Definisi Variabel Penelitian

3.4 Definisi Variabel Penelitian

Berikut adalah penjelasan dari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

3.4.1 Variabel Dependen

1. Cash Holding ( CASHHOLD it )

Tingkat cash holding perusahaan didefinisikan dengan cash to assets ratio , yaitu cash and cash equivalents dibagi dengan net assets , dimana net assets merupakan book value of assets dikurangi dengan cash and cash equivalents . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Opler et al (1999), Ferreira Vilela (2004), Ozkan dan Ozkan (2004), Custodia, Ferreira, dan Raposo (2005), Baum et al (2006), Datta dan Jia (2012), Bigelli dan Vidal (2012), Islam (2012), Gill dan Shah (2012), dan Al-Najjar (2013).

3.4.2 Variabel Independen

3.4.2.1 Faktor Karakteristik Perusahaan

1. Rasio Aset Lancar/ Current Assets ( CA it )

Sebuah akun neraca yang menunjukan nilai dari semua aset yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam waktu satu tahun dalam kegiatan operasional perusahaan. Aset lancar meliputi kas, piutang, persediaan, surat berharga, biaya dibayar dimuka, dan aset likuid lainnya yang dengan mudah dikonversi menjadi kas. Aset ini digunakan untuk Sebuah akun neraca yang menunjukan nilai dari semua aset yang diharapkan akan dikonversi menjadi kas dalam waktu satu tahun dalam kegiatan operasional perusahaan. Aset lancar meliputi kas, piutang, persediaan, surat berharga, biaya dibayar dimuka, dan aset likuid lainnya yang dengan mudah dikonversi menjadi kas. Aset ini digunakan untuk

ini dibuktikan bahwa aset lancar dapat dianggap sebagai subtitusi dari memegang kas. Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara aset lancar dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade-off theory dan pecking order theory. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Islam (2012).

2. Rasio Penggunaan Hutang/ Leverage ( LEV it ) Jika investasi atas aset likuid yang didanai dengan pendanaan

eksternal (hutang) meningkat maka perusahaan akan memiliki tingkat kas yang lebih rendah. Hal ini menunjukan bahwa tingkat kas akan menurun dengan hutang yang semakin besar (Baskin, 1987). Perusahaan dengan tingkat leverage yang lebih besar memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendanaan eksternal lebih mudah dan murah sehingga memungkinkan perusahaan untuk mengurangi jumlah kas yang dipegang (Ferreira dan Vilela, 2004).

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada hubungan negatif antara leverage dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan pecking order theory dan free cash flow theory. Variabel ini digunakan pada penelitian: Opler et al (1999), Ozkan dan Ozkan (2004), Ferreira dan Vilela (2004), Bates et al (2009), Datta dan Jia (2012), Bigelli dan Vidal (2012), Islam (2012), dan Al-Najjar (2013).

3. Rasio Market-To-Book Value ( MTB it ) Perusahaan dengan kesempatan investasi yang kurang baik

cenderung memegang kas lebih banyak untuk memastikan tersedianya dana investasi pada proyek-proyek berkembang, meskipun NPV proyek tersebut negatif. Hal ini akan berdampak pada menurunnya shareholder value (Ferreira dan Vilela, 2004).

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara MTB dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan free cash flow theory . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Ozkan dan Ozkan (2004), Ferreira dan Vilela (2004), Bigelli dan Vidal (2011), Datta dan Jia (2012), Gill dan Shah (2012), dan Islam (2012).

4. Rasio Growth Opportunity/ Tobin’s Q ( TOBINS it ) Sama halnya dengan MTB, variabel Tobin’s Q juga digunakan

sebagai proksi dari growth opportunity perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dengan peluang investasi yang kurang baik akan memegang kas lebih banyak untuk memastikan tersedianya dana investasi pada proyek- proyek berkembang (Ferreira dan Vilela, 2004).

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara Tobin’s Q dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade-off. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Islam (2012).

5. Rasio Modal Kerja Bersih/ Net Working Capital to Net Assets ( NWCNA it ) Variabel ini merupakan aset likuid non-kas yang bisa dianggap

sebagai subtitusi kas karena aset ini mudah untuk dikonversi menjadi kas. Selain itu, biaya konversi aset tersebut lebih murah jika dibandingkan pendanaan melalui utang atau ekuitas. Perusahaan dengan aset likuid-non kas yang tinggi cenderung memegang kas lebih sedikit.

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara net working ca pital to net assets dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade off theory dan pecking order theory . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Ozkan dan Ozkan (2004), Ferreira dan Vilela (2004), Bigelli dan Vidal (2011), Datta dan Jia (2012), Gill dan Shah (2012), Islam (2012), dan Al-Najjar (2013).

6. Pembayaran Dividen/ Dividend Payments ( DIVDUM it ) Perusahaan yang membayarkan dividen ke pemegang sahamnya

akan mendapatkan pendanaan biaya yang rendah dengan mengurangi pembayaran dividen. Sehingga perusahaan yang membayar dividen cenderung memegang uang kas lebih sedikit jika dibandingkan dengan perusahaan yang tidak membayar dividen.

Berdasarkan argument tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara pembayaran dividen dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade-off theory. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Ozkan dan Ozkan (2004), Ferreira dan Vilela (2004), Bigelli dan Vidal (2011), Datta dan Jia (2012), Gill dan Shah (2012), Islam (2012), dan Al-Najjar (2013).

7. Rasio Profitabilitas/ Profitability ( ROE it )

Perusahaan dengan profitabilitas tinggi lebih mampu membayar dividen, membayar kewajiban utang, dan menimbun kas. Sebaliknya, perusahaan yang dengan profitabilitas rendah akan lebih sedikit memegang kas dan menerbitkan utang untuk membiayai proyek mereka (Dittmar et al ., 2003).

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari dengan keyakinan bahwa ada pengaruh positif antara ROE perusahaan dengan cash holding sesuai dengan pecking order theory . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Al-Najjar (2013).

8. Tingkat Pajak/ Tax Rate ( TAXRATE it ) Tingkat pajak yang tinggi akan sesuai dengan tax shields dari

penggunaan utang yang tinggi dan opportunity cost dari memegang kas yang juga tinggi. Sehingga perusahaan dengan tingkat pajak yang tinggi cenderung memegang kas lebih sedikit.

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara tingkat pajak dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade-off theory. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Bigelli dan Vidal (2012).

9. Rasio Siklus Konversi Kas/ Cash Conversion Cycle ( CCC it ) Rentang waktu siklus konversi kas menentukan kemampuan

perusahaan dalam menghasilkan kas dari kegiatan perasional yang sedang berlangsung. Semakin panjang waktu siklus konversi, semakin lama perusahaan menghasilkan atau mendapatkan kas. Perusahaan yang memiliki siklus konversi kas lebih lama cenderung memegang kas lebih sedikit.

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara CCC dengan kebijakan cash holding perusahaan . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Bigelli dan Vidal (2012)

10. Rasio Pengeluaran Modal/ Capital Expenditure ( CAPEX it )

Dengan membeli aset yang dapat digunakan sebagai jaminan, kapasitas pinjaman perusahaan akan meningkat. Hal tersebut akan mengurangi kebutuhan perusahaan untuk cadangan kas.

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara capital expenditure dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan pecking order theory . Variabel ini digunakan dalam penelitian: Datta dan Jia (2012).

11. F irm Size ( SIZE it ) Model Miller & Orr (1966) menunjukan adanya economies of scale dalam cash management . Hal tersebut menunjukan bahwa perusahaan yang besar cenderung memegang sedikit kas dibandingkan dengan perusahaan kecil.

Berdasarkan argumen tersebut, analisis ini didasari pada keyakinan bahwa ada pengaruh negatif antara firm size dengan kebijakan cash holding perusahaan sesuai dengan trade off theory. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Ozkan dan Ozkan (2004), Ferreira dan Vilela (2004), Bigelli dan Vidal (2011), Datta dan Jia (2012), Gill dan Shah (2012), Islam (2012), dan Al-Najjar (2013).

3.4.2.2 Faktor Makro Ekonomi

1. Gross Domestic Product Growth (GDPG t )

Gross Domestic Product Growth adalah tingkat pertumbuhan dari jumlah barang/jasa yang dihasilkan oleh dalam negeri baik dari Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang bekerja di Indonesia periode tahunan. Data GDP ini menggunakan data dari yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) RI. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Baum et al (2006).

2. Tingkat Inflasi ( INF t )

Tingkat inflasi adalah kenaikan harga barang selama periode tahun ke tahun berikutnya. Data inflasi ini menggunakan data yang berasal dari BPS RI. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Baum et al (2006) dan Dionne et al (2011).

3. CPI t ) Indeks Harga Konsumen ( 1 Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah indikator yang sering

digunakan untuk mengukur tingkat inflasi. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Data IHK ini menggunakan data yang berasal dari Bank Indonesia. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Baum et al (2006), Dionne et al (2011), dan Wang et al (2014).

4. Indeks Produksi Industri ( INDP t ) 2

Indeks Produksi Industri adalah indeks yang menggambarkan perkembangan hasil produksi industri secara periodik tahunan. Data indeks produksi industri ini menggunakan data yang berasal dari BPS RI. Variabel ini digunakan dalam penelitian: Baum et al (2006), Ali dan Daly (2010).

1 Bank Indonesia - http://www.bi.go.id/id/moneter/inflasi/pengenalan/Contents/Default.aspx (diakses pada 22 Desember 2014)

2 Badan Pusat Statistik - http://sirusa.bps.go.id/index.php?r=indikator/view&id=62 (diakses pada 23 Desember 2014)

5. Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG t ) 3

Indeks Harga Saham Gabungan adalah indikator pergerakan harga saham dari semua perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode tahunan. Data IHSG ini menggunakan data yang berasal dari Indonesia Stock Exchange ( IDX ). Variabel ini digunakan dalam penelitian: Baum et al (2006), Ali dan Daly (2010).

3.5 Model Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang mengkombinasi variabel penelitian determinan ca sh holding oleh Al-Najjar (2013) dan Islam (2012), serta menambahkan variabel makro ekonomi yang digunakan oleh Baum et al. (2006) ke dalam model penelitian. Berdasarkan variabel-variabel yang telah disebutkan sebelumnya, model yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga model regresi. Model regresi pertama dari penelitian ini adalah model regresi yang menguji sejauh mana faktor karakteristik perusahaan berpengaruh terhadap kebijakan cash holding perusahaan. Penjelasan dari model regresi pertama adalah sebagai berikut:

CASHHOLD it : Tingkat Cash Holding Perusahaan

CA it : Rasio Aset Lancar Perusahaan Tahunan LEV it : Rasio Penggunaan Utang (Leverage) Perusahaan Tahunan MTB it : Rasio Market to Book Perusahaan Tahunan TOBINS it : Rasio Growth Opportunity Perusahaan Tahunan NWCNA it : Rasio Modal Kerja Bersih Perusahaan Tahunan DIVDUM it : Variabel Dummy dari Pembayaran Dividen Perusahaan Tahunan ROE it : Rasio Profitabilitas Perusahaan Tahunan

3 Indonesia Stock Exchange - http://www.idx.co.id/id-id/beranda/informasi/bagiinvestor/indeks.aspx (diakses pada 23 Desember 2014)

TAXRATE it : Tingkat Pajak Perusahaan Tahunan CCC it : Rasio Siklus Konversi Kas Perusahaan Tahunan CAPEX it : Rasio Pengeluaran Modal Perusahaan Tahunan SIZE it : Firm Size ε it : Nilai Error β i , 0,...,12 : Koefisien Variabel

Model regresi kedua dari penelitian ini adalah model regresi yang menguji sejauh mana faktor makro ekonomi berpengaruh terhadap kebijakan cash holding perusahaan. Penjelasan dari model regresi kedua adalah sebagai berikut:

CASHHOLD it : Tingkat Cash Holding Perusahaan

GDPG t : Tingkat Gross Domestic Product Growth Tahunan INF t : Tingkat Inflasi Tahunan CPI t : Indeks Harga Konsumen Tahunan

INDP t : Indeks Produksi Industri Tahunan IHSG t : Indeks Harga Saham Gabungan Tahunan ε it : Nilai Error β i , 0,...,5 : Koefisien Variabel

Model regresi ketiga dari penelitian ini adalah model regresi yang menguji kombinasi antara faktor karakteristik perusahaan dan faktor makro ekonomi. Penjelasan dari model regresi ketiga adalah sebagai berikut:

Keterangan: CASHHOLDit : Tingkat Cash Holding Perusahaan X t : Variabel Karakteristik Perusahaan/F irm Characteristics

Zt : Variabel Makro Ekonomi/Macroeconomic Uncertainty ε it : Nilai Error β i , 0,...,3 : Koefisien Variabel

3.6 Hipotesis Statistik

Berdasarkan model penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat tiga hipotesis yang digunakan untuk melihat pengaruh karakteristik perusahaan dan

makro ekonomi terhadap kebijakan cash holding , yaitu:

1. Faktor Karakteristik Perusahaan dengan Kebijakan Cash Holding

H 0,1 : Faktor karakteristik perusahaan tidak memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

H 1,1 : Faktor karakteristik perusahaan memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

2. Faktor Makro Ekonomi dengan Kebijakan Cash Holding

H 0,2 : Faktor makro ekonomi tidak memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

H 1,2 : Faktor makro ekonomi memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

3. Faktor Karakteristik Perusahaan dan Faktor Makro Ekonomi

dengan Kebijakan Cash Holding

H 0,3 : Faktor karakteristik perusahaan dan makro ekonomi tidak memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

H 1,3 : Faktor karakteristik perusahaan dan makro ekonomi memiliki pengaruh (positif/negatif) terhadap kebijakan cash holding.

3.7 Teknik Pengolahan Data Penelitian

3.7.1 Pengujian Asumsi Klasik

Model regresi linier berganda ( multiple regression ) dapat disebut model yang baik jika model tersebut memenuhi beberapa asumsi dari asumsi klasik. Tahapan pengujian asumsi ini dilakukan bersama dengan pengujian regresi sehingga tahapan yang dilakukan dalam pengujian ini menggunakan tahapan yang sama dengan pengujian regresi. Terdapat empat uji asumsi klasik yang harus dilakukan terhadap suatu model regresi, yaitu uji Normalitas, Multikolinearitas, Heteroskedastisitas dan uji Autokolerasi (Nachrowi dan Usman, 2006).

3.7.1.1 Pengujian Multikolinieritas

Multikolinieritas adalah suatu kondisi dimana terdapat korelasi antar variabel bebas ( independent variable ). Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebasnya, karena jika hal tersebut terjadi maka variabel tersebut terdapat kemiripan. Menurut Gujarati (2009) hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:

1. Adanya kesalahan pada metode pengumpulan data sehingga salah satu variabel merupakan hasil perhitungan dengan menggunakan variabel lainnya.

2. Adanya kesalahan spesifikasi model.

3. Jumlah variabel bebas lebih besar dibandingkan dengan jumlah observasi. Masalah dalam multikolinieritas ini adalah sulit untuk

mendapatkan koefisien estimasi dengan standar error yang kecil. Konsekuensi adanya multikolinearitas adalah:

1. Estimator memiliki varians serta kovarians yang besar sehingga lebih sulit dalam membuat estimasi yang tepat.

2. Confidence interval cenderung menjadi lebih lebar sehingga kecenderungan untuk menerima hipotesis nol lebih besar.

3. t-ratio dari salah satu atau lebih koefisien menjadi tidak signifikan.

4. 2 Memiliki nilai R dengan sedikitnya koefisien regresi yang signifikan.

5. Variabel estimator regresi dan standar error -nya akan sensitif terhadap perubahan kecil dari data. Berikut adalah beberapa kriteria yang sering digunakan dalam

mendeteksi adanya multikolinieritas:

1. 2 Melihat adanya R yang tinggi namun variabel dalam model hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang signifikan.

2. Hasil regresi tidak dapat diinterpretasikan atau koefisien regresinya tidak dapat diestimasi (Nachrowi dan Usman, 2006)

3. Melakukan pengujian koefisien korelasi antara variabel bebas satu dengan yang lainnya. Menurut Gujarati (2009), apabila koefisien korelasi antara dua variabel lebih dari 0.8 maka terdapat multikolinieritas.

Terdapat empat cara yang dapat dilakukan untuk menghilangkan multikolinieritas, yaitu:

1. Membuang variabel bebas yang dicurigai memiliki hubungan

dengan variabel bebas lainnya di dalam model.

2. Menambah jumlah sampel data penelitian.

3. Memilih sampel baru untuk pengolahan data

4. Mentransformasikan variabel-variabel yang ada.

3.7.1.2 Pengujian Heteroskedasitas

Heteroskedastisitas adalah suatu kondisi saar nilai residual atau error mempunyai varians yang tidak konstan (berubah-ubah). Salah satu asumsi yang harus dipenuhi agar suatu model regresi bersifat Best Linear Unbiased Estimate (BLUE).

Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terdapat ketidaksamaan varians dari residual atau pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians tetap maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda maka terjadi masalah heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas. Ada beberapa cara untuk mendeteksi dan menghilangkan heteroskedastisitas, yaitu dengan melihat Breush Pagan, uji White , dan Generalized Least Square (GLS) (Nachrowi, 2006).

Ketika suatu penelitian digunakan data panel dan jumlah data cross-section lebih banyak daripada data time-series -nya, akan ada kemungkinan timbul masalah heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini dapat digunakan GLS dan cross-section weights . Penggunaan weight ini adalah sebuah normalisasi yang biasanya tidak Ketika suatu penelitian digunakan data panel dan jumlah data cross-section lebih banyak daripada data time-series -nya, akan ada kemungkinan timbul masalah heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah ini dapat digunakan GLS dan cross-section weights . Penggunaan weight ini adalah sebuah normalisasi yang biasanya tidak

3.7.1.3 Pengujian Autokorelasi

Uji autokolerasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalah pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode sebelumnya ( t-1 ). Jika terjadi korelasi maka disebut terdapat autokolerasi. Ada beberapa cara untuk mendeteksi gejala autokorelasi, yaitu dengan uji Durbin-Watson ( DW test ), uji Langrage Multiplier ( LM test ), dan uji Run (Nachrowi dan Usman, 2006).

Durbin-Watson Test adalah jumlah kuadrat perbedaan dari residual terhadap RSS. Nilai DW dibandingkan dengan nilai kritis dL dan dU dari Durbin-Watson Statistic Table. Dari DW tabel, kita mencari nilai dL dan dU dengan memperhatikan nilai k (jumlah variabel bebas) dan nilai n (jumlah observasi). Aturan mengenai perbandingan hasil perhitungan tabel dan DW adalah sebagai berikut:

Range Tabel 3.2 Statistik Durbin-Watson

DW < dL

Terdapat Korelasi +

dL < DW < dU

Tidak Ada Kesimpulan

dU < DW < 4 – dU

Tidak Terdapat Autokolerasi +/-

4 – dU < DW < 4 – dL

Tidak Ada Kesimpulan

DW > 4 – dL

Terdapat Korelasi - Sumber: Gujarati (2009)

Jika nilai DW berada pada dL < DW < dU atau 4 – dU < DW < 4 – dL dimana tidak dapat disimpulkan adanya masalah korelasi atau tidak, maka dilakukan uji lanjutan. Menurut Gujarati (2009) jika Jika nilai DW berada pada dL < DW < dU atau 4 – dU < DW < 4 – dL dimana tidak dapat disimpulkan adanya masalah korelasi atau tidak, maka dilakukan uji lanjutan. Menurut Gujarati (2009) jika

√ =(1- d )

Dimana n adalah jumlah sampel, kemudian hasilnya dibandingkan dengan tabel distribusi normal. Jika hasil transformasi lebih kecil dari nilai Z α = 5%, yaitu sebesar 1.96 maka tidak ada masalah autokolerasi. Gujarati (2009) juga menyebutkan bahwa untuk mengatasi masalah autokolerasi ini penulis dapat menggunakan GLS ( generalized least square ).

3.7.2 Pemilihan Model Regresi

Terdapat beberapa metode pengolahan untuk data panel, yaitu Ordinary Least Square (OLS), Fixed Effect, dan Random Effect atau GLS. Untuk menentukan model pengolahan mana paling tepat untuk dipakai, maka perlu dilakukan pengujian estimasi model-model data panel yakni dengan melakukan:

1. Pooled least square vs fixed effect method (Uji Chow )

2. Random effect method vs fixed effect method (Uji Hausman )

3.7.2.1 Ordinary Least Square atau Pooled Least Square Teknik ordinary least square (OLS) untuk data panel tidak jauh berbeda dengan OLS pada time series dan cross section. Dengan mencari varians model terkecil ( least square ) yang digabungkan dengan jumlah observasi data panel ( N x T ), maka penggunaan nama pooled least square (PLS) dipergunakan untuk OLS data panel.

PLS merupakan metode data panel yang paling sederhana dibandingkan yang lainnya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya metode data panel merupakan penggabungan data cross section dengan data time series. Pool data digunakan untuk membuat regresi yang hasilnya cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang hanya menggunakan cross section dan time series . Namun, dengan PLS merupakan metode data panel yang paling sederhana dibandingkan yang lainnya. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya metode data panel merupakan penggabungan data cross section dengan data time series. Pool data digunakan untuk membuat regresi yang hasilnya cenderung lebih baik dibandingkan dengan regresi yang hanya menggunakan cross section dan time series . Namun, dengan

3.7.2.2 Metode Efek Tetap ( F ixed Effect Method )

Metode efek tetap ( fixed effect method ) dipergunakan untuk mengatasi kekurangan dari pooled least square dengan mengizinkan adanya perbedaan α( intercept ) pada setiap i dan t. Penggunaan fixed effect model adalah sama dengan penggunaan model regresi dengan dummy variable sebagai variabel independen, sehingga estimasi OLS yang menggunakan fixed effect kemungkinan besar akan terhindar dari bias dan sifatnya konsisten (Gujarati, 2009).

3.7.2.3 Metode Efek Random ( Random Effect Method )

Berbeda dari model fixed effect, setiap perbedaan karakteristik antar individu dengan waktu diakomodasi dari error model . Jika diketahui terdapat dua komponen yang berkontribusi dalam pembentukan error, yaitu individu, dan waktu, maupun gabungan keduanya (Nachrowi dan Usman, 2006). Berdasarkan penjelasan diatas, persamaan dalam metode random effect diformulasikan:

Y it = α + βX it +ε it (3.17) Dengan keterangan:

ε it =u i +v t +w it (3.18) Persamaan diatas menunjukan u i adalah komponen error dari model

cross section , v t adalah komponen error time series, dan w it komponen error panel (gabungan). Model random effect ini menganggap efek rata-rata dari cross- section dan time series diinterpretasikan melalui konstanta ( intercept ). Sedangkan, untuk pengaruh deviasi untuk data time series diproksikan dalam bentuk vt dan deviasi untuk data cross-section dalam bentuk ui . Dengan menggunakan persamaan 3.18 diatas, terdapat varians yang berbeda-beda disetiap individual dan antar waktu. Maka bisa dituliskan:

Var (ε it) = σ u 2 + σ v 2 + σ w 2 (3.19)

Hal ini berbeda dengan OLS yang diterapkan pada data panel (PLS). Dari keterangan diatas, maka didapatkan besar varians error sebesar:

Var (ε it) = σ w 2 (3.20)

Model random effect bisa diestimasi dengan OLS apabila nilai p =0

2 atau nilai dari 2 σ

= σ v = 0 . Oleh karena itu, metode random effect perlu dilakukan perhitungan dengan menggunakan metode yang berbeda. Salah satunya dengan menggunakan generalized least

square (GLS).

3.7.3 Pemilihan Model Estimasi

3.7.3.1 Chow Test Menurut Gujarati (2009), uji chow merupakan pengujian

statistik untuk menentukan jenis data panel yang cocok digunakan antara pooled least square ( intercept dan slope yang harus konstan) atau fixed effect mode ( slope- nya saja yang konstan). Persamaan uji Chow adalah:

(3.21) Keterangan:

RS : Restricted Residual Sum Square URSS : Unrestricted Residua Sum Square

: Jumlah data cross section

: Jumlah data time series

: Jumlah parameter

F test untuk melihat signifikansi parameter regresi secara keseluruhan, sehingga hipotesis yang diuji

Metode ini menggunakan

adalah:

H 0 : parameter dummy variable tidak signifikan dalam menjelaskan variabel terikat

H 1 : parameter dummy va riable signifikan

Jika satu lebih paramater dummy variabel tidak signifikan, maka dinyatakan bahwa tidak terdapat intercept yang tetap untuk masing- masing individu dan estimasi fixed effect method menjadi tidak efisien.

Sehingga ketika H 0 tidak ditolak, model yang digunakan adalah PLS atau model random effect. Sebaliknya, ketika H 0 ditolak model yang digunakan adalah model fixed effect.

3.7.3.2 Hausman Test Uji Hausman digunakan untuk melihat apakah pemilihan model

lebih baik menggunakan fixed effect method dan random effect method (Brooks, 2002). Uji ini digunakan untuk melihat adanya korelasi antara residual random effect dengan masing-masing variabel bebas. Jika terdapat korelasi antara residual cross section dengan salah satu variabel bebas, maka hasil estimasi model random effect tidak lagi konsisten. Koefisien pada model random effect konsisten dan efisien jika tidak terdapat korelasi. Persamaan uji Hausman dengan dua

variabel didefinisikan sebagai berikut:

Keterangan: βFEM

: koefisien variabel-variabel dalam model fixed effect βREM

: koefisien variabel-variabel dalam model random effect var (β)

: varians dari βFEM dan βREM

Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:

H 0 : Tidak terdapat korelasi antara residual cross section dengan salah satu variabel bebas, atau dengan kata lain menggunakan random effect method .

H 1 : Terdapat korelasi antara residual cross section dengan salah satu variabel bebas, atau dengan kata lain menggunakan fixed effect method .

Dengan menggunakan chi-square, sehingga jika nilai uji Hausman lebih besar dari chi-square dengan df 1 atau probabilitas

kurang dari 5% maka H 0 ditolak.

3.7.4 Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis berguna untuk menguji apakah koefisien regresi yang didapatkan signifikan. Kriteria koefisien yang signifikan adalah koefisien yang dapat disimpulkan mempunyai pengaruh terhadap variabel terikat dengan konstanta tertentu dan nilai probabilitas dari masing-masing variabel kurang dari α (5% atau 10%). Terdapat satu jenis pengujian

hipotesis terhadap model, yaitu pengujian 2 R dan dua jenis hipotesis terhadap koefisien korelasi.

3.7.4.1 Koefisien Determinasi ( R 2 )

Goodness of fit ( R 2 ) digunakan untuk menjelaskan seberapa besar proporsi variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan oleh

variabel-variabel independennya secara keseluruhan model. Nilai tersebut menunjukan seberapa dekat garis regresi yang diestimasi

dengan keadaan sesungguhnya. Semakin besar nilai 2 R semakin besar pula hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen

yang berarti model yang didapat semakin baik. Semakin banyak variabel independen yang dimasukkan ke dalam model maka semakin besar R 2 yang didapat. Hal yang harus diperhatikan adalah bila penambahan R 2 yang dihasilkan tidak bertambah seiring dengan ditambahnya variabel independen, maka tidak perlu menambah variabel independen baru karena akan membuat model menjadi tidak efisien (Gujarati, 2009).

Tabel 3.3 Interval Koefisien Determinasi Interval Koefisien Tingkat Hubungan

Sangat Rendah

Sangat Kuat

Sumber: Sugiono (2003)

3.7.4.2 Pengujian F Statistik ( Chi-Square )

Pengujian F statistik bertujuan untuk melihat adanya pengaruh variabel independen secara bersamaan terhadap variabel dependen. Jika

F hitung > F tabel maka tolak H 0, atau dengan kata lain setidaknya ada satu slope regresi yang signifikan (Nachrowi, 2006). Berikut

merupakan hipotesis dalam penelitian ini yang menggunakan penelitian chi 2 :

H 0 :β 1 =β 2 =β 3 =β 4 =β 5 = 0; dengan keterangan,

Variabel faktor karakteristik perusahaan dan makro ekonomi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan cash holding perusahaan.

H 1 : ada satu β 0; dengan keterangan, Variabel faktor karakteristik perusahaan dan makro ekonomi memiliki pengaruh signifikan terhadap kebijakan cash holding perusahaan.

3.7.4.3 Pengujian t-s tatistik ( z- statistik)

Pengujian t -statistik bertujuan untuk melihat signifikansi variabel independen terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel independen yang lain bersifat konstan. Rumus t hitung adalah:

(3.23) Kriteria penerimaan atau penolakan H 0 dapat dilihat berdasarkan aturan dibawah berikut:

 Jika t hitung < t tabel, maka H 0 diterima  Jika t hitung > t tabel, maka H 0 ditolak (koefisien regresi

signifikan)

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63