Tinjauan Pustaka PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

5 Kepercayaan masyarakat Simalungun ini memiliki pro-kontra, ada yang mengatakan dongeng dan ada juga yang mengatakan bahwa cerita itu adalah sejarah. Akan tetapi, penelitian ini bukan membahas kebenarannya melainkan bagaimana pandangan masyarakat Simalungun terhadap totem tersebut. Peneliti untuk meneliti bagaimana pandangan masyarakat Simalungun pada masa kini terhadap sistem kepercayaan masyarakat terhadap hewan dan menjadikan hewan sebagai nenek moyang atau sebagai salah satu pelindung. Dimana pada saat sekarang melihat bahwa teknologi semakin canggih serta pemikiran manusia yang semakin berkembang, sehingga penelitian ini penting untuk dilakukan.

1.2. Tinjauan Pustaka

Istilah totemisme berasal dari kata Ojibawa suku bangsa Algonkin dari Amerika Utara ditulis secara beragam totem, tatam, dodaim. Durkheim mengembangkan suatu defenisi mengenai religi yang dapat mengatasi segala jenis aneka warna-warni ekspresi keagamaan yang di kenal manusia di muka bumi ini Thouless 1995 : 144. Dalam hal itu Durkheim menentang konsep religi J.G Frazer yang memandang religi dalam masyarakat manusia itu gejala-gejala yang bersangkutan dengan suatu alam dunia yang ada di luar batas kemampuan akal manusia, yang oleh Frazer disebut “dunia gaib” atau dunia supernatural. Hal itu disebabkan karena pada penduduk pribumi Australi seolah-olah tidak ada 6 batas antara dunia yang ada di dalam batas akal manusia dan dunia gaib yang ada di luarnya. Banyak contoh di mana orang-orang Australia itu menghubungkan benda-benda atau kekuatan-kekuatan yang dapat mereka kuasai penuh dengan akal mereka sebagai benda-benda keagamaan. Durkheim juga tidak setuju dengan M. Muller yang beranggapan bahwa agama berasal dari kebutuhan azasi manusia untuk mencari masalah kekuatan hakiki apa yang menguasai hidupnya dan alam sekitarnya itu, dan dari masalah itu timbulah gagasan- gagasan mengenai dewa-dewa, roh-roh, dan Tuhan. Keberatan Durkheim adalah bahwa walaupun manusia sekarang sudah banyak menemukan kekuatan yang menguasai hidupnya dalam alam sekitarnya, religi dan agama tetap belum terdesak dari hidupnya. Lagipula banyak religi dalam berbagai kebudayaan di Dunia tidak mengenal adanya dewa-dewa atau roh-roh. Namun, kata Durkheim ada satu hal yang selalu ada dalam segala macam gagasan dan perilaku keagamaan makhluk manusia, yaitu perasaan atau sentimen bahwa hal-hal yang bersangkutan dengan religi atau agama itu bersifat keramat, berbeda dengan hal-hal yang tidak bersangkutan dengan religi atau agama yaitu bersifat profan. Dengan demikian ia sampai pada suatu defenisi kerja mengnai religi, yang berbunyi: “suatu religi itu adalah suatu sistem berkaitan dari keyakinan- keyakinan dan upacara-upacara yang keramat artinya yang terpisah dan pantang, keyakinan-keyakinan dan upacara yang berorintasi kepada suatu komunitas moral, yang disebut umat Koentjaraningrat 2007:95. 7 Dengan defenisi tersebut, Durkheim kemudian meninjau berbagai macam teori yang ada tentang asal mula religi. Dalam hal itu ia tentu pertama- tama membahas teori E.B Taylor tentang animisme. Seandainya memang benar bahwa agama timbul karena pada suatu saat tertentu ada makhluk- makhluk manusia salah menginterpretasikan mimpi, seperti apa yang dikatakan oleh Taylor. Maka sudah tentu religi itu sebagai ilusi sejak lama telah hilang dari masyarakat manusia. Dan karena itu ada suatu sistem yang lebih azasi, dan karena itu lebih tua dari animisme dan sistem religi, yaitu totemisme Koentjaraningrat 2007:95 Durkheim mensurvei semua karangan yang pernah terbit mengenai masalah totemisme, untuk kemudian mengkhususkan kepada totemisme masyarakat penduduk pribumi Australi. Suatu gejala penting yang di temukannya dalam data yang dipelajari itu adalah hubungan erat antara organisasi sosial, sistem klan 6 , dan keyakinan kepada totem, yang sebenarnya tidak lain dari sebutan dan lambang dari klan dan sekaligus juga merupakan suatu jenis binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda-benda keramat. Binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda yang dianggap totem sama sekali bukan hal yang harus ditakuti atau yang mengesankan. Dan sering sekali hanya berupa batu atau pohon biasa yang tidak berbeda sama sekali dengan batu atau pohon lain, dan tanpa dijiwai oleh adanya suatu keyakinan akan adanya roh yang menempatinya. Namun totem melambangkan solidaritas klan, memberi nama yang merupakan identitas klan, timbul dalam upacara- 6 Klan merupakan sinonim dari kata kelompok ataupun suku 8 upacara klan dan seni hias mentato kulit, memberi nilai keramat kepada segala halyang ada sangkut pautnya. Dengan demikian bukan binatang, tumbuh-tumbuhan, atau benda itu sendiri yang sebenarnya penting dalam konsep totem, melainkan suatu prinsip yang menyebabkan dijadikan lambang dari suatu kesatuan sosial, yaitu prinsip yang oleh Durkheim disebut “ prinsip totem” Koentjaraningrat 2007:97. Emosi keagamaan sebagai sebagai unsur elementer dalam kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif para warga klan, yang sebaliknya dapat diintensifkan lagi oleh emosi keagamaan yang ditimbulkan dalam upacara totem itu Saifuddin 2005 : 12. Kesadaran kolektif memberi semangat hidup baru yang dibutuhkan oleh tiap warga klan apabila mereka nanti dalam musim berburu harus kembali lagi kepada kehidupan mereka yang terpisah selama beberapa bulan untuk berjuang mencari nafkah. Agama yang di anggap paling primitif menurut Durkheim adalah totemisme. Totemisme merupakan fenomena yang menunjuk kepada hubungan organisasional khusus antara suatu suku bangsa dan suatu spesies tertentu dalam wilayah hewan atau tetumbuhan. Hubungan ini diungkapkan sebagian dalam upacara-upacara khusus dan sebagian lagi dalam aturan-aturan khusus perkawinan di luar suku bangsa. Totemisme merupakan fenomena yang sangat beraneka ragam dan luas. Hal ini dapat dilukiskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktik yang mewujudkan gagasan tertentu dari suatu hubungan “mistik” atau ritual 9 antara anggota-anggota kelompok sosial atau suatu jenis binatang atau tumbuhan. Fenomena tersebut mengandung perintah-perintah yang dijunjung tinggi, seperti larangan membunuh atau makan daging binatang totem atau menganggu tanaman totem. Para anggota dari kelompok sosial itu juga percaya bahwa mereka diturunkan dari satu leluhur totem yang mistis, atau bahwa mereka dan para anggota dari totem sejenis merupakan “saudara”. Mereka menggunakan totem sebagai simbol kelompok dan mengangapnya sebagai “pelindung” kelompok secara keseluruhan mereka juga melakukan “upacara pengembangan” untuk menghasilkan perlipat gandaan jenis totem itu. Kebiasaan suku bangsa Indian Amerika, sebagai mana digariskan John Long, menekankan aspek pengajaran dari totemisme untuk individu yang nasibnya dihubungkan dengan nasib binatang totem itu. Roh penjaga suku bangsa Indian Amerika menjadi milik orang yang telah melihatnya dalam suatu penglihatan, bukan milik kelompok sosial. Totemisme tidak bisa dicampur adukkan dengan binatang pemujaan, totem tidak dipuja. Makhluk-makhluk totem tidaklah diseleksi atas dasar penampilan mereka yang mengesankan. Kesucian mereka hanyalah sekunder, yang lebih penting adalah lukisan makhluk-makhluk pada kayu dan batu. Dalam tindakan dan upacara totem, kepentingan religius yang paling utama adalah pengaktualisasian identitas antara totem dan kelompok. Dalam upacara-upacara ini tanda totem dilukiskan pada tubuh, atau tarian-tarian dilakukan dalam bentuk tanda totem. Pada umumnya tato adalah 10 ciri totem dan suku-suku Indian Amerika menghiasi diri mereka dengan bagian-bagian dari binatang totem, misalnya bulu-bulu sebagai hiasan kepala. Apakah makna religius dari fenomena totem, dimana manusia menemukan dasar mutlak dari hidupnya. Tentu saja ada suatu pengartian mencolok dari hubungan yang dekat antara manusia dan alam sekitarnya, suatu pengartian mengenai ketunggalan tertentu dengan kosmos dan mengenai partisipasi dengan totalitas kosmis. Totemisme memainkan peranan penting dalam perkembangan teori keagamaan abad 19 dan awal abad ke-20, terutama untuk pemikir seperti Emile Durkheim, yang memusatkan studinya ke kebudayaan primitif. Emile Durkheim dalam bukunya The elementary Forms of the Religious Life 1915. Pandangannya bermula dari empat ide pokok, yaitu a bahwa agama primitif adalah kultus marga khan, b kultur tersebut adalah totemisme, c tuhan marga adalah marga itu sendiri, dan d totemisme merupakan bentuk yang paling dasar atau primitif, yaitu bentuk asli dari agama yang dikenal sekarang ini. Dengan mendasarkan diri pada ide-ide tersebut Durkheim berpendapat bahwa totemisme itu terdapat dalam masyarakat yang memiliki kultur dan struktur sosial yang paling sederhana. Agama menurutnya adalah suatu kesatuan sistem kepercayaan dan ibadat dalam kaitannya dengan benda-benda suci sacred dan terlarang, yaitu benda-benda yang disisihkan dari lain- lainnya. Kepercayaan dan ibadat tadi menyatu kedalam kelompok moral yang dinamakan jamaah, yakni semua mereka yang mengikutinya Mariasusai, 2010 : 7. 11 Menurut Durkheim lebih lanjut, totemisme merupakan semacam Tuhan yang tidak bersifat kemanusiaan, yang menetap di bumi dan bersenyawa dengan benda-benda yang tak terbatas jumlahnya, dan erat hubunganya dengan makna dan ide yang sejenis dengan masyarakat primitif. Menurut Robertson Smith totemisme, religi tertua umat manusia dalam tingkat kehidupan yang masih sederhana iyalah pemujaan terhadap totem. Totemisme adalah suatu religi dimana kelompok manusia menganggap bahwa diri mereka adalah keturunan dari suatu jenis binatang atau tumbuhan tertentu, sehingga mereka memuja binatang atau tuumbuh-tumbuhan totemnya serta membangun tiang totem sebagai tempat pemujaan. Binatang totem tabu untuk di bunuh atau di makan. Menurut P.P. Arnadit pada masyarakat flores terdapat sisa-sisa totemisme. Hal ini terlihat misalnya dari nama suatu klan di Maumere yaitu Kuat Era kuat artinya klan, sedangkan era artinya penyu ada pula klan yang bernama Kuat Higite 7 Razak, 2007:54. Fungsional atau fungsi ditinjau dari segi etimologi adalah kegunaan lawan dari disfungsi, sedangkan menurut terminologi adalah suatu metode untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan struktur sosial dalam suatu tataran masyarakat Pius A. Partanto, M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Para peneliti sosial, kata Durkheim harus dapat mengkombinasikan penelitian untuk mencari asal-usul dan sebab pendekatan historis, disatu pihak dan penentuan fungsi-fungsi dari suatu fenomena sosial pendekatan 7 Kuat Higite artinya kerbau yang kuat 12 fungsional dari pihak lain.kita harus menentukan apakah ada satu hubungan antara kenyataan sosial yang diteliti dengan kebutuhan umum organisme sosial. Kalau ada maka hal tersebut terdiri dari hal-hal apa saja, dan bagaimana prosesnya sehingga hubungan tersebut terjadi. Pendekatan fungsional di peloporioleh dua peneliti inggris yang hidup sezaman, yaitu Radcliffe Brown dan Malinowski. Bronislaw Malinowski 1884 – 1942 merupakan salah satu tokoh antropologi yang menggagas dan berhasil mengembangkan teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan. Teori Fungsionalisme dikembangkan selama Perang Dunia II mengisolir diri bersama penduduk asli pulau Trobrian untuk mempelajari cara hidup mereka dengan jalan melakukan observasi berperan serta participant observation. Ia mengajukan teori fungsionalisme, yang berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan merupakan bagian-bagian yang berguna bagi masyarakat di mana unsur-unsur tersebut terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi dasar di dalam kebudayaan yang bersangkutan Baharrudin, 2011:45. Malinowski mengacukan konsep budaya terhadap mikrokosmos masyarakat tribe masyarakat sederhana, primitive, dan sebagainya yaitu suatu masyarakat yang unsur-unsurnya berfungsi sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi. Konsepsi yang melihat budaya dari sebuah masyarakat tribe 13 sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi adalah sebuah pemikiran baru dalam ilmu antropologi. Dari pandangan yang seperti inilah kemudian kita mengenal istilah, “budaya Jawa”, “budaya Batak”, “budaya Simalungun”. Malinowski menekankan betapa pentingnya mengkaji fungsi atau guna, dari unsur-unsur suatu budaya terhadap budaya secara keseluruhan. Jadi disini Malinowski juga mengacukan konsep fungsi terhadap suatu sistem, bukan hanya pemenuhan terhadap pemenuhan atas kebutuhan psikobiologis manusia. Unsur-unsur penting dari budaya sebuah masyarakat adalah misalnya sistem politik, sistem kepercayaan, sistem ekonomi, dan sistem kekerabatan. Dalam hal ini Malinowski betapa pentingnya meneliti fungsi dari suatu sistem tersebut di atas bagi keutuhan kerja masyarakat budaya secara keseluruhan. Menurut Grabb Ada dua hal yang paling menonjol mengenai fungsionalis: 1. Pengamat berkeyakinan bahwa jika struktural fungsionalis menguraikan tugas-tugas masyarakat sebagai fungsi, maka mereka sebenarnya mempromosikan pandangan bahwa struktur-struktur dan institusi-institusi dari masyarakat yang ada adalah baik dan ideal yang berfungsi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Implikasinya adalah, bahwa setiap perubahan dalam tatanan yang sudah mantap dalam konteks ini niscaya disfungional yakni terganggunya kerja masyarakat yang setabil, jadi para pengeritik berkeyakinan bahwa struktural fungsionalis secara tersirat mengadopsi begitu 14 saja pandangan bahwa struktur sosial itu tidak berubah, kadang-kadang dikombinasikan dengan diabaikannya perubahan sosial. 2. Gagasan fungsi berkenaan dengan bagaimana kita memutuskan, andai kata sesuatu berfungsi atau tidak berfungsi struktur atau institusi atas dasar apakah struktur atau institusi tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Bagi kritikus penilaian semata-mata atas dasar ini menyiratkan bahwa suatu struktur atau sistem aturan dianggap fungsional selama ini ia memenuhi tugas-tugas tertentu dalam masyarakat yang terpenting tak soal konsekwensi-konsekuensinya. Di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari banyak interaksi baik interaksi sosial maupun interaksi bermasyarakat, secara garis besarnya manusia akan selalu hidup dalam keadaan berinteraksi sosial. Karena disamping itu manusia juga sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial.

1.3. Rumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

8 111 119

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

12 80 112

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

4 37 112

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 11

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 1

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 20

PATTANGAN (Studi Etnografi Mengenai Kepercayaan Marga Besar pada Masyarakat Simalungun di Saribudolok terhadap Hewan)

0 0 2

BAB II GAMBARAN UMUM - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 1 27

BAB I PENDAHULUAN - Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 2 24

Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal (Studi Etnografi Mengenai Persepsi Masyarakat Terhadap Pendidikan Formal di Desa Parbutaran Kec. Bosar Maligas Kab. Simalungun)

0 0 15