yang lebih besar dalam usaha industri pengolahan (Bank Indonesia 2013).
Posisi kredit industri pengolahan yang masih kecil dan kecilnya share
kredit yang diperoleh oleh industri kecil dan mikro menunjukkan bahwa
penyaluran kredit terhadap industri pengolahan khususnya industri agro masih
sangat rendah dan terbatas. Bank Indonesia (2010) menyatakan bahwa
keterbatasan modal yang masih rendah dari industri kecil disebabkan karena
rendahnya aksessibilitas industri tersebut pada lembaga-lembaga kredit formal
perbankan, sehingga cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari

3

modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang
perantara, bahkan rentenir. Kurangnya aksesibilitas pelaku industri kecil terhadap
lembaga pembiayaan masih menjadi isu yang perlu dikaji karena pembiayaan dan
akses ke pasar kredit merupakan unsur penting bagi industri kecil untuk
membantu mengembangkan usahanya, mengembangkan produk baru dan
menambah tenaga kerja serta meningkatkan aset produksi.
Perumusan Masalah
Industri agro merupakan usaha pengolahan hasil pertanian dengan
karakteristik sebagian besar usahanya berskala kecil dengan teknologi rendah.
Industri agro menjadi tahapan kelanjutan dari pembangunan pertanian dimana
pengembangan sektor industri agro akan menghasilkan produk yang memiliki
nilai tambah dan pangsa pasar yang besar, sehingga kemajuan yang dicapai sektor
ini akan mampu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi nasional secara
keseluruhan.
Sebagai daerah yang padat penduduk, pemerintah Kabupaten Bogor
dituntut dalam penciptaan lapangan usaha, dimana jumlah penduduk miskin
tertinggi di Jawa Barat berada di Kabupaten Bogor yaitu 446.04 ribu jiwa atau
9.19 persen (BPS, 2010). Adanya industri agro mikro kecil menjadi salah satu
solusi dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan di Kabupaten Bogor. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah tenaga kerja yang mampu di serap oleh usaha mikro
kecil dari tahun 2010 hingga 2013, (Gambar 1).

Sumber: BPS Kabupaten Bogor 2013
Gambar 1 Perkembangan jumlah tenaga kerja UMK di Kabupaten Bogor Tahun
2010-2013
Industri agro secara makro melibatkan tenaga kerja dalam jumlah yang
sangat besar antara lain petani, peternak, nelayan dan masyarakat luas di pedesaan
sehingga berfungsi sebagai pencipta kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan
pendapatan dan tepat untuk program pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu,
penting untuk secara bertahap meningkatkan pertumbuhan sektor industri agro
sehingga mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja dan mengurangi kemiskinan

4

di Kabupaten Bogor. Namun demikian, aksesibilitas yang terbatas pada sumber
pembiayaan dan kesulitan dalam pengadaan bahan baku serta pemasaran masih
menjadi isu umum yang dihadapi oleh industri agro di Kabupaten Bogor.
Aksesibilitas yang terbatas pada sumber pembiayaan dapat dilihat darri
pangsa kredit UMKM terhadap total kredit perbankan di Indonesia hingga tahun
2012 baru mencapai 19.44 persen, (Tabel 2). Dari pangsa kredit UMKM tersebut,
masih didominasi oleh kredit UMKM sektor perdagangan, yaitu sebesar 55.95
persen dari total kredit UMKM, sedangkan kredit UMKM sektor pengolahan
sebesar 9.82 persen dan UMKM sektor pertanian masih 8.23 persen. Pertumbuhan
kredit UMKM dari tahun 2010 hingga 2012 sebesar 45.95 persen, namun pangsa
kredit tersebut hanya berkisar 19 persen sampai 20 persen terhadap total kredit
yang disalurkan oleh bank umum. Kondisi yang sama juga terlihat pada posisi
kredit UMKM di Kabupaten Bogor, yaitu pangsa kredit UMKM terhadap total
pinjaman yang diberikan bank umum dan BPR pada tahun 2012 hanya mencapai
17.03 persen.
Tabel 2 Perkembangan posisi kredit Bank Umum dan Kredit UMKM di
Indonesia dan Kabupaten Bogor Tahun 2010 – 2012
2010
(miliar Rp)

2011
(miliar Rp)

2012
(miliar Rp)

Pertum
buhan
20102012

Share
sektor
Indo

Share
sektor
Kab
Bogor

I. Indonesia
Total kredit secara umum

1 765 485

2 200 094

2.707.862

53.35

-

-

360 673

458 164

526.397

45.95

19.44

-

17 095.153

21 675.652

26 679.9

56.07

-

-

4 183 946

3 716.449

4 543.416

8.59

-

17.03

Pertanian, peternakan, hut

121.387

188.201

281.499

131.9

8.23

6.2

Pertambangan, penggalian

44.841

19.327

22.34

-50.18

0.89

0.49

1 176.075

940.572

1 186.403

0.88

9.82

26.11

9.409

13.782

7.889

-16.15

0.28

0.17

950.035

321.542

439.738

-53.71

6.71

9.68

1 205.337

1 420.776

1 796.947

49.08

55.95

39.55

Total kredit UMKM
II. Kab Bogor
Total kredit secara umum
Total kredit UMKM

Industri pengolahan
Listrik, gas dan air bersih
Konstruksi
Perdagangan, hotel, resto
Pengangkutan, komunikasi

59.311

65.128

72.828

22.79

3.95

1.6

Keuangan, real estate

211.139

220.667

246.306

-39.39

7.6

5.42

Jasa-jasa

211.139

526.452

489.467

131.82

6.58

10.77

Sumber: Bank Indonesia 2013
Posisi kredit industri pengolahan yang masih kecil dan kecilnya share
kredit yang diperoleh oleh industri kecil mikro menunjukkan bahwa penyaluran
kredit terhadap industri pengolahan khususnya IKRT masih sangat rendah dan
terbatas. Hafsah (2004) dan Permatavitri et al. (2013) menjelaskan bahwa salah
satu hambatan dalam perkembangan usaha mikro kecil adalah keterbatasan dana
yang dimiliki serta sulitnya mendapatkan sumber dana yang dapat dimanfaatkan
untuk menjadi modal dalam mendukung produksi usaha dan terbatasnya akses
terhadap lembaga keuangan. Kurangnya akses pada keuangan formal membuat
industri masih banyak menggunakan modal sendiri dalam mengembangkan

5

usahanya. Paloma (2013): Azriani (2014): Wati (2014) pelaku usaha mikro kecil
khususnya bidang pertanian menghadapi kendala teknis terkait collateral dan
proses administrasi yang rumit dan memakan biaya, sehingga pelaku usaha
mencari alternatif sumber pembiayaan pada lembaga keuangan non formal.
Secara teoritis, keterbatasan aksesibilitas pada kredit bermula pada
asymmetric information yang terjadi pada pasar kredit terutama pada sumber
pembiayaan formal (Jaffe dan Modigliani 1969). Informasi yang tidak sempurna
menyebabkan empat masalah dalam pasar kredit, yaitu adverse selection, moral
hazard, kurangnya asuransi, dan kurangnya penegakan hukum, Simtowe et al
(2006). Hal ini yang akan membuat masalah keterbatasan aksesibilitas pada
sumber pembiayaan terjadi. Bank tidak tertarik dalam menawarkan kredit kepada
usaha kecil karena sangat sulit untuk mengatasi asymmetric information, skrining,
monitoring dan penegakan hukum. Dalam kondisi asymmetric information, bank
tidak yakin tentang perilaku masa depan peminjam dalam membayar kembali
pinjaman. Masalah asymmetric information lebih mungkin terjadi ketika bank
berurusan dengan usaha kecil dibandingkan usaha besar (Beck dan Demirguc
2004).
Berbagai bentuk pembiayaan telah banyak ditawarkan untuk usaha mikro
kecil termasuk industri agro, baik dalam bentuk kredit formal maupun semi
formal. Namun demikian, masih banyak pelaku usaha mikro kecil khususnya
industri agro yang belum menggunakan lembaga keuangan tersebut. Akses kredit
memungkinkan pengusaha industri kecil untuk mengatasi kendala likuiditasnya
dan melakukan beberapa investasi seperti peningkatan penggunaan input serta
peningkatan teknologi yang akan menghasilkan peningkatan produksi.
Keterbatasan aksessibilitas pada kredit akan mempengaruhi kemampuan pelaku
usaha industri agro untuk memenuhi kebutuhan permodalannya, yang pada
akhirnya akan mempengaruhi perkembangan usaha serta kesejahteraan pelaku
usaha. Penelitian ini mencoba mengkaji aksesibilitas industri pada sumber
pembiayaan formal dan mempelajari pengaruh aksesibilitas pada sumber
pembiayaan terhadap kinerja usaha industri agro skala mikro kecil.
1. Bagaimana aksessibilitas industri agro skala mikro kecil pada sumber
pembiayaan formal di Kabupaten Bogor?
2. Bagaimana pengaruh aksessibilitas industri agro skala mikro kecil pada sumber
pembiayaan terhadap kinerja usaha industri?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis aksessibilitas industri agro skala mikro kecil pada sumber
pembiayaan formal di Kabupaten Bogor
2. Menganalisis pengaruh aksesibilitas industri agro skala mikro kecil pada
sumber pembiayaan terhadap kinerja usaha industri di Kabupaten Bogor
Ruang Lingkup Penelitian
Aksessibilitas pengusaha pada sumber pembiayaan dibatasi hanya pada
industri agro skala mikro kecil atau dari sisi permintaan dan tidak menganalisis
dari sumber pembiayaan atau sisi penawaran. Sampel penelitian hanya pada sentra
industri mikro kecil yang mengolah hasil pertanian pangan di Kabupaten Bogor.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keseimbangan Pasar Kredit dan Asymmetric information
Aksesibilitas pada kredit secara teoritis berhubungan dengan
keseimbangan pasar kredit. Stiglitz dan Weis (1981) menjelaskan bahwa
mekanisme keseimbangan pasar kredit tidak sama dengan pasar barang dan jasa
pada umumnya, hal ini karena adanya informasi yang tidak sempurna. Prinsip
dasar ekonomi adalah keseimbangan pasar terjadi jika permintaan sama dengan
penawaran. Apabila permintaan melebihi penawaran, harga akan meningkat
sehingga terjadi penurunan permintaan dan/atau peningkatan penawaran sampai
permintaan dan penawaran kembali sama pada harga ekuilibrium baru, namun
kondisi tersebut tidak terjadi pada pasar kredit karena adanya masalah asymmetric
information. Asymmetric information adalah situasi dimana antara pihak
peminjam dan pemberi pinjaman memiliki informasi yang berbeda (informasi
tidak sempurna). Adanya informasi asimetrik menyebabkan terjadinya adverse
selection dan moral hazard.
Keseimbangan pasar kredit terjadi dengan adanya credit rationing. Credit
rationing terjadi ketika pemberi pinjaman membatasi kreditnya sehingga
permintaan kredit melebihi penawaran kredit pada tingkat kredit yang ditetapkan
oleh bank tersebut (Jaffee dan Modigliani, 1969). Adverse selection dan Moral
hazard adalah dua faktor penyebab terjadinya credit rationing. Pemberi pinjaman
ingin mengidentifikasi peminjam yang paling mungkin untuk membayar
pinjamannya karena penerimaan yang diharapkan bank tergantung pada
kemungkinan pembayaran. Adverse selection terjadi karena pemberi pinjaman
atau bank ingin mengidentifikasi peminjam yang paling mungkin untuk
membayar pinjamannya karena penerimaan yang diharapkan bank tergantung
pada kemungkinan pembayaran.
Moral hazard adalah masalah yang disebabkan oleh informasi asimetrik,
hal ini terjadi pada pasar kredit saat menaikkan suku bunga (Mehrteab, 2005).
Asumsi yang dilakukan adalah bank harus berinvestasi dalam salah satu dari dua
proyek (aman atau berisiko), proyek yang berisiko memiliki tingkat pengembalian
yang lebih rendah namun hasilnya akan tinggi jika berhasil. Sedangkan proyek
yang aman, memiliki kemungkinan keberhasilan yang lebih tinggi tetapi tingkat
pengembaliannya rendah. Bank tidak mengetahui proyek yang berisiko, pada
tingkat suku bunga yang lebih rendah akan lebih bermanfaat bagi peminjam untuk
berinvestasi dalam proyek yang lebih aman dan membawa hasil positif. Semakin
tinggi tingkat suku bunga, maka akan semakin tinggi pengembalian yang
diharapkan yang mendorong bank untuk memilih proyek tersebut. Adanya
asymmetric information menyebabkan bank tidak dapat secara langsung
mengontrol semua tindakan peminjam, karena itu bank akan merumuskan
ketentuan dari kontrak untuk mendorong peminjam agar mengambil tindakan
yang sesuai dengan kepentingan bank, serta menarik peminjam berisiko rendah.

7

Sumber: Freixas dan Rochet 1997
Gambar 2 Keseimbangan kredit dengan adanya credit rationing
Gambar 2 menjelaskan mengenai keseimbangan kredit dengan adanya
credit rationing. LS1 merupakan penawaran kredit oleh bank yang diturunkan dari
kurva penerimaan yang diharapkan bank, sedangkan LD1 merupakan permintaan
terhadap kredit. Kurva penawaran kredit oleh bank akan berbentuk Backward
Bending, karena setelah tingkat bunga R* penawaran kredit akan berkurang.
Interaksi antara penawaran kredit (LS1) dan permintaan kredit (LD1)
menyebabkan kondisi keseimbangan dengan tingkat bunga nominal R1. Jika
permintaan kredit meningkat menjadi LD2, maka akan menyebabkan suatu
kondisi dimana kurva permintaan dan penawaran tidak berpotongan, karena
penawaran dari kredit akan menurun setelah titik R *. Pada kondisi ini, suatu
keseimbangan dari pasar kredit dengan adanya credit rationing terjadi dengan
tingkat bunga R* dan keuntungan bank adalah 0, (Freixas dan Rochet 1997).
Masalah asymmetric information lebih mungkin terjadi ketika bank
berurusan dengan usaha kecil dibandingkan dengan usaha besar (Beck et al. 2004;
Cole 2004). Bank sulit untuk memastikan jika perusahaan memiliki usaha yang
layak atau memiliki kesediaan untuk membayar. Asymmetric information pada
usaha kecil tercermin dalam ketidakmampuan sebagian besar usaha kecil untuk
memberikan informasi, baik keuangan (pembukuan) maupun informasi non
keuangan (rencana bisnis realistis), sehingga akan meningkatkan biaya pinjaman
yang dikenakan bank serta akibatnya akan membatasi kemampuan bank untuk
menilai kelayakan kredit dari usaha kecil.
Akses Pengusaha Mikro Kecil terhadap Kredit
Diagne dan Zeller (2001) menyatakan bahwa individu atau rumah tangga
memiliki akses kepada sumber kredit tertentu, jika mampu meminjam dari sumber
tersebut, meskipun karena berbagai alasan memilih untuk tidak meminjam. Dalam
penelitian ini rumah tangga atau individu yang akses terhadap kredit adalah rumah
tangga pengusaha yang meminjam dari sumber kredit tertentu.

8

Akses pada kredit dianggap menjadi faktor penting dalam meningkatkan
kemampuan usaha kecil khususnya dalam pengembangan usahanya. Pengusaha
harus memiliki kelayakan (worthiness) untuk bisa mengakses kredit supaya dapat
meningkatkan modal usahanya. Secara umum, credit worthty bagi pengusaha
kecil merupakan alasan dan kriteria yang harus dimiliki untuk mengakses kredit
baik dari lembaga formal, semi-formal, maupun informal. Takyi (2011)
menyatakan bahwa nasabah harus memiliki lebih dari satu sumber penghasilan,
punya lahan sendiri, dan aset pribadi lainnya yang bukan lahan sehingga layak
memperoleh kredit mikro. Sebanyak 75 persen responden memperoleh kredit
karena memiliki sumber penghasilan lain yang dapat dijadikan jaminan jika usaha
yang sedang dijalani mengalami kegagalan.
Aksessibilitas usaha kecil pada kredit masih tergolong rendah. Parker et al
(1995) menyatakan akses terhadap pembiayaan masih menjadi kendala terbesar
bagi usaha kecil. Usaha kecil memiliki akses yang terbatas ke pasar modal baik
lokal maupun internasional, karena persepsi lembaga keuangan selama ini melihat
usaha kecil memiliki resiko yang lebih tinggi, hambatan informasi, dan biaya
intermediasi yang lebih tinggi. Akibatnya, usaha kecil sering tidak dapat
memperoleh pendanaan jangka panjang. Selain itu, usaha kecil juga menghadapi
kendala tenaga kerja yang berkualitas, kesulitan untuk mendapatkan akses
teknologi dan informasi yang tepat. Hal ini akan membatasi inovasi dan daya
saing usaha kecil. Usaha kecil dihadapkan pada masalah kurangnya keterampilan
manajemen wirausaha dan bisnis, kurangnya keterpaduan dan adanya berbagai
kepentingan yang membatasi kapasitas usaha kecil untuk mengembangkan
usahanya. Daya saing di pasar yang kurang, dan permintaan domestik yang
semakin berkurang, menyebabkan produk UMKM kalah bersaing dengan produk
impor.
Sebuah studi Bank Dunia menemukan bahwa sekitar 90 persen dari
perusahaan kecil yang disurvei menyatakan bahwa kredit adalah kendala utama
bagi investasi baru. Levy (1999) juga menemukan bahwa adanya aksessibilitas
yang terbatas kepada sumberdaya keuangan pada usaha kecil dibandingkan
dengan usaha yang lebih besar dan tentu saja akan berdampak pada pertumbuhan
dan perkembangan usaha kecil tersebut. Kayanula dan Quartey (2000)
menambahkan bahwa kendala lain yang dihadapi oleh usaha kecil adalah
kurangnya akses kepada teknologi yang tepat, keberadaan hukum, peraturan dan
aturan yang menghambat perkembangan sektor UMKM, lemahnya kapasitas
kelembagaan dan kurangnya keterampilan manajemen dan pelatihan. Usaha kecil
menghadapi berbagai kendala karena kesulitan untuk menyerap biaya tetap yang
besar, tidak adanya skala ekonomi, dan biaya per unit yang lebih tinggi. Usaha
kecil menghadapi berbagai kendala dalam ketersediaan pasar input dan biaya
input.
Hafsah (2004), usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pengembangan
UMKM, antara lain: (1) penciptaan iklim usaha yang kondusif dengan
mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan
prosedur perijinan usaha dan keringanan pajak, (2) bantuan permodalan dengan
memperluas skim kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan
UMKM untuk membantu peningkatan permodalan, (3) perlindungan jenis-jenis
usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan
ekonomi lemah, (4) pengembangan kemitraan antara UMKM dengan pengusaha

9

besar di dalam negeri maupun di luar negeri, (5) pelatihan dalam aspek
kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya
dalam pengembangan usaha, (6) membentuk lembaga khusus yang bertanggung
jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya
penumbuhkembangan UMKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam
rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang dihadapi
oleh UMKM, (7) memantapkan asosiasi untuk meningkatkan perannya antara lain
dalam pengembangan jaringan informasi usaha, (8) mengembangkan promosi
dalam upaya mempromosikan produk-produk yang dihasilkan, dan (9)
mengembangkan kerjasama yang setara antara pemerintah dengan dunia usaha
untuk menginventarisir berbagai isu-isu mutakhir yang terkait dengan
perkembangan usaha.
Azriani (2004) beberapa program yang telah dilakukan ternyata belum
memberikan implikasi sesuai dengan harapan, diantaranya strategi pemasaran
kurang diperhatikan, dimana produk cenderung tidak melihat selera konsumen,
adanya kredit-kredit murah yang dikeluarkan oleh bank, baik bank komersial
maupun bank sentral, telah memberikan pelajaran bahwa pemberian bantuan
likuiditas untuk KMKP dan KIK ternyata telah menimbulkan praktik moral
hazard di kalangan perbankan yang salah satu indikasinya adalah meledaknya
kredit bermasalah.
Industri Agro dan Usaha Mikro Kecil
Menurut Austin (1992), agroindustri adalah perusahaan yang memproses
bahan mentah asal pertanian termasuk didalamnya tanaman ternak dan berbagai
variasi tingkatan pengolahan mulai dari pembersihan dan mengelompokkan
sampai dengan penggilingan dan pemasakan. Industri agro sebagai perusahaan
atau industri pengolahan yang memproduksi barang dan bahan baku utama yang
berasal dari sektor pertanian. Sektor industri agro menitikberatkan kegiatan
industri hanya pada pengolahan hasil pertanian tidak termasuk industri peralatan
dan mesin pertanian maupun jasa sektor pertanian (Kementrian perindustrian).
Industri agro merupakan bagian dari usaha mikro kecil yang bergerak
dalam bidang pengolahan hasil pertanian. Pada umumnya usaha mikro kecil
dibedakan berdasarkan nilai aset atau kekayaan yang dimiliki, jumlah tenaga kerja
yang digunakan, dan penjualan per tahun. Badan Pusat Statistik (BPS)
memberikan definisi usaha kecil menengah berdasarkan kuantitas tenaga kerja.
Menurut BPS, usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga
kerja 5 sampai dengan 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitas
usaha yang memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2008 menyatakan bahwa usaha mikro adalah usaha produktif
milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memiliki aset
paling banyak sebesar Rp 50 juta dan omset tahunan maksimum sebesar Rp 300
juta per tahun. Usaha kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri,
yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan
anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau
menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau
usaha besar yang memiliki aset lebih dari Rp 50 juta sampai Rp 500 juta serta
memiliki omset tahunan diatas Rp 300 juta sampai Rp 2.5 milliar.

10

Dalam penelitian ini industri agro skala mikro kecil yang dimaksud adalah
usaha yang memiliki 1 sampai 19 orang tenaga kerja. Tambunan (2009)
menyatakan bahwa usaha mikro kecil di Indonesia dan negara sedang berkembang
lainnya memiliki ciri-ciri secara spesifik yaitu. 1) jumlah perusahaan, terutama
dari kelompok usaha mikro dan kecil sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok
perdesaan. 2) umumnya bersifat padat karya, sehingga berpotensi menumbuhkan
kesempatan kerja yang sangat besar. 3) usaha mikro dan kecil menggunakan
teknologi yang lebih sesuai terhadap proporsi faktor produksi dan kondisi lokal
setempat, yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja berpendidikan rendah yang
jumlahnya berlebih. 4) karena banyak tersebar di perdesaan, usaha mikro dan
kecil mempunyai kegiatan produksi yang umumnya berbasis pertanian. 5) pemilik
usaha mikro dan kecil pada umumnya membiayai sebagian besar kegiatan
produksinya dengan tabungan pribadi, ditambah pinjaman atau bantuan dari
kerabat, atau dari pemberi kredit informal, pedagang pengumpul, pemasok bahan
baku, dan pembayaran di muka dari konsumen.
Sumber Pembiayaan Usaha Mikro Kecil
Menurut Undang-undang No 10 tahun 1998, pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Menurut Antonio (2001),
pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang mengalami defisit unit (kekurangan dana). Bentuk
pembiayaan yang umum dikenal di Indonesia adalah kredit. Menurut Ellis (1992)
kredit adalah sejumlah uang yang dipinjamkan dari satu pihak (pemberi pinjaman)
ke pihak lain (peminjam) dengan unsur yang pentingnya yaitu uang dan tingkat
bunga. Menurut Firdaus (2004) kredit adalah pertukaran sesuatu yang berharga
dengan suatu barang lainnya baik itu berupa uang, barang ataupun jasa dengan
keyakinan bahwa uang atau barang tersebut mampu dibayar kembali dengan harga
yang sama pada waktu yang ditentukan bersama.
Sumber pembiayaan pada usaha mikro kecil terbagi menjadi sumber
pembiayaan formal, semiformal dan sumber pembiayaan non formal. Sumber
pembiayaan formal dapat disediakan oleh lembaga perbankan dalam bentuk kredit
usaha kecil dan kredit mikro, lembaga keuangan non bank dan pemerintah dalam
bentuk kredit program; sedangkan bentuk pembiayaan/kredit semiformal seperti
koperasi, kredit Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang merupakan
dana Coorporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan BUMN dan
berbagai lembaga keuangan mikro yang banyak beredar di tengah masyarakat.
Sedangkan sumber pembiayaan non formal terdiri dari arisan kelompok, pelepas
uang dan sebagainya yang tidak memiliki aturan dan badan hukum resmi.
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) merupakan salah satu sumber pembiayaan
formal yang menyediakan beragam pelayanan keuangan, seperti tabungan,
pinjaman atau kredit yang melayani masyarakat ekonomi lemah dan pengusaha
mikro yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal. LKM berfungsi
memberikan dukungan modal bagi pengusaha mikro dan masyarakat kecil
(Suyatno 1997). LKM di Indonesia menurut Bank Indonesia dibagi menjadi dua

11

kategori, yaitu LKM yang berwujud bank adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI)
unit desa, BPR, BKD (Badan Kredit Desa) dan non bank adalah Koperasi Simpan
Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Pedesaan
(LDKP), Baitul Mal Wattanwil (BMT), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
arisan, pola pembiyaan Grameen, Kelompok Swadaya Mayarakat (KSM), dan
credit union (Azriani 2008).
Sumber pembiayaan non formal seperti rentenir dan bank keliling tidak
direkomendasikan oleh pemerintah karena dianggap lebih membebani pengusaha
kecil dengan penerapan bunga yang tinggi walaupun dalam prakteknya petani
lebih mudah mengakses pada pelepas uang. Norton et al. (2010) mengatakan
bahwa lembaga informal dinilai mengeksploitasi pengusaha kecil karena
penerapan bunga yang tinggi. Tingkat bunga yang tinggi diterapkan karena
beberapa faktor, yaitu : sebagai biaya administrasi, biaya kesempatan karena
meminjamkan uang, risiko gagal dalam pengembalian, dan keuntungan yang
bersifat monopoli. Norton et al. (2010) juga menjelaskan bahwa pemerintah sudah
seharusnya memberi dukungan terhadap persoalan modal yang dihadapi
pengusaha kecil karena tidak sulit mengakses dari lembaga formal sedangkan
lembaga informal memberikan beban yang lebih besar kepada pengusaha kecil.
Sehingga peran pemerintah terhadap pemecahan masalah ini harus ditingkatkan
karena terkait dengan biaya untuk mengadopsi teknologi, peningkatan kapasitas
dan kemampuan pengusaha kecil dalam menggunakan input-input modern, dan
dapat menurunkan kesenjangan ekonomi di daerah perdesaan.
Untuk memfasilitasi usaha berskala kecil dan mikro, dibuatkan sebuah
skema kredit mikro. Kredit mikro dikembangkan untuk melayani masyarakat
miskin agar bisa membiayai kegiatan produktif yang dikerjakan sendiri sehingga
bisa meningkatkan pendapatan. Konsep kredit mikro itu sendiri merupakan
inovasi dari Grameen Bank di Bangladesh, yaitu berupa pinjaman dalam jumlah
minimal tanpa collateral (Nuswantara 2012). Grameen Bank merupakan pelopor
dalam pinjaman secara berkelompok (group based lending). Sistemnya, peminjam
secara sukarela membentuk kelompok dengan anggotanya sebanyak 5 orang,
selanjutnya mengikuti pelatihan tentang bagaimana kerja kredit program dan
memulai untuk menabung sebelum mereka mengajukan pinjaman. Semua anggota
kelompok bertanggung jawab untuk melakukan evaluasi, pengawasan dan
pelaksanaan pembayaran pinjaman. Grameen Bank tidak perlu meminta jaminan
atau agunan dari nasabahnya. Jika beberapa anggota kelompok mengalami
kegagalan pembayaran, maka 4 anggota lainnya harus menutupi pembayaran
kredit tersebut. Jika mereka tidak melakukan hal tersebut maka tidak ada satupun
dari anggota kelompok mendapatkan kredit sampai non performing loan nya
kembali dibayar.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akses pada
Sumber Pembiayaan
Usaha mikro kecil sangat erat kaitannya dengan pemilik usahanya,
sehingga karakteristik pemilik usaha sangat mempengaruhi keberadaan dan
perkembangan dari UMK. Untuk menjaga kelanjutan dan perkembangan
usahanya, pemilik usaha harus memiliki pengetahuan, keterampilan, kualitas dan
sikap yang diperlukan untuk mengembangkan usahanya. Sehingga, permasalahan

12

yang paling sering timbul dalam pengembangan UMK juga terkait dengan
karakteristik yang dimiliki oleh pemilik usaha dan UMK itu sendiri.
Beberapa studi empiris yang mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi
aksessibilitas usaha kecil pada kredit memperlihatkan bahwa aksessibilitas usaha
kecil pada sumber pembiayaan ditentukan oleh karakteristik pemilik, kondisi
sosial ekonomi pengusaha, karakteristik usaha, ketersediaan informasi dan
networking yang dimiliki pengusaha serta karakteristik dari pinjaman atau kredit.
Fernando et al (2002) menemukan bahwa karakteristik pemilik dapat menjadi
penentu yang paling penting dari keputusan kredit bank pada usaha kecil. Kondisi
sosial ekonomi pengusaha yang mempengaruhi aksessibilitas pada sumber
pembiayaan adalah umur, jenis kelamin, dan pendidikan pengusaha (Diagne dan
Zeller 2000; Okurut 2006; Pandula 2011; Nkuah et al 2013; Nguyen dan Luu
2013). Nkuah et al. (2013) dalam studinya tentang pembiayaan usaha kecil di
Ghana menemukan bahwa jenis kelamin pemilik usaha dan umur mempengaruhi
aksessibilitas usaha kecil pada kredit. Pemilik berjenis kelamin laki-laki memiliki
aksessibilitas yang lebih besar dibandingkan pemilik berjenis kelamin perempuan,
serta pemilik yang berumur produktif antara 31-50 tahun lebih akses pada kredit.
Nguyen dan Luu (2013) juga menemukan bahwa karakteristik pemilik seperti
usia, etnis, pengalaman usaha secara nyata mempengaruhi kemampuan untuk
meminjam dari sumber pembiayaan formal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pendidikan pengusaha memiliki
peranan yang penting dalam meningkatkan aksessibilitas usaha kecil pada sumber
pembiayaan. Han (2008) dan Pandula (2011) menemukan bahwa karakteristik
pengusaha seperti pendidikan menentukan aksessibilitas usaha kecil pada kredit.
Pendidikan merupakan faktor penting dalam aksessibilitas pada kredit formal
karena pemilik usaha yang lebih berpendidikan akan memiliki kemampuan yang
lebih baik untuk mencari informasi keuangan dan rencana usaha serta membangun
relasi yang lebih baik dengan institusi keuangan. Pemilik usaha yang lebih
berpendidikan akan memiliki skill manajerial yang lebih baik, sehingga pemberi
pinjaman akan cenderung memilih pemilik usaha yang lebih berpendidikan. Dari
sisi penawaran, lembaga keuangan juga lebih menyukai calon peminjam yang
memiliki pendidikan yang lebih tinggi, karena memiliki pemahaman tentang
kontrak kredit yang lebih baik. Studi Messah dan Wangai (2011) tentang faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi pada kredit di Kenya juga menemukan
bahwa tingkat pendidikan pemilik usaha merupakan faktor yang nyata
mempengaruhi usaha kecil untuk meminjam ke lembaga keuangan formal.
Pemilik usaha kecil dapat meningkatkan partisipasinya dalam pasar kredit dengan
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan bisnisnya serta memperbaiki
akuntansi dan sistem pembukuan yang tepat.
Disamping karakteristik individu pengusaha, karakteristik rumahtangga
pengusaha industri kecil juga mempengaruhi aksessibilitas pada sumber
pembiayaan. Karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi aksesibilitass pada
sumber pembiayaan antara lain komposisi dari aset rumahtangga, ukuran
rumahtangga, dan pendapatan per kapita rumahtangga (Diagne 1999; Diagne dan
Zeller 2001; Okurut 2006). Diagne dan Zeller (2001) serta Okurut (2006)
menyatakan aksessibilitas pada sumber pembiayaan bank dipengaruhi secara
positif dan nyata oleh usia, ukuran rumah tangga, tingkat pendidikan, pendapatan
kapita rumahtangga. Messah dan Wangai (2011) juga menemukan bahwa jumlah

13

tanggungan keluarga, dan pendapatan rumahtangga merupakan faktor yang nyata
mempengaruhi usaha kecil untuk meminjam ke lembaga keuangan formal.
Karakteristik dan aktivitas usaha merupakan faktor terpenting dalam
menentukan aksessibilitas usaha kecil pada sumber pembiayaan. Beberapa
penelitian menemukan bahwa umur usaha atau lama berusaha, ukuran usaha atau
skala usaha, nilai aset, periode operasi usaha, jenis usaha, dan informasi keuangan
usaha menentukan akses pada sumber pembiayaan (Thanh 2011; Isaac et al 2011;
Musamali dan Tarus 2013; Nguyen dan Luu 2013). Bukti empiris dari berbagai
studi menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara ukuran dan umur usaha
dengan sumber pembiayaan terutama perbankan. Hall et al . (2004) menyatakan
bahwa struktur modal dari suatu usaha sangat tergantung kepada umur usaha dan
ukuran usaha. Usaha-usaha besar secara umum lebih akses pada kredit bank
daripada usaha kecil.
Hasil studi Thanh (2011) dan Musamali dan Tarus (2013) juga
menunjukkan bahwa ukuran usaha dan umur usaha menentukan akses pemilik
usaha kecil pada sumber pembiayaan. Usaha yang lebih besar akan memiliki
agunan yang cukup untuk digunakan sebagai jaminan dalam mengakses kredit.
Isaac et al. (2011) yang mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi akses
usaha kecil pada lembaga keuangan di Zimbabuwe juga menemukan bahwa
ukuran usaha dan umur usaha adalah faktor-faktor yang menentukan aksessibilitas
pada sumber pembiayaan. Perusahaan baru akan cenderung mengandalkan ekuitas
awal dari pemiliknya daripada menggunakan sumber modal dari luar, sedangkan
perusahaan yang telah beroperasi lama akan memiliki reputasi yang telah
dibangun selama bertahuntahun, yang lebih menarik bagi pasar keuangan.
Bukti empiris juga menunjukkan bahwa kredit akan memberikan dampak
yang lebih nyata terhadap usaha jika diiringi dengan adanya pelatihan terhadap
usaha kecil. Kuzilwa (2005) menyatakan kredit dan pelatihan berdampak positif
pada kinerja perempuan pengusaha di Tanzania. Kredit dan pelatihan harus
dilaksanakan bersama-sama agar memberikan peranan yang lebih baik bagi usaha
kecil. Cunha (2007) menambahkan bahwa keterampilan dan pelatihan diperlukan
bagi pengembangan. usaha kecil karena memberikan keterampilan usaha yang
dibutuhkan untuk usaha kecil dan menyediakan kompetensi manajerial yang
dibutuhkan bagi perusahaan. Fasoranti et al. (2006) menguji dampak microcredit
dan pelatihan pada efisiensi dari p