Transformasi genetik Kentang (Solanum tuberosum L.) Kultivar Atlantik dengan Gen Penyandi Lisozim Melalui Perantara Agrobacterium tumefaciens

TRANSFORMASI GENETIK KENTANG (Solanum tuberosum L.)
KULTIVAR ATLANTIK DENGAN GEN PENYANDI LISOZIM
MELALUI PERANTARA Agrobacterium tumefaciens

BASO MANGUNTUNGI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transformasi Genetik
Kentang (Solanum tuberosum L.) Kultivar Atlantik dengan Gen Penyandi lisozim
melalui Perantara Agrobacterium tumefaciens adalah benar karya bersama saya
dan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Baso Manguntungi
NRP G353120121

RINGKASAN
Baso Manguntungi. Transformasi Genetik Kentang (Solanum tuberosum L.)
Kultivar Atlantik dengan Gen Penyandi Lisozim Melalui Perantara
Agrobacterium tumefaciens. Dibimbing oleh SUHARSONO dan UTUT
WIDYASTUTI.
Produktivitas tanaman kentang Indonesia pada tahun 2012 adalah 16.58
ton/Ha dan menurun pada tahun 2013 menjadi 16.01 ton/Ha. Kendala utama
dalam produksi kentang tersebut adalah penyediaan bibit yang kurang bermutu.
Selain itu, rendahnya produksi kentang juga disebabkan oleh iklim yang kurang
mendukung dan gangguan hama dan penyakit. Iklim di wilayah tropis sangat
mendukung berkembangnya penyakit. Bakteri adalah salah satu penyebab
penyakit utama pada tanaman kentang. Penyakit utama pada kentang yang
disebabkan oleh bakteri adalah penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia solanacearum dan busuk lunak yang disebabkan oleh Erwinia
carotovora. Untuk mengatasi masalah tersebut, tanaman yang resisten sangat

diperlukan. Perakitan tanaman yang resisten terhadap bakteri dapat dilakukan
melalui rekayasa genetika dengan menggunakan gen yang menghasilkan enzim
yang dapat mendegradasi dinding sel bakteri.
Lisozim merupakan enzim yang mampu menghidrolisis ikatan β-1,4glikosida dari peptidoglikan yaitu antara asam N-asetil glukosamin dan asam Nasetil muramat yang merupakan penyusun dinding sel bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif sehingga memiliki aktivitas bakterisidal. Enzim ini dapat
digunakan untuk menanggulangi penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R.
solanacearum dan busuk lunak yang disebabkan oleh E. carotovora yang
merupakan penyakit utama pada kentang. Penelitian ini bertujuan untuk
melakukan transformasi genetik kentang kultivar Atlantik dengan gen penyandi
lisozim melalui perantara Agrobacterium tumefaciens.
Transformasi genetik kentang dilakukan melalui metode ko-kultivasi
dengan menggunakan A. tumefaciens LBA 4404. Dari 240 eksplan yang terdiri
dari potongan ruas batang dan daun, penelitian ini menghasilkan 28 tunas putatif
transgenik. Analisis terhadap 2 tunas transgenik putatif menunjukkan bahwa
keduanya merupakan kentang transgenik yang mengandung gen lisozim di bawah
kendali promoter 35S CaMV dan terminator Nos. Berdasarkan efisiensi
transformasi maka eksplan daun dengan efisiensi transformasi 16.67% lebih baik
daripada eksplan ruas buku (internode) dengan efisiensi transformasi 6.67%.
Salah satu tanaman kentang transgenik yang mengandung gen lisozim adalah
tahan terhadap R. solanacearum dan terhadap E. carotovora, sedangkan tanaman

kentang nontransgenik rentan terhadap kedua jenis bakteri tersebut.
Kata kunci: busuk lunak, layu bakteri, kentang kultivar Atlantik, lisozim,
transformasi genetik

SUMMARY
Baso Manguntungi. Genetic Transformation of Potato (Solanum tuberosum L.)
Atlantic Cultivar With Gene Encoding for Lysozyme by Agrobacterium
tumefaciens. Supervised by SUHARSONO and UTUT WIDYASTUTI.
Indonesian potato crop productivity in 2012 was 16.58 tons/ha and
decreased in 2013 to 16.01 tons/ha. The main obstacle in the potato production is
inferior quality of seedlings. In addition, the low production of potato is also
caused by unfavorable climate and pests and diseases. Climate in the tropical
region strongly support the development of the disease. Bacteria is one of the
major causes of disease in the potato crop. Major bacterial diseases in potatoes is
caused by bacteria bacterial wilt caused by Ralstonia solanacearum and soft rot
caused by Erwinia carotovora. To overcome these problems, the plant resistant is
indispensable. The Assembly of plants that are resistant to bacteria can be carried
out through genetic engineering using genes that produce enzymes that degrade
bacterial cell walls.
Lysozyme is an enzyme that is able to hydrolyze the β-1,4glycosides bond

of peptidoglycan between N-acetyl glucosamine acid and N-acetyl muramic acid
which is a constituent of the cell wall of gram-positive and gram-negative
bacteria. This enzyme can be used to combat bacterial wilt caused by R.
solanacearum and soft rot caused by E. carotovora which is a major disease in
potatoes. This study aims to perform the genetic transformation of potato cultivars
Atlantic with lysozyme gene using Agrobacterium tumefaciens intermediaries.
Genetic transformation of potato is done by co-cultivation method using A.
tumefaciens method using LBA 4404 strain. From 240 explants consisting of an
internode and leaf disc, this study resulted 28 putative transgenic shoots. Analysis
of 2 putative transgenic shoots showed that these shoot are transgenic containing
lysozyme gene under the control of CaMV 35S promoter and the Nos terminator.
Based on the transformation efficiency, leaf explants with the transformation
efficiency of 16.67% better than the internode ones with a transformation
efficiency of 6.67%. One of the transgenic potato plants containing lysozyme gene
are resistant to R. solanacearum and E. carotovora, whereas the non-transgenic
potato plants susceptible to both types of bacteria.
Keywords: bacterial wilt, genetic transformation, lysozyme, potato cv. atlantic
soft rot

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

TRANSFORMASI GENETIK KENTANG (Solanum tuberosum L.)
KULTIVAR ATLANTIK DENGAN GEN PENYANDI LISOZIM
MELALUI PERANTARA Agrobacterium tumefaciens

BASO MANGUNTUNGI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Abjad Asih Nawangsih, MSi

Judul Tesis : Transformasi genetik Kentang (Solanum tuberosum L.) Kultivar
Atlantik dengan Gen Penyandi Lisozim Melalui Perantara
Agrobacterium tumefaciens
Nama
: Baso Manguntungi
NIM
: G353120121

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Ketua

Dr Ir Utut Widyastuti, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Departemen Biologi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Iman Rusmana, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 7 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada September 2013-Juni 2014
adalah transformasi genetik dengan judul Tranformasi Genetik Kentang (Solanum
tuberosum L.) kultivar Atlantik dengan Gen Penyandi Lisozim Melalui Perantara
Agrobacterium tumefaciens.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA
dan Ibu Dr Ir Utut Widyastuti, MSi selaku pembimbing, Ibu Dr Ir Abjad Asih
Nawangsih, MSi sebagai penguji, bapak Dr Ir Miftahudin, MSi sebagai ketua
program studi Biologi Tumbuhan (BOT) serta bapak Dr Ir Iman Rusmana MSi
sebagai ketua departemen Biologi atas saran dan arahannya. Terima kasih penulis
sampaikan kepada Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi tahun 2014
DIKTI atas nama Prof Dr Ir Suharsono, DEA dengan judul “Rekayasa Genetika
Tanaman dengan Gen Toleransi Aluminium dan Pembungaan” dengan kontrak
no. 48/IT3.11/LT/2014. Kami juga berterima kasih kepada bapak Dr Giyanto,
MSi di Departemen Proteksi Tanaman IPB yang telah memberikan isolat bakteri
R. solanacerum ras 3 dan E. carotovora ras 1 yang di gunakan dalam penelitian
ini. Terima kasih juga diucapkan kepada Ibu Nia Dahniar, SP Ibu Pepi Elvavina,
Amd dan Bapak Abdul Mulya yang telah membantu dalam penelitian ini.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, Kakak dan seluruh seluruh

keluarga. Ungkapan terima kasih disampaikan pada sahabat seperjuangan Plant
Genetic 2012 yaitu Mas Rudi, Mba Efa, Mba Fajri, Mba Destik, dan Tiwi.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada keluarga besar di laboratorium
Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman (BMST) dan juga di Laboratorium
Biotechnology Research Indonesia-The Nedherlands (BIORIN) yaitu Mba Ara,
Pak Asep, Pak Keres, Pak Iri, Pak Yanto, Pak Asri, Pak Ilyas, Ibu Ifha, Ibu Idha,
Pak Mulya, Pak Ari, Mba Isni, Kak Nurul, Kak Nuril, Mba Lia, Mas Wawan,
Mba Uuf, Mba Wiwin, Bustomi, Dwika, Ika, Icha, Eka, Carin, Lisa, Fredrick,
Nadea, Luthfi, Nurul dan Seni serta kepada keluarga besar program studi Biologi
Tumbuhan, keluarga besar Sahabat Indonesia berbagi (SIGI) Bogor, keluarga
besar Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana (HIMMPAS IPB) dan keluarga
besar Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum WACANA IPB) kami
mengucapkan terima kasih atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Baso Manguntungi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TINJAUAN PUSTAKA
Kentang Kultivar Atlantik
Lisozim
Perakitan Tanaman Kentang Transgenik
Ketahanan Kentang Terhadap Penyakit Layu Bakteri dan Penyakit Busuk
Lunak
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan dan Metode
Persiapan Eksplan dan Perbanyakan Planlet
Transformasi Genetik Kentang Melalui Perantara A. tumefaciens
Identifikasi Tanaman Transgenik dengan Metode Polymerase Chain
Reaction
Inokulasi Tanaman dengan R. solanacearum dan E. carotovora

Pengamatan Gejala Penyakit
HASIL DAN PEMBAHASAN
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi
1
2
2
3
3
3
4
5
7
7
7
7
7
8
9
9
10
16
16
16
17
22

DAFTAR TABEL
1 Tingkat ketahanan klon kentang terhadap serangan patogen
2 Presentase keberhasilan transformasi genetik kentang dengan
menggunakan eksplan internode dan daun
3 Frekuensi penyakit dan tingkat ketahanan 3 klon kentang terhadap R.
solanacearum dan E. carotovora berdasarkan seleksi in vitro dalam
kurun waktu 2 minggu.

9
10

14

DAFTAR GAMBAR
1 Peta daerah T-DNA plasmid pMSH1 (NAIST, Japan) (Handayani,
2013)
2 Regenerasi tunas putatif transgenik
3 PCR DNA genom tanaman kentang hasil transformasi dengan primer
spesifik 35S F dan Nos R
4 Morfologi klon kentang yang diinokulasi dengan bakteri R.
solanacearum dan E. carotovora

7
11
12
13

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Produktivitas tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) Indonesia pada
tahun 2012 adalah 16.58 ton/Ha dan menurun pada tahun 2013 menjadi 16.01
ton/Ha (Deptan 2014). Produksi kentang di Indonesia saat ini dihadapkan oleh
berbagai kendala. Kendala utama dalam produksi kentang tersebut adalah
penyediaan bibit yang kurang bermutu (Wattimena 1992). Selain itu, rendahnya
produksi kentang juga disebabkan oleh iklim yang kurang mendukung dan
gangguan hama dan penyakit (Rubatzky & Yamaguchi 1998). Iklim di wilayah
tropis sangat mendukung berkembangnya penyakit (Chozin 2006).
Bakteri adalah salah satu penyebab penyakit utama pada tanaman kentang
(Stead 1999). Penyakit utama pada kentang yang disebabkan oleh bakteri adalah
penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan busuk
lunak yang disebabkan oleh Erwinia carotovora. Layu bakteri ditemukan secara
luas, tidak hanya ditemukan pada wilayah tropis dan subtropis, namun juga
ditemukan pada daerah temperatur dingin (Hayward et al. 1998). Layu bakteri
bahkan dapat menurunkan produksi kentang sampai 80% (Wattimena1994).
Penyakit busuk lunak (soft rot) pada umbi menghambat pertumbuhan tanaman
kentang. Daerah beriklim hangat biasanya didominasi oleh bakteri E. carotovora
pv. carotovora sedangkan di daerah dingin (sejuk) oleh E. carotovora pv.
atroseptica. E. carotovora dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak, nekrosis
dan kelayuan (Maharijaya et al. 2008). Menurut Peraturan Menteri Pertanian
No.93/Permentan/OT.140/12/2011, E. carotovora merupakan jenis organisme
pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) tingkat 1.
Pengendalian penyakit yang disebabkan oleh bakteri dilakukan dengan
penggunaan kultivar tahan pada kentang (Samanhudi 2001), seleksi mikroba
rizhosfer yang merupakan antagonis terhadap bakteri R. solanacearum (Bustaman
2006), penggunaan bioagen dalam penanganan busuk lunak pada tanaman
kentang (Hajhamed et al. 2007), penggunaan Bacillus spp. dan Pseudomonas
fluoresen pada tanaman nilam (Chrisnawati et al. 2009) dan introduksi gen
antimikroba pada tanaman kentang (Rivero et al. 2011). Salah satu cara mengatasi
kerugian kentang akibat serangan penyakit layu bakteri dan busuk lunak adalah
merakit kultivar yang tahan terhadap penyakit tersebut. Kultivar tersebut tetap
harus memiliki pertumbuhan dan kualitas umbi yang baik. Secara umum sifat dari
kultivar yang diharapkan menjadi kultivar unggul di Indonesia diantaranya
memiliki umur panen yang pendek, berdaya hasil tinggi, kandungan bahan kering
tinggi, bentuk umbi yang baik, serta tahan terhadap penyakit utama kentang
(Wattimena 2000). Salah satu kentang yang yang dikenal memiliki daya produksi
yang baik adalah kentang kultivar Atlantik. Kentang kultivar Atlantik memiliki
bentuk umbi yang baik serta kandungan bahan kering yang cukup tinggi (Fock et
al. 2000), tetapi menurut Asnawati (2002) kentang atlantik termasuk kentang yang
rentan terhadap penyakit layu bakteri dan busuk lunak. Pemuliaan tanaman
dengan menggunakan teknik rekayasa dan transformasi genetik saat ini menjadi

2
metode yang banyak digunakan untuk memperoleh galur-galur tanaman unggul
yang toleran terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Burge et al. 2007).
Rekayasa genetik memungkinkan introduksi gen dari tanaman atau organisme lain
yang tidak berkerabat tanpa terkendala oleh kompatibilitas seksual yang
membatasi ruang gerak pemuliaan konvensional. Metode yang umum digunakan
dalam produksi tanaman transgenik adalah dengan bantuan Agrobacterium
tumefaciens. Gen yang sudah banyak diteliti dalam usaha mengatasi infeksi
bakteri pada organisme budidaya adalah gen lisozim. Lisozim dipergunakan untuk
merakit ikan transgenik tahan infeksi bakteri, seperti ikan zebra (Yazawa et al.
2006), udang (Litopenaeus vannamei) (Burge et al. 2007) dan ikan salmon (Salmo
salar L.) (Fletcher et al. 2011). Gen penyandi lisozim juga telah diintroduksikan
ke dalam genom rumput laut (Kappaphycus alvarezii) (Handayani 2013) dan padi
(Oryza sativa) (Ochieng 2014). Lisozim memiliki aktivitas bakterisidal yang
mampu menghidrolisis ikatan β-1.4-glikosida dari peptidoglikan yaitu antara asam
N-asetil glukosamin dan asam N-asetil muramat yang merupakan penyusun
dinding sel bakteri gram positif dan bakteri gram negatif (Li et al. 2008).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa lisozim ayam memiliki aktivitas
litik terhadap bakteri Micrococcus lysodeikticus, Flavobacterium columnare,
Aeromonas hydrophilla dan Vibrio anguillarum (Yazawa et al. 2006). Pada
bivalvia dan udang lisozim mampu membunuh bakteri gram negatif (Li et al.
2008). Selain itu, pada F2 ikan salmon, aktivitas litik lisozim pada ikan salmon
transgenik 40% lebih besar daripada ikan salmon bukan transgenik (Fletcher et al.
2011). Pada generasi F2, ekspresi gen lisozim pada ikan zebra transgenik
meningkatkan ketahanan terhadap infeksi F. columnare sebesar 65% dan 60%
terhadap infeksi Edwardsiella tarda, sedangkan ikan zebra nontransgenik tidak
tahan (Yazawa et al. 2006). Kemampuan lisozim ayam dalam melisis dinding sel
bakteri baik bakteri gram negatif maupun bakteri gram positif bisa dijadikan
acuan dalam meningkatkan resistensi tanaman kentang terhadap penyakit busuk
lunak dan layu bakteri.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan transformasi genetik kentang
(S. tuberosum) kultivar atlantik dengan gen penyandi lisozim melalui perantara
A. tumefaciens untuk memperoleh tanaman transgenik yang tahan terhadap
penyakit busuk lunak dan layu bakteri.

Manfaat
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memperoleh tanaman transgenik
yang mengandung gen penyandi lisozim yang tahan terhadap penyakit layu
bakteri dan busuk lunak.

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kentang Kultivar Atlantik
Kentang (Solanum tuberosum) kultivar Atlantik adalah kultivar yang berasal
Amerika Serikat dan diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1976 (Putter et al.
2014). Secara umum kultivar ini merupakan kultivar unggul yang memiliki umur
panen yang pendek, berdaya hasil tinggi, kandungan bahan kering tinggi, bentuk
umbi yang baik, serta tahan terhadap penyakit utama kentang (Wattimena 2000).
Tanaman kentang kultivar atlantik merupakan salah satu kultivar kentang
yang memiliki keunggulan komparatif dibandingkan kultivar kentang lainnya
yang dibudidayakan di Indonesia. Kentang kultivar atlantik memiliki beberapa
keunggulan, antara lain mampu beradaptasi di berbagai area pertanian, memiliki
produktivitas tinggi, dan memiliki karakteristik yang baik sebagai kentang olahan
(Suliansyah 2005). Kentang kultivar Atlantik memiliki bentuk umbi yang baik
serta kandungan bahan kering yang cukup tinggi (Fock et al. 2000). Secara umum
kentang kultivar Atlantik memiliki umur panen 100 hari, tinggi tanaman 50 cm,
bentuk penampang batang agak bulat, permukaan bawah daun bergelombang,
warna benang sari kuning, warna putik hijau, warna kulit umbi putih, warna
daging umbi putih dan hasil rata-rata produksi 20 ton/Ha. Kentang ini memiliki
kadar pati yang tinggi, gula yang rendah sehingga ketika digoreng tidak berwarna
kecikelatan dan kelihatan kering (Kementan 2000).

Lisozim
Lisozim adalah enzim yang terdistribusi secara luas, yang bisa ditemukan
pada serum, mukus dan beberapa jaringan vertebrata tingkat tinggi (Yazawa et al.
2006). Lisozim ayam telah dilaporkan memiliki aktivitas litik terhadap
Micrococcus lysodeikticus, Flavobacterium columnare, Aeromonas hydrophilla
dan Vibrio anguillarum (Yazawa et al. 2006). Adanya aktivitas lizosim dalam
membunuh bakteri secara enzimatis menjadikan lisozim sebagai salah satu
komponen penting dalam pertahanan organisme terhadap serangan bakteri
patogen (Li et al. 2008).
Berdasarkan struktur, sifat katalitik dan karakter imunologinya, lisozim
dibagi menjadi 6 tipe yaitu goose-type (G-type), chicken-type (C-type),
invertebrate-type (I-type), plant-type, bacterial-type, and phage-type (Wei et al.
2014). Selain itu, Thammasirirak et al. (2006) mengklasifikasikan lisozim
menjadi tiga tipe, yaitu chicken-type (C-type), goose-type (G-type) dan T4-type.
Lisozim yang paling banyak digunakan pada hewan atau tumbuhan budidaya
adalah lisozim tipe c (chicken lysozyme). Lisozim tipe c merupakan lisozim yang
disintesis pada saluran telur ayam (Nguyen-Huu et al. 1979).
Kajian aktivitas litik dari lisozim telah dilakukan pada F2 ikan salmon
transgenik. Aktivitas lisozim pada ikan salmon transgenik adalah 40% lebih besar
daripada ikan salmon non transgenik (Fletcher et al. 2011). F2 Ikan zebra
transgenik yang mengekspresikan lisozim ayam menunjukkan bahwa 65% tahan
terhadap F. columnare dan 60% terhadap infeksi Edwardsiella tarda, sedangkan

4
semua ikan zebra non transgenik tidak tahan terhadap bakteri tersebut (Yazawa et
al. 2006). Aktivitas lisozim pada ikan flounder sangat lemah terhadap E. tarda
dan Streptococcus sp. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas bakterial dari
lisozim sangat bervariasi pada spesies yang berbeda. Variasi yang berbeda
kemungkinan dipengaruhi oleh hubungan antara inang dan patogen dalam
pertahanan bawaan pada inang, selain itu dipengaruhi pula oleh jenis promoter
yang digunakan dalam mengontrol gen (Yazawa et al. 2006). Lisozim merupakan
enzim antimikrobia yang diyakini memainkan peran penting dalam imunitas
bawaan (innate immunity) (Fletcher et al. 2011). Aktivitas litik dari lisozim
didukung bagaimana lisozim tersebut berinteraksi dengan kandungan
lipopolisakarida dari dinding sel bakteri sedangkan untuk produksi ataupun
sekresi lisozim dalam banyak jaringan organisme di induksi oleh infeksi bakteri
itu sendiri (Cong et al. 2009).

Perakitan Tanaman Kentang Transgenik
Perakitan tanaman kentang yang tahan terhadap berbagai macam penyakit
saat ini banyak dilakukan oleh para peneliti. Pemanfaatan varietas tahan
merupakan alternatif pengendalian yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan.
Gen ketahanan (gen RB) yang berasal dari spesies liar kentang diploid Solanum
bulbocastanum memiliki spektrum yang luas terhadap P. infestans. Gen ini telah
diintroduksikan ke dalam kentang Katahdin melalui perantara Agrobacterium
tumefaciens. Tanaman transgenik Katahdin RB menunjukkan ketahanan yang
lebih tinggi terhadap penyakit hawar daun dibandingkan dengan tanaman non
transgenik pada pengujian di rumah kaca dan di lapangan. Untuk mendukung
program pemuliaan kentang tahan penyakit hawar daun di Indonesia, tanaman
transgenik Katahdin RB dapat digunakan sebagai sumber ketahanan. Persilangan
antara transgenik Katahdin (event SP904 dan SP951) dengan varietas kentang
yang rentan terhadap hawar daun (Atlantik dan Granola) menghasilkan klon-klon
kentang transgenik yang mengandung gen RB (Ambarwati 2012). Gen RB
mempunyai ketahanan yang bersifat durable dengan spektrum yang luas terhadap
ras-ras Phytophthora infestans di Amerika Serikat. Pada perakitan tanaman
kentang tahan penyakit hawar daun P. infestans di Indonesia, Katahdin transgenik
dijadikan sebagai donor tahan dalam persilangan dengan varietas rentan Atlantik
dan Granola. Analisis molekuler menunjukkan bahwa klon-klon hasil silangan
dianalisis secara molekuler mengandung gen RB (Ambarwati et al. 2012).
Transformasi genetik tanaman dengan menggunakan A. tumefaciens
diperoleh dengan jalan pemindahan T-DNA (transfer DNA) dari plasmid Ti
(tumor inducing) ke genom inang (Gelvin 2003). Proses transfer gen dari A.
tumefaciens ke sel tanaman terjadi dalam beberapa tahap, yaitu: 1) kolonisasi
bakteri; 2) induksi sistem virulensi bakteri; 3) pembangkitan kompleks transfer TDNA; 4) transfer T-DNA dan integrasi T-DNA ke dalam genom tanaman (Riva et
al. 1998). T-DNA adalah fragmen DNA penginduksi tumor yang mengakibatkan
pembentukan tumor pada tanaman. Secara alami T-DNA mengandung
serangkaian gen-gen penyebab tumor dan gen-gen sintesis opin. Proses transfer TDNA ke kromosom sel tanaman melibatkan dua faktor yang tak bisa dipisahkan
yaitu Agrobacterium dan sel tanaman itu sendiri. Agrobacterium dalam proses

5
transfer T-DNA berperan aktif karena kemampuan motilitasnya, sedangkan sel
tanaman menjadi pihak yang pasif. Sel tanaman yang mengalami perlukaan
merupakan jalan awal terjadinya transfer T-DNA (Gelvin 2003).

Ketahanan Kentang Terhadap Penyakit Layu Bakteri dan Penyakit Busuk
Lunak
Kendala utama dalam produksi kentang di Indonesia diantaranya
penyediaan bibit yang bermutu dalam jumlah yang cukup dan pemilihan kultivar
yang tepat (Wattimena 1992), faktor iklim yang kurang mendukung, serta
gangguan hama dan penyakit (Rubatzky & Yamaguchi, 1998). Iklim di wilayah
tropis sangat mendukung berkembangnya penyakit (Chozin 2006). Beberapa
bakteri telah diketahui dapat menyebabkan penyakit pada kentang (Stead 1999).
Penyakit pada tanaman kentang yang disebabkan oleh bakteri adalah penyakit
layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum dan penyakit busuk lunak
yang disebabkan oleh E.carotovora. Penyakit layu bakteri tidak hanya ditemukan
pada wilayah tropis dan subtropis, tetapi juga ditemukan di wilayah yang
temperaturnya dingin (Hayward et al. 1998). Layu bakteri dapat menurunkan
produksi kentang sampai 80% (Wattimena 2000). Penyakit busuk lunak
mengakibatkan penghambatan terhadap pengumbian dan juga terhadap
pertumbuhan tanaman. Daerah yang memiliki iklim hangat biasanya didominasi
oleh bakteri E. carotovora, sedangkan di daerah dingin (sejuk) didominasi oleh E.
carotovora. E. carotovora dapat menyerang apa saja dari bagian tanaman dan
dapat menyebabkan terjadinya busuk lunak, nekrosis dan kelayuan.
R. soalanacearum merupakan patogen yang tersebar luas di dalam dan di
permukaan tanah yang menyebabkan penyakit layu pada lebih dari 200 spesies
tanaman yang memiliki nilai ekonomi penting seperti tomat, kentang dan pisang.
Salah satu ciri dari penyakit ini adalah kolonisasi bakteri, perkembangan yang
cepat dan efektif pada jaringan xilem tanaman inang (Poueymiro & Genin 2009).
Penyebaran penyakit layu bakteri dapat pula melalui daun yang lembab (Poussiere
et al.2000). Penyakit ini dapat menurunkan hasil panen berkisar antara 10 sampai
80% (Zheng et al. 2014). Meskipun banyak metode yang digunakan dalam
penanganan terhadap penyakit ini, namun strategi sarana dan prasarana
pengendalian masih sangat terbatas (Pradhanang et al. 2003).
R. solanacearum merupakan agen penyakit pada tanaman yang dianggap
sebagai spesies kompleks yang menggambarkan tingkat heterogenitas dan tingkat
virulensi yang cukup tinggi. Tingkat virulensi yang tinggi dari R. solanacearum
ini tidak hanya membuat tanaman menjadi layu, namun juga dapat mematikan
tanaman inang secara bertahap (Blabel et al. 2005). Dalam berbagai kasus,
kolonisasi R. solanacearum tidak menyebabkan gejala pada inang yang terinfeksi.
Hal ini dikarenakan tingkat virulensi bakteri yang rendah bahkan tidak ada.
Resistensi tanaman terhadap penyakit layu bakteri juga ikut andil terhadap
pertahanan tanaman, bahkan pada kondisi yang menguntungkan bagi bakteri
tersebut sekaligus (Zheng et al. 2014).
E. carotovora menyebabkan busuk lunak yang ditandai dengan bercak
hitam dan batang berlendir pada tanaman. Bakteri E. carotovora adalah satusatunya bakteri patogen tumbuhan yang bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini

6
mempunyai aktivitas pektolitik yang kuat dan menyebabkan busuk lunak pada
tanaman famili solanaceae. Bakteri ini menyerang jaringan tanaman pada
umumnya melalui pelukaan dan juga dapat melalui lubang alami (Hardiyanto
2010).
Patogen busuk lunak E. carotovora dapat menyerang dan menghancurkan
jaringan akar, umbi, batang, daun dan buah. Patogen ini dapat memperbanyak diri
pada ruang intraseluler serta menghasilkan sekresi berupa enzim pektolitik dalam
jumlah besar. Suhu merupakan faktor utama yang menentukan pathogenesis
beberapa bakteri busuk lunak. E. carotovora dapat berkembang baik pada suhu
diatas 220C yaitu pada daerah iklim hangat (Handiyanti 2010). Penyakit busuk
lunak tergolong penyakit yang serius. Gejala serangan ditandai dengan munculnya
bintik-bintik kecil berwarna kecoklatan di permukaan daun. Bercak-bercak kecil
berair tersebut kemudian berkembang menjadi kecoklatan dan mengeluarkan bau
busuk (Hardiyanto 2010).
Perakitan kultivar yang tahan penyakit merupakan metode yang telah
dilakukan untuk mengatasi serangan E. carotovora dan R. solanacearum. Sumber
sifat ketahanan dalam proses perakitan kultivar unggul dapat diperoleh dengan
persilangan beberapa species liar dan kerabat dekat. Spesies liar yang diketahui
memiliki sifat toleran terhadap penyakit bakteri busuk lunak dan layu bakteri
adalah S. phureja (Fock et al. 2000). Wattimena (2000) memperkenalkan metode
seleksi in vitro kentang terhadap faktor biotik dan abiotik yaitu metode SSICD
(Single Seed in vitro clonal descent). Teknik inokulasi bakteri R. solanacearum
dan E. carotovora dengan metode gunting pucuk memiliki korelasi yang sangat
nyata dengan pengujian di lapangan (Samanhudi 2001). Penelitian serupa
dilakukan oleh Asnawati (2002) yang menggunakan metode gunting pucuk dan
metode siram untuk melakukan pengujian klon-klon yang tahan layu bakteri dan
busuk lunak. Metode gunting pucuk memiliki periode inkubasi lebih singkat
apabila dibandingkan dengan metode siram (Delfiani 2003). Menurut Niks dan
Lindhout (2006) keuntungan dari pengujian secara in vitro adalah mampu menguji
banyak klon dengan waktu dan tempat yang efisien serta kondisi yang terkontrol.
Seleksi klon kentang terhadap penyakit layu bakteri dan busuk lunak secara in
vitro diharapkan mampu menjadi alternatif tahapan awal dalam usaha
mendapatkan kultivar unggul kentang.

7

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2013 hingga April 2014,
bertempat di Laboratorium Kultur Jaringan dan Laboratorium BIORIN
(Biotechnology Research Indonesia-the Netherland) Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi (PPSHB), Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Metode
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kentang ‘Atlantik’ dari
PPSHB IPB Bogor. Koloni bakteri yang digunakan untuk transformasi adalah A.
tumefaciens strain LBA4404 yang membawa plasmid pMSH1-lys, sedangkan
untuk uji tantang menggunakan bakteri R. solanacearum ras 3 dan E. carotovora
ras 1 dari kubis yang berasal dari Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan
Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian IPB. Solanum stoloniferum
digunakan sebagai kontrol tahan terhadap R. solanacearum dan E. carotovora.
Peta daerah T-DNA pMSH1-lys (Handayani 2013) disajikan pada gambar 1.
Primer 35 S (5’-ATG GCT GGA GTA TTA GCT GGG-3’) dan Nos R (5’-CTC
ATAAAT AAC GTC ATG CAT TAC A-3’) digunakan untuk mengidentifikasi
tanaman transgenik.

Gambar 1 Peta daerah T-DNA plasmid pMSH1 (NAIST, Japan). NPT II adalah
gen seleksi neomycin phosphotransferase II, HPT adalah gen seleksi
hygromycin phosphotransferase, Lys adalah gen target yang dikontrol
oleh promoter cauliflower mosaic virus 35S (CaMV 35S) dan
terminator (T) nopaline synthase (Nos).

Persiapan Eksplan dan Perbanyakan Planlet
Tanaman in vitro kentang diperbanyak dengan menggunakan stek buku
tunggal. Stek di tanam pada media MS0 (Murashige and Skoog 1962) tanpa zat
pengatur tumbuh (MS) dan MS 2 makro (media MS0 yang ditambah 1x stok
makro) selama 4 minggu. Eksplan ditumbuhkan di ruang kultur dengan suhu 2425 oC, dengan pencahayaan 2000-3000 lux.

Transformasi Genetik Kentang Melalui Perantara A. tumefaciens
A.tumefaciens asal stok gliserol dikultur selama 36 jam pada media LB cair
yang ditambahkan kanamisin 50 mg/L, higromisin 50 mg/L dan streptomisin

8
50mg/L. Bakteri dikultur pada suhu 28 oC dalam kondisi gelap, selanjutnya
dikultur kembali pada media LB cair selama 18 jam suhu 28 oC juga dalam gelap.
A. tumefaciens disentrifugasi 6000 rpm, selama 15 menit, endapannya (pelet)
dilarutkan dengan media kokultivasi cair (MS instan 4.6 g/L + vitamin MS +
sukrosa 30 g/L + BA 0.5 mg/L + IAA 0.1 mg/L + 20 mg/L asetosiringon).
Eksplan yang digunakan adalah daun dan ruas antar buku (internode). Daun
(ukuran 0.5 cm x 0.5 cm) dan internode ukuran 0.5 cm-1 cm, direndam dalam
biakan A. tumefaciens OD 0.5-0.7 selama 10 menit. Eksplan kemudian ditanam di
media kokultivasi (MS instan 4.6 g/L + vitamin MS + sukrosa 30 g/L + BA 0.5
mg/L + IAA 0.1 mg/L + 20 mg/L asetosiringon + agar 2.8 g/L) selama 3 hari di
ruang gelap. Setelah dikokultivasi 3 hari, eksplan dicuci dengan air steril sebanyak
3 kali, direndam dalam larutan antibiotik (sefotaksim 200 mg/L) selama 10 menit,
setelah itu eksplan ditanam di media induksi kalus yaitu MS yang mengandung 3
mg/l BA, 2 mg/l IAA, dan 1 mg/l GA yang ditambahi dengan 2.8 g/l gelrite, 200
mg/l sefotaksim dan 10 mg/l higromisin selama 24 hari. Kalus yang resisten
terhadap higromisin ditanam di media regenerasi yang komposisinya sama
dengan media induksi kalus. Tunas yang tumbuh dari kaus dipotong dan
dipindahkan ke media MS2 makro.
Identifikasi Tanaman Transgenik dengan Metode Polymerase Chain Reaction
DNA kentang diisolasi menurut Doyle dan Doyle (1987) dengan cara
menghaluskan 0.1 g sampel, kemudian menambahkan 600 μL buffer CTAB 2%
(20 g/l CTAB, 150 ml/l 1 M Tris-Cl pH 8, 60ml/l 0.5 M EDTA pH 8.0) dan 1.2
μL mercapto etanol 0.2% dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit.
Larutan ditambah dengan 600 μL CI (chloroform: isopropanol; 24:1) dan
disentrifugasi dengan kecepatan 10000 rpm (Jouan Centrifuge BR4i) selama 5
menit pada suhu 4 oC, kemudian ditambah dengan 600 μL PCI (phenol:
chloroform:isopropanol; 25:24:1), dan disentrifugasi kembali pada 10000 rpm
selama 5 menit pada suhu 4 oC. Supernatan ditambah dengan 0.1 kali volume
dengan 2 M Sodium asetat pH 5.2 dan 2 kali volume dengan etanol absolut,
kemudian diinkubasi pada suhu -20 oC selama 3 jam. Selanjutnya suspensi DNA
disentrifugasi kembali pada 10000 rpm pada suhu 4 oC selama 5 menit. Endapan
ditambah dengan 500 μL etanol 70% (v/v), kemudian disentrifugasi 10000 rpm 4
o
C selama 5 menit. Endapan dikeringkan dengan vakum, disuspensikan dalam 20
μL ddH2O dan 4 μL 1 mg/mL RNAse, dan kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 10 menit. Aktivitas RNAse diinaktivasi pada suhu 70 oC selama 10 menit.
Amplifikasi DNA hasil ekstraksi dilakukan menggunakan mesin PCR. Primer
yang digunakan adalah 35 S F dan Nos R. Kondisi PCR adalah para-PCR 94 oC
selama 3, denaturasi 94 oC selama 30 detik, penempelan primer 64 oC selama 30
detik, ekstensi 72 oC selama 1 menit, dan pasca-PCR 72 oC selama 5 menit. PCR
dilakukan sebanyak 35 siklus. Untuk melihat pita DNA yang terbentuk, hasil PCR
dielektroforesis pada gel agarosa 2% dalam larutan penyangga TAE 1 kali dengan
voltase 50 V selama 50 menit. Gel diwarnai dengan perendaman di dalam larutan
EtBr (1mg/l) selama 15 menit kemudian dibilas dengan H20. Pengamatan
dilakukan terhadap pola pita DNA di bawah transiluminator UV.

9
Inokulasi Tanaman dengan R. solanacearum dan E. carotovora
Inokulasi tanaman dengan R. solanacearum dan E. carotovora dilakukan menurut
metode Asnawati (2013) dengan menggunting daun tanaman in vitro dengan
gunting yang sebelumnya dicelupkan di dalam suspensi bakteri yang mempunyai
kepekatan 1.2 x 109 sel/mL setiap akan menggunting daun tanaman. Banyaknya
tanaman yang diinokulasikan adalah 30 tanaman untuk setiap klon. Setiap
tanaman digunting tiga daun dan selanjutnya diinkubasi pada suhu 25-27 oC
selama 2 minggu sampai semua kontrol rentan mati. Pengguntingan juga
dilakukan pada daun tanaman in vitro tanpa pemberian inokulum patogen untuk
masing-masing klon sebagai kontrol.

Pengamatan Gejala Penyakit
Peubah yang diamati untuk jenis patogen tersebut adalah kejadian
penyakit. Kejadian penyakit adalah banyaknya tanaman yang mati dalam satuan
tanaman yang diamati. Kejadian penyakit dihitung dengan rumus:
FP = n/N x 100%
Keterangan:
FP = Frekuensi Penyakit (%)
n = Jumlah Tanaman Layu
N = Jumlah Tanaman yang diamati
Untuk mengetahui tingkat ketahanan tanaman yang diuji, maka frekuensi
penyakit dikonversi ke derajat ketahanan menurut Thaveechai et al. (1989).
Tabel 1 Tingkat Ketahanan klon kentang terhadap serangan patogen (Thaveechai
et al. 1989)
Frekuensi Penyakit (%)
0 – 20
21 -40
41 - 60
61- 100

Tingkat Ketahanan
Tahan (T)
Agak Tahan (AT)
Agak Rentan (AR)
Rentan (R)

10

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Transformasi genetik dilakukan menggunakan internode dan eksplan daun
tanaman kentang kultivar Atlantik. Efisiensi transformasi tanaman kentang
dengan eksplan internode sebesar 16.67% sedangkan eksplan daun sebesar
66.67%. Efisiensi transformasi ditentukan berdasarkan rasio antara eksplan
berkalus yang tahan terhadap higromisin dan keseluruhan eksplan yang
ditumbuhkan pada media seleksi selama 4 minggu (Tabel 2).
Tabel 2 Presentase keberhasilan transformasi genetik
menggunakan eksplan internode dan daun.
Pengamatan
Jumlah eksplan
Jumlah kalus tahan higromisin
Efisiensi Transformasi
Jumlah Kalus Beregenerasi
Efisiensi Regenerasi
Jumlah Tunas
Rata-rata tunas/Kalus

kentang

dengan

Eksplan
Internode
120
20
16.67%
4
20%
8
2

Daun
120
80
66.67%
10
12.5%
20
2

Efisiensi transformasi pada eksplan daun lebih baik dibandingkan dengan
eksplan internode (Tabel 2). Perbedaan efisiensi transformasi antara internode dan
daun dikarenakan adanya peristiwa pencokelatan. Pencoklatan (browning)
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap daya hidup sel sehingga
berpengaruh terhadap efisiensi transformasi. Pada penelitian ini eksplan internode
lebih cepat dan lebih banyak mengalami pencoklatan dibandingkan eksplan daun.
Pencokelatan tersebut dikarenakan produksi senyawa fenolik dengan konsentrasi
tinggi akibat adanya perlukaan. Pencoklatan pada jaringan muda lebih sedikit
dibandingkan dengan jaringan yang tua (George dan Sherrington 1984). Tang dan
Newton (2004) juga melaporkan bahwa pencoklatan bisa menurunkan regenerasi
secara in vitro terutama pada tanaman kultur jaringan yang regenerasinya melalui
jalur organogenesis.
Aktivitas enzim oksidase yang mengandung tembaga seperti polifenol
oksidase dan tirosinase yang disintesis dan tersedia pada kondisi oksidatif ketika
jaringan dilukai, merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya
pencokelatan (Lerch 1981). Substrat untuk enzim ini ada bermacam-macam pada
jaringan yang berbeda, yang umum adalah tirosin atau o-hidroksifenol seperti
asam klorogenik. Enzim dan substrat dalam keadaan normal tertahan dalam ruang
berbeda di dalam sel dan keluar bersama-sama pada saat sel dilukai atau hampir
mati. Fenol mempunyai fungsi alami penting dalam mengatur oksidasi IAA,
namun menjadi racun apabila konsentrasinya meningkat (Cassman et al. 1978).
Toksisitas fenol kemungkinan disebabkan oleh ikatan reversibel antara hidrogen
dan protein. Penghambatan pertumbuhan yang tidak dapat diperbaiki terjadi
ketika fenol teroksidasi menjadi senyawa aktif quinon yang tinggi dan

11
mengoksidasi protein menjadi senyawa melanat yang makin meningkat.
Mabolisme fenol mempengaruhi sistem kultur jaringan secara positif dengan
metabolisme auksin (kecepatan pembelahan sel dan sintesis dinding sel serta
senyawa-senyawa lain yang berhubungan), tetapi oksidasi fenol yang berubah
menjadi quinon menyebabkan pencoklatan medium dan kematian eksplan
(Hutami 2011). Azghandi et al. (2002) melaporkan bahwa pencoklatan pada
eksplan kalus dan media di sekitar kalus menjadi masalah pada fase inisiasi dan
proliferasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efisiensi regenerasi internode lebih
tinggi dibandingkan dengan efisiensi regenerasi eksplan daun (Tabel 2). Efisiensi
regenerasi pada internode sebesar 20% lebih baik dibandingkan efisiensi
regenerasi pada eksplan daun yang nilai efisiensinya sebesar 12.5%. Efisiensi
regenerasi dipengaruh oleh faktor internal tanaman seperti Zat Pengatur Tumbuh
(ZPT). Menurut Leksonowati dan Witjaksono (2011), perbedaan morfogenesis
tanaman dengan menggunakan eksplan daun dan internode disebabkan oleh
konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen yang berbeda dari satu macam eksplan
dengan eksplan yang lain. Konsentrasi hormon endogen yang rendah
mengharuskan aplikasi ZPT eksogen yang lebih tinggi. Perbedaan respon terhadap
ZPT eksogen yang berbeda juga mungkin disebabkan oleh perbedaan sensitivitas
jaringan terhadap zat pengatur tumbuh maupun perbedaan reseptor yang terdapat
dalam sel-sel dari jaringan yang berbeda tersebut.
Tunas yang tumbuh dari eksplan di media seleksi adalah tunas putatif
transgenik. Tunas yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media MS untuk
perbanyakan (Gambar 2).

1 cm

A

1 cm

B

1 cm

C
V
Gambar 2 Regenerasi tunas putatif transgenik. (A) Eksplan daun; (B) Eksplan
buku; (C) Tunas transgenik putatif.
Untuk identifikasi molekuler, dari 28 tunas transgenik putatif yang
dihasilkan, dipilih 2 tunas secara acak dan diuji secara molekuler. Tanaman
transgenik tersebut kemudian dinamakan AtLy1 dan AtLy2. Adanya integrasi gen
lisozim di dalam genom tanaman transgenik dianalisis dengan PCR menggunakan
primer spesifik. Primer yang dipakai dalam pengujian dengan PCR pada DNA
tanaman transgenik adalah primer spesifik 35S F dan Nos R yang mengapit gen
lisozim. Hasil amplifikasi dengan primer ini pada tanaman adalah fragmen DNA
yang berukuran 1000 pb, sedangkan tanaman non transgenik tidak menghasilkan
amplikon. Analisis terhadap kedua tanaman transgenik putatif menunjukkan
bahwa kedua tanaman tersebut adalah tanaman transgenik yang mengandung gen
lisozim yang diapit oleh promoter 35 S CaMV dan terminator Nos (Gambar 3)

12

M

AtNT

P

AtLy1 AtLy2

1000 bp

Gambar 3 PCR DNA genom tanaman kentang hasil transformasi dengan primer
spesifik 35S F dan Nos R. (M) Marker 1 kb; (P) Kontrol Plasmid yang
membawa gen lisozim; (AtLy1-2) Tanaman transgenik; (AtNT)
Tanaman non transgenik.
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa gen lisozim telah berhasil
dimasukkan ke dalam genom tanaman kentang kultivar Atlantik melalui A.
tumefaciens. Transformasi genetik dengan menggunakan A. tumefaciens sebagai
perantara merupakan salah satu metode yang banyak digunakan karena
integrasinya yang stabil di dalam tanaman (Liu et al. 2004). Menurut Travella et
al. (2005) teknik ini juga menghasilkan tanaman transgenik yang lebih stabil pada
generasi berikutnya.
Tanaman transgenik kemudian diuji tantang dengan menggunakan bakteri
R. solanacearum yang merupakan bakteri penyebab penyakit layu bakteri dan E.
carotovora yang merupakan penyebab penyakit busuk lunak pada tanaman
kentang. Pengujian dilakukan terhadap 1 klon kentang (AtLy1) dari 2 klon
kentang transgenik. Uji tantang dilakukan dengan cara menginokulasi tanaman
dengan patogen menggunakan metode gunting daun. Teknik inokulasi bakteri R.
solanacearum dan E. carotovora dengan metode gunting pucuk memiliki korelasi
yang sangat nyata dengan pengujian di lapangan (Samanhudi 2001). Metode
serupa telah dilakukan oleh Asnawati (2002) dalam melakukan pengujian
terhadap klon-klon kentang yang tahan layu bakteri dan busuk lunak. Asnawati
(2002) juga menggunakan metode siram dalam menguji ketahanan terhadap
penyakit bakteri. Metode gunting pucuk memiliki periode inkubasi lebih singkat
apabila dibandingkan dengan metode siram (Delfiani 2003). Menurut Niks dan
Lindhout (2003) keuntungan dari pengujian ketahanan kentang secara in vitro
yaitu mampu menguji banyak klon dengan waktu dan tempat yang efisien serta
kondisi yang terkontrol.
Pengamatan kepekaan terhadap serangan bakteri dilakukan dengan melihat
kondisi layu pada pengujian R. solanacearum dan kondisi membusuk serta
mengeluarkan lendir pada pengujian E. carotovora. Tanaman yang terserang R.
solanacearum pucuknya menjadi layu, daun-daunnya berwarna suram sampai
hijau pucat dan akhirnya menjadi coklat tanpa diikuti penggulungan tepi daun,
rontok dan batangnya roboh (Semangun 1991). Peristiwa kelayuan tanaman
dikarenakan adanya kolonisasi bakteri yang berkembang biak cepat pada jaringan
xilem sehingga menganggu proses transportasi air dan mineral (Poueymiro &
Genin 2009). R. solanacearum merupakan agen penyakit pada tanaman yang
dianggap sebagai spesies kompleks yang mempunyai tingkat heterogenitas dan
tingkat virulensi yang cukup tinggi. Tingkat virulensi yang tinggi dari R.

13
solanacearum ini tidak hanya membuat tanaman menjadi layu, namun juga dapat
mematikan tanaman inang secara bertahap (Blabel et al. 2005).
Batang dan daun yang terserang E. carotovora mengalamai pembusukan
dan mengeluarkan lendir yang disusul dengan daunnya menguning dan
menggulung ke atas. Bakteri ini mempunyai aktivitas pektolitik yang kuat dan
menyebabkan busuk lunak pada tanaman famili solanaceae. Bakteri ini
menyerang jaringan tanaman pada umumnya melalui pelukaan dan juga dapat
melalui lubang alami (Hardiyanto 2010). Peristiwa pembusukan dan pengeluaran
lendir dikarenakan bakteri E. carotovora dalam proses patogenesitasnya
mengeluarkan sejumlah enzim seperti selulase yang mendegradasi selulosa pada
dinding sel, serta enzim pektinase yang mendegradasi pektin yang menyebabkan
terjadinya maserasi lamella tengah sehingga terjadi pelunakan dan pengeluaran
substansi cairan sel (Agrios 1996).
Tingkat ketahanan tanaman didapat dengan mengkonversi besarnya angka
frekuensi terjadinya penyakit ke dalam skala tingkat ketahanan seperti yang
tercantum pada Tabel 1. Morfologi tanaman kentang yang terserang penyakit
tersebut dapat dapat dilihat pada Gambar 4.

1 cm

1 cm

A

D

1 cm

1 cm

B

E

1 cm

1 cm

C

F

Gambar 4 Morfologi klon kentang yang diinokulasi dengan bakteri R.
solanacearum dan E. carotovora. (A) S. stoloniferum diinokulasi
dengan R. solanacearum; (B) Kentang kultivar Atlantik transgenik
diinokulasi dengan R. solanacearum; (C) Kentang kultivar non
transgenik diinokulasi dengan R. solanacearum; (D) S. stoloniferum
diinokulasi dengan E. carotovora ; (E) Kentang kultivar Atlantik
transgenik diinokulasi dengan E. carotovora; (F) Kentang kultivar
Atlantik non transgenik diinokulasi dengan E. carotovora (F).
Data frekuensi terjadinya penyakit dan tingkat ketahanan klon kentang
terhadap bakteri R. solanacearum dan E. carotovora berdasarkan pengamatan
morfologi tersebut disajikan pada Tabel 3.

14
Tabel 3 Frekuensi penyakit dan tingkat ketahanan 3 klon kentang terhadap R.
solanacearum dan E. carotovora berdasarkan seleksi in vitro dalam
kurun waktu 2 minggu.
Klon Kentang
AtNT
AtLy1
S. stoloniferum

Frekuensi Penyakit (%)

Tingkat Ketahanan

R.solanacearum

E.carotovora

R.solanacearum

E.carotovora

100
16.67
3.33

100
6.67
3.33

R
T
T

R
T
T

Hasil pengujian terhadap frekuensi penyakit menunjukkan bahwa
frekuensi terjadinya penyakit pada klon-klon yang diinokulasikan dengan bakteri
R. solanacearum dan E. carotovora berkisar antara 3.33%-100%. Tanaman
kentang kultivar Atlantik transgenik yang mengandung gen lisozim memiliki
tingkat kejadian penyakit sebesar 16.67% terhadap R. solanacearum sehingga
digolongkan kedalam kategori tahan dan 6.67% terhadap E. carotovora yang juga
digolongkan ke dalam kategori tahan. Semua tanaman nontransgenik terserang
oleh kedua jenis bakteri tersebut sehingga digolongkan kedalam kategori rentan.
Lisozim merupakan enzim antimikroba yang mempunyai peranan penting
dalam imunitas bawaan (Fletcher et al. 2011). Hal ini bisa terlihat dari tingkat
kejadian penyakit pada kentang transgenik yang mengandung gen lisozim.
Lisozim memiliki aktivitas bakterisidal yang mampu menghidrolisis ikatan β-1,4glikosida dari peptidoglikan yaitu antara asam N-asetil glukosamin dan asam Nasetil muramat yang merupakan penyusun dinding sel bakteri gram positif dan
bakteri gram negatif (Li et al. 2008). Peptidoglikan merupakan polimer dinding
sel terkhusus untuk bakteri yang menentukan bentuk sel dan memberikan
perlindungan terhadap tekanan turgor sel. Pemutusan ikatan β-1,4-glikosida
mengakibatkan hilangnya integritas peptidoglikan, yang pada akhirnya
mengakibatkan lisis sel bakteri pada kondisi lingkungan yang hipotonis. Pada
bakteri gram negatif proses pemutusan ikatan β-1,4-glikosida dari peptidoglikan
secara tidak langsung terjadi karena pada membran luar dikelilingi oleh
lipopolisakarida (Masschalck & Michiels 2003). Pada bakteri gram negatif adanya
lipopolisakarida akan diuraikan oleh sistem imun bawaan pada tumbuhan seperti
laktoferin dan defensin yang memiliki sifat permeabilitas terhadap
lipopolisakarida yang mengelilingi peptidoglikan dinding sel bakteri gram negatif.
Selanjutnya, terjadi modifikasi dinding sel menjadi untaian glikan yang
mempermudah kerja lisozim (Raymond et al. 2005; Bera et al 2007).
Aktivitas bakterial dari lisozim sangat bervariasi antarspesies. Faktor yang
mempengaruhi adanya variasi respons antar spesies dipengaruhi oleh hubungan
antara inang dan tingkat pertahanan inang terhadap patogen secara genetik
(Yazawa et al. 2006). Lisozim merupakan enzim antimikroba yang diyakini
memainkan peran penting dalam imunitas bawaan (innate immunity) (Fletcher et
al. 2011). Aktivitas bakterisidal lisozim didukung bagaimana lisozim tersebut
berinteraksi dengan kandungan lipopolisakarida dari dinding sel bakteri (Cong et
al. 2009), karena beberapa lisozim dikenal berfungsi sebagai enzim pencernaan
(Callewaert & Michiels 2010). Peran lisozim sebagai enzim pencernaan
memungkinkan bakteri bisa menjadi sumber makanan (Fujita 2004), sedangkan

15
untuk produksi ataupun sekresi lisozim dalam banyak jaringan organisme di
induksi oleh infeksi bakteri itu sendiri (Cong et al. 2009).
Menurut Semangun (1991), ketahanan tanaman terhadap patogen dibagi
menjadi dua yaitu ketahanan horizontal dan ketahanan vertikal. Ketahanan
horizontal dikontrol oleh banyak gen sehingga disebut multigenik. Gen-gen
tersebut memberikan pengaruh dengan cara mengontrol tahapan-tahapan fisiologis
tanaman yang merujuk pada sistem mekanisme pertahanan. Ketahanan horizontal
tidak melindungi tanaman dari infeksi, tetapi menghambat perkembangan patogen
hingga penyebaran penyakit juga terhambat (Semangun 1991). Ketahanan vertikal
adalah ketahanan pada tanaman yang dikontrol oleh satu gen yang disebut juga
ketahanan monogenik. Gen yang bersifat monogenik mengontrol hampir
keseluruhan tahap interaksi inang dan patogen, sehingga besar peranannya dalam
ekspresi ketahanan. Ketahanan vertikal menghambat epidemi dengan cara
mambatasi perkembangan inokulum patogen (Agrios 1996)
Kentang kultivar Atlantik transgenik ini dapat dimanfaatkan untuk
mempelajari mekanisme pertahanan kentang terhadap infeksi bakteri penyebab
penyakit busuk lunak dan layu bakteri. Selain itu, ketika kentang kultivar Atlantik
transgenik ini telah tahan terhadap penyakit busuk lunak dan layu bakteri dapat
berguna untuk meningkatkan produksi kentang.

16

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Kentang kultivar Atlantik transgenik yang mengandung gen lisozim di
bawah kendali promoter 35S CaMV dan terminator Nos telah diperoleh melalui
transfer gen dengan A. tumefaciens. Dengan menggunakan 240 eksplan, 28 tunas
putatif transgenik telah diperoleh. Analisis molekuler dua tunas transgenik putatif
menunjukkan bahwa kedua tunas tersebut adalah transgenik. E